Minggu, 24 November 2019

JABATAN PENDETA SEBAGAI PANGGILAN

Jabatan” (Tohonan) pendeta sebagai panggilan
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh ( Pendeta HKBP Emeritus)

1.      Pendahuluan
            Banyak orang yang mengertikan bahwa jabatan pendeta itu sebagai profesi, sama seperti pekerjaan-pekerjaan yang lain. Pada hal secara teologis dan secara gerejawi  jabatan pendeta  bukanlah sebuah profesi melainkan sebagai panggilan.  Mungkin sulit  untuk membedakan antara  profesi dan panggilan.  Profesi adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus, misalnya profesi guru, profesi dokter, profesi yang bergerak di bidang hukum, tehnik, desainar, tehnik, dll.  Profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan  adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik  sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Profesi bisa diperoleh atas upaya manusia itu sendiri. Sedangkan jabatan pendeta pekerjaan khusus yang diberikan Allah melalui panggilan.
            Panggilan adalah suatu tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang mengacu kepada pelayanan.  Seseorang dipanggil oleh Tuhan  untuk mengabdikan dirinya dalam  pekerjaan khusus Allah di dunia ini, yang berhubungan dengan karya penyelamatan yang direncanakan terhadap umat-Nya.  Misalnya  dalam Kitab Perjanjian Lama Musa dipanggil oleh Allah untuk mnyelamatkan bangsa-Nya dari perbudakan Mesir  dan memimpinnya memasuki tanah perjanjian Kanaan. Para nabi  dipanggil oleh  Allah untuk menyampaikan Firman-Nya  kepada umat-Nya  agar hidup sesuai dengan  hukum Tuhan demi keselamatan mereka. Dengan panggilan itu para nabi bisa menyampaikan tegoran  atau kecaman kepada umat Allah, apabila telah melakukan hal-hal yang menyimpang atau melawan hukum Tuhan, agar mereka bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jadi di dalam pangilan itu terkandung  suatu pemberian tugas   untuk melayani Allah  dalam menjalankan suatu  pekerjaan khusus atau mencapai suatu tujuan khusus. Dalam Perjanjian Baru pengertian panggilan itu juga sama.  Panggilan itu pada mulanya  diarahkan kepada pemanggilan kedua belas murid Yesus untuk dipersiapkan menjadi para rasul-Nya yang kelak akan diutus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah ke segenap bangsa di dunia ini, serta mengajarkan apa yang sudah  diperintahkan Yesus kepada mereka. Dalam perkembangan selanjutnya panggilan itu semakin meluas  sejalan dengan berdirinya gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus sebagai buah dari penginjilan itu sendiri di berbagai  daerah di dunia ini. Muncullah berbagai jabatan pelayanan di dalam gereja, yang berdasar kepada panggilan  Tuhan kepada masing-masing mereka.
2.      Pengertian jabatan pendeta

Pada umumnya gereja-gereja protestan di Indonesia mempergunakan sebutan pendeta kepada  orang yang mempunyai tugas panggilan  sebagai  pelayan Firman Tuhan dan tugas penggembalaan  atau kepemimpinan dalam gereja. Pada umumnya gereja-gereja Prostentan di Eropa memakai kata pastor, dan Gereja Katolik Roma di Indonesia juga memakai kata pastor atau imam. Kata pendeta dipakai sebagai terjemahan dari kata”pastor” (gembala) yang dipakai di gereja-gereja Eropa.  Kata itu berasal dari bahasa Sansekerta yakni “pandita”.  Gereja  HKBP  yang merupakan hasil penginjilan “Rheinische Missionsgesselschaf” (RMG) dari Jerman langsung memakai kata “pandita” untuk menerjemahkan  sebutan “pastor” yang dipergunakan  di gereja-gereja Jerman  atau “Reverend” (orang yang terhormat) di gereja-gereja Inggris.  Sejak awal para missionar yang diutus oleh RMG mengenakan sebuatn itu untuk para pelayan pribumi (orang Batak) yang telah memperoleh pendidikan khusus di bidang teologi dan pelayanan kegerejaan  setelah memperoleh pengalaman melayani sebagai “guru” paling sedikit sepuluh tahun. Sedangkan para missionar itu  tidak dipanggil dengan sebutan pendeta, tetapi  dengan sebutan “tuan”.  Gereja-gereja di Indonesia yang mempunyai latar-belakang penginjilan dari Belanda  sempat memakai  sebutan “Dominus” (disingkat Ds), dan diucapkan Domine, yang artinya juga  Tuan.  Sempat juga  sebutan itu dipakai  di sebagian pendeta HKBP, yakni para pendeta yang tamat dari “Hoogere Theologische School” (HTS),  yakni Sekolah Theologia Tinggi  yang berdiri di Jakarta mulai tahun  1934.  Sekolah ini kemudian ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta.  Sebutan itu dipakai untuk membedakan  para pendeta yang tamat dari HTS Jakarta dan yang tamat dari Seminari Passurnapitu dan Seminari Sipoholon. Ada juga gereja-gereja di Indonesia, terutama yang  memakai  sebutan itu  untuk pendetanya. Tetapi  sekarang pada umumnya gereja-gereja Protestan  baik yang merupakan hasil penginjilan dari Lembaga-lembaga Zending dari Eropa, maupun gereja-gereja  Pentakosta atau juga Kharismatis  yang pada umumnya berasal dari Amerika, sudah memakai sebutan pendeta untuk pelayan yang berfungsi sebagai gembala di gerejanya.
Dalam tradisi Hindu atau Budha, “pandita” berarti guru agama, kaum brahmana,  orang terpelajar yang memiliki banyak pengetahuan. Ucapan seorang pandita  diyakini sebagai kebenaran atau dharma. Karena itu dalam tradisi Hindu, ada empat sifat  yang harus ditunjukkan oleh seorang pandita, yakni: pertama, Sang Satya Wadi artinya selalu membicarakan kebenaran; kedua, Sang Apta artinya selalu dapat dipercayai; ketiga, Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian; keempat, Sang Penadahan Upadesa artinya  memiliki kewajiban memberi pendikan  moral kepada masyarakat. Oleh karena itu, pandita disebut Adi Guru Loka yaitu guru utama dalam lingkungan masyarakat.
Karena mempunyai persamaan  dengan seorang pelayan Tuhan yang diharapkan sebagai pembawa Firman Tuhan kepada Jemaat Tuhan dan juga memberi pengajaran dan tuntunan  yang baik  kepada umat Tuhan melalui penggembalaan, dan juga  memberi pengajaran  tentang nilai-nilai kekristenan  kepada semua orang, maka istilah pandita itulah yang dipakai oleh Gereja Batak (HKBP) melalui para missionar kepada setiap orang yang terpangil untuk  mengemban tugas tersebut.  Tugas pelayanan tersebut dinamai “tohonan”  yakni istilah Batak yang sangat sulit diterjemahkan dalam bahasa lain. Ada yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata “toho” (tepat) dan “an” (itu) yang artinya si Anulah yang tepat untuk melakukannya atau membicarakannya. Jadi “tohonan” adalah suatu pekerjaan khusus yang sangat penting yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang ditentukan untuk itu, yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang lain. Sebelum masuknya kekristenan di Tanah Batak, istilah itu sudah dipakai  di tengah-tengah masyarakat Batak yang juga dikenakan kepada orang-orang yang mempunyai pekerjaan khusus, seperti  kepada “datu” (tohonan datu),  “raja’ (tohonan raja),  pembicara dalam adat (tohonan raja parhata),   status sebagai  abang (tohonan sihahaan), dan lain-lain.  Dalam masyarakat Batak “tohonan” itu juga mempunyai makna kehormatan atau status  dalam masyarakat.  Latar belakang pemahaman Batak  akan “tohonan” itu kelihatannya  juga berpengaruh kepada pemahaman  akan “tohonan” dalam gereja, karena ada yang menganggap “tohonan” dalam gereja itu  juga sebagai kehormatan.  Apalagi karena sulitnya memeperoleh terjemahan yang tepat terhadap istilah itu.  Sampai sekarang  terjemahan yang  banyak dipakai untuk menyebut “tohonan” adalah  jabatan, yang pada dirinya  dalam pengertian jabatan terkandung  arti status yang mempunyai makna kehormatan di tengah-tengah masyarakat.
Di tengah-tengah Gereja Batak (HKBP), dalam sejarahnya “tohonan pandita” merupakan “tohonan” yang ketiga. Tetapi walaupun muncul sebagai tohonan yang ketiga, di kemudian hari “tohonan pandita” dikenal sebagai “tohonan pokok”. “Tohonan” yang pertama diberikan kepada orang Kristen Batak ialah “tohonan sintua”, yang tugas utamanya sebagai teman sekerja dari para misionar itu untuk menggembalai  para anggota jemaat yang ada di lingkungannya, termasuk menggiatkan mereka untuk rajin mengikuti kebaktian minggu, menggiatkan anak-anak untuk rajin pergi ke sekolah, mendekati orang-orang yang belum Kristen untuk ikut menerima keselamatan dari Kristus.  Itu diberikan bagi empat orang putera Batak  yang sudah Kristen tahun 1867, di gereja Dame Saitnihuta, Tarutung. “Tohonan guru” mulai diberikan tahun  1873 yakni kepada lima orang petera Batak  yang telah menyelesaikan  pendidikan sebagai Guru Injil di Seminari Parausorat yang mulai dibuka tahun 1868.  Guru-guru ini diberi tugas untuk mengajar anak-anak di sekolah asuhan zending, dan sekaligus juga melayani  di Jemaat yang menyatu dengan sekolah tersebut. Mereka berfungsi sebagai pengajar dan juga sebagai pengkhotbah (teacher-preacher).  “Tohonan pandita” mulai diberikan  kepada putera Batak tahun 1885,  yakni kepada tiga orang yang tamat dari Sekolah Pendeta yang mulai dibuka di Seminari Passurnapitu tahun 1885.  Tugas dari para pendeta tersebut  yang diberikan pada waktu  itu adalah untuk memelihara anggota jemaat, melalui pemberitaan Firman, pelayanan sakramen, penggembalaan,  perkunjungan kepada orang sakit,  “paminsangon” (penegoran), pemeliharaan dan pemberian ajaran yang murni sesuai dengan yang disaksikan dalam Alkitab,  menuntun anak-anak,  menjadi teladan dalam setiap perilaku hidup, menjalankan apa yang diputuskan oleh  sinode, dan lain-lain.  Inilah “tohonan hapanditaon”  yang diterima oleh seorang pendeta HKBP, yang diterima pada waktu penahbisan  dirinya sebagai pendeta, seperti dituliskan dalam Agenda (Tata Ibadah) Penahbisan Pendeta. “Tohonan” itu  diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja, melalui  gereja-Nya di dunia ini. Dalam menerima itu seorang pendeta harus berjanji untuk melakukannya  dengan segenap hidupnya.  Inilah juga penampakan pelayanan Kristus  dengan tiga jabatan-Nya itu, yakni sebagai nabi, imam dan raja.  Dan untuk meneruskan pelayanan Kristus  itu di dunia ini, di gereja mula-mula diangkatlah rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, pengajar, diaken/ diakones, penetua, uskup (pengawas).  Dengan mengikuti tradisi  Gereja Reformasi, HKBP  mengaku bahwa  semua pelayanan dan jabatan-jabatan  tersebut telah dicakup dalam jabatan (tohonan) kependetaan.  Ini dinyatakan oleh HKBP dalam Pengakuan Iman (Konfessi)  HKBP tahun 1996 pasal 9.

3.       Jabatan kependetaan dalam gereja-gereja Mula-mula.

Sumber-sumber yang memberi informasi bagi kita mengenai jabatan kependetaan dalam gereja mula-mula adalah Kitab Perjanjian Baru, khususnya Kitab Kisah Rasul-rasul, dan juga Surat-surat para rasul. Jabatan-jabatan itu adalah rasul, nabi, pemberita Injil, pengajar (guru), gembala,  diakon/diakones,  penetua (persbyteros), dan penilik atau pengawas (epsikopos)  Jemaat.  Seperti sudah dijelaskan di atas, HKBP mengakui bahwa semua jabatan-jabatan tersebut sudah tercakup dalam “tohonan” pendeta.  Itu berarti bahwa semua pelayanan yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut adalah masuk dalam  tugas pelayanan seorang pendeta. Memang di HKBP, masih ada jabatan-jabatan pelayanan yang lain  selain pendeta, yakni guru,  bibelvrow (penginjil wanita), diakon/ diakones, evangelis (pemberita injil), dan “sintua” (penetua). Tetapi semua  jabatan itu tidak terlepas dari jabatan pendeta, dan semua pelayanan mereka adalah membantu  tugas pelayanan  pendeta.

3.1.  Para rasul

Pada zamannya, Yesus telah memanggil dua belas orang menjadi murid-murid-Nya. Ke dua belas orang itu  diajari dan dilatih selama lebih kurang tiga tahun untuk  menjadi  “apostolos” yang artinya rasul, utusan-Nya untuk memberitakan Injil keselamatan yang dibawa-Nya ke seluruh bangsa di dunia ini. Bilangan dua belas adalah bilangan simbolis, menunjuk kepada kedua belas suku Israel. Itu juga memberi petunjuk kepada arti gereja sebagai Israel yang baru. Mereka inilah para saksi dari kehidupan, kematian dan kematian Yesus (Ksi. 1: 4-11). Setelah  tiadanya Yudas Iskariot yang bunuh diri karena menghianati Yesus,  jumlah dua belas itu tetap dipertahankan dengan memilih  Matias sebagai gantinya. Namun dalam perkembangan kemudian, istilah  “rasul” lebih sering dipakai untuk menyebut  utusan langsung dari Yesus, dari pada sebuatn “kedua belas” orang itu.
Utusan “rasul” yang datang dari pemikiran Yahudi berarti seorang utusan (duta) yang dihunjuk dengan mempunyai tanggung-jawab yang penuh untuk mewakili  seseorang yang mengutus dia. Dalam Kitab Perjanjian Baru( PB) para rasul disebut meliputi yang dua belas orang itu, ditambah dengan beberapa orang lain yang telah melihat  Yesus yang bangkit itu dan yang ditetapkan melalui Roh Kudus. Rasul-rasul   yang disebut selain dari yang dua belas itu ialah Paulus, Barnabas, Silvanus dan Yakobus, saudara Yesus. Mereka adalah penginjil-penginjil utama. Paulus tidak pernah mempersamakan dirinya dengan yang dua belas itu, namun dia dengan keras mempertahankan bahwa dia tergolong rasul ( 1Kor. 15: 8-10). Para rasul bukan hanya bertugas untuk mengabarkan Injil, tetapi mereka juga berbuat dengan kuasa atas orang-orang sakit dan setan-setan (Matius 1: 1dst). Karena ke dua belas dan para rasul itu  langsung diperhubungkan dengan pelayanan Kristus yang memanggil mereka di dunia ini, maka bagi mereka tidak ada pergantian. Mereka mempunyai murid-murid sendiri, tetapi murid-murid mereka itu tidak diangkat menjadi rasul untuk menggantikan mereka.
Para rasul yang dua belas itu adalah pemimpin-pemimpin  pertama dari gereja mula-mula. Mereka mempertahankan kepemimpinan gereja di Yerusalem hingga hancurnya kota itu tahun 70 M oleh tentera Romawi. Paulus sebagai  seorang  yang mempunyai kuasa rasul dari Yesus Kristus, umumnya berhubungan dengan jemaat-jemaat yang didirikan. Dia berbicara mengenai tekanan-tekanan yang  mengenai seluruh jemaat. Dia dipanggil untuk menyelesaikan perselisihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai sikap dan perilaku Kristen, memperdamaikan kelompok-kelompok yang bertikai, menghadapi masalah hubungan antara tuan-tuan dan hamba-hamba, dan sejumlah issu yang lain.

3.2.  Tiga serangkai pemimpin gereja: rasul, nabi dan pengajar

Dalam suratnya ke jemaat Korintus Paulus menyebut adanya dua jabatan yang baru selain rasul, yakni nabi dan pengajar. Dia menulis “Allah telah menetapkan  beberapa orang dalam Jemaat; pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar” ( 1 Kor. 12: 28). Dengan menyebut ketiga jabatan itu dalam pola hierarkhis, Paulus memberi bukti akan adanya tiga serangkai kepemimpinan gereja mula-mula. Setelah para rasul muncul para nabi dan pengajar. Sebagaimana halnya jabatan rasul, jabatan yang dua lagi juga dipercayai sebagai karunia roh yang membangun persekutuan jemaat.  Nabi-nabi, dan kdang-kadang juga para pengajar, melayani jemaat keseluruhan secara berpindah-pindah. Ruang lingkup pelayanan mereka tidak terbatas pada satu tempat saja. Mereka dikenal dengan peranan pelayanan mereka melalui  karunia-karunia khusus dari Roh Kudus bagi diri mereka. Mmereka tidak dipilih kepada jabatan mereka itu dan juga tidak ditetapkan melalui suatu upacara gerejawi.
Kalau para rasul banyak dikenal sebagai misioner-misioner yang mendirikan persekutuan-persekutuan (jemaat) Kristen, para nabi adalah yang memelihara jemaat-jemaat baru itu. Karena sifat pelayanan mereka yang berkeliling, nabi-nabi tidak selalu hadir  dalam suatu jemaat setempat, melainkan mereka datang dan pergi  sesuai dengan keinginan mereka. Mengikuti contoh dalamn Kitab Perjanjian Lama (PL), nabi-nabi mula-mula bertumbuh dalam jemaat-jemaat Kristen Yahudi (Ksi. 11: 27; 15: 32). Tetapi mereka juga di jemaat-jemaat campuran (yahudi dan non-Yahudi) dan juga dalam jemaat-jemaat yang khusus berasal dari non- Yahudi  (Kis. 11: 27; Roma 12: 6-7). Beberapa nabi yang disebut ialah Agabus (Kis. 11: 28), Barnabas, Simeon Niger, Lukius orang Kirene ( Kis. 13: 1 dst) dan juga Yudas dan Silas. Selain itu ada sejumlah nabiah, seperti keempat putri Filipus ( Kis. 21: 9). Jabatan nabiah muncul dalam gereja mula-mula sampai  akhir abad pertama.
Selain mempunyai karunia untuk mengabarkan Firman Allah, nabi juga menjalankan peranan khusus dalam menjalankan disiplin gereja dan dalam menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah  untuk memberi pengampunan  disampaikan melalui para nabi. Dengan otoritas demikian, tidak mengherankan apabila nampak para nabi memikul suatu peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus kadang-kadang merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak memegang jabatan kepemimpinan bagi jemaat-jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang penyelesaian pertikaian yang terjadi di antara orang-orang percaya. Karena itu tidaklah juga mengherankan kalau otoritas yang demikian kadang-kadang disalahgunakan dan juga dipraktikkan oleh semacam dukun yang memperdagangkan kepercayaan orang-orang Kristen. Dalam PB ada juga kita jumpai sejumlah peringatan untuk melawan “nabi-nabi palsu” (Mat. 7: 15; 24: 11)  dan juga perlunya untuk menguji nabi-nabi  ( 1 Yoh. 4: 1). Ujian yang diberikan kepada mereka haruslah dengan melihat konsistensi dan pemberitaan mereka dengan apa yang telah mereka terima dan juga dengan kehidupan mereka sehari-hari ( 1 Yoh. 4: 1).
Para pengajar merupakan golongan ketiga dari pelayan-pelayan kharismatik, setelah para rasul dan nabi-nabi. Dalam banyak hal mereka menunjukkan fungsi yang sama dengan nabi-nabi, sehingga garis perbedaan di antara mereka sulit digambarkan. Seorang nabi kadang-kadang juga berfungsi sebagai pengajar. Di jemaat Antiokhia, para nabi dan pengajarlah yang menetapkan Paulus dan Barnabas untuk menjalankan missinya ke Siprus dan juga yang “meletakkan tangan ke atas mereka serta mengutus mereka” (Kis. 13: 1-3). Suatu fungsi khusus dari pengajar  ialah untuk mempersiapkan para katekumen  untuk baptisan dan juga menyelenggarakan pengajaran lanjutan bagi mereka. Dalam perjalanan sejarah gereja selanjutnya kelihatan fungsi pengajar ini lebih lama bertahan dari fungsi nabi. Sampai abad ke empat kita masih menemukan lagi sejumlah pengajar dalam gereja. Yustinus Martir dan Tatianus misalnya adalah pengajar-pengajar yang kita temukan pada abad ke dua, Klemen dan Origenes pengajar dari Alexandria pada abad ke tiga. Dalam buku Sejarah Gerejanya, Eusebius masih menyebut adanya jabatan pengajar pada abad ke empat, di samping jabatan penetua.

3.3. Para uskup (penilik), penatua dan diakon

Di samping para rasul, nabi dan pengajar, masih ada kelompok pelayan yang lain yang dijumpai  dalam PB, yakni para penilik, penatua dan diakon.  Pada mulanya jabatan “penilik” (bahasa Yunani episkopos) dan “penatua” (bahasa Yunani presbyteros) mempunyai pengertian yang hampir sama. Jabatan penilik mungkin nula-mula berkembang di  jemaat-jemaat Yunani, karena di dunia Hellenis (dunia Yunani) jabatan penilik sudah dikenal sebelumnya sebagai pemimpin di lembaga-lembaga kemasyarakatan. Jabatan “episkopos”, misalnya lazim  dikenakan bagi pemimpin perserikatan sosial, kelompok atletik, termasuk pemimpin  pemerintahan kotapraja. Ketika Paulus mengucapkan salam bagi para penilik  dan diakon jemaat Filipi, dia memakai istilah yang sudah umum dikenal masyarakat di sana. Adalah menarik bahwa Paulus memakai istilah itu dalam bentuk plural  yakni “episkopoi”. Itu menunjukkan bahwa di jemaat itu telah ada lebih dari satu penilik, kecuali jika dengan istilah itu para penatua juga turut dimaksudkan. Tetapi walaupun istilah penilik  dipinjam dari lingkungan budaya  Hellenis, namun gereja telah mengertikan jabatan itu dengan arti dan kuasa rohani. Pada pembicaraannya di Miletus, Paulus telah menyebutkan bahwa para penilik adalah orang-orang yang ditetapkan Roh Kudus untuk menggembalakan  jemaat Allah (Kis. 20: 28).
Sebutan “para penatua” (presbyteroi) untuk pertama kali mauncul pada waktu pengumpulan bantuan bagi orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11: 30). Tanpa diragukan istilah itu adalah dipinjam dari lingkungan Yahudi pada waktu itu.  Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge (rumah ibadat)  mempunyai badan penatua (sanhedrin) yang berfungsi sebagai badan pengadilan dan pemerintahan. Mereka terdiri dari “pemimpin, ahli taurat dan imam-imam besar” (Kis. 4: 5.8.23). Di Jemaat Yerusalem para penatua itulah yangmenerima bantuan yang dikirim dari Jemaat Antiokhia untuk disalurkan kepada setiap orang yang membutuhkan, bukan yang dua belas orang itu, yang pada waktu itu mungkin telah tersebar karena penghambatan yang terjadi. Beberapa tahun kemudian kita menemukan lagi para penatua pada sidang di Yerusalem bersama-sama dengan yang dua belas rasul itu. Setelah itu mereka disebut-sebut lagi dalam Surat-surat Penggembalaan ( 1 Tim. 3: 2; Titus 1: 7). Itu memberi petunjuk bahwa jabatan penatua juga telah merupakan bagian dari jemaat Kristen Yunani, sebagaimana halnya juga jemaat Kristen Yahudi. Nampaknya seluruh penilik pada mulanya adalah juga penatua-penatua yang dipilih  untuk mengetuai badan penatua  dalam memimpin satu-satu jemaat.

3.4. Ketujuh orang yang melayani orang miskin

Hadirnya ketujuh orang pelayan seperti yang diberikatakan dalam Kis. 6: 1-7, menunjukkan suatu perkembangan dalam konsep jabatan dalam gereja mula-mula, karena satu jabatan telah diteapkan oleh Jemaat itu sendiri, tidak langsung oleh Roh Kudus. Pada waktu itu “persekutuan murid-murid”( anggota-anggota jemaat) itu dimintakan oleh kedua belas rasul tersebut untuk memilih dari antara mereka sebanyak tujuh orang yang  dikenal baik, yang penuh Roh dan hikmat (Kis. 6: 3) untuk diangkat dalam tugas “pelayanan meja”. Karena anggota-anggota jemaat itu memilihnya dari antara mereka, tentu pemilihan itu dilakukan dengan proses demoktratis, barulah setelah itu para rasul meletakkan tangan di atas mereka dan berdoa. Walaupun istilah “diakonia” merupakan istilah yang umum bagi seluruh jenis pelayanan gereja,  namun “diakon”   pejabat khusus yang ditetapkan pada waktu itu  khusus untuk “pelayanan meja”.  Tugas itu juga meliputi pendistribusian bantuan yang datang  dan pemeliharaan harta fisik gereja. Selain itu mereka biasanya juga  berfungsi untuk membawa  (atau menyanyikan) epistel  dan Injil pada waktu Persembahan Kudus, menerima persembahan dan membantu pelayanan Perjamuan Kudus itu. Diakon juga kemudian berfungsi sebagai pelayan administratif dari seorang  uskup (penilik).

4.       Pemberian “tohonan” pendeta

Semua jabatan-jabatan yang dikenal dalam gereja mula-mula adalah merupakan  jabatan panggilan, yakni panggilan dari Allah.  Sebagian pemegang jabatan itu langsung dipanggil oleh Allah melalui Yesus Kristus atau melalui kuasa Roh Kudus, seperti para rasul dan para nabi. Tetapi  jabatan-jabatan yang lain  dipanggil  dengan perantaraan para rasul atau dengan perantaraan gereja. Gereja yang dalam bahasa Yunani disebut ekklesia berarti orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang dipanggil keluar dari dunia ini  yang dihimpun dalam satu persekutuan  oleh Roh Kudus. Karena itu gereja juga berarti persekutuan orang-orang percaya. Para rasul yang menerima panggilan itu langsung dari Yesus Kristus, diteguhkan melalui kuasa Roh Kudus yang dicurahkan kepada mereka pada hari Pentakosta ( Kis. 2). Merekalah   yang kemudian menyampaikan jabatan-jabatan yang lain melalui penahbisan penumpangan tangan. Para penilik (uskup) atau episkopos  misalnya yang  ditahbiskan oleh para rasul,  melakukan hal yang sama kepada penggantinya sehingga terjadilah penurunan jabatan itu secara berkesinambungan.  Dalam  dogma Gereja Roma Katolik hal itu disebut “successio apostolica”,  yang artinya pewarisan jabatan rasuli, yakni mulai dari Yesus kepadapara rasul, dari para rasul kepada para uskup, dan seterusnya secara berkesinambungan sehingga terjadi mata-rantai dari jabatan itu yang  berkesinam bungan terus. Dalam Gereja-gereja Protestan pada umumnya ajaran  pewarisan jabatan tersebut ditolak. Bagi Gereja-gereja Protestan,  Kristus yang menjadi kepala gereja, dan gereja sebagai tubuh Kristus, memberikan kuasa kepada gereja untuk mengadakan pelayan-pelayan yang melakukan segala tugas pelayanan yang diamanatkan kepada gereja itu sendiri. Jabatan itu adalah jabatan pelayan yang bukan menjadi milik dari pelayan itu sendiri.  Kalau pelayan itu tidak lagi menjalankan fungsinya atau mengingkari apa yang sudah dia janjikan untuk dilaksanakan, maka gereja bisa mencabut kembali jabatan tersebut, sehingga dia kembali sebagai anggota jemaat biasa.
Pemberian  (tohonan) jabatan pelayanan pendeta kepada seseorang melalui suatu proses yang panjang.   Itu dilakukan oleh gereja mulai dari mempersiapkannya melalui pendidikan yang dibutuhkan untuk setiap pengemban jabatan-jabatan tersebut.  Misalnya untuk gereja HKBP dalam memberikan jabatan pelayanan pendeta itu melalui proses yang panjang. Bagi orang-orang yang terpanggil untuk jabatan pelayanan itu dipersiapkan  dengan pendidikan khusus (Sekolah pendeta dan Pendikan Theologi) dan latihan-latihan yang diberikan  orang-orang yang ditugaskan khusus untuk itu oleh gereja dalam kurun waktu tertentu..  Setelah menyelesaikan seluruh pendidikan, pelatihan dan persiapan-persiapan yang dibutuhkan, maka pendeta ressort dan praeses di  ressort atau distrik di mana mereka menjalani masa pelatihan itu,  memberikan rekomendasi kepada pimpinan HKBP, kalau mereka sudah layak untuk ditahbiskan. Di gereja HKBP tahbisan itu diberikan oleh Ephorus sebagai Pimpinan HKBP, yang didampingi oleh sejumlah pendeta HKBP.
Penahbisan itu  dilakukan dengan menumpangkan tangan kepada orang-orang yang ditahbiskan.  Ini mengikuti tradisi yang sudah dilakukan sejak gereja mula-mula, di mana para rasul menetapkan beberapa jabatan yang dikenal dalam Perjanjian Baru seperti diakon (Kis. 6: 6),  dan penatua dengan menumpangkan tangan (1 Tim. 5: 22) . Sedangkan para rasul melakukan itu mengikuti tradisi Yahudi.  Musa menumpangkan tangan atas Yosua ketika mengangkat dirinya sebagai gantinya ( Bilangan 27: 15-23; Ul. 34: 9). Hasilnya Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan yang diperlukan untuk menjalankan jabatan itu. Mengikuti cara ini , para rabbi Yahudi  telah mengembangkan tahbisan mereka sendiri. Apabila seseorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya, maka dia ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan maksud untuk menyatakan bahwa rantai tradisi yang menjangkau hingga Musa akan diperpanjang  lagi dengan penambahan rantai yang lain, pemberian hikmat kebijaksanaan kepada ahli yang berhak untuk itu oleh gurunya.
Praktek yang lain sehubungan dengan penumpangan tangan ini dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit yang dilakukan oleh Yesus. Cerita seperti ini banyak kita jumpai dalam kitab Injil, tetapi dapat kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat oleh Lukas: “… semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam pemyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya  atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka” (Luk. 4: 10).  Tangan juga diletakkan pada pemberkatan  (misalnya, pemberkatan Yesus atas anak-anak,  Markus 10: 16) dan juga di dalam rangka baptisan ( Kis. 8: 17; 19: 6).  Makna dari peletakan atau penumpangan tangan itu hanya sebagai simbol  pemberian  berkat atau kuasa dari Tuhan bagi orang yang kepadanya dilakukan penumpangan tangan itu.  Tidak ada sesuatu  pemahaman yang bersifat magis di dalamnya. Artinya tidak otomatis bagi orang yang telah dilakukan peletakan tangan akan memperoleh berkat atau kuasa yang diperlukan.  Itu tergantung kepada kesediaan orang tersebut untuk menerimanya dari Tuhan  melalui persiapan-persiapan dan penyerahan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan untuk melakukan tugas-tugas panggilan yang diberikan oleh Tuhannya. Karena itu sebelum penumpangan tangan itu dilakukan, maka orang yang ditahbiskan itu mengucapkan janji  yang disaksikan oleh  anggota-anggota jemaat yang ikut berkumpul dalam acara penahbisan itu. Ada yang berpendapat bahwa jabatan pendeta yang diberikan oleh Tuhan Allah melalui gereja tidak dapat lagi dicabut-cabut dari orang yang telah menerimanya, karena jabatan katanya jabatan itu  diterimanya bukan dari pimpinan gereja, tetapi langsung dari Tuhan Allah.  Tetapi pemahaman HKBP tidak seperti itu. Bagi HKBP jabatan itu bisa dicabut apabila orang yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tugas pelayanan yang disampaikan kepadanya, atau dia sudah melanggar peraturan gereja atau melakukan pekerjaan yang mencemari “tohonan” nya.

5.      Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
i)        Jabatan (tohonan) pendeta adalah suatu  panggilan, yakni panggilan dari Allah untuk melakukan pekerjaan khusus dari Allah, yakni memberitakan kabar keselamatan  kepada semua bangsa dan ciptaan Allah, memelihara orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus melalui  pemberitaan Firman dan penggembalaan, melayani sakramen, dan pelayanan-pelayanan lain yang mendukung tugas panggilan tersebut.
ii)      Jabatan itu pada hakekatnya dimengerti  sebagai pelayanan, bukan sebagai kedudukan atau posisi tinggi yang memberikan kehormatan dan keuntungan-keuntungan duniawi bagi orang yang bersangkutan. Karena itu pendeta  yang memegang jabatan itu adalah sebagai hamba, bukan tuan. Yang memegang jabatan itu bukan seorang yang luar biasa, tetapi dia menyampaikan sesuatu  yang laur biasa.
iii)    Sebutan pendeta, yang berasal dari bahasa Sansekerta “pandita”,  yang dipakai   oleh pada umumnya gereja-gereja Protestan di Indonesia, khususnya gereja HKBP, karena sifat dan peleyanan yang diharapkan dari seorang “pandita” Hindu, sama dengan sifat dan pelayanan yang  diharapkan dari seorang pendeta gereja yakni:  selalu memberitakan kebenaran, selalu dapat dipercayai  sebagai tempat memohon kesucian, dan memiliki kewajiban  untuk memberi pendidikan tentang nilai-nilai yang baik  kepada masyarakat. Pendeta juga sebagai pelayan Tuhan, diharapkan selalu  membawa kebenaran Firman  Tuhan kepada jemaat, dan juga memberi pengajaran dan tuntunan yang baik  kepada Umat Tuhan dan masyarakat  berdasarkan nilai kekristenan yang benar.
iv)    Sesuai dengan  dengan pemahaman dan kepercayaan gereja-gereja Reformasi, semua jabatan yang dikenal  dalam Perjanjian Baru, telah dicakup dalam jabatan pendeta. Tetapi untuk membantu pendeta dalam menjalankan tugas panggilannya itu tetap diperlukan jabatan-jabatan yang lain seperti guru, diakon, penginjil wanita (bibelvrow), evangelis, dan penatua.
v)      Jabatan pendeta  diberikan oleh  Allah Tritunggal melalui gereja di mana pendeta akan menjalankan tugas panggilan itu, yang penahbisannya dilakukan oleh Pimpinan gereja dan  didampingi oleh pendeta-pendeta lainnya melalui suatu ibadah gereja yang dikhususkan untuk itu.  Penahbisan itu yang dilakukan dengan penumpangan tangan, merupakan pemberian kuasa dari Allah, setelah lebih dulu orang yang menerima tahbisan itu berjanji untuk melakukan semua tugas panggilan yang disampaikan dengan segenap hidupnya.
vi)    Jabatan itu bukanlah secara otomatis milik sepenuhnya dari pendeta tersebut  yang tidak bisa dicabut-cabut lagi. Jabatan itu bisa dicabut, kalau orang yang memegang jabatn itu tidak lagi melakukan tugas panggilannya sesuai dengan “tohonan” yang diterima, atau kalau melanggar peraturan gereja.

Sumber kepustakaan:
1.    M.S.M. Panjaitan, Jabatan Pastoral dalam Perjanjian Baru, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
2.    Carl A.Volz, Pastoral life and practice in the early church, Augsburg, Minneapolis, 1990.
3.    J.R.Hutauruk, Ordinasi: Arti, masalah dan Relevansinya, dalam ‘VOCATIO DEI’, Journal STT-HKBP Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
4.    P.W.T. Simanjuntak, Tunaikanlah tugas pelayananmu (Sahat ula tohonanmi), dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP,      Edisi Pebruari 1992
5.    B.H. Situmorang, Jabatan-jabatan di HKBP, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP, Edisi Pebruari 1992
6.    AGENDE,Buku Tata Ibadah Huria Kristen Batak,  Percetakan Mission, Narumonda Toba, 1904

7.  Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman HKBP 1996.