FUNGSI KE-SEPULUH HUKUM ALLAH
Sepuluh Hukum Allah kadang-kadang
disebut juga Sepuluh Perintah Allah, atau Dasa Titah, atau “Sepuluh Firman Allah”
atau “dekalog”, yang berasal dari kata Yunani “ deka logoi”. Di dalam
bahasa Ibrani disebut “asert hadebharim”, yang bisa diaterjemahkan dengan
“kesepuluh firman”. Kesepuluh Firman ini diberikan oleh Allah kepada umat
Israel di gunung Sinai itu, sebagai rangkaian perjanjian yang diikat antara
Allah dengan umat itu seperti dituliskan dalam Kitab Keluaran 20: 1-17, dan
Ulangan 5: 6-21.
Ada yang menyebut sepuluh Hukum
Allah ini sebagai Hukum Taurat. Bahkan ada liturgis yang memimpin tata ibadah
HKBP yang menyebut Sepuluh Hukum Allah itu sebagai Hukum Taurat, dengan
mengatakan: “Dengarlah Hukum Taurat”, ketika mau membacakan sepuluh Hukum Allah
itu. Pada hal dalam Kitab “Agenda” (
tata ibadah atau liturgi) HKBP yang
tertulis adalah : “Dengarlah Hukum Tuhan”. Dalam Kitab Katekiskusmus Martin
Luther pun, ke sepuluh Hukum Tuhan itu, tidak disebut Hukum Taurat, tetapi
adalah Sepuluh Hukum Allah atau disebut juga Dasa Titah. Kalau menyebut Sepuluh Hukum Allah
itu Hukum Taurat kurang tepat, karena
dalam Alkitab, Hukum Taurat itu mempunyai
arti yang lebih luas. Bagi pemahaman Alkitab Hukum Taurat adalah seluruh hukum yang diberikan Tuhan
kepada Musa, yang menyangkut hukum keagamaan, hukum peribadatan, hukum sosial
politik, dan kemasyarakatan, yang ratusan jumlahnya. Bahkan bagi umat Yahudi, semua
Kitab Musa yang lima itu ( Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan) dalam
pembagian dibuat mereka atas Kitab Suci Perjanjian Lama itu digolongkan sebagai
Kitab Taurat. Walaupun bisa disebut bahwa Ke Sepuluh Hukum Allah adalah inti
dari seluruh hukum yang diberikan Allah kepada umat-Nya, tetapi tidak bisa
disebut bahwa sepuluh hukum Allah itu sama dengan hukum Taurat.
Sepuluh
Hukum Allah itu tidak mempunyai penomoran dalam Kitab Suci. Penomoran itu baru
kemudian dilakukan, dengan maksud agar lebih mudah diajarkan atau dihafalkan
oleh umat. Karena itu di kalangan gereja ada perbedaan
penomoran itu. Gereja Katolik misalnya mengikuti penomoran yang dibuat oleh Augustinus
( 354 – 430 M ), dimana larangan membuat patung pahatan apapun dengan maksud untuk
disembah atau dituruti seperti tertulis dalam Keluaran 20: 4-5, dianggap, satu kesatuan dengan titah pertama yang
mengatakan: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku”. Lalu titah larangan
untuk mengingini rumah, istri dan milik sesama manusia seperti yang tertulis tertulis dalam Keluaran 20: 17, dibagi dua,
menjadi hukum sembilan dan hukum ke sepuluh. Jadi Hukum ke- sembilan mengatakan
: “Jangan mengingini rumah sesamamu”, dan
Hukum Kesepuluh mengatakan : “jangan mengingini isteri sesama manusia, atau
hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya,
atau apa pun yang dipunyai sesamamu.” Penomoran sperti ini juga diikuti oleh
Martin Luther dalam Katekismus Kecil dan
Katekismus Besar yang ditulisnya. Tetapi ketika I.L. Nommensen menerjemahkan
Katekismus Kecil Martin Luther itu ke dalam bahasa Batak tahun 1874 untuk
keperluan pengajaran kekristenan ( katekisasi ) kepada orang Batak yang akan dibaptis menjadi Kristen, dan
selanjutnya sebagai bahan pengajaran di sekolah, maka Nommensen tidak mengikuti
penomoran yang dibuat oleh Martin Luther, di mana larangan membuat patung
pahatan untuk disembah dan dituruti dijadikan menjadi satu hukum yakni hukum
yang ke dua, dan larangan mengingingi rumah, istri sesama dan harta milik
sesama disatukan menjadi satu hukum
yakni hukum yang ke sepuluh. Tidak jelas apa alasan I.L.Nommensen mengubah
penomoran yang dibuat oleh Martin Luther itu. Tetapi penomoran yang dibuatnya
itu sesuai dengan penomoran yang dibuat oleh Katekismus
Heidelberg ( Pengajaran Agama Kristen). Buku ini ditulis di Heidelberg Jerman
tahun 1563 untuk dipakai gereja-gereja Kalvinis yang berbahasan Jerman dan
Belanda. Ketika orang-orang Belanda datang ke Indonesia, buku ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu tahun 1623 untuk keperluan gereja
Protestan yang diasuh oleh orang Belanda di Indonesia. Tetapi kemudian setelah
datangnya para missionar dari Belanda abad 19,
terjemahan itu telah disempurnakan. Di kalangan orang-orang orang-orang
Kristen Batak pun, Katekismus Heidelberg,
yang lazim dipakai oleh gereja-gereja yang bersifat reformed atau calvinis ini juga
dipakai oleh para missionar yang diutus oleh RMG sebagai bahan pengajaran
katekisasi untuk yang akan dibaptis dan sidi, dan bahkan untuk anak-anak sekolah. Buku ini dalam bahasa Batak ditulis oleh Fr. Eigenbroad dengan judul “
Pangarimpoenan ni oegama hakristenon”.
Ke
Sepuluh Hukum Allah itu menurut Katekismus Martin Luther yang asli adalah sbb:
1. Jangan ada padamu allah lain di
hadapan-Ku.
2. Jangan menyebut nama Tuahn
Allahmu dengan sembarangan.
3. Ingat dan kuduskanlah hari Sabat.
4. Hormatilah ayah dan ibumu.
5. Jangan membunuh.
6. Jangan berzinah.
7. Jangan mencuri.
8. Jangan mengucapkan saksi dusta
terhadap sesamamu.
9. Jangan engkau mengingini rumah
sesamamu.
10. Jangan mengingini istri sesamamu,
atau pembantunya laki-laki, atau pembantunya perempuan, atau lembunya atau
keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamu.
Kepuluh
Hukum Allah menurut Katekismus Martin Luther yang diterjemahkan ke bahasa
Batak dan kemudian juga ke dalam bahasa
Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Akulah
Tuhan Allahmu. Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku
2. Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit, atau yang ada
di bumi, atau yang ada di dalam air di bawah bumi, untuk disembah atau
dituruti.
3. Jangan
menyebut nama Tuhan Allah dengan sembarangan sebab Tuhan Allah akan menghukum
orang yang menyianyiakan nama-Nya.
4. Ingat
dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan
segala pekerjaanmu, tetapi hari yang ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu
maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau
anakmu perempuan atau hambamu laki-laki atau hambamu perempuan, atau hewanmu , atau orang asing yang berada di
tempat kediamanmu. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi,
laut dan segala isinya, dan ia berhenti pada hari yang ketujuh, itulah sebabnya
Tuhan memberkati hari Sabab dan menguduskannya.
5. Hormatilah
ayah dan ibumu supaya lanjut umurmu di bumi yang diberikan Tuhan, Allamu
kepadamu.
6 Jangan
membunuh.
7..Jangan
berzinah.
8. Jangan
mencuri.
9.
Jangan
mengucapkan saksi dusta terhadap sesamamu manusia.
10. Jangan mengingini rumah sesamamu;
jangan istrinya atau hambanya laki-laki atau hambanya perempuan atau lembunya atau
keledainya, atau apapun yang dimiliki sesamamu.
Kalau ada perbedaan penomoran
yang dilakukan oleh pihak gereja di kemudian sebenarnya tidaklah menjadi
persoalan karena isi dari ke sepuluh hukum itu tetap di situ, tidak ada yang dihilangkan.
Dan lagi dalam Kitab Suci ( Keluaran dan Ulangan) di mana kesepuluh hukum itu
dituliskan tidak ada penomoran. Memang penomoran tidak dibuat dalam Kitab Suci, karena ke sepuluh hukum itu pada
dasarnya adalah satu kesatuan, tidak perlu dipisah-pisahkan. Kalaupun di kemudian
hari ada upaya untuk membuat penomoran dari ke sepuluh hukum Allah itu, baik oleh kaum Yahudi maupun oleh pihak
gereja, bukan dengan maksud untuk memisah-misahkannya, melainkan dengan maksud
memudahkan untuk mengajarkannya ke pada umat atau setiap orang. Namun pada
dirinya ke sepuluh hukum itu adalah satu kesatuan, dan tidak ada dari padanya
yang lebih diutamakan dari yang lainnya. Juga tidak ada dari antara hukum itu
yang lebih diprioritaskan, dalam arti hukum sekian dulu lebih dipentingkan dari
yang lain. Misalnya kalangan orang Kristen Batak sering terkesan lebih mementingka
atau menekankan hukum ke lima ( patik palimahon ), yakni perintah untuk
menghormati orang tua, dari pada hukum
yang lain. Apalagi dalam terjemahan bahasa Batak, ada penambahan kata “ingkon”
( ingkon pasangaponmu do natorasmu dst), ke dalam hukum ke lima itu, sedangkan
dalam terjemahan bahasa indonesia tidak dijumpai penambahan seperti itu, sehingga
timbullah anggapan bahwa hukum ke lima itu
lebih diutamakan dari pada hukum yang lain. Anggapan seperti itu adalah salah,
karena semua hukum yang sepuluh itu adalah
satu kesatuan. Melanggar salah satu diantaranya adalah melanggar
keseluruhannya. Jadi tidak bisa ada pikiran mengatakan, hukum inilah yang lebih dulu
kulakukan, yang lain bisa dibelakangkan. Semuanya harus dilakukan serentak, karena
semuanya adalah satu kesatuan.
Dalam pengajaran Tuhan Jesus
kepada murid-muridnya dan juga kepada orang Yahudi, inti dari ke sepuluh hukum
itu adalah kasih, yaitu mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati dan dengan
segenap jiwa dan dengan segenap akal budi;dan mengasihi sesama manusia seperti
diri sendiri ( Matius 22: 37-40). Dari situ bisa dipahami, bahwa hukum pertama
sampai ke empat, adalah perintah untuk
mengasihi Tuhan Allah, dan hukum ke lima sampai hukum ke sepuluh adalah
perintah untuk mengasihi sesama manusia. Tidak bisa dikatakan bahwa yang lebih
diutamakan dulu adalah hukum yang menyangkut kasih terhadap Allah , karena penampakan bahwa seseorang
telah mengasihi Allah adalah dengan mengasihi sesama manusia. Kasih kepada
Allah harus direfleksikan dengan kasih terhadap sesama manusia. Dalam Surat 1
Yohanes ( 4: 20), di katakan bahwa orang yang mengatakan dia telah mengasihi
Allah, tetapi ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta. Karena bagaimana
mungkin seseorang mengasihi Allah yang tidak dilihatnya, pada hal tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya.
Allah menghendaki umat-Nya untuk
mematuhi perintah-perintah-Nya itu dengan sempurna, melalui pikiran, keinginan,
perkataan dan perbuatan ( Im. 19: 2; Yakobus 2: 10). Tetapi karena kodrat
manusia yang penuh dosa membuat diri manusia itu tidak mungkin bisa menuruti
perintah-perintah Allah itu dengan sempurna ( Maz. 14: 3; Pengkh. 7: 20; Yes.
64: 6; 1 Yoh. 1: 8 Roma 7: 15-20). Karena itulah menurut rasul Paulus, keseluruhan
hukum Taurat termasuk sepuluh hukum Allah itu, tidak bisa menyelamatkan manusia
bahkan menurut dia, hukum-hukum itu justeru menghukum setiap orang.
Kalau demikian apakah fungsi dari
hukum-hukum Allah itu. Mengapa hukum-hukum Allah itu masih tetap diajarkan bagi umat Kristen, dan dibacakan
dalam setiap kebaktian minggu, kalau
manusia tidak bisa dibenarkan dan diselamatkan dengan mematuhi
hukum-hukum itu. Menurut rasul Paulus dan juga Martin Luther mengikutinya,
bahwa manusia tidak dibenarkan karena melakukan perbuatan baik dengan mematuhi
hukum-hukum itu melainkan hanya dengan iman kepada Yesus Kristus. Pada hal menurut kesaksian Alkitab, tidak
seorangpun manusia yang bisa mematuhi hukum-hukum Allah itu dari dirinya,
karena karena kodrat manusia yang penuh dosa itu. Tetapi Tuhan Yesus telah memikul
dosa manusia demi keselamatan manusia. Keselamatan itu bisa diperoleh dengan
senantiasa hidup di dalam Dia dan bersama dengan Dia. Kalau begitu apakah fungsi
dari ke sepuluh Hukum Allah itu bagi orang percaya kepada-Nya. Menurut Martin Luther fungsi dari kesepuluh
hukum Allah bahkan seluruh hukum yang diberikan Tuhan Allah kepada umat-Nya,
paling sedikit ada tiga. Pertama : membantu
untuk mengendalikan tak terbendungnya kekuatan dosa ( fungsi pengekangan atau
pengendalian dosa). Kedua, menuduh
dan memperlihatkan kepada kita dosa-dosa kita ( fungsi sebagai cermin). Dengan
melihat dosa-dosa kita maka kita berusaha untuk memperbaiki diri, dengan
meminta pengampunan dan kekuatan dari Allah. Ketiga, mengajarkan kita akan apa yang wajib kita lakukan dan yang tidak
boleh kita lakukan dalam membawa ( menuntun) kita kepada hidup yang menyenangkan Allah ( fungsi sebagai
pedoman atau penuntun). Jadi orang yang beriman kepada Yesus adalah orang yang
mengetahui apa yang baik untuk dilakukan dan mengetahui apa yang tidak baik
untuk dihindarkan atau tidak dilakukan. ( Pdt MSM Panjaitan )