F
A K U L T A S T H E O L O G I A
U
N I V E R S I T A S H K B P N O M M E N S E N
A
R T I D A N
M A K N A “ H E S E D “
(
K A S I H - S E T I A )
D
A L A M
H
I D U P P E R S E K U T U A N I S R A E L
Skripsi
Diserahkan
kepada Fakultas Theologia
Universitas
HKBP Nommensen
Dalam
memenuhi syarat-syarat
untuk
memperoleh gelar
Sarjana
Theologia
Oleh
:
Mangontang
Panjaitan
No.
Univ. : 424/ 70
Pematangsiantar,
4 Oktober 1975
K
A T A P E N G A N T A R
Skripsi ini dipersiapkan untuk
memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar
Sarjana Theologia, di bidang kejuruan Perjanjian Lama, yang diberi judul: ARTI DAN MAKNA HESED DALAM HIDUP PERSEKUTUAN ISRAEL. Ini adalah salinan ulang dari
aslinya yang masih dalam bentuk ketikan mesin ketik.
Untuk menyelesaikan skripsi ini,
penulis memperoleh bimbingan utama dari bapak Dr. SM Siahaan, MTh. Di samping itu penulis juga
banyak memperoleh bimbingan dari dosen Perjanjian Lama lainnya di Fakutas
Theologia, antara lain dari Prof. Dr. AA Sitompul ( sampai tahun 1974), dan dari
Drs. SP Siregar. Tanpa bantuan dan bimbingan
mereka skripsi ini tidak bisa diselesaikan.
Karena itu penulis tidak lupa
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, istimewa kepada Dr. SM Siahaan,
MTh, yang tidak mengenal lelah memberikan bimbingan kepada penulis. Juga kepada
Prof, Dr. AA Sitompul, Drs. S.P.Siregar, Dekan Fakultas Theologia, dan seluruh
mahaguru Fakultas Theologia/
Penulis mengakui kelemahan-kelemahan
dalam skripsi ini. Karena itu penulis mengharapkan kritik yang sehat dari
pembaca, baik bapak-bapak dosen, maupun
saudara-saudara mahasiswa.
Pematangsiantar, Oktober 1975
( Mangontang Panjaitan )
D A
F T A R I S I hal.
I.
Pendahuluan
1. Metode dan maksud memilih
judul
.......................................
2. Statistik pemakaian istilah חֶםֶד dalam Perjanjian
Lama ........
a. Istilah itu dipakai sebanyak 245
( lengkap dengan daftar).
b. Kata-kata yang berhubungan
dengaan חֶסֶד
...................
3. Kata-kata yang paralel
dengan חֶסֶד dalam Kitab Mazmur .....
4. Etimologi ..............................................................................
5. Beberapa pandangan tentang
pengertian חֶסֶד
...................
II. Arti dan makna חֶסֶד
dalam persekutuan keluarga ................
1. Batasan keluarga ....................................................................
2. Solidaritas keluarga secara
umum
...........................................
3. Hesed anak terhadap bapa (
eksegese Kej. 47: 29 ) .................
4. Hesed istri terhadap suami
(eksegese Kej.20: 15) ....................
5. Hesed janda perempuan terhadap גׄאֵל ( go’el) nya : eksegese
Ruth 3: 10
..................................................................................
6. Hesed di antara tuan rumah dan tamu/ orang
penumpang
Eksegese: Yos. 2: 12-13; Kej. 21: 23; terutama 19:
19 ...............
III.
Arti
dan makna hesed dalam persekutuan yang lebih luas .
1. Hesed di antara suku-suku:
eksegese 1 Sam. 15: 6 ..................
2. Hesed di antara orang bersaudara
dalam ikatan perjanjian:
Eksegese: 1 Sam. 20: 8.14.15; 2 Sam. 9: 1.3.7; 16:
16b.17..........
3. Hesed dan keadilan sosial
...........................................................
IV.
Arti
dan makna hesed dalam lapangan kultus ( persekutuan
Allah dan umatnya – hesed Yahwe )
.....................................
1. Perjanjian dan hesed Yahwe
........................................................
2. Hesed Yahwe kepada Abraham(
eksegese. Kej. 13: 1-21;
17: 1-14; 24:12;
............................................................................
3. Hesed Yahwe kepada Yakub :
eksegese Kej. 32: 10-13; ..............
4. Hesed Yahwe kepada David:
eksegese 2 Sam. 7: 1-17 .................
5. Hesed Yahwe kepada bangsanya
a) Gambaran-gambaran yang dipakai
untuk menunjukkan hesed
Yahwe kepada umatnya (Bapa, Gembala, Perkawinan)
..........
b) Hesed Yahwe kepada bangsanya di
pembuangan ...................
c) Hesed Yahwe sesudah pembuangan
.......................................
V.
Kesimpulan/
Penutup ...............................................................
Catatan-catatan
.............................................................................
Daftar Kepustakaan
.......................................................................
I PENDAHULUAN
1. Metode
dan maksud memilih judul
Bersamaan dengan perkembangan metode penelitian dan
penyelidikan ilmu pengetahuan belakangan ini di dunia Perguruan Tinggi,
muncullah bermacam-macam metode penelitian di bidang theologia. Cara-cara dan
metode penelitian yang sistematis yang diperoleh di dunia Perguruan Tinggi itu,
juga dimanfaatkan dalam bidang theologia. Dan untuk memperdalam dasar-dasar
pengetahuan theologia, timbullah penelitian yang makin intensif di bidang
Biblika, yaitu bidang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Khusus di bidang Perjanjian Lama, telah timbul
belakangan ini bermacam-macam metode yang dipakai untuk mendekatinya. Ada yang
memakai metode pendekatan dari sudut anthropologis, ada yang dari sudut sejarah
Agama, ada yang dari sudut arkheologi, sosiologi dan ada pula pula dari sudut
pengunaan istilah. Semuanya bekerja atas dasar keyakinan mereka akan kebenaran
metode yang dipakai.
Dari berbagai metode dan cara pendekatan itu,
penulis memilih metode pendekatan dari sudut penggunaan istilah. Penulis yakin
bahwa metode ini termasuk metode yang baik, karena walaupun memperlajari satu
istilah, namun istilah itu boleh saja mencakup lapangan yang sangat luas
sekali.
Jika kita berusaha memahami istilah-istilah
theologia dalam Perjanjian Lama, yang telah dipergunakan untuk menggambarkan
sikap, tindakan dan perhubungan Allah dengan manusia umumnya dan umat Israel
khususnya, maka sebaiknya kita lebih dahulu memahami arti dan makna istilah itu
dalam pemakaian di antara manusia. Karena tanpa demikian, kita tidak mungkin
memahami pengertian theologisnya. Seluruh istilah yang kita dapati dalam Perjanjian
Lama adalah diambil-alih dari berbagai lapangan dan pengalaman hidup, seperti
lapangan kekeluargaan, hukum, pekerjaan sehari-hari, lapangan kenegaraan
dsb. Istilah-istilah demikian
dipergunakan untuk menyatakan sikap, tindakan dan persekutuan Allah dengan
manusia. Memang kita harus akui, istilah-istilah itu tidak sanggup untuk
menyatakan pribadi Allah. Itu hanya alat yang dipakai oleh Allah untuk
menyatakan diri-Nya, menyatakan sifat dan tindakan-Nya. Istilah חֶסֶד (hesed) yang dicoba oleh penulis utuk mendekatinya adalah salah
satu dari berbagai istilah itu. Penulis mau menguraikan “ ARTI DAN MAKNA חֶסֶד (HESED) DALAM HIDUP PERSEKUTUAN
ISRAEL”, yang mencakup persekutuan
antara manusia dengan manusia dan persekutuan manusia dengan Allah. Istilah ini
termasuk istilah yang dominan dalam Perjanjian Lama, yang sepanjang penelitian
penulis hampir belum ada yang membahasnya secara mendalam, istimewa dalam
literatur berbahasa Indonesia.
Karena itu dengan permulaan studi ini, kiranya dapat
menjadi sumbangan literatur di bidang Perjanjian Lama, yang dapat dimanfaatkan
oleh para mahasiswa theologia, dan seluruh orang Kristen yang berminat untuk
mempelajarinya. Selama ini masih banyak mahasiswa dan akhli-akhli theologia yang
mengabaikan istilah itu begitu saja, sehingga belum umum dikenal dalam dunia
theologia. Orang lebih mengenal istilah אַהֲבָה (ahabah - kasih), dari pada istilah חֶסֶד, untuk menggambarkan sifat Allah yang
penuh pertolongan dan keramahan dalam hal mengumpulkan manusia dan mengampuni
dosa. Pada hal istilah חֶסֶד jauh
lebih banyak dipergunakan untuk itu1). Istilah חֶסֶד sudah
lebih banyak dalam tulisan tua Perjanjian Lama, dari pada istilah אַהֲבָה ,
untuk dikenakan kepada Allah2). Pengalaman kemanusiaan dari mana arti dasar kata אֲהֲבָה itu diperoleh masih
jauh lebih sempit dari kata חֶסֶד ,
karena arti dasar dari kata “ahabah” adalah tenaga asmara atau percintaan di
antara laki-laki dan perempuan3). Istilah אֲהַבָה dikenakan kepada Allah barulah setelah nabi-nabi
menggambar sikap Allah terhadap Israel dalam ikatan perkawinan4). Istilah חֶסֶד sudah
dikenakan kepada Allah bersamaan dengan timbulnya ikatan perjanjian antara
Allah dengan Israel. Ikatan perjanjian Allah dengan manusia menuntut suatu
kekuatan. Kekuatan itu disalurkan dari חֶסֶד Allah
melalui hukum keadilan, sehingga manusia yang terlibat di dalamnya mempunyai
tanggung-jawab.
2. Statistik
pemakaian istilah חֶסֶד dalam Perjanjian
Lama
a. Istilah
itu dipakai sebanyak 245 kali dalam Perjanjian Lama
Nama Kitab |
Umum
/ Tempat |
Sbg Subyek/Tempat |
Sbg Obyek/Tempat |
Kejadian |
3x
: 20:13; 21: 23; 32: 11 |
|
8x: 19: 19; 24: 12.14.17.49;
39:21; 40: 14; 47: 29 |
Keluaran
|
2x:
13: 13; 34: 6 |
|
2x: 20: 6; 34: 7 |
Bilangan |
2x: 14: 28; 14L 19 |
|
|
Ulangan |
|
|
3x: 5: 10’ 7: 9. 12. |
Yosua |
|
|
3x; 2: 12.12.14. |
Hakim-Hakim |
|
|
2x: 1: 24; 2: 35. |
1
Samuel |
|
|
4x: 15: 6; 20” 8.14.15. |
2
Samuel |
1x: 16: 17 |
2x: 7: 15; 15: 20 |
9X: 12: 5.6; 3: 8; 9: 1.3.17;
10: 2.2.; 22: 5. |
1
Raja-raja |
1x: 20: 3; |
|
4x: 12: 7; 3: 6.6; 8: 23; |
Yesaya |
5x:
16: 5; 54: 8; 55L 3; 57: 1; 63:7 |
2x:
40: 6; 54: 10; |
1x: 63: 7. |
Yeremia |
1x: 31: 3; |
1x: 33: 11; |
4x: 2: 2; 9: 23; 16: 5; 32: 18. |
Hosea |
2x:
2: 2; 10: 12; |
2x: 4: 1; 6: 4; |
2x: 6: 6; 12: 7. |
Yoel |
1x:
2: 15; |
- |
- |
Yunus |
1x: 4: 2; |
- |
1x: 2: 9. |
Mika |
1x: 6: 8; |
- |
2x: 7: 18.20. |
Zakharia
|
- |
- |
1x: 7: 9. |
Mazmur |
37x: 5: 8; 6: 5; 13: 6; 21: 8;
25: 7.10; 31: 8.17; 32: 10; 33: 5,18; 44:27; 51:3; 52: 10; 59: 11.18; 69: 14;
86: 5.15; 90: 14; 103: 4.8; 106: 7.45; 109” 26; 115: 1; 119: 64.86.124.149.159;
138: 2; 141: 5; 143: 12; 144: 2; 145: 8; 147: 11; |
61x: 26: 3; 33: 22; 36: 6.8;
40: 12;52: 3; 57: 11; 62: 13; 63: 4; 69: 17; 77: 9; 85: 11; 86: 13; 88: 12;
89: 3.15.25.50; 94: 18; 100: 5; 103: 17; 106: 1; 107: 1; 108: 5; 109: 21;
117: 2; 118: 1.2.3.4.29; 119: 41.76; 130: 7;136:1.2.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.;
136: 3; 138: 8. |
29x: 17: 7; 18: 5; 23: 6; 25: 6; 31: 22; 36: 11;
40: 11; 42: 9; 48: 10; 57: 4; 59: 17; 61: 8; 66: 20; 85: 8; 89: 2.29.34; 92:
3; 98: 3; 101: 1; 103: 11; 107: 6.15.21.31.43; 109: 12.16; 143: 8 |
Ayub |
1x: 37: 13; |
1x: 6: 14; |
1x: 10:12. |
Amsal
Salomo |
6x: 11: 17; 14; 22; 16: 6; 20: 6.28; 31: 26; |
3X: 3: 3; 15: 22; 20: 28; |
1X: 21: 21. |
Ratapan` |
1X; 3{ 22; |
- |
- |
Ruth |
- |
- |
3x: 1: 8; 2: 10; 3: 10. |
Ester |
- |
- |
2x: 2: 9.17. |
Daniel |
1x: 1: 4; |
- |
1x: 9: 4. |
Esra |
- |
1x: 3: 1; |
2x: 7: 28; 9: 9. |
Nehemia |
2x: 9: 17; 13: 22; |
- |
3x: 1: 5; 9: 32; 13: 14. |
1
Tawarikh |
- |
2x: 16: 34.41; |
3x: 17: 13; 10: 2.2. |
2
Tawarikh |
3x: 6: 42; 32: 32; 33: 26; |
4x: 5: 13; 7: 3.6; 20: 21; |
3x: 11: 8; 6: 14; 24: 22 |
Jumlah
|
72 kali |
79 kali |
94 kali |
b. Kata-kata
yang sering berhubungan dengan: חֶסֶד
-
חֶסֶד וְאֱמֶת Sebanyak
17 kali
Nama
Kitab |
Umum/Tempat |
Subyek/Tempat
|
Obyek/Tempat |
Mazmur |
3X:
25: 10; 115: 1; 138” 2 |
4x: 40: 12; 85: 11;89: 5; 117:
2 |
2x: 57: 4; 61: 8. |
Amsal |
2x;
14: 22; 16: 6; |
2X: 3: 3; 20: 28; |
- |
Kejadian |
- |
- |
1x: 24: 27 |
2
Samuel |
- |
1x: 15: 20; |
1x: 2: 6. |
Yosua |
- |
- |
1x: 2: 14. |
|
|
|
|
תֶסֶד
עוׄלׇם atau תֶסֶד עוׄלׇם - sebanyak 48 kali
Nama Kitab |
Umum/Tempat |
Subyek/Tempat |
Obyek/Tempat |
Yesaya |
1x: 54: 8; |
- |
- |
Yeremia |
- |
1x: 33: 1; |
- |
Mazmur |
- |
36x: 89: 3; 100: 5; 106: 1; 107: 1; 118: 1-4;29;
136: 1-26; 138: 8; |
2x: 89: 2.29. |
Ezra |
- |
1x: 3: 11; |
- |
1
Tawarikh |
- |
2x: 16: 34.41; |
- |
2
Tawarikh |
- |
3x: 5: 13; 7: 3.6; 20: 21.21. |
|
|
|
|
|
בּֽרִית וֽחֶסֶד - Hanya
sebagai obyek sebanyak empat kali: 1 Raja
8: 23; Yeh. 1: 5; 9: 32; 2Tawa. 6: 14.
: חֶסֶד וֽמִשפׇּת
dijumpai
sebanyak lima kali yakni: Mika 6L 8;
Yer. 9: 23; Hos.12: 7; Maz. 101:1; Zak. 7: 9.
3. Kata-kata
yang pararel dengan: חֶסֶד dalam
Kitab Mazmur5).
יְשֺוּעָהה
: Keselamatan: 13:5; 65:7; 18:50; 119:41;40:11;69:13
רַחֲמִים : Belas-kasihan : 25:6;
40:11; 51:1; 69:16; 103:4; ׅ
bd.Rat.3:22.
צְדָקָה : Keadilan : 36:10; 40:11;
143:11; 35:10
אֱמוּנָה : Kesetiaan : 36:6; 88:11;
89:1f.33; 92:2; 100:5; bd.40: 11.
פְדוּת : Kebebasan : 130: 7.
4.
Etimologi
Sepanjang penyelidikan, sampai
sekarang belum ada petunjuk yang pasti bagi kita dan keterangan yang jelas
tentang etimologi dari kata: חֶסֶד
Walker berpendapat , bahwa kata
itu adalah berakar dari kata kerja :חָסַד (hasad), yang berarti “tunduk
satu sama lain”6). Dari sinilah mungkin timbul pengertian berbuat
kemurahan, kebaikan, belas kasihan satu sama lain. Kata kerja itu tidak pernah
kita jumpai dalam bentuk Qal, hanya
dalam bentuk Hithpael, yang menunjukkan tindakan berbalas-balasan satu sama
lain. Sehingga apabila dikatakan יִתְחַסֵּד (yethhassed), berati
saling menunjukkan kebaikan satu sama lain7).
Kalau kita memperbandingkan
dengan bahasa Syria, maka di sana kita menjumpai dua perkataan yang hampir sama
bunyinya, yakni kata hasda dan heshda. Kata yang pertama berarti noda
atau sesuatu tindakan yang memalukan (repreach) dan kata yang ke dua berarti
sikap kebaikan atau kemurahan8).
Di dalam PL kita juga menjumpai
kata חֶסֶד
(hesed) yang berbunyi sama, satu dalam arti kasih-setia, kebaikan dan
kemurahan dan yang satu lagi berarti
noda atau sesuatu hal yang mempermalukan. Dalam pengertian yang ke dua
ini kata itu hanya dua kali kita jumpai dalam kitab PL, yakni pada Im.20:17dan Amsal 14: 349).
Menurut Smith, etimologi dari ke dua kata itu adalah berbeda. Yang satu adalah
berakar dari kata Arab hsd dan yang
kedua berakar dari kata Arab hshd, dan
yang terakhir inilah yang berarti persahabatan10).
Pendapat Robinson juga sejajar
dengan itu, bahwa kata חֶסֶד lebih dekat kepada kata
Arab hshd, yang diartikan sebagai
kegiatan untuk menolong. Sehingga menurut dia, dalam bentuk kata kerja kata itu
berarti: berkumpul atau bersekutu dengan maksud saling menolong11).
Karena itulah menurut Robinson hesed adalah “kebajikan yang
mempersatukan masyarakat”.
Tetapi Zimmerli meragukan
pendapat-pendapat ini12). Memang adalah tidak mungkin kata yang
sudah tua dikenal berasal dari kata atau bahasa yang lebih muda dari padanya.
Penulis sangat setuju dengan pendapat Zimmerli, yang mengatakan bahwa tidak
mungkin kita mencari etimologi dari kata itu dengan tepat sekali, karena
nampaknya kata tersebut telah menjadi suatu istilah yng hidup di lingkungan
masyarakat, yang menggambarkan ikatan masyarakat, baik individu dengan individu,
maupun kelompok dengan kelompok; istimewa dalam teks-teks yang lebih tua
pengertian yang demikianlah yang kita jumpai.
5. Beberepa
pandangan tentang pengertian חֶסֶד .
Dalam monografi yang ditulis oleh
Nelson Glueck13), dia telah membuka penyelidikan terhadap istilah חֶסֶד. Dia
menggolongkan pemakaian kata itu atas tiga bahagian, yang pertama dalam arti
profan, kedua dalam arti religi dan yang
ketiga dalam arti theologis ( sikap Tuhan). Dia mengatakan bahwa dalam arti profan, חֶסֶד
adalah sikap atau cara laku yang berhubungan dengan hukum kebajikan14).
Sikap yang pantas dan yang menurut hukum dalam persekutuan sanak-saudara, persekutuan marga-marga dan persekutuan
suku-suku; sikap yang pantas dari seorang tuan rumah kepada tamu ataupun kepada
seorang penumpang; sikap yang seharusnya di antara orang yang mengikat
perjanjian, dan orang yang bersahabat; sikap yang adil dari seorang penguasa
terhadap rakyatnya dan sikap persekutuan tolong menolong.
Di dalam pengertian religi, maka חֶסֶד adalah
sikap kemasyarakatan di antara manusia
dengan manusia terhadap Allah15). Dari sinilah timbul istilah
חָסִיד (
hasid), yakni orang saleh yang sikapnya berlawanan dengan orang berdosa ( Maz.
37: 28; 97: 10; 1 Sam.2: 9; Amsal 11:77; Maz.80 2; 79: 2; 143:12; 119: 124; 31:
17; 2 Taw.6:41. 42, dll.). Orang ini dapat juga disamakan dengan seorang yang
bijaksana dan benar ( Maz.18: 26; 2 Sam. 22: 26; Mika 7: 2) dan orang yang
setia dalam kepercayaannya (Amsal 20: 6; Maz.50: 53l Kel. 29: 5).
Kata itu juga dipakai untuk menunjukkan sikap
persekutuan Tuhan terhadap manusia16), baik secara pribadi maupun
secara kolektif terhadap umat yang dipilihnya. Sikap hesed inilah yang mendorong Allah untuk turut
serta di tengah-tengah persekutuan umatnya. Berdasarkan pandangan inilah maka
Glueck membuat terjemahan dari kata itu dengan kasih ataupun anugerah17).
Setelah thesis dari Glueck ini maka timbullah
pendapat H.J.Stoebe, di mana dia memberikan kesimpulan: “Sifat khas penyataan
yang theologis dari hesed Allah adalah
dilihat dari kesetiaannya berpaling kepada manusia dengan kebaikan dan
kemurahannya yang tidak bersyarat. Dia memasrahkan kebenaran ilahinya supaya
bersekutu dengan manusia18).
Dalam thesis ini kita memperoleh suatu kesejajaran dengan apa yang diperbuat dalam
interpretasi Glueck. Hanya dalam thesis ini Stoebe lebih tegas menyatakan
kesediaan dan kerelaan Allah untuk turut berpartisipasi dengan manusia tanpa
adanya syarat yang harus dipenuhi dari pihak manusia.
A.Lodds memberikan pendapatnya bahwa hesed adalah suatu kata yang mempunyai arti
yang sangat luas. Kata itu harus diterjemahkan dengan pietas, dengan belas
kasihan, kasih atau anugerah. Kata itu juga sangat erat hubungannya denga pietas
dalam bahasa Latin, yang artinya bukan hanya keteguhan iman dari seorang yang
percaya kepada Allah, atau seorang anak terhadap bapaknya, tetapi juga
menunjukkan perasaan Allah atau seorang yang lebih tinggi kepada bawahannya.
Secara umum menurut dia, kata itu berarti perasaan natural yang mendorong
seorang manusia tanpa paksaan hukum untuk bertindak baik dan memberi hati yang
tulus ikhlas kepada anggota-anggota
keluarga atau sukunya.19).
H. Borrows menerangkan bahwa kata hesed yang bisa diartikan sebagai
keramahan ( kindness) atau kasih yang ramah ( loving-kindness) pertama sekali
adalah loyalitas, tetapi kata itu sering juga diartikan sebagai suatu kebajikan
apa yang patut diharapkan oleh orang yang menerimanya20).
N.H.Smith mengatakan bahwa hesed berati kasih perjanjian ( covenant-love ). Tanpa adanya
sesuatu eksistensi yang nenggerakan sesuatu
perjanjian maka di sana tidak akan pernah ada hesed satu sama lain22). Tetapi Zimmerli menolak adanya
pertalian yang rapat antara hesed dan
perjanjian apalagi menerjemahkan kata itu dengan kasih-perjanjian. Kita
menjumpai hanya sedikit sekali pertalian hesed
dengan perjanjian dalam P.L. 22). Menurut Zimmerli hesed adalah menunjukkan unsur kebebasan
dan kespontanan menunjukkan kebaikan dan perlakuan yang ramah, dan itu tidak
dapat dijadikan sebagai utang atau kebajikan23).
Selanjutnya Robinson lebih menekankan hubungan hesed dengan pertobatan. Apabila dia
menerangkan bahwa kata hesed
merupakan kata yang baik untuk melukiskan kedalaman hubungan Allah dengan
Israel, maka hesed diartikan sebagai
suatu kebenaran atau keadilan yang membawa hasil yang lebih baik. Dengan hesed Allah, maka umatnya selekas
mungkin diarahkan kepada pertobatan, merobah sikap manusia. Maksud hesed Allah adalah membangkitkan dan
memelihara manusia. Dan pertobatan manusia adalah merupakan respons yang
sesungguhnya terhadap hesed Allah.24)
Edmond Jacob berpendapat, bahwa kata hesed adalah kata yang paling sering
dipakai untuk menunjukkan kesetiaan Allah.25) Suatu istilah yang
tidak terdapat dalam bahasa-bahasa modern. Menurut dia kata itu telah lebih
dulu dipergunakan dalam perhubungan manusia dalam arti solidaritas dan
kesetiaan. Sedangkan dalam arti anugerah dan kemurahan adalah timbul di
kemudian hari. Dan kata itu masuk ke dalam pengertian theologis barulah setelah
adanya ikatan perjanjian antara Allah dan umatnya. Hesed
Allah dinyatakan di dalam dan melalui perjanjian. Dan inilah sebabnya maka
Allah membuat suatu perjanjian, di mana Dia mau menunjukkan hesed-nya kepada umatnya. Dengan
nyatanya hesed Allah dalam perjanjian
itu, maka secara khusus hesed itu
menunjukkan bahwa Allah adalah kuasa yang kuat di tengah-tengah umat manusia.
Kuasa yang tidak dapat dilawan manusia26).
Terakhir sekali kita mengutip pendapat G.A.Smith.
Dia berpendapat bahwa hesed mengandung
arti yang lebih dalam dari pada perasaan kasih-sayang (affection); hesed dalah loyalitas terhadap suatu
relasi. Sehingga apabila kata itu diterjemahkan
dengan kemurahan hati atau anugerah adalah tidak cocok. Terjemahan yang
lebih dekat adalah kesetiaan. Dalam bahasa Inggris dia mendefinisikan kata itu
dengan Leal-love 27). Bagi Allah keutuhan dan
keteguhan kasih itu sangat diperlukan, karena dia selalu berhubungan dengan
bangsanya yang keras kepala. Tanpa adanya hesed
ini dalam sifat Allah, maka Dia tidak akan berkuasa untuk bersekutu dengan umat yang keras kepala
itu.
Seluruh pendapat-pendapat di atas mempunyai
kebenaran masing-masing, sesuai dengan segi mereka melihat kata itu, sehingga
tidak boleh disalahkan begitu saja atau diterima secara mutlak. Kebanyakan
mereka hanya menyoroti dari segi
pengertian theologis, sehingga tidak jelas nampak perkembangan pengertian dari
kata itu. Pengertian kata itu adalah
berkembang sejalan dengan pengertian masyarakat tentang keadilan yang juga
berkembang. Bagi manusia yang belum beradab, di mana pergaulan yang luas belum
dikenal, maka pengertian solidaritas hanyalah merupakan ikatan persaudaraan
sedarah. Kekuatan yang terkandung dalam orang yang demikian hanyalah kodrat
emosioal. Apa yang adil bagi mereka adalah tindakan yang tidak membiarkan
kaumnya ditimpa kemalangan; artinya walau bagaimana sekalipun harus membela
saudaranya dalam sesuatu persoalan. Tetapi konsep keadilan yang demikian tidak
bisa bertahan setelah adanya pergaulan yang lebih luas; keadilan tidak bisa
lagi hanya ditentukan oleh perasaan sedarah; karena itu diperlukan adanya suatu
hukum yang menjamin obyektivitas dari tindakan keadilan. Jadi hesed adalah pelaksanaan yang normal
dari keadilan atau kepatuhan yang bebas dan sukarela terhadap hukum keadilan.
II. ARTI DAN MAKNA חֶסֶד DALAM PERSEKUTUAN
KELUARGA
1.
Batasan keluarga
Keluarga adalah persekutuan
orang-orang yang dihubungkan dengan ikatan perkawinan dan pertalian sanak-saudara,
yang dikendalikan oleh otoritas bapa. Perkawinan di tengah-tengah orang Israel
adalah patriarkhal, yang mengikuti garis ketrunan bapa.
Di dalam PL banyak dijumpai
keluarga-keluarga yang besar, istimewa pada masa terjadinya perkawinan poligami28).
Yang termasuk ke dalam keluarga adalah bapa, ibu, anak laki-laki, anak
perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan ( sebelum kawin). Hamba,
gundik, dan orang penompang29). Orang Israel memang sangat
menginginkan keluarga yang besar terutama karena alasan ekonomi dan alasan
keagamaan. Pada zaman Nomaden maupun
zaman seminomaden mereka sangat membutuhkan banyak tenaga untuk menggembalai
ternak30), dan juga mengerjakan tanah. Demikian juga untuk memelihara
kekuatan keluarga atau sukunya diperlukan anggota keluargabyang besar31). Tradisi keagamaan mereka juga mengajarkan
bahwa kemampuan beranak banyak adalah berkat Allah32) (bd. Kejadian
1: 28a; 9:1 ). Pertambahan keluarga diharapkan terutama melalui kelahiran. Di
samping itu dengan mengikat perjanjian dengan orang lain secara pribadi, maupun
secara golongan33).
2.
Solidaritas keluarga secara umum
Setiap anggota keluarga
bertanggung-jawab memelihara kehormatan dan nama keluarga itu. Mereka tidak
membiarkan penindasan terhadap kaumnya, dan menolak setiap kesakitan yang mungkin
menimpa keluarga itu. Karena itu setiap
orang yang bernaung di bawah tubuh keluarga itu, secara keseluruhan bertanggung-jawab memelihara prinsip keadilan
yang retributif ( bersifat pembalasan; bd 2 Sam. 3:27; 16:8; 2 Raja 9: 26).
Apabila ada dari antara mereka yang mati terbunuh oleh orang lain, maka anggota keluarga itu wajib menuntut
darah teman sedarah dagingnya. Orang-orang Israel tua menyadari bahwa
pembalasan demikian adalah untuk menjalankan keadilan, agar kesatuan keluarga
mereka dipulihkan kembali. Bagi keluarga atau golongan si korban, penuntutan
darah adalah tindakan kesetia-kawanan terhadap anggota keluarga yang terbunuh
itu. Satu kaum kerabat adalah sepenanggungan, sehidup semati, seperasaan,
karena mereka adalah sedarah34).
Seorang yang tidak menuntut darah dari salah satu kaum kerabatnya
berarti dia telah mengabaikan keluarganya dan mengabaikan kesetia-kawanan
mereka, sekaligus melalaikan keadilan. Memang di tengah-tengah masyarakat yang
belum mempunyai satu lembaga peradilan umum, maka penuntutan kejahatan terutama
yang berhubungan dengan soal pembunuhan adalah terserah kepada keluarga yang
terbunuh itu35).
Keluarga juga berfungsi sebagai
persekutuan keagamaan. Di dalamnya masing-masing diwajibkan untuk memelihara
tradisi-tradisi dan meneruskannya melalui pengajaran-pengajaran dan ibadat di
tengah-tengah keluarga. Terutama mereka harus mengingat sejarah nenek-noyang
mereka, di mana Allah menunjukkan keselamatan, dengan mengucapkan pengakuan
iman (credo) seperti tertulis dalam kitab Ulangan 26: 5 ff. Dalam hal ini
persekutuan telah menunjuk kepada persekutuan suku Israel selaku persekutuan
iman36). Karena itu seorang bapa wajib memberikan pengajaran kepada
anak-anaknya ( Amsal 1: 8), dan dia juga berkuasa untuk menghukum mereka
apabila tidak patuh terhadap pengajarannya ( Ul. 13: 6-10). Si anak yang
berperanan sekali untuk melanjutkan garis keturunan bapanya atau mengabadikan
nama dan pribadi dari bapa wajib mengetahui dan mengikuti tradisi-tradisi
persekutuan, serta mempelajari arti dari hikmat ( Ul. 8: 5; Amsal 3: 12; 13:
24; 19: 18-29). Tetapi anak perempuan tidak begitu berperanan, karena dia tidak
terdaftar dalam silsilah keluarga. Dia
akan menjadi milik orang lain yang akan menjadi suaminya.
3.
Hesed
anak terhadap bapa
Sebagaimana diterangkan di atas,
bapa mempunyai wibawa yang patut
dihormati di tengah-tengah keluarga, sehingga terjadi keutuhan dan keteguhan
keluarga tersebut. Bapalah yang menjadi sumber berkat bagi anak-anaknya, dan sebaliknya
dapat juga menjadi sumber kehancuran dari keluarganya37). Wibawa
memberkati dan mengutuki itu juga terdapat pada ibu. Kata-kata yang pertama
diucapkan oleh seorang ibu yang baru beranak tentang anak yang dilahirkan itu,
sangat mengandung arti yang dalam sekali untuk menentukan kelanjutan nasib dari
anak yang baru lahir. Dia akan
mengucapkan kata-kata yang mengandung sukacita, bahagia, keuntungan ( bd.
Kej.29:31-32; 30: 23-24), apabila
hatinya bersukacita, berbahagia atau beruntung dengan anak yang baru lahir.
Tetapi sebaliknya dalam keadaan susah atau putus asa, ibu juga dapat meramalkan
nasib yang malang terhadap anak-anaknya ( bd. Kej.35: 18; 1 Sam. 4: 21).
Sejajar dengan itu ucapan
terakhir dari bapa leluhur menjelang kematiannya, juga mengandung arti dalam
menentukan nasib anak-anaknya. Karena itu sebelum si bapa meninggal dunia maka
anak-anaknya berusaha untuk dapat berbicara
atau mendapat ucapan yang sangat berharga itu dari si bapa ( Kej. 27:
1-2.4; 48: 1-2; 1 Raja 1: 1.32.35). Di dalam ucapan-ucapan itu terkandung
berkat kepada anak-anaknya. Berkat dari bapa leluhur itu adalah penyaluran dari
berkat yang diberikan Allah kepada Abraham, sehingga berkat itu senantiasa
berisi janji Allah, yakni ketururan besar, janji tanah dan berkat untuk segala
bangsa38).
Pesan ( atau bahasa Batak tona ) dari si bapa kepada anak-anaknya
sebelum kematiannya mempunyai nilai yang sangat berarti. Karena setelah si bapa
tersebut meninggal dunia, maka kuasa atau wibawa kebapannya akan terwujud di
dalam ucapan terakhir/ tona / pesan yang disampaikan kepada anak tersebut.
Karena itu kepatuhan terhadap pesan atau tona ini merupakan tanda kasih-setia (
hesed) terhadap si bapa. Hesed si anak yang merupakan respons terhadap apa yang
dipesankan si bapa, akan menjadi berkat dalam kehidupannya. Hal ini jelas kita
lihat dalam Kejadian 47: 29.
“Dan setelah harinya telah dekat bahwa
Israel akan mati, maka dipanggilnyalah anak Josef dan berkata kepadanya: Jika
aku mendapat belas-kasihan di dalam penglihatanmu, letakkanlah tanganmu di
bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah kau akan menunjukkan kasih-setia yang
benar-benar kepadaku. Jangan menguburkan aku di Mesir”.
Ayat ini termasuk cerita Jahwist ( J ) tentang akhir
hidup Yakub. Di sini diceritakan bahwa kematian manusia didahului dengan
permintaan sumpah bahwa dia akan dikuburkan bersama bapanya. Skinner menganggap peristiwa ini sebagai
sandiwara di tempat tidur menjelang kematian30). Yakub ( Israel ) memohonkan hesed yang benar-benar dari Josef,
sehingga untuk itu di diajak untuk bersumpah, dengan maksud supaya jangan membiarkan
mayatnya di tanah Mesir. Permintaan Yakub itu sungguh penting, sehingga dia
mendasarkannya atas sumpah. Sungguh itu dilaksanakan dengan cara menyuruh
anaknya meletakkan tangan ( memegang ) aurat atau kemaluannya. Sumpah dengan
cara demikian rupanya sudah menjadi kebiasaan pada zaman kuno. Tradisi seperti
ini kita jumpai lagi dalam Kejadian 24: 2, di mana Abraham menyuruh hamba
kepercayaannya Eliezer meletakkan tangan pada auratnya sebagai sumpah supaya
Eliezer mencari Ishak jangan dari perempuan
Kanan ( kafir ), melainkan dari lingkungan keluarga bapanya. Bagi orang primitif, kemaluan ( aurat ) adalah lambang pemberian
kekuatan yang hidup dan lambang kuasa pencipta.
Kemaluan adalah juga simbol kepatuhan, yang merupakan suatu penggilan
kepada keturunan untuk memelihara isi dari sumpah itu40). Agar
perkataan sumpah itu mendapat kuasa, sehingga terjaminlah kekuatan dan
berlakunya sumpah itu, maka orang yang bersumpah itu memegang benda suci yang
berisikan kekuatan yang dari dewa/ Allah itu41). Tradisi sumpah yang lain di dalam agama
primitif ialah memegang barang-barang yang berisi kuasa sakti menurut
keyakinannya, misalnya batu, cincin sumpah, anggota tubuh manusia seperti
kepala, mata, rambut, janggut, dll,
binatang korban42). Di Timur Dekat yang tua, sumpah biasanya
dilakukan atas nama satu-satunya dewa atau atas nama raja43).
Semuanya sumpah yang mempunyai corak ragam itu, hanya bertujuan untuk
menguatkan isi dari sumpah itu. Setiap orang takut untuk melanggar sumpahnya,
karena hakekat dari sumpah adalah pengutukan diri sendiri.
Itulah sebabnya Yakub menyuruh anaknya untuk
bersumpah, agar dia benar-benar percaya bahwa anaknya itu tidak akan memungkiri apa yang dipesankannya.
Yakub telah mengkhawatirkan tentang penguburannya setelah dia tahu bahwa
sebentar lagi dia akan mati. Yakub tidak mau dikuburkan di tanah orang kafir
itu; dia memintakan untuk dikuburkan di tanah perjanjian bersama bapanya. Walaupun dia tahu kesulitan untuk mengerjakan
permintaannya itu terutama soal biaya dan tenaga, namun dia memerintahkan
supaya anaknya mengusahakannya bagaimana sekalipun. Yakub termasuk anak
perjanjian Allah, sehingga dia harus berdiam untuk selama-lamanya di tanah
perjanjian itu. Tanah perjanjian itu telah merupakan tipe dari surga, di mana
dia akan beristirahat dan berbahagia pada masa kematiannya44). Sehingga apabila Josef melaksanakan itu
berarti dia telah turut merealisasikan perjanjian Allah. Josef memang setia
terhadap apa yang telah disumpahkan. Setelah bapanya meninggal dunia, maka dia
memohon izin dari raja Firaun dengan rendah hati, supaya dia menguburkan mayat
bapanya di tanah Kanan (Kej.50: 4-6; juga dari sumber J), di gua Mahpela yang
telah dibeli oleh Abraham (Kej. 50:13). Firaun mengizinkan dengan rela hati,
serta memberikan bantuan berupa tenaga yang perlu untuk itu, yakni
pegawai-pegawai istana Firaun ( ay. 7).
Itulah hesed
dari seorang anak terhadap bapanya, yakni menghormati orang tuanya, patuh terhadap pesan dari bapanya sesuai
dengan rencana dan kemauan Allah.
4.
Hesed
istri terhadap suaminya
Arti
hesed seorang istri terhadap suaminya
dapat kita lihat dari Kejadian 20: 13, yang mengatakan demikian:
“Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar
dari rumah bapaku, aku berkata kepada istriku: Tunjukkanlah kasih-setiamu
kepadaku, yakni katakanlah tentang aku di tiap-tiap tempat di mana kita tiba:
Dia saudaraku”.
Cerita dalam Kejadian 20: 1-18
adalah salah dari tiga cerita yang kita lihat dalam kitab Kejadian, yang
menunjukkan bahaya yang dihadapi oleh ibu-leluhur Israel. Ketiga cerita itu
tertulis dalam Kejadian 12: 10-20 (bersumber
dari penulis J), di mana raja Firaun mau merampas Sara istri Abraham, untuk
menjadikan istrinya, tetapi Allah menghalanginya; dan Kejadian 20: 1-18 (bersumber
dari penulis Elohist – E, kecuali ayat 18 adalah dari J), bapa dan ibu leluhur
itu berhadapan dengan raja Abimelekh; kemudian dalam Kejadian 26: 1-13 (bersumber
dari penulis J), diceritakan bahwa Ishak anak Abraham, bersama istrinya Rebeka,
menghadapi bahaya yang sama dengan pengalaman yang dua di atas, yakni raja
Abimelekh mau merampas Rebeka menjadi istrinya.
Ketika
cerita itu menggambar pengalaman-pengalaman bapa dan ibu leluhur Israel, yang
menghadapi bahaya dan ancaman terhadap diri mereka sekaligus terhadap akhli
waris berkat yang dijanjikan Allah.
Memang
menurut pendapat akhli dari segi sejarah penurunan tradisi lisan, ketiga cerita
ini aslinya hanya merupakan satu hikayat kuno, yang di dalamnya dinyatakan
pendapat Israel dalam hubungannya dengan penduduk asli Palestina. Hikayat itu
kemudian disangkutkan dengan dua tokoh, yakni Abraham dan Ishak. Dan menurut M.
Noth, hikayat yang berhubungan dengan Ishaklah yang lebih asli45).
Karena itu Kejadian 26 merupakan bentuk verita yang asli. Cerita tradisi yang
bersangkut paut dengan Ishak itu kemudian diambil alih untuk Abraham yang
dipercayai lebih mulia dan lebih berpengaruh dari Ishak. Memang apabila kita mau
meneliti persoalan literatur dari ketiga cerita itu maka kita akan melihat
perbedaan-perbedaan, tetapi jalan ceritanya adalah sama. Jelas di sini kita daftarkan ketiga bentuk
cerita itu46).
Cerita A:
Kejadian 12: 9-20 ( J )
Cerita B:
Kejadian 20: 1-18 ( E )
Cerita C:
Kejadian 26: 1-13 ( J ).
Cerita A |
Cerita B |
Cerita C |
9
Sesudah itu Abram berangkat dan makin jauh ia berjalan ke Tanah Negeb. 10
Dan terjadilah ( וַיְהִי ) kelaparan timbul di negeri itu, pergilah Abram ke Mesir untuk
tinggal di situ sebagai orang asing, sebab hebat kelaparan di negeri itu. 11
Dan terjadilah ( וַיְהִי ) pada
waktu ia akan masuk ke Mesir, berkatalah ia kepada Sarai, isterinya:
"Memang aku tahu, bahwa engkau adalah seorang perempuan yang cantik
parasnya. 12
Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi
mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup. 13
Katakanlah, bahwa engkau adikku, supaya aku diperlakukan mereka dengan baik
karena engkau, dan aku dibiarkan hidup oleh sebab engkau." 14
Dan terjadilah ( וַיְהִי ) ketika Abram masuk ke Mesir, orang Mesir itu
melihat, bahwa perempuan itu sangat cantik, 15
dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di
hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya. 16
Firaun menyambut Abram dengan baik-baik, karena ia mengingini perempuan itu,
dan Abram mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki
dan perempuan, keledai betina dan unta. 17
Tetapi TUHAN menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun, demikian juga kepada
seisi istananya, karena Sarai, isteri Abram itu. 18
Lalu Firaun memanggil Abram serta berkata: "Apakah yang kauperbuat ini
terhadap aku? Mengapa tidak kauberitahukan, bahwa ia isterimu? 19
Mengapa engkau katakan: dia adikku, sehingga aku mengambilnya menjadi
isteriku? Sekarang, inilah isterimu, ambillah dan
pergilah!" 20
Lalu Firaun memerintahkan beberapa orang untuk mengantarkan Abram pergi,
bersama-sama dengan isterinya dan segala kepunyaannya. |
1
Lalu Abraham berangkat dari situ ke Tanah Negeb dan
ia menetap antara Kadesh dan Syur. Ia
tinggal di Gerar sebagai orang asing. 2
Oleh karena Abraham telah mengatakan tentang Sara, isterinya: "Dia
saudaraku," maka
Abimelekh, raja Gerar, menyuruh mengambil Sara. :3
Tetapi pada waktu malam Allah datang kepada Abimelekh dalam suatu mimpi serta
berfirman kepadanya: "Engkau harus mati oleh karena perempuan yang telah
kauambil itu; sebab ia sudah bersuami." 4
Adapun Abimelekh belum menghampiri Sara. Berkatalah ia: "Tuhan! Apakah
Engkau membunuh bangsa yang tak bersalah? 5
Bukankah orang itu sendiri mengatakan kepadaku: Dia saudaraku? Dan perempuan
itu sendiri telah mengatakan: Ia saudaraku. Jadi hal ini kulakukan dengan
hati yang tulus dan dengan tangan yang suci." 6
Lalu berfirmanlah Allah kepadanya dalam mimpi: "Aku tahu juga, bahwa
engkau telah melakukan hal itu dengan hati yang tulus, maka Aku pun telah
mencegah engkau untuk berbuat dosa terhadap Aku; sebab itu Aku tidak
membiarkan engkau menjamah dia. 7
Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi; ia
akan berdoa untuk engkau, maka engkau tetap hidup; tetapi jika engkau tidak
mengembalikan dia, ketahuilah, engkau pasti mati, engkau dan semua orang yang
bersama-sama dengan engkau." 8
Keesokan harinya pagi-pagi Abimelekh memanggil semua hambanya dan
memberitahukan seluruh peristiwa itu kepada mereka, lalu sangat takutlah
orang-orang itu. 9
Kemudian Abimelekh memanggil Abraham dan berkata kepadanya: "Perbuatan
apakah yang kaulakukan ini terhadap kami, dan kesalahan apakah yang kulakukan
terhadap engkau, sehingga engkau mendatangkan dosa besar atas diriku dan
kerajaanku? Engkau telah berbuat hal-hal yang tidak patut kepadaku." 10
Lagi kata Abimelekh kepada Abraham: "Apakah maksudmu, maka engkau
melakukan hal ini?" 11
Lalu Abraham berkata: "Aku berpikir: Takut akan Allah tidak ada di
tempat ini; tentulah aku akan dibunuh karena isteriku. 12
Lagipula ia benar-benar saudaraku, anak ayahku, hanya bukan anak ibuku,
tetapi kemudian ia menjadi isteriku. 13
Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar dari rumah ayahku, berkatalah aku
kepada isteriku: Tunjukkanlah kasihmu kepadaku, yakni: katakanlah tentang aku
di tiap-tiap tempat di mana kita tiba: Ia saudaraku." 14
Kemudian Abimelekh mengambil kambing domba dan lembu sapi, hamba laki-laki
dan perempuan, lalu memberikan semuanya itu kepada Abraham; Sara, isteri
Abraham, juga dikembalikannya kepadanya. 15
Dan Abimelekh berkata: "Negeriku ini terbuka untuk engkau; menetaplah,
di mana engkau suka." 16
Lalu katanya kepada Sara: "Telah kuberikan kepada saudaramu seribu
syikal perak, itulah bukti kesucianmu bagi semua orang yang bersama-sama
dengan engkau. Maka dalam segala hal engkau dibenarkan." 17
Lalu Abraham berdoa kepada Allah, dan Allah menyembuhkan Abimelekh dan
isterinya dan budak-budaknya perempuan, sehingga mereka melahirkan anak. 18
Sebab tadinya TUHAN telah menutup kandungan setiap perempuan di istana
Abimelekh karena Sara, isteri Abraham itu. |
1
Maka terjadilah ( וַיְהִי
) kelaparan di negeri itu. ---
Ini bukan kelaparan yang pertama, yang telah terjadi dalam zaman Abraham.
Sebab itu Ishak pergi ke Gerar, kepada Abimelekh, raja orang Filistin. 2
Lalu TUHAN menampakkan diri kepadanya serta berfirman: "Janganlah pergi
ke Mesir, diamlah di negeri yang akan Kukatakan kepadamu. 3
Tinggallah di negeri ini sebagai orang asing, maka Aku akan menyertai engkau
dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan
Kuberikan seluruh negeri ini, dan Aku akan menepati sumpah yang telah
Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu. 4
Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan
memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua
bangsa di bumi akan mendapat berkat, 5.
karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya
kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku." 6.Jadi
tinggallah Ishak di Gerar. 7.Ketika
orang-orang di tempat itu bertanya tentang isterinya, berkatalah ia: "Dia
saudaraku," sebab ia takut mengatakan: "Ia isteriku," karena
pikirnya: "Jangan-jangan aku dibunuh oleh penduduk tempat ini karena
Ribka, sebab elok parasnya." 8
Dan terjadilah ( וַיְהִי ) setelah beberapa lama ia
ada di sana, pada suatu kali menjenguklah Abimelekh, raja orang Filistin itu
dari jendela, maka dilihatnya Ishak sedang bercumbu-cumbuan dengan Ribka,
isterinya. 9
Lalu Abimelekh memanggil Ishak dan berkata: "Sesungguhnya dia isterimu,
masakan engkau berkata: Dia saudaraku?" Jawab Ishak kepadanya:
"Karena pikirku: Jangan-jangan aku mati karena dia." 10
Tetapi Abimelekh berkata: "Apakah juga yang telah kauperbuat ini terhadap
kami? Mudah sekali terjadi, salah seorang dari bangsa ini tidur dengan
isterimu, sehingga dengan demikian engkau mendatangkan kesalahan atas
kami." 11
Lalu Abimelekh memberi perintah kepada seluruh bangsa itu: "Siapa yang
mengganggu orang ini atau isterinya, pastilah ia akan dihukum mati." 12
Maka menaburlah Ishak di tanah itu dan dalam tahun itu juga ia mendapat hasil
seratus kali lipat; sebab ia diberkati TUHAN. 13
Dan orang itu menjadi kaya, bahkan kian lama kian kaya, sehingga ia menjadi
sangat kaya. |
Cerita A mulai dengan: Terjadilah kelaparan di negeri
itu ... Negeri yang dimaksud הָאָרֶץ(haarets) adalah menunjukkan kepada Palestina. Karena memang
biasanya apabila terjadi kelaparan di Palestina , orang berangkat ke Mesir,
karena Mesir yang subur dengan aliran sungai Nil dan tidak terikat kepada
datangnya hujan sebagaimana terjadi di tanah Palestina.
Kemudian hal yang sangat penting untuk diperhatikan
adalah ungkapan “dan terjadilah וַיְהִי (wayehi).
Dengan ungkapan ini adalah suatu metode yang banyak dipakai untuk memulai suatu
cerita ( bd. 26: 1.14; juga 6: 1; 11: 2;
1 Sam.1: 1; dll. Ungkapan itu diulang kembali apabila memulai kejadian yang
baru ( ay.11; 1 Sam. 18: 6-10; dll). Kemudian cerita itu diakhiri dengan
keadaan yang agak memuaskan, di mana Abraham dilepaskan dari bahaya itu bersama
istrinya dan harta milik yang telah diserahkan oleh Firaun kepada Abraham
berupa hadiah karena Sarai ( ay. 16).
Kalau
kita melihat kepada ayat-ayat sebelumnya, maka dalam ay. 1-9, Abraham
meninggalkan kampungnya atas perintah Allah menuju tempat yang belum dikenal.
Dia tiba di tanah Kanaan (Palestina), dan di sana dia menjumpai dua tempat yang
kudus yakni Sikhem dan Bethel. Ke cerita inilah A menyambungkan ceritanya. Hal
ini sangat aneh, karena Abraham yang baru saja menerima janji dari Allah: “Aku
akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu” (ay. 7), tidak ragu-ragu
meninggalkan negeri itu dan pergi mengembara ke luar tanah Kanaan. Karena itu
penulis sengaja menempatkan cerita ini di sini, supaya sesuai dengan hikayat
yang tertulis dalam fasal 13,yang mulai
dengan : “Maka pergilah Abram dari Mesir ke Tanah Negeb dengan
isterinya dan segala kepunyaannya, ...”. Tanpa
adanya peristiwa yang di Tanah Mesir tadi maka cerita pada 12: 1-9 dan 13: 1
ff, tidak berhubungan satu sama lain.
Cerita B mulai dengan: “Lalu
Abraham berangkat dari situ ke Tanah Negeb dan ia menetap antara Kadesh dan
Syur. Ia tinggal di Gerar sebagai orang asing”. Di sini tidak ada pendahuluan,
sebagaimana pada Cerita A, yang merupakan suatu petunjuk terhadap suatu tempat.
Ungkapan “ dari situ”, menurut Koch adalah sisipan dari penulis, untuk
menunjukkan adanya hubungan di antara dua fasal. 47) Lagi pula tidak
ada alasan diberikan mengapa berangkat dari tanah Negeb ke Gerar, seperti
dinyatakan dalam cerita A bahwa kelaparanlah sebab keberangkatannya. Mungkin
penulis sengaja menghilangkan itu, karena dia tidak suka sebutan itu
berulang-ulang disebutkan. Karena itu menurut Koch ayat permulaan itu adalah
berbunyi sebagai berikut: Dan terjadilah kelaparan ... Abraham berangkat ke
Gerar.
Keadaan ini juga diakhiri dengan
keadaan yang menyenangkan. Abraham diberi izin tinggal, dan mempunyai hak hukum
sebagaimana penduduk asli. Kepada Sara diberi uang tebusan karena kesalahan dan
Abraham menyembuhkan Abimelekh dan keluargamya.
Hubungan cerita ini dengan fasal 19 ( cerita
Sodom dan Gomora tidak ada, karena ibu
leluhur itu tidak berperanan dalam cerita itu. Hubungannya adalah lebih dekat
ke fasal 21, yang aslinya juga dari penulis E, yakni kelahiran Ishak oleh Sara
istri Abraham.
Cerita C mulai dengan: “Dan
terjadilah kelaparan di negeri itu. ... Sebab itu Ishak pergi ke Gerar, kepada
Abimelekh, raja orang Filistin”. Seperti Cerita A, cerita ini dimulai dengan
ungkapan “dan terjadilah” ( וַיְהִי -wayehi),
yang sudah merupakan tradisi tentang permulaan satu bagian cerita48).
Dan menurut Koch ungkapan pelengkapan “di samping kelaparan yang terjadi pada
zaman Abraham, nampaknya adalah sisipan penulis di kemudian untuk menunjukkan
bahwa cerita ini sepadan sepadan dengan Cerita A49).
Tetapi konklusi dari cerita ini
tidak jelas. Memang dalam ayat 11 telah terkandung suatu pernyataan yang
konklusif, yakni jaminan hukum terhadap Ishak dan istrinya, tetapi ay.12f juga
nampaknya merupakan akhir dari cerita itu, yang menceritakan kesejahteraan dari
Ishak dari berkat Allah, sekaligus latar belakang kecemburuan dari orang-orang
Filistin.
Nampaknya cerita ini tidak
berhubungan dengan fasal 25, karena di sana Ishak telah memperoleh anak, yakni
Yakob dan Esau, sedang dalam cerita ini belum. Karena sekiranya mereka telah
mempunyai anak, tidak seorang pun yang akan percaya bahwa mereka bersaudara.
Mungkin seri cerita ini seperti yang ada dalam fasal 26, diambil alih begitu saja
oleh penulis, dan dihubungkan dengan cerita mengenai Yakub, bapak dari ke dua belas suku Israel,
setelah Ishak dikenakan menjadi bapa dari Yakub50).
Sekarang kita kembali kepada
persoalan, yakni hesed dari Sara
terhadap suaminya Abraham. Terlepas dari persoalan literaris di atas, kita
melihat bahwa dalam cerita B ( Kej. 20: 1-18) Allah mengungkapkan suatu
siatuasi yang ajaib dan berbahaya bagi seorang raja yang bernama Abimelekh yang
berkedudukan di negeri di mana Abraham mau bertempat tinggal. Sebaliknya
Abraham mau melepskan Abraham dan istrinya dari situasi yang berbahaya yang
dihadapi oleh mereka. Kalau kita mau memperbandingkan dengan pengalaman Abraham
di Mesir yang diceritakan dalam Cerita A ( 12: 10-20), maka di sana penulis J
tidak ragu-ragu melukiskan dengan terang kelakuan Abraham dengan segala
kesalahan dan kelemahannya, sedangkan E
dalam Kejadian 20 ini tidak berani menyajikan kepada pembacanya kelakuan
itu. Dia mau menghapuskan noda yang melumuri gambar Abaraham, dan mencoba
membenarkannya. Dia melukiskan bahwa Abraham tidak membohongi Abimelekh sama
sekali, karena Sara memang bukan hanya istrinya tetapi juga saudaranya. Kesalahan
hanya dikenakan kepada Abimelekh sehingga dia terpaksa menebus kesalahannya,
setelah dia sadar akan kesalahannya dalam perjumpaan dengan Allah. Jadi yang
ditekankan oleh E dalam cerita ini ialah pembenaran seorang kafir oleh Allah
dengan perantaraan orang percaya. Sedangkan J menekankan kesetiaan Allah untuk
melindungi Abraham walaupun ia lemah dan kehilangan iman.
Untuk lebih matang untuk memahami
hesed dari Sara ini kepada Abraham,
maka kita perlu mempelajari latar-belakang kehidupan mereka pada waktu
itu. Kedatangan para pengembara yang
menggembalai ternak di daerah pertanian selalu menimbulkan ketegangan di antara
masyarakat. Seorang petani yang senantiasa bekerja keras mengerjakan ladangnya,
mempunyai adat istiadat dan pandangan hidup yang berlainan dengan pengembara
yang selalu berpindah-pindah tempat.
Seorang pengembara tidak begitu keras bekerja, tetapi selalu siap sedia
bekerja setiap waktu menggembalai ternaknya.
Seorang petani menganut agama kesuburan dengan menyembah dewa tanah,
sedangkan penggembala menganut agama nenek moyang dengan menyembah dewa
pelindung perjalanan51). Karena itu dengan sendirinya sopan santun
mereka juga berbeda. Masyarakat yang menganut agama kesuburan itu sering
mengadakan persundalan suci selaku
upcara keagamaan untuk mengembangkan kesuburan tanah, sedangkan bagi kaum
pengembara kesusilaan perkelaminan dijunjung tinggi. Orang petani takut kepada
pertikaian senjata ( bd. Kej.34), takut
hartanya dirampas oleh penggembala ( Kej. 34: 27.28), sedangkan pengembara takut
kepada petani-petani bahwa wanita-wanitanya dicermari dan dinodai oleh
laki-laki petani yang dianggap lebih kuat dari
mereka.
Inilah yang dibayangkan oleh
Abraham ketika memasuki kota Gerar, suatu daerah pertanian yang subur dan luas.
Abraham mau mengambil kebijaksanaan sendiri untuk mencegah hal-hal yang mungkin
terjadi bagi dirinya, dengan menyuruh istrinya menyamar sebagai saudaranya.
Dengan demikian dia dapat menyelamatkan nyawanya. Latar belakang pencegahan itu
ialah bahwa orang penduduk asli itu memang tidak mau melakukan perzinahan
terbuka, mereka menghindarkan diri dari perbuatan demikian, walaupun dengan
istri seorang penumpang, sebab perzinahan terbuka dianggap kesalahan yang besar
yang akan menimbulkan celaka bagi mereka52). Tetapi dengan membunuh
penumpang tersebut, mereka tidak bimbang sama sekali supaya dengan demikian
dapat mewarisi istri dari orang itu bersama dengan hartanya53).
Pembunuhan dengan orang asing merupakan kejahatan yang dapat diperdamaikan
dengan pembayaran uang ganti rugi.
Abraham memintakan kasih-setia
dari Sara terhadap dirinya sendiri, terutama dalam situasi genting yang akan
dihadapinya. Tugas utama seorang istri adalah melindungi, memelihara, serta
menyenangkan suaminya, sehingga kesediaan Sara untuk mengorbankan kesuciannya
tidak dapat dianggap sebagai suatu kelemahan melainkan sebagai tanda kesetiaan
kepada Abraham54). Sebagaimana juga dinyatakan oleh Koch: “ ... the Beduin women are to be devoted to their
menfolk that to protect a husband’s life they would willingly lose their
honour”55). Hidup seorang istri adalah untuk suaminya, sehingga dia
berkorban untk keselamatan suaminya. Hesed
Sara ini kita lihat juga menjadi saluran anugerah Allah terhadap suaminya.
Allah menunjukkan kebenarannya melalui
pengalaman istrinya itu, sehingga kebenaran Abraham itu tidak berkuasa.
Sekaligus melalui peristiwa itu Allah mempersekutukan dirinya kepada Abimelekh
orang kafir itu, sehingga Abimelekh takut kepada Allah. Dengan kata lain Allah
menciptakan kebenarannya di antara Abraham yang bersalah secara obyektif di
hadapan Allah dan Abimelekh yang dirasakannya dia bersalah, sehingga keduanya
menjadi selamat. Abraham terlepas dari perbuatan keji dari seorang kafir itu
bersama istrinya, sekaligus Abimelekh terlepas dari hukuman Allah dengan
pertemuannya dengan Allah melalui pribadi Abraham.
5. Hesed seorang janda terhadap גֹאֵלׄ (go’el ) nya
Hal
ini dapat kita lihat dalam kitab Ruth, terutama Ruth 3: 10. Kitab Ruth
menjelaskan tentang pemeliharaan Tuhan terhadap orang-orang janda, karena di
sana diperlihatkan kepada kita hidup dua orang janda yang bernama Naomi dan menantunya
Ruth, setelah banyak mengalami
penderitaan dan dukacita akhirnya mendapat berkat yang besar dari Tuhan. Kehidupan janda memang menggambarkan hidup yang banyak dukacita dan penderitaan,
yang mengharapkan perlindungan, disebabkan dia telah kehilangan tuannya yang
bisa memberikan perlindungan kepadanya.
Menurut
para akhli, kitab Ruth ini ditulis pada zaman sesudah pembuangan56).
Hal ini didasarkan atas bahasa kitab
Ruth yang memakai bahasa Aram, dan penggolongan kitab ini ke dalam bagian kitab
Ketubim dari Alkitab. Pada saat itu orang Israel telah menyadari pemeliharaan
dan perlindungan Tuhan atas mereka, setelah lepasnya mereka dari pembuangan di
mana mereka hidup menderita akibat hukuman Tuhan yang terjadi atas mereka. Kemungkinan
sekali kitab Ruth ini dibukukan dengan menuliskan pengalaman satu keluarga
kecil di Betlehem-Yehuda, yang mengalami penderitaan dan terpaksa mengungsi
dari antara kaumnya ( negerinya) ke negeri orang kafir akibat bencana kelaparan
yang terjadi di negerinya ( Ruth 1: 1 f). Tetapi tidak berapa lama berdiam di
sana, keluarga itu mengalami penderitaan yang lebih besar lagi, karena si bapa
yang bernama Elimelekh segera meninggal dunia, kemudian menyusul lagi ke dua
orang anaknya yang telah kawin dengan perempuan Moab yang masih kafir itu
sebelum mereka memperoleh keturunan yang bisa mempertahankan namanya. Sekarang
yang tinggal hanya si istri dan ke dua orang menantunya, sehingga keluarga
mereka bisa hidup terus ( 1: 11-13). Karena itu dengan pertimbangan manusia,
keluarga Elimelekh sudah bisa disebutkan mati dari tengah-tengah bangsanya.
Tetapi
Allah menghidupkan mereka dengan car menunjukkan kasih setia kepada mereka.
Kasih setia Allah dinyatakan kepada salah seorang menantu Naomi yang bernama
Ruth. Ruth tetap setia menjadi anggota keluarga suaminya, dengan kesetiaannya
mengikuti ibu mertuanya Naomi kemanapun dia pergi. Dia mau hidup bersama-sama dengan Naomi dan
bersedia mengalami nasib yang sama dengan dia ( 1: 16-17). Dengan penyerahan
Ruth ini, dia telah mempunyai keyakinan kepada Allah Naomi. Dia telah sampai kepada
pengakuan, dan berjanji (bersumpah) di hadapan Allah bahwa dia tidak akan
merobah ketetapannya. Isi pengakuan dan sumpah setia Ruth itu sbb:
Tetapi kata Rut:
"Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti
engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana
engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan
Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah
aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari
pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada
maut!" (Ruth 1: 16-17).
Apabila kita mendalami isi
pengakuan dan sumpah-setia perempuan kafir ini, kita akan beroleh kesan
bahwa Firman Tuhan dan Rohnya telah
bekerja memilih seorang perempuan kafir untuk menjadi alat keselamatannya.
Sumpah setia Ruth ini mempunyai arti yang sangat menentukan, sehingga dia tetap
setia kawin dengan salah seorang keluarga bapa-mertuanya. Kalau kita lebih jauh lagi memandang, bahwa
peranan Ruth orang perempuan Moab ini, menunjukkan bahwa rakhmat Tuhan tidak
melulu terbatas kepada bangsa Israel saja. Dan karena kesetiaannya kepada Tuhan
dan bangsa Israel, Ruth diperkenankan menjadi nenek raja David, bahkan nenek
Tuhan Jesus, karena namanya dicantumkan juga dalam sislsilah Yesus Kristus
menurut Injil Matius ( Mat. 1: 5 ).
Kasih setia yang demikianlah yang
dikatakan oleh Boas pada Ruth 3: 10:
Lalu katanya:
"Diberkatilah kiranya engkau oleh TUHAN, ya anakku! Sekarang engkau
menunjukkan kasihmu lebih nyata lagi dari pada yang pertama kali itu, karena
engkau tidak mengejar-ngejar orang-orang muda, baik yang miskin maupun yang
kaya.
Ini dikatakan dikatakan Boas
setelah melihat kesediaan dan kerelaan Ruth membaktikan dirinya kepada Boas, yang telah menyadari Boaslah
yang menjadi go’el (גֺאֵל )
bagi keluarganya57). Boaslah yang menjadi penebus dan penyelamat
bagi dirinya terutama bagi kaumnya. Perbuatan Ruth ini disambut dengan rasa terbuka dan gembira oleh Boas,
seolah-olah menunjukkan penyambutan Allah yang sangat terbuka dan gembira terhadap
orang yang menyerahkan dirinya dengan sebulat hatinya kepada Allah; dan Boas
memberkati Ruth sebagaimana Allah memberkati orang-orang yang merebahkan
dirinya di hadapannya. Sudah jelas bagi kita bahwa hesed itu adalah kesediaan dan kerelaan menyerahkan diri dengan tulus
ikhlas kepada siapa yang dipercayai dapat memberikan pertolongan untuk menebus
dan menyelamatkan hidupnya.
6. Hesed di
antara tuan rumah dan tamu (orang penumpang)
Kebiasaan
suka bertamu kita jumpai di tengah-tengah keluarga Israel, istimewa pada masa nomaden. Sikap suka bertamu adalah ciri khas
persekutuan yang baik. Perkunjungan yang timbal balik antara keluarga yang satu
dan yang lain, menunjukkan hubungan yang erat, yang diikat oleh persaudaraan
dan persahabatan. Apabila keluarga yang berdekatan tidak saling mengunjungi,
maka seolah-olah di antara mereka ada permusuhan.
Suatu
keluarga yang banyak dikunjungi oleh tamu atau keluarga yang lain biasanya
dikenal sebagai orang mulia dan bertuah58).
Bagi
orang-orang pengembara soal bertamu sangat diperhatikan. Hukum bertamu diatur
oleh mereka, karena hal itu sangat penting bagi orang-orang yang berpindah-pindah
sepanjang tahun. Tidak begitu mudah mencari tempat di gurun pasir yang jarang
didiami manusia. Karena itulah mereka
menganggap tamu dan tugas bertamu itu suci dan mulia59).
Tamu
sering juga dianggap sebagai utusan Allah, atau penampakan dari Allah, seperti
yang pernah terjadi pada Abraham dalam Kej. 18: 1ff. Karena itu harus
berhati-hati dan menunjukkan rasa hormat dan mulia terhadap tamu ( Ke. 18: 2-7;
24: 28-32). Banyak contoh yang kita peroleh dari kitab Perjanjian Lama, menunjukkan sikap yang
demikian. Lot melindungi tamunya dari perlakuan yang tidak wajar dari
masyarakat Sodom yang ingin memperkosa tamunya ( Kej. 19: 1-18)60).
Contoh
yang lain ialah Yosua 2: 12-12-14, di mana Rahab ( seorang perempuan sundal )
bersikap ramah ( hesed) terhadap ke
dua orang pengintai dari bangsa Isrrael ke negrinya di Yeriko, sebelum Israel
memasuki negeri itu. Rahab telah meyelamatkan mereka dari rencana raja untuk
membinasakan ke dua orang itu. Rencana itu telah digagalkan oleh Yahwe dengan
memakai Rahab sebagai pelindung. Perbuatan Rahab itu pasti didorong oleh
keyakinannya, bahwa bagaimana sekalipun bangsa Israel akan menguasai negerinya
dan seluruh bangsanya, setelah dia mendengar berita tentang perbuatan Yahwe di
Laut Teberau, dan telah mengalahkan raja Sihon dan raja Og ( Bil. 21: 21-25),
yang termasuk musuh perintang perjalanan
Israel. Hesed Rahab nampak dari
permohonannya:
“Maka sekarang,
bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah
terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan
berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan
membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang
perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa
kami dari maut." ( Yosua 2: 12-13).
Dari sini dapat dilihat, bahwa
Rahab orang kafir itu telah mengaku bahwa Yahwe, Allah bangsa Israel, itulah
Allah yang patut dipuji dan ditakuti, yang berkuasa juga untuk menghancurkan
raja dan bangsanya. Karena itu hanya ada satu jalan bagi Rahab untuk mencari
keselamatan bagi dia dan keluarganya, yakni berbuat kasih-setia (keramahan )
kepada ke dua orang pengintai, suruhan bangsa Allah Yahwe itu. Dengan berbuat
demikian dia mengharapkan perbuatan yang sama dari pihak pengintai itu. Dia
percaya bahwa hal itu akan diperbuat mereka apabila mereka telah bersumpah demi Yahwe. Ke dua orang itu tidak
mengabaikan hesed dari Rahab itu,
karena perbuatan itu bukan saja menyelamatkan pribadi mereka, tetapi sudah
merupakan perbuatan yang berasal dari Allah untuk kelangsungan rencana Allah.
Karena itu mereka bersedia bersumpah demi nama Yahwe sebagaimana dimintakan oleh Rahab. Mereka membuat hidup mereka sebagai
jaminan leselamatan Rahab dan keluarganya. Dengan kata lain, apabila mereka
mengingkari sumpahnya, Jahwe sendirilah yang membunuh mereka ( ay. 14 ).
Contoh yang sama kita jumpai dalam Kejadian 21:
23:
“Oleh
sebab itu, bersumpahlah kepadaku di sini demi Allah, bahwa engkau tidak akan
berlaku curang kepadaku, atau kepada anak-anakku, atau kepada cucu-cicitku;
sesuai dengan persahabatan yang kulakukan kepadamu, demikianlah harus engkau
berlaku kepadaku dan kepada negeri yang kau tinggali sebagai orang asing."
Walaupun telah ada perbuatan yang
baik dan ramah antara Abimelekh dan
Abraham seperti yang diberitakan dalam Kejadian 20: 7.14-15.17, namun Abimelekh
belum merasa aman dan sentosa sampai di situ. Dia takut setelah berjumpa dengan
kekuasaan Allah, sekiranya kuasa sakti Allah Abraham itu dipergunakan untuk
melawan dan menumpas dia serta seluruh bangsa dari negerinya. Doa syafaat
Abraham dan penyembuhan yang telah dilakukan kepada mereka ( Ke. 20: 17-18), belum
cukup meyakinkan dia akan kesetiaan Abraham terhadapnya. Abimelekh masih
menuntut sumpah-setia Abraham, bahwa dia
tidak akan berusaha mengadakan perlawanan dan pemberontakan terhadap penduduk negeri itu turun temurun,
melainkan harus turut mencari kesejahteraan dan keselamatan sebagaimana telah
dia perbuat kepada Abraham. Abimelekh
telah menunjukkan perlakuan yang baik, ketika dia gagal merampas istri Abraham
dan mengembalikannya dengan rasa menyesal, kemudian memberikan kesejahteraan
berupa harta yang cukup banyak dan memberikan izin untuk bertempat tinggal di
sana (Kej. 20: 14-16). Inilah dasar Abimelekh untuk memohon pertolongan
Abraham, dengan kata lain mengharapkan kesejahteraan dan keselamatan hidup dari
Allah Abraham, melalui sumpah-setia Abraham. Hal ini memang dikabulkan oleh
Abraham kepada orang yang membuka pintu bagi dia ( ay. 24). Orang percaya
bukanlah pemberontak dan gerombolan. Tetapi dengan hati yang jujur dan kemauan
yang murni mengakui tata hukum di negeri di mana dia singgah sebagai orang
penumpang. Abraham bersumpah-setia berarti:
dia mau mengakui dan menghormati
kedaulatan Abimelekh selaku raja.
Sekarang kita mau melihat
persoalan dalam Kejadian 19: 19:
“Sungguhlah
hambamu ini telah dikaruniai belas kasihan di hadapanmu, dan tuanku telah
berbuat kemurahan besar kepadaku dengan memelihara hidupku, tetapi jika aku
harus lari ke pegunungan, pastilah aku akan tersusul oleh bencana itu, sehingga
matilah aku”.
Ayat ini termasuk berita di dalam
pembinasaan kota Sodom dan penyelamatan Allah kepada Lot ( Kej. 19: 1-29).
Cerita ini termasuk karangan dari J, yang jelas dicirikan dengan nama
Yahwe yang beberapa kali dijumpai di
dalamnya ( ay. 13 (2x); ay. 24 (2x) dan ay. 27 ). Cerita tentang kota Sodom ini
telah lama dikenal sebagai suatu cerita hikayat ( saga ) sebelum zamannya
penulis 61). Menurut Lempp, cerita ini merupakan cerita sebab (
etiologi ) yang hendak menerangkan bagaimana
terjadinya daerah sekitar ujung selatan Laut Mati, dengan perantaraan
kebakaran raksasa, karena menurut cerita ini seluruh udara menyala seperti api62).
Tetapi etiologi ini juga hendak
menerangkan alasan rohani mengapa satu kota bersama-sama dengan masyarakatnya yang makmur dan
kaya-raya, hidup bersenang-senang, dihapuskan begitu saja dengan bencana yang
sangat ngeri dari permukaan bumi ini: yaitu karena mengabaikan Allah dan karena
penghianatan terhadap kemauan Allah oleh penduduk negeri itu. Kita boleh
melihat bahwa bencana itu tidak diterangkan secara alamiah ( kebetulan terjadi
), melainkan secara rohaniah semata-mata (ay.13.14.24). Karena itu pembinasaan
terhadap kota Sodom adalah merupakan
hukuman dan balasan Allah atas dosa masyarakat itu.
Apabilla kita melihat ay. 1 dari
fasal ini, akan jelas bagi kita bahwa cerita ini adalah lanjutan dari cerita
perkunjungan Jahwe kepada Abraham
melalui tiga orang tamunya itu ( 18: 1-33), di mana Abraham turut merundingkan
bersama ke tiga orang tamunya itu tentang pembinasaan kota Sodom. Penulis yang
sama, J, juga telah menerangkan bahwa akibat perbuatan yang ramah dengan penuh
sopan-santun kepada tamunya yang dulunya
belum dikenal, tetapi ternyata adalah Tuhan, dia telah beroleh berita
keselamatan dari Tuhan.
Selanjutnya dalam Kejadian 19 ini
Lot dinyatakan sebagai orang yang masih taat kepada kewajiban hukum penerimaan seorang tamu orang asing. Bagi
Lot, hak-hak tamu masih suci, sehingga dia memperjuangkan hak mereka. Sebaliknya penduduk kota Sodom itu,
dinyatakan bertindak tidak wajar terhadap tamu. Mereka malah mau memperkosa
mereka. Mereka menuntut kepada Lot supaya mereka “mengenal” tamu itu (ay.5).
Pengertian “mengenal” di sini yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani יָדַע (yada), juga menunjukkan pengenalan
perkelaminan atau persetubuhan63). Masyarakat Sodom sudah melakukan
pemerkosaan ( homoseks), nyata dari sikapnya terhadap tamu itu. Dengan kata
lain, mereka bukan hanya melanggar hak azasi seorang tamu, malah telah menghina
kesesamaan manusia. Di dalam Taurat Israel, persetubuhan sekelamin dinyatakan
sebagai kekejian atau “kejemuan” ( Im. 18: 22; 20: 13.23),yang harus diganjar
dengan hukuman mati. Penduduk Sodom tidak memberi jaminan perlindungan hukum
yang memelihara nyawa, tubuh dan hak kebebasannya. Tuntutan perikemanusiaan adalah kesamaan
hukum ( Kel. 12: 49; Im. 19: 34; 24: 22; Bil. 9: 14; 15.15.16.29), yakni
keselamatan orang asing. Ini termasuk hukum keadilan Allah. Sesuai dengan
pendapat Chr. Barth, yang mengatakan: “Melakukan kasih-setia adalah inti dari
keadilan Allah, bukan kemurahan istimewa di luar keadilan”64). Dalam ayat tadi Septuaginta, menerjemahkan hesed
dengan “δικαιοσυνη” (diakaiosune) atau
keadilan65). Inilah kasih-setia Allah yakni bertindak sesuai dengan hukum keadilan,
yaitu menghukum orang yang melanggar hukum keadilan itu serta melepaskan orang
yang masih setia kepadanya.
Cerita theophani Allah berupa
tamu rupanya sangat menarik bagi si J. Dia mau mengolah dan mempergunakan
cerita yang kuno itu untuk bersaksi kepada Yahwe pada zamannya, yakni zaman
kerajaan David yang makmur dan gilang-gemilang itu. Dia mau menyaksikan, bahwa
Allah bukan hanya hadir dalam tempat ibadat, tetapi juga bertamu dengan manusia
dalam hidup sehari-hari.
III. ARTI DAN MAKNA HESED DALAM PERSEKUTUAN SOSIAL YANG LEBIH LUAS
1. Hesed di antara suku dan suku ( bangsa dan bangsa )
Sudah merupakan tabiat manusia
ada kecenderungan untuk saling menunjukkan kekuasaan, sehingga mau merebut hak
milik atau barang kepunyaan orang lain. Dia menunjukkan kekuasaannya untuk
merebut daerah kekuasaan orang lain.
Sifat inilah yang mengakibatkan sering terjadi peperangan antar suku dengan
suku atau antar bangsa dengan bangsa yang lain. Karena itu setiap suku
mempunyai usaha mempertahankan sukunya masing-masing, atau berusaha untuk
mencari perlindungannya. Kota atau kampung tempat tinggal dilindungi dengan
benteng yang kuat, supaya serangan dari suku atau daerah yang lain dapat
digagalkan. Anak laki-laki dilatih untuk berperang dengan memakai perlengkapan
senjata.
Usaha yang lain yang diperbuat
untuk mempertahankan kekuasaan ialah bersekutu dengan suku-suku yang lain yang
bersedia memberikan bantuannya. Pada suku-suku primitif persekutuan ini
biasanya diteguhkan dengan upacara sumpah setia. Maka apabila suku
sepersekutuannya terlibat dalam perang, sebagaimana sering terjadi bagi
suku-suku yang belum beradab, maka seluruh pasukan suku itu akan dikerahkan
untuk memberi bantuan.
Apabila kita melihat 1 Sam. 15:
6, maka kita akan memperoleh kesan yang sama:
“Berkatalah
Saul kepada orang Keni: "Berangkatlah, menjauhlah, pergilah dari
tengah-tengah orang Amalek, supaya jangan kulenyapkan kamu bersama-sama dengan
mereka. Bukankah kamu telah menunjukkan persahabatanmu kepada semua orang
Israel, ketika mereka pergi dari Mesir?" Sesudah itu menjauhlah orang Keni
dari tengah-tengah orang Amalek”.
Setelah Saul diurapi menjadi raja di tengah-tengah
orang Israel, maka Saul diperintahkan Tuhan melalui Samuel untuk menumpas
bangsa Amalek, sebagai hukum pembalasan Tuhan kepada mereka, karena perbuatan
mereka yang menghalangi perjalanan orang Israel dari Mesir ( ay.2 ). Orang
Amalek adalah suatu bangsa yang mengembara di sebelah Selatan Yehuda, dan
bangsa inilah bangsa kafir yang pertama sekali menyerang Israel setelah
kelepasan mereka dari Mesir, karena berusaha menghianati perjalanan itu. Mereka
adalah salah satu dari suku Beduin.
Allah
tidak melupakan peristiwa itu, sehingga Dia tidak akan membiarkan orang Amalek
hidup terus, mereka harus diperangi turun temurun ( Kel. 17: 8-16). Itulah
sebabnya Allah memerintahkan kepada Saul untuk menumpas orang Amalek, dan tidak
membiarkan mereka hidup seorang pun, beserta segala harta miliknya66).
Rencana Allah ialah untuk mendirikan satu Kerajaan Allah, yang di dalamnya
berdiam umat yang dipilihnya sendiri. Jadi barang siapa yang menghalangi
rencana itu, baik yang mengancam bangsa Israel
sebagai alat pelaksana, harus disingkirkan.
Di
tengah-tengah suku Amalek itu berdiam suku Keni, sahabat atau sekutu orang
Israel. Orang Keni adalah satu kelompok tukang besi yang berjalan terus-menerus
melintasi daerah yang menghasilkan barang logam67). Mereka berasal dari keturunan Midian, dan
memajukan usahanya yang luar biasa dalam pekerjaan barang-barang logam. Pada
mulanya mereka berdiam di sebelah Barat Daya Laut Mati, dan di sebelah Tenggara
kota Hebron (bd. Hak. 1: 16). Tetapi mereka juga sering berpindah-pindah,
sehingga dalam kitab Perjanjian Lama pengalaman mereka sering digambarkan hidup
dalam berbagai tempat. Selain dari daerah sebelah Tenggara Hebron, mereka juga
dijumpai di Naphtali (Hak. 4: 11), di
sebelah Selatan Yehuda tarikh raja Saul dan David ( 1 Sam. 15: 6; 27: 10).
Heber yang dikatakan dalam Hak. 4: 11; 5: 24 adalah orang Keni, demikian juga
orang-orang Rekhabit dalam 1 Taw. 2: 53 adalah turunan orang Keni.
Dalam
ayat tadi (1 Sam.13: 6) yang dikutip di atas, dinyatakan oleh Saul bahwa orang
Keni adalah sahabat Israel yang telah menunjukkan kasih-setianya kepada mereka.
Kasih-setia yang dimaksud adalah bahwa orang Keni termasuk orang yang terus
membantu orang Israel dalam perjalanan di padang pasir itu. Hobab anak Rehuel,
mertua dari Musa adalah orang Keni yang menjadi penunjuk jalan bagi bangsa
Israel dalam pengembaraan itu ( Bil. 10: 29.32; Hak. 1: 16); dialah yang
mengenal jalan-jalan yang biasa dilewati di padang pasir itu, sehingga orang
Israel bisa berjalan melalui jalan yang
dekat dengan oase-oase. Karena perbuatan kebaikan ini maka Musa mengajak Hobab
dan seluruh keluarganya untuk turut beserta mereka, supaya Tuhan yang berbuat
baik kepada Israel akan berbuat kebaikan juga kepada orang Keni. Mereka sudah
diikat oleh perbuatan kebaikan Tuhan.
Pertolongan
orang Keni kepada orang Israel dalam rangka perjalanan keselamatan itu,
dianggap sebagai perbuatan hesed. Kemungkinan besar, di dalam tindakan hesed itu, mereka juga bersedia
memperlengkapi persenjataan Israel, karena mereka adalah tukang besi, walaupun
hal itu tidak dinyatakan di dalam kitab Perjanjian Lama. Kasih-setia itu tidak
akan pernah dilupakan oleh bangsa Israel, karena hal itu sudah dipesankan, baik
kepada raja-raja, maupun kepada seluruh orang Israel. Melupakan kasih-setia itu
berarti melupakan perbuatan kebaikan Tuhan. Karena itulah maka orang Keni yang
berdiam di tengah-tengah orang Amalek, diselamatkan oleh raja Saul, supaya
mereka jangan turut binasa akibat perlawanan Israel terhadap Amalek. Allah
hanya menumpas orang-orang yang menghalangai perbuatannya, tetapi menghidupkan
orang-orang yang turut membantu pekerjaan penyelamatan terhadap umatnya.
2.
Hesed dari orang yang bersaudara
/ bersahabat dalam ikatan perjanjian
W.R.
Smith menuliskan: “ Brotherhood in the Semitic tounges is a very loose word;
even covenat relations may make men brothers”68). Maksudnya bahwa
persaudaraan itu dalam bahasa Semitic tidak hanya mengandung arti yang
terbatas, bukan hanya yang sekeluarga dalam hubungan darah, tetapi perjanjian
bisa juga mengikat orang menjadi bersaudara.
Perjanjian
dalam ikatan perjanjian biasanya lebih kuat dari pada persaudaraan sedarah,
karena siapa yang tidak setia ( melanggar) terhadap isi perjanjian itu akan
terkutuk oleh Allah yang turut menjadi saksi dalam perjanjian itu69).
Kita lihat misalnya dalam Amos 1: 9, bangsa Tirus akan kena kutuk oleh Allah,
karena bangsa itu telah melupakan persaudaraan dengan Israel, Mereka
menyerahkan ( menghianati) Israel menjadi tertawan kepada bangsa Edom.
Rupanya
bukan hanya di tengah-tengah Israel dijumpai perjanjian persaudaraan ini, juga
ditengah-tengah suku Batak. Banyak marga-marga yang sudah tidak dalam garis
keturunan lagi menjadi bersaudara ( si sada anak, si sada boru ) karena ikatan
“padan” ( sumpah perjanjian ) yang diperbuat oleh nenek (ompu) mereka. Anggota
dari marga dalam ikatan “padan” itu sangat takut untuk melanggarnya, karena hal
itu dianggap akan mendatangkan hukuman (kutukan) dari “sumangot ni ompu” ( roh
nenek) dan “sombaon” ( roh nenek-moyang) yang sudah diilahikan sebagai roh
penguasa setempat) yang kepadanya isi dari perjanjian itu “dimangmangkon” (
disumpahkan).
Persaudaraan
yang diikat oleh perjanjian ini boleh kita lihat dalam 1 Sam. 20: 8.14-15,
yaitu perjanjian persaudaraan antara David dan Yonatan. Dalam
1 Sam. 20: 8, disebut:
“Jika demikian,
tunjukkanlah kesetiaanmu kepada hambamu ini, sebab engkau telah mengikat
perjanjian di hadapan TUHAN dengan hambamu ini. Tetapi jika ada kesalahan
padaku, engkau sendirilah membunuh aku. Mengapa engkau harus menyerahkan aku
kepada ayahmu?"
Dalam ayat ini David memohon
kasih-setia Yonatan. Dalam 1 Sam. 18: 3,
Yonatan telah mengikat perjanjian dengan David, karena hatinya telah berpadu
dengan hati David, sehingga mereka menjadi sejiwa dan seperasaan ( 1 Sam. 18: 1
f). Perjanjian yang dibuat oleh Yonatan ini sangat menentukan sekali nantinya
tentang nasib David, sebagai raja yang telah dipilih Tuhan atas umatnya.
Setelah Saul ditolak oleh Tuhan sebagai
raja di Israel, karena Saul tidak patuh terhadap perintah Tuhan, bahkan
berusaha menghalangi rencananya ( 1 Sam. 15), maka Tuhan telah memilih seorang yang berkenan kepada hatinya
( 1 sam. 13: 14), yakni David anak Isai, seorang penggembala di Betlehem ( 1
sam.16). Setelah Saul ditolak oleh Tuhan dan David telah diurapi menjadi raja
(1Sam. 16: 15), maka roh Tuhan yang berkuasa atasnya, kini menghindar dari
padanya, dan berpindah kepada David. Karena kuasa Roh Tuhan telah berpindah
dari Saul, maka iapun segera diganggu oleh roh jahat yang disebutkan berasal
dari Tuhan (1 Sam.16: 14). Gejala apa yang membuat orang menarik kesimpulan
bahwa Saul diganggu oleh roh jahat tidak diberitahukan. Barangkali secara psikhologis dapat dikatakan bahwa Saul karena telah ditolak , dan karena
perhubungannya dengan Samuuel telah terputus, mungkin makin murung keadaannya.
Tetapi disebutkan bahwa roh jahat itu adalah berasal dari Tuhan. Kita tidak
perlu heran bahwa roh jahat yang mengganggu Saul itu disebutkan berasal dari
Tuhan, karena dalam kitab yag lama orang Israel, segala sesuatu dianggap
berasal dari Tuhan. Barulah setelah pembuangan, orang Israel sadar bahwa ada
banyak serangan dan gangguan dari pihak yang hendak mengacaukan pekerjaan Allah
dan hendak menyesatkan bangsanya yang kudus itu70).
Akibat gangguan roh jahat inilah,
maka penasehat raja mengusulkan untuk memperoleh seorang pemain kecapi yang
bekerja sebagai penghiburnya (1 Sam. 16: 15). Usul ini diterima dengan baik,
hingga David yang sudah terkenal sebagai pemaian kecapi yang baik, yang tidak
diketahuinya sudah diurapi oleh Allah menjadi penggantinya, tinggal di istana
sebagai pemain kecapi raja.
Tetapi dengan melihat
perkembangan pengaruh David di tengah-tengah umat Israel, maka Saul semakin
hari semakin membenci David. Saul semakin cemburu kepada David, yang puncak
kebenciannya nampak dari usahanya mau membunuh David ( 1 Sam. 19). Rencana
pembunuhan itu tidak bisa lagi disembunyikan, bahkan untuk itu dia telah
meminta anaknya Yonatan. Tetapi Yonatan dan David telah mempunyai hubungan
persahabatan yang diikat oleh kasih dan perjanjian. Dia sudah lebih terikat
kepada David daripada kepada ayahnya. Karena dia telah mengetahui dengan jelas
rencana ayahnya terhadap David, maka Yonatan berusaha menyelamatkan David,
misalnya dengan menyuruh David bersembunyi di suatu tempat perlindungan,
kemudian dia berusaha untuk mengubah fikiran ayahnya, dan melaporkannya kepada
David ( 1 Sam. 19: 1-3).
Karena David terpaksa harus
meninggalkan istana sementara waktu, maka dia harus mengembara berpisah dari
sahabatnya itu. Saat-saat inilah peranan Yonatan sangat menentukan. Ia terpaksa
memilih kepada siapa dia harus memihak, kepada ayah atau sahabatnya. Kalau ia
memihak kepada ayahnya berarti dia sudah menghianati sumpahnya, sekaligus akan
mendatangkan maut bagi dirinya. Dan kalau dia memihak kepada David, maka dia
sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Pada saat inilah David memintakan
ketegasan dari Yonatan, agar Yonatan menunjukkan hesed-nya kepadanya.
Memang Yonatan telah menunjukkan hesed-nya kepada David, setelah mereka
mengikat perjanjian mereka, dengan menyerahkan pakaian istananya sendiri, yakni
baju perang dan alat-alat persenjataan perang kepada David. Pastilah pakaian
itu warisan dari ayahnya untuk dipakainya sebagai pakaian seorang raja, karena
dialah yang diharapkan oleh ayahnya menjadi raja sebagai gantinya. Karena itu
pemberian pakaian dan perlengkapan ini telah mempunyai arti yang sangat dalam
sekali, yang mungkin dia sendiri tidak memahaminya. Tetapi dari sana telah
nampak kepada kita, bahwa Yonatan telah menyerahkan segenap dirinya, apa yang
berharga bagi dirinya kepada David saudaranya seperjanjian itu. Yonatan benar-benar telah meniadakan dan
mengorbankan dirinya demi perjanjian yang diikatnya. Menurut Keil &
Delitzsch, perjanjian persahabatan David
dengan Yonatan adalah suatu perjanjian Yahwe, karena diikat dengan
kehadiran Yahwe di dalamnya71). Dengan demikian kasih-setia Yonatan bukanlah
hanya kepada David secara pribadi, tetapi juga kasih-setia kepada Yahwe, dalam
arti kasih-setia kepada rencana Tuhan terhadap umatnya. Tetapi rasanya David
belum merasa puas dengan itu. Dia mau
membuktikan hesed Yonatan yang lebih
mendalam lagi, dengan mengucapkan suatu pernyataan. “Tetapi jika ada kesalahan
padaku, engkau sendirilah membunuh aku; mengapa engkau harus menyerahkan aku
kepada ayahmu?”. Di sini David mau menggali isi hati yang sebenarnya lagi dari
Yonatan. Dia tidak memaksakan Yonatan untuk memihak kepadanya, karena dia
menyadari juga bahwa dia tidak luput dari kesalahan. Mungkin dia menyadari
bahwa tindakannya itu sudah terlampau drastis sekali, seolah-olah mau
merampas dan memaksakan Yonatan untuk
memaksakan hak kerajaan itu dari padanya. Inilah yang dinyatakan kepada Yonatan,
sehingga dia mempertimbangkan, dan kalau memang kesalahan itu jatuh kepada David, biarlah Yonatan
sahabatnya yang dia telah percayai untuk menjatuhkan hukuman mati kepadanya.
Pertimbangan Yonatan sudah dipercayainya sebagai pertimbangan yang adil,
sedangkan Saul ayah Yonatan sudah diragukan keadilannya, sehingga David
melarang Yonatan untuk menyerahkan dia kepada
Saul.
Kasih-setia, bukanlah kasih-setia
kalau masih bisa dipengaruhi oleh godaan-godaan yang menguntungkan diri
sendiri, sehingga ingkar akan janjinya.
Yonatan memang telah menyerahkan dirinya untuk kepentingan Allah. Sekali
lagi ia memperbaharui perjanjiannya itu agar sahabatnya benar-benar yakni akan
kesetiaannya. Setiap rencana penyelamatan yang dikerjakan oleh Yonatan
terhadap David disampaikan melalui
“sumpah-setia”. Yonatan bersumpah untuk menghianati rencana ayahnya yang jahat itu, supaya David “berjalan dengan
selamat” ( 1 Sam. 20: 13). Yonatan
bersumpah demi Yahwe, Allah Israel yang berarti apa yang diucapkannya itu
mempunyai arti yang sangat luar biasa pentingnya, karena apa yang akan
dikerjakannya adalah demi Yahwe, Allah Israel, Allah yang hidup. Dalam pada itu
Yonatan benar-benar yakin, bahwa ayahnya
adalah salah, dan Davidlah yang benar, sehingga Tuhan akan menyertai David,
berjalan syalom, wlaupun di tengah-tengah kesusahan dan penderitaan72).
Suatu hal yang menarik bagi kita
ialah Yonatan dalam 1 Sam. 20: 14-16, mengharapkan kasih-setia yang sama
terhadap dia dan keluarganya:
“Jika aku masih
hidup, bukankah engkau akan menunjukkan kepadaku kasih setia TUHAN? Tetapi jika
aku sudah mati, janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap keturunanku
sampai selamanya. Dan apabila TUHAN melenyapkan setiap orang dari musuh Daud
dari muka bumi, janganlah nama Yonatan terhapus dari keturunan Daud, melainkan
kiranya TUHAN menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud."
Sebenarnya dalam teks Massora tentang ayat 14.15 ini
telah menimbulkan persoalan untuk
menerjemahkannya. Apa yang dibuat dalam teks Massora sangat sulit
diterjemahkan, terutama mengenai kata yang sampai tiga kali kita jumpai dalam
ayat 14 dan dua kali dalam ayat 15, yakni kata
וְלּא ( welo ). Terjemahan
yang diperbuat oleh Luther adalah kira-kira demikian: “Tetapi jika aku tidak
melakukan hal itu, janganlah tunjukkan kasih-setia kepadaku, karena aku hidup,
walaupun jika aku mati, jangan” ( ay. 15)73). Tetapi terjemahan ini
membingungkan kita, karena seolah-olah masih merupakan sumpah dari Yonatan74).
Ini bukan sumpah Yonatan, tetapi sudah merupakan permohonan dari dia, supaya
sebaliknya David menunjukkan hesed Yahwe kepadanya, baik dia masih hidup, maupun dia sudah mati,
yakni kepada keluarganya, apabila Yahwe telah melenyapkan musuh David dari muka
bumi. Ucapan “apabila Yahwe melenyapkan” dalam ayat 15 b telah menggambarkan
dengan jelas keyakinan Yonatan bahwa Yahwe akan memberikan kemenangan atas
seluruh seluruh David75). Dari
ucapan Yonatan dalam ayat 13b pun “Tuhan kiranya bersama engkau, seperti ia
bersama ayahku dahulu”, Yonatan telah melihat keseimbangan di antara Saul dan
David, bahkan di dalamnya sudah ada bayangan bahwa Davidlah yang akan
menggantikan ayahnya. Akibatanya kini hati Yonatan diganggu oleh dugaan yang
suram, karena apabila terjadi perubahan dalam kerajaan itu dia telah menduga
akan timbullah penderitaan yang hebat untuk keluarganya yang kini masih
keluarga yang berkuasa, sebentar lagi akan menjadi musuh David. Jika Saul memperlakukan David sebagai musuh,
bahkan berusaha untuk membunuhnya, bukankah demikian di kemudian hari apabila
David telah menjadi raja, Saul dan keluarganya akan diperlakukan sebagai
musuhnya? Karena itulah Yonatan membuka isi hatinya yang sebenarnya, kehancuran
hatinya dengan mengharapkan hesed yang sama sebagaimana dia telakukan dan
sedang ia lakukan, dari pada David. Yonatan yang sebelumnya menunjukkan
kasih-setia kepada David untuk menyelamatkannya, sekarang menjadi sebagai orang
yang membutuhkan penyelamatan dari David. Yonatan menyuruh David bersumpah untuk itu
sebagaimana ia telah perbuat (ay.16.17). Realisasi dari kasih-setia David ini
dapat kita dalam 2 Sam.9: 1.3.7:
“Berkatalah Daud:
"Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan
menunjukkan kasih-setiaku kepadanya oleh karena Yonatan." ...Kemudian berkatalah raja: "Tidak
adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan
kepadanya kasih-setia yang dari
Allah." Lalu berkatalah Ziba kepada raja: "Masih ada seorang anak
laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya." ... Kemudian berkatalah Daud
kepadanya: "Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan
kasih-setiaku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan
kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan
dengan aku."
Fasal 9 dari kitab 2 Samuel ini
menandai berita kesuksesan David setelah dia duduk dalam tahta kerajaan. Dia mau menunjukkan kesetiannya kepada raja
atau keluarga raja yang baru jatuh, dan membalaskan kasih-setia Yonatan
sebagaimana ia telah sumpahkan. Tentang
kecelakaan yang terjadi pada keluarga Saul
baru dapat dimengerti apabila kita melihat 2 Sam.21. Di sana dikatakan
bahwa David menyerahkan tujuh orang keturunan Saul kepada orang-orang Gibeon,
sebagai pembayaran hutang darah keluarga Saul kepada mereka. Hutang darah ini
ialah pelanggaran perjanjian persahabatan Israel dengan orang Gibeon, pada
permulaan Israel memasuki Tanah Kanan ( Yus. 9: 15). Saul membunuh orang-orang
Gibeon, yang karenanya Tuhan menjadi murka kepada orang Israel, berupa bala
kelaparan yang besar selama tiga tahun ( 2 Sam. 21:1 ff). Karena Saul sudah
meninggal dunia ( 1 Sam. 31), dia tidak bisa lagi untuk membetulkan
kesalahannya; sehingga untuk memperdamaikan Tuhan, keluarga Saullah yang
bertanggung-jawab untuk itu. Itulah
sebabnya orang-orang Gibeon memintakan tujuh orang keturunan Saul yang
laki-laki, untuk dipersembahkan kepada Tuhan, sehingga dengan demikian Tuhan
telah diperdamaikan. Angka tujuh adalah angka kudus atau angka sempurna bagi
Israel ( bd. Kej. 33: 5; Im. 4: 6; Bil. 23: 1), sehingga dengan mengorbankan
tujuh orang anak laki-laki Saul itu, maka korban itu menjadi genap di hadapan
Tuhan.
Peristiwa fasal 21, agaknya telah
berlangsung sebelum fasal 9 ini, tetapi dalam susunan redaktur di tempatkan di
kemudian, bersama tambahan-tambahan lain mulai fasal 2176). Kalau
begitu apakah dengan persitiwa fasal 21 itu, David telah melanggar
sumpahnya kepada Yonatan? Memang dalam
fasal 16: 7f, David dikutuk oleh salah seorang dari keluarga Saul yang masih
dekat yang bernama Shimei, dan menuduh David telah menumpahkan darah keluarga
Saul. Tidak tentu apakah kutukan itu
berkenaan dengan peristiwa fasal 21 itu.
Tindakan David pada fasal 21, tidak bisa disebukan penumpahan darah
belaka. Tindakan itu adalah perbuatan kudus. David mau memperdamaikan Israel
dengan orang-orang dengan Gibeon, dengan membetulkan perlakuan yang salah dari
Saul terhadap orang Gibeon itu, di mana Saul mau menghapuskan orang-orang Gibeon
dari orang Israel ( 2 Sam. 21: 5).
Sebenarnya orang-orang Gibeon
adalah membawa berkat di tengah-tengah orang Israel. Orang Gibeon dahulu
melakukan pelayanan kudus bagi orang Israel. Dalam 1 Raja 3: 4, orang Gibeon
mempunyai mezbah besar, di mana Salomo pernah mengorbankan seribu korban
bakaran, dan di sana jugalah Tuhan menyatakan diri kepada raja melalui mimpi.
Dan menurut 2 Taw. 1: 3, kemah perhimpunan Allah didirikan di atas bukit
Gibeon. Karena itu kita boleh mengambil kesimpulan bahwa sebagian orang-orang
Gibeon ini tentu saja memegang jabatan pelayanan pada kebaktian itu. Hal ini diteguhkan juga oleh penjelasan Yus.
9: 27, di mana di sana ditentukan oleh Yosua pekerjaan yang ada sangkut pautnya
untuk orang-orang Gibeon, di dalam rumah Allah. Selanjutnya ada penafsir yang
menduga bahwa pembunuhan imam-imam di Nob, suatu tempat yang tidak jauh dari
Gibeon, oleh Saul ( 1 Sam. 22: 6-23), maka kebaktian dan pelayanan kudus yang
dilaksanakan oleh orang-orang
Gibeon di atas bukit Gibeon dihentikan,
yang baru mulai kembali pada masa David77). Kemungkinan besar karena
berhentinya pelayanan kudus itu, maka berkat Allah berhenti bagi orang Israel
dan diganti dengan malapetaka, sebagai hukuman bagi mereka.
Tindakan David ini adalah
tindakan yang bijaksana yang berdasarkan kehendak Tuhan. Karena bagaimana
sekalipun, perjanjian dengan Yonatan bukanlah suatu tindakan di luar hukum
keadilan, melainkan di dalam keadilan. Walaupun David telah berjanji untuk
menyelamatkan keluarga Yonatan, kalau tindakan mereka tidak bisa lagi dibela
dengan hukum keadilan, maka demi keadilan dan kesejahteraan umat Israel, mereka
harus dihukum. Lagi pula David tidak
dinyatakan menghapuskan keluarga Saul atau Yonatan sama sekali, karena dalam
fasal 9 tadi David disebutkan mengingat perjanjiannya dengan Yonatan. Itulah
sebabnya David menanyakan apakah masih ada orang yang tertinggal dari anak-anak
Saul. Dia benar-benar mau menunjukkan hesed
kepada keluarga Saul yang masih tertinggal itu. Karena hal itu sangat penting
bagi dia, maka sampai tiga kali dia mengemukakan maksudnya itu ( ay.
1.3.7).Dari pertanyaan David tadi, “masih adakah orang-orang yang tertinggal
dari keluarga Saul?”, kita dapat menduga bahwa David telah khawatir, bahwa
keluarga Saul yang dulu masih besar tidak ada lagi sisanya, lagi pula dengan
mengingat kecelakaan yang menimpa mereka dalam pertempuran melawan musuh ( bd. 1 Sam. 31; 2 Sam.4 (Tetapi
dia masih menjumpai Mefiboset anak Yonatan. Kepadanyalah dia menunjukkan חֵסֶד אֱלֹהׅים
(
hesed elohim), kasih-setia yang dapat ditunjukkan oleh Allah. Karena itu
kasih-setia itu bukan hanya perasaan kemanusiaan saja, tetapi atas dorongan
keyakinan bahwa “Yahwe berada di antara Yonatan dan dia sendiri, serta dia
antara keturunan Yonatan dan
keturunannya sampai selama-lamanya” (1 Sam. 20: 42).
Dalam pelaksanaanya, kasih-setia itu
terdiri dari pengembalian seluruh harta
dari keluarga Saul, yang telah diwarisi oleh David atas kemenangannya, ditambah
lagi menempatkan Mefiboset secara pribadi tinggal di istana David. Dia diberi
hak yang istimewa yakni “makan sehidangan dengan David” ( 2 Sam. 9: 7),
sebagaimana pernah dipebuat oleh raja Babilonia kepada Yoyakhin ( 2 Raja 25:
29; Yer. 52: 32). Ungkapan “makan sehidangan dengan raja”, bukan seharusnya
berarti bahwa dia mengambil bagian dalam meja pribadi raja, sebagaimana
dilakukan oleh David sewaktu dia di
istana Saul ( 1 Sam. 20)78). Tetapi dengan cara ini David barangkali
bisa memperhatikan cucu Saul ini, supaya rencana pemberontakan dari keluarga
Saul yang mungkin terjadi terhadap tahta kerajaannya dapat lebih mudah dikontrol. Karena dalam
perkembangan peristiwa di kemudian hari tidak jauh dari dugaan David. Kalau
kita melihat 2 Sam. 16: 1-4, Mefiboset masih mengharapkan dia bisa menjadi
raja, sewaktu David melarikan diri dari istana karena pemberontakan Absalom.
Beginilah pendapat Rothlisberger, yang kita kutip di sini:
“Dipanggilnya
Mefiboset ke Yerusalem itu mempunyai juga segi lain dan adalah sesuai dengan
kebijaksanaan politik Daud. Jika di daerah Yordan Timur ada seorang cucu Saul
maka siapa tahu, barangkali di ke mudian hari keluarga Saul dan suku Benjamin
berharap pula bahwa orang itu akan
menjadi raja mengganti Daud. Fikiran yang demikian terdapat pada fasal 16: 3,
walaupun di sana agaknya berupa pitnahan saja. Jadi dengan tinggalnya Mefiboset
di Yerusalem, maka Daud dapat mengamat-amati dia dan tidak perlu
dikhawatirkannya bahwa akan terjadi mufakat gelap melawan dia dari pihak
keluarga Saul”79).
Pendapat ini memang dibenarkan,
dan tidak berarti bahwa David tidak setia kepada sumpahnya, karena
kebijaksanaan politik David adalah sejalan dengan rencana Tuhan. Tuhan telah
mengangkatnya menjadi raja, karena itu dia harus bijaksana untuk menghindarkan hal-hal
yang tidak diingini oleh Tuhan di kemudian hari. Lagi pula bagi Mefiboset
sendiri, perbuatan David itu sudah merupakan anugerah yang besar, karena selama
ini hidupnya sudah terancam menantikan
hukuman dari David. Tetapi karena
kasih-setia David, hukuman itu tidak sampai lagi kepadanya, melainkan dia
ditempatkan sebagai anak raja di Yerusalem.
Peranan kasih-setia dari para
sahabat David, dan kasih-setianya kepada para sahabatnya, sangat menentukan
sekali dalam kesuksesan David dalam pemerintahannya. Pada masa pemerintahannya
dia menghadapi suatu tantangan dan ancaman dari keluarganya sendiri. Di
antaranya anaknya yang sulung ( Ammon), dan anaknya yang bungsu (Absalom),
telah terjadi perebutan tahta
menggantikan dia. Absalom bertekad menjadi
raja, sehingga dia membunuh kakaknya Ammon, dengan rencana yang diaturnya
sendiri ( 2 Sam. 13: 23-29). Karena tekad Absalom yang meluap-luap itu, dia
tidak sabar lagi menunggu ayahnya sampai tua atau meninggal, melainkan
rencananya untuk menggantikan ayahnya dapat terjadi selekas mungkin. Karena itu
dia mempersiapkan pemberontakan kepada David, sehingga kedudukan David
terancam. Tindakan Absalom ini disambut baik oleh sebahagian bangsa Israel,
karena Absalom sangat lihai mempengaruhi hati bangsa itu dengan mengemukakan
kelemahan-kelemahan ayahnya ( 2 Sam. 15: 1-12). Tetapi sikap dan perbuatan
Absalom itu tidak berkenan di hati Tuhan, karena sikapnya itu hanya mencuri
hati orang Israel, dan membalikkan cinta mereka
dari David kepda dirinya sendiri.
Dalam keadaan inilah peranan
Husai, seorang sahabat dan penasehat raja yang telah dipercayainya, sangat
menentukan sekali dalam mengatasi pemberontakan yang dadakan oleh anak raja
sendiri. Hal ini dapat kita lihat dalam
1 Sam. 16: 16b-17:
“
..., berkatalah Husai kepada Absalom: "Hiduplah raja! Hiduplah raja!"
Berkatalah Absalom kepada Husai: "Inikah kesetiaanmu kepada sahabatmu?
Mengapa engkau tidak pergi menyertai sahabatmu itu?"
Pada waktu itu David telah
melarikan diri dari Yerusalem, sedangkan Absalom telah memasuki tahta di
istana. Di istana masih tinggal dua
orang penasehat David dan memihak kepada Absalom ( bd. 15: 12). Tetapi Husai,
seorang yang setia kepada raja yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Sebagai sorang yang setia kepada raja, maka
dia pun turut menghormati Absalom yang telah masuk istana. “Hiduplah raja”!
Hiduplah raja, itulah ucapan yang diberikan oleh Husai kepada Absalom. Tetapi
penghormatan itu tidak diterima dengan baik oleh Absalom. Menurut Absalom,
tugas Husai adalah menyertai David sahabatnya itu, yang sekarang sudah jauh
dari istana dan dianggap tidak mungkin bisa lagi kembali ke istana. Absalom
nampaknya mengingatkan Husai supaya tetap setia kepada David, tetapi itu adalah
olok-olok yang bermaksud menyakitkan hati Husai.Tetapi hal itu tidak dapat
mengganggu peranan yang harus ia mainkan, sehingga ia terpaksa menjelaskan mengapa ia harus menghormati
Absalom. Kesetiaan Husai sebagai “sahabat raja”, bukan hanya secara pribadi,
melainkan tertuju kepada ia yang sebenarnya memegang kuasa80). Hesed Husai hanya ditujukan kepada raja
yang sah, yang dipilih oleh Tuhan, dan oleh seluruh rakyat Israel ( ay. 18).
Sikap Husai yang seolah-olah memihak kepada Absalom hanya dapat dimengerti
dengan melihat 2 Sam. 15: 32-37. Di sana ia berjanji bahwa ia pura-pura memihak
kepada Absalom, sambil menawarkan diri sebagai
penasehat untuk anak David itu. Oleh sebab itu Husai mau melayani Absalom, sama seperti
dulu melayani ayahnya David. Semuanya ini dilakukan supaya Absalom mengangkat
Husai menjadi kepercayaannya sehingga nasehat Akhitopel yang sudah lebih dulu
memihak Absalom, yakni untuk memerangi David dapat digagalkan oleh nasehat
Husai ( lihat 2 Sam. 16: 1-14). Karena Husai juga pandai mempengaruhi hati
Absalom, maka dia juga diakui oleh Absalom menjadi penasehat yang sama
kedudukannya seperti dulunya dalam pemerintahan David. Tetapi kesetiaan Husai terhadap raja telah
dipakai oleh Tuhan untuk menyesatkan rencana Absalom dan memenangkan rencana
Allah81).
Soal yang sama kita jumpai dalam
2 Sam. 10: 2: berkatalah David: “Aku akan menunjukkan kasih-setia kepada
Husai bin Nahas, sama seperti ayahnya
telah menunjukkan kasih-setia kepadaku”.
Nahas adalah raja Amon ( 1 Taw.
19: 1), yang dalam ayat ini dinyatakan telah berbuat hesed kepada David. Kapan terjadi memang tidak diterangkan kepada
kita. Yang bisa memberikan petunjuk hanya 1 Sam. 11. Di situ Nahas hendak
menaklukkan kota Yabesh-Gilead dan hendak memperlakukan penduduknya dengan
sewenang-wenang. Tetapi sebelum dia dapat melakukan maksudnya yang jahat itu
tenteranya dikalahkan oleh Saul yang mengepalai tentera Israel. Barangkali
Nahas menimpan rasa dendamnya kepada Saul. Karena itu pada saat David diancam
oleh Saul dengan maksud untuk membunuh, Nahas mungkin turut memantu David,
sehingga dengan cara demikian ia dapat membalaskan rasa dendamnya kepada Saul82).
Dengan kata lain Nahas telah turut membatalkan rencana Saul yang menghallangi
rencana Allah, melalui bantuannya yang diberikan kepada David. Itulah mungkin
yang dinyatakan oleh David sebagai hesed dalam
2 Sam. 10: 2. Karena itu David harus bertanggung-jawab untuk itu, yang harus
dibalasnya kepada Nahas atau keturunannya. Itulah sebabnya maka pada ayat ini
David mau menunjukkan kasih-setia kepada Hanun anak Nahas, pada saat Nahas
meninggal dunia. Kasih-setia itu ditunjukkan dengan mengutus pegawai-pegawainya
untuk menyampaikan rasa turut berdukacita, sekaligus mengucapkan selamat
baginya atas pengangkatannya kelak menjadi raja, dan barangkali juga mau
mengadakan hubungan pendahuluan dari bangsa Israel dengan bangsa Amon yang akan
diatur untuk selanjutnya. Tetapi cara David ini dianggap oleh pegawai-pegawai
Hanun sebagai cara untuk memata-matai mereka agar lebih mudah dikalahkan di
kemudian hari. Hanun mempercayai tuduhan pegawai-pegawainya itu, sehingga dia
memperlakukan utusan David itu dengan tidak baik. Tindakan ini bukan saja
menghina utusan David, tetapi sekaligus telah menghina David, dalam arti tidak
menghargai perbuatan baik yang dilakukannya. Dengan kata lain sikap Hanun yang
terlampau realistis ini sudah menghianati
perjanjian yang diikat oleh David dengan Nahas ayahnya, sekaligus
menghianati rencana Allah dengan berusaha meminta bantuan bangsa lain untuk
memerangi bangsa Allah. Inilah sebabnya mengapa David harus mengerahkan panglima perangnya untuk
melawan orang Amon, sehingga orang Amon terpaksa menyerah begitu saja. Di sini
dapat kita melihat bahwa hesed itu
bukan hanya suatu kepatuhan demi sumpah
itu saja, tanpa pertimbangan kemauan Allah, tetapi juga menghukum orang yang
mencoba menghianati rencana Allah.
3.
Hesed
dan keadilan sosial
Dalam
sejarah kehidupan orang-orang Israel, kita melihat suatu kehidupan moralitas
yang berdasarkan keagamaan, yakni berjalan di hadapan Allah83). Di
dalam kehidupan yang demikian terkandung sikap rendah hati, karena dalam hidup
itu senantiasa kita kenal dua istilah yang menuntut suatu kepatuhan kepada
kehendak Allah, yakni מׅשֽפׇט (mishpat) dan חֶֶסֶד ( hesed). Ke dua konsep
ini timbul secara formil di tengah-tengah siatuasi yang konkrit dari kehidupan
bangsa Israel. Mishpat adalah keputusan dari seorang שֹפֵט (
shopet), yakni hakim yang menyelesaikan sesuatu perkara. Penghakiman seorang
shopet yang membedakan diantara צַַדׅיק (
tsadiq) sebagai tidak jahat dan רׇשׇע (rasha) sebagai
kejahatan, itulah keadilan yang ditujukan kepada seluruh manusia. Keadilan
adalah berdasarkan צֽדׇקׇה ( tsedaqa) atau צֶדֶק (tsedeq).
Kata mishpat adalah suatu konsepsi yang biasa di tengah-tengah masyarakat
demokrasi, di mana hak azasi dari setiap anggota masyarakat itu dipelihara
dengan baik83a), keadilan adalah hak setiap orang di dalamnya.
Di
samping istilah mishpat, berdiri hesed.
Dalam hubungannya dengan keadilan sosial, dan moralitas masyarakat, maka
hesed adalah suatu kualitas dalam manusia, yang mendorong dia untuk berdiri di
samping sesamanya pada waktu dibutuhkan84). Hesed
adalah keadilan dalam arti yang lebih luas,
yang tidak dapat hanya ditetapkan secara hukum karena hesed itu adalah dorongan yang spontan
dari hati. Karena itu keadilan juga berakar dari hesed. Lima kali dalam PL kata mishpat dan hesed
dihubungkan, yakni pada Hos. 12: 7; Maz. 101: 1; Mika 6: 8; Yer.9: 23; Zak. 7:
9, di mana pengertian dari ke dua kata itu juga sejajar. Pada zaman monarkhi di
kerajaan Israel, soal keadilan sosial merupakan masalah yang sangat pokok. Hal
itu tak perlu diherankan, karena pada zaman itu telah timbul berbagai golongan
atau tingkatan masyarakat. Golongan bangsawan (raja) yang sebelumnya tidak ada,
menjadi ada; demikian juga golongan pegawai-pegawai dan perwira-perwira
militer. Akibat dari telah terbukanya juga hubungan perdagangan ke luar negeri,
maka muncullah juga golongan pedagang. Golongan-golongan ini merupakan golongan yang kuat dalam
tingkatan sosial ekonomi85). Mereka tinggal di kota-kota dengan
rumah yang baik dan pertahanan yang kuat ( bd. Amos 3: 15), dan tingkatan hidup
sosialnya menjadi jauh lebih tinggi dari petani-petani di desa-desa yang hidup
dalam kemiskinan.
Lambat
laun para pengusaha tidak mengindahkan nasib orang-orang miskin dan orang
lemah. Bahkan mereka tidak segan-segan mengorek keuntungan dari mereka untuk
memperkaya diri sendiri (bd. Amos 2: 7ff). Orang kaya semakin kaya dan orang
miskin semakin miskin. Akibatnya solidaritas sosial dan keadilan sosial menjadi
hilang. Pada saat inilah orang kaya mendapat arti yang hampir sama dengan orang
jahat dan fasik, karena orang ini mendapat kekayaannya atas jalan yang tidak
halal. Tuhan adalah Allah yang benci
kepada kejahatan dan menunjukkan belas kasihannya kepada orang miskin dan yang
lemah, yang hidup dalam keadaan sengasara tanpa kesalahan mereka sendiri.
Karena itu kata-kata seperti orang miskin, orang lemah dan orang sengsara
mempunyai arti yang sama dengan orang benar ( bd. Amos 2: 6-7). Sikap negatif
terhadap orang kaya oleh para nabi-nabi terutama nabi Amos, terjadi karena
kejahatan mereka yang mudah melupakan bimbingan Tuhan. Nabi Amos misalnya
dengan tegas menuduh orang kaya, penguasa-penguasa, telah menjual “orang benar”
karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut ( 2: 6).
Nabi
Amos yang hidup pada masa pemerintahan Yerobeam II (750 seb.M), memang
menghadapi masyarakat yang makmur, tetapi kemakmuran itu hanya dinikmati oleh
lapisan masyarakat yang tinggi, pada hal banyak yang menderita karena diperas
dan dianyaya oleh bangsanya sendiri. Golongan yang terhormat telah membenci
keputusan hukum yang adil ( Amos 5:10). Karena hakim-hakim tidak berani lagi
menentang orang yang berkuasa itu, sehingga para hakim tidak memberikan
keputusan hukum lagi kepada mereka secara adil. Mereka telah mencampakkan
keadilan sehingga diinjak-injak orang
sebagai sesuatu yang tidak ada harganya ( bd. Amos 5: 7). Nabi Yesaya dan nabi
Mika juga menghadapi situasi yang sama. Mereka ini menekankan, para pemimpinlah
ulah dari segala perbuatan ketidak adilan itu, yang sebenarnya merekalah yang
bertanggung-jawab untuk memelihara rakyatnya ( Yes. 1: 23; Mika 7: 3-4).
Timbulnya
ketidak adilan itu adalah akibat pemutusan perjanjian Allah86).
Dengan kata lain ketidak adilan sosial timbul karena kasih-setia terhadap
sumpah yang diikrarkan dalam perjanjian Allah telah putus. Setiap yang
menyeleweng terhadap sumpah-setia, dia akan dihukum oleh Allah. Kasih-setia
terhadap perjanjian Allah tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial. Karena
itu hesed dalam lapangan sosial ini
ialah berbuat kebaikan dan keadilan.
IV. ARTI DAN MAKNA HESED DALAM
LAPANGAN KULTUS
( Persekutuan Allah dengan umatnya
- hesed Yahwe )
Dalam
bab-bab di atas kita telah menguraikan bagaimana arti dan makna hesed itu dalam lingkungan persekutuan
manusia dengan manusia, yang meliputi persekutuan keluarga, pershabatan dan
persekutuan sosial. Dalam bab ini kita mau menguraikan bagaimana arti dan makna
hesed itu dalam persekutuan Allah dengan manusia atau umatnya.
Persekutuan
Allah dengan manusia dicerminkan oleh perjanjian Allah, sehingga Eichrodt dalam
bukunya yang berjudul Theology of the Old Testament ( Theologia Perjanjian Lama),
I, memusatkan theologianya “sekitar perjanjian”, yakni hubungan perjanjian,
aturan-aturan perjanjian, nama perjanjian, tabiat perjanjian, alat-alat
perjanjian, pelanggaran perjanjian, penggenapan perjanjian87). Di
dalam bukunya itu dijelaskan bahwa hesed sebagai
natur dari Allah perjanjian, yang dinyatakan untuk mensahkan dan meneguhkan
aktivitasnya atau merupakan sikap yang diharapkan di dalamnya. Jelasnya dia
berkata:
“Israel’s
relationship with God, being a covenant fellowship, consequently took over the
ideal bound up with this particular legal form of human relationships, even
though these were modified by exalted nature of divine party to the contract.
One particular type of conduct expected from fellowship as an immediate result
of conclusion of the b e r i t was the
duty loyal mutual service; without the rendering of hesed of both sides the
maintenance of a covenant was is general unthinkable”88).
Untuk
mengerti arti dan makna hesed Jahwe secara mendalam maka kita harus lebih dulu
menguraikan pengertian perjanjian
Yahwe.
1. Perjanjian
( בְּרִית -(berit) dan
חֶסֶד (hesed)
Yahwe
Perjanjian
adalah inti dari Alkitab, yang berarti gagasan Allah yang bertujuan untuk hidup
sejahtera dan keselamatan manusia. Istilah perjanjian mnurut Chr. Barth adalah
bahasa kebaktian dengan undang-undangnya yang mengatur nisbah antara manusia.
Dan terutama pada zaman dahulu kala, peranan perjanjian penting sekali dalam
hubungan antar bangsa89). Sejajar dengan itu Lempp mengatakan
perjanjian berasal dari istilah hukum militer, yang mengatur hukum antar bangsa90).
Dalam peperangan antar bangsa , siasat perang selalu bertujuan untuk
menghancurkan seluruh musuh, kecuali pihak yang menang memberi jaminan kedupan
kepada pihak yang kalah. Untuk inilah diikat perjanjian. Jadi perjanjian diperbuat oleh pihak yang lebih
kuat kepada pihak yang lemah. Demikianlah thesis yang diungkapkan oleh Begrich.
Dia menuliskan: “Pada umumnya perkataan בּֽרִית (berit)
menunjukkan perhubungan dua partai yang tidak homogen, di mana pihak yang lebih
kuat melindungi pihak yang lemah di dalam hubungan perjanjian”91).
Misalnya orang laki-laki Israel terhadap orang laki-laki Gibeon ( Yosua 9). Nahas
terhadap penduduk dari Yabes ( 1 Sam. 11); Ahab terhadap tawanan perang Ben
Hadad (1 Raja 20: 34). Jadi perjanjian adalah perlindungan atau jaminan hidup,
terhadap orang yang sebenarnya sudah harus lenyap atau mati. Karena itu orang yang menerima perjanjian itu
wajib secara mutlak terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu untuk
mematuhinya. Apabila orang yang menerima perjanjian itu ingin untuk hidup, maka
dia harus takluk kepada kemauan pemberi perjanjian itu, dalam arti dia harus
menjadi hambanya.
Inilah
dasar theologis dari perjanjian Allah. Apabila Allah mengikat perjanjian dengan
manusia, berrati Allah menjamin kehidupan manusia, sekaligus manusia menjadi
hamba yang harus takluk kepada kemauan Allah. Sehingga dalam perjanjian itu
kedudukan Allah adalah pemberi jaminan hidup manusia, dan kedudukan manusia
adalah hamba yang takluk. Perjanjian ini
diikat oleh suatu kuasa yang tidak terputuskan
oleh kuasa apapun, yakni hesed Allah.
Perjanjian
itu telah dimulai pada Adam dan Hawa, walaupun memang istilah perjanjian tidak
ada dalam berita tentang penciptaan Adam. Namun dalam istilah “manusia segambar
dengan Allah”, sudah terkandung arti bahwa Allah menjamin hidup manusia, dan
manusia menjadi hamba Allah.Tetapi jaminan itu bukanlah suatu milik manusia,
hanya terletak dalam hubungan kepatuhan. Karena setelah manusia memberontak
(Kej.3), manusia telah kehilangan hidup itu dari dirinya. Hanya karena hesed
Allah, Dia berkenan memberi jaminan hidup itu lagi kepada sisa yang masih
takluk, yakni Nuh dan keluarganya yang pengaruhnya meliputi segala bangsa ( bd.
Kej.9: 1-17).
Secara
khusus dalam rencana penyelamatan Allah, Dia telah mengikat perjanjian kepada
satu bangsa yang dipilihnya sendiri, yakni Israel. Perjanjian itu dimulai
dengan pemanggilan terhadap Abraham seperti diberitakan dalam Kej. 12: 1-3 ( J
), yang kemudian diteguhkan dengan upacara perjanjian ( Kej. 15: 1-21: J + E;
Kej. 17L 1-14: P ) Perjanjian itu kemudian diperbaharui kepada Ishak ( Kej. 26:
3.4.24), kepada Yakob (Kej. 28: 3.4.13.15; 32: 12; 35: 11-12). Perjanjian itu
adalah alat untuk menyalurkan berkat (
keselamatan, kehidupan ) kepada segenap
bangsa ( Kej. 12: 2-3).
Perjanjian
dengan Abraham, Ishak, Yakob, dilanjutkan dengan perjanjian terhadap umat
Israel, dalam perjalanan dari Mesir menuju Kanaan di kaki gunung Sinai (Kel.
19: 4-6; 24: 1-8; 34: 10; Ul. 6: 4-5; 7: 6-8; Amos 3: 2). Dengan itu Allah
menjamin kemerdekaan, keselamatan dan keadilan, jika bangsa Israel tunduk
kepada Allah Yahwe sebagai Raja dan Tuhan mereka.
Perjanjian
Allah dengan raja David ( 2 Sam. 7: 8-16; 23: 3-5; Maz. 132: 1-2.11;Yes. 55: 3;
Yer. 33: 20-21), setelah Israel berbentuk kerjaaan Monarkhi, yang juga
merupakan jaminan kesejahteraan umatnya. Setelah bangsa Israel jatuh ke dalam
dosa, yang akibatnya mereka akan kena hukum Allah, maka Allah mengadakan
“Perjanjian Baru” ( Yer. 31: 31-33) yang di dalamnya jaminan pembaharuan
seluruh manusia dan ciptaan, serta jaminan keampunan dosa.
2. Hesed
Yahwe kepada Abraham
Ada
dua sumber tentang penetapan perjanjian kepada Abraham, yakni Kej. 15: 1-2 dan
Kej. 17: 1-14. Kejadian 15 ini terjalin atas dua benang cerita, yakni benang
cerita J dan E. Hal ini diakui oleh ahli-ahli Perjanjian Lama, seperti Chr.
Barth92), Von Rad93), dan W. Lempp94), dengan
penyelidikan yang cermat, baik dari segi sastera, maupun dari segi
theologianya. Penulis J hidup pada masa David, sedangkan penulis E hidup
kira-kira dua abad sesudahnya.
Di
dalam jalinan cerita J dan E ini kita telah menemui dua adegan yang berlainan.
Adegan pertama adalah pembicaraan antara Allah dan Abraham melalui suatu
penglihatan atau mimpi, tentang pemberian keturunan kepada Abraham ( ay. 1-6).
Adegan kedua ( ay. 7-12(, merupakan upacara-adat tentang pemberian tanah. Dalam
adegan pertama, tidak ada sesuatu kejadian; sedang dalam adegan kedua Allah
saja yang bertindak, Abraham sama sekali berdiam diri, hanya mengalami
keaktifan Allah.
Upacara
adat penyembelihan binatang yang ditunjukkan dalam adegan kedua adalah upacara
kuno untuk mengikat perjanjian95). Penyembelihan binatang itu
merupakan suatu sumpah atau pengutukan terhadap diri sendiri, yang berarti:
Jikalau saya tidak memenuhi segala kewajiban yang timbul dari perjanjian itu,
maka saya mau disembelih seperti binatang itu. Jika teman seperjanjian melalui
tengah-tengah binatang yang berlumuran darah itu( bd. 15: 17), maka ia
menyatakan kerelaannya untuk menanggung nasib yang sama dengan binatang itu96).
Sehingga dengan upcara tadi, Allah hendak memberi kepastian akan janjinya yakni
pemberian Tanah Kanaan. Abraham dapat menggugat hak miliknya atas Tanah Kanaan,
jikalau Allah tidak melakukan janjinya, yakni menyerahkan Tanah Kanaan kepada
Abraham.
Kesimpulan
dari Kejadian 15 ini adalah upacara penyembelihan binatang korban sebagai
upacara pengesahan janji Tanah Kanaan untuk dimiliki keturunan Abraham, yang
pada masa penulis, bangsa Israel telah mendiami Tanah Kanaan itu.
Kejadian
17 adalah tulisan P, pada masa pembuangan
di Babel ( abad 6 sebm M).Di dalamnya Allah mau menetapkan kewajiban Abraham
berupa sunat ( ay. 9-14). Sunat ini hanya merupakan tanda perjanjian (ay.11),
dan tanda kepatuhan dari pihak manusia.
Penyunatan
memang sudah lama dilakukan di tengah-tengah Israel (Kel. 4: 24-26; Yosua 5:
2-8); tetapi selama dan sesudah pembuangan Israel ke Babel, penyunatan menjadi
syarat mutlak untuk menjadi tanda angota umat Israel yang percaya kepada Allah
Yahwe. Maka P hendak mensahkan dan membenarkan aturan penyunatan itu selaku
perintah Allah yang diberikan kepada Abraham. Jikalau nenek ( ompu) telah
melakukan penyunatan, terpaksalah keturunannya ikut serta dalam acara agama
itu. Selama pembungan, bangsa Allah sangat membutuhkan sunat sebagai tanda atau
ciri-khas keanggotaan sekaligus sebagai tanda pengenal, tanda pengakuan, maupun
buat sesama mereka, maupun terhadap orang yang bukan anggota97).
Pada masa kerajaan, pendirian yang demikian tidak dirasa perlu, karena agama
Yahwe belum terbuka untuk orang asing, dan keanggotaan masih dijamin oleh
kelahiran. Tetapi Israel dipindahkan ke Babel, dan kembali lagi ke Yerusalem,
hal itu tidak terjamin lagi. Pada waktu itu agama Yahwe telah terbuka untuk
bangsa dan agama asing sehingga ada Yahudi proselit. Mungkin juga dari antara
Israel sendiri telah banyak pula yang menyangkal agamanya sendiri dan menganut
salah satu agama lain. Untuk menghindarkan hal yang demikianlah, maka para imam
menganggap perlunya upcara sunat sebagai syarat mutlak dan tindakan pengakuan
yang azasi terhadap Yahwe Allah Israel. Hal ini diingatkan dengan menunjuk
kepada kewajiban untuk menyunat anaknya sebagai tanda perjanjian.
Memang
P di sini telah memberi tekanan kepada perjanjian antara Allah dengan Israel,
di mana dipakainya 13 kali istilah perjanjian, perjanjian mana ditandai dengan
sunat. Apabila Kej. 15, menekankan peneguhan janji tanah atau wilayah
kekuasaan, maka Kej. 17 menekankan perjanjian itu sebagai permulaan kelahiran
umat Israel.
Dari
ke dua fasal perjanjian tadi kita melihat bahwa dengan perjanjian Allah yang
ditandai dengan sumpah-setia berupa penyembelihan binatang dan upcara sunat,
Allah mengarahkan pengharapan Abraham dan keturunannya kepada perbuatan yang
besar di kemudian, yakni janji keturunan dan tanah. Campur tangan Allah dalam
penyataan janji ini dianggap sebagai hesed
Allah.
Apabila
dalam Kej. 24: 12, Eliezer hamba Abraham
yang dipercayakan untuk mencari istri Ishak anaknya, memintakan:
"TUHAN,
Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini,
tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham”.
Ini berarti supaya Yahwe
mempertemukan kepadanya perempuan yang
cocok menjadi istri Ishak. Jadi hesed Yahwe di sini adalah campur tangan
Yahwe untuk menentukan istri Ishak yang berkenan kepadanya, karena diharapkan
melalui istri Ishak inilah Abraham memperoleh keturunan sebagai penerus dari
sejarah keselamatan Allah.
3. Hesed
Yahwe kepada Yakub
Hesed yang sama kita jumpai kepada
Yakub, cucu Abraham. Hal ini diakui oleh Yakub dalam doanya dalam Kej. 32:
9-12:
"Ya Allah
nenekku Abraham dan Allah ayahku Ishak, ya TUHAN ( Yahwe), yang telah berfirman
kepadaku: Pulanglah ke negerimu serta kepada sanak saudaramu dan Aku akan
berbuat baik kepadamu (ay.9); sekali-kali aku tidak layak untuk menerima segala
kasih dan kesetiaan yang Engkau tunjukkan kepada hamba-Mu ini, sebab aku
membawa hanya tongkatku ini waktu aku menyeberangi sungai Yordan ini, tetapi
sekarang telah menjadi dua pasukan (ay.10). Lepaskanlah kiranya aku dari tangan
kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya, jangan-jangan ia datang
membunuh aku, juga ibu-ibu dengan anak-anaknya (ay. 11). Bukankah Engkau telah
berfirman: Tentu Aku akan berbuat baik kepadamu dan menjadikan keturunanmu
sebagai pasir di laut, yang karena banyaknya tidak dapat dihitung (ay.12)."
Doa Yakub ini adalah berdasarkan
janji Allah. Atas keyakinan bahwa Yahwe tidak akan mengubah janjinya, maka
Yakub memberanikan diri untuk berlindung kepada nya pada situasi yang
mengkhawatirkan dia. Yakub menyebut naka
Allah, Yahwe, karena itu doa ini termasuk karangan J. Ia menggelari Yahwe itu,
Allah nenekku (‘abi) Abraham dan Allah ayahku (‘abi) Ishak. Ini berarti, ia sendiri menempatkan
janji yang diberikan kepada Abraham, sehingga dia tidak ragu-ragu dalam doanya
itu, bahwa warisan dari janji berkat itu
adalah dia sendiri98). Allah inilah yang memberikan janjinya kepada
Yakub, untuk tidak membiarkan Yakub tinggal di negeri asing, tetapi di negeri
perjanjian ( Kej. 28: 15; 31: 3.13).
Tetapi
kini, janji Allah untuk pulang ke negeri perjanjian dari negeri pamannya, diancam
dan dibahayakan oleh serangan Esau. Dia tidak tahu lagi apa yang akan
diperbuatnya, karena segala taktiknya untuk memperdamaikan Esau telah gagal.
Keesokan harinya dia akan menghadapi ajalnya. Tetapi Yahwe tidak dapat membohongi
janjinya. Selama dua puluh tahun Yakub telah mengalami kasih dan kesetiaannya ( הָחֶסֶד־וֽהָאֱמֶת
)
Kata אֱמֶת ( kesetiaan ), sengaja dipakai untuk
menguatkan hesed. Ini berarti bahwa hesed Yahwe itu benar-benar dapat dipercayai dan diandalkan, sehingga
Yahwe tidak mungkin akan menariknya. Yakub telah beroleh empat orang istri, sebelas
orang anak, dan cukup banyak ternak di
rumah pamannya. Tetapi untuk memberangkatkan semuanya itu ke tanah perjanjian,
dia mengalami situasi yang genting. Keselamatan dirinya dan keselamatan seluruh
yang ada padanya terancam. Pada saat inilah dia mengharapkan hesed Yahwe, yakni pertolongan agar dia
selamat di tenah perjanjian itu.
4. Hesed
Yahwe kepada David
Janji
Allah kepada Abraham, Ishak dan Yakub telah menjadi kenyataan setelah mendiami
tanah perjanjian Kanaan, sebagai satu bangsa, walaupun banyak menghadapi
rintangan,yang seolah-olah menunda, menangguhkan penggenapan janji Allah itu.
Tetapi dalam semua pengalaman itu, sejak Abraham, Ishak, Yakub, maupun
pengalaman Israel di Mesir, di padang pasir, baik setelah di Tanah Kanaan,
Allah mempunyai cara sendiri untuk memberikan carpur tangan yang tepat, sehingga memperterang tindakan
penyelamatn dan bimbingan Tuhan kepada mereka.
Mereka
telah mempunyai wilayah tertentu, yakni
Tanah Kanaan. Mulai dari persekutuan suku-suku pimpinan penatua-penatua beralih
kepada kepemimpinan militer (perang) oleh hakim-hakim yang sewaktu-waktu
diangkat oleh Tuhan. Akhirnya menuntut seorang raja ( Hak. 8: 22f), yang
dimulai dengan pengurapan terhadap Saul (1 Sam. 11: 15). Tetapi kemudian Allah
menyerahkan kuasa kerajaan itu kepada David, karena dia telah dipilih olehAllah
menjadi raja yang kekal. Allah telah menjanjikan kepada David untuk membangun
satu dinasti yang berkuasa untuk selama-lamanya ( 2 Sam. 7: 1-17). Kekekalan
pemerintahan David sangat ditekankan.
Tiga kali kata עַד־עוֹלָם ( ay.13.16) disebutkan,
yang berarti kekekalan yang sampai selama-lamanya.
Dalam
janji yang sangat luar biasa ini ada hal yang sangat menarik bagi kita. David
ingin membangun satu baith untuk Yahwe, untuk tempat tinggal Yahwe, dengan demikian
hubungannya kepada bangsa Israel
terjamin adanya. Rencana ini timbul setelah dia berhasil memindahkan tabut
pejanjian Allah dari rumah Abinadab di Kiryat-Yearim99), dan
menempatkannya di kota Yerusalem yang telah ditaklukkan itu di dalam sebuah kemah
yang telah disediakannya sebelumnya ( 2 Sam. 6: 1-23). Penempatan kabut
perjanjian itu di Yerusalem adalah berhubungan dengan pemberian janji tentang
kekekalan tahta David. Hal ini telah dinyatakan oleh seorang ahli yang beranama
Congar. Dia mengatakan: “ The perpetuity promised to David’s line is
inseparable from the transfer of the ark to Jerusalem, wich now becomes God’s
dwelling place”100). Tabut perjanjian adalah lambang kehadiran Allh
di tengah-tengah bangsanya (Bil. 10: 33-36; bd. 1 Sam. 4: 7). Davidlah yang
memberikan perhatiannya terhadap benda kudus itu, sedangkan Saul tidak. Sejalan
dengan kemenangan David merebut Yerusalem dari bangsa Jebus, dia berusaha
mengistimewakan kota itu menjadi tempat kebaktian, karena itu dia memindahkan
tabut itu ke sana sehingga kota Yerusalem menjadi pusat kebaktian bangsanya.
Rencana
David untuk membangun baith Yahwe, dalam arti memperkokoh tempat kediaman Yahwe
( tabut perjanjian), tidak disetujui oleh Yahwe, karena Dia tidak terikat dalam
rumah yang dibangun oleh manusia. Dia tidak terikat dalam satu tempat,
melainkan mengembara di tengah-tengah seluruh manusia ( 2 Sam. 7: 4-7). Tetapi walaupun Yahwe menolak rencana David
itu, Dia tidak menolak hubungannya dengan bangsa Israel. Yahwe mempunyai
rencana yang lain dari David. Rumah yang mau dibangun oleh Yahwe bukan dari
kayu atau batu, melainkan manusia itu sendiri ( keturunan David). Kepada
keluarga inilah Yahwe menghubungkan diri, sebagai tanda bahwa Dia berada di
tengah-tengah umatnya. Allah mengangkat David menjadi anaknya ( 2 Sam. 7: 14;
Maz. 2: 45; 110 dll) 101). Pengertian anak di sini bukanlah
pengertian natural sebagaimana pandangan bangsa sekitar Israel, tetapi
menunjukkan hubungan yang erat antara Allah dan raja102). Begitu
dekatnya hubungan Allah dengan raja itu, sehingga dalam Maz. 45: 7, raja
disebut juga Allah. Pernyataan inilah yang disebutkan melalui perjanjian.
Dinasti David menjadi rumah Allah berarti Allah tetap setia hadir di
tengah-tengah umatnya. Inilah hesed
Yahwekepada David seperti dinyatakan dalam 2 Sam. 7: 15:
“Tetapi kasih
setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada
Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu”. Untuk itu raja dimintakan
tanggung-jawab yang besar, yakni:
(a) Membela
bangsanya dari serangan musuh
(b) Menegakkan
keadilan di tengah-tengah masyarakat
(c) Menjadi
perantara Allah dan umat, dan sebaliknya umat dengan Allah103).
Dengan kata lain raja menjadi
“corporate personality” di tengah-tengah kehidupan Israel. Kemakmuran dan
kesejahteraan rakyatnya tergantung kepada raja. Dialah yang menjadi saluran
berkat atau kutuk dari Allah kepada umat Israel. Karena di samping jabatannya
sebagai raja dalam jabatan politis, dia juga memegang jabatan “oberpriester”
(imam besar)104). Kemenangan raja adalah kemenangan rakyat dan
kekalahan raja adalah kekalahan rakyat. Jika dia menjalankan tugasnya sesuai
dengan kehendak Allah, maka rakyat akan mendapat berkat. Tetapi jika raja
berdosa, maka rakyat akan dijatuhi hukuman, seperti penindasan, kemiskinan,
kekalahan perang, dsb, karena dosa raja telah menjadi dosa rakyat105).
Inilah tanggung-jawab raja sebagai tuntutan hesed
Yahwe kepadanya.
5. Hesed
Yahwe kepada bangsanya
Pernyataan
dan perbuatan Allah dalam sejarah Israel menunjukkan hesed Yahwe sebagai suatu kekuatan dan unsur yang permanen. Dia
senantiasa setia terhadap apa yang dinyatakan kepada bangsa itu. Pernyataan di
gunung Sinai: “Kamu menjadi umatku dan Aku menjadi Allahmu” ( Kel. 19)
menginsyafkan bangsa itu bahwa mereka adalah milik Yahwe. Yahwelah yang
memelihara persekutuan bangsa, sekaligus menghancurkan hal-hal yang mencoba
menghancurkan persekutuan mereka. Tuhan memberikan hukum sebagai salah satu
alat Tuhan untuk menegakkan kebenaran (‘emeth) dalam segala persoalan sehingga
segala kesaksian yang salah dapat dihindarkan ( bd. Ul.22: 21; 17: 4). Tindakan
kebenaran ini adalah salah satu aspek dari hesed
Allah yang diperlihatkan kepada bangsa Israel106). Seperti
dinyanyikan oleh pemazmur: “Aku akan menyanyikan hesed Yahwe selama-lamanya; hendak memperkenalkan ‘emunamu ( kebenaran) dengan mulutku
turun-temurun ( Maz. 89: 2).
Karena
orang percaya tidak henti-hentinya mengalami hesed Yahwe, timbullah formulasi
yang liturgis untuk mengucapkan syukur dan terima kasih: “Ucapkanlah syukur
kepada Tuhan, karena dia baik, kasih-setianya untuk selama-lamanya” ( bd. Yer.
33: 11; Mar. 100: 5; 106: 1; 107: 1.8.15.21.31, dll). Hesed inilah jaminan bagi
orang percaya untuk memohon kepada Tuhan: “perlihatkanlah kepada kami
kasih-setiamu, ya Yahwe, dan berikanlah kepada kami keselamatan dari padamu” (
Maz. 85: 8, dll).
a) Gambaran-gambaran
yang dipakai untuk melukiskan hesed Yahwe kepada umatnya
Gambaran
Allah sebagai Bapa dan Gembala atas umatnya dipakai untuk melukiskan aspek
sikap ilahi yang dikandung oleh hesed107)/
Dalam hubungan kekeluargaan, hesed diandaikan selaku sikap yang mengikat
anggota-anggotanya. Hal ini memang benar, karena fikiran semitic, arti
“kebapaan mengandung unsur kepemimpinan, hak-pemilik dan kekuasaan yang
mengandung tekanan yang sama dalam unsur kasih108). Tentang hal yang
sama banyak dijumpai dalam hymnus orang Babilonia, baik dalam nyanyian ratapan
yang mengharapkan “belas-kasihan bapa”, maupun dalam hymnus pujian kepada
dewa-dewa109).
Di
Israel, predikat Bapa terhadap Allah, merupakan istilah yang dominan, bahwa dia
adalah Pencipta dari segala alam dan mahluk; Dialah yang menganugerahkan
perlindungan dan pemeliharaan kepadanya. Tindakan inilah yang dianggap sebagai
kasih-setia dari bapa surgawi, yang diserukan oleh anak-anak yang membutuhkan
perlindungannya, karena Dia juga diakui sebagai bapa dari anak-yatim ( bd. Maz.
68: 6; Yes. 63: 16). Seorang bapa tidaklah salah untuk menghukum anaknya;
karena hukuman tidak semata-mata untuk
membinasakan, melainkan juga untuk mendidik ( Ul. 8: 5).
Konsepsi yang sama tentang predikat “bapa” ini
juga menguasai fikiran Yudaisme di kemudian, walaupun telah mengalami
perobahan. Karena pada masa ini mereka sudah lebih cenderung memakai predikat
itu untuk menunjukkan jabatan “raja” dari Allah; karena itu konsep kasih Allah
dalam predikat bapa, telah dikaburkan oleh tekanan terhadap kuasa pemerintahan
Allah110).
Gambaran dengan “Gembala” juga melukiskan
kasih-setia Allah. Gambaran ini telah berulang-ulang dijumpai di Timur Dekat
untuk jabatan “raja”, baik kepada dewa maupun manusia111). Gembala
seharusnya bersifat pengasih, panjang sabar, sehingga predikat itu patut
dikenakan menandai seorang pemimpin, baik itu manusia maupun dewa. Tabiat
seorang pemimpin juga menghimpun yang terpencar-pencar.
Dalam
PL predikat “Gembala” telah dipakai baik pada periode yang lebih tua, maupun
pada periode yang kemudian. Pemimpin bangsa Israel disebut gembala ( Yer. 23: 1-4), yang
bertanggung-jawab penuh atas domba-domba Allah yang digembalakan mereka.
Yahwelah Gembala Agung dari bangsa itu, yang atas dasar ini bangsa Israel
menyebut dirinya sebagai domba-domba Allah ( Maz. 79: 13; 9: 7; 100: 3).
Selain
dari pada itu dipakai juga gambaran “perkawinan”, Allah sebagai suami dan
bangsa Israel sebagai istri. Hosea misalnya menekankan gambaran yang demikian.
Allah meminang dan meminta bangsa Isrel menjadi istrinya untuk selama-lamanya,
dengan hadiah kawin berupa keadilan, kebenaran kasih-setia, kasih-sayang dan
kesetiaan ( Lihat Hosea 2: 18-19; B.H. ay. 21.22). Kalau keadilan diartikan memberi
hak dan perlindungan112), seperti kepada orang miskin, orang asing,
janda, yatim-piatu, maka Yahwe bertindak selaku pelindung bagi istrinya,
sehingga persekutuan hidup tetap terpelihara. Dia tetap setia terhadap Israel. Dengan demikian Allah
mengharapkan Israel “mengenal” Dia dan menunjukkan kasih-setia seperti cinta si istri kepada suaminya,
mengikut tanpa ragu-ragu, tetapi taat dan percaya.
Kesetiaan
Allah menjamin persekutuan perjanjian Tuhan untuk selama-lamanya. Walaupun si
istri melacurkan dirinya dalam arti taat kepada dewa-dewa kafir, tetapi karena kasih-setia Tuhan,
persekutuan dapat dipulih kembali. Sebenarnya karena dosa penyelewengan Israel
telah hancurlah ikatan persekutuan itu, tetapi terhadap kehancuran ini hesed Allah memungkinkan transformasi yang
absolut. Hesed Allah terus beroperasi kepada orang yang berdosa , seperti
adanya pengampunan dosa. Karena itu Israel harus mengakui dosanya, supaya Allah
mengambilnya sebagai “hasid” seorang
yang megalami kasih perjanjian itu melalui segala standard manusia ( bd. Yer.
3: 12). Pada saat inilah pengertian hesed
berobah menjadi tindakan belas-kasihan dan kemurahan ( rahamim). Inilah
corak hesed Yahwe di kemudian, yakni
hesed itu tersedia bagi orang-orang yang murtad.
b) Hesed
Yahwe kepada bangsanya di pembuangan
Apa sebabnya pembuangan
Israel, dijawab oleh para nabi sebelum
pembuangan, yaitu karena dosa dan penyelewengan Israel. Tetapi Kitab Deutero
Yesaya akan menjawab soal itu, bukan hanya hukuman Tuhan, tetapi sebagai jalan
yang menyelamatkan113). Dengan
demikian pembuangan adalah rencana Tuhan dalam sejarah keselamatan, supaya
semua orang percaya mengenal kekuasaan Yahwe.
Hal ini dicerminkan oleh rahasia “ebed (abdi) Yahwe” yang menderita.
Dari ke empat nyanyian ebed Yahwe dalam Deutero Yesaya, kita dapat mengetahui
peranan ebed Yahwe. Dalam nyanyian pertama (42: 1-7), ebed Yahwe diperkenalkan
oleh Allah sebagai saksi keadilan kepada bangsa-bangsa. Dalam nyanyian ke dua
(49: 1-6), pengakuan ebed Yahwe bahwa dia telah terpilih sejak di kandungan,
untuk mengembalikan dan menegakkan kembali bangsa Israel, sekaligus menjadi
terang kepada orang kafir, dan mengantar keelamatan ke seluruh ujung bumi.
Dalam nyanyian ke tiga (50: 4-9) ketaatan ebed Yahwe terhadap penderitaan,
karena hal itu adalah pelayanannya kepada Yahwe. Dalam nyanyian ke empat ( 52:
13-53: 12) ebed Yahwe dipertunjukkan ke seluruh bangsa dan raja-raja dengan
kemuliaan, walaupun orang sebelumnya tidak yakin akan hal itu, karena
penderitaan kepadanya.
Yang menjadi soal ialah siapakah
ebed Yahwe itu ? Ada yang menafsirkan secara kolektif dengan alasan bahwa dalam
Yes. 49: 3, ebed Yahwe itu disamakan dengan Israel. Tetapi menurut ahli-ahli
“kata Israel” di sini adalah sisipan dari seorang pembaca114). Lagi
pula bagian dari pekerjaannya adalah untuk menegakkan kembali bangsa itu (ay.
6), maka tidak mungkin ebed itu menunjuk kepada Israel secara keseluruhan di
sini115). Kalaupun itu ditafsirkan secara keseluruhan bangsa Israel,
seperti juga pada 44: 1 dan 41: 8. Memang pada tahun-tahun permulaan pembuangan
ebed Yahwe masih dianggap secara keseluruhan Israel116), karena
mungkin ide tentang seorang pribadi masih dirahasiakan.
Kalau kita melihat isi
keseluruhan Deutero Yesaya, di sana diserukan
“kebebasan bangsa Israel dari pembuangan”, dan diharapkan bangsa itu bergembira akan
kepastian itu (40:13). Karena itu nyanyian ebed Yahwe tadi adalah jawaban
bangsa itu atas tindakan Yahwe117). Untuk itu Allah memilih seorang
ebed sebagai realisasi dari tindakannya, karena 49: 5.6; 50: 4-6; dan fs. 53
adalah jelas mengambarkan nasib perseorangan. Sejajar dengan itu dalam 55: 3,
Deutero Yesaya berbicara tentang perjanjian dengan David:
“Sendengkanlah
telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup! Aku
hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh
yang Kujanjikan kepada Daud”.
Dengan demikian Deutero Yesaya
telah membuka suatu pengharapan baru kepada bangsa itu di pembuangan, karena
sejak kejatuhan Yerusalem pengharapan
mereka tentang kekekalan dinasti David telah berhenti. Atas dasar kasih-setia
yang diteguhkan kepada David, maka Yahwe menghidupkan kembali bangsanya, dengan
mengikat perjanjian yang abadi, yang ditandai dengan munculnya ebed Yahwe.
Persoalan tentang siapakan yang disebut ebed Yahwe ini, Deutero Yesaya tidak
jelas memberikan jawaban. Dahulu penafsir-penafsir Kristen mengatakan bahwa
ebed Yahwe itu adalah Yesus Kristus. Calvin misalnya menafsirkan demikian,
bahwa dengan ebed Yahwe “Yesaya telah melihat jauh kepada Kristus”118).
Tetapi para penafsir modern,
dengan timbulnya metode penafsiran historis-kritis, telah melihat ebed Yahwe
dalam hubungannya dengan zaman itu. Sehingga ada yang menafsirkan itu sebagai
raja yang akan melepaskan bangsa itu dari pembuangan dan menegakkan kembali
kerajaan Israel. Dari segi pengistilahan memang kata עֶבֶד
adalah seorang yang terikat, pekerja dan wakil dari tuannya. Terutama
kata itu dikenakan kepada perwakilan seorang raja119). Memang pada
masa pembuangan, pengertian ebed Yahwe sebagai perwakilan Yahwe rupanya telah
biasa dikenal. Misalnya Yeremia menghubungkannya dengan Nebukadnesar ( Yer. 27:
6). Yeheskiel dengan David yang akan datang itu ( Yeh. 34: 23fl 37: 24f).
Dengan dasar inilah maka S.M.Siahaan memberikan kesimpulan bahwa istilah
“hambaku” pada zaman pembuangan, telah menjadi terminus teknikus untuk raja
keselamatan yang diharapkan itu120). Pada zaman sesudah pembuangan
Nabi Haggai telah resmi mengambil istilah itu untuk seorang raja, yang pada
masa itu adalah yang diurapi itu yakni
Zerubabel ( Hagai 2: 23). Kalau kita hubungkan dengan nubuat Natan ( 2 Sam.7:5;
bd. Maz,78: 80; 89: 4; 132: 10) istilah ebed dipakai untuk menunjukkan raja
yang diurapi itu. Lebih dari pada itu istilah “ebed Yahwe” dianggap paralel
dengan “perjanjian Yahwe” ( bd. Maz. 105: 6)121).
Suatu kesimpulan ialah bahwa Allah
tidak melupakan bangsa itu, walaupun bangsa itu di pembuangan. Pembuangan itu
tidak hanya ditasirkan sebagai hukuman, tetapi dari segi kasih-setia Yahwe,
pembuangan harus diarttikan sebagai titik tolak untuk perjanjian yang baru,
hubungan yang baru kepada bangsa Israel. Hamba Allah yang dipilihnya sendiri
itulah yang akan menegakkan perjanjian itu, yakni menyelamatkan bangsa Israel
dari pembuangan dan membawa ke tanah Perjanjian.
c) Hesed
Yahwe sesudah pembuangan
Sesudah pembuangan, masalah hesed
kembali dihubungkan dengan persoalan sosial-ekonomi sebagaimana pada zaman nabi
Amos. Hal ini dapat dimengerti, karena setelah pulangnya bangsa itu ke tanah
Kanaan, timbul kesulitan ekonomi, sehubungan dengan pembangunan Baith Allah.
Timbul juga pertentangan faham di antara mereka yang baru pulang dari
pembuangan dengan mereka yang masih tinggal diYerusalem122).
Sebahagian menekankan pembangunan Baith Allah itu segera dilaksanakan. Tetapi
keadaan ekonomi dari sebahagian orang-orang yang kembali dari pembuangan itu
dan yang tinggal di Yerusalem ( terutama yang tinggal adalah miskin) tidak
mengizinkan demikian.
Karena
itu peranan raja atau mesias bukan terutama dipusatkan kepada pembangunan Baith
Allah, tetapi memperhatikan nasib orang-orang miskin. Memang pada zaman sebelum
pembuangan, seorang raja yang bijaksana ialah seorang yang sanggup
mengendalikan masyarakat dengan adil ( bd. Yes. 9: 1-6), terutama memperhatikan
nasib orang miskin. Salah satu sebab timbulnya kemiskinan adalah apabila tidak
ada raja yang bertanggung-jawab, yang memperhatikan nasib masyarakat. Dalam
kitab Mazmur, raja sering digambarkan sebagai raja orang miskin, yang
membenarkan orang mskin dan menyelamatkan orang papa ( msi. Maz. 72: 2.4).
Karena itu pembangunan yang diutamakan sesudah pembuangan, bukanlah keindahan
Yerusalem dengan keindahan Baith Allahnya, melainkan pembangunan keadilan.
Dalam kitab Zakaria Allah menegor orang-orang yang bersedih karena kejatuhan
Yerusalem yang indah itu ( Zak. 7: 4-14), karena yang perlu adalah melaksanakan
keadilan dan kasih-setia.
“Beginilah firman
TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan
dan kasih-sayang kepada masing-masing! Janganlah menindas janda dan anak yatim,
orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu
terhadap masing-masing."
Dengan demikian Yahwe dalam
kasih-setianya, terutama memperhatikan nasib orang-orang sengsara, dan yang
membutuhkan perlindungan sosial.
V. KESIMPULAN
( PENUTUP )
Dari uraian-uraian di atas, maka
dapat diberi kesimpulan sbb:
1.
Istilah
חֶסֶד (hesed) pada mulanya adalah istilah sosial, baik sosial-politis,
maupun sosial-ekonomi, yang berhubungan dengan bagaimana seseorang bersikap
sesuai dengan hukum kewajiban yang ditetapkan di dalamnya. Orang yang berdiri
dalam hukum kewajibannya di dalam persekutuan itu, dialah yang telah
memberikan חֶסֶד
nya, dan dialah yang dapat memperoleh חֶסֶד . Seperti
pendapat Chr. Barth bahwa חֶסֶד adalah istilah yang berdasarkan
keadilan dan hukum123).
2.
Karena
חסֶד (hesed)
tidak bisa terlepas dari hukum-kewajiban, maka seorang yang membutuhkan חֶסֶד , misalnya dari anak,
dari istri, dari sahabat, dll, maka hal itu harus diteguhkan dengan
sumpah-setia di hadapan Tuhan.
3.
Dengan
sumpah-setia itulah חֶסֶד (hesed)
mempunyai kekuatan, yang tidak bisa dikalahkan atau dipengaruhi oleh
perasaan kemanusiaan, atau perasaan yang mementingkan diri sendiri. Karena
siapa yang mengabaikan חֶסֶד yang didasarkan atas
sumpah-setia itu, berati dia telah melanggar sumpah-setia, sekaligus melanggar
Tuhan yang turut berpartisipasi dalam sumpah itu.
4.
Sumpah-setia
berkenaan dengan hidup atau mati dari orang yang bersumpah sampai keturunannya.
Sehingga barang siapa yang setia terhadap sumpah itu, maka hidupnya dapat
terjamin, atau dengan kata lain, dia selamat, sedangkan barang siapa yang
melanggarnya maka hidupnya akan terancam oleh maut, karena kutukan sumpah itu.
5.
Dalam
sejarah Israel, perbuatan ini, selalu
terpusat kepada rencana penyelamatan Yahwe. Dengan kata lain, perbuatan חֶסֶד (hesed), tidak terlepas dari tindakan
penyelamatan Allah terhadap umatnya. Siapa yang turut membantu rencana Allah,
yang dinyatakan melalui orang-orang pilihannya atau bangsanya, maka dia telah
membuat חֶסֶד, sehingga sampai kepada keturunannya bangsa Israel wajib
membalaskan hal itu, dan pihak yang berbuat חֶסֶד berhak
menuntut חֶסֶד dari bangsa Israel.
Sebaliknya siapa yang menghalangi rencana dan perbuatan חֶסֶד Allah,
maka dia akan menjadi musuh bagi umatnya sampai selama-lamanya dan tidak akan
dibiarkan hidup di lingkungan umat Allah ( 1 Sam. 15: 6; bd. Kel. 17: 8-16).
6.
Khusus
pada zaman raja David, tindakan hesed terpusat pada pendirian kerajaan
David (secara politis) dalam suatu dinasti yang kekal, yang dijanjikan Yahwe.
Sehingga segala perbuatan, baik dari pribadi – misalnya dari
sahabat-sahabatnya, maupun secara kolektif dari suku lain yang turut membantu
kesuksesan David menjadi raja di tengah-tengah bangsa Israel ( kebijaksanaan
politisnya ) adalah perbuatan חֶסֶד yang
karenanya David bertanggung-jawab membalaskan חֶסֶד yang
sama kepada orang yang berbuat חֶסֶד itu.
7.
Arti
dan makna חֶסֶד (hesed) sangat nyata sekali pada saat-saat yang
genting atau saat-saat yang kritis yang dihadapi orang-orang yang
membutuhkannya, yang dalam hal ini orang-orang pilihan Allah.
8.
Setelah istilah dimasukkan ke dalam perbuatan Yahwe, maka istilah itu selalu berhubungan
dengan perjanjian Yahwe. Dalam hal ini hesed Yahwe adalah sikap Tuhan di dalam
perjanjiannya. Karena perjanjian adalah jaminan hidup atau keselamatan, maka hesed Yahwe adalah tindakan
penyelamatannya terhadap manusia.
9.
Apabila
Yahwe seolah-olah menangguhkan janji yang disampaikan terhadap orang-orangnya
atau umatnya, misalnya keturunan yang dijanjikan kepada Abraham seolah-olah
ditangguhkan atau terancam, dan tanah perjanjian Kanaan yang telah sampai
kepada mereka direbut oleh bangsa lain, itu bukan berarti bahwa Yahwe tidak
setia kepada janjinya. Kejadian yang demikian termasuk dalam rencana Yahwe yang
bertujuan untuk menegakkan iman bangsa itu, supaya semakin dan lebih
mengenal hesed Yahwe kepada mereka.
10. Refleksi dari hesed Yahwe ini harus dipantulkan oleh orang-orang pilihannya
seperti Abraham, Ishak, Yakub, raja maupun bangsa Israel secara keseluruhan dalam kehidupan sosial.
Dan apabila hal itu dilakukan maka dia
yang memperoleh hesed itu akan menjadi berkat kepada
sekitarnya. Raja misalnya harus menunjukkan hesed
dalam pemerintahannya yang bertugas untuk menegakkan keadilan, memperhatikan
nasib orang-orang miskin, atau orang-orang sengsara yang membutuhkan jaminan
sosial.
Catatan-catatan
1)
P.Heinisch,
Theology of the Old Testament,
Minnesota 1955, hal,99. Kata אׇהַּב (kata kerja) dijumpai
sebanyak 138 kali, dalam bentuk kata benda masculine (אַהַב ) 2
kali, feminine (אַהֳבׇה ) 52 kali. Kata חֶסֶד
lebih banyak dalam bentuk kata benda ( 245) kali.
2)
ibid. , hal. 99.
3)
Lihat
Eichrodt, Theology of the Old Testament,
I, London 21964, hal. 250.
4)
ibid. , hal 251.
5)
Dari
antara 127 kata dalam Kitab Mazmur,
hanya tiga kali kata itu dikenakan dalam hubungan antara manusia ( 109: 12.16;
141: 5), selainnya menunujukkan sikap Allah yang dinyatakan kepada manusia.
Lihat W.Zimmerli, artikel χαρις ,
dalam buku G. Friederich ( ed.). Theological
Dictionary of the New Testament, IX, Michigan 1949, hal. 384.
6)
W.L.Walker,
Lovingkindness, dalam buku, James Orr
( ed), The International Standard Bible
Encyclopaedia, Michigan, 1949, hal. 1934.
7)
Bentuk kata kerja ini hanya dua kali di dalam PL yakni dalam 2 Sam. 22: 26; Maz. 18:
26.
8)
Lihat
W.R.Smith, The prophets of Israel and
their place in history, London 1928,
hal. 408.
9)
Kata
kerjanya juga berbunyi חָסַד (hasad) , tetapi hanya satu kali dalam PL, yakni
pada Amsal25: 10, yakni dalam bentuk kata kerja Pi’el berbunyi יְחַסְּדְךׇ (yehassedeka) artinya
engkau mencemohkan/ mempermalukan .
10)
W.R.Smith,
op.cit, hal. 408.
11)
H.
Whealer Robinson, Inspiration and
Revelation in the Old Testament, Oxford, 61963, hal. 58.
12)
W.Zimmerli,
artikel χαρις (kharis) , dalam buku G. Friedrich ( ed.), Theological Dictionary of the New Testament, IX, Michigan, 1949.hal.
382.
13)
Buku
itu berjudul, Dan Word Hesed, seri
Beihefte Zur Zeitschrift fur dis Altestenentliche Wissenschaft (BZAW), 47,
Berlin, 21961.
14)
N.
Glueck, ibid., hal. 4 ff.
15)
ibid., hal.21 ff.
16)
ibid., hal. 33 ff.
17)
ibid.,
hal. 49.
18)
Kutipan
dari E.Jacob, Theology of the Old
Testament, New York 1958, hal. 106, dari Vetus Testamentum, 1952, hal.
224f.
19)
A.Lodds,
The prophets and the rise of Judaism,
London, 1937, hal.89, yang dikutip oleh
H.H.Rowley, The Biblical doctrine of
Election, London, 1964, hal. 22.
20)
H.
Borrows, An Outline of Biblical Theology,
1956, hal. 252, dikutip oleh H.H.Rowley, The
Biblical doctrine of Election, hal. 22.
21)
N.H.Snaith,
The Distinctive ideas of the Old
Testament, London, 1944, hal. 95.
22)
Hanya
pada 1 Raja 8.23; Neh. 1: 5; 9: 32; 2 Taw.6: 14.
23)
W.Zimmerli,
opcit., hal. 382.
24)
H.Whealer
Robinson, opcit., hal. 58f.
25)
E.
Jacob, Theology of the Old Testament,
Naw York 1958,hal.103 ff.
26)
Pokok
dari hesed dalam PL menjadi pola hidup orang-orang percaya yang menjadi seorang
hasid. Dalam pengertian ini hasid adalah seorang yang takut akan Allah, dan
menunjukkan kesalehan kepada sesama di dalam perjanjian itu.
27)
Lihat
H.H.Rowley, The Biblical doctrine of
elecetion, London 1964, hal, 22. Hal yang sama dijumpai dalam buku J.
Hasting (ed.). Dictionary of the Bible,
art: Mercy, Edinburg, 21963,
hal. 644. Dan di dalam kata “leal” dalam bahasa Inggris terkandung kesetiaan,
keteguhan, ketulusan hati, tidak suka bohong ( Lihat: The Oxford English
Dictionary, VII (L-M) di bawah artikel: leal, London, 1961.
28)
Pada
masa bapa-leluhur Israel, perkawinan polygame sangat biasa, karena cara hidup
mereka masih diatur oleh adat-istiadat dan hukum masyarakat mereka yang asli.
Hukum Musa pun tidak melarang perkawinan
lebih dari satu istri bd. Kel. 21: 10; Ul. 21: 15. Larangan untuk berzinah
dalam Hukum ke tujuh, tidak melarang perkawinan lebih dari satu istri, hanya
larangan pengrusakan perkawinan yang telah ada (Lihat W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, tentang
perkawinan dengan (atau lebih) istri (Poligami), Lampiran XII, Jakarta, 1969,
hal. 389 f.
29)
O.J.Baab,
artikel: Family, dalam buku
G.A.Buttrick, Interpreter’s Dictionaru of
the Bible, (B-J), New York Nashville, 1962, hal. 238.
30)
Bd.
Kej. 37: 2, di mana anak-anak Yakub semuanya turut menggembalakan
kambing-dombanya.
·
Bd.
O.J.Baab, artilel: Marriage, dalam Interpreter’s Dictionary of the Bible, (K-Q),
New York-Nasville 1962, hal, 280.
31)
Sama
halnya dengan tradisi kepercayaan Batak. Kemampuan beranak sebanyak-banyaknya
adalah berkat, sedangkan yang sedikit
terutama yang tidak ada dianggap orang terkutuk. Alasan sosial-ekonomi Batak
dulunya juga membenarkan kepercayaan ini. Barangsiapa yang memperoleh banyak anak,
akan bisa mengerjakan tanah yang luas, sehingga memperoleh hasil yang cukup
banyak atau dengan kata lain akan menjadi kaya. Satu keluarga yang besar,
(banyak laki-laki) akan sanggup berperang melawn musuh, sehingga merekalah yang
ditakuti dan disegani (alasan sosila-politis).
32)
O.J.Baab,
artikel Family, IDB, hal. 238.
33)
W.Lempp,
Tafsiran Kejadian, IV/1, tentang:
Pembalasan darah dalam Perjanjian Lama, Lampiran VII, Jakarta 1974, hal. 324.
34)
ibid., hal. 323.
35)
O.J.Baab,
artikel: Family, dalam IDB (B-J),
hal. 238.
36)
Dalam
Kitab Apokrifa, Sirakh 3: 9: Yesus Sirakh berkata: “Pemberkatan seorang bapa
mengukuhkan rumah anaknya, tetapi pengutukan seorang ibu membongkar
landasannya. Pandangan yang sama kita jumpai di tengah-tengah orang Tapanuli:
berkat (pasupasu) sangat diharapkan dari orang tua, tetapi orang tua dianggap
juga akan memberikan kutuk apabila dia tidak mendapat penghormatan dari
keturunannya.
37) Di dalam kehidupan orang Batak
setiap orang berusaha untuk memperoleh ucapan-ucapan terakhir dari orang tuanya
itu sebelum si orang tua itu meninggal
dunia, karena hal itu sangat berharga bagi mereka. Itulah sebabnya apabila
seorang bapa (ibu) telah jatuh sakit keras, maka diusahakanlah untuk memanggil
keturunannya untuk datang berkumpul di dekat si orang tua itu, untuk mendengar
dengan tekun sekali apa yang mau diucapkan dan dipesankan kepada mereka.
Biasanya kalau ada pesan (tona) dari orang tua tersebut, maka seluruh
keturunannya akan patuh untuk melaksanakannya. Karena hal itu dianggap sebagai
penghormatan yang besar sekali kepada orang tuanya itu dari mereka.
38)
John Skinner, A Critical dan Exegetical
Commentary on Genesis, seri ICC, Edinburg, 21963, hal. 341. Sejajar
dengan ini lihat Kej. 24: 2.
39)
ibid.,
hal. 342.
40)
Lihat
G.Von Raad, Genesis, London, 1963,
hal. 249.
41)
Dalam
agama-agama primitif cara mengambil sumpah yang lain ialah memegang
barabg-barang yang berisi kuasa sakti menurut keyakinannya, sedang dalam zaman
kekristenan barang itu telah digantikan dengan barang suci kristen, seperti:
mezbah, patung, salib, Alkitab. Orang muslim bersumpah di atas Al-Quran.
42)
G.M.Tucker,
Covenat Forms and Contact Forms,
dalam Vetus Testamentum, XV, 1965,
hal. 491.
43)
Matthew
Henry, Commentary on yhe Whole Bible,
Michigan, 1961, hal,67.
44)
Lihat
W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III,
Jakarta, 1969, hal. 40.
45)
Klaus
Koch, The Growth of the Biblical
tradition: The Form Critical Method, New York, 1969, hal. 112 ff.
46)
Ibid., hal.117.
47)
Ibid., hal. 118.
48)
Ibid., hal. 118.
49)
Bd.
Lempp, Tafsiran Kejadian, IV/1,
Jakarta 1974, hal. 17
50)
W.Lempp,
Tafsiran Kejadian, III, hal. 53.
51)
Ibid., hal. 54.
52)
Bd.
Perbuatan David yang sengaja memasukkan Uria ke dalam komando perang supaya ia
mati, sehingga ia memperoleh Batsyeba menjadi istrinya ( 2 Sam. 11: 15.24.27).
53)
W.Lempp,
Tafsiran Kejadian, III, hal. 41.
54)
K.Koch,
opcit., hal. 121.
55)
D.C.Mulder,
Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama,
Jakarta, 1970, hal. 172,
56)
גּאֲל berakar
dari akar kata גַאַל ,
yang berarti menebus, membeli kembali.
57)
Anggapan
ini kita jumpai terutama dalam persekutuan orang Batak. Tamu sangat diutamakan
karena tamu dianggap “pembawa tua” (kebahagiaan) bagi penghuni rumah itu. Tamu
juga sering merupakan penjelmaan dari “na martuatua” ( suruhan dari ompu
Mulajadi na Bolon) pembawa suatu berita kebahagiaan kepada penghuni sesuatu
kampung ( rumah). Apabila dia tidak dilayani dengan baik maka penghuni kampung
atau rumah itu akan mendapat kutukan atau hukuman. Rupanya di tengah-tengah
suku-suku pengembarapun telah demikian seperti suku Israel dan Arab. Smith
berkata: “It is a principle alike in old and new Arabia that the guest is
inviclable” ( Lihat H. Glueck, opcit.,
hal. 8).
58)
A.A.Sitompul,
Tata kehidupan bangsa Allah dalam
Perjanjian Lama, diktat untuk mahasiswa Fak. Theologia Nommensen, hal. 11.
59)
Hal
ini akan kita uraikan lebih lanjut dalam hal. 29-31.
60)
G.Von
Raad, Genesis, London, 1961, hal.
211.
61)
W.Lempp,
Tafsiran Kejadian, III, hal. 221.
62)
Lihat
misalnya Kej. 4: 1.17.25; 19: 8; 24: 16; 38: 26; Hak. 11: 39; 19: 22; 1 Sam. 1:
19; 1 Raja 1: 4; Bil. 31: 17.
63)
Chr.Barth,
Theologia Perjanjian Lama, I, Jakarta
1970, hal. 96.
64)
Ayat
yang lain dalam cerita bapa leluhur di mana LXX menerjemahkan hesed dengan
dikaiosune, ialah Kej. 24: 27; 32: 11.
65)
Kata
Ibrani untuk menumpas di sini dipakai חׇרַם (haram)
(ay. 3), yakni kudus bagi dewa kafir, sehingga harus ditumpas dari hadapan Yahwe. Lihat H. Rothlisberger, Tafsiran 1 Samuel, Jakarta 1969, hal.
110.
66)
Merrill
F. Unger, Unger’s Bible Dictionary,
Chicago, 31966, hal. 62f.
67)
W.R.Smith,
Kinship and marriage in early Arabia,
Cambridge, 1885, hal. 14; Lihat Ha. Glueck, opcit.,
12.
68)
Bd.
Kuatnya ikatan padan (janji) dalam
suku Batak .
69)
H.Rotlishberger,
Tafsiran 1 Samuel, Jakarta 1969, hal.
153.
70)
C.F.Keil
& Delitzsch, Biblical Dictionary on
the Book of Samuel, Michigan, 1950, hal. 208.
71)
H.Rothlisberger,
Tafsiran 1 Samuel , hal. 153.
72)
Lihat
C.F.Keil & Delitzsch, opcit.,
hal. 208.
73)
H.Wilhelm
Kortzberg, I & II Semuel, London,
1964, hal. 174.
74)
C.F.Keil
& Delitzsch, opcit., hal. 210.
75)
H.Wilhelm
Kortzberg, opcit., hal. 299.
76)
H.Rotlishberger,
Tafsiran 2 Samuel, Jakarta 1970, hal.
155.
77)
H.Wilhelm
Kortzberg, opcit., hal. 300.
78)
H.Rotlishberger,
Tafsiran 2 Samuel, hal. 71.
79)
ibid,
hal. 119.
80)
H.H.Rowley
& Matthew Black ( ed.), Peak’s
Commentary on the Bible, London, Edinburg, 51967, hal. 335.
81)
H.Rotlishberger,
Tafsiran 2 Samuel, hal. 74.
82)
H.W.
Robinson, Inspiration and Revelation in
the Old Testament, Oxford, 1956, hal. 83.
83a), ibid,
hal. 83
83)
ibid, hal. 84.
84)
ibid, hal.84.ibid, hal. 85.
85)
H.Rotlishberger,
Firmanku seperti api, Jakarta, 1965,
hal. 38.
86)
W.
Eichrodt, Theology of the Old Testament,
I, London, 1964. Hal ini diuraikan mulai dari Bab II sampai Bab XI.
87)
ibid, hal.232.
88)
Chr.
Barth, opcit., hal. 94.
89)
W.Lempp.
Tafsiran Kejadian, II, tentang
Perjanjian Lampiran VIII, Jakarta, 1968, hal. 217.
90)
J.Begrich,
Berit, ZAW 60, 1944, hal. 2
91)
Chr.
Barth, op.cit., hal. 93.
92)
G.Von
Raad, opcit., hal. 93.
93)
W.Lempp.
Tafsiran Kejadian, III, hal. 122.
94)
Ibid, hal. 122.
95)
Ibid, hal. 174.
96)
Chr.
Barth, opcit., hal. 95.
97)
J.
Calvin, Genesis, II, Michigan 1956,
hal.191.
98)
Mula-nula
tempat tabut perjanjian adalah di Silo, tetapi setelah Silo dirusakkan oleh
orang Fili, maka tabut itu ditempatkan di rumah Abinadab di Kiryat-Yearim ( 1
Sam. 7: 1)
99)
Yves
M.J.Congar, The Mystery of the Temple,
London, 1962, hal. 23.
100) Pengertian raja sebagai anak
Allah, mungkin timbul atas pengaruh pemikiran bangsa sekitar. Di Mesir
misalnya, raja dianggap sebagai anak dewa (Lihat H.W.Fairman, The Kingship Ritual of Egyp, dalam buku
S.H.Hooke (ed.), Myth, Ritual and
Kingship, London, 1958, hal. 75.
101)
H.Rotlishberger,
Tafsiran 2 Samuel, hal.52.
102) A.J.Johnson, Hebrew Conceptions of kingship, dalam buku S.H.Hooke, opcit. , hal.205f.
103) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem
(ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal. 6.
104) S.M.Siahaan, Ulangan 6: 4-25 (Penelitian Alkitab pada Synode Bolon GKPS 21-25
Mei 1975, di Pematangsiantar, diktat, hal. 7.
105) George A.F.Knight, A Christian Theology of the Old Testament,
Richmond, Virginia, 1959, hal. 224.
106) W. Eichrodt, opcit., hal. 235.
107) ibid, hal. 235f.
108) ibid, hal. 235.
109) Lihatlah Kitab Apokrifa seperti Jub.
2: 20; 19: 29; Wahyu Barukh 78: 4; Hikmat 11: 10; 14: 3; III Makkabeus
2: 21. Dalam lingkungan kaum Rabbi, predikat “Bapa dalam Surgawi” telah
menunjukkan pengertian “Tuhan Dunia” (
Lihat Eichrodt, opcit., hal. 236.
110) Di Babilonia misalnya raja digelari
sebagai “gembala yang setia”, ( faithful
shepherd), lihat Sydnei Snaith, The Practice of Kingship in early Semitics Kindom,
dalam buku: S.H.Hooke, opcit., hal. 27/
111) A. De Kuiper,Tafsiran Hosea, Jakarta, 1971, hal. 46.
112) D.C.Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, Jakarta, 1970, hal. 107.
113) ibid, hal. 107.
114) G.A.Smith, The
Book of Isaiah, II, London, 1927, hal. 281.
115) ibid, hal. 273.
116) ibid., hal. 273.
117) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem
(ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal.28.
118) J.Calvin, Isaiah, II, Michigan, 1956, hal. 106f.
119) G.A.Smith, The Book of Isaiah, II, hal. 272.
120) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem
(ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal.30.
121) Ibid., hal. 30.
122) Ibid., hal. 34.
123) Chr. Barth, op.cit, hal. 95.
D A F T A R K E P U S T A K A N
1.
Sumber Teks.
Kittel, R, Biblia Hebraica, Stutgart, 1958.
LAI, Alkitab :Terjemahan Lama, Jakarta, 1963.
----, Alkitab: Terjemahan Baru, Jakarta, 1974.
Rahlfs, A. Septuaginta,
Stuttgart, 1952.
RSV, The Holy Bibel, London, 1952.
---- , The
Apocrypha, New York – Edinburg, 1957
Charles, R.H., The Apocrypha and Pseudepigraphs, I+II.
Oxford, 1968.
2.
Buku-buku
pembantu
Feyerabend,
K., Langenscheidt’s Pocket Hebrew
Dictionary ( to the Old Testament): Hebrew-Engkish, London, 1965.
Kochler,
E., Lexicon in vetris Testamenti Libros,
Leiden, 1958.
Pino,
E., Wittermans, T., Kamus
Inggris-Indonesia, Jakarta, Croningen, 1955.
The Oxford English Dictionary,
VII (L-M),
London, 1961.
Tregelles,
S.P., Gesenius’Hebrew and Chalde Lexicon:
to the Old Testament Scriptures, Michigan, 1950.
3.
Buku-buku Tafsiran, Monografi dan
artikel-artikel.
Baab,
O.J., artikel: Family, dalam buku
G.A.Buttrick, Interpreter’s Dictionaru of
the Bible, (B-J), New York Nashville, 1962
------ , artilel: Marriage, dalam Interpreter’s
Dictionary of the Bible, (K-Q), New York-Nasville 1962.
Barth,
Chr.,Theologia Perjanjian Lama, I,
Jakarta 1970
Begrich,
., Berit, ZAW 60, 1944.
Boland,
B.J., Tafsiran Amos, Jakarta, 1966.
Calvin,
J., Genesis, II, Michigan, 1956.
------, Isaiah,
II, Michigan, 1956.
Congar, Y.M.J., The Mysteri of the Temple, London, 1962.
Eichrodt, W., Theology of the Old Testament, I,
London, 1964.
Fairman,
H.W., The Kingship Ritual of Egyp,
dalam buku S.H.Hooke (ed.), Myth, Ritual and Kingship, London, 1958.
Glueck,
H., Das Word Hesed, seri Beihefte Zur
Zeitschrift fur dis Altestenentliche Wissenschaft (BZAW), 47, Berlin, 21961.
Henry, Matthew, Commentary
on the Whole Bible, Michigan, 1961.
Hasting, J.(ed.), Dictinaory of the Bible, Edinburg,21963.
Heinisch, P., Theology of the Old Testament,
Minnesota, 1955.
Hertzberg, H.W., I&II Semuel, London, 1964.
Jacob, E., Theology of the Old Testament, New York,
1958.
Johnson,
A.J., Hebrew Conceptios of kingship, dalam buku S.H.Hooke ed., Myth, Ritual and Kingship, London, 1958.
Keil, C.F. & Delitzsch, Biblical Dictionary on the Book of Samuel, Michigan, 1950.
Kinight,
G.A.F., A Christian Theology of the Old
Testament, Eichmond-Virginia, 1919.
Klaus
Koch, The Growth of the Biblical
tradition: The Form Critical Method, New York, 1969.
Kuiper,
A.D., Tafsiran Hosea, Jakarta, 1971.
Lemp,
W., Tafsiran Kejadian, II, Jakarta,
1968
-------
, Tafsiran Kejadian, III,
Jakarta, 1969.
--------
, Tafsiran Kejadian IV/1,
Jakarta, 1974.
--------
, Tafsiran Kejadian IV/ 2,
Jakarta, 1974.
Lodds,
A., The prophet and the rise of Judaism,
London, 1937.
Mulder,
D.C., Pembimbing ke dalam Perjanjian
Lama, Jakarta, 1970.
Rad,
G. Von, Genesis, London, 21965.
Robinson,
H.W., Inspiration and revelation in the
Old Testament, Oxford, 61963.
Rothlisberger,
H., Firmanku seperti api, Jakarta,
1965.
----- , Tafsiran 1 Semuel, Jakarta, 1969.
---- ,
Tafsiran 2 Semuel, Jakarta,
1970.
Rowley,
H.H., & Matthew Black ( ed.), Peak’s
Commentary on the Bible, London, Edinburg, 51967.
Rowley,
H.H., The Biblical doctrine of elecetion,
London 1964.
Siahaan,
S.M., Konkritisasi Pengharapan Messias
sesudah kejatuhan Yerusalem (ringkasan), Pematangsiantar, 1975.
------ , Ulangan 6: 4-25 (Penelitian Alkitab pada Synode Bolon GKPS 21-25
Mei 1975, di Pematangsiantar, diktat.
Sitompul, A.A.,Tata kehidupan bangsa Allah dalam Perjanjian
Lama, diktat untuk mahasiswa Fak. Theologia Nommensen.
Skinner, John, A
Critical dan Exegetical Commentary on Genesis, seri ICC, Edinburg, 21963.
Smith, G.A., The Book of Isaiah, II, London,1927.
Smith, W.R., Kinship and marriage in early Arabia, Cambridge, 1885.
------ , The
prophets of Israel and their place in history, London 1928.
Snaith, N.H., The Distinctive ideas of the Old Testament,
London, 1944.
Snaith, Sydnei, The Practice of Kingship in early Semitics
Kingdom, dalam buku: S.H.Hooke ed.),
Myth, Ritual and Kingship,
London, 1958.
Tucker, G.M., Covenat Forms and Contract Forms, dalam
Vetus Testamentum, XV, 1965.
Unger, Merrill F. , Unger’s Bible Dictionary, Chicago, 31966.
Walker, W.L., Lovingkindness, dalam buku, James Orr (
ed), The International Standard Bible
Encyclopaedia, Michigan, 1949.
Zimmerli, W., artikel χαρις ,
dalam buku G. Friedrich ( ed.), Theological
Dictionary of the New Testament, IX, Michigan, 19