“Jabatan” (Tohonan) pendeta sebagai panggilan
Oleh:
Pdt MSM Panjaitan, MTh ( Pendeta HKBP Emeritus)
1.
Pendahuluan
Banyak orang yang
mengertikan bahwa jabatan pendeta itu sebagai profesi, sama seperti
pekerjaan-pekerjaan yang lain. Pada hal secara teologis dan secara
gerejawi jabatan pendeta bukanlah sebuah profesi melainkan sebagai
panggilan. Mungkin sulit untuk membedakan antara profesi dan panggilan. Profesi adalah sebuah pekerjaan yang
membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus,
misalnya profesi guru, profesi dokter, profesi yang bergerak di bidang hukum,
tehnik, desainar, tehnik, dll. Profesi
adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan
adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan
lainnya. Profesi bisa diperoleh atas upaya manusia itu sendiri. Sedangkan
jabatan pendeta pekerjaan khusus yang diberikan Allah melalui panggilan.
Panggilan
adalah suatu tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang mengacu kepada
pelayanan. Seseorang dipanggil oleh
Tuhan untuk mengabdikan dirinya
dalam pekerjaan khusus Allah di dunia
ini, yang berhubungan dengan karya penyelamatan yang direncanakan terhadap
umat-Nya. Misalnya dalam Kitab Perjanjian Lama Musa dipanggil
oleh Allah untuk mnyelamatkan bangsa-Nya dari perbudakan Mesir dan memimpinnya memasuki tanah perjanjian
Kanaan. Para nabi dipanggil oleh Allah untuk menyampaikan Firman-Nya kepada umat-Nya agar hidup sesuai dengan hukum Tuhan demi keselamatan mereka. Dengan
panggilan itu para nabi bisa menyampaikan tegoran atau kecaman kepada umat Allah, apabila telah
melakukan hal-hal yang menyimpang atau melawan hukum Tuhan, agar mereka
bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jadi di dalam pangilan itu
terkandung suatu pemberian tugas untuk melayani Allah dalam menjalankan suatu pekerjaan khusus atau mencapai suatu tujuan
khusus. Dalam Perjanjian Baru pengertian panggilan itu juga sama. Panggilan itu pada mulanya diarahkan kepada pemanggilan kedua belas
murid Yesus untuk dipersiapkan menjadi para rasul-Nya yang kelak akan diutus
untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah ke segenap bangsa di dunia ini, serta
mengajarkan apa yang sudah diperintahkan
Yesus kepada mereka. Dalam perkembangan selanjutnya panggilan itu semakin
meluas sejalan dengan berdirinya gereja
sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus sebagai buah dari
penginjilan itu sendiri di berbagai
daerah di dunia ini. Muncullah berbagai jabatan pelayanan di dalam
gereja, yang berdasar kepada panggilan
Tuhan kepada masing-masing mereka.
2.
Pengertian jabatan pendeta
Pada umumnya gereja-gereja protestan di Indonesia
mempergunakan sebutan pendeta kepada
orang yang mempunyai tugas panggilan
sebagai pelayan Firman Tuhan dan
tugas penggembalaan atau kepemimpinan
dalam gereja. Pada umumnya gereja-gereja Prostentan di Eropa memakai kata
pastor, dan Gereja Katolik Roma di Indonesia juga memakai kata pastor atau
imam. Kata pendeta dipakai sebagai terjemahan dari kata”pastor” (gembala) yang
dipakai di gereja-gereja Eropa. Kata itu
berasal dari bahasa Sansekerta yakni “pandita”.
Gereja HKBP yang merupakan hasil penginjilan “Rheinische
Missionsgesselschaf” (RMG) dari Jerman langsung memakai kata “pandita” untuk
menerjemahkan sebutan “pastor” yang
dipergunakan di gereja-gereja
Jerman atau “Reverend” (orang yang
terhormat) di gereja-gereja Inggris.
Sejak awal para missionar yang diutus oleh RMG mengenakan sebuatn itu
untuk para pelayan pribumi (orang Batak) yang telah memperoleh pendidikan
khusus di bidang teologi dan pelayanan kegerejaan setelah memperoleh pengalaman melayani
sebagai “guru” paling sedikit sepuluh tahun. Sedangkan para missionar itu tidak dipanggil dengan sebutan pendeta,
tetapi dengan sebutan “tuan”. Gereja-gereja di Indonesia yang mempunyai
latar-belakang penginjilan dari Belanda
sempat memakai sebutan “Dominus”
(disingkat Ds), dan diucapkan Domine, yang artinya juga Tuan.
Sempat juga sebutan itu
dipakai di sebagian pendeta HKBP, yakni
para pendeta yang tamat dari “Hoogere Theologische School” (HTS), yakni Sekolah Theologia Tinggi yang berdiri di Jakarta mulai tahun 1934.
Sekolah ini kemudian ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT)
Jakarta. Sebutan itu dipakai untuk
membedakan para pendeta yang tamat dari
HTS Jakarta dan yang tamat dari Seminari Passurnapitu dan Seminari Sipoholon.
Ada juga gereja-gereja di Indonesia, terutama yang memakai
sebutan itu untuk pendetanya.
Tetapi sekarang pada umumnya gereja-gereja
Protestan baik yang merupakan hasil
penginjilan dari Lembaga-lembaga Zending dari Eropa, maupun gereja-gereja Pentakosta atau juga Kharismatis yang pada umumnya berasal dari Amerika, sudah
memakai sebutan pendeta untuk pelayan yang berfungsi sebagai gembala di
gerejanya.
Dalam tradisi Hindu atau Budha, “pandita” berarti guru agama,
kaum brahmana, orang terpelajar yang
memiliki banyak pengetahuan. Ucapan seorang pandita diyakini sebagai kebenaran atau dharma.
Karena itu dalam tradisi Hindu, ada empat sifat
yang harus ditunjukkan oleh seorang pandita, yakni: pertama, Sang Satya
Wadi artinya selalu membicarakan kebenaran; kedua, Sang Apta artinya selalu
dapat dipercayai; ketiga, Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian;
keempat, Sang Penadahan Upadesa artinya
memiliki kewajiban memberi pendikan
moral kepada masyarakat. Oleh karena itu, pandita disebut Adi Guru Loka
yaitu guru utama dalam lingkungan masyarakat.
Karena mempunyai persamaan
dengan seorang pelayan Tuhan yang diharapkan sebagai pembawa Firman
Tuhan kepada Jemaat Tuhan dan juga memberi pengajaran dan tuntunan yang baik
kepada umat Tuhan melalui penggembalaan, dan juga memberi pengajaran tentang nilai-nilai kekristenan kepada semua orang, maka istilah pandita
itulah yang dipakai oleh Gereja Batak (HKBP) melalui para missionar kepada
setiap orang yang terpangil untuk
mengemban tugas tersebut. Tugas
pelayanan tersebut dinamai “tohonan”
yakni istilah Batak yang sangat sulit diterjemahkan dalam bahasa lain.
Ada yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata “toho” (tepat) dan “an”
(itu) yang artinya si Anulah yang tepat untuk melakukannya atau
membicarakannya. Jadi “tohonan” adalah suatu pekerjaan khusus yang sangat
penting yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang ditentukan untuk itu, yang
tidak dapat dilaksanakan oleh orang lain. Sebelum masuknya kekristenan di Tanah
Batak, istilah itu sudah dipakai di
tengah-tengah masyarakat Batak yang juga dikenakan kepada orang-orang yang
mempunyai pekerjaan khusus, seperti
kepada “datu” (tohonan datu),
“raja’ (tohonan raja), pembicara
dalam adat (tohonan raja parhata),
status sebagai abang (tohonan
sihahaan), dan lain-lain. Dalam
masyarakat Batak “tohonan” itu juga mempunyai makna kehormatan atau status dalam masyarakat. Latar belakang pemahaman Batak akan “tohonan” itu kelihatannya juga berpengaruh kepada pemahaman akan “tohonan” dalam gereja, karena ada yang
menganggap “tohonan” dalam gereja itu
juga sebagai kehormatan. Apalagi
karena sulitnya memeperoleh terjemahan yang tepat terhadap istilah itu. Sampai sekarang terjemahan yang banyak dipakai untuk menyebut “tohonan”
adalah jabatan, yang pada dirinya dalam pengertian jabatan terkandung arti status yang mempunyai makna kehormatan
di tengah-tengah masyarakat.
Di tengah-tengah Gereja Batak (HKBP), dalam sejarahnya
“tohonan pandita” merupakan “tohonan” yang ketiga. Tetapi walaupun muncul
sebagai tohonan yang ketiga, di kemudian hari “tohonan pandita” dikenal sebagai
“tohonan pokok”. “Tohonan” yang pertama diberikan kepada orang Kristen Batak
ialah “tohonan sintua”, yang tugas utamanya sebagai teman sekerja dari para
misionar itu untuk menggembalai para
anggota jemaat yang ada di lingkungannya, termasuk menggiatkan mereka untuk rajin
mengikuti kebaktian minggu, menggiatkan anak-anak untuk rajin pergi ke sekolah,
mendekati orang-orang yang belum Kristen untuk ikut menerima keselamatan dari
Kristus. Itu diberikan bagi empat orang
putera Batak yang sudah Kristen tahun
1867, di gereja Dame Saitnihuta, Tarutung. “Tohonan guru” mulai diberikan
tahun 1873 yakni kepada lima orang
petera Batak yang telah
menyelesaikan pendidikan sebagai Guru
Injil di Seminari Parausorat yang mulai dibuka tahun 1868. Guru-guru ini diberi tugas untuk mengajar
anak-anak di sekolah asuhan zending, dan sekaligus juga melayani di Jemaat yang menyatu dengan sekolah
tersebut. Mereka berfungsi sebagai pengajar dan juga sebagai pengkhotbah
(teacher-preacher). “Tohonan pandita”
mulai diberikan kepada putera Batak
tahun 1885, yakni kepada tiga orang yang
tamat dari Sekolah Pendeta yang mulai dibuka di Seminari Passurnapitu tahun
1885. Tugas dari para pendeta
tersebut yang diberikan pada waktu itu adalah untuk memelihara anggota jemaat,
melalui pemberitaan Firman, pelayanan sakramen, penggembalaan, perkunjungan kepada orang sakit, “paminsangon” (penegoran), pemeliharaan dan
pemberian ajaran yang murni sesuai dengan yang disaksikan dalam Alkitab, menuntun anak-anak, menjadi teladan dalam setiap perilaku hidup,
menjalankan apa yang diputuskan oleh
sinode, dan lain-lain. Inilah
“tohonan hapanditaon” yang diterima oleh
seorang pendeta HKBP, yang diterima pada waktu penahbisan dirinya sebagai pendeta, seperti dituliskan
dalam Agenda (Tata Ibadah) Penahbisan Pendeta. “Tohonan” itu diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus Raja
Gereja, melalui gereja-Nya di dunia ini.
Dalam menerima itu seorang pendeta harus berjanji untuk melakukannya dengan segenap hidupnya. Inilah juga penampakan pelayanan Kristus dengan tiga jabatan-Nya itu, yakni sebagai
nabi, imam dan raja. Dan untuk
meneruskan pelayanan Kristus itu di
dunia ini, di gereja mula-mula diangkatlah rasul, nabi, pemberita Injil,
gembala, pengajar, diaken/ diakones, penetua, uskup (pengawas). Dengan mengikuti tradisi Gereja Reformasi, HKBP mengaku bahwa
semua pelayanan dan jabatan-jabatan
tersebut telah dicakup dalam jabatan (tohonan) kependetaan. Ini dinyatakan oleh HKBP dalam Pengakuan Iman
(Konfessi) HKBP tahun 1996 pasal 9.
3.
Jabatan kependetaan dalam gereja-gereja Mula-mula.
Sumber-sumber yang memberi informasi bagi kita mengenai
jabatan kependetaan dalam gereja mula-mula adalah Kitab Perjanjian Baru,
khususnya Kitab Kisah Rasul-rasul, dan juga Surat-surat para rasul.
Jabatan-jabatan itu adalah rasul, nabi, pemberita Injil, pengajar (guru),
gembala, diakon/diakones, penetua (persbyteros), dan penilik atau
pengawas (epsikopos) Jemaat. Seperti sudah dijelaskan di atas, HKBP
mengakui bahwa semua jabatan-jabatan tersebut sudah tercakup dalam “tohonan”
pendeta. Itu berarti bahwa semua pelayanan
yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut adalah masuk dalam tugas pelayanan seorang pendeta. Memang di
HKBP, masih ada jabatan-jabatan pelayanan yang lain selain pendeta, yakni guru, bibelvrow (penginjil wanita), diakon/
diakones, evangelis (pemberita injil), dan “sintua” (penetua). Tetapi
semua jabatan itu tidak terlepas dari
jabatan pendeta, dan semua pelayanan mereka adalah membantu tugas pelayanan pendeta.
3.1.
Para rasul
Pada zamannya, Yesus telah memanggil dua belas orang menjadi
murid-murid-Nya. Ke dua belas orang itu
diajari dan dilatih selama lebih kurang tiga tahun untuk menjadi
“apostolos” yang artinya rasul, utusan-Nya untuk memberitakan Injil
keselamatan yang dibawa-Nya ke seluruh bangsa di dunia ini. Bilangan dua belas
adalah bilangan simbolis, menunjuk kepada kedua belas suku Israel. Itu juga
memberi petunjuk kepada arti gereja sebagai Israel yang baru. Mereka inilah
para saksi dari kehidupan, kematian dan kematian Yesus (Ksi. 1: 4-11). Setelah tiadanya Yudas Iskariot yang bunuh diri
karena menghianati Yesus, jumlah dua
belas itu tetap dipertahankan dengan memilih
Matias sebagai gantinya. Namun dalam perkembangan kemudian, istilah “rasul” lebih sering dipakai untuk
menyebut utusan langsung dari Yesus,
dari pada sebuatn “kedua belas” orang itu.
Utusan “rasul” yang datang dari pemikiran Yahudi berarti
seorang utusan (duta) yang dihunjuk dengan mempunyai tanggung-jawab yang penuh
untuk mewakili seseorang yang mengutus
dia. Dalam Kitab Perjanjian Baru( PB) para rasul disebut meliputi yang dua
belas orang itu, ditambah dengan beberapa orang lain yang telah melihat Yesus yang bangkit itu dan yang ditetapkan
melalui Roh Kudus. Rasul-rasul yang
disebut selain dari yang dua belas itu ialah Paulus, Barnabas, Silvanus dan
Yakobus, saudara Yesus. Mereka adalah penginjil-penginjil utama. Paulus tidak pernah mempersamakan
dirinya dengan yang dua belas itu, namun dia dengan keras mempertahankan bahwa
dia tergolong rasul ( 1Kor. 15: 8-10). Para rasul bukan hanya bertugas untuk
mengabarkan Injil, tetapi mereka juga berbuat dengan kuasa atas orang-orang
sakit dan setan-setan (Matius 1: 1dst). Karena ke dua belas dan para rasul
itu langsung diperhubungkan dengan
pelayanan Kristus yang memanggil mereka di dunia ini, maka bagi mereka tidak
ada pergantian. Mereka mempunyai murid-murid sendiri, tetapi murid-murid mereka
itu tidak diangkat menjadi rasul untuk menggantikan mereka.
Para rasul yang dua belas itu adalah pemimpin-pemimpin pertama dari gereja mula-mula. Mereka
mempertahankan kepemimpinan gereja di Yerusalem hingga hancurnya kota itu tahun
70 M oleh tentera Romawi. Paulus sebagai
seorang yang mempunyai kuasa
rasul dari Yesus Kristus, umumnya berhubungan dengan jemaat-jemaat yang didirikan.
Dia berbicara mengenai tekanan-tekanan yang
mengenai seluruh jemaat. Dia dipanggil untuk menyelesaikan perselisihan,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai sikap dan perilaku Kristen,
memperdamaikan kelompok-kelompok yang bertikai, menghadapi masalah hubungan
antara tuan-tuan dan hamba-hamba, dan sejumlah issu yang lain.
3.2. Tiga
serangkai pemimpin gereja: rasul, nabi dan pengajar
Dalam suratnya ke jemaat Korintus Paulus menyebut adanya dua
jabatan yang baru selain rasul, yakni nabi dan pengajar. Dia menulis “Allah
telah menetapkan beberapa orang dalam
Jemaat; pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar” ( 1
Kor. 12: 28). Dengan menyebut ketiga jabatan itu dalam pola hierarkhis, Paulus
memberi bukti akan adanya tiga serangkai kepemimpinan gereja mula-mula. Setelah
para rasul muncul para nabi dan pengajar. Sebagaimana halnya jabatan rasul,
jabatan yang dua lagi juga dipercayai sebagai karunia roh yang membangun
persekutuan jemaat. Nabi-nabi, dan
kdang-kadang juga para pengajar, melayani jemaat keseluruhan secara
berpindah-pindah. Ruang lingkup pelayanan mereka tidak terbatas pada satu
tempat saja. Mereka dikenal dengan peranan pelayanan mereka melalui karunia-karunia khusus dari Roh Kudus bagi
diri mereka. Mmereka tidak dipilih kepada jabatan mereka itu dan juga tidak
ditetapkan melalui suatu upacara gerejawi.
Kalau para rasul banyak dikenal sebagai misioner-misioner
yang mendirikan persekutuan-persekutuan (jemaat) Kristen, para nabi adalah yang
memelihara jemaat-jemaat baru itu. Karena sifat pelayanan mereka yang
berkeliling, nabi-nabi tidak selalu hadir
dalam suatu jemaat setempat, melainkan mereka datang dan pergi sesuai dengan keinginan mereka. Mengikuti
contoh dalamn Kitab Perjanjian Lama (PL), nabi-nabi mula-mula bertumbuh dalam
jemaat-jemaat Kristen Yahudi (Ksi. 11: 27; 15: 32). Tetapi mereka juga di
jemaat-jemaat campuran (yahudi dan non-Yahudi) dan juga dalam jemaat-jemaat
yang khusus berasal dari non- Yahudi
(Kis. 11: 27; Roma 12: 6-7). Beberapa nabi yang disebut ialah Agabus
(Kis. 11: 28), Barnabas, Simeon Niger, Lukius orang Kirene ( Kis. 13: 1 dst)
dan juga Yudas dan Silas. Selain itu ada sejumlah nabiah, seperti keempat putri
Filipus ( Kis. 21: 9). Jabatan nabiah muncul dalam gereja mula-mula sampai akhir abad pertama.
Selain mempunyai karunia untuk mengabarkan Firman Allah, nabi
juga menjalankan peranan khusus dalam menjalankan disiplin gereja dan dalam
menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah untuk memberi pengampunan disampaikan melalui para nabi. Dengan
otoritas demikian, tidak mengherankan apabila nampak para nabi memikul suatu
peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus kadang-kadang
merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak memegang jabatan kepemimpinan
bagi jemaat-jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang
penyelesaian pertikaian yang terjadi di antara orang-orang percaya. Karena itu
tidaklah juga mengherankan kalau otoritas yang demikian kadang-kadang
disalahgunakan dan juga dipraktikkan oleh semacam dukun yang memperdagangkan
kepercayaan orang-orang Kristen. Dalam PB ada juga kita jumpai sejumlah
peringatan untuk melawan “nabi-nabi palsu” (Mat. 7: 15; 24: 11) dan juga perlunya untuk menguji
nabi-nabi ( 1 Yoh. 4: 1). Ujian yang
diberikan kepada mereka haruslah dengan melihat konsistensi dan pemberitaan
mereka dengan apa yang telah mereka terima dan juga dengan kehidupan mereka
sehari-hari ( 1 Yoh. 4: 1).
Para pengajar merupakan golongan ketiga dari pelayan-pelayan
kharismatik, setelah para rasul dan nabi-nabi. Dalam banyak hal mereka
menunjukkan fungsi yang sama dengan nabi-nabi, sehingga garis perbedaan di
antara mereka sulit digambarkan. Seorang nabi kadang-kadang juga berfungsi
sebagai pengajar. Di jemaat Antiokhia, para nabi dan pengajarlah yang
menetapkan Paulus dan Barnabas untuk menjalankan missinya ke Siprus dan juga
yang “meletakkan tangan ke atas mereka serta mengutus mereka” (Kis. 13: 1-3).
Suatu fungsi khusus dari pengajar ialah
untuk mempersiapkan para katekumen untuk
baptisan dan juga menyelenggarakan pengajaran lanjutan bagi mereka. Dalam
perjalanan sejarah gereja selanjutnya kelihatan fungsi pengajar ini lebih lama
bertahan dari fungsi nabi. Sampai abad ke empat kita masih menemukan lagi
sejumlah pengajar dalam gereja. Yustinus Martir dan Tatianus misalnya adalah
pengajar-pengajar yang kita temukan pada abad ke dua, Klemen dan Origenes
pengajar dari Alexandria pada abad ke tiga. Dalam buku Sejarah Gerejanya,
Eusebius masih menyebut adanya jabatan pengajar pada abad ke empat, di samping
jabatan penetua.
3.3. Para
uskup (penilik), penatua dan diakon
Di samping para rasul, nabi dan pengajar, masih ada kelompok
pelayan yang lain yang dijumpai dalam
PB, yakni para penilik, penatua dan diakon.
Pada mulanya jabatan “penilik” (bahasa Yunani episkopos) dan “penatua”
(bahasa Yunani presbyteros) mempunyai pengertian yang hampir sama. Jabatan
penilik mungkin nula-mula berkembang di
jemaat-jemaat Yunani, karena di dunia Hellenis (dunia Yunani) jabatan
penilik sudah dikenal sebelumnya sebagai pemimpin di lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Jabatan “episkopos”, misalnya lazim dikenakan bagi pemimpin perserikatan sosial,
kelompok atletik, termasuk pemimpin
pemerintahan kotapraja. Ketika Paulus mengucapkan salam bagi para penilik dan diakon jemaat Filipi, dia memakai istilah
yang sudah umum dikenal masyarakat di sana. Adalah menarik bahwa Paulus memakai
istilah itu dalam bentuk plural yakni
“episkopoi”. Itu menunjukkan bahwa di jemaat itu telah ada lebih dari satu
penilik, kecuali jika dengan istilah itu para penatua juga turut dimaksudkan.
Tetapi walaupun istilah penilik dipinjam
dari lingkungan budaya Hellenis, namun
gereja telah mengertikan jabatan itu dengan arti dan kuasa rohani. Pada
pembicaraannya di Miletus, Paulus telah menyebutkan bahwa para penilik adalah
orang-orang yang ditetapkan Roh Kudus untuk menggembalakan jemaat Allah (Kis. 20: 28).
Sebutan “para penatua” (presbyteroi) untuk pertama kali
mauncul pada waktu pengumpulan bantuan bagi orang-orang Kristen Yahudi di
Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11: 30). Tanpa diragukan istilah itu
adalah dipinjam dari lingkungan Yahudi pada waktu itu. Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge (rumah
ibadat) mempunyai badan penatua
(sanhedrin) yang berfungsi sebagai badan pengadilan dan pemerintahan. Mereka
terdiri dari “pemimpin, ahli taurat dan imam-imam besar” (Kis. 4: 5.8.23). Di
Jemaat Yerusalem para penatua itulah yangmenerima bantuan yang dikirim dari
Jemaat Antiokhia untuk disalurkan kepada setiap orang yang membutuhkan, bukan
yang dua belas orang itu, yang pada waktu itu mungkin telah tersebar karena
penghambatan yang terjadi. Beberapa tahun kemudian kita menemukan lagi para
penatua pada sidang di Yerusalem bersama-sama dengan yang dua belas rasul itu.
Setelah itu mereka disebut-sebut lagi dalam Surat-surat Penggembalaan ( 1 Tim.
3: 2; Titus 1: 7). Itu memberi petunjuk bahwa jabatan penatua juga telah
merupakan bagian dari jemaat Kristen Yunani, sebagaimana halnya juga jemaat
Kristen Yahudi. Nampaknya seluruh penilik pada mulanya adalah juga
penatua-penatua yang dipilih untuk
mengetuai badan penatua dalam memimpin
satu-satu jemaat.
3.4. Ketujuh
orang yang melayani orang miskin
Hadirnya ketujuh orang pelayan seperti yang diberikatakan
dalam Kis. 6: 1-7, menunjukkan suatu perkembangan dalam konsep jabatan dalam
gereja mula-mula, karena satu jabatan telah diteapkan oleh Jemaat itu sendiri,
tidak langsung oleh Roh Kudus. Pada waktu itu “persekutuan murid-murid”(
anggota-anggota jemaat) itu dimintakan oleh kedua belas rasul tersebut untuk
memilih dari antara mereka sebanyak tujuh orang yang dikenal baik, yang penuh Roh dan hikmat (Kis.
6: 3) untuk diangkat dalam tugas “pelayanan meja”. Karena anggota-anggota
jemaat itu memilihnya dari antara mereka, tentu pemilihan itu dilakukan dengan
proses demoktratis, barulah setelah itu para rasul meletakkan tangan di atas
mereka dan berdoa. Walaupun istilah “diakonia” merupakan istilah yang umum bagi
seluruh jenis pelayanan gereja, namun
“diakon” pejabat khusus yang ditetapkan
pada waktu itu khusus untuk “pelayanan
meja”. Tugas itu juga meliputi pendistribusian
bantuan yang datang dan pemeliharaan
harta fisik gereja. Selain itu mereka biasanya juga berfungsi untuk membawa (atau menyanyikan) epistel dan Injil pada waktu Persembahan Kudus,
menerima persembahan dan membantu pelayanan Perjamuan Kudus itu. Diakon juga
kemudian berfungsi sebagai pelayan administratif dari seorang uskup (penilik).
4.
Pemberian “tohonan” pendeta
Semua jabatan-jabatan yang dikenal dalam gereja mula-mula
adalah merupakan jabatan panggilan,
yakni panggilan dari Allah. Sebagian
pemegang jabatan itu langsung dipanggil oleh Allah melalui Yesus Kristus atau
melalui kuasa Roh Kudus, seperti para rasul dan para nabi. Tetapi jabatan-jabatan yang lain dipanggil
dengan perantaraan para rasul atau dengan perantaraan gereja. Gereja yang
dalam bahasa Yunani disebut ekklesia berarti orang-orang percaya kepada Yesus
Kristus yang dipanggil keluar dari dunia ini
yang dihimpun dalam satu persekutuan
oleh Roh Kudus. Karena itu gereja juga berarti persekutuan orang-orang
percaya. Para rasul yang menerima panggilan itu langsung dari Yesus Kristus,
diteguhkan melalui kuasa Roh Kudus yang dicurahkan kepada mereka pada hari
Pentakosta ( Kis. 2). Merekalah yang
kemudian menyampaikan jabatan-jabatan yang lain melalui penahbisan penumpangan
tangan. Para penilik (uskup) atau episkopos
misalnya yang ditahbiskan oleh
para rasul, melakukan hal yang sama
kepada penggantinya sehingga terjadilah penurunan jabatan itu secara
berkesinambungan. Dalam dogma Gereja Roma Katolik hal itu disebut
“successio apostolica”, yang artinya
pewarisan jabatan rasuli, yakni mulai dari Yesus kepadapara rasul, dari para
rasul kepada para uskup, dan seterusnya secara berkesinambungan sehingga
terjadi mata-rantai dari jabatan itu yang
berkesinam bungan terus. Dalam Gereja-gereja Protestan pada umumnya
ajaran pewarisan jabatan tersebut
ditolak. Bagi Gereja-gereja Protestan,
Kristus yang menjadi kepala gereja, dan gereja sebagai tubuh Kristus, memberikan
kuasa kepada gereja untuk mengadakan pelayan-pelayan yang melakukan segala
tugas pelayanan yang diamanatkan kepada gereja itu sendiri. Jabatan itu adalah
jabatan pelayan yang bukan menjadi milik dari pelayan itu sendiri. Kalau pelayan itu tidak lagi menjalankan
fungsinya atau mengingkari apa yang sudah dia janjikan untuk dilaksanakan, maka
gereja bisa mencabut kembali jabatan tersebut, sehingga dia kembali sebagai
anggota jemaat biasa.
Pemberian (tohonan)
jabatan pelayanan pendeta kepada seseorang melalui suatu proses yang
panjang. Itu dilakukan oleh gereja
mulai dari mempersiapkannya melalui pendidikan yang dibutuhkan untuk setiap
pengemban jabatan-jabatan tersebut.
Misalnya untuk gereja HKBP dalam memberikan jabatan pelayanan pendeta
itu melalui proses yang panjang. Bagi orang-orang yang terpanggil untuk jabatan
pelayanan itu dipersiapkan dengan
pendidikan khusus (Sekolah pendeta dan Pendikan Theologi) dan latihan-latihan
yang diberikan orang-orang yang
ditugaskan khusus untuk itu oleh gereja dalam kurun waktu tertentu.. Setelah menyelesaikan seluruh pendidikan, pelatihan
dan persiapan-persiapan yang dibutuhkan, maka pendeta ressort dan praeses
di ressort atau distrik di mana mereka
menjalani masa pelatihan itu, memberikan
rekomendasi kepada pimpinan HKBP, kalau mereka sudah layak untuk ditahbiskan.
Di gereja HKBP tahbisan itu diberikan oleh Ephorus sebagai Pimpinan HKBP, yang
didampingi oleh sejumlah pendeta HKBP.
Penahbisan itu
dilakukan dengan menumpangkan tangan kepada orang-orang yang
ditahbiskan. Ini mengikuti tradisi yang
sudah dilakukan sejak gereja mula-mula, di mana para rasul menetapkan beberapa
jabatan yang dikenal dalam Perjanjian Baru seperti diakon (Kis. 6: 6), dan penatua dengan menumpangkan tangan (1
Tim. 5: 22) . Sedangkan para rasul melakukan itu mengikuti tradisi Yahudi. Musa menumpangkan tangan atas Yosua ketika
mengangkat dirinya sebagai gantinya ( Bilangan 27: 15-23; Ul. 34: 9). Hasilnya
Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan yang diperlukan untuk menjalankan
jabatan itu. Mengikuti cara ini , para rabbi Yahudi telah mengembangkan tahbisan mereka sendiri.
Apabila seseorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya,
maka dia ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan
maksud untuk menyatakan bahwa rantai tradisi yang menjangkau hingga Musa akan
diperpanjang lagi dengan penambahan
rantai yang lain, pemberian hikmat kebijaksanaan kepada ahli yang berhak untuk
itu oleh gurunya.
Praktek yang lain sehubungan dengan penumpangan tangan ini
dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit yang dilakukan oleh
Yesus. Cerita seperti ini banyak kita jumpai dalam kitab Injil, tetapi dapat
kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat oleh Lukas: “… semua orang
membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam
pemyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya
atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka” (Luk. 4: 10). Tangan juga diletakkan pada pemberkatan (misalnya, pemberkatan Yesus atas
anak-anak, Markus 10: 16) dan juga di
dalam rangka baptisan ( Kis. 8: 17; 19: 6).
Makna dari peletakan atau penumpangan tangan itu hanya sebagai simbol pemberian
berkat atau kuasa dari Tuhan bagi orang yang kepadanya dilakukan
penumpangan tangan itu. Tidak ada
sesuatu pemahaman yang bersifat magis di
dalamnya. Artinya tidak otomatis bagi orang yang telah dilakukan peletakan
tangan akan memperoleh berkat atau kuasa yang diperlukan. Itu tergantung kepada kesediaan orang tersebut
untuk menerimanya dari Tuhan melalui
persiapan-persiapan dan penyerahan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan untuk
melakukan tugas-tugas panggilan yang diberikan oleh Tuhannya. Karena itu
sebelum penumpangan tangan itu dilakukan, maka orang yang ditahbiskan itu
mengucapkan janji yang disaksikan
oleh anggota-anggota jemaat yang ikut
berkumpul dalam acara penahbisan itu. Ada yang berpendapat bahwa jabatan
pendeta yang diberikan oleh Tuhan Allah melalui gereja tidak dapat lagi
dicabut-cabut dari orang yang telah menerimanya, karena jabatan katanya jabatan
itu diterimanya bukan dari pimpinan
gereja, tetapi langsung dari Tuhan Allah.
Tetapi pemahaman HKBP tidak seperti itu. Bagi HKBP jabatan itu bisa
dicabut apabila orang yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tugas pelayanan
yang disampaikan kepadanya, atau dia sudah melanggar peraturan gereja atau
melakukan pekerjaan yang mencemari “tohonan” nya.
5.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan,
yakni:
i)
Jabatan (tohonan) pendeta adalah suatu panggilan, yakni panggilan dari Allah untuk
melakukan pekerjaan khusus dari Allah, yakni memberitakan kabar
keselamatan kepada semua bangsa dan
ciptaan Allah, memelihara orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus
melalui pemberitaan Firman dan
penggembalaan, melayani sakramen, dan pelayanan-pelayanan lain yang mendukung
tugas panggilan tersebut.
ii)
Jabatan itu pada hakekatnya dimengerti sebagai pelayanan, bukan sebagai kedudukan
atau posisi tinggi yang memberikan kehormatan dan keuntungan-keuntungan duniawi
bagi orang yang bersangkutan. Karena itu pendeta yang memegang jabatan itu adalah sebagai
hamba, bukan tuan. Yang memegang jabatan itu bukan seorang yang luar biasa,
tetapi dia menyampaikan sesuatu yang
laur biasa.
iii)
Sebutan pendeta, yang berasal dari bahasa Sansekerta
“pandita”, yang dipakai oleh pada umumnya gereja-gereja Protestan di
Indonesia, khususnya gereja HKBP, karena sifat dan peleyanan yang diharapkan
dari seorang “pandita” Hindu, sama dengan sifat dan pelayanan yang diharapkan dari seorang pendeta gereja
yakni: selalu memberitakan kebenaran,
selalu dapat dipercayai sebagai tempat
memohon kesucian, dan memiliki kewajiban
untuk memberi pendidikan tentang nilai-nilai yang baik kepada masyarakat. Pendeta juga sebagai
pelayan Tuhan, diharapkan selalu membawa
kebenaran Firman Tuhan kepada jemaat,
dan juga memberi pengajaran dan tuntunan yang baik kepada Umat Tuhan dan masyarakat berdasarkan nilai kekristenan yang benar.
iv)
Sesuai dengan dengan
pemahaman dan kepercayaan gereja-gereja Reformasi, semua jabatan yang
dikenal dalam Perjanjian Baru, telah
dicakup dalam jabatan pendeta. Tetapi untuk membantu pendeta dalam menjalankan
tugas panggilannya itu tetap diperlukan jabatan-jabatan yang lain seperti guru,
diakon, penginjil wanita (bibelvrow), evangelis, dan penatua.
v)
Jabatan pendeta
diberikan oleh Allah Tritunggal
melalui gereja di mana pendeta akan menjalankan tugas panggilan itu, yang
penahbisannya dilakukan oleh Pimpinan gereja dan didampingi oleh pendeta-pendeta lainnya melalui
suatu ibadah gereja yang dikhususkan untuk itu.
Penahbisan itu yang dilakukan dengan penumpangan tangan, merupakan
pemberian kuasa dari Allah, setelah lebih dulu orang yang menerima tahbisan itu
berjanji untuk melakukan semua tugas panggilan yang disampaikan dengan segenap
hidupnya.
vi)
Jabatan itu bukanlah secara otomatis milik sepenuhnya dari
pendeta tersebut yang tidak bisa
dicabut-cabut lagi. Jabatan itu bisa dicabut, kalau orang yang memegang jabatn
itu tidak lagi melakukan tugas panggilannya sesuai dengan “tohonan” yang
diterima, atau kalau melanggar peraturan gereja.
Sumber kepustakaan:
1.
M.S.M. Panjaitan, Jabatan
Pastoral dalam Perjanjian Baru, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP
Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
2.
Carl A.Volz, Pastoral
life and practice in the early church, Augsburg, Minneapolis, 1990.
3.
J.R.Hutauruk, Ordinasi:
Arti, masalah dan Relevansinya, dalam ‘VOCATIO DEI’, Journal STT-HKBP
Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
4.
P.W.T. Simanjuntak, Tunaikanlah
tugas pelayananmu (Sahat ula tohonanmi), dalam “VOCATIO DEI”, Journal
STT-HKBP, Edisi Pebruari 1992
5.
B.H. Situmorang, Jabatan-jabatan
di HKBP, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP, Edisi Pebruari 1992
6.
AGENDE,Buku Tata Ibadah
Huria Kristen Batak, Percetakan Mission,
Narumonda Toba, 1904
7.
Panindangion Haporseaon
(Pengakuan Iman HKBP 1996.