SIFAT
DARI KHOTBAH DALAM SETIAP KEBAKTIAN
Khotbah
yang merupakan jantung atau pusat dari setiap kebaktian, baik itu pada
kebaktian minggu maupun pada kebaktian-kebaktian lainnya adalah penyampaian
Firman Tuhan berdasarkan nats Alkitab yang telah ditentukan untuk kebaktian
itu, yakni nats Evangelium. Evangelium
artinya Injil atau kabar baik. Nats khotbah itu disebut Evangelium, karena pada
mulanya nats yang diambil untuk khotbah
hanyalah dari Kitab Evangelium yang empat itu, yakni Mateus, Markus, Lukas dam
Yohannes, karena dalam keempat kitab itulah
diberitakan karya pelayanan Yesus di dunia ini. Semua yang dikerjakan
oleh Yesus itu adalah kabar baik bagi manusia, yang menyatakan kasih Allah bagi umat manusia berdosa, yaitu karya penyelamatan manusia dari kuasa dosa
itu. Tetapi sekarang nats evangelium itu sudah bisa diambil dari semua kitab yang
ada dalam Kitab Suci itu, karena Kitab Suci itu adalah penyataan dari Firman
Allah. Kalau Kitab Suci atau Alkitab itu
dikatakan Firman Allah, bukan karena semua isi Alkitab itu ayat demi ayat
langsung menjadi perkataan Allah. Firman
Tuhan itu bisa juga diberitakan melalui kesaksian dari orang-orang beriman atau
hamba-hamba Allah tentang perbuatan Allah di tengah-tengah dunia atau umat
manusia. Firman Allah itu bisa juga disampaikan melalui kissah kehidupan orang-orang beriman atau
hamba-hamba Allah, bisa juga berupa peringatan Allah terhadap umatnya atau juga
berupa janji Allah yang disampaikan
melalui hamba-hambanya. Ada juga Firman Allah itu yang langsung disampaikan
oleh Allah melalui para nabi yang
mempunyai panggilan khusus dari Allah.
Selain dari nats Eavangelium,
masih ada nats lain di dalam kebaktian minggu, yang disebut nats Epistel. Epistel artinya Surat Kiriman, yakni surat
kiriman dari para rasul kepada jemaat-jemaat
yang mula-mula untuk membimbing
kehidupan umat Kristen yang pertama dalam
memahami dan menghayati pengajaran Yesus
serta meneguhkan iman mereka kepada Allah Tritungal.Pada mulanya yang menjadi
nats Epistel hanya diambil dari surat-surat para rasul, mulai dari Kissah Para
Rasul sampai kepada Kitab Wahyu. Tetapi sekarang Epistel juga sudah bisa
diambil dari seluruh isi Kitab Suci itu, yang dibagikan menurut klender
gerejawi. Pada mulanya, nats Epistel itu bukan hanya dibacakan oleh liturgis
tetapi juga dikhotbahkan. Tetapi kemudian nats epistel itu tidak lagi
dikhotbahkan, cukup hanya dibacakan oleh liturggis, dan belakangan ini
dibacakan secara responsia bersama dengan anggota jemaat.
Sifat khotbah berbeda dari
pidato, ceramah, kuliah, atau kata-kata
yang berupa wejangan. Kalau pidato, ceramah, kuliah, atau kata-kata wejangan,
selalu berlandaskan pikiran, ilmu atau pengetahuan dari orang yang
menyampaikannya. Tetapi khotbah sepenuhnya adalah menyampaikan Firman Allah
berdasarkan Kitab Suci itu. Jadi yang berbicara adalah Allah melalui
pengkhotbah itu. Karena itulah tidak boleh orang sembarangan bisa berkhotbah
baik dalam kebaktian minggu atau kebaktian lainnya, walaupun ada yang
menganggap dirinya telah mempunyai pengetahuan yang tinggi tentang Firman
Tuhan. Kalau di gereja HKBP hanya orang-orang yang telah ditahbiskan untuk
mejadi pelayan Firman Tuhan yang bisa berkhotbah di dalam kebaktian, yakni
pendeta, guru jemaat, bibel- vrow, diakones, evangelis dan penatua. Merekalah
yang telah diberkati oleh Allah secara khusus melalui tahbisan yang diterima untuk
menyampaikan Firman Allah. Memang setelah makin banyaknya jumlah pendeta
belakangan ini, maka kelihatannya yang lebih sering berkhotbah pada kebaktian
minggu adalah pendeta. Tetapi siapapun yang berkhotbah, dia harus sadar, bahwa
dia adalah menyampaikan Firman Allah kepada warga jemaat yang mengikuti
kebaktian iu, bukan menyampaikan perkataan manusia. Allah mempergunakan mulut
dan semua kehidupan dari pengkhotbah itu
untuk menyampaikan Firman Allah. Itu
berarti bahwa pengkhotbah itu harus lebih dulu menghayati apa yang
dikhotbahkannya. Kehidupan dari pengkhotbah itu harus selaras dengan apa yang
dikhotbahkan, supaya orang yang dikhotbahi jangan sampai tersandung karena
khotbahnya, Dalam ilmu homiletika ( berkhotbah) selalu ditekankan bahwa “kehidupan
dari pengkhotbah itulah khotbahnya dan khotbanya itulah hidupnya”. Pernah guru
homiletika berkata: “ Jangan mengkhotbah apa yang anda ketahui tetapi khotbahkanlah
apa yang anda hayati”. Mmaksudnya jangan sampai yang ada hal yang dikhotbahkan yang bertentangan dengan kehidupan dari pengkhotbah
itu. Itulah sebabnya para pengkhotbah tidak bisa anggap enteng dengan isi
khotbanya, karena semuanya itu harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah yang mempunyai Firman itu.
Jadi para pengkhotbah tidak bisa
hanya mengandalkan ilmu dan kepandaiannya saja. Dia harus benar-benar
merenungkan nats Firman Allah yang akan dikhotbahkannya, melalui persiapan yang
matang. Dalam persiapannya itu, dia tidak bisa hanya mengatakan apa yang ada di
dalam fikiran dan hatinya. Dia harus menanyakan Allah yang mempunyai Firman
itu, apa yang perlu disampaikan
melalui nats khotbah itu. Di dalam persiapan
itu pengkhotbah tidak cukup hanya membaca buku-buku atau tulisan yang
berhubungan dengan nats khotbah itu, tetapi dia juga harus membaca situasi dari
orang-orang yang akan mendengar khotbah itu. Jadi persiapan khotbah bukan hanya
membaca buku-buku di meja, tetapi juga harus melihat ke lapangan, yang menjadi
konteks kehidupan dari orang yang dikhotbahi. Dengan singkat, kunci kepada pekerjaan berkhotbah adalah persiapan.
Melalui persiapan itulah Roh Kudus memberi pengajaran kepadanya tentang apa
yang akan dikhotbahkan.
Semua khotbah harus selalu berdasar
kepada pribadi Yesus Kristus, yakni
kepada pekerjaan, kasih, penderitaan, salib, kematian dan kebangkitan-Nya.
Semuanya itu adalah satu kesatuan dalam
karya penyelamatan-Nya atas manusia yang berdosa. Salib itulah simbol dari
semua penderitaan-Nya yang bertumpu kepada kematian-Nya. Tetapi Dia memenangkan
semua penderitaannya itu melalui kebangkitannya dari kematian. Karena itu
khotbah harus bisa menyadarkan orang-orang percaya kepada Yesus, bahwa mereka
harus bersedia menderita karena kebenaran dan karena mengikut Yesus. Jadi bukan
hanya karena mengharapkan yang enak-enak saja, atau kesuksesan hidup di dunia
ini yang diharapkan oleh orang yang mengikut Yesus. Khotbah juga harus bisa
mengarahkan orang yang mendengarkannya memahami berbagai kesusahan dan
penderitaan yang mengenai orang-orang percaya di dunia ini, tetapi melalui
khotbah yang didengarkan mereka bisa bertekun dan sabar, karena Yesus sudah
lebih dulu memenangkannya. Sekiranyapun dia bisa memperoleh hidup yang enak,
dan kesuksesan dalam kehidupan di dunia ini, dia harus bisa mengaku bahwa itu
bukan karena kekuatan atau kehebatannya, tetap semata-mata hanya karena berkat
Tuhan, sehingga dengan demikian dia bisa selalu mensyukurinya kepada Allah.
Dari manapun nats khotbah itu, walaupun dari Perjanjian Lama, pengkhotbah harus
bisa membawa yang dikhotbahkannya sampai kepada Yesus Kristus. Karena itu
nats-nats khotbah itu tidak dikhotbahkan secara hurufiah, ayat demi ayat dijelaskan,
tetapi juga harus bisa menggali konteks dari masing-masing ayat dari nats
khotbah itu, sehingga pada akhirnya nampak perhubungan dari nats itu dengan
kehidupan Jesus Kristus. Dalam hal ini kita pahami betapa sulitnya berkhotbah
itu, sehingga perlu persiapan yang
matang.
Belakangan ini kelihatannya sudah
bermacam cara dari pengkhotbah untuk menarik hati dari oarang-orang yang mendengarkan khotbah itu.
Ada yang bersahut-sahutan dengan pendengar, di mana para pendengar menjawab
pengkhotbah dengan kata “amin”, kalau kotbah itu dirasa kena ke hatinya. Kalau
selama ini cara seperti itu tidak biasa ketika mendengar khotbah dalam
kebaktian minggu. Kalaupun khotbah itu kena ke hatinya, cukuplah itu dalam hati
diaminkan. Sudah ada juga pengkhotbah yang mengajak anggota jemaat itu untuk bernyanyi, kalau tidak pengkhotbah
itu sendiri yang bernyanyi di mimbar. Cara-cara ini pun juga mungkin perlu
dikaji supaya ada keseragaman cara berkhotbah di HKBP.
Banyak juga pengkhotbah yang menyajikan
berbagai cerita yang menarik sebagai illustrasi khotbah, supaya
pendengarnya tertarik dan bahkan bisa
tertawa. Sekarang ini memang banyak warga jemaat yang menginginkan pengkhotbah
bisa membuat anggota jemaat itu tertawa. Kemudian ada anggapan bahwa pendeta
yang pandai berkhotbah adalah yang bisa membuat
anggota jemaat tertawa ketika mendengar khotbahnya. Karena adanya
anggapan seperti itu, maka banyak pengkhotbah
berusaha untuk membuat anggota jemaat itu tertawa sewaktu mendengar
khotbahnya, supaya angota jemaat itu menyukai dia. Tetapi ada yang berpendapat
bahwa cerita atau illustarsi yang membuat anggota jemaat itu bisa tertawa
ketika mendengar khotbah, bagaikan bunga-bunga khotbah saja. Mungkin banyak
yang tertarik kepada bunga-bunga khotbah itu saja, dan itulah yang diingat. Tetapi
seperti sifat bunga-bunga yang mudah layu, begitulah isi dari khotbah itu mudah
hilang dari ingatannya, Tidak mengatakan
bahwa adalah salah jika tertawa ketika
mendengar khotbah, tetapi yang salah adalah ketika khotbah itu banyak dibumbui
dengan humor, sehingga yang mendengarkan tertawa-tertawa saja. Akibatnya bisa
saja pendeta itu dilihat bagaikan pelawah saja
atau pelakon “standing up komedy”,
tidak bisa lagi dibedakan apakah dia pengkhotbah atau pelawak. Kecenderungan
seperti ini mungkin perlu diwaspadai, karena para pendengar khotbah itu bukan
lagi mau mendengar Firman Tuhan, tetapi beralih menjadi mendengarkan lawak yang
bisa membuat tertawa. (pdt msm panjaitan )