Kamis, 16 September 2021

BIBELKRING, KELOMPOK "PANANGKASI" ALKITAB (BIBEL)

                     BIJBELKRING, KELOMPOK “PANANGKASI” (PENELITI) ALKITAB (BIBEL)

 

                       Di dalam perjalanan sejarahnya,  yang mungkin sekarang ini tidak banyak lagi warga HKBP yang mengetahui, bahwa dari diri HKBP sendiri pernah muncul sebuah kelompok “panangkasi” ( peneliti) Alkitab yang bernama “Bijbelkring”.  Kelompok ini digiatkan di beberapa jemaat HKBP terutama sejak tahun 1930 an oleh beberapa pendeta (Batak) dan guru jemaat setempat dengan maksud untuk memperdalam pengetahuan Alkitab warga jemaat itu sendiri (SP Immanuel No. 17, 26  April 1936, hal.67; SP Immanuel No.1, 2 Jan. 1938, hal. 3). Selama beberapa tahun kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, jika pendetanya selalu turut aktif untuk membimbingnya.

                       Akan tetapi sejak tahun 1944, di Balata ( 15 km dari Pematangsiantar), satu kelompok Bijbelkring telah bertindak menjauhkan diri dari gereja HKBP. Sebelum itu perkumpulan mereka yang diadakan setiap hari Sabtu malam secara bergilir  di rumah masing-masing anggota dapat berjalan dengan baik dipimpin oleh pendeta dan guru jemaat setempat, yakni Pdt David Simbolon dan Gr. Rudolf Purba. Tetapi karena pada tahun itu, pendeta dan guru jemaat tersebut dipindahkan masing-masing ke Sidikalang dan ke Pematang Raya, pendeta penggantinya Ambrosius Simanjuntak, tidak bersedia untuk meneruskan kegiatan itu. Katanya, apabila kegiatan itu dilakukan pada hari Sabtu malam, dapat mengganggu pekerjaannya di gereja pada hari Minggu besoknya. Namun seorang guru bantu, Johan Saragih, bertindak untuk meneruskan perkumpulan itu, dengan mengikut-sertakan beberapa anggota jemaat dari HChB (Huria Christen Batak) salah satu gereja yang memisah dari HKBP tahun 1927) dan dan ada juga dari aliran Pentakosta, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya menjalankan missinya  di Sumatera Utara.

                       Tindakan dari guru ini telah mengundang rasa tidak senang dari pendeta dan majelis HKBP setempat. Dia dan sejumlah anggota jemaat HKBP yang turut mengikuti perkumpulan itu diperingati agar segera menghentikannya. Tetapi karena kegiatan itu masih diteruskan, akhirnya mereka dikucilkan dari gereja.

                       Tindakan pengucilan itu telah mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh. Pengikut perkumpulan tersebut yang pada waktu itu diperkirakan telah ada lebih kurang lima ratus orang banyaknya, makin giat meneliti Alkitab itu. Perlakukan mereka makin ekstrim pula, karena baik gereja, adat dan pemerintah mulai diserang. Beberapa unsur  kehidupan gereja yang sangat mendasar seperti baptisan, gedung gereja, jabatan gereja dan kolekte ditiadakan.

                      “Baptisan ditolak karena katanya semua telah menerima baptisan Roh. Gedung gereja tidak diperlukan karena katanya Yohannes Pembaptis hanya berkhotbah di lapangan terbuka. Jabatan gereja ditolak karena semua anggota mempunyai hak dan tugas yang sama. Kollekte dilawan karena katanya rasul Paulus tidak menerima gaji” (J.Sihombing, BJT ni HKBP 1950, hal. 9). Beberapa unsur adat juga dilawan, sementara lembaga pemerintahan tidak diakui sama sekali (W.Lempp, Benih yang tumbuh 12, 1976, hal. 322f).

 

Situasi perang kemerdekaan (1945-1950) yang menyulitkan pada waktu itu,  telah membuat pimpinan HKBP tidak dapat bertindak dengan cepat untuk mengatasi persoalan itu. Akibatnya ajaran-ajaran Bikbelkring tersebut  sempat tersebar di banyak tempat di Sumatera Timur, Simalungun, Tapanuli hingga Deli Serdang. Pemimpinnya, Johan Saragih, pergi secara berkeliling untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka ke berbagai tempat serta memimpin kelompok penelitian Alkitab di sana. Kebaktian yang dilakukan di rumah-rumah anggota secara bergiliran terdiri dari dua pokok, yakni khotbah dan tanya jawab mengenai khotbah (W.Lempp, hal. 322).

Tetapi lama-kelamaan pengikut Bibelkring itu semakin berkurang. Banyak dari antaranya kemudian sadar bahwa ajaran-ajaran mereka sudah jauh menyimpang dari dasar yang sebenarnya, sehingga merekapun kembali kepada HKBP. Namun kelompok ini sampai  tahun 1980 an masih ada yang  bertahan di daerah Balata dan Tigadolok. Tetapi hal mengenai munculnya kelompok Bijbelkring ini bisa dijadikan sebagai pelajaran dari pihak gereja, supaya para pelayan gereja, benar-benar membekali warga jemaat  kebutuhan akan Firman Allah, dan membimbing warga jemaat itu untuk membaca dan mempelajari isi Alkitab, sehingga mereka memperoleh pemahaman yang benar akan Firman itu untuk dihayati. (Pdt MSM Panjaitan).