Jumat, 09 Oktober 2020

FUNGSI KE-SEPULUH HUKUM ALLAH ( DASA TITAH )

 

FUNGSI KE-SEPULUH HUKUM ALLAH 


            Sepuluh Hukum Allah kadang-kadang disebut juga Sepuluh Perintah Allah, atau Dasa Titah, atau “Sepuluh  Firman Allah”  atau “dekalog”, yang berasal dari kata Yunani “ deka logoi”. Di dalam bahasa Ibrani disebut “asert hadebharim”, yang bisa diaterjemahkan dengan “kesepuluh firman”. Kesepuluh Firman ini diberikan oleh Allah kepada umat Israel di gunung Sinai itu, sebagai rangkaian perjanjian yang diikat antara Allah dengan umat itu seperti dituliskan dalam Kitab Keluaran 20: 1-17, dan Ulangan 5: 6-21.
            Ada yang menyebut sepuluh Hukum Allah ini sebagai Hukum Taurat. Bahkan ada liturgis yang memimpin tata ibadah HKBP yang menyebut Sepuluh Hukum Allah itu sebagai Hukum Taurat, dengan mengatakan: “Dengarlah Hukum Taurat”, ketika mau membacakan sepuluh Hukum Allah itu.  Pada hal dalam Kitab “Agenda” ( tata ibadah atau liturgi)  HKBP yang tertulis adalah : “Dengarlah Hukum Tuhan”. Dalam Kitab Katekiskusmus Martin Luther pun, ke sepuluh Hukum Tuhan itu, tidak disebut Hukum Taurat, tetapi adalah Sepuluh Hukum Allah atau disebut juga  Dasa Titah. Kalau menyebut Sepuluh Hukum Allah itu Hukum Taurat kurang   tepat,  karena dalam Alkitab, Hukum Taurat itu mempunyai  arti yang lebih luas. Bagi pemahaman Alkitab Hukum Taurat  adalah seluruh hukum yang diberikan Tuhan kepada Musa, yang menyangkut hukum keagamaan, hukum peribadatan, hukum sosial politik, dan kemasyarakatan, yang ratusan jumlahnya. Bahkan bagi umat Yahudi, semua Kitab Musa yang lima itu ( Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) dalam pembagian dibuat mereka atas Kitab Suci Perjanjian Lama itu digolongkan sebagai Kitab Taurat. Walaupun bisa disebut bahwa Ke Sepuluh Hukum Allah adalah inti dari seluruh hukum yang diberikan Allah kepada umat-Nya, tetapi tidak bisa disebut bahwa sepuluh hukum Allah itu sama dengan  hukum Taurat.
            Sepuluh Hukum Allah itu tidak mempunyai  penomoran dalam Kitab Suci. Penomoran itu baru kemudian dilakukan, dengan maksud agar lebih mudah diajarkan atau dihafalkan oleh umat.   Karena itu di kalangan gereja ada perbedaan penomoran itu. Gereja Katolik misalnya mengikuti penomoran yang dibuat oleh Augustinus ( 354 – 430 M ), dimana larangan membuat patung pahatan apapun dengan maksud untuk disembah atau dituruti seperti tertulis dalam Keluaran 20: 4-5, dianggap,  satu kesatuan dengan titah pertama yang mengatakan: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”. Lalu titah larangan untuk mengingini rumah, istri dan milik sesama manusia seperti yang tertulis  tertulis dalam Keluaran 20: 17, dibagi dua, menjadi hukum sembilan dan hukum ke sepuluh. Jadi Hukum ke- sembilan mengatakan : “Jangan mengingini rumah sesamamu”,  dan Hukum Kesepuluh mengatakan : “jangan mengingini isteri sesama manusia, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” Penomoran sperti ini juga diikuti oleh Martin Luther dalam Katekismus  Kecil dan Katekismus Besar yang ditulisnya. Tetapi ketika I.L. Nommensen menerjemahkan Katekismus Kecil Martin Luther itu ke dalam bahasa Batak tahun 1874 untuk keperluan pengajaran kekristenan ( katekisasi ) kepada orang Batak  yang akan dibaptis menjadi Kristen, dan selanjutnya sebagai bahan pengajaran di sekolah, maka Nommensen tidak mengikuti penomoran yang dibuat oleh Martin Luther, di mana larangan membuat patung pahatan untuk disembah dan dituruti dijadikan menjadi satu hukum yakni hukum yang ke dua, dan larangan mengingingi rumah, istri sesama dan harta milik sesama  disatukan menjadi satu hukum yakni hukum yang ke sepuluh. Tidak jelas apa alasan I.L.Nommensen mengubah penomoran yang dibuat oleh Martin Luther itu. Tetapi penomoran yang dibuatnya itu    sesuai dengan penomoran yang dibuat oleh Katekismus Heidelberg ( Pengajaran Agama Kristen). Buku ini ditulis di Heidelberg Jerman tahun 1563 untuk dipakai gereja-gereja Kalvinis yang berbahasan Jerman dan Belanda. Ketika orang-orang Belanda datang ke Indonesia, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu tahun 1623 untuk keperluan gereja Protestan yang diasuh oleh orang Belanda di Indonesia. Tetapi kemudian setelah datangnya para missionar dari Belanda abad 19,  terjemahan itu telah disempurnakan. Di kalangan orang-orang orang-orang Kristen Batak  pun, Katekismus Heidelberg, yang lazim dipakai oleh gereja-gereja yang bersifat reformed atau calvinis ini juga dipakai oleh para missionar yang diutus oleh RMG sebagai bahan pengajaran katekisasi untuk yang akan dibaptis dan sidi, dan bahkan untuk anak-anak  sekolah. Buku ini dalam bahasa Batak  ditulis oleh Fr. Eigenbroad dengan judul “ Pangarimpoenan ni oegama hakristenon”.  
            Ke Sepuluh Hukum Allah itu menurut Katekismus Martin Luther yang asli adalah sbb:
1.      Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku.
2.      Jangan menyebut nama Tuahn Allahmu dengan sembarangan.
3.      Ingat dan kuduskanlah hari Sabat.
4.      Hormatilah ayah dan ibumu.
5.      Jangan membunuh.
6.      Jangan berzinah.
7.      Jangan mencuri.
8.      Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu.
9.      Jangan engkau mengingini rumah sesamamu.
10.  Jangan mengingini istri sesamamu, atau pembantunya laki-laki, atau pembantunya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamu.
 
Kepuluh Hukum Allah menurut Katekismus Martin Luther yang diterjemahkan ke bahasa Batak  dan kemudian juga ke dalam bahasa Indonesia, adalah sebagai berikut:
 1.   Akulah Tuhan Allahmu. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku
2.  Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, atau yang ada di bumi,  atau yang ada di dalam air di bawah bumi, untuk disembah atau dituruti.
3.     Jangan menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan sebab Tuhan Allah akan menghukum orang yang menyianyiakan nama-Nya.
4.    Ingat dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari yang ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan, atau  hewanmu , atau orang asing yang berada di tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada hari yang ketujuh, itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabab dan menguduskannya.
5.  Hormatilah ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di bumi yang diberikan Tuhan, Allamu kepadamu.
Jangan membunuh.
7..Jangan berzinah.
8.  Jangan mencuri.
9.      Jangan mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu manusia.
10.   Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan istrinya atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dimiliki sesamamu.
 
Kalau ada perbedaan penomoran yang dilakukan oleh pihak gereja di kemudian sebenarnya tidaklah menjadi persoalan karena isi dari ke sepuluh hukum itu tetap di situ, tidak ada yang dihilangkan. Dan lagi dalam Kitab Suci ( Keluaran dan Ulangan) di mana kesepuluh hukum itu dituliskan tidak ada penomoran. Memang penomoran tidak dibuat  dalam Kitab Suci, karena ke sepuluh hukum itu pada dasarnya adalah satu kesatuan, tidak perlu dipisah-pisahkan. Kalaupun di kemudian hari ada upaya untuk membuat penomoran dari ke sepuluh hukum Allah itu,  baik oleh kaum Yahudi maupun oleh pihak gereja, bukan dengan maksud untuk memisah-misahkannya, melainkan dengan maksud memudahkan untuk mengajarkannya ke pada umat atau setiap orang. Namun pada dirinya ke sepuluh hukum itu adalah satu kesatuan, dan tidak ada dari padanya yang lebih diutamakan dari yang lainnya. Juga tidak ada dari antara hukum itu yang lebih diprioritaskan, dalam arti hukum sekian dulu lebih dipentingkan dari yang lain. Misalnya kalangan orang Kristen Batak sering terkesan lebih mementingka atau menekankan hukum ke lima ( patik palimahon ), yakni perintah untuk menghormati orang tua, dari  pada hukum yang lain. Apalagi dalam terjemahan bahasa Batak, ada penambahan kata “ingkon” ( ingkon pasangaponmu do natorasmu dst), ke dalam hukum ke lima itu, sedangkan dalam terjemahan bahasa indonesia tidak dijumpai penambahan seperti itu, sehingga timbullah  anggapan bahwa hukum ke lima itu lebih diutamakan dari pada hukum yang lain. Anggapan seperti itu adalah salah, karena semua hukum yang sepuluh itu adalah  satu kesatuan. Melanggar salah satu diantaranya adalah melanggar keseluruhannya. Jadi tidak bisa ada pikiran mengatakan, hukum inilah yang lebih dulu kulakukan, yang lain bisa dibelakangkan. Semuanya harus dilakukan serentak, karena semuanya adalah satu kesatuan.
Dalam pengajaran Tuhan Jesus kepada murid-muridnya dan juga kepada orang Yahudi, inti dari ke sepuluh hukum itu adalah kasih, yaitu mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi;dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri ( Matius 22: 37-40). Dari situ bisa dipahami, bahwa hukum pertama sampai ke empat, adalah  perintah untuk mengasihi Tuhan Allah, dan hukum ke lima sampai hukum ke sepuluh adalah perintah untuk mengasihi sesama manusia. Tidak bisa dikatakan bahwa yang lebih diutamakan dulu adalah hukum yang menyangkut kasih terhadap  Allah , karena penampakan bahwa seseorang telah mengasihi Allah adalah dengan mengasihi sesama manusia. Kasih kepada Allah harus direfleksikan dengan kasih terhadap sesama manusia. Dalam Surat 1 Yohanes ( 4: 20), di katakan bahwa orang yang mengatakan dia telah mengasihi Allah, tetapi ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta. Karena bagaimana mungkin seseorang mengasihi Allah yang tidak dilihatnya, pada hal tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya.
Allah menghendaki umat-Nya untuk mematuhi perintah-perintah-Nya itu dengan sempurna, melalui pikiran, keinginan, perkataan dan perbuatan ( Im. 19: 2; Yakobus 2: 10). Tetapi karena kodrat manusia yang penuh dosa membuat diri manusia itu tidak mungkin bisa menuruti perintah-perintah Allah itu dengan sempurna ( Maz. 14: 3; Pengkh. 7: 20; Yes. 64: 6; 1 Yoh. 1: 8 Roma 7: 15-20). Karena itulah menurut rasul Paulus, keseluruhan hukum Taurat termasuk sepuluh hukum Allah itu, tidak bisa menyelamatkan manusia bahkan menurut dia,  hukum-hukum  itu justeru menghukum setiap orang.
Kalau demikian apakah fungsi dari hukum-hukum  Allah itu.  Mengapa hukum-hukum Allah itu masih tetap  diajarkan bagi umat Kristen, dan dibacakan dalam setiap kebaktian minggu, kalau  manusia tidak bisa dibenarkan dan diselamatkan dengan mematuhi hukum-hukum itu. Menurut rasul Paulus dan juga Martin Luther mengikutinya, bahwa manusia tidak dibenarkan karena melakukan perbuatan baik dengan mematuhi hukum-hukum itu melainkan hanya dengan iman kepada Yesus Kristus.  Pada hal menurut kesaksian Alkitab, tidak seorangpun manusia yang bisa mematuhi hukum-hukum Allah itu dari dirinya, karena karena kodrat manusia yang penuh dosa itu. Tetapi Tuhan Yesus telah memikul dosa manusia demi keselamatan manusia. Keselamatan itu bisa diperoleh dengan senantiasa hidup di dalam Dia dan bersama dengan Dia. Kalau begitu apakah fungsi dari ke sepuluh Hukum Allah itu bagi orang percaya kepada-Nya.  Menurut Martin Luther fungsi dari kesepuluh hukum Allah bahkan seluruh hukum yang diberikan Tuhan Allah kepada umat-Nya, paling sedikit ada tiga. Pertama : membantu untuk mengendalikan tak terbendungnya kekuatan dosa ( fungsi pengekangan atau pengendalian dosa). Kedua, menuduh dan memperlihatkan kepada kita dosa-dosa kita ( fungsi sebagai cermin). Dengan melihat dosa-dosa kita maka kita berusaha untuk memperbaiki diri, dengan meminta pengampunan dan kekuatan dari Allah. Ketiga, mengajarkan kita  akan apa yang wajib kita lakukan dan yang tidak boleh kita lakukan dalam membawa ( menuntun) kita kepada hidup  yang menyenangkan Allah ( fungsi sebagai pedoman atau penuntun). Jadi orang yang beriman kepada Yesus adalah orang yang mengetahui apa yang baik untuk dilakukan dan mengetahui apa yang tidak baik untuk dihindarkan atau tidak dilakukan.   ( Pdt MSM Panjaitan )