BIJBELKRING, KELOMPOK “PANANGKASI” (PENELITI) ALKITAB (BIBEL)
Di dalam perjalanan sejarahnya, yang mungkin sekarang ini tidak banyak lagi
warga HKBP yang mengetahui, bahwa dari diri HKBP sendiri pernah muncul sebuah
kelompok “panangkasi” ( peneliti) Alkitab yang bernama “Bijbelkring”. Kelompok ini digiatkan di beberapa jemaat HKBP
terutama sejak tahun 1930 an oleh beberapa pendeta (Batak) dan guru jemaat setempat
dengan maksud untuk memperdalam pengetahuan Alkitab warga jemaat itu sendiri (SP
Immanuel No. 17, 26 April 1936, hal.67;
SP Immanuel No.1, 2 Jan. 1938, hal. 3). Selama beberapa tahun kegiatan ini
dapat berjalan dengan baik, jika pendetanya selalu turut aktif untuk
membimbingnya.
Akan tetapi sejak tahun
1944, di Balata ( 15 km dari Pematangsiantar), satu kelompok Bijbelkring telah
bertindak menjauhkan diri dari gereja HKBP. Sebelum itu perkumpulan mereka yang
diadakan setiap hari Sabtu malam secara bergilir di rumah masing-masing anggota dapat berjalan
dengan baik dipimpin oleh pendeta dan guru jemaat setempat, yakni Pdt David
Simbolon dan Gr. Rudolf Purba. Tetapi karena pada tahun itu, pendeta dan guru
jemaat tersebut dipindahkan masing-masing ke Sidikalang dan ke Pematang Raya,
pendeta penggantinya Ambrosius Simanjuntak, tidak bersedia untuk meneruskan
kegiatan itu. Katanya, apabila kegiatan itu dilakukan pada hari Sabtu malam,
dapat mengganggu pekerjaannya di gereja pada hari Minggu besoknya. Namun
seorang guru bantu, Johan Saragih, bertindak untuk meneruskan perkumpulan itu,
dengan mengikut-sertakan beberapa anggota jemaat dari HChB (Huria Christen
Batak) salah satu gereja yang memisah dari HKBP tahun 1927) dan dan ada juga
dari aliran Pentakosta, yang pada waktu itu sedang giat-giatnya menjalankan
missinya di Sumatera Utara.
Tindakan dari guru ini
telah mengundang rasa tidak senang dari pendeta dan majelis HKBP setempat. Dia
dan sejumlah anggota jemaat HKBP yang turut mengikuti perkumpulan itu
diperingati agar segera menghentikannya. Tetapi karena kegiatan itu masih
diteruskan, akhirnya mereka dikucilkan dari gereja.
Tindakan pengucilan itu
telah mendorong mereka untuk bertindak lebih jauh. Pengikut perkumpulan tersebut
yang pada waktu itu diperkirakan telah ada lebih kurang lima ratus orang
banyaknya, makin giat meneliti Alkitab itu. Perlakukan mereka makin ekstrim
pula, karena baik gereja, adat dan pemerintah mulai diserang. Beberapa
unsur kehidupan gereja yang sangat
mendasar seperti baptisan, gedung gereja, jabatan gereja dan kolekte
ditiadakan.
“Baptisan
ditolak karena katanya semua telah menerima baptisan Roh. Gedung gereja tidak
diperlukan karena katanya Yohannes Pembaptis hanya berkhotbah di lapangan
terbuka. Jabatan gereja ditolak karena semua anggota mempunyai hak dan tugas
yang sama. Kollekte dilawan karena katanya rasul Paulus tidak menerima gaji”
(J.Sihombing, BJT ni HKBP 1950, hal. 9). Beberapa unsur adat juga dilawan,
sementara lembaga pemerintahan tidak diakui sama sekali (W.Lempp, Benih yang tumbuh 12, 1976, hal. 322f).
Situasi perang kemerdekaan (1945-1950) yang menyulitkan
pada waktu itu, telah membuat pimpinan
HKBP tidak dapat bertindak dengan cepat untuk mengatasi persoalan itu.
Akibatnya ajaran-ajaran Bikbelkring tersebut
sempat tersebar di banyak tempat di Sumatera Timur, Simalungun, Tapanuli
hingga Deli Serdang. Pemimpinnya, Johan Saragih, pergi secara berkeliling untuk
menyebarkan ajaran-ajaran mereka ke berbagai tempat serta memimpin kelompok
penelitian Alkitab di sana. Kebaktian yang dilakukan di rumah-rumah anggota
secara bergiliran terdiri dari dua pokok, yakni khotbah dan tanya jawab
mengenai khotbah (W.Lempp, hal. 322).
Tetapi lama-kelamaan pengikut Bibelkring itu semakin
berkurang. Banyak dari antaranya kemudian sadar bahwa ajaran-ajaran mereka
sudah jauh menyimpang dari dasar yang sebenarnya, sehingga merekapun kembali
kepada HKBP. Namun kelompok ini sampai
tahun 1980 an masih ada yang
bertahan di daerah Balata dan Tigadolok. Tetapi hal mengenai munculnya
kelompok Bijbelkring ini bisa dijadikan sebagai pelajaran dari pihak gereja,
supaya para pelayan gereja, benar-benar membekali warga jemaat kebutuhan akan Firman Allah, dan membimbing
warga jemaat itu untuk membaca dan mempelajari isi Alkitab, sehingga mereka memperoleh
pemahaman yang benar akan Firman itu untuk dihayati. (Pdt MSM Panjaitan).