Senin, 14 Februari 2022

SIFAT DARI KHOTBAH DALAM SETIAP KEBAKTIAN

 

SIFAT DARI KHOTBAH DALAM SETIAP KEBAKTIAN

 Khotbah yang merupakan jantung atau pusat dari setiap kebaktian, baik itu pada kebaktian minggu maupun pada kebaktian-kebaktian lainnya adalah penyampaian Firman Tuhan berdasarkan nats Alkitab yang telah ditentukan untuk kebaktian itu, yakni nats Evangelium.  Evangelium artinya Injil atau kabar baik. Nats khotbah itu disebut Evangelium, karena pada mulanya  nats yang diambil untuk khotbah hanyalah dari Kitab Evangelium yang empat itu, yakni Mateus, Markus, Lukas dam Yohannes, karena dalam keempat kitab itulah  diberitakan karya pelayanan Yesus di dunia ini. Semua yang dikerjakan oleh Yesus itu adalah kabar baik bagi manusia, yang menyatakan kasih Allah  bagi umat manusia berdosa, yaitu  karya penyelamatan manusia dari kuasa dosa itu. Tetapi sekarang nats evangelium itu sudah bisa diambil dari semua kitab yang ada dalam Kitab Suci itu, karena Kitab Suci itu adalah penyataan dari Firman Allah.  Kalau Kitab Suci atau Alkitab itu dikatakan Firman Allah, bukan karena semua isi Alkitab itu ayat demi ayat langsung menjadi perkataan Allah.  Firman Tuhan itu bisa juga diberitakan melalui kesaksian dari orang-orang beriman atau hamba-hamba Allah tentang perbuatan Allah di tengah-tengah dunia atau umat manusia. Firman Allah itu bisa juga disampaikan melalui  kissah kehidupan orang-orang beriman atau hamba-hamba Allah, bisa juga berupa peringatan Allah terhadap umatnya atau juga berupa janji Allah  yang disampaikan melalui hamba-hambanya. Ada juga Firman Allah itu yang langsung disampaikan oleh Allah melalui  para nabi yang mempunyai panggilan khusus dari Allah.  

Selain dari nats Eavangelium, masih ada nats lain di dalam kebaktian minggu, yang disebut nats Epistel.  Epistel artinya Surat Kiriman, yakni surat kiriman dari para rasul kepada jemaat-jemaat  yang mula-mula  untuk membimbing kehidupan umat Kristen yang pertama  dalam memahami dan menghayati  pengajaran Yesus serta meneguhkan iman mereka kepada Allah Tritungal.Pada mulanya yang menjadi nats Epistel hanya diambil dari surat-surat para rasul, mulai dari Kissah Para Rasul sampai kepada Kitab Wahyu. Tetapi sekarang Epistel juga sudah bisa diambil dari seluruh isi Kitab Suci itu, yang dibagikan menurut klender gerejawi. Pada mulanya, nats Epistel itu bukan hanya dibacakan oleh liturgis tetapi juga dikhotbahkan. Tetapi kemudian nats epistel itu tidak lagi dikhotbahkan, cukup hanya dibacakan oleh liturggis, dan belakangan ini dibacakan secara responsia bersama dengan anggota jemaat.

Sifat khotbah berbeda dari pidato, ceramah, kuliah,  atau kata-kata yang berupa wejangan. Kalau pidato, ceramah, kuliah, atau kata-kata wejangan, selalu berlandaskan pikiran, ilmu atau pengetahuan dari orang yang menyampaikannya. Tetapi khotbah sepenuhnya adalah menyampaikan Firman Allah berdasarkan Kitab Suci itu. Jadi yang berbicara adalah Allah melalui pengkhotbah itu. Karena itulah tidak boleh orang sembarangan bisa berkhotbah baik dalam kebaktian minggu atau kebaktian lainnya, walaupun ada yang menganggap dirinya telah mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang Firman Tuhan. Kalau di gereja HKBP hanya orang-orang yang telah ditahbiskan untuk mejadi pelayan Firman Tuhan yang bisa berkhotbah di dalam kebaktian, yakni pendeta, guru jemaat, bibel- vrow, diakones, evangelis dan penatua. Merekalah yang telah diberkati oleh Allah secara khusus melalui tahbisan yang diterima untuk menyampaikan Firman Allah. Memang setelah makin banyaknya jumlah pendeta belakangan ini, maka kelihatannya yang lebih sering berkhotbah pada kebaktian minggu adalah pendeta. Tetapi siapapun yang berkhotbah, dia harus sadar, bahwa dia adalah menyampaikan Firman Allah kepada warga jemaat yang mengikuti kebaktian iu, bukan menyampaikan perkataan manusia. Allah mempergunakan mulut dan semua kehidupan  dari pengkhotbah itu untuk menyampaikan Firman Allah.  Itu berarti bahwa pengkhotbah itu harus lebih dulu menghayati apa yang dikhotbahkannya. Kehidupan dari pengkhotbah itu harus selaras dengan apa yang dikhotbahkan, supaya orang yang dikhotbahi jangan sampai tersandung karena khotbahnya, Dalam ilmu homiletika ( berkhotbah) selalu ditekankan bahwa “kehidupan dari pengkhotbah itulah khotbahnya dan khotbanya itulah hidupnya”. Pernah guru homiletika berkata: “ Jangan mengkhotbah apa yang anda ketahui tetapi khotbahkanlah apa yang anda hayati”. Mmaksudnya jangan sampai yang ada hal yang  dikhotbahkan yang  bertentangan dengan kehidupan dari pengkhotbah itu. Itulah sebabnya para pengkhotbah tidak bisa anggap enteng dengan isi khotbanya, karena semuanya itu harus dipertanggung-jawabkan kepada  Allah yang mempunyai Firman itu.

Jadi para pengkhotbah tidak bisa hanya mengandalkan ilmu dan kepandaiannya saja. Dia harus benar-benar merenungkan nats Firman Allah yang akan dikhotbahkannya, melalui persiapan yang matang. Dalam persiapannya itu, dia tidak bisa hanya mengatakan apa yang ada di dalam fikiran dan hatinya. Dia harus menanyakan Allah yang mempunyai Firman itu, apa yang  perlu disampaikan melalui  nats khotbah itu. Di dalam persiapan itu pengkhotbah tidak cukup hanya membaca buku-buku atau tulisan yang berhubungan dengan nats khotbah itu, tetapi dia juga harus membaca situasi dari orang-orang yang akan mendengar khotbah itu. Jadi persiapan khotbah bukan hanya membaca buku-buku di meja, tetapi juga harus melihat ke lapangan, yang menjadi konteks kehidupan dari orang yang dikhotbahi. Dengan singkat, kunci  kepada pekerjaan berkhotbah adalah persiapan. Melalui persiapan itulah Roh Kudus memberi pengajaran kepadanya tentang apa yang akan dikhotbahkan.

Semua khotbah harus selalu berdasar kepada pribadi  Yesus Kristus, yakni kepada pekerjaan, kasih, penderitaan, salib, kematian dan kebangkitan-Nya. Semuanya itu adalah satu kesatuan  dalam karya penyelamatan-Nya atas manusia yang berdosa. Salib itulah simbol dari semua penderitaan-Nya yang bertumpu kepada kematian-Nya. Tetapi Dia memenangkan semua penderitaannya itu melalui kebangkitannya dari kematian. Karena itu khotbah harus bisa menyadarkan orang-orang percaya kepada Yesus, bahwa mereka harus bersedia menderita karena kebenaran dan karena mengikut Yesus. Jadi bukan hanya karena mengharapkan yang enak-enak saja, atau kesuksesan hidup di dunia ini yang diharapkan oleh orang yang mengikut Yesus. Khotbah juga harus bisa mengarahkan orang yang mendengarkannya memahami berbagai kesusahan dan penderitaan yang mengenai orang-orang percaya di dunia ini, tetapi melalui khotbah yang didengarkan mereka bisa bertekun dan sabar, karena Yesus sudah lebih dulu memenangkannya. Sekiranyapun dia bisa memperoleh hidup yang enak, dan kesuksesan dalam kehidupan di dunia ini, dia harus bisa mengaku bahwa itu bukan karena kekuatan atau kehebatannya, tetap semata-mata hanya karena berkat Tuhan, sehingga dengan demikian dia bisa selalu mensyukurinya kepada Allah. Dari manapun nats khotbah itu, walaupun dari Perjanjian Lama, pengkhotbah harus bisa membawa yang dikhotbahkannya sampai kepada Yesus Kristus. Karena itu nats-nats khotbah itu tidak dikhotbahkan secara hurufiah, ayat demi ayat dijelaskan, tetapi juga harus bisa menggali konteks dari masing-masing ayat dari nats khotbah itu, sehingga pada akhirnya nampak perhubungan dari nats itu dengan kehidupan Jesus Kristus. Dalam hal ini kita pahami betapa sulitnya berkhotbah itu, sehingga  perlu persiapan yang matang.

Belakangan ini kelihatannya sudah bermacam cara dari pengkhotbah untuk menarik hati dari  oarang-orang yang mendengarkan khotbah itu. Ada yang bersahut-sahutan dengan pendengar, di mana para pendengar menjawab pengkhotbah dengan kata “amin”, kalau kotbah itu dirasa kena ke hatinya. Kalau selama ini cara seperti itu tidak biasa ketika mendengar khotbah dalam kebaktian minggu. Kalaupun khotbah itu kena ke hatinya, cukuplah itu dalam hati diaminkan. Sudah ada juga pengkhotbah yang mengajak anggota jemaat  itu untuk bernyanyi, kalau tidak pengkhotbah itu sendiri yang bernyanyi di mimbar. Cara-cara ini pun juga mungkin perlu dikaji supaya ada keseragaman cara berkhotbah di HKBP.

Banyak juga pengkhotbah yang menyajikan berbagai cerita yang menarik sebagai illustrasi khotbah, supaya pendengarnya  tertarik dan bahkan bisa tertawa. Sekarang ini memang banyak warga jemaat yang menginginkan pengkhotbah bisa membuat anggota jemaat itu tertawa. Kemudian ada anggapan bahwa pendeta yang pandai berkhotbah adalah yang bisa membuat  anggota jemaat tertawa ketika mendengar khotbahnya. Karena adanya anggapan seperti itu, maka banyak pengkhotbah  berusaha untuk membuat anggota jemaat itu tertawa sewaktu mendengar khotbahnya, supaya angota jemaat itu menyukai dia. Tetapi ada yang berpendapat bahwa cerita atau illustarsi yang membuat anggota jemaat itu bisa tertawa ketika mendengar khotbah, bagaikan bunga-bunga khotbah saja. Mungkin banyak yang tertarik kepada bunga-bunga khotbah itu saja, dan itulah yang diingat. Tetapi seperti sifat bunga-bunga yang mudah layu, begitulah isi dari khotbah itu mudah hilang dari ingatannya,  Tidak mengatakan bahwa adalah salah  jika tertawa ketika mendengar khotbah, tetapi yang salah adalah ketika khotbah itu banyak dibumbui dengan humor, sehingga yang mendengarkan tertawa-tertawa saja. Akibatnya bisa saja pendeta itu dilihat bagaikan pelawah saja  atau pelakon “standing up komedy”,  tidak bisa lagi dibedakan apakah dia pengkhotbah atau pelawak. Kecenderungan seperti ini mungkin perlu diwaspadai, karena para pendengar khotbah itu bukan lagi mau mendengar Firman Tuhan, tetapi beralih menjadi mendengarkan lawak yang bisa membuat tertawa.   (pdt msm panjaitan )