Kamis, 20 Januari 2022

ARTI DAN MAKNA "HESED" (KASIH-SETIA) DALAM HIDUP PERSEKUTUAN ISRAEL

 

F A K U L T A S   T H E O L O G I A

U N I V E R S I T A S   H K B P   N O M M E N S E N

 

 

 

A R T I   D A N   M A K N A   “ H E S E D 

( K A S I H  - S E  T I A )

D A L A M

H I D U P   P E R S E K U T U A N   I S R A E L

 

 

Skripsi

Diserahkan kepada Fakultas Theologia

Universitas HKBP  Nommensen

Dalam memenuhi syarat-syarat

untuk memperoleh gelar

Sarjana Theologia

 

Oleh :

Mangontang Panjaitan

No. Univ. : 424/ 70

 

 

 

Pematangsiantar, 4 Oktober 1975

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

K A T A   P E N G A N T A R

 

            Skripsi ini dipersiapkan untuk memenuhi syarat-syarat  memperoleh gelar Sarjana Theologia, di bidang kejuruan Perjanjian Lama, yang diberi judul:  ARTI DAN MAKNA HESED DALAM HIDUP PERSEKUTUAN ISRAEL. Ini adalah salinan ulang dari aslinya yang masih dalam bentuk ketikan mesin ketik.

            Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis memperoleh bimbingan utama dari bapak Dr. SM  Siahaan, MTh. Di samping itu penulis juga banyak memperoleh bimbingan dari dosen Perjanjian Lama lainnya di Fakutas Theologia, antara lain dari Prof. Dr. AA Sitompul ( sampai tahun 1974), dan dari Drs. SP Siregar. Tanpa bantuan dan bimbingan  mereka skripsi ini tidak bisa diselesaikan.

            Karena itu penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya, istimewa kepada Dr. SM Siahaan, MTh, yang tidak mengenal lelah memberikan bimbingan kepada penulis. Juga kepada Prof, Dr. AA Sitompul, Drs. S.P.Siregar, Dekan Fakultas Theologia, dan seluruh mahaguru Fakultas Theologia/

            Penulis mengakui kelemahan-kelemahan dalam skripsi ini. Karena itu penulis mengharapkan kritik yang sehat dari pembaca, baik bapak-bapak dosen,  maupun saudara-saudara mahasiswa.

 

                                                            Pematangsiantar,  Oktober 1975

 

                                                                  ( Mangontang Panjaitan )

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D A F T A R    I S I                                                                                hal.

I.     Pendahuluan

1.       Metode dan maksud memilih judul  .......................................          

2.       Statistik pemakaian istilah חֶםֶד  dalam Perjanjian Lama  ........

a.       Istilah itu dipakai sebanyak 245 ( lengkap dengan daftar).

b.       Kata-kata yang berhubungan dengaan  חֶסֶד   ...................

3.       Kata-kata yang paralel dengan  חֶסֶד dalam Kitab Mazmur .....

4.       Etimologi    ..............................................................................

5.       Beberapa pandangan tentang pengertian  חֶסֶד    ...................

 

II.   Arti dan makna  חֶסֶד    dalam persekutuan keluarga ................

1.       Batasan keluarga  ....................................................................

2.       Solidaritas keluarga secara umum  ...........................................

3.       Hesed anak terhadap bapa ( eksegese Kej. 47: 29 ) .................

4.       Hesed istri terhadap suami (eksegese Kej.20: 15) ....................

5.       Hesed janda perempuan terhadap גׄאֵל   ( go’el) nya : eksegese

Ruth 3: 10 ..................................................................................

6.        Hesed di antara tuan rumah dan tamu/ orang penumpang

Eksegese: Yos. 2: 12-13; Kej. 21: 23; terutama 19: 19 ...............

III.               Arti dan makna hesed dalam persekutuan yang lebih luas .

1.       Hesed di antara suku-suku: eksegese 1 Sam. 15: 6  ..................

2.       Hesed di antara orang bersaudara dalam ikatan perjanjian:  

Eksegese: 1 Sam. 20: 8.14.15; 2 Sam. 9: 1.3.7; 16: 16b.17..........

3.       Hesed dan keadilan sosial ...........................................................

 

IV.              Arti dan makna hesed dalam lapangan kultus ( persekutuan

Allah dan umatnya – hesed Yahwe ) .....................................

1.       Perjanjian dan hesed Yahwe ........................................................

2.       Hesed Yahwe kepada Abraham( eksegese. Kej. 13: 1-21;

17: 1-14; 24:12; ............................................................................

3.       Hesed Yahwe kepada Yakub : eksegese Kej. 32: 10-13; ..............

4.       Hesed Yahwe kepada David: eksegese 2 Sam. 7: 1-17 .................

5.       Hesed Yahwe kepada bangsanya

a)      Gambaran-gambaran yang dipakai untuk menunjukkan hesed

Yahwe kepada umatnya (Bapa, Gembala, Perkawinan) ..........

b)      Hesed Yahwe kepada bangsanya di pembuangan ...................

c)      Hesed Yahwe sesudah pembuangan .......................................

 

V.                 Kesimpulan/ Penutup ...............................................................

         Catatan-catatan .............................................................................

          Daftar Kepustakaan .......................................................................

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I  PENDAHULUAN

1.      Metode dan maksud memilih judul

Bersamaan dengan perkembangan metode penelitian dan penyelidikan ilmu pengetahuan belakangan ini di dunia Perguruan Tinggi, muncullah bermacam-macam metode penelitian di bidang theologia. Cara-cara dan metode penelitian yang sistematis yang diperoleh di dunia Perguruan Tinggi itu, juga dimanfaatkan dalam bidang theologia. Dan untuk memperdalam dasar-dasar pengetahuan theologia, timbullah penelitian yang makin intensif di bidang Biblika, yaitu bidang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Khusus di bidang Perjanjian Lama, telah timbul belakangan ini bermacam-macam metode yang dipakai untuk mendekatinya. Ada yang memakai metode pendekatan dari sudut anthropologis, ada yang dari sudut sejarah Agama, ada yang dari sudut arkheologi, sosiologi dan ada pula pula dari sudut pengunaan istilah. Semuanya bekerja atas dasar keyakinan mereka akan kebenaran metode yang dipakai.

Dari berbagai metode dan cara pendekatan itu, penulis memilih metode pendekatan dari sudut penggunaan istilah. Penulis yakin bahwa metode ini termasuk metode yang baik, karena walaupun memperlajari satu istilah, namun istilah itu boleh saja mencakup lapangan yang sangat luas sekali.

Jika kita berusaha memahami istilah-istilah theologia dalam Perjanjian Lama, yang telah dipergunakan untuk menggambarkan sikap, tindakan dan perhubungan Allah dengan manusia umumnya dan umat Israel khususnya, maka sebaiknya kita lebih dahulu memahami arti dan makna istilah itu dalam pemakaian di antara manusia. Karena tanpa demikian, kita tidak mungkin memahami pengertian theologisnya. Seluruh istilah yang kita dapati dalam Perjanjian Lama adalah diambil-alih dari berbagai lapangan dan pengalaman hidup, seperti lapangan kekeluargaan, hukum, pekerjaan sehari-hari, lapangan kenegaraan dsb.  Istilah-istilah demikian dipergunakan untuk menyatakan sikap, tindakan dan persekutuan Allah dengan manusia. Memang kita harus akui, istilah-istilah itu tidak sanggup untuk menyatakan pribadi Allah. Itu hanya alat yang dipakai oleh Allah untuk menyatakan diri-Nya, menyatakan sifat dan tindakan-Nya. Istilah חֶסֶד (hesed) yang dicoba oleh penulis utuk mendekatinya adalah salah satu dari berbagai istilah itu. Penulis mau menguraikan “ ARTI DAN MAKNA חֶסֶד  (HESED) DALAM HIDUP PERSEKUTUAN ISRAEL”,         yang mencakup persekutuan antara manusia dengan manusia dan persekutuan manusia dengan Allah. Istilah ini termasuk istilah yang dominan dalam Perjanjian Lama, yang sepanjang penelitian penulis hampir belum ada yang membahasnya secara mendalam, istimewa dalam literatur berbahasa Indonesia.

Karena itu dengan permulaan studi ini, kiranya dapat menjadi sumbangan literatur di bidang Perjanjian Lama, yang dapat dimanfaatkan oleh para mahasiswa theologia, dan seluruh orang Kristen yang berminat untuk mempelajarinya. Selama ini masih banyak mahasiswa dan akhli-akhli theologia yang mengabaikan istilah itu begitu saja, sehingga belum umum dikenal dalam dunia theologia.  Orang lebih mengenal istilah  אַהֲבָה (ahabah - kasih), dari pada istilah   חֶסֶד, untuk menggambarkan sifat Allah yang penuh pertolongan dan keramahan dalam hal mengumpulkan manusia dan mengampuni dosa.  Pada hal istilah חֶסֶד jauh lebih banyak dipergunakan untuk itu1). Istilah  חֶסֶד sudah lebih banyak dalam tulisan tua Perjanjian Lama, dari pada istilah  אַהֲבָה  , untuk dikenakan kepada Allah2). Pengalaman kemanusiaan  dari mana arti dasar kata אֲהֲבָה   itu diperoleh masih jauh lebih sempit dari kata חֶסֶד  , karena arti dasar dari kata “ahabah” adalah tenaga asmara atau percintaan di antara laki-laki dan perempuan3). Istilah  אֲהַבָה  dikenakan  kepada Allah barulah setelah nabi-nabi menggambar sikap Allah terhadap Israel dalam ikatan perkawinan4).  Istilah  חֶסֶד sudah dikenakan kepada Allah bersamaan dengan timbulnya ikatan perjanjian antara Allah dengan Israel. Ikatan perjanjian Allah dengan manusia menuntut suatu kekuatan. Kekuatan itu disalurkan dari חֶסֶד  Allah melalui hukum keadilan, sehingga manusia yang terlibat di dalamnya mempunyai tanggung-jawab.

 

2.      Statistik pemakaian istilah  חֶסֶד dalam Perjanjian Lama

a.       Istilah itu dipakai sebanyak 245 kali dalam Perjanjian Lama

 

Nama  Kitab

Umum / Tempat

Sbg Subyek/Tempat

Sbg Obyek/Tempat

Kejadian

3x : 20:13; 21: 23; 32: 11

 

8x: 19: 19; 24: 12.14.17.49; 39:21; 40: 14; 47: 29

Keluaran

2x: 13: 13; 34: 6

 

2x: 20: 6; 34: 7

Bilangan

2x:  14: 28; 14L 19

 

 

Ulangan

 

 

3x: 5: 10’ 7: 9. 12.

Yosua

 

 

3x; 2: 12.12.14.

Hakim-Hakim

 

 

2x: 1: 24; 2: 35.

1 Samuel

 

 

4x: 15: 6; 20” 8.14.15.

2 Samuel

1x:  16: 17

2x:  7: 15; 15: 20

9X: 12: 5.6; 3: 8; 9: 1.3.17; 10:   2.2.; 22: 5.

1 Raja-raja

1x:  20: 3;

 

4x: 12: 7; 3: 6.6; 8: 23;

Yesaya

5x: 16: 5; 54: 8; 55L 3; 57: 1; 63:7

2x: 40: 6; 54: 10;

1x:  63: 7.

Yeremia

1x:  31: 3;

1x:  33: 11;

4x:  2: 2; 9: 23; 16: 5; 32: 18.

Hosea

2x: 2: 2; 10: 12;

2x:  4: 1; 6: 4;

2x:  6: 6; 12: 7.

Yoel

1x: 2: 15;

-

-

Yunus

1x:  4: 2;

-

1x:  2: 9.

Mika

1x:  6: 8;

-

2x: 7: 18.20.

Zakharia

-

-

1x:  7: 9.

Mazmur

37x: 5: 8; 6: 5; 13: 6; 21: 8; 25: 7.10; 31: 8.17; 32: 10; 33: 5,18; 44:27; 51:3; 52: 10; 59: 11.18; 69: 14; 86: 5.15; 90: 14; 103: 4.8; 106: 7.45; 109” 26; 115: 1; 119: 64.86.124.149.159; 138: 2; 141: 5; 143: 12; 144: 2; 145: 8; 147: 11;

61x: 26: 3; 33: 22; 36: 6.8; 40: 12;52: 3; 57: 11; 62: 13; 63: 4; 69: 17; 77: 9; 85: 11; 86: 13; 88: 12; 89: 3.15.25.50; 94: 18; 100: 5; 103: 17; 106: 1; 107: 1; 108: 5; 109: 21; 117: 2; 118: 1.2.3.4.29; 119: 41.76; 130: 7;136:1.2.4.5.6.7.8.9.10.11.12.13.14.15.16.17.18.19.20.21.22.23.24.25.26.; 136: 3; 138: 8.

29x:  17: 7; 18: 5; 23: 6; 25: 6; 31: 22; 36: 11; 40: 11; 42: 9; 48: 10; 57: 4; 59: 17; 61: 8; 66: 20; 85: 8; 89: 2.29.34; 92: 3; 98: 3; 101: 1; 103: 11; 107: 6.15.21.31.43; 109: 12.16; 143: 8

Ayub

1x:  37: 13;

1x:  6: 14;

1x: 10:12.

Amsal Salomo

6x:  11: 17; 14; 22; 16: 6; 20: 6.28; 31: 26;

3X:  3: 3; 15: 22; 20: 28;

1X: 21: 21.

Ratapan`

1X;  3{ 22;

-

-

Ruth

-

-

3x: 1: 8; 2: 10; 3: 10.

Ester

-

-

2x:  2: 9.17.

Daniel

1x:  1: 4;

-

1x:   9: 4.

Esra

-

1x: 3: 1;

2x:  7: 28; 9: 9.

Nehemia

2x:  9: 17; 13: 22;

-

3x:  1: 5; 9: 32; 13: 14.

1 Tawarikh

-

2x:  16: 34.41;

3x:  17: 13; 10: 2.2.

2 Tawarikh

3x:  6: 42; 32: 32; 33: 26;

4x:  5: 13; 7: 3.6; 20: 21;

3x: 11: 8; 6: 14; 24: 22

Jumlah

72 kali

79 kali

94 kali

 

 

b.      Kata-kata yang sering  berhubungan dengan: חֶסֶד

-          חֶסֶד וְאֱמֶת                  Sebanyak 17 kali

   

Nama Kitab

Umum/Tempat

Subyek/Tempat

Obyek/Tempat

Mazmur

3X: 25: 10; 115: 1; 138” 2

4x: 40: 12; 85: 11;89: 5; 117: 2

2x:  57: 4; 61: 8.

Amsal

2x; 14: 22; 16: 6;

2X:  3: 3; 20: 28;

-

Kejadian

-

-

1x:  24: 27

2 Samuel

-

1x:  15: 20;

1x:  2: 6.

Yosua

-

-

1x:  2: 14.

 

 

 

 

                                תֶסֶד  עוׄלׇם  atau     תֶסֶד  עוׄלׇם - sebanyak  48 kali

 

Nama Kitab

Umum/Tempat

Subyek/Tempat

Obyek/Tempat

Yesaya

1x:  54: 8;

-

-

Yeremia

-

1x:  33: 1;

-

Mazmur

-

36x:  89: 3; 100: 5; 106: 1; 107: 1; 118: 1-4;29; 136: 1-26; 138: 8;

2x:  89: 2.29.

Ezra

-

1x:  3: 11;

-

1 Tawarikh

-

2x:  16: 34.41;

-

2 Tawarikh

-

3x:  5: 13; 7: 3.6; 20: 21.21.

 

 

 

 

 

 

 

בּֽרִית  וֽחֶסֶד  -     Hanya sebagai obyek sebanyak empat kali:  1 Raja 8: 23; Yeh. 1: 5; 9: 32;  2Tawa. 6: 14.

                            :    חֶסֶד    וֽמִשפׇּת   dijumpai sebanyak lima kali yakni:  Mika 6L 8; Yer. 9: 23; Hos.12: 7; Maz. 101:1; Zak. 7: 9.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

3.      Kata-kata yang pararel dengan:  חֶסֶד   dalam Kitab Mazmur5).                                      

                                                      

                                        יְשֺוּעָהה    : Keselamatan: 13:5; 65:7; 18:50;     119:41;40:11;69:13 

רַחֲמִים : Belas-kasihan   :     25:6; 40:11; 51:1; 69:16; 103:4;      ׅ                                 bd.Rat.3:22.

צְדָקָה         : Keadilan         :       36:10; 40:11; 143:11; 35:10

אֱמוּנָה        : Kesetiaan       :        36:6; 88:11; 89:1f.33; 92:2; 100:5;   bd.40: 11.

פְדוּת         : Kebebasan      :       130: 7.

 

4.      Etimologi

 

Sepanjang penyelidikan, sampai sekarang belum ada petunjuk yang pasti bagi kita dan keterangan yang jelas tentang etimologi dari  kata: חֶסֶד    

Walker berpendapat , bahwa kata itu adalah berakar dari kata kerja :חָסַד               (hasad), yang berarti “tunduk satu sama lain”6). Dari sinilah mungkin timbul pengertian berbuat kemurahan, kebaikan, belas kasihan satu sama lain. Kata kerja itu tidak pernah kita jumpai dalam bentuk Qal, hanya dalam bentuk Hithpael, yang menunjukkan tindakan berbalas-balasan satu sama lain. Sehingga apabila dikatakan   יִתְחַסֵּד    (yethhassed), berati saling menunjukkan kebaikan satu sama lain7).

Kalau kita memperbandingkan dengan bahasa Syria, maka di sana kita menjumpai dua perkataan yang hampir sama bunyinya, yakni kata hasda dan heshda. Kata yang pertama berarti noda atau sesuatu tindakan yang memalukan (repreach) dan kata yang ke dua berarti sikap kebaikan atau kemurahan8).

Di dalam PL kita juga menjumpai kata    חֶסֶד       (hesed) yang berbunyi sama, satu dalam arti kasih-setia, kebaikan dan kemurahan dan yang satu lagi berarti  noda atau sesuatu hal yang mempermalukan. Dalam pengertian yang ke dua ini kata itu hanya dua kali kita jumpai dalam kitab PL, yakni pada  Im.20:17dan Amsal 14: 349). Menurut Smith, etimologi dari ke dua kata itu adalah berbeda. Yang satu adalah berakar dari kata Arab hsd dan yang kedua berakar dari kata Arab hshd, dan yang terakhir inilah  yang berarti  persahabatan10).

Pendapat Robinson juga sejajar dengan itu, bahwa kata   חֶסֶד   lebih dekat kepada kata Arab hshd, yang diartikan sebagai kegiatan untuk menolong. Sehingga menurut dia, dalam bentuk kata kerja kata itu berarti: berkumpul atau bersekutu dengan maksud saling menolong11). Karena itulah menurut Robinson  hesed adalah “kebajikan yang mempersatukan masyarakat”.

Tetapi Zimmerli meragukan pendapat-pendapat ini12). Memang adalah tidak mungkin kata yang sudah tua dikenal berasal dari kata atau bahasa yang lebih muda dari padanya. Penulis sangat setuju dengan pendapat Zimmerli, yang mengatakan bahwa tidak mungkin kita mencari etimologi dari kata itu dengan tepat sekali, karena nampaknya kata tersebut telah menjadi suatu istilah yng hidup di lingkungan masyarakat, yang menggambarkan ikatan masyarakat, baik individu dengan individu, maupun kelompok dengan kelompok; istimewa dalam teks-teks yang lebih tua pengertian yang demikianlah yang kita jumpai.

 

5.       Beberepa pandangan tentang pengertian    חֶסֶד .  

Dalam monografi yang ditulis oleh Nelson Glueck13), dia telah membuka penyelidikan terhadap istilah חֶסֶד. Dia menggolongkan pemakaian kata itu atas tiga bahagian, yang pertama dalam arti profan,  kedua dalam arti religi dan yang ketiga dalam arti theologis ( sikap Tuhan). Dia mengatakan bahwa dalam arti profan, חֶסֶד  adalah sikap atau cara laku yang berhubungan dengan hukum kebajikan14). Sikap yang pantas dan yang menurut hukum dalam persekutuan sanak-saudara,  persekutuan marga-marga dan persekutuan suku-suku; sikap yang pantas dari seorang tuan rumah kepada tamu ataupun kepada seorang penumpang; sikap yang seharusnya di antara orang yang mengikat perjanjian, dan orang yang bersahabat; sikap yang adil dari seorang penguasa terhadap rakyatnya dan sikap persekutuan tolong menolong.

Di dalam pengertian religi, maka חֶסֶד adalah sikap kemasyarakatan di antara  manusia dengan manusia terhadap Allah15). Dari sinilah timbul istilah                                                                        

                          חָסִיד  ( hasid), yakni orang saleh yang sikapnya berlawanan dengan orang berdosa ( Maz. 37: 28; 97: 10; 1 Sam.2: 9; Amsal 11:77; Maz.80 2; 79: 2; 143:12; 119: 124; 31: 17; 2 Taw.6:41. 42, dll.). Orang ini dapat juga disamakan dengan seorang yang bijaksana dan benar ( Maz.18: 26; 2 Sam. 22: 26; Mika 7: 2) dan orang yang setia dalam kepercayaannya (Amsal 20: 6; Maz.50: 53l Kel. 29: 5).

Kata itu juga dipakai untuk menunjukkan sikap persekutuan Tuhan terhadap manusia16), baik secara pribadi maupun secara kolektif terhadap umat yang dipilihnya. Sikap  hesed inilah yang mendorong Allah untuk turut serta di tengah-tengah persekutuan umatnya. Berdasarkan pandangan inilah maka Glueck membuat terjemahan dari kata itu dengan kasih ataupun anugerah17).

Setelah thesis dari Glueck ini maka timbullah pendapat H.J.Stoebe, di mana dia memberikan kesimpulan: “Sifat khas penyataan yang theologis  dari hesed Allah adalah dilihat dari kesetiaannya berpaling kepada manusia dengan kebaikan dan kemurahannya yang tidak bersyarat. Dia memasrahkan kebenaran ilahinya supaya bersekutu dengan manusia18).

Dalam thesis ini kita memperoleh suatu  kesejajaran dengan apa yang diperbuat dalam interpretasi Glueck. Hanya dalam thesis ini Stoebe lebih tegas menyatakan kesediaan dan kerelaan Allah untuk turut berpartisipasi dengan manusia tanpa adanya syarat yang harus dipenuhi dari pihak manusia.

A.Lodds memberikan pendapatnya bahwa  hesed adalah suatu kata yang mempunyai arti yang sangat luas. Kata itu harus diterjemahkan dengan pietas, dengan belas kasihan, kasih atau anugerah. Kata itu juga sangat erat hubungannya denga  pietas dalam bahasa Latin, yang artinya bukan hanya keteguhan iman dari seorang yang percaya kepada Allah, atau seorang anak terhadap bapaknya, tetapi juga menunjukkan perasaan Allah atau seorang yang lebih tinggi kepada bawahannya. Secara umum menurut dia, kata itu berarti perasaan natural yang mendorong seorang manusia tanpa paksaan hukum untuk bertindak baik dan memberi hati yang tulus ikhlas kepada  anggota-anggota keluarga atau sukunya.19). 

H. Borrows menerangkan bahwa kata hesed yang bisa diartikan sebagai keramahan ( kindness) atau kasih yang ramah ( loving-kindness) pertama sekali adalah loyalitas, tetapi kata itu sering juga diartikan sebagai suatu kebajikan apa yang patut diharapkan oleh orang yang menerimanya20).

N.H.Smith mengatakan bahwa hesed berati kasih perjanjian ( covenant-love ). Tanpa adanya sesuatu eksistensi yang nenggerakan sesuatu  perjanjian maka di sana tidak akan pernah ada hesed satu sama lain22). Tetapi Zimmerli menolak adanya pertalian yang rapat antara hesed dan perjanjian apalagi menerjemahkan kata itu dengan kasih-perjanjian. Kita menjumpai hanya sedikit sekali pertalian hesed dengan perjanjian dalam P.L. 22). Menurut Zimmerli hesed adalah menunjukkan unsur kebebasan dan kespontanan menunjukkan kebaikan dan perlakuan yang ramah, dan itu tidak dapat dijadikan sebagai utang atau kebajikan23).

Selanjutnya Robinson lebih menekankan hubungan hesed dengan pertobatan. Apabila dia menerangkan bahwa kata hesed merupakan kata yang baik untuk melukiskan kedalaman hubungan Allah dengan Israel, maka hesed diartikan sebagai suatu kebenaran atau keadilan yang membawa hasil yang lebih baik. Dengan hesed Allah, maka umatnya selekas mungkin diarahkan kepada pertobatan, merobah sikap manusia. Maksud hesed Allah adalah membangkitkan dan memelihara manusia. Dan pertobatan manusia adalah merupakan respons yang sesungguhnya terhadap hesed Allah.24)

Edmond Jacob berpendapat, bahwa kata hesed adalah kata yang paling sering dipakai untuk menunjukkan kesetiaan Allah.25) Suatu istilah yang tidak terdapat dalam bahasa-bahasa modern. Menurut dia kata itu telah lebih dulu dipergunakan dalam perhubungan manusia dalam arti solidaritas dan kesetiaan. Sedangkan dalam arti anugerah dan kemurahan adalah timbul di kemudian hari. Dan kata itu masuk ke dalam pengertian theologis barulah setelah adanya ikatan perjanjian antara Allah dan umatnya.  Hesed Allah dinyatakan di dalam dan melalui perjanjian. Dan inilah sebabnya maka Allah membuat suatu perjanjian, di mana Dia mau menunjukkan hesed-nya kepada umatnya. Dengan nyatanya hesed Allah dalam perjanjian itu, maka secara khusus hesed itu menunjukkan bahwa Allah adalah kuasa yang kuat di tengah-tengah umat manusia. Kuasa yang tidak dapat dilawan manusia26).

Terakhir sekali kita mengutip pendapat G.A.Smith. Dia berpendapat bahwa hesed mengandung arti yang lebih dalam dari pada perasaan kasih-sayang (affection); hesed dalah loyalitas terhadap suatu relasi. Sehingga apabila kata itu diterjemahkan  dengan kemurahan hati atau anugerah adalah tidak cocok. Terjemahan yang lebih dekat adalah kesetiaan. Dalam bahasa Inggris dia mendefinisikan kata itu dengan Leal-love  27). Bagi Allah keutuhan dan keteguhan kasih itu sangat diperlukan, karena dia selalu berhubungan dengan bangsanya yang keras kepala. Tanpa adanya hesed ini dalam sifat Allah, maka Dia tidak akan berkuasa  untuk bersekutu dengan umat yang keras kepala itu.

Seluruh pendapat-pendapat di atas mempunyai kebenaran masing-masing, sesuai dengan segi mereka melihat kata itu, sehingga tidak boleh disalahkan begitu saja atau diterima secara mutlak. Kebanyakan mereka hanya menyoroti  dari segi pengertian theologis, sehingga tidak jelas nampak perkembangan pengertian dari kata itu.  Pengertian kata itu adalah berkembang sejalan dengan pengertian masyarakat tentang keadilan yang juga berkembang. Bagi manusia yang belum beradab, di mana pergaulan yang luas belum dikenal, maka pengertian solidaritas hanyalah merupakan ikatan persaudaraan sedarah. Kekuatan yang terkandung dalam orang yang demikian hanyalah kodrat emosioal. Apa yang adil bagi mereka adalah tindakan yang tidak membiarkan kaumnya ditimpa kemalangan; artinya walau bagaimana sekalipun harus membela saudaranya dalam sesuatu persoalan. Tetapi konsep keadilan yang demikian tidak bisa bertahan setelah adanya pergaulan yang lebih luas; keadilan tidak bisa lagi hanya ditentukan oleh perasaan sedarah; karena itu diperlukan adanya suatu hukum yang menjamin obyektivitas dari tindakan keadilan. Jadi hesed adalah pelaksanaan yang normal dari keadilan atau kepatuhan yang bebas dan sukarela terhadap hukum keadilan.

 

 

 

II. ARTI DAN MAKNA חֶסֶד DALAM PERSEKUTUAN KELUARGA

 

1.        Batasan keluarga

 

Keluarga adalah persekutuan orang-orang yang dihubungkan dengan ikatan perkawinan dan pertalian sanak-saudara, yang dikendalikan oleh otoritas bapa. Perkawinan di tengah-tengah orang Israel adalah patriarkhal, yang mengikuti garis ketrunan bapa.

Di dalam PL banyak dijumpai keluarga-keluarga yang besar, istimewa pada masa terjadinya perkawinan poligami28). Yang termasuk ke dalam keluarga adalah bapa, ibu, anak laki-laki, anak perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan ( sebelum kawin). Hamba, gundik, dan orang penompang29). Orang Israel memang sangat menginginkan keluarga yang besar terutama karena alasan ekonomi dan alasan keagamaan.  Pada zaman Nomaden maupun zaman seminomaden mereka sangat membutuhkan banyak tenaga untuk menggembalai ternak30), dan juga mengerjakan tanah. Demikian juga untuk memelihara kekuatan keluarga atau sukunya diperlukan anggota keluargabyang besar31).  Tradisi keagamaan mereka juga mengajarkan bahwa kemampuan beranak banyak adalah berkat Allah32) (bd. Kejadian 1: 28a; 9:1 ). Pertambahan keluarga diharapkan terutama melalui kelahiran. Di samping itu dengan mengikat perjanjian dengan orang lain secara pribadi, maupun secara golongan33).

 

2.             Solidaritas keluarga secara umum

 

Setiap anggota keluarga bertanggung-jawab memelihara kehormatan dan nama keluarga itu. Mereka tidak membiarkan penindasan terhadap kaumnya, dan menolak setiap kesakitan yang mungkin menimpa keluarga itu.  Karena itu setiap orang yang bernaung di bawah tubuh keluarga itu, secara keseluruhan  bertanggung-jawab memelihara prinsip keadilan yang retributif ( bersifat pembalasan; bd 2 Sam. 3:27; 16:8; 2 Raja 9: 26). Apabila ada dari antara mereka yang mati terbunuh oleh orang lain,  maka anggota keluarga itu wajib menuntut darah teman sedarah dagingnya. Orang-orang Israel tua menyadari bahwa pembalasan demikian adalah untuk menjalankan keadilan, agar kesatuan keluarga mereka dipulihkan kembali. Bagi keluarga atau golongan si korban, penuntutan darah adalah tindakan kesetia-kawanan terhadap anggota keluarga yang terbunuh itu. Satu kaum kerabat adalah sepenanggungan, sehidup semati, seperasaan, karena mereka adalah sedarah34).  Seorang yang tidak menuntut darah dari salah satu kaum kerabatnya berarti dia telah mengabaikan keluarganya dan mengabaikan kesetia-kawanan mereka, sekaligus melalaikan keadilan. Memang di tengah-tengah masyarakat yang belum mempunyai satu lembaga peradilan umum, maka penuntutan kejahatan terutama yang berhubungan dengan soal pembunuhan adalah terserah kepada keluarga yang terbunuh itu35).

Keluarga juga berfungsi sebagai persekutuan keagamaan. Di dalamnya masing-masing diwajibkan untuk memelihara tradisi-tradisi dan meneruskannya melalui pengajaran-pengajaran dan ibadat di tengah-tengah keluarga. Terutama mereka harus mengingat sejarah nenek-noyang mereka, di mana Allah menunjukkan keselamatan, dengan mengucapkan pengakuan iman (credo) seperti tertulis dalam kitab Ulangan 26: 5 ff. Dalam hal ini persekutuan telah menunjuk kepada persekutuan suku Israel selaku persekutuan iman36). Karena itu seorang bapa wajib memberikan pengajaran kepada anak-anaknya ( Amsal 1: 8), dan dia juga berkuasa untuk menghukum mereka apabila tidak patuh terhadap pengajarannya ( Ul. 13: 6-10). Si anak yang berperanan sekali untuk melanjutkan garis keturunan bapanya atau mengabadikan nama dan pribadi dari bapa wajib mengetahui dan mengikuti tradisi-tradisi persekutuan, serta mempelajari arti dari hikmat ( Ul. 8: 5; Amsal 3: 12; 13: 24; 19: 18-29). Tetapi anak perempuan tidak begitu berperanan, karena dia tidak terdaftar dalam silsilah keluarga.  Dia akan menjadi milik orang lain yang akan menjadi suaminya.

 

3.             Hesed anak terhadap bapa

 

Sebagaimana diterangkan di atas, bapa mempunyai  wibawa yang patut dihormati di tengah-tengah keluarga, sehingga terjadi keutuhan dan keteguhan keluarga tersebut. Bapalah yang menjadi sumber berkat bagi anak-anaknya, dan sebaliknya dapat juga menjadi sumber kehancuran dari keluarganya37). Wibawa memberkati dan mengutuki itu juga terdapat pada ibu. Kata-kata yang pertama diucapkan oleh seorang ibu yang baru beranak tentang anak yang dilahirkan itu, sangat mengandung arti yang dalam sekali untuk menentukan kelanjutan nasib dari anak yang baru lahir.  Dia akan mengucapkan kata-kata yang mengandung sukacita, bahagia, keuntungan ( bd. Kej.29:31-32;  30: 23-24), apabila hatinya bersukacita, berbahagia atau beruntung dengan anak yang baru lahir. Tetapi sebaliknya dalam keadaan susah atau putus asa, ibu juga dapat meramalkan nasib yang malang terhadap anak-anaknya ( bd. Kej.35: 18; 1 Sam. 4: 21).

Sejajar dengan itu ucapan terakhir dari bapa leluhur menjelang kematiannya, juga mengandung arti dalam menentukan nasib anak-anaknya. Karena itu sebelum si bapa meninggal dunia maka anak-anaknya berusaha untuk dapat berbicara  atau mendapat ucapan yang sangat berharga itu dari si bapa ( Kej. 27: 1-2.4; 48: 1-2; 1 Raja 1: 1.32.35). Di dalam ucapan-ucapan itu terkandung berkat kepada anak-anaknya. Berkat dari bapa leluhur itu adalah penyaluran dari berkat yang diberikan Allah kepada Abraham, sehingga berkat itu senantiasa berisi janji Allah, yakni ketururan besar, janji tanah dan berkat untuk segala bangsa38).

Pesan ( atau bahasa Batak tona ) dari si bapa kepada anak-anaknya sebelum kematiannya mempunyai nilai yang sangat berarti. Karena setelah si bapa tersebut meninggal dunia, maka kuasa atau wibawa kebapannya akan terwujud di dalam ucapan terakhir/ tona / pesan yang disampaikan kepada anak tersebut. Karena itu kepatuhan terhadap pesan atau tona ini merupakan tanda kasih-setia ( hesed) terhadap si bapa. Hesed si anak yang merupakan respons terhadap apa yang dipesankan si bapa, akan menjadi berkat dalam kehidupannya. Hal ini jelas kita lihat dalam Kejadian 47: 29.

“Dan setelah harinya telah dekat bahwa Israel akan mati, maka dipanggilnyalah anak Josef dan berkata kepadanya: Jika aku mendapat belas-kasihan di dalam penglihatanmu, letakkanlah tanganmu di bawah pangkal pahaku, dan bersumpahlah kau akan menunjukkan kasih-setia yang benar-benar kepadaku. Jangan menguburkan aku di Mesir”.

 

Ayat ini termasuk cerita Jahwist ( J ) tentang akhir hidup Yakub. Di sini diceritakan bahwa kematian manusia didahului dengan permintaan sumpah bahwa dia akan dikuburkan bersama bapanya.  Skinner menganggap peristiwa ini sebagai sandiwara di tempat tidur menjelang kematian30).  Yakub ( Israel ) memohonkan hesed yang benar-benar dari Josef, sehingga untuk itu di diajak untuk bersumpah, dengan maksud supaya jangan membiarkan mayatnya di tanah Mesir. Permintaan Yakub itu sungguh penting, sehingga dia mendasarkannya atas sumpah. Sungguh itu dilaksanakan dengan cara menyuruh anaknya meletakkan tangan ( memegang ) aurat atau kemaluannya. Sumpah dengan cara demikian rupanya sudah menjadi kebiasaan pada zaman kuno. Tradisi seperti ini kita jumpai lagi dalam Kejadian 24: 2, di mana Abraham menyuruh hamba kepercayaannya Eliezer meletakkan tangan pada auratnya sebagai sumpah supaya Eliezer  mencari Ishak jangan dari perempuan Kanan ( kafir ), melainkan dari lingkungan keluarga bapanya.  Bagi orang primitif, kemaluan     ( aurat ) adalah lambang pemberian kekuatan yang hidup dan lambang kuasa pencipta.  Kemaluan adalah juga simbol kepatuhan, yang merupakan suatu penggilan kepada keturunan untuk memelihara isi dari sumpah itu40). Agar perkataan sumpah itu mendapat kuasa, sehingga terjaminlah kekuatan dan berlakunya sumpah itu, maka orang yang bersumpah itu memegang benda suci yang berisikan kekuatan yang dari dewa/ Allah itu41).  Tradisi sumpah yang lain di dalam agama primitif ialah memegang barang-barang yang berisi kuasa sakti menurut keyakinannya, misalnya batu, cincin sumpah, anggota tubuh manusia seperti kepala, mata, rambut,  janggut, dll, binatang korban42). Di Timur Dekat yang tua, sumpah biasanya dilakukan atas nama satu-satunya dewa atau atas nama raja43). Semuanya sumpah yang mempunyai corak ragam itu, hanya bertujuan untuk menguatkan isi dari sumpah itu. Setiap orang takut untuk melanggar sumpahnya, karena hakekat dari sumpah adalah pengutukan diri sendiri.

Itulah sebabnya Yakub menyuruh anaknya untuk bersumpah, agar dia benar-benar percaya bahwa anaknya itu  tidak akan memungkiri apa yang dipesankannya. Yakub telah mengkhawatirkan tentang penguburannya setelah dia tahu bahwa sebentar lagi dia akan mati. Yakub tidak mau dikuburkan di tanah orang kafir itu; dia memintakan untuk dikuburkan di tanah perjanjian bersama bapanya.  Walaupun dia tahu kesulitan untuk mengerjakan permintaannya itu terutama soal biaya dan tenaga, namun dia memerintahkan supaya anaknya mengusahakannya bagaimana sekalipun. Yakub termasuk anak perjanjian Allah, sehingga dia harus berdiam untuk selama-lamanya di tanah perjanjian itu. Tanah perjanjian itu telah merupakan tipe dari surga, di mana dia akan beristirahat dan berbahagia pada masa kematiannya44).  Sehingga apabila Josef melaksanakan itu berarti dia telah turut merealisasikan perjanjian Allah. Josef memang setia terhadap apa yang telah disumpahkan. Setelah bapanya meninggal dunia, maka dia memohon izin dari raja Firaun dengan rendah hati, supaya dia menguburkan mayat bapanya di tanah Kanan (Kej.50: 4-6; juga dari sumber J), di gua Mahpela yang telah dibeli oleh Abraham (Kej. 50:13). Firaun mengizinkan dengan rela hati, serta memberikan bantuan berupa tenaga yang perlu untuk itu, yakni pegawai-pegawai istana Firaun ( ay. 7).

Itulah hesed dari seorang anak terhadap bapanya, yakni menghormati orang tuanya,  patuh terhadap pesan dari bapanya sesuai dengan rencana dan kemauan Allah.

 

4.                   Hesed istri terhadap suaminya          

 

            Arti hesed seorang istri terhadap suaminya dapat kita lihat dari Kejadian 20: 13, yang mengatakan demikian:

            “Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar dari rumah bapaku, aku berkata kepada istriku: Tunjukkanlah kasih-setiamu kepadaku, yakni katakanlah tentang aku di tiap-tiap tempat di mana kita tiba: Dia saudaraku”.

 

                Cerita dalam Kejadian 20: 1-18 adalah salah dari tiga cerita yang kita lihat dalam kitab Kejadian, yang menunjukkan bahaya yang dihadapi oleh ibu-leluhur Israel. Ketiga cerita itu tertulis dalam Kejadian 12: 10-20     (bersumber dari penulis J), di mana raja Firaun mau merampas Sara istri Abraham, untuk menjadikan istrinya, tetapi Allah menghalanginya; dan Kejadian 20: 1-18 (bersumber dari penulis Elohist – E, kecuali ayat 18 adalah dari J), bapa dan ibu leluhur itu berhadapan dengan raja Abimelekh; kemudian dalam Kejadian 26: 1-13 (bersumber dari penulis J), diceritakan bahwa Ishak anak Abraham, bersama istrinya Rebeka, menghadapi bahaya yang sama dengan pengalaman yang dua di atas, yakni raja Abimelekh mau merampas Rebeka menjadi istrinya.

            Ketika cerita itu menggambar pengalaman-pengalaman bapa dan ibu leluhur Israel, yang menghadapi bahaya dan ancaman terhadap diri mereka sekaligus terhadap akhli waris berkat yang dijanjikan Allah.

            Memang menurut pendapat akhli dari segi sejarah penurunan tradisi lisan, ketiga cerita ini aslinya hanya merupakan satu hikayat kuno, yang di dalamnya dinyatakan pendapat Israel dalam hubungannya dengan penduduk asli Palestina. Hikayat itu kemudian disangkutkan dengan dua tokoh, yakni Abraham dan Ishak. Dan menurut M. Noth, hikayat yang berhubungan dengan Ishaklah yang lebih asli45). Karena itu Kejadian 26 merupakan bentuk verita yang asli. Cerita tradisi yang bersangkut paut dengan Ishak itu kemudian diambil alih untuk Abraham yang dipercayai lebih mulia dan lebih berpengaruh dari Ishak. Memang apabila kita mau meneliti persoalan literatur dari ketiga cerita itu maka kita akan melihat perbedaan-perbedaan, tetapi jalan ceritanya adalah sama.  Jelas di sini kita daftarkan ketiga bentuk cerita itu46).

Cerita A:  Kejadian 12: 9-20  ( J )

Cerita B:  Kejadian 20: 1-18  ( E )

Cerita C:  Kejadian 26: 1-13 ( J ).

           

Cerita A

Cerita B

Cerita C

9 Sesudah itu Abram berangkat dan makin jauh ia berjalan ke Tanah Negeb.

10 Dan  terjadilah (  וַיְהִי       ) kelaparan timbul di negeri itu,

 

 

 pergilah Abram ke Mesir

 

 

 

 

 

 

 

untuk tinggal di situ sebagai orang asing, sebab hebat kelaparan di negeri itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

11 Dan terjadilah (  וַיְהִי  )    pada waktu ia akan masuk ke Mesir, berkatalah ia kepada Sarai, isterinya: "Memang aku tahu, bahwa engkau adalah seorang perempuan yang cantik parasnya.

12 Apabila orang Mesir melihat engkau, mereka akan berkata: Itu isterinya. Jadi mereka akan membunuh aku dan membiarkan engkau hidup.

13 Katakanlah, bahwa engkau adikku, supaya aku diperlakukan mereka dengan baik karena engkau, dan aku dibiarkan hidup oleh sebab engkau."

14 Dan terjadilah  (  וַיְהִי   )   ketika  Abram masuk ke Mesir, orang Mesir itu melihat, bahwa perempuan itu sangat cantik,

15 dan ketika punggawa-punggawa Firaun melihat Sarai, mereka memuji-mujinya di hadapan Firaun, sehingga perempuan itu dibawa ke istananya.

16 Firaun menyambut Abram dengan baik-baik, karena ia mengingini perempuan itu, dan Abram mendapat kambing domba, lembu sapi, keledai jantan, budak laki-laki dan perempuan, keledai betina dan unta.

17 Tetapi TUHAN menimpakan tulah yang hebat kepada Firaun, demikian juga kepada seisi istananya, karena Sarai, isteri Abram itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

18 Lalu Firaun memanggil Abram serta berkata: "Apakah yang kauperbuat ini terhadap aku? Mengapa tidak kauberitahukan, bahwa ia isterimu?

 

 

 

19 Mengapa engkau katakan: dia adikku, sehingga aku mengambilnya menjadi isteriku?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 Sekarang, inilah isterimu, ambillah dan pergilah!"

 

 

 

 

20 Lalu Firaun memerintahkan beberapa orang untuk mengantarkan Abram pergi, bersama-sama dengan isterinya dan segala kepunyaannya.

 

 

1 Lalu Abraham berangkat dari situ ke Tanah Negeb

 

 

 

 

dan ia menetap antara Kadesh dan Syur.

 

 

 

 

 

 

Ia tinggal di Gerar sebagai orang asing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2 Oleh karena Abraham telah mengatakan tentang Sara, isterinya: "Dia saudaraku,"

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

maka Abimelekh, raja Gerar, menyuruh mengambil Sara.

 

 

 

 

 

 

 

:3 Tetapi pada waktu malam Allah datang kepada Abimelekh dalam suatu mimpi serta berfirman kepadanya: "Engkau harus mati oleh karena perempuan yang telah kauambil itu; sebab ia sudah bersuami."

4 Adapun Abimelekh belum menghampiri Sara. Berkatalah ia: "Tuhan! Apakah Engkau membunuh bangsa yang tak bersalah?

5 Bukankah orang itu sendiri mengatakan kepadaku: Dia saudaraku? Dan perempuan itu sendiri telah mengatakan: Ia saudaraku. Jadi hal ini kulakukan dengan hati yang tulus dan dengan tangan yang suci."

6 Lalu berfirmanlah Allah kepadanya dalam mimpi: "Aku tahu juga, bahwa engkau telah melakukan hal itu dengan hati yang tulus, maka Aku pun telah mencegah engkau untuk berbuat dosa terhadap Aku; sebab itu Aku tidak membiarkan engkau menjamah dia.

7 Jadi sekarang, kembalikanlah isteri orang itu, sebab dia seorang nabi; ia akan berdoa untuk engkau, maka engkau tetap hidup; tetapi jika engkau tidak mengembalikan dia, ketahuilah, engkau pasti mati, engkau dan semua orang yang bersama-sama dengan engkau."

8 Keesokan harinya pagi-pagi Abimelekh memanggil semua hambanya dan memberitahukan seluruh peristiwa itu kepada mereka, lalu sangat takutlah orang-orang itu.

9 Kemudian Abimelekh memanggil Abraham dan berkata kepadanya: "Perbuatan apakah yang kaulakukan ini terhadap kami, dan kesalahan apakah yang kulakukan terhadap engkau, sehingga engkau mendatangkan dosa besar atas diriku dan kerajaanku? Engkau telah berbuat hal-hal yang tidak patut kepadaku."

10 Lagi kata Abimelekh kepada Abraham: "Apakah maksudmu, maka engkau melakukan hal ini?"

11 Lalu Abraham berkata: "Aku berpikir: Takut akan Allah tidak ada di tempat ini; tentulah aku akan dibunuh karena isteriku.

12 Lagipula ia benar-benar saudaraku, anak ayahku, hanya bukan anak ibuku, tetapi kemudian ia menjadi isteriku.

13 Ketika Allah menyuruh aku mengembara keluar dari rumah ayahku, berkatalah aku kepada isteriku: Tunjukkanlah kasihmu kepadaku, yakni: katakanlah tentang aku di tiap-tiap tempat di mana kita tiba: Ia saudaraku."

14 Kemudian Abimelekh mengambil kambing domba dan lembu sapi, hamba laki-laki dan perempuan, lalu memberikan semuanya itu kepada Abraham; Sara, isteri Abraham, juga dikembalikannya kepadanya.

15 Dan Abimelekh berkata: "Negeriku ini terbuka untuk engkau; menetaplah, di mana engkau suka."

16 Lalu katanya kepada Sara: "Telah kuberikan kepada saudaramu seribu syikal perak, itulah bukti kesucianmu bagi semua orang yang bersama-sama dengan engkau. Maka dalam segala hal engkau dibenarkan."

17 Lalu Abraham berdoa kepada Allah, dan Allah menyembuhkan Abimelekh dan isterinya dan budak-budaknya perempuan, sehingga mereka melahirkan anak.

18 Sebab tadinya TUHAN telah menutup kandungan setiap perempuan di istana Abimelekh karena Sara, isteri Abraham itu.

 

 

 

 

 

 

 

 

1 Maka terjadilah (  וַיְהִי        ) kelaparan di negeri itu. --- Ini bukan kelaparan yang pertama, yang telah terjadi dalam zaman Abraham. Sebab itu Ishak pergi ke Gerar, kepada Abimelekh, raja orang Filistin.

2 Lalu TUHAN menampakkan diri kepadanya serta berfirman: "Janganlah pergi ke Mesir, diamlah di negeri yang akan Kukatakan kepadamu.

3 Tinggallah di negeri ini sebagai orang asing, maka Aku akan menyertai engkau dan memberkati engkau, sebab kepadamulah dan kepada keturunanmu akan Kuberikan seluruh negeri ini, dan Aku akan menepati sumpah yang telah Kuikrarkan kepada Abraham, ayahmu.

4 Aku akan membuat banyak keturunanmu seperti bintang di langit; Aku akan memberikan kepada keturunanmu seluruh negeri ini, dan oleh keturunanmu semua bangsa di bumi akan mendapat berkat,

5. karena Abraham telah mendengarkan firman-Ku dan memelihara kewajibannya kepada-Ku, yaitu segala perintah, ketetapan dan hukum-Ku."

6.Jadi tinggallah Ishak di Gerar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

7.Ketika orang-orang di tempat itu bertanya tentang isterinya, berkatalah ia: "Dia saudaraku," sebab ia takut mengatakan: "Ia isteriku," karena pikirnya: "Jangan-jangan aku dibunuh oleh penduduk tempat ini karena Ribka, sebab elok parasnya."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

8 Dan terjadilah (  וַיְהִי                 ) setelah beberapa lama ia ada di sana, pada suatu kali menjenguklah Abimelekh, raja orang Filistin itu dari jendela, maka dilihatnya Ishak sedang bercumbu-cumbuan dengan Ribka, isterinya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

9 Lalu Abimelekh memanggil Ishak dan berkata: "Sesungguhnya dia isterimu, masakan engkau berkata: Dia saudaraku?" Jawab Ishak kepadanya: "Karena pikirku: Jangan-jangan aku mati karena dia."

10 Tetapi Abimelekh berkata: "Apakah juga yang telah kauperbuat ini terhadap kami? Mudah sekali terjadi, salah seorang dari bangsa ini tidur dengan isterimu, sehingga dengan demikian engkau mendatangkan kesalahan atas kami."

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

11 Lalu Abimelekh memberi perintah kepada seluruh bangsa itu: "Siapa yang mengganggu orang ini atau isterinya, pastilah ia akan dihukum mati."

12 Maka menaburlah Ishak di tanah itu dan dalam tahun itu juga ia mendapat hasil seratus kali lipat; sebab ia diberkati TUHAN.

13 Dan orang itu menjadi kaya, bahkan kian lama kian kaya, sehingga ia menjadi sangat kaya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Cerita A mulai dengan: Terjadilah kelaparan di negeri itu ... Negeri yang dimaksud   הָאָרֶץ(haarets) adalah menunjukkan kepada Palestina. Karena memang biasanya apabila terjadi kelaparan di Palestina , orang berangkat ke Mesir, karena Mesir yang subur dengan aliran sungai Nil dan tidak terikat kepada datangnya hujan sebagaimana terjadi di tanah Palestina.

Kemudian hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah ungkapan “dan terjadilah   וַיְהִי (wayehi). Dengan ungkapan ini adalah suatu metode yang banyak dipakai untuk memulai suatu cerita  ( bd. 26: 1.14; juga 6: 1; 11: 2; 1 Sam.1: 1; dll. Ungkapan itu diulang kembali apabila memulai kejadian yang baru ( ay.11; 1 Sam. 18: 6-10; dll). Kemudian cerita itu diakhiri dengan keadaan yang agak memuaskan, di mana Abraham dilepaskan dari bahaya itu bersama istrinya dan harta milik yang telah diserahkan oleh Firaun kepada Abraham berupa hadiah karena Sarai ( ay. 16).

            Kalau kita melihat kepada ayat-ayat sebelumnya, maka dalam ay. 1-9, Abraham meninggalkan kampungnya atas perintah Allah menuju tempat yang belum dikenal. Dia tiba di tanah Kanaan (Palestina), dan di sana dia menjumpai dua tempat yang kudus yakni Sikhem dan Bethel. Ke cerita inilah A menyambungkan ceritanya. Hal ini sangat aneh, karena Abraham yang baru saja menerima janji dari Allah: “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu” (ay. 7), tidak ragu-ragu meninggalkan negeri itu dan pergi mengembara ke luar tanah Kanaan. Karena itu penulis sengaja menempatkan cerita ini di sini, supaya sesuai dengan hikayat yang tertulis  dalam fasal 13,yang mulai dengan : “Maka pergilah Abram dari Mesir ke Tanah Negeb dengan isterinya dan segala kepunyaannya, ...”. Tanpa adanya peristiwa yang di Tanah Mesir tadi maka cerita pada 12: 1-9 dan 13: 1 ff, tidak berhubungan satu sama lain.

Cerita B mulai dengan: “Lalu Abraham berangkat dari situ ke Tanah Negeb dan ia menetap antara Kadesh dan Syur. Ia tinggal di Gerar sebagai orang asing”. Di sini tidak ada pendahuluan, sebagaimana pada Cerita A, yang merupakan suatu petunjuk terhadap suatu tempat. Ungkapan “ dari situ”, menurut Koch adalah sisipan dari penulis, untuk menunjukkan adanya hubungan di antara dua fasal. 47) Lagi pula tidak ada alasan diberikan mengapa berangkat dari tanah Negeb ke Gerar, seperti dinyatakan dalam cerita A bahwa kelaparanlah sebab keberangkatannya. Mungkin penulis sengaja menghilangkan itu, karena dia tidak suka sebutan itu berulang-ulang disebutkan. Karena itu menurut Koch ayat permulaan itu adalah berbunyi sebagai berikut: Dan terjadilah kelaparan ... Abraham berangkat ke Gerar.

Keadaan ini juga diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan. Abraham diberi izin tinggal, dan mempunyai hak hukum sebagaimana penduduk asli. Kepada Sara diberi uang tebusan karena kesalahan dan Abraham menyembuhkan Abimelekh dan keluargamya.

 Hubungan cerita ini dengan fasal 19 ( cerita Sodom dan Gomora tidak ada,  karena ibu leluhur itu tidak berperanan dalam cerita itu. Hubungannya adalah lebih dekat ke fasal 21, yang aslinya juga dari penulis E, yakni kelahiran Ishak oleh Sara istri Abraham.

Cerita C mulai dengan: “Dan terjadilah kelaparan di negeri itu. ... Sebab itu Ishak pergi ke Gerar, kepada Abimelekh, raja orang Filistin”. Seperti Cerita A, cerita ini dimulai dengan ungkapan “dan terjadilah” ( וַיְהִי -wayehi), yang sudah merupakan tradisi tentang permulaan satu bagian cerita48). Dan menurut Koch ungkapan pelengkapan “di samping kelaparan yang terjadi pada zaman Abraham, nampaknya adalah sisipan penulis di kemudian untuk menunjukkan bahwa cerita ini sepadan sepadan dengan Cerita A49).

Tetapi konklusi dari cerita ini tidak jelas. Memang dalam ayat 11 telah terkandung suatu pernyataan yang konklusif, yakni jaminan hukum terhadap Ishak dan istrinya, tetapi ay.12f juga nampaknya merupakan akhir dari cerita itu, yang menceritakan kesejahteraan dari Ishak dari berkat Allah, sekaligus latar belakang kecemburuan dari orang-orang Filistin.

Nampaknya cerita ini tidak berhubungan dengan fasal 25, karena di sana Ishak telah memperoleh anak, yakni Yakob dan Esau, sedang dalam cerita ini belum. Karena sekiranya mereka telah mempunyai anak, tidak seorang pun yang akan percaya bahwa mereka bersaudara. Mungkin seri cerita ini seperti yang ada dalam fasal 26, diambil alih begitu saja oleh penulis, dan dihubungkan dengan cerita mengenai  Yakub, bapak dari ke dua belas suku Israel, setelah Ishak dikenakan menjadi bapa dari Yakub50).

Sekarang kita kembali kepada persoalan, yakni hesed dari Sara terhadap suaminya Abraham. Terlepas dari persoalan literaris di atas, kita melihat bahwa dalam cerita B ( Kej. 20: 1-18) Allah mengungkapkan suatu siatuasi yang ajaib dan berbahaya bagi seorang raja yang bernama Abimelekh yang berkedudukan di negeri di mana Abraham mau bertempat tinggal. Sebaliknya Abraham mau melepskan Abraham dan istrinya dari situasi yang berbahaya yang dihadapi oleh mereka. Kalau kita mau memperbandingkan dengan pengalaman Abraham di Mesir yang diceritakan dalam Cerita A ( 12: 10-20), maka di sana penulis J tidak ragu-ragu melukiskan dengan terang kelakuan Abraham dengan segala kesalahan dan kelemahannya, sedangkan E  dalam Kejadian 20 ini tidak berani menyajikan kepada pembacanya kelakuan itu. Dia mau menghapuskan noda yang melumuri gambar Abaraham, dan mencoba membenarkannya. Dia melukiskan bahwa Abraham tidak membohongi Abimelekh sama sekali, karena Sara memang bukan hanya istrinya tetapi juga saudaranya. Kesalahan hanya dikenakan kepada Abimelekh sehingga dia terpaksa menebus kesalahannya, setelah dia sadar akan kesalahannya dalam perjumpaan dengan Allah. Jadi yang ditekankan oleh E dalam cerita ini ialah pembenaran seorang kafir oleh Allah dengan perantaraan orang percaya. Sedangkan J menekankan kesetiaan Allah untuk melindungi Abraham walaupun ia lemah dan kehilangan iman.

Untuk lebih matang untuk memahami hesed dari Sara ini kepada Abraham, maka kita perlu mempelajari latar-belakang kehidupan mereka pada waktu itu.  Kedatangan para pengembara yang menggembalai ternak di daerah pertanian selalu menimbulkan ketegangan di antara masyarakat. Seorang petani yang senantiasa bekerja keras mengerjakan ladangnya, mempunyai adat istiadat dan pandangan hidup yang berlainan dengan pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat.  Seorang pengembara tidak begitu keras bekerja, tetapi selalu siap sedia bekerja setiap waktu menggembalai ternaknya.  Seorang petani menganut agama kesuburan dengan menyembah dewa tanah, sedangkan penggembala menganut agama nenek moyang dengan menyembah dewa pelindung perjalanan51). Karena itu dengan sendirinya sopan santun mereka juga berbeda. Masyarakat yang menganut agama kesuburan itu sering mengadakan  persundalan suci selaku upcara keagamaan untuk mengembangkan kesuburan tanah, sedangkan bagi kaum pengembara kesusilaan perkelaminan dijunjung tinggi. Orang petani takut kepada pertikaian senjata ( bd. Kej.34),  takut hartanya dirampas oleh penggembala ( Kej. 34: 27.28), sedangkan pengembara takut kepada petani-petani bahwa wanita-wanitanya dicermari dan dinodai oleh laki-laki petani yang dianggap lebih kuat dari  mereka.

Inilah yang dibayangkan oleh Abraham ketika memasuki kota Gerar, suatu daerah pertanian yang subur dan luas. Abraham mau mengambil kebijaksanaan sendiri untuk mencegah hal-hal yang mungkin terjadi bagi dirinya, dengan menyuruh istrinya menyamar sebagai saudaranya. Dengan demikian dia dapat menyelamatkan nyawanya. Latar belakang pencegahan itu ialah bahwa orang penduduk asli itu memang tidak mau melakukan perzinahan terbuka, mereka menghindarkan diri dari perbuatan demikian, walaupun dengan istri seorang penumpang, sebab perzinahan terbuka dianggap kesalahan yang besar yang akan menimbulkan celaka bagi mereka52). Tetapi dengan membunuh penumpang tersebut, mereka tidak bimbang sama sekali supaya dengan demikian dapat mewarisi istri dari orang itu bersama dengan hartanya53). Pembunuhan dengan orang asing merupakan kejahatan yang dapat diperdamaikan dengan pembayaran uang ganti rugi.

Abraham memintakan kasih-setia dari Sara terhadap dirinya sendiri, terutama dalam situasi genting yang akan dihadapinya. Tugas utama seorang istri adalah melindungi, memelihara, serta menyenangkan suaminya, sehingga kesediaan Sara untuk mengorbankan kesuciannya tidak dapat dianggap sebagai suatu kelemahan melainkan sebagai tanda kesetiaan kepada Abraham54). Sebagaimana juga dinyatakan oleh Koch: “ ...  the Beduin women are to be devoted to their menfolk that to protect a husband’s life they would willingly lose their honour”55). Hidup seorang istri adalah untuk suaminya, sehingga dia berkorban untk keselamatan suaminya. Hesed Sara ini kita lihat juga menjadi saluran anugerah Allah terhadap suaminya. Allah menunjukkan kebenarannya  melalui pengalaman istrinya itu, sehingga kebenaran Abraham itu tidak berkuasa. Sekaligus melalui peristiwa itu Allah mempersekutukan dirinya kepada Abimelekh orang kafir itu, sehingga Abimelekh takut kepada Allah. Dengan kata lain Allah menciptakan kebenarannya di antara Abraham yang bersalah secara obyektif di hadapan Allah dan Abimelekh yang dirasakannya dia bersalah, sehingga keduanya menjadi selamat. Abraham terlepas dari perbuatan keji dari seorang kafir itu bersama istrinya, sekaligus Abimelekh terlepas dari hukuman Allah dengan pertemuannya dengan Allah melalui pribadi Abraham.

 

 

5.      Hesed seorang janda terhadap גֹאֵלׄ   (go’el  )  nya

 

Hal ini dapat kita lihat dalam kitab Ruth, terutama Ruth 3: 10. Kitab Ruth menjelaskan tentang pemeliharaan Tuhan terhadap orang-orang janda, karena di sana diperlihatkan kepada kita hidup dua orang janda yang bernama Naomi dan menantunya Ruth,   setelah banyak mengalami penderitaan dan dukacita akhirnya mendapat berkat yang besar dari Tuhan.  Kehidupan janda memang menggambarkan  hidup yang banyak dukacita dan penderitaan, yang mengharapkan perlindungan, disebabkan dia telah kehilangan tuannya yang bisa memberikan perlindungan kepadanya.

Menurut para akhli, kitab Ruth ini ditulis pada zaman sesudah pembuangan56). Hal ini didasarkan atas bahasa  kitab Ruth yang memakai bahasa Aram, dan penggolongan kitab ini ke dalam bagian kitab Ketubim dari Alkitab. Pada saat itu orang Israel telah menyadari pemeliharaan dan perlindungan Tuhan atas mereka, setelah lepasnya mereka dari pembuangan di mana mereka hidup menderita akibat hukuman Tuhan yang terjadi atas mereka. Kemungkinan sekali kitab Ruth ini dibukukan dengan menuliskan pengalaman satu keluarga kecil di Betlehem-Yehuda, yang mengalami penderitaan dan terpaksa mengungsi dari antara kaumnya ( negerinya) ke negeri orang kafir akibat bencana kelaparan yang terjadi di negerinya ( Ruth 1: 1 f). Tetapi tidak berapa lama berdiam di sana, keluarga itu mengalami penderitaan yang lebih besar lagi, karena si bapa yang bernama Elimelekh segera meninggal dunia, kemudian menyusul lagi ke dua orang anaknya yang telah kawin dengan perempuan Moab yang masih kafir itu sebelum mereka memperoleh keturunan yang bisa mempertahankan namanya. Sekarang yang tinggal hanya si istri dan ke dua orang menantunya, sehingga keluarga mereka bisa hidup terus ( 1: 11-13). Karena itu dengan pertimbangan manusia, keluarga Elimelekh sudah bisa disebutkan mati dari tengah-tengah bangsanya.

Tetapi Allah menghidupkan mereka dengan car menunjukkan kasih setia kepada mereka. Kasih setia Allah dinyatakan kepada salah seorang menantu Naomi yang bernama Ruth. Ruth tetap setia menjadi anggota keluarga suaminya, dengan kesetiaannya mengikuti ibu mertuanya Naomi kemanapun dia pergi.  Dia mau hidup bersama-sama dengan Naomi dan bersedia mengalami nasib yang sama dengan dia ( 1: 16-17). Dengan penyerahan Ruth ini, dia telah mempunyai keyakinan kepada Allah Naomi. Dia telah sampai kepada pengakuan, dan berjanji (bersumpah) di hadapan Allah bahwa dia tidak akan merobah ketetapannya.  Isi  pengakuan dan sumpah setia Ruth itu sbb:

Tetapi kata Rut: "Janganlah desak aku meninggalkan engkau dan pulang dengan tidak mengikuti engkau; sebab ke mana engkau pergi, ke situ jugalah aku pergi, dan di mana engkau bermalam, di situ jugalah aku bermalam: bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku; di mana engkau mati, aku pun mati di sana, dan di sanalah aku dikuburkan. Beginilah kiranya TUHAN menghukum aku, bahkan lebih lagi dari pada itu, jikalau sesuatu apa pun memisahkan aku dari engkau, selain dari pada maut!" (Ruth 1: 16-17).

 

Apabila kita mendalami isi pengakuan dan sumpah-setia perempuan kafir ini, kita akan beroleh kesan bahwa  Firman Tuhan dan Rohnya telah bekerja memilih seorang perempuan kafir untuk menjadi alat keselamatannya. Sumpah setia Ruth ini mempunyai arti yang sangat menentukan, sehingga dia tetap setia kawin dengan salah seorang keluarga bapa-mertuanya.  Kalau kita lebih jauh lagi memandang, bahwa peranan Ruth orang perempuan Moab ini, menunjukkan bahwa rakhmat Tuhan tidak melulu terbatas kepada bangsa Israel saja. Dan karena kesetiaannya kepada Tuhan dan bangsa Israel, Ruth diperkenankan menjadi nenek raja David, bahkan nenek Tuhan Jesus, karena namanya dicantumkan juga dalam sislsilah Yesus Kristus menurut Injil Matius ( Mat. 1: 5 ).

Kasih setia yang demikianlah yang dikatakan oleh Boas pada Ruth 3: 10:

Lalu katanya: "Diberkatilah kiranya engkau oleh TUHAN, ya anakku! Sekarang engkau menunjukkan kasihmu lebih nyata lagi dari pada yang pertama kali itu, karena engkau tidak mengejar-ngejar orang-orang muda, baik yang miskin maupun yang kaya.

 

Ini dikatakan dikatakan Boas setelah melihat kesediaan dan kerelaan Ruth membaktikan dirinya  kepada Boas, yang telah menyadari Boaslah yang menjadi go’el  (גֺאֵל ) bagi keluarganya57). Boaslah yang menjadi penebus dan penyelamat bagi dirinya terutama bagi kaumnya. Perbuatan Ruth ini disambut  dengan rasa terbuka dan gembira oleh Boas, seolah-olah menunjukkan penyambutan Allah yang sangat terbuka dan gembira terhadap orang yang menyerahkan dirinya dengan sebulat hatinya kepada Allah; dan Boas memberkati Ruth sebagaimana Allah memberkati orang-orang yang merebahkan dirinya di hadapannya. Sudah jelas bagi kita bahwa hesed itu adalah kesediaan dan kerelaan menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada siapa yang dipercayai dapat memberikan pertolongan untuk menebus dan menyelamatkan hidupnya.

 

6.     Hesed di antara tuan rumah dan tamu (orang penumpang)

 

Kebiasaan suka bertamu kita jumpai di tengah-tengah keluarga  Israel, istimewa pada masa nomaden.  Sikap suka bertamu adalah ciri khas persekutuan yang baik. Perkunjungan yang timbal balik antara keluarga yang satu dan yang lain, menunjukkan hubungan yang erat, yang diikat oleh persaudaraan dan persahabatan. Apabila keluarga yang berdekatan tidak saling mengunjungi, maka seolah-olah di antara mereka ada permusuhan.

Suatu keluarga yang banyak dikunjungi oleh tamu atau keluarga yang lain biasanya dikenal sebagai orang mulia dan bertuah58).

Bagi orang-orang pengembara soal bertamu sangat diperhatikan. Hukum bertamu diatur oleh mereka, karena hal itu sangat penting bagi orang-orang yang berpindah-pindah sepanjang tahun. Tidak begitu mudah mencari tempat di gurun pasir yang jarang didiami manusia.  Karena itulah mereka menganggap tamu dan tugas bertamu itu suci dan mulia59).

Tamu sering juga dianggap sebagai utusan Allah, atau penampakan dari Allah, seperti yang pernah terjadi pada Abraham dalam Kej. 18: 1ff. Karena itu harus berhati-hati dan menunjukkan rasa hormat dan mulia terhadap tamu ( Ke. 18: 2-7; 24: 28-32). Banyak contoh yang kita peroleh dari  kitab Perjanjian Lama, menunjukkan sikap yang demikian. Lot melindungi tamunya dari perlakuan yang tidak wajar dari masyarakat Sodom yang ingin memperkosa tamunya ( Kej. 19: 1-18)60).

Contoh yang lain ialah Yosua 2: 12-12-14, di mana Rahab ( seorang perempuan sundal ) bersikap ramah ( hesed) terhadap ke dua orang pengintai dari bangsa Isrrael ke negrinya di Yeriko, sebelum Israel memasuki negeri itu. Rahab telah meyelamatkan mereka dari rencana raja untuk membinasakan ke dua orang itu. Rencana itu telah digagalkan oleh Yahwe dengan memakai Rahab sebagai pelindung. Perbuatan Rahab itu pasti didorong oleh keyakinannya, bahwa bagaimana sekalipun bangsa Israel akan menguasai negerinya dan seluruh bangsanya, setelah dia mendengar berita tentang perbuatan Yahwe di Laut Teberau, dan telah mengalahkan raja Sihon dan raja Og ( Bil. 21: 21-25), yang termasuk musuh perintang  perjalanan Israel. Hesed Rahab nampak dari permohonannya:

 

“Maka sekarang, bersumpahlah kiranya demi TUHAN, bahwa karena aku telah berlaku ramah terhadapmu, kamu juga akan berlaku ramah terhadap kaum keluargaku; dan berikanlah kepadaku suatu tanda yang dapat dipercaya, bahwa kamu akan membiarkan hidup ayah dan ibuku, saudara-saudaraku yang laki-laki dan yang perempuan dan semua orang-orang mereka dan bahwa kamu akan menyelamatkan nyawa kami dari maut." ( Yosua 2: 12-13).

 

Dari sini dapat dilihat, bahwa Rahab orang kafir itu telah mengaku bahwa Yahwe, Allah bangsa Israel, itulah Allah yang patut dipuji dan ditakuti, yang berkuasa juga untuk menghancurkan raja dan bangsanya. Karena itu hanya ada satu jalan bagi Rahab untuk mencari keselamatan bagi dia dan keluarganya, yakni berbuat kasih-setia (keramahan ) kepada ke dua orang pengintai, suruhan bangsa Allah Yahwe itu. Dengan berbuat demikian dia mengharapkan perbuatan yang sama dari pihak pengintai itu. Dia percaya bahwa hal itu akan diperbuat mereka apabila mereka telah  bersumpah demi Yahwe. Ke dua orang itu tidak mengabaikan hesed dari Rahab itu, karena perbuatan itu bukan saja menyelamatkan pribadi mereka, tetapi sudah merupakan perbuatan yang berasal dari Allah untuk kelangsungan rencana Allah. Karena itu mereka bersedia bersumpah demi nama Yahwe sebagaimana  dimintakan oleh  Rahab. Mereka membuat hidup mereka sebagai jaminan leselamatan Rahab dan keluarganya. Dengan kata lain, apabila mereka mengingkari sumpahnya, Jahwe sendirilah yang membunuh mereka ( ay. 14 ).

Contoh yang sama kita jumpai dalam Kejadian 21: 23:

           

“Oleh sebab itu, bersumpahlah kepadaku di sini demi Allah, bahwa engkau tidak akan berlaku curang kepadaku, atau kepada anak-anakku, atau kepada cucu-cicitku; sesuai dengan persahabatan yang kulakukan kepadamu, demikianlah harus engkau berlaku kepadaku dan kepada negeri yang kau tinggali sebagai orang asing."

 

                                                Walaupun telah ada perbuatan yang baik dan ramah  antara Abimelekh dan Abraham seperti yang diberitakan dalam Kejadian 20: 7.14-15.17, namun Abimelekh belum merasa aman dan sentosa sampai di situ. Dia takut setelah berjumpa dengan kekuasaan Allah, sekiranya kuasa sakti Allah Abraham itu dipergunakan untuk melawan dan menumpas dia serta seluruh bangsa dari negerinya. Doa syafaat Abraham dan penyembuhan yang telah dilakukan kepada mereka ( Ke. 20: 17-18), belum cukup meyakinkan dia akan kesetiaan Abraham terhadapnya. Abimelekh masih menuntut sumpah-setia Abraham, bahwa  dia tidak akan berusaha mengadakan perlawanan dan pemberontakan  terhadap penduduk negeri itu turun temurun, melainkan harus turut mencari kesejahteraan dan keselamatan sebagaimana telah dia perbuat kepada Abraham.  Abimelekh telah menunjukkan perlakuan yang baik, ketika dia gagal merampas istri Abraham dan mengembalikannya dengan rasa menyesal, kemudian memberikan kesejahteraan berupa harta yang cukup banyak dan memberikan izin untuk bertempat tinggal di sana (Kej. 20: 14-16). Inilah dasar Abimelekh untuk memohon pertolongan Abraham, dengan kata lain mengharapkan kesejahteraan dan keselamatan hidup dari Allah Abraham, melalui sumpah-setia Abraham. Hal ini memang dikabulkan oleh Abraham kepada orang yang membuka pintu bagi dia ( ay. 24). Orang percaya bukanlah pemberontak dan gerombolan. Tetapi dengan hati yang jujur dan kemauan yang murni mengakui tata hukum di negeri di mana dia singgah sebagai orang penumpang. Abraham bersumpah-setia berarti:  dia mau mengakui  dan menghormati kedaulatan Abimelekh selaku raja.

Sekarang kita mau melihat persoalan dalam Kejadian 19: 19:

                                               

“Sungguhlah hambamu ini telah dikaruniai belas kasihan di hadapanmu, dan tuanku telah berbuat kemurahan besar kepadaku dengan memelihara hidupku, tetapi jika aku harus lari ke pegunungan, pastilah aku akan tersusul oleh bencana itu, sehingga matilah aku”.

 

Ayat ini termasuk berita di dalam pembinasaan kota Sodom dan penyelamatan Allah kepada Lot ( Kej. 19: 1-29). Cerita ini termasuk karangan dari J, yang jelas dicirikan dengan nama Yahwe  yang beberapa kali dijumpai di dalamnya ( ay. 13 (2x); ay. 24 (2x) dan ay. 27 ). Cerita tentang kota Sodom ini telah lama dikenal  sebagai  suatu cerita hikayat ( saga ) sebelum zamannya penulis 61). Menurut Lempp, cerita ini merupakan cerita sebab ( etiologi ) yang hendak menerangkan bagaimana  terjadinya daerah sekitar ujung selatan Laut Mati, dengan perantaraan kebakaran raksasa, karena menurut cerita ini seluruh udara menyala seperti api62). Tetapi etiologi ini juga  hendak menerangkan alasan rohani mengapa satu kota bersama-sama  dengan masyarakatnya yang makmur dan kaya-raya, hidup bersenang-senang, dihapuskan begitu saja dengan bencana yang sangat ngeri dari permukaan bumi ini: yaitu karena mengabaikan Allah dan karena penghianatan terhadap kemauan Allah oleh penduduk negeri itu. Kita boleh melihat bahwa bencana itu tidak diterangkan secara alamiah ( kebetulan terjadi ), melainkan secara rohaniah semata-mata (ay.13.14.24). Karena itu pembinasaan terhadap kota Sodom  adalah merupakan hukuman dan balasan Allah atas dosa masyarakat itu.

Apabilla kita melihat ay. 1 dari fasal ini, akan jelas bagi kita bahwa cerita ini adalah lanjutan dari cerita perkunjungan Jahwe  kepada Abraham melalui tiga orang tamunya itu ( 18: 1-33), di mana Abraham turut merundingkan bersama ke tiga orang tamunya itu tentang pembinasaan kota Sodom. Penulis yang sama, J, juga telah menerangkan bahwa akibat perbuatan yang ramah dengan penuh sopan-santun kepada tamunya  yang dulunya belum dikenal, tetapi ternyata adalah Tuhan, dia telah beroleh berita keselamatan dari Tuhan.

Selanjutnya dalam Kejadian 19 ini Lot dinyatakan sebagai orang yang masih taat kepada kewajiban hukum  penerimaan seorang tamu orang asing. Bagi Lot, hak-hak tamu masih suci, sehingga dia memperjuangkan hak mereka.  Sebaliknya penduduk kota Sodom itu, dinyatakan bertindak tidak wajar terhadap tamu. Mereka malah mau memperkosa mereka. Mereka menuntut kepada Lot supaya mereka “mengenal” tamu itu (ay.5). Pengertian “mengenal” di sini yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani  יָדַע  (yada), juga menunjukkan pengenalan perkelaminan atau persetubuhan63). Masyarakat Sodom sudah melakukan pemerkosaan ( homoseks), nyata dari sikapnya terhadap tamu itu. Dengan kata lain, mereka bukan hanya melanggar hak azasi seorang tamu, malah telah menghina kesesamaan manusia. Di dalam Taurat Israel, persetubuhan sekelamin dinyatakan sebagai kekejian atau “kejemuan” ( Im. 18: 22; 20: 13.23),yang harus diganjar dengan hukuman mati. Penduduk Sodom tidak memberi jaminan perlindungan hukum yang memelihara nyawa, tubuh dan hak kebebasannya.  Tuntutan perikemanusiaan adalah kesamaan hukum ( Kel. 12: 49; Im. 19: 34; 24: 22; Bil. 9: 14; 15.15.16.29), yakni keselamatan orang asing. Ini termasuk hukum keadilan Allah. Sesuai dengan pendapat Chr. Barth, yang mengatakan: “Melakukan kasih-setia adalah inti dari keadilan Allah, bukan kemurahan istimewa di luar  keadilan”64).  Dalam ayat tadi Septuaginta, menerjemahkan  hesed dengan  “δικαιοσυνη” (diakaiosune)  atau  keadilan65). Inilah kasih-setia Allah  yakni bertindak sesuai dengan hukum keadilan, yaitu menghukum orang yang melanggar hukum keadilan itu serta melepaskan orang yang masih setia kepadanya.

Cerita theophani Allah berupa tamu rupanya sangat menarik bagi si J. Dia mau mengolah dan mempergunakan cerita yang kuno itu untuk bersaksi kepada Yahwe pada zamannya, yakni zaman kerajaan David yang makmur dan gilang-gemilang itu. Dia mau menyaksikan, bahwa Allah bukan hanya hadir dalam tempat ibadat, tetapi juga bertamu dengan manusia dalam hidup sehari-hari.

 

 

 

 

 

 

 

III.   ARTI DAN MAKNA HESED  DALAM PERSEKUTUAN SOSIAL YANG LEBIH LUAS

 

1.    Hesed  di antara suku dan suku ( bangsa dan bangsa ) 

 

Sudah merupakan tabiat manusia ada kecenderungan untuk saling menunjukkan kekuasaan, sehingga mau merebut hak milik atau barang kepunyaan orang lain. Dia menunjukkan kekuasaannya untuk merebut daerah kekuasaan orang  lain. Sifat inilah yang mengakibatkan sering terjadi peperangan antar suku dengan suku atau antar bangsa dengan bangsa yang lain. Karena itu setiap suku mempunyai usaha mempertahankan sukunya masing-masing, atau berusaha untuk mencari perlindungannya. Kota atau kampung tempat tinggal dilindungi dengan benteng yang kuat, supaya serangan dari suku atau daerah yang lain dapat digagalkan. Anak laki-laki dilatih untuk berperang dengan memakai perlengkapan senjata.

Usaha yang lain yang diperbuat untuk mempertahankan kekuasaan ialah bersekutu dengan suku-suku yang lain yang bersedia memberikan bantuannya. Pada suku-suku primitif persekutuan ini biasanya diteguhkan dengan upacara sumpah setia. Maka apabila suku sepersekutuannya terlibat dalam perang, sebagaimana sering terjadi bagi suku-suku yang belum beradab, maka seluruh pasukan suku itu akan dikerahkan untuk memberi bantuan.

Apabila kita melihat 1 Sam. 15: 6, maka kita akan memperoleh kesan yang sama:

“Berkatalah Saul kepada orang Keni: "Berangkatlah, menjauhlah, pergilah dari tengah-tengah orang Amalek, supaya jangan kulenyapkan kamu bersama-sama dengan mereka. Bukankah kamu telah menunjukkan persahabatanmu kepada semua orang Israel, ketika mereka pergi dari Mesir?" Sesudah itu menjauhlah orang Keni dari tengah-tengah orang Amalek”.

                               

                Setelah Saul diurapi menjadi raja di tengah-tengah orang Israel, maka Saul diperintahkan Tuhan melalui Samuel untuk menumpas bangsa Amalek, sebagai hukum pembalasan Tuhan kepada mereka, karena perbuatan mereka yang menghalangi perjalanan orang Israel dari Mesir ( ay.2 ). Orang Amalek adalah suatu bangsa yang mengembara di sebelah Selatan Yehuda, dan bangsa inilah bangsa kafir yang pertama sekali menyerang Israel setelah kelepasan mereka dari Mesir, karena berusaha menghianati perjalanan itu. Mereka adalah salah satu dari suku Beduin.

            Allah tidak melupakan peristiwa itu, sehingga Dia tidak akan membiarkan orang Amalek hidup terus, mereka harus diperangi turun temurun ( Kel. 17: 8-16). Itulah sebabnya Allah memerintahkan kepada Saul untuk menumpas orang Amalek, dan tidak membiarkan mereka hidup seorang pun, beserta segala harta miliknya66). Rencana Allah ialah untuk mendirikan satu Kerajaan Allah, yang di dalamnya berdiam umat yang dipilihnya sendiri. Jadi barang siapa yang menghalangi rencana itu, baik yang mengancam bangsa Israel  sebagai alat pelaksana, harus disingkirkan.           

            Di tengah-tengah suku Amalek itu berdiam suku Keni, sahabat atau sekutu orang Israel. Orang Keni adalah satu kelompok tukang besi yang berjalan terus-menerus melintasi daerah yang menghasilkan barang logam67).  Mereka berasal dari keturunan Midian, dan memajukan usahanya yang luar biasa dalam pekerjaan barang-barang logam. Pada mulanya mereka berdiam di sebelah Barat Daya Laut Mati, dan di sebelah Tenggara kota Hebron (bd. Hak. 1: 16). Tetapi mereka juga sering berpindah-pindah, sehingga dalam kitab Perjanjian Lama pengalaman mereka sering digambarkan hidup dalam berbagai tempat. Selain dari daerah sebelah Tenggara Hebron, mereka juga dijumpai di Naphtali  (Hak. 4: 11), di sebelah Selatan Yehuda tarikh raja Saul dan David ( 1 Sam. 15: 6; 27: 10). Heber yang dikatakan dalam Hak. 4: 11; 5: 24 adalah orang Keni, demikian juga orang-orang Rekhabit dalam 1 Taw. 2: 53 adalah turunan orang Keni.

            Dalam ayat tadi (1 Sam.13: 6) yang dikutip di atas, dinyatakan oleh Saul bahwa orang Keni adalah sahabat Israel yang telah menunjukkan kasih-setianya kepada mereka. Kasih-setia yang dimaksud adalah bahwa orang Keni termasuk orang yang terus membantu orang Israel dalam perjalanan di padang pasir itu. Hobab anak Rehuel, mertua dari Musa adalah orang Keni yang menjadi penunjuk jalan bagi bangsa Israel dalam pengembaraan itu ( Bil. 10: 29.32; Hak. 1: 16); dialah yang mengenal jalan-jalan yang biasa dilewati di padang pasir itu, sehingga orang Israel  bisa berjalan melalui jalan yang dekat dengan oase-oase. Karena perbuatan kebaikan ini maka Musa mengajak Hobab dan seluruh keluarganya untuk turut beserta mereka, supaya Tuhan yang berbuat baik kepada Israel akan berbuat kebaikan juga kepada orang Keni. Mereka sudah diikat oleh perbuatan kebaikan Tuhan.

            Pertolongan orang Keni kepada orang Israel dalam rangka perjalanan keselamatan itu, dianggap sebagai perbuatan hesed.  Kemungkinan besar, di dalam tindakan hesed itu, mereka juga bersedia memperlengkapi persenjataan Israel, karena mereka adalah tukang besi, walaupun hal itu tidak dinyatakan di dalam kitab Perjanjian Lama. Kasih-setia itu tidak akan pernah dilupakan oleh bangsa Israel, karena hal itu sudah dipesankan, baik kepada raja-raja, maupun kepada seluruh orang Israel. Melupakan kasih-setia itu berarti melupakan perbuatan kebaikan Tuhan. Karena itulah maka orang Keni yang berdiam di tengah-tengah orang Amalek, diselamatkan oleh raja Saul, supaya mereka jangan turut binasa akibat perlawanan Israel terhadap Amalek. Allah hanya menumpas orang-orang yang menghalangai perbuatannya, tetapi menghidupkan orang-orang yang turut membantu pekerjaan penyelamatan terhadap umatnya.

 

 

2.             Hesed dari orang yang bersaudara / bersahabat dalam ikatan perjanjian

 

W.R. Smith menuliskan: “ Brotherhood in the Semitic tounges is a very loose word; even covenat relations may make men brothers”68). Maksudnya bahwa persaudaraan itu dalam bahasa Semitic tidak hanya mengandung arti yang terbatas, bukan hanya yang sekeluarga dalam hubungan darah, tetapi perjanjian bisa juga mengikat orang menjadi bersaudara.

Perjanjian dalam ikatan perjanjian biasanya lebih kuat dari pada persaudaraan sedarah, karena siapa yang tidak setia ( melanggar) terhadap isi perjanjian itu akan terkutuk oleh Allah yang turut menjadi saksi dalam perjanjian itu69). Kita lihat misalnya dalam Amos 1: 9, bangsa Tirus akan kena kutuk oleh Allah, karena bangsa itu telah melupakan persaudaraan dengan Israel, Mereka menyerahkan ( menghianati) Israel menjadi tertawan kepada bangsa Edom.

Rupanya bukan hanya di tengah-tengah Israel dijumpai perjanjian persaudaraan ini, juga ditengah-tengah suku Batak. Banyak marga-marga yang sudah tidak dalam garis keturunan lagi menjadi bersaudara ( si sada anak, si sada boru ) karena ikatan “padan” ( sumpah perjanjian ) yang diperbuat oleh nenek (ompu) mereka. Anggota dari marga dalam ikatan “padan” itu sangat takut untuk melanggarnya, karena hal itu dianggap akan mendatangkan hukuman (kutukan) dari “sumangot ni ompu” ( roh nenek) dan “sombaon” ( roh nenek-moyang) yang sudah diilahikan sebagai roh penguasa setempat) yang kepadanya isi dari perjanjian itu “dimangmangkon” ( disumpahkan).

Persaudaraan yang diikat oleh perjanjian ini boleh kita lihat dalam 1 Sam. 20: 8.14-15, yaitu perjanjian persaudaraan antara David dan Yonatan.  Dalam  1 Sam. 20: 8, disebut:

“Jika demikian, tunjukkanlah kesetiaanmu kepada hambamu ini, sebab engkau telah mengikat perjanjian di hadapan TUHAN dengan hambamu ini. Tetapi jika ada kesalahan padaku, engkau sendirilah membunuh aku. Mengapa engkau harus menyerahkan aku kepada ayahmu?"

 

Dalam ayat ini David memohon kasih-setia  Yonatan. Dalam 1 Sam. 18: 3, Yonatan telah mengikat perjanjian dengan David, karena hatinya telah berpadu dengan hati David, sehingga mereka menjadi sejiwa dan seperasaan ( 1 Sam. 18: 1 f). Perjanjian yang dibuat oleh Yonatan ini sangat menentukan sekali nantinya tentang nasib David, sebagai raja yang telah dipilih Tuhan atas umatnya.

Setelah Saul ditolak oleh Tuhan sebagai raja di Israel, karena Saul tidak patuh terhadap perintah Tuhan, bahkan berusaha menghalangi rencananya ( 1 Sam. 15), maka Tuhan telah  memilih seorang yang berkenan kepada hatinya ( 1 sam. 13: 14), yakni David anak Isai, seorang penggembala di Betlehem ( 1 sam.16). Setelah Saul ditolak oleh Tuhan dan David telah diurapi menjadi raja (1Sam. 16: 15), maka roh Tuhan yang berkuasa atasnya, kini menghindar dari padanya, dan berpindah kepada David. Karena kuasa Roh Tuhan telah berpindah dari Saul, maka iapun segera diganggu oleh roh jahat yang disebutkan berasal dari Tuhan (1 Sam.16: 14). Gejala apa yang membuat orang menarik kesimpulan bahwa Saul diganggu oleh roh jahat tidak diberitahukan.  Barangkali secara psikhologis  dapat dikatakan  bahwa Saul karena telah ditolak , dan karena perhubungannya dengan Samuuel telah terputus, mungkin makin murung keadaannya. Tetapi disebutkan bahwa roh jahat itu adalah berasal dari Tuhan. Kita tidak perlu heran bahwa roh jahat yang mengganggu Saul itu disebutkan berasal dari Tuhan, karena dalam kitab yag lama orang Israel, segala sesuatu dianggap berasal dari Tuhan. Barulah setelah pembuangan, orang Israel sadar bahwa ada banyak serangan dan gangguan dari pihak yang hendak mengacaukan pekerjaan Allah dan hendak menyesatkan bangsanya yang kudus itu70).

Akibat gangguan roh jahat inilah, maka penasehat raja mengusulkan untuk memperoleh seorang pemain kecapi yang bekerja sebagai penghiburnya (1 Sam. 16: 15). Usul ini diterima dengan baik, hingga David yang sudah terkenal sebagai pemaian kecapi yang baik, yang tidak diketahuinya sudah diurapi oleh Allah menjadi penggantinya, tinggal di istana sebagai pemain kecapi raja.

Tetapi dengan melihat perkembangan pengaruh David di tengah-tengah umat Israel, maka Saul semakin hari semakin membenci David. Saul semakin cemburu kepada David, yang puncak kebenciannya nampak dari usahanya mau membunuh David ( 1 Sam. 19). Rencana pembunuhan itu tidak bisa lagi disembunyikan, bahkan untuk itu dia telah meminta anaknya Yonatan. Tetapi Yonatan dan David telah mempunyai hubungan persahabatan yang diikat oleh kasih dan perjanjian. Dia sudah lebih terikat kepada David daripada kepada ayahnya. Karena dia telah mengetahui dengan jelas rencana ayahnya terhadap David, maka Yonatan berusaha menyelamatkan David, misalnya dengan menyuruh David bersembunyi di suatu tempat perlindungan, kemudian dia berusaha untuk mengubah fikiran ayahnya, dan melaporkannya kepada David ( 1 Sam. 19: 1-3).

Karena David terpaksa harus meninggalkan istana sementara waktu, maka dia harus mengembara berpisah dari sahabatnya itu. Saat-saat inilah peranan Yonatan sangat menentukan. Ia terpaksa memilih kepada siapa dia harus memihak, kepada ayah atau sahabatnya. Kalau ia memihak kepada ayahnya berarti dia sudah menghianati sumpahnya, sekaligus akan mendatangkan maut bagi dirinya. Dan kalau dia memihak kepada David, maka dia sudah tidak menghormati orang tuanya lagi. Pada saat inilah David memintakan ketegasan dari Yonatan, agar Yonatan menunjukkan hesed-nya  kepadanya.

Memang Yonatan telah menunjukkan hesed-nya kepada David, setelah mereka mengikat perjanjian mereka, dengan menyerahkan pakaian istananya sendiri, yakni baju perang dan alat-alat persenjataan perang kepada David. Pastilah pakaian itu warisan dari ayahnya untuk dipakainya sebagai pakaian seorang raja, karena dialah yang diharapkan oleh ayahnya menjadi raja sebagai gantinya. Karena itu pemberian pakaian dan perlengkapan ini telah mempunyai arti yang sangat dalam sekali, yang mungkin dia sendiri tidak memahaminya. Tetapi dari sana telah nampak kepada kita, bahwa Yonatan telah menyerahkan segenap dirinya, apa yang berharga bagi dirinya kepada David saudaranya seperjanjian itu.  Yonatan benar-benar telah meniadakan dan mengorbankan dirinya demi perjanjian yang diikatnya. Menurut Keil & Delitzsch, perjanjian persahabatan David  dengan Yonatan adalah suatu perjanjian Yahwe, karena diikat dengan kehadiran Yahwe di dalamnya71). Dengan demikian kasih-setia Yonatan bukanlah hanya kepada David secara pribadi, tetapi juga kasih-setia kepada Yahwe, dalam arti kasih-setia kepada rencana Tuhan terhadap umatnya. Tetapi rasanya David belum merasa puas  dengan itu. Dia mau membuktikan hesed Yonatan yang lebih mendalam lagi, dengan mengucapkan suatu pernyataan. “Tetapi jika ada kesalahan padaku, engkau sendirilah membunuh aku; mengapa engkau harus menyerahkan aku kepada ayahmu?”. Di sini David mau menggali isi hati yang sebenarnya lagi dari Yonatan. Dia tidak memaksakan Yonatan untuk memihak kepadanya, karena dia menyadari juga bahwa dia tidak luput dari kesalahan. Mungkin dia menyadari bahwa tindakannya itu sudah terlampau drastis sekali, seolah-olah mau merampas  dan memaksakan Yonatan untuk memaksakan hak kerajaan itu dari padanya. Inilah yang dinyatakan kepada Yonatan, sehingga dia mempertimbangkan, dan kalau memang kesalahan itu  jatuh kepada David, biarlah Yonatan sahabatnya yang dia telah percayai untuk menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Pertimbangan Yonatan sudah dipercayainya sebagai pertimbangan yang adil, sedangkan Saul ayah Yonatan sudah diragukan keadilannya, sehingga David melarang Yonatan untuk menyerahkan dia kepada  Saul.

Kasih-setia, bukanlah kasih-setia kalau masih bisa dipengaruhi oleh godaan-godaan yang menguntungkan diri sendiri, sehingga ingkar akan janjinya.  Yonatan memang telah menyerahkan dirinya untuk kepentingan Allah. Sekali lagi ia memperbaharui perjanjiannya itu agar sahabatnya benar-benar yakni akan kesetiaannya.  Setiap rencana  penyelamatan yang dikerjakan oleh Yonatan terhadap David disampaikan  melalui “sumpah-setia”. Yonatan bersumpah untuk menghianati rencana ayahnya  yang jahat itu, supaya David “berjalan dengan selamat” ( 1 Sam. 20: 13).  Yonatan bersumpah demi Yahwe, Allah Israel yang berarti apa yang diucapkannya itu mempunyai arti yang sangat luar biasa pentingnya, karena apa yang akan dikerjakannya adalah demi Yahwe, Allah Israel, Allah yang hidup. Dalam pada itu Yonatan benar-benar yakin,  bahwa ayahnya adalah salah, dan Davidlah yang benar, sehingga Tuhan akan menyertai David, berjalan syalom, wlaupun di tengah-tengah kesusahan dan penderitaan72).

Suatu hal yang menarik bagi kita ialah Yonatan dalam 1 Sam. 20: 14-16, mengharapkan kasih-setia yang sama terhadap dia dan keluarganya:

 

“Jika aku masih hidup, bukankah engkau akan menunjukkan kepadaku kasih setia TUHAN? Tetapi jika aku sudah mati, janganlah engkau memutuskan kasih setiamu terhadap keturunanku sampai selamanya. Dan apabila TUHAN melenyapkan setiap orang dari musuh Daud dari muka bumi, janganlah nama Yonatan terhapus dari keturunan Daud, melainkan kiranya TUHAN menuntut balas dari pada musuh-musuh Daud."

 

Sebenarnya  dalam teks Massora tentang ayat 14.15 ini telah menimbulkan persoalan  untuk menerjemahkannya. Apa yang dibuat dalam teks Massora sangat sulit diterjemahkan, terutama mengenai kata yang sampai tiga kali kita jumpai dalam ayat 14 dan dua kali dalam ayat 15, yakni kata   וְלּא  ( welo ). Terjemahan yang diperbuat oleh Luther adalah kira-kira demikian: “Tetapi jika aku tidak melakukan hal itu, janganlah tunjukkan kasih-setia kepadaku, karena aku hidup, walaupun jika aku mati, jangan” ( ay. 15)73). Tetapi terjemahan ini membingungkan kita, karena seolah-olah masih merupakan sumpah dari Yonatan74). Ini bukan sumpah Yonatan, tetapi sudah merupakan permohonan dari dia, supaya sebaliknya David menunjukkan hesed Yahwe kepadanya,  baik dia masih hidup, maupun dia sudah mati, yakni kepada keluarganya, apabila Yahwe telah melenyapkan musuh David dari muka bumi. Ucapan “apabila Yahwe melenyapkan” dalam ayat 15 b telah menggambarkan dengan jelas keyakinan Yonatan bahwa Yahwe akan memberikan kemenangan atas seluruh seluruh David75).  Dari ucapan Yonatan dalam ayat 13b pun “Tuhan kiranya bersama engkau, seperti ia bersama ayahku dahulu”, Yonatan telah melihat keseimbangan di antara Saul dan David, bahkan di dalamnya sudah ada bayangan bahwa Davidlah yang akan menggantikan ayahnya. Akibatanya kini hati Yonatan diganggu oleh dugaan yang suram, karena apabila terjadi perubahan dalam kerajaan itu dia telah menduga akan timbullah penderitaan yang hebat untuk keluarganya yang kini masih keluarga yang berkuasa, sebentar lagi akan menjadi musuh David.  Jika Saul memperlakukan David sebagai musuh, bahkan berusaha untuk membunuhnya, bukankah demikian di kemudian hari apabila David telah menjadi raja, Saul dan keluarganya akan diperlakukan sebagai musuhnya? Karena itulah Yonatan membuka isi hatinya yang sebenarnya, kehancuran hatinya dengan mengharapkan hesed yang sama sebagaimana dia telakukan dan sedang ia lakukan, dari pada David.  Yonatan yang sebelumnya menunjukkan kasih-setia kepada David untuk menyelamatkannya, sekarang menjadi sebagai orang yang membutuhkan penyelamatan dari David. Yonatan  menyuruh David bersumpah untuk itu sebagaimana ia telah perbuat (ay.16.17). Realisasi dari kasih-setia David ini dapat kita  dalam 2 Sam.9: 1.3.7:

 

“Berkatalah Daud: "Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasih-setiaku kepadanya oleh karena Yonatan."  ...Kemudian berkatalah raja: "Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih-setia  yang dari Allah." Lalu berkatalah Ziba kepada raja: "Masih ada seorang anak laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya." ... Kemudian berkatalah Daud kepadanya: "Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasih-setiaku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku."

 

Fasal 9 dari kitab 2 Samuel ini menandai berita kesuksesan David setelah dia duduk dalam tahta kerajaan.  Dia mau menunjukkan kesetiannya kepada raja atau keluarga raja yang baru jatuh, dan membalaskan kasih-setia Yonatan sebagaimana  ia telah sumpahkan. Tentang kecelakaan yang terjadi pada keluarga Saul  baru dapat dimengerti apabila kita melihat 2 Sam.21. Di sana dikatakan bahwa David menyerahkan tujuh orang keturunan Saul kepada orang-orang Gibeon, sebagai pembayaran hutang darah keluarga Saul kepada mereka. Hutang darah ini ialah pelanggaran perjanjian persahabatan Israel dengan orang Gibeon, pada permulaan Israel memasuki Tanah Kanan ( Yus. 9: 15). Saul membunuh orang-orang Gibeon, yang karenanya Tuhan menjadi murka kepada orang Israel, berupa bala kelaparan yang besar selama tiga tahun ( 2 Sam. 21:1 ff). Karena Saul sudah meninggal dunia ( 1 Sam. 31), dia tidak bisa lagi untuk membetulkan kesalahannya; sehingga untuk memperdamaikan Tuhan, keluarga Saullah yang bertanggung-jawab untuk itu.  Itulah sebabnya orang-orang Gibeon memintakan tujuh orang keturunan Saul yang laki-laki, untuk dipersembahkan kepada Tuhan, sehingga dengan demikian Tuhan telah diperdamaikan. Angka tujuh adalah angka kudus atau angka sempurna bagi Israel ( bd. Kej. 33: 5; Im. 4: 6; Bil. 23: 1), sehingga dengan mengorbankan tujuh orang anak laki-laki Saul itu, maka korban itu menjadi genap di hadapan Tuhan.

Peristiwa fasal 21, agaknya telah berlangsung sebelum fasal 9 ini, tetapi dalam susunan redaktur di tempatkan di kemudian, bersama tambahan-tambahan lain mulai fasal 2176). Kalau begitu apakah dengan persitiwa fasal 21 itu, David telah melanggar sumpahnya  kepada Yonatan? Memang dalam fasal 16: 7f, David dikutuk oleh salah seorang dari keluarga Saul yang masih dekat yang bernama Shimei, dan menuduh David telah menumpahkan darah keluarga Saul.  Tidak tentu apakah kutukan itu berkenaan dengan peristiwa fasal 21 itu.  Tindakan David pada fasal 21, tidak bisa disebukan penumpahan darah belaka. Tindakan itu adalah perbuatan kudus. David mau memperdamaikan Israel dengan orang-orang dengan Gibeon, dengan membetulkan perlakuan yang salah dari Saul terhadap orang Gibeon itu, di mana Saul mau menghapuskan orang-orang Gibeon dari orang Israel ( 2 Sam. 21: 5).

Sebenarnya orang-orang Gibeon adalah membawa berkat di tengah-tengah orang Israel. Orang Gibeon dahulu melakukan pelayanan kudus bagi orang Israel. Dalam 1 Raja 3: 4, orang Gibeon mempunyai mezbah besar, di mana Salomo pernah mengorbankan seribu korban bakaran, dan di sana jugalah Tuhan menyatakan diri kepada raja melalui mimpi. Dan menurut 2 Taw. 1: 3, kemah perhimpunan Allah didirikan di atas bukit Gibeon. Karena itu kita boleh mengambil kesimpulan bahwa sebagian orang-orang Gibeon ini tentu saja memegang jabatan pelayanan pada kebaktian itu.  Hal ini diteguhkan juga oleh penjelasan Yus. 9: 27, di mana di sana ditentukan oleh Yosua pekerjaan yang ada sangkut pautnya untuk orang-orang Gibeon, di dalam rumah Allah. Selanjutnya ada penafsir yang menduga bahwa pembunuhan imam-imam di Nob, suatu tempat yang tidak jauh dari Gibeon, oleh Saul ( 1 Sam. 22: 6-23), maka kebaktian dan pelayanan kudus yang dilaksanakan  oleh orang-orang Gibeon  di atas bukit Gibeon dihentikan, yang baru mulai kembali pada masa David77). Kemungkinan besar karena berhentinya pelayanan kudus itu, maka berkat Allah berhenti bagi orang Israel dan diganti dengan malapetaka, sebagai hukuman bagi mereka.

Tindakan David ini adalah tindakan yang bijaksana yang berdasarkan kehendak Tuhan. Karena bagaimana sekalipun, perjanjian dengan Yonatan bukanlah suatu tindakan di luar hukum keadilan, melainkan di dalam keadilan. Walaupun David telah berjanji untuk menyelamatkan keluarga Yonatan, kalau tindakan mereka tidak bisa lagi dibela dengan hukum keadilan, maka demi keadilan dan kesejahteraan umat Israel, mereka harus dihukum.  Lagi pula David tidak dinyatakan menghapuskan keluarga Saul atau Yonatan sama sekali, karena dalam fasal 9 tadi David disebutkan mengingat perjanjiannya dengan Yonatan. Itulah sebabnya David menanyakan apakah masih ada orang yang tertinggal dari anak-anak Saul. Dia benar-benar mau menunjukkan hesed kepada keluarga Saul yang masih tertinggal itu. Karena hal itu sangat penting bagi dia, maka sampai tiga kali dia mengemukakan maksudnya itu ( ay. 1.3.7).Dari pertanyaan David tadi, “masih adakah orang-orang yang tertinggal dari keluarga Saul?”, kita dapat menduga bahwa David telah khawatir, bahwa keluarga Saul yang dulu masih besar tidak ada lagi sisanya, lagi pula dengan mengingat kecelakaan yang menimpa mereka dalam pertempuran  melawan musuh ( bd. 1 Sam. 31; 2 Sam.4 (Tetapi dia masih menjumpai Mefiboset anak Yonatan. Kepadanyalah dia menunjukkan  חֵסֶד אֱלֹהׅים    ( hesed elohim), kasih-setia yang dapat ditunjukkan oleh Allah. Karena itu kasih-setia itu bukan hanya perasaan kemanusiaan saja, tetapi atas dorongan keyakinan bahwa “Yahwe berada di antara Yonatan dan dia sendiri, serta dia antara  keturunan Yonatan dan keturunannya sampai selama-lamanya” (1 Sam. 20: 42).

Dalam pelaksanaanya, kasih-setia itu terdiri dari pengembalian  seluruh harta dari keluarga Saul, yang telah diwarisi oleh David atas kemenangannya, ditambah lagi menempatkan Mefiboset secara pribadi tinggal di istana David. Dia diberi hak yang istimewa yakni “makan sehidangan dengan David” ( 2 Sam. 9: 7), sebagaimana pernah dipebuat oleh raja Babilonia kepada Yoyakhin ( 2 Raja 25: 29; Yer. 52: 32). Ungkapan “makan sehidangan dengan raja”, bukan seharusnya berarti bahwa dia mengambil bagian dalam meja pribadi raja, sebagaimana dilakukan oleh David  sewaktu dia di istana Saul ( 1 Sam. 20)78). Tetapi dengan cara ini David barangkali bisa memperhatikan cucu Saul ini, supaya rencana pemberontakan dari keluarga Saul yang mungkin terjadi terhadap tahta kerajaannya  dapat lebih mudah dikontrol. Karena dalam perkembangan peristiwa di kemudian hari tidak jauh dari dugaan David. Kalau kita melihat 2 Sam. 16: 1-4, Mefiboset masih mengharapkan dia bisa menjadi raja, sewaktu David melarikan diri dari istana karena pemberontakan Absalom. Beginilah pendapat Rothlisberger, yang kita kutip di sini:

“Dipanggilnya Mefiboset ke Yerusalem itu mempunyai juga segi lain dan adalah sesuai dengan kebijaksanaan politik Daud. Jika di daerah Yordan Timur ada seorang cucu Saul maka siapa tahu, barangkali di ke mudian hari keluarga Saul dan suku Benjamin berharap pula bahwa  orang itu akan menjadi raja mengganti Daud. Fikiran yang demikian terdapat pada fasal 16: 3, walaupun di sana agaknya berupa pitnahan saja. Jadi dengan tinggalnya Mefiboset di Yerusalem, maka Daud dapat mengamat-amati dia dan tidak perlu dikhawatirkannya bahwa akan terjadi mufakat gelap melawan dia dari pihak keluarga Saul”79).   

 

Pendapat ini memang dibenarkan, dan tidak berarti bahwa David tidak setia kepada sumpahnya, karena kebijaksanaan politik David adalah sejalan dengan rencana Tuhan. Tuhan telah mengangkatnya menjadi raja, karena itu dia harus bijaksana untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diingini oleh Tuhan di kemudian hari. Lagi pula bagi Mefiboset sendiri, perbuatan David itu sudah merupakan anugerah yang besar, karena selama ini hidupnya sudah terancam menantikan  hukuman dari David.  Tetapi karena kasih-setia David, hukuman itu tidak sampai lagi kepadanya, melainkan dia ditempatkan sebagai anak raja di Yerusalem.

Peranan kasih-setia dari para sahabat David, dan kasih-setianya kepada para sahabatnya, sangat menentukan sekali dalam kesuksesan David dalam pemerintahannya. Pada masa pemerintahannya dia menghadapi suatu tantangan dan ancaman dari keluarganya sendiri. Di antaranya anaknya yang sulung ( Ammon), dan anaknya yang bungsu (Absalom), telah terjadi  perebutan tahta menggantikan dia.  Absalom bertekad menjadi raja, sehingga dia membunuh kakaknya Ammon, dengan rencana yang diaturnya sendiri ( 2 Sam. 13: 23-29). Karena tekad Absalom yang meluap-luap itu, dia tidak sabar lagi menunggu ayahnya sampai tua atau meninggal, melainkan rencananya untuk menggantikan ayahnya dapat terjadi selekas mungkin. Karena itu dia mempersiapkan pemberontakan kepada David, sehingga kedudukan David terancam. Tindakan Absalom ini disambut baik oleh sebahagian bangsa Israel, karena Absalom sangat lihai mempengaruhi hati bangsa itu dengan mengemukakan kelemahan-kelemahan ayahnya ( 2 Sam. 15: 1-12). Tetapi sikap dan perbuatan Absalom itu tidak berkenan di hati Tuhan, karena sikapnya itu hanya mencuri hati orang Israel, dan membalikkan cinta mereka  dari David kepda dirinya sendiri.

Dalam keadaan inilah peranan Husai, seorang sahabat dan penasehat raja yang telah dipercayainya, sangat menentukan sekali dalam mengatasi pemberontakan yang dadakan oleh anak raja sendiri. Hal ini dapat  kita lihat dalam 1 Sam. 16: 16b-17:

 

“ ..., berkatalah Husai kepada Absalom: "Hiduplah raja! Hiduplah raja!" Berkatalah Absalom kepada Husai: "Inikah kesetiaanmu kepada sahabatmu? Mengapa engkau tidak pergi menyertai sahabatmu itu?"

 

Pada waktu itu David telah melarikan diri dari Yerusalem, sedangkan Absalom telah memasuki tahta di istana.  Di istana masih tinggal dua orang penasehat David dan memihak kepada Absalom ( bd. 15: 12). Tetapi Husai, seorang yang setia kepada raja yang dipilih oleh Tuhan sendiri.  Sebagai sorang yang setia kepada raja, maka dia pun turut menghormati Absalom yang telah masuk istana. “Hiduplah raja”! Hiduplah raja, itulah ucapan yang diberikan oleh Husai kepada Absalom. Tetapi penghormatan itu tidak diterima dengan baik oleh Absalom. Menurut Absalom, tugas Husai adalah menyertai David sahabatnya itu, yang sekarang sudah jauh dari istana dan dianggap tidak mungkin bisa lagi kembali ke istana. Absalom nampaknya mengingatkan Husai supaya tetap setia kepada David, tetapi itu adalah olok-olok yang bermaksud menyakitkan hati Husai.Tetapi hal itu tidak dapat mengganggu peranan yang harus ia mainkan, sehingga ia terpaksa  menjelaskan mengapa ia harus menghormati Absalom. Kesetiaan Husai sebagai “sahabat raja”, bukan hanya secara pribadi, melainkan tertuju kepada ia yang sebenarnya memegang kuasa80). Hesed Husai hanya ditujukan kepada raja yang sah, yang dipilih oleh Tuhan, dan oleh seluruh rakyat Israel ( ay. 18). Sikap Husai yang seolah-olah memihak kepada Absalom hanya dapat dimengerti dengan melihat 2 Sam. 15: 32-37. Di sana ia berjanji bahwa ia pura-pura memihak kepada Absalom, sambil menawarkan diri sebagai  penasehat untuk anak David itu. Oleh sebab  itu Husai mau melayani Absalom, sama seperti dulu melayani ayahnya David. Semuanya ini dilakukan supaya Absalom mengangkat Husai menjadi kepercayaannya sehingga nasehat Akhitopel yang sudah lebih dulu memihak Absalom, yakni untuk memerangi David dapat digagalkan oleh nasehat Husai ( lihat 2 Sam. 16: 1-14). Karena Husai juga pandai mempengaruhi hati Absalom, maka dia juga diakui oleh Absalom menjadi penasehat yang sama kedudukannya seperti dulunya dalam pemerintahan David.  Tetapi kesetiaan Husai terhadap raja telah dipakai oleh Tuhan untuk menyesatkan rencana Absalom dan memenangkan rencana Allah81).

Soal yang sama kita jumpai dalam 2 Sam. 10: 2: berkatalah David: “Aku akan menunjukkan kasih-setia kepada Husai  bin Nahas, sama seperti ayahnya telah menunjukkan kasih-setia kepadaku”.

Nahas adalah raja Amon ( 1 Taw. 19: 1), yang dalam ayat ini dinyatakan telah berbuat hesed kepada David. Kapan terjadi memang tidak diterangkan kepada kita. Yang bisa memberikan petunjuk hanya 1 Sam. 11. Di situ Nahas hendak menaklukkan kota Yabesh-Gilead dan hendak memperlakukan penduduknya dengan sewenang-wenang. Tetapi sebelum dia dapat melakukan maksudnya yang jahat itu tenteranya dikalahkan oleh Saul yang mengepalai tentera Israel. Barangkali Nahas menimpan rasa dendamnya kepada Saul. Karena itu pada saat David diancam oleh Saul dengan maksud untuk membunuh, Nahas mungkin turut memantu David, sehingga dengan cara demikian ia dapat membalaskan rasa dendamnya kepada Saul82). Dengan kata lain Nahas telah turut membatalkan rencana Saul yang menghallangi rencana Allah, melalui bantuannya yang diberikan kepada David. Itulah mungkin yang dinyatakan oleh David sebagai hesed dalam 2 Sam. 10: 2. Karena itu David harus bertanggung-jawab untuk itu, yang harus dibalasnya kepada Nahas atau keturunannya. Itulah sebabnya maka pada ayat ini David mau menunjukkan kasih-setia kepada Hanun anak Nahas, pada saat Nahas meninggal dunia. Kasih-setia itu ditunjukkan dengan mengutus pegawai-pegawainya untuk menyampaikan rasa turut berdukacita, sekaligus mengucapkan selamat baginya atas pengangkatannya kelak menjadi raja, dan barangkali juga mau mengadakan hubungan pendahuluan dari bangsa Israel dengan bangsa Amon yang akan diatur untuk selanjutnya. Tetapi cara David ini dianggap oleh pegawai-pegawai Hanun sebagai cara untuk memata-matai mereka agar lebih mudah dikalahkan di kemudian hari. Hanun mempercayai tuduhan pegawai-pegawainya itu, sehingga dia memperlakukan utusan David itu dengan tidak baik. Tindakan ini bukan saja menghina utusan David, tetapi sekaligus telah menghina David, dalam arti tidak menghargai perbuatan baik yang dilakukannya. Dengan kata lain sikap Hanun yang terlampau realistis ini sudah menghianati  perjanjian yang diikat oleh David dengan Nahas ayahnya, sekaligus menghianati rencana Allah dengan berusaha meminta bantuan bangsa lain untuk memerangi bangsa Allah. Inilah sebabnya mengapa David  harus mengerahkan panglima perangnya untuk melawan orang Amon, sehingga orang Amon terpaksa menyerah begitu saja. Di sini dapat kita melihat bahwa hesed itu bukan hanya suatu kepatuhan  demi sumpah itu saja, tanpa pertimbangan kemauan Allah, tetapi juga menghukum orang yang mencoba  menghianati rencana Allah.

 

3.                   Hesed dan keadilan sosial

 

Dalam sejarah kehidupan orang-orang Israel, kita melihat suatu kehidupan moralitas yang berdasarkan keagamaan, yakni berjalan di hadapan Allah83). Di dalam kehidupan yang demikian terkandung sikap rendah hati, karena dalam hidup itu senantiasa kita kenal dua istilah yang menuntut suatu kepatuhan kepada kehendak Allah, yakni    מׅשֽפׇט    (mishpat)  dan חֶֶסֶד     ( hesed). Ke dua konsep ini timbul secara formil di tengah-tengah siatuasi yang konkrit dari kehidupan bangsa Israel. Mishpat adalah keputusan dari seorang  שֹפֵט   ( shopet), yakni hakim yang menyelesaikan sesuatu perkara. Penghakiman seorang shopet  yang membedakan diantara   צַַדׅיק   ( tsadiq) sebagai tidak jahat dan   רׇשׇע   (rasha) sebagai kejahatan, itulah keadilan yang ditujukan kepada seluruh manusia. Keadilan adalah berdasarkan   צֽדׇקׇה       ( tsedaqa) atau   צֶדֶק    (tsedeq). Kata mishpat adalah suatu konsepsi yang biasa di tengah-tengah masyarakat demokrasi, di mana hak azasi dari setiap anggota masyarakat itu dipelihara dengan baik83a), keadilan adalah hak setiap orang di dalamnya.

Di samping istilah mishpat, berdiri hesed.  Dalam hubungannya dengan keadilan sosial, dan moralitas masyarakat, maka hesed adalah suatu kualitas dalam manusia, yang mendorong dia untuk berdiri di samping sesamanya pada waktu dibutuhkan84).  Hesed adalah keadilan dalam arti yang lebih luas,  yang tidak dapat hanya ditetapkan secara hukum karena hesed itu adalah dorongan yang spontan dari hati. Karena itu keadilan juga berakar dari hesed.  Lima kali dalam PL kata mishpat dan hesed dihubungkan, yakni pada Hos. 12: 7; Maz. 101: 1; Mika 6: 8; Yer.9: 23; Zak. 7: 9, di mana pengertian dari ke dua kata itu juga sejajar. Pada zaman monarkhi di kerajaan Israel, soal keadilan sosial merupakan masalah yang sangat pokok. Hal itu tak perlu diherankan, karena pada zaman itu telah timbul berbagai golongan atau tingkatan masyarakat. Golongan bangsawan (raja) yang sebelumnya tidak ada, menjadi ada; demikian juga golongan pegawai-pegawai dan perwira-perwira militer. Akibat dari telah terbukanya juga hubungan perdagangan ke luar negeri, maka muncullah juga golongan pedagang. Golongan-golongan  ini merupakan golongan yang kuat dalam tingkatan sosial ekonomi85). Mereka tinggal di kota-kota dengan rumah yang baik dan pertahanan yang kuat ( bd. Amos 3: 15), dan tingkatan hidup sosialnya menjadi jauh lebih tinggi dari petani-petani di desa-desa yang hidup dalam kemiskinan.

Lambat laun para pengusaha tidak mengindahkan nasib orang-orang miskin dan orang lemah. Bahkan mereka tidak segan-segan mengorek keuntungan dari mereka untuk memperkaya diri sendiri (bd. Amos 2: 7ff). Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Akibatnya solidaritas sosial dan keadilan sosial menjadi hilang. Pada saat inilah orang kaya mendapat arti yang hampir sama dengan orang jahat dan fasik, karena orang ini mendapat kekayaannya atas jalan yang tidak halal.  Tuhan adalah Allah yang benci kepada kejahatan dan menunjukkan belas kasihannya kepada orang miskin dan yang lemah, yang hidup dalam keadaan sengasara tanpa kesalahan mereka sendiri. Karena itu kata-kata seperti orang miskin, orang lemah dan orang sengsara mempunyai arti yang sama dengan orang benar ( bd. Amos 2: 6-7). Sikap negatif terhadap orang kaya oleh para nabi-nabi terutama nabi Amos, terjadi karena kejahatan mereka yang mudah melupakan bimbingan Tuhan. Nabi Amos misalnya dengan tegas menuduh orang kaya, penguasa-penguasa, telah menjual “orang benar” karena uang dan orang miskin karena sepasang kasut ( 2: 6).

Nabi Amos yang hidup pada masa pemerintahan Yerobeam II (750 seb.M), memang menghadapi masyarakat yang makmur, tetapi kemakmuran itu hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat yang tinggi, pada hal banyak yang menderita karena diperas dan dianyaya oleh bangsanya sendiri. Golongan yang terhormat telah membenci keputusan hukum yang adil ( Amos 5:10). Karena hakim-hakim tidak berani lagi menentang orang yang berkuasa itu, sehingga para hakim tidak memberikan keputusan hukum lagi kepada mereka secara adil. Mereka telah mencampakkan keadilan sehingga  diinjak-injak orang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya ( bd. Amos 5: 7). Nabi Yesaya dan nabi Mika juga menghadapi situasi yang sama. Mereka ini menekankan, para pemimpinlah ulah dari segala perbuatan ketidak adilan itu, yang sebenarnya merekalah yang bertanggung-jawab untuk memelihara rakyatnya ( Yes. 1: 23; Mika 7: 3-4).

Timbulnya ketidak adilan itu adalah akibat pemutusan perjanjian Allah86). Dengan kata lain ketidak adilan sosial timbul karena kasih-setia terhadap sumpah yang diikrarkan dalam perjanjian Allah telah putus. Setiap yang menyeleweng terhadap sumpah-setia, dia akan dihukum oleh Allah. Kasih-setia terhadap perjanjian Allah tidak bisa dipisahkan dari keadilan sosial. Karena itu hesed dalam lapangan sosial ini ialah berbuat kebaikan dan keadilan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV.  ARTI DAN MAKNA HESED DALAM LAPANGAN KULTUS

               ( Persekutuan Allah dengan umatnya  -  hesed Yahwe )

 

            Dalam bab-bab di atas kita telah menguraikan bagaimana arti dan makna hesed itu dalam lingkungan persekutuan manusia dengan manusia, yang meliputi persekutuan keluarga, pershabatan dan persekutuan sosial. Dalam bab ini kita mau menguraikan bagaimana arti dan makna hesed itu dalam persekutuan Allah dengan manusia atau umatnya.

            Persekutuan Allah dengan manusia dicerminkan oleh perjanjian Allah, sehingga Eichrodt dalam bukunya yang berjudul Theology of the Old Testament ( Theologia Perjanjian Lama), I, memusatkan theologianya “sekitar perjanjian”, yakni hubungan perjanjian, aturan-aturan perjanjian, nama perjanjian, tabiat perjanjian, alat-alat perjanjian, pelanggaran perjanjian, penggenapan perjanjian87). Di dalam bukunya itu dijelaskan bahwa hesed sebagai natur dari Allah perjanjian, yang dinyatakan untuk mensahkan dan meneguhkan aktivitasnya atau merupakan sikap yang diharapkan di dalamnya. Jelasnya dia berkata:

           

            “Israel’s relationship with God, being a covenant fellowship, consequently took over the ideal bound up with this particular legal form of human relationships, even though these were modified by exalted nature of divine party to the contract. One particular type of conduct expected from fellowship as an immediate result of conclusion of the b e r i t  was the duty loyal mutual service; without the rendering of hesed of both sides the maintenance of a covenant was is general unthinkable”88).

 

            Untuk mengerti arti dan makna hesed Jahwe secara mendalam maka kita harus lebih dulu menguraikan      pengertian perjanjian Yahwe.

 

 

1.      Perjanjian ( בְּרִית   -(berit) dan  חֶסֶד   (hesed)   Yahwe

 

Perjanjian adalah inti dari Alkitab, yang berarti gagasan Allah yang bertujuan untuk hidup sejahtera dan keselamatan manusia. Istilah perjanjian mnurut Chr. Barth adalah bahasa kebaktian dengan undang-undangnya yang mengatur nisbah antara manusia. Dan terutama pada zaman dahulu kala, peranan perjanjian penting sekali dalam hubungan antar bangsa89). Sejajar dengan itu Lempp mengatakan perjanjian berasal dari istilah hukum militer, yang mengatur hukum antar bangsa90). Dalam peperangan antar bangsa , siasat perang selalu bertujuan untuk menghancurkan seluruh musuh, kecuali pihak yang menang memberi jaminan kedupan kepada pihak yang kalah. Untuk inilah diikat perjanjian.  Jadi perjanjian diperbuat oleh pihak yang lebih kuat kepada pihak yang lemah. Demikianlah thesis yang diungkapkan oleh Begrich. Dia menuliskan: “Pada umumnya  perkataan בּֽרִית (berit) menunjukkan perhubungan dua partai yang tidak homogen, di mana pihak yang lebih kuat melindungi pihak yang lemah di dalam hubungan perjanjian”91). Misalnya orang laki-laki Israel terhadap orang laki-laki Gibeon ( Yosua 9). Nahas terhadap penduduk dari Yabes ( 1 Sam. 11); Ahab terhadap tawanan perang Ben Hadad (1 Raja 20: 34). Jadi perjanjian adalah perlindungan atau jaminan hidup, terhadap orang yang sebenarnya sudah harus lenyap atau mati.  Karena itu orang yang menerima perjanjian itu wajib secara mutlak terhadap ketentuan-ketentuan dalam perjanjian itu untuk mematuhinya. Apabila orang yang menerima perjanjian itu ingin untuk hidup, maka dia harus takluk kepada kemauan pemberi perjanjian itu, dalam arti dia harus menjadi hambanya.

Inilah dasar theologis dari perjanjian Allah. Apabila Allah mengikat perjanjian dengan manusia, berrati Allah menjamin kehidupan manusia, sekaligus manusia menjadi hamba yang harus takluk kepada kemauan Allah. Sehingga dalam perjanjian itu kedudukan Allah adalah pemberi jaminan hidup manusia, dan kedudukan manusia adalah hamba yang takluk.  Perjanjian ini diikat  oleh suatu kuasa yang tidak terputuskan oleh kuasa apapun, yakni hesed Allah.

Perjanjian itu telah dimulai pada Adam dan Hawa, walaupun memang istilah perjanjian tidak ada dalam berita tentang penciptaan Adam. Namun dalam istilah “manusia segambar dengan Allah”, sudah terkandung arti bahwa Allah menjamin hidup manusia, dan manusia menjadi hamba Allah.Tetapi jaminan itu bukanlah suatu milik manusia, hanya terletak dalam hubungan kepatuhan. Karena setelah manusia memberontak (Kej.3), manusia telah kehilangan hidup itu dari dirinya. Hanya karena hesed Allah, Dia berkenan memberi jaminan hidup itu lagi kepada sisa yang masih takluk, yakni Nuh dan keluarganya yang pengaruhnya meliputi segala bangsa ( bd. Kej.9: 1-17).

Secara khusus dalam rencana penyelamatan Allah, Dia telah mengikat perjanjian kepada satu bangsa yang dipilihnya sendiri, yakni Israel. Perjanjian itu dimulai dengan pemanggilan terhadap Abraham seperti diberitakan dalam Kej. 12: 1-3 ( J ), yang kemudian diteguhkan dengan upacara perjanjian ( Kej. 15: 1-21: J + E; Kej. 17L 1-14: P ) Perjanjian itu kemudian diperbaharui kepada Ishak ( Kej. 26: 3.4.24), kepada Yakob (Kej. 28: 3.4.13.15; 32: 12; 35: 11-12). Perjanjian itu adalah alat untuk  menyalurkan berkat ( keselamatan, kehidupan ) kepada segenap  bangsa ( Kej. 12: 2-3).

Perjanjian dengan Abraham, Ishak, Yakob, dilanjutkan dengan perjanjian terhadap umat Israel, dalam perjalanan dari Mesir menuju Kanaan di kaki gunung Sinai (Kel. 19: 4-6; 24: 1-8; 34: 10; Ul. 6: 4-5; 7: 6-8; Amos 3: 2). Dengan itu Allah menjamin kemerdekaan, keselamatan dan keadilan, jika bangsa Israel tunduk kepada Allah Yahwe sebagai Raja dan Tuhan mereka.

Perjanjian Allah dengan raja David ( 2 Sam. 7: 8-16; 23: 3-5; Maz. 132: 1-2.11;Yes. 55: 3; Yer. 33: 20-21), setelah Israel berbentuk kerjaaan Monarkhi, yang juga merupakan jaminan kesejahteraan umatnya. Setelah bangsa Israel jatuh ke dalam dosa, yang akibatnya mereka akan kena hukum Allah, maka Allah mengadakan “Perjanjian Baru” ( Yer. 31: 31-33) yang di dalamnya jaminan pembaharuan seluruh manusia dan ciptaan, serta jaminan keampunan dosa.

 

 

2.      Hesed Yahwe kepada Abraham

 

Ada dua sumber tentang penetapan perjanjian kepada Abraham, yakni Kej. 15: 1-2 dan Kej. 17: 1-14. Kejadian 15 ini terjalin atas dua benang cerita, yakni benang cerita J dan E. Hal ini diakui oleh ahli-ahli Perjanjian Lama, seperti Chr. Barth92), Von Rad93), dan W. Lempp94), dengan penyelidikan yang cermat, baik dari segi sastera, maupun dari segi theologianya. Penulis J hidup pada masa David, sedangkan penulis E hidup kira-kira dua abad sesudahnya.

Di dalam jalinan cerita J dan E ini kita telah menemui dua adegan yang berlainan. Adegan pertama adalah pembicaraan antara Allah dan Abraham melalui suatu penglihatan atau mimpi, tentang pemberian keturunan kepada Abraham ( ay. 1-6). Adegan kedua ( ay. 7-12(, merupakan upacara-adat tentang pemberian tanah. Dalam adegan pertama, tidak ada sesuatu kejadian; sedang dalam adegan kedua Allah saja yang bertindak, Abraham sama sekali berdiam diri, hanya mengalami keaktifan Allah.

Upacara adat penyembelihan binatang yang ditunjukkan dalam adegan kedua adalah upacara kuno untuk mengikat perjanjian95). Penyembelihan binatang itu merupakan suatu sumpah atau pengutukan terhadap diri sendiri, yang berarti: Jikalau saya tidak memenuhi segala kewajiban yang timbul dari perjanjian itu, maka saya mau disembelih seperti binatang itu. Jika teman seperjanjian melalui tengah-tengah binatang yang berlumuran darah itu( bd. 15: 17), maka ia menyatakan kerelaannya untuk menanggung nasib yang sama dengan binatang itu96). Sehingga dengan upcara tadi, Allah hendak memberi kepastian akan janjinya yakni pemberian Tanah Kanaan. Abraham dapat menggugat hak miliknya atas Tanah Kanaan, jikalau Allah tidak melakukan janjinya, yakni menyerahkan Tanah Kanaan kepada Abraham.

Kesimpulan dari Kejadian 15 ini adalah upacara penyembelihan binatang korban sebagai upacara pengesahan janji Tanah Kanaan untuk dimiliki keturunan Abraham, yang pada masa penulis, bangsa Israel telah mendiami Tanah Kanaan itu.

Kejadian 17 adalah tulisan P,  pada masa pembuangan di Babel ( abad 6 sebm M).Di dalamnya Allah mau menetapkan kewajiban Abraham berupa sunat ( ay. 9-14). Sunat ini hanya merupakan tanda perjanjian (ay.11), dan tanda kepatuhan dari pihak manusia.

Penyunatan memang sudah lama dilakukan di tengah-tengah Israel (Kel. 4: 24-26; Yosua 5: 2-8); tetapi selama dan sesudah pembuangan Israel ke Babel, penyunatan menjadi syarat mutlak untuk menjadi tanda angota umat Israel yang percaya kepada Allah Yahwe. Maka P hendak mensahkan dan membenarkan aturan penyunatan itu selaku perintah Allah yang diberikan kepada Abraham. Jikalau nenek ( ompu) telah melakukan penyunatan, terpaksalah keturunannya ikut serta dalam acara agama itu. Selama pembungan, bangsa Allah sangat membutuhkan sunat sebagai tanda atau ciri-khas keanggotaan sekaligus sebagai tanda pengenal, tanda pengakuan, maupun buat sesama mereka, maupun terhadap orang yang bukan anggota97). Pada masa kerajaan, pendirian yang demikian tidak dirasa perlu, karena agama Yahwe belum terbuka untuk orang asing, dan keanggotaan masih dijamin oleh kelahiran. Tetapi Israel dipindahkan ke Babel, dan kembali lagi ke Yerusalem, hal itu tidak terjamin lagi. Pada waktu itu agama Yahwe telah terbuka untuk bangsa dan agama asing sehingga ada Yahudi proselit. Mungkin juga dari antara Israel sendiri telah banyak pula yang menyangkal agamanya sendiri dan menganut salah satu agama lain. Untuk menghindarkan hal yang demikianlah, maka para imam menganggap perlunya upcara sunat sebagai syarat mutlak dan tindakan pengakuan yang azasi terhadap Yahwe Allah Israel. Hal ini diingatkan dengan menunjuk kepada kewajiban untuk menyunat anaknya sebagai tanda perjanjian.

Memang P di sini telah memberi tekanan kepada perjanjian antara Allah dengan Israel, di mana dipakainya 13 kali istilah perjanjian, perjanjian mana ditandai dengan sunat. Apabila Kej. 15, menekankan peneguhan janji tanah atau wilayah kekuasaan, maka Kej. 17 menekankan perjanjian itu sebagai permulaan kelahiran umat Israel.

Dari ke dua fasal perjanjian tadi kita melihat bahwa dengan perjanjian Allah yang ditandai dengan sumpah-setia berupa penyembelihan binatang dan upcara sunat, Allah mengarahkan pengharapan Abraham dan keturunannya kepada perbuatan yang besar di kemudian, yakni janji keturunan dan tanah. Campur tangan Allah dalam penyataan janji ini dianggap sebagai hesed Allah.

Apabila dalam Kej. 24: 12, Eliezer hamba Abraham  yang dipercayakan untuk mencari istri Ishak anaknya, memintakan:

 

"TUHAN, Allah tuanku Abraham, buatlah kiranya tercapai tujuanku pada hari ini, tunjukkanlah kasih setia-Mu kepada tuanku Abraham”.

 

Ini berarti supaya Yahwe mempertemukan kepadanya  perempuan yang cocok menjadi istri  Ishak. Jadi hesed Yahwe di sini adalah campur tangan Yahwe untuk menentukan istri Ishak yang berkenan kepadanya, karena diharapkan melalui istri Ishak inilah Abraham memperoleh keturunan sebagai penerus dari sejarah keselamatan Allah.

 

 

3.      Hesed Yahwe kepada Yakub

 

Hesed yang sama kita jumpai kepada Yakub, cucu Abraham. Hal ini diakui oleh Yakub dalam doanya dalam Kej. 32: 9-12:

 

"Ya Allah nenekku Abraham dan Allah ayahku Ishak, ya TUHAN ( Yahwe), yang telah berfirman kepadaku: Pulanglah ke negerimu serta kepada sanak saudaramu dan Aku akan berbuat baik kepadamu (ay.9); sekali-kali aku tidak layak untuk menerima segala kasih dan kesetiaan yang Engkau tunjukkan kepada hamba-Mu ini, sebab aku membawa hanya tongkatku ini waktu aku menyeberangi sungai Yordan ini, tetapi sekarang telah menjadi dua pasukan (ay.10). Lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya, jangan-jangan ia datang membunuh aku, juga ibu-ibu dengan anak-anaknya (ay. 11). Bukankah Engkau telah berfirman: Tentu Aku akan berbuat baik kepadamu dan menjadikan keturunanmu sebagai pasir di laut, yang karena banyaknya tidak dapat dihitung (ay.12)."

 

Doa Yakub ini adalah berdasarkan janji Allah. Atas keyakinan bahwa Yahwe tidak akan mengubah janjinya, maka Yakub memberanikan diri untuk berlindung kepada nya pada situasi yang mengkhawatirkan dia.  Yakub menyebut naka Allah, Yahwe, karena itu doa ini termasuk karangan J. Ia menggelari Yahwe itu, Allah nenekku (‘abi) Abraham dan Allah ayahku (‘abi)  Ishak. Ini berarti, ia sendiri menempatkan janji yang diberikan kepada Abraham, sehingga dia tidak ragu-ragu dalam doanya itu, bahwa warisan  dari janji berkat itu adalah dia sendiri98). Allah inilah yang memberikan janjinya kepada Yakub, untuk tidak membiarkan Yakub tinggal di negeri asing, tetapi di negeri perjanjian ( Kej. 28: 15; 31: 3.13).

      Tetapi kini, janji Allah untuk pulang ke negeri perjanjian dari negeri pamannya, diancam dan dibahayakan oleh serangan Esau. Dia tidak tahu lagi apa yang akan diperbuatnya, karena segala taktiknya untuk memperdamaikan Esau telah gagal. Keesokan harinya dia akan menghadapi ajalnya. Tetapi Yahwe tidak dapat membohongi janjinya. Selama dua puluh tahun Yakub telah mengalami kasih dan kesetiaannya     ( הָחֶסֶד־וֽהָאֱמֶת )

Kata  אֱמֶת ( kesetiaan ), sengaja dipakai untuk menguatkan hesed. Ini berarti  bahwa hesed Yahwe itu benar-benar  dapat dipercayai dan diandalkan, sehingga Yahwe tidak mungkin akan menariknya. Yakub telah beroleh empat orang istri, sebelas orang anak, dan cukup banyak ternak  di rumah pamannya. Tetapi untuk memberangkatkan semuanya itu ke tanah perjanjian, dia mengalami situasi yang genting. Keselamatan dirinya dan keselamatan seluruh yang ada padanya terancam. Pada saat inilah dia mengharapkan hesed Yahwe, yakni pertolongan agar dia selamat di tenah perjanjian itu.

 

 

4.      Hesed Yahwe kepada David

 

Janji Allah kepada Abraham, Ishak dan Yakub telah menjadi kenyataan setelah mendiami tanah perjanjian Kanaan, sebagai satu bangsa, walaupun banyak menghadapi rintangan,yang seolah-olah menunda, menangguhkan penggenapan janji Allah itu. Tetapi dalam semua pengalaman itu, sejak Abraham, Ishak, Yakub, maupun pengalaman Israel di Mesir, di padang pasir, baik setelah di Tanah Kanaan, Allah mempunyai cara sendiri untuk memberikan carpur tangan  yang tepat, sehingga memperterang tindakan penyelamatn dan bimbingan Tuhan kepada mereka.

Mereka telah mempunyai wilayah  tertentu, yakni Tanah Kanaan. Mulai dari persekutuan suku-suku pimpinan penatua-penatua beralih kepada kepemimpinan militer (perang) oleh hakim-hakim yang sewaktu-waktu diangkat oleh Tuhan. Akhirnya menuntut seorang raja ( Hak. 8: 22f), yang dimulai dengan pengurapan terhadap Saul (1 Sam. 11: 15). Tetapi kemudian Allah menyerahkan kuasa kerajaan itu kepada David, karena dia telah dipilih olehAllah menjadi raja yang kekal. Allah telah menjanjikan kepada David untuk membangun satu dinasti yang berkuasa untuk selama-lamanya ( 2 Sam. 7: 1-17). Kekekalan pemerintahan David sangat ditekankan.  Tiga kali kata  עַד־עוֹלָם   ( ay.13.16) disebutkan, yang berarti kekekalan yang sampai selama-lamanya.

Dalam janji yang sangat luar biasa ini ada hal yang sangat menarik bagi kita. David ingin membangun satu baith untuk Yahwe, untuk tempat tinggal Yahwe, dengan demikian hubungannya kepada  bangsa Israel terjamin adanya. Rencana ini timbul setelah dia berhasil memindahkan tabut pejanjian Allah dari rumah Abinadab di Kiryat-Yearim99), dan menempatkannya di kota Yerusalem yang telah ditaklukkan itu di dalam sebuah kemah yang telah disediakannya sebelumnya ( 2 Sam. 6: 1-23). Penempatan kabut perjanjian itu di Yerusalem adalah berhubungan dengan pemberian janji tentang kekekalan tahta David. Hal ini telah dinyatakan oleh seorang ahli yang beranama Congar. Dia mengatakan: “ The perpetuity promised to David’s line is inseparable from the transfer of the ark to Jerusalem, wich now becomes God’s dwelling place”100). Tabut perjanjian adalah lambang kehadiran Allh di tengah-tengah bangsanya (Bil. 10: 33-36; bd. 1 Sam. 4: 7). Davidlah yang memberikan perhatiannya terhadap benda kudus itu, sedangkan Saul tidak. Sejalan dengan kemenangan David merebut Yerusalem dari bangsa Jebus, dia berusaha mengistimewakan kota itu menjadi tempat kebaktian, karena itu dia memindahkan tabut itu ke sana sehingga kota Yerusalem menjadi pusat kebaktian bangsanya.

Rencana David untuk membangun baith Yahwe, dalam arti memperkokoh tempat kediaman Yahwe ( tabut perjanjian), tidak disetujui oleh Yahwe, karena Dia tidak terikat dalam rumah yang dibangun oleh manusia. Dia tidak terikat dalam satu tempat, melainkan mengembara di tengah-tengah seluruh manusia ( 2 Sam. 7: 4-7).  Tetapi walaupun Yahwe menolak rencana David itu, Dia tidak menolak hubungannya dengan bangsa Israel. Yahwe mempunyai rencana yang lain dari David. Rumah yang mau dibangun oleh Yahwe bukan dari kayu atau batu, melainkan manusia itu sendiri ( keturunan David). Kepada keluarga inilah Yahwe menghubungkan diri, sebagai tanda bahwa Dia berada di tengah-tengah umatnya. Allah mengangkat David menjadi anaknya ( 2 Sam. 7: 14; Maz. 2: 45; 110 dll) 101). Pengertian anak di sini bukanlah pengertian natural sebagaimana pandangan bangsa sekitar Israel, tetapi menunjukkan hubungan yang erat antara Allah dan raja102). Begitu dekatnya hubungan Allah dengan raja itu, sehingga dalam Maz. 45: 7, raja disebut juga Allah. Pernyataan inilah yang disebutkan melalui perjanjian. Dinasti David menjadi rumah Allah berarti Allah tetap setia hadir di tengah-tengah umatnya. Inilah hesed Yahwekepada David seperti dinyatakan dalam 2 Sam. 7: 15:

“Tetapi kasih setia-Ku tidak akan hilang dari padanya, seperti yang Kuhilangkan dari pada Saul, yang telah Kujauhkan dari hadapanmu”. Untuk itu raja dimintakan tanggung-jawab yang besar, yakni:

 

(a)   Membela bangsanya dari serangan musuh

(b)   Menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat

(c)   Menjadi perantara Allah dan umat, dan sebaliknya umat dengan Allah103).

 

Dengan kata lain raja menjadi “corporate personality” di tengah-tengah kehidupan Israel. Kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya tergantung kepada raja. Dialah yang menjadi saluran berkat atau kutuk dari Allah kepada umat Israel. Karena di samping jabatannya sebagai raja dalam jabatan politis, dia juga memegang jabatan “oberpriester” (imam besar)104). Kemenangan raja adalah kemenangan rakyat dan kekalahan raja adalah kekalahan rakyat. Jika dia menjalankan tugasnya sesuai dengan kehendak Allah, maka rakyat akan mendapat berkat. Tetapi jika raja berdosa, maka rakyat akan dijatuhi hukuman, seperti penindasan, kemiskinan, kekalahan perang, dsb, karena dosa raja telah menjadi dosa rakyat105). Inilah tanggung-jawab raja sebagai tuntutan hesed Yahwe kepadanya.

 

 

5.      Hesed Yahwe kepada bangsanya

 

Pernyataan dan perbuatan Allah dalam sejarah Israel menunjukkan hesed Yahwe sebagai suatu kekuatan dan unsur yang permanen. Dia senantiasa setia terhadap apa yang dinyatakan kepada bangsa itu. Pernyataan di gunung Sinai: “Kamu menjadi umatku dan Aku menjadi Allahmu” ( Kel. 19) menginsyafkan bangsa itu bahwa mereka adalah milik Yahwe. Yahwelah yang memelihara persekutuan bangsa, sekaligus menghancurkan hal-hal yang mencoba menghancurkan persekutuan mereka. Tuhan memberikan hukum sebagai salah satu alat Tuhan untuk menegakkan kebenaran (‘emeth) dalam segala persoalan sehingga segala kesaksian yang salah dapat dihindarkan ( bd. Ul.22: 21; 17: 4). Tindakan kebenaran ini adalah salah satu aspek dari hesed Allah yang diperlihatkan kepada bangsa Israel106). Seperti dinyanyikan oleh pemazmur: “Aku akan menyanyikan hesed Yahwe selama-lamanya; hendak memperkenalkan ‘emunamu ( kebenaran) dengan mulutku turun-temurun ( Maz. 89: 2).

Karena orang percaya tidak henti-hentinya mengalami hesed Yahwe, timbullah formulasi yang liturgis untuk mengucapkan syukur dan terima kasih: “Ucapkanlah syukur kepada Tuhan, karena dia baik, kasih-setianya untuk selama-lamanya” ( bd. Yer. 33: 11; Mar. 100: 5; 106: 1; 107: 1.8.15.21.31, dll). Hesed inilah jaminan bagi orang percaya untuk memohon kepada Tuhan: “perlihatkanlah kepada kami kasih-setiamu, ya Yahwe, dan berikanlah kepada kami keselamatan dari padamu” ( Maz. 85: 8, dll).

 

a)      Gambaran-gambaran yang dipakai untuk melukiskan hesed Yahwe kepada umatnya

 

Gambaran Allah sebagai Bapa dan Gembala atas umatnya dipakai untuk melukiskan aspek sikap ilahi yang dikandung oleh hesed107)/ Dalam hubungan kekeluargaan, hesed  diandaikan selaku sikap yang mengikat anggota-anggotanya. Hal ini memang benar, karena fikiran semitic, arti “kebapaan mengandung unsur kepemimpinan, hak-pemilik dan kekuasaan yang mengandung tekanan yang sama dalam unsur kasih108). Tentang hal yang sama banyak dijumpai dalam hymnus orang Babilonia, baik dalam nyanyian ratapan yang mengharapkan “belas-kasihan bapa”, maupun dalam hymnus pujian kepada dewa-dewa109).

      Di Israel, predikat Bapa terhadap Allah, merupakan istilah yang dominan, bahwa dia adalah Pencipta dari segala alam dan mahluk; Dialah yang menganugerahkan perlindungan dan pemeliharaan kepadanya. Tindakan inilah yang dianggap sebagai kasih-setia dari bapa surgawi, yang diserukan oleh anak-anak yang membutuhkan perlindungannya, karena Dia juga diakui sebagai bapa dari anak-yatim ( bd. Maz. 68: 6; Yes. 63: 16). Seorang bapa tidaklah salah untuk menghukum anaknya; karena  hukuman tidak semata-mata untuk membinasakan, melainkan juga untuk mendidik ( Ul. 8: 5).

       Konsepsi yang sama tentang predikat “bapa” ini juga menguasai fikiran Yudaisme di kemudian, walaupun telah mengalami perobahan. Karena pada masa ini mereka sudah lebih cenderung memakai predikat itu untuk menunjukkan jabatan “raja” dari Allah; karena itu konsep kasih Allah dalam predikat bapa, telah dikaburkan oleh tekanan terhadap kuasa pemerintahan Allah110).

       Gambaran dengan “Gembala” juga melukiskan kasih-setia Allah. Gambaran ini telah berulang-ulang dijumpai di Timur Dekat untuk jabatan “raja”, baik kepada dewa maupun manusia111). Gembala seharusnya bersifat pengasih, panjang sabar, sehingga predikat itu patut dikenakan menandai seorang pemimpin, baik itu manusia maupun dewa. Tabiat seorang pemimpin juga menghimpun yang terpencar-pencar.

      Dalam PL predikat “Gembala” telah dipakai baik pada periode yang lebih tua, maupun pada periode yang kemudian. Pemimpin bangsa Israel disebut  gembala ( Yer. 23: 1-4), yang bertanggung-jawab penuh atas domba-domba Allah yang digembalakan mereka. Yahwelah Gembala Agung dari bangsa itu, yang atas dasar ini bangsa Israel menyebut dirinya sebagai domba-domba Allah ( Maz. 79: 13; 9: 7; 100: 3).

      Selain dari pada itu dipakai juga gambaran “perkawinan”, Allah sebagai suami dan bangsa Israel sebagai istri. Hosea misalnya menekankan gambaran yang demikian. Allah meminang dan meminta bangsa Isrel menjadi istrinya untuk selama-lamanya, dengan hadiah kawin berupa keadilan, kebenaran kasih-setia, kasih-sayang dan kesetiaan ( Lihat Hosea 2: 18-19; B.H. ay. 21.22). Kalau keadilan diartikan memberi hak dan perlindungan112), seperti kepada orang miskin, orang asing, janda, yatim-piatu, maka Yahwe bertindak selaku pelindung bagi istrinya, sehingga persekutuan hidup tetap terpelihara. Dia tetap  setia terhadap Israel. Dengan demikian Allah mengharapkan Israel “mengenal” Dia dan menunjukkan kasih-setia  seperti cinta si istri kepada suaminya, mengikut tanpa ragu-ragu, tetapi taat dan percaya.

      Kesetiaan Allah menjamin persekutuan perjanjian Tuhan untuk selama-lamanya. Walaupun si istri melacurkan dirinya dalam arti taat kepada dewa-dewa  kafir, tetapi karena kasih-setia Tuhan, persekutuan dapat dipulih kembali. Sebenarnya karena dosa penyelewengan Israel telah hancurlah ikatan persekutuan itu, tetapi terhadap kehancuran ini hesed Allah memungkinkan transformasi yang absolut. Hesed Allah terus beroperasi kepada orang yang berdosa , seperti adanya pengampunan dosa. Karena itu Israel harus mengakui dosanya, supaya Allah mengambilnya sebagai  “hasid” seorang yang megalami kasih perjanjian itu melalui segala standard manusia ( bd. Yer. 3: 12). Pada saat inilah pengertian hesed berobah menjadi tindakan belas-kasihan dan kemurahan ( rahamim). Inilah corak hesed Yahwe di kemudian, yakni hesed itu tersedia bagi orang-orang yang murtad.

 

b)      Hesed Yahwe kepada bangsanya di pembuangan

 

Apa sebabnya pembuangan Israel,  dijawab oleh para nabi sebelum pembuangan, yaitu karena dosa dan penyelewengan Israel. Tetapi Kitab Deutero Yesaya akan menjawab soal itu, bukan hanya hukuman Tuhan, tetapi sebagai jalan yang menyelamatkan113).  Dengan demikian pembuangan adalah rencana Tuhan dalam sejarah keselamatan, supaya semua orang percaya mengenal kekuasaan Yahwe.  Hal ini dicerminkan oleh rahasia “ebed (abdi) Yahwe” yang menderita. Dari ke empat nyanyian ebed Yahwe dalam Deutero Yesaya, kita dapat mengetahui peranan ebed Yahwe. Dalam nyanyian pertama (42: 1-7), ebed Yahwe diperkenalkan oleh Allah sebagai saksi keadilan kepada bangsa-bangsa. Dalam nyanyian ke dua (49: 1-6), pengakuan ebed Yahwe bahwa dia telah terpilih sejak di kandungan, untuk mengembalikan dan menegakkan kembali bangsa Israel, sekaligus menjadi terang kepada orang kafir, dan mengantar keelamatan ke seluruh ujung bumi. Dalam nyanyian ke tiga (50: 4-9) ketaatan ebed Yahwe terhadap penderitaan, karena hal itu adalah pelayanannya kepada Yahwe. Dalam nyanyian ke empat ( 52: 13-53: 12) ebed Yahwe dipertunjukkan ke seluruh bangsa dan raja-raja dengan kemuliaan, walaupun orang sebelumnya tidak yakin akan hal itu, karena penderitaan kepadanya.

Yang menjadi soal ialah siapakah ebed Yahwe itu ? Ada yang menafsirkan secara kolektif dengan alasan bahwa dalam Yes. 49: 3, ebed Yahwe itu disamakan dengan Israel. Tetapi menurut ahli-ahli “kata Israel” di sini adalah sisipan dari seorang pembaca114). Lagi pula bagian dari pekerjaannya adalah untuk menegakkan kembali bangsa itu (ay. 6), maka tidak mungkin ebed itu menunjuk kepada Israel secara keseluruhan di sini115). Kalaupun itu ditafsirkan secara keseluruhan bangsa Israel, seperti juga pada 44: 1 dan 41: 8. Memang pada tahun-tahun permulaan pembuangan ebed Yahwe masih dianggap secara keseluruhan Israel116), karena mungkin ide tentang seorang pribadi masih dirahasiakan.

Kalau kita melihat isi keseluruhan Deutero Yesaya, di sana diserukan  “kebebasan bangsa Israel dari pembuangan”,  dan diharapkan bangsa itu bergembira akan kepastian itu (40:13). Karena itu nyanyian ebed Yahwe tadi adalah jawaban bangsa itu atas tindakan Yahwe117). Untuk itu Allah memilih seorang ebed sebagai realisasi dari tindakannya, karena 49: 5.6; 50: 4-6; dan fs. 53 adalah jelas mengambarkan nasib perseorangan. Sejajar dengan itu dalam 55: 3, Deutero Yesaya berbicara tentang perjanjian dengan David:

“Sendengkanlah telingamu dan datanglah kepada-Ku; dengarkanlah, maka kamu akan hidup! Aku hendak mengikat perjanjian abadi dengan kamu, menurut kasih setia yang teguh yang Kujanjikan kepada Daud”.

 

Dengan demikian Deutero Yesaya telah membuka suatu pengharapan baru kepada bangsa itu di pembuangan, karena sejak  kejatuhan Yerusalem pengharapan mereka tentang kekekalan dinasti David telah berhenti. Atas dasar kasih-setia yang diteguhkan kepada David, maka Yahwe menghidupkan kembali bangsanya, dengan mengikat perjanjian yang abadi, yang ditandai dengan munculnya ebed Yahwe. Persoalan tentang siapakan yang disebut ebed Yahwe ini, Deutero Yesaya tidak jelas memberikan jawaban. Dahulu penafsir-penafsir Kristen mengatakan bahwa ebed Yahwe itu adalah Yesus Kristus. Calvin misalnya menafsirkan demikian, bahwa dengan ebed Yahwe “Yesaya telah melihat jauh kepada Kristus”118).

Tetapi para penafsir modern, dengan timbulnya metode penafsiran historis-kritis, telah melihat ebed Yahwe dalam hubungannya dengan zaman itu. Sehingga ada yang menafsirkan itu sebagai raja yang akan melepaskan bangsa itu dari pembuangan dan menegakkan kembali kerajaan Israel. Dari segi pengistilahan memang kata עֶבֶד   adalah seorang yang terikat, pekerja dan wakil dari tuannya. Terutama kata itu dikenakan kepada perwakilan seorang raja119). Memang pada masa pembuangan, pengertian ebed Yahwe sebagai perwakilan Yahwe rupanya telah biasa dikenal. Misalnya Yeremia menghubungkannya dengan Nebukadnesar ( Yer. 27: 6). Yeheskiel dengan David yang akan datang itu ( Yeh. 34: 23fl 37: 24f). Dengan dasar inilah maka S.M.Siahaan memberikan kesimpulan bahwa istilah “hambaku” pada zaman pembuangan, telah menjadi terminus teknikus untuk raja keselamatan yang diharapkan itu120). Pada zaman sesudah pembuangan Nabi Haggai telah resmi mengambil istilah itu untuk seorang raja, yang pada masa itu adalah  yang diurapi itu yakni Zerubabel ( Hagai 2: 23). Kalau kita hubungkan dengan nubuat Natan ( 2 Sam.7:5; bd. Maz,78: 80; 89: 4; 132: 10) istilah ebed dipakai untuk menunjukkan raja yang diurapi itu. Lebih dari pada itu istilah “ebed Yahwe” dianggap paralel dengan “perjanjian Yahwe” ( bd. Maz. 105: 6)121).

Suatu kesimpulan ialah bahwa Allah tidak melupakan bangsa itu, walaupun bangsa itu di pembuangan. Pembuangan itu tidak hanya ditasirkan sebagai hukuman, tetapi dari segi kasih-setia Yahwe, pembuangan harus diarttikan sebagai titik tolak untuk perjanjian yang baru, hubungan yang baru kepada bangsa Israel. Hamba Allah yang dipilihnya sendiri itulah yang akan menegakkan perjanjian itu, yakni menyelamatkan bangsa Israel dari pembuangan dan membawa ke tanah Perjanjian.

 

c)      Hesed Yahwe sesudah pembuangan

 

Sesudah pembuangan, masalah hesed kembali dihubungkan dengan persoalan sosial-ekonomi sebagaimana pada zaman nabi Amos. Hal ini dapat dimengerti, karena setelah pulangnya bangsa itu ke tanah Kanaan, timbul kesulitan ekonomi, sehubungan dengan pembangunan Baith Allah. Timbul juga pertentangan faham di antara mereka yang baru pulang dari pembuangan dengan mereka yang masih tinggal diYerusalem122). Sebahagian menekankan pembangunan Baith Allah itu segera dilaksanakan. Tetapi keadaan ekonomi dari sebahagian orang-orang yang kembali dari pembuangan itu dan yang tinggal di Yerusalem ( terutama yang tinggal adalah miskin) tidak mengizinkan demikian.

      Karena itu peranan raja atau mesias bukan terutama dipusatkan kepada pembangunan Baith Allah, tetapi memperhatikan nasib orang-orang miskin. Memang pada zaman sebelum pembuangan, seorang raja yang bijaksana ialah seorang yang sanggup mengendalikan masyarakat dengan adil ( bd. Yes. 9: 1-6), terutama memperhatikan nasib orang miskin. Salah satu sebab timbulnya kemiskinan adalah apabila tidak ada raja yang bertanggung-jawab, yang memperhatikan nasib masyarakat. Dalam kitab Mazmur, raja sering digambarkan sebagai raja orang miskin, yang membenarkan orang mskin dan menyelamatkan orang papa ( msi. Maz. 72: 2.4). Karena itu pembangunan yang diutamakan sesudah pembuangan, bukanlah keindahan Yerusalem dengan keindahan Baith Allahnya, melainkan pembangunan keadilan. Dalam kitab Zakaria Allah menegor orang-orang yang bersedih karena kejatuhan Yerusalem yang indah itu ( Zak. 7: 4-14), karena yang perlu adalah melaksanakan keadilan dan kasih-setia.

“Beginilah firman TUHAN semesta alam: Laksanakanlah hukum yang benar dan tunjukkanlah kesetiaan dan kasih-sayang kepada masing-masing! Janganlah menindas janda dan anak yatim, orang asing dan orang miskin, dan janganlah merancang kejahatan dalam hatimu terhadap masing-masing."

 

Dengan demikian Yahwe dalam kasih-setianya, terutama memperhatikan nasib orang-orang sengsara, dan yang membutuhkan perlindungan sosial.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

V.   KESIMPULAN ( PENUTUP )

 

Dari uraian-uraian di atas, maka dapat diberi kesimpulan sbb:

1.    Istilah חֶסֶד   (hesed) pada mulanya adalah istilah sosial, baik sosial-politis, maupun sosial-ekonomi, yang berhubungan dengan bagaimana seseorang bersikap sesuai dengan hukum kewajiban yang ditetapkan di dalamnya. Orang yang berdiri dalam hukum kewajibannya di dalam persekutuan itu, dialah yang telah memberikan  חֶסֶד   nya, dan dialah yang dapat memperoleh חֶסֶד   . Seperti pendapat Chr. Barth bahwa  חֶסֶד   adalah istilah yang berdasarkan keadilan dan hukum123).

2.    Karena חסֶד (hesed)  tidak bisa terlepas dari hukum-kewajiban, maka seorang yang membutuhkan חֶסֶד  , misalnya dari anak, dari istri, dari sahabat, dll, maka hal itu harus diteguhkan dengan sumpah-setia di hadapan Tuhan.

3.    Dengan sumpah-setia itulah  חֶסֶד (hesed)   mempunyai kekuatan, yang tidak bisa dikalahkan atau dipengaruhi oleh perasaan kemanusiaan, atau perasaan yang mementingkan diri sendiri. Karena siapa yang mengabaikan חֶסֶד     yang didasarkan atas sumpah-setia itu, berati dia telah melanggar sumpah-setia, sekaligus melanggar Tuhan yang turut berpartisipasi dalam sumpah itu.

4.    Sumpah-setia berkenaan dengan hidup atau mati dari orang yang bersumpah sampai keturunannya. Sehingga barang siapa yang setia terhadap sumpah itu, maka hidupnya dapat terjamin, atau dengan kata lain, dia selamat, sedangkan barang siapa yang melanggarnya maka hidupnya akan terancam oleh maut, karena kutukan sumpah itu.

5.    Dalam sejarah Israel, perbuatan    ini, selalu terpusat kepada rencana penyelamatan Yahwe. Dengan kata lain, perbuatan חֶסֶד (hesed), tidak terlepas dari tindakan penyelamatan Allah terhadap umatnya. Siapa yang turut membantu rencana Allah, yang dinyatakan melalui orang-orang pilihannya atau bangsanya, maka dia telah membuat חֶסֶד, sehingga sampai kepada keturunannya bangsa Israel wajib membalaskan hal itu, dan pihak yang berbuat חֶסֶד  berhak menuntut חֶסֶד  dari bangsa Israel. Sebaliknya siapa yang menghalangi rencana dan perbuatan  חֶסֶד Allah, maka dia akan menjadi musuh bagi umatnya sampai selama-lamanya dan tidak akan dibiarkan hidup di lingkungan umat Allah ( 1 Sam. 15: 6;  bd. Kel. 17: 8-16).

6.    Khusus pada zaman raja David, tindakan     hesed terpusat pada pendirian kerajaan David (secara politis) dalam suatu dinasti yang kekal, yang dijanjikan Yahwe. Sehingga segala perbuatan, baik dari pribadi – misalnya dari sahabat-sahabatnya, maupun secara kolektif dari suku lain yang turut membantu kesuksesan David menjadi raja di tengah-tengah bangsa Israel ( kebijaksanaan politisnya ) adalah perbuatan חֶסֶד yang karenanya David bertanggung-jawab membalaskan חֶסֶד yang sama kepada orang yang berbuat חֶסֶד itu.

7.    Arti dan makna חֶסֶד (hesed)  sangat nyata sekali pada saat-saat yang genting atau saat-saat yang kritis yang dihadapi orang-orang yang membutuhkannya, yang dalam hal ini orang-orang pilihan Allah.

8.     Setelah istilah    dimasukkan ke dalam perbuatan  Yahwe, maka istilah itu selalu berhubungan dengan perjanjian Yahwe. Dalam hal ini hesed Yahwe adalah sikap Tuhan di dalam perjanjiannya. Karena perjanjian adalah jaminan hidup atau keselamatan, maka hesed Yahwe adalah tindakan penyelamatannya terhadap manusia.

9.    Apabila Yahwe seolah-olah menangguhkan janji yang disampaikan terhadap orang-orangnya atau umatnya, misalnya keturunan yang dijanjikan kepada Abraham seolah-olah ditangguhkan atau terancam, dan tanah perjanjian Kanaan yang telah sampai kepada mereka direbut oleh bangsa lain, itu bukan berarti bahwa Yahwe tidak setia kepada janjinya. Kejadian yang demikian termasuk dalam rencana Yahwe yang bertujuan untuk menegakkan iman bangsa itu, supaya semakin dan lebih mengenal  hesed Yahwe kepada mereka.

10.  Refleksi dari hesed Yahwe ini harus dipantulkan oleh orang-orang pilihannya seperti Abraham, Ishak, Yakub, raja maupun bangsa Israel  secara keseluruhan dalam kehidupan sosial. Dan apabila hal itu dilakukan maka dia  yang memperoleh  hesed itu akan menjadi berkat kepada sekitarnya. Raja misalnya harus menunjukkan hesed dalam pemerintahannya yang bertugas untuk menegakkan keadilan, memperhatikan nasib orang-orang miskin, atau orang-orang sengsara yang membutuhkan jaminan sosial.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Catatan-catatan

1)      P.Heinisch, Theology of the Old Testament, Minnesota 1955, hal,99. Kata  אׇהַּב  (kata kerja) dijumpai sebanyak 138 kali, dalam bentuk kata benda masculine (אַהַב  ) 2 kali, feminine (אַהֳבׇה   ) 52 kali. Kata  חֶסֶד   lebih banyak dalam bentuk kata benda ( 245) kali.

2)      ibid. , hal. 99.

3)      Lihat Eichrodt, Theology of the Old Testament, I, London 21964, hal. 250.

4)      ibid. , hal 251.

5)      Dari antara 127 kata   dalam Kitab Mazmur, hanya tiga kali kata itu dikenakan dalam hubungan antara manusia ( 109: 12.16; 141: 5), selainnya menunujukkan sikap Allah yang dinyatakan kepada manusia. Lihat W.Zimmerli, artikel χαρις     , dalam buku G. Friederich ( ed.). Theological Dictionary of the New Testament, IX, Michigan 1949, hal. 384.

6)      W.L.Walker, Lovingkindness, dalam buku, James Orr ( ed), The International Standard Bible Encyclopaedia, Michigan, 1949, hal. 1934.

7)       Bentuk kata kerja ini hanya dua kali di  dalam PL yakni dalam 2 Sam. 22: 26; Maz. 18: 26.

8)      Lihat W.R.Smith, The prophets of Israel and their place in history,  London 1928, hal. 408.

9)      Kata kerjanya juga berbunyi חָסַד (hasad)   , tetapi hanya satu kali dalam PL, yakni pada Amsal25: 10, yakni dalam bentuk kata kerja Pi’el berbunyi יְחַסְּדְךׇ  (yehassedeka)   artinya  engkau mencemohkan/ mempermalukan .

10)   W.R.Smith, op.cit, hal. 408.

11)   H. Whealer Robinson, Inspiration and Revelation in the Old Testament, Oxford, 61963, hal. 58.

12)   W.Zimmerli, artikel χαρις (kharis) , dalam buku G. Friedrich ( ed.), Theological Dictionary of the New Testament, IX, Michigan, 1949.hal. 382.

13)   Buku itu berjudul, Dan Word Hesed, seri Beihefte Zur Zeitschrift fur dis Altestenentliche Wissenschaft (BZAW), 47, Berlin, 21961.

14)   N. Glueck, ibid., hal. 4 ff.

15)   ibid., hal.21 ff.

16)   ibid., hal. 33 ff.

17)    ibid., hal. 49.

18)   Kutipan dari E.Jacob, Theology of the Old Testament, New York 1958, hal. 106, dari Vetus Testamentum, 1952, hal. 224f.

19)   A.Lodds, The prophets and the rise of Judaism, London, 1937, hal.89,  yang dikutip oleh H.H.Rowley, The Biblical doctrine of Election, London, 1964, hal. 22.

20)   H. Borrows, An Outline of Biblical Theology, 1956, hal. 252, dikutip oleh H.H.Rowley, The Biblical doctrine of Election, hal. 22.

21)   N.H.Snaith, The Distinctive ideas of the Old Testament, London, 1944, hal. 95.

22)   Hanya pada 1 Raja 8.23; Neh. 1: 5; 9: 32; 2 Taw.6: 14.

23)   W.Zimmerli, opcit., hal. 382.

24)   H.Whealer Robinson, opcit., hal. 58f.

25)   E. Jacob, Theology of the Old Testament, Naw York 1958,hal.103 ff.

26)   Pokok dari hesed dalam PL menjadi pola hidup orang-orang percaya yang menjadi seorang hasid. Dalam pengertian ini hasid adalah seorang yang takut akan Allah, dan menunjukkan kesalehan kepada sesama di dalam perjanjian itu.

27)   Lihat H.H.Rowley, The Biblical doctrine of elecetion, London 1964, hal, 22. Hal yang sama dijumpai dalam buku J. Hasting (ed.). Dictionary of the Bible, art: Mercy, Edinburg, 21963, hal. 644. Dan di dalam kata “leal” dalam bahasa Inggris terkandung kesetiaan, keteguhan, ketulusan hati, tidak suka bohong ( Lihat: The Oxford English Dictionary, VII (L-M) di bawah artikel: leal, London, 1961.

28)   Pada masa bapa-leluhur Israel, perkawinan polygame sangat biasa, karena cara hidup mereka masih diatur oleh adat-istiadat dan hukum masyarakat mereka yang asli. Hukum  Musa pun tidak melarang perkawinan lebih dari satu istri bd. Kel. 21: 10; Ul. 21: 15. Larangan untuk berzinah dalam Hukum ke tujuh, tidak melarang perkawinan lebih dari satu istri, hanya larangan pengrusakan perkawinan yang telah ada (Lihat W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, tentang perkawinan dengan (atau lebih) istri (Poligami), Lampiran XII, Jakarta, 1969, hal. 389 f.

29)   O.J.Baab, artikel: Family, dalam buku G.A.Buttrick, Interpreter’s Dictionaru of the Bible, (B-J), New York Nashville, 1962, hal. 238.

30)   Bd. Kej. 37: 2, di mana anak-anak Yakub semuanya turut menggembalakan kambing-dombanya.

·         Bd. O.J.Baab, artilel: Marriage, dalam Interpreter’s Dictionary of the Bible, (K-Q), New York-Nasville 1962, hal, 280.

31)   Sama halnya dengan tradisi kepercayaan Batak. Kemampuan beranak sebanyak-banyaknya adalah berkat,  sedangkan yang sedikit terutama yang tidak ada dianggap orang terkutuk. Alasan sosial-ekonomi Batak dulunya juga membenarkan kepercayaan ini. Barangsiapa yang memperoleh banyak anak, akan bisa mengerjakan tanah yang luas, sehingga memperoleh hasil yang cukup banyak atau dengan kata lain akan menjadi kaya. Satu keluarga yang besar, (banyak laki-laki) akan sanggup berperang melawn musuh, sehingga merekalah yang ditakuti dan disegani (alasan sosila-politis).

32)   O.J.Baab, artikel Family, IDB, hal. 238.

33)   W.Lempp, Tafsiran Kejadian, IV/1, tentang: Pembalasan darah dalam Perjanjian Lama, Lampiran VII, Jakarta 1974, hal. 324.

34)   ibid., hal. 323.

35)   O.J.Baab, artikel: Family, dalam IDB (B-J), hal. 238.

36)   Dalam Kitab Apokrifa, Sirakh 3: 9: Yesus Sirakh berkata: “Pemberkatan seorang bapa mengukuhkan rumah anaknya, tetapi pengutukan seorang ibu membongkar landasannya. Pandangan yang sama kita jumpai di tengah-tengah orang Tapanuli: berkat (pasupasu) sangat diharapkan dari orang tua, tetapi orang tua dianggap juga akan memberikan kutuk apabila dia tidak mendapat penghormatan dari keturunannya.

37)  Di dalam kehidupan orang Batak setiap orang berusaha untuk memperoleh ucapan-ucapan terakhir dari orang tuanya itu sebelum  si orang tua itu meninggal dunia, karena hal itu sangat berharga bagi mereka. Itulah sebabnya apabila seorang bapa (ibu) telah jatuh sakit keras, maka diusahakanlah untuk memanggil keturunannya untuk datang berkumpul di dekat si orang tua itu, untuk mendengar dengan tekun sekali apa yang mau diucapkan dan dipesankan kepada mereka. Biasanya kalau ada pesan (tona) dari orang tua tersebut, maka seluruh keturunannya akan patuh untuk melaksanakannya. Karena hal itu dianggap sebagai penghormatan yang besar sekali kepada orang tuanya itu dari mereka.

38)   John Skinner, A Critical dan Exegetical Commentary on Genesis, seri ICC, Edinburg, 21963, hal. 341. Sejajar dengan ini lihat Kej. 24: 2.

39)   ibid., hal. 342.

40)   Lihat G.Von Raad, Genesis, London, 1963, hal. 249.

41)   Dalam agama-agama primitif cara mengambil sumpah yang lain ialah memegang barabg-barang yang berisi kuasa sakti menurut keyakinannya, sedang dalam zaman kekristenan barang itu telah digantikan dengan barang suci kristen, seperti: mezbah, patung, salib, Alkitab. Orang muslim bersumpah di atas Al-Quran.

42)   G.M.Tucker, Covenat Forms and Contact Forms, dalam Vetus Testamentum, XV, 1965, hal. 491.

43)   Matthew Henry, Commentary on yhe Whole Bible, Michigan, 1961, hal,67.

44)   Lihat W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, Jakarta, 1969, hal. 40.

45)   Klaus Koch, The Growth of the Biblical tradition: The Form Critical Method, New York, 1969, hal. 112 ff.

46)   Ibid., hal.117.

47)   Ibid., hal. 118.

48)   Ibid., hal. 118.

49)   Bd. Lempp, Tafsiran Kejadian, IV/1, Jakarta 1974, hal. 17

50)   W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, hal. 53.

51)   Ibid., hal. 54.

52)   Bd. Perbuatan David yang sengaja memasukkan Uria ke dalam komando perang supaya ia mati, sehingga ia memperoleh Batsyeba menjadi istrinya ( 2 Sam. 11: 15.24.27).

53)   W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, hal. 41.

54)   K.Koch, opcit., hal. 121.

55)   D.C.Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, Jakarta, 1970, hal. 172,

56)    גּאֲל  berakar dari akar kata  גַאַל , yang berarti menebus, membeli kembali.

57)   Anggapan ini kita jumpai terutama dalam persekutuan orang Batak. Tamu sangat diutamakan karena tamu dianggap “pembawa tua” (kebahagiaan) bagi penghuni rumah itu. Tamu juga sering merupakan penjelmaan dari “na martuatua” ( suruhan dari ompu Mulajadi na Bolon) pembawa suatu berita kebahagiaan kepada penghuni sesuatu kampung ( rumah). Apabila dia tidak dilayani dengan baik maka penghuni kampung atau rumah itu akan mendapat kutukan atau hukuman. Rupanya di tengah-tengah suku-suku pengembarapun telah demikian seperti suku Israel dan Arab. Smith berkata: “It is a principle alike in old and new Arabia that the guest is inviclable” ( Lihat H. Glueck, opcit., hal. 8).

58)   A.A.Sitompul, Tata kehidupan bangsa Allah dalam Perjanjian Lama, diktat untuk mahasiswa Fak. Theologia Nommensen, hal. 11.

59)   Hal ini akan kita uraikan lebih lanjut dalam hal. 29-31.

60)   G.Von Raad, Genesis, London, 1961, hal. 211.

61)   W.Lempp, Tafsiran Kejadian, III, hal. 221.

62)   Lihat misalnya Kej. 4: 1.17.25; 19: 8; 24: 16; 38: 26; Hak. 11: 39; 19: 22; 1 Sam. 1: 19; 1 Raja 1: 4; Bil. 31: 17.

63)   Chr.Barth, Theologia Perjanjian Lama, I, Jakarta 1970, hal. 96.

64)   Ayat yang lain dalam cerita bapa leluhur di mana LXX menerjemahkan hesed dengan dikaiosune, ialah Kej. 24: 27; 32: 11.

65)   Kata Ibrani untuk menumpas di sini dipakai חׇרַם (haram)   (ay. 3), yakni kudus bagi dewa kafir, sehingga harus ditumpas  dari hadapan Yahwe. Lihat H. Rothlisberger, Tafsiran 1 Samuel, Jakarta 1969, hal. 110.

66)   Merrill F. Unger, Unger’s Bible Dictionary, Chicago, 31966, hal. 62f.

67)   W.R.Smith, Kinship and marriage in early Arabia, Cambridge, 1885, hal. 14; Lihat Ha. Glueck, opcit., 12.

68)   Bd. Kuatnya ikatan padan (janji) dalam suku Batak .

69)   H.Rotlishberger, Tafsiran 1 Samuel, Jakarta 1969, hal. 153.

70)   C.F.Keil & Delitzsch, Biblical Dictionary on the Book of Samuel, Michigan, 1950, hal. 208.

71)   H.Rothlisberger, Tafsiran 1 Samuel , hal. 153.

72)   Lihat C.F.Keil & Delitzsch, opcit., hal. 208.

73)   H.Wilhelm Kortzberg, I & II Semuel, London, 1964, hal. 174.

74)   C.F.Keil & Delitzsch, opcit., hal. 210.

75)   H.Wilhelm Kortzberg, opcit., hal. 299.

76)   H.Rotlishberger, Tafsiran 2 Samuel, Jakarta 1970, hal. 155.

77)   H.Wilhelm Kortzberg, opcit., hal. 300.

78)   H.Rotlishberger, Tafsiran 2 Samuel, hal. 71.

79)   ibid,  hal. 119.

80)   H.H.Rowley & Matthew Black ( ed.), Peak’s Commentary on the Bible, London, Edinburg, 51967, hal. 335.

81)   H.Rotlishberger, Tafsiran 2 Samuel, hal. 74.

82)   H.W. Robinson, Inspiration and Revelation in  the Old Testament, Oxford, 1956, hal. 83.

83a), ibid, hal. 83

83)   ibid, hal. 84.

84)   ibid, hal.84.ibid, hal. 85.

85)   H.Rotlishberger, Firmanku seperti api, Jakarta, 1965, hal. 38.

86)   W. Eichrodt, Theology of the Old Testament, I, London, 1964. Hal ini diuraikan mulai dari Bab II sampai Bab XI.

87)   ibid, hal.232.

88)   Chr. Barth, opcit., hal. 94.

89)   W.Lempp. Tafsiran Kejadian, II, tentang Perjanjian Lampiran VIII, Jakarta, 1968, hal. 217.

90)   J.Begrich, Berit, ZAW 60, 1944, hal. 2

91)   Chr. Barth, op.cit., hal. 93.

92)   G.Von Raad, opcit., hal. 93.

93)   W.Lempp. Tafsiran Kejadian, III, hal. 122.

94)   Ibid, hal. 122.

95)   Ibid, hal. 174.

96)   Chr. Barth, opcit., hal. 95.

97)   J. Calvin, Genesis, II, Michigan 1956, hal.191.

98)   Mula-nula tempat tabut perjanjian adalah di Silo, tetapi setelah Silo dirusakkan oleh orang Fili, maka tabut itu ditempatkan di rumah Abinadab di Kiryat-Yearim ( 1 Sam. 7: 1)

99)   Yves M.J.Congar, The Mystery of the Temple, London, 1962, hal. 23.

100) Pengertian raja sebagai anak Allah, mungkin timbul atas pengaruh pemikiran bangsa sekitar. Di Mesir misalnya, raja dianggap sebagai anak dewa (Lihat H.W.Fairman, The Kingship Ritual of Egyp, dalam buku S.H.Hooke (ed.), Myth, Ritual and Kingship, London, 1958, hal. 75.

101)                      H.Rotlishberger, Tafsiran 2 Samuel, hal.52.

102) A.J.Johnson, Hebrew Conceptions of kingship, dalam buku S.H.Hooke, opcit. , hal.205f.

103) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem (ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal. 6.

104) S.M.Siahaan, Ulangan 6: 4-25 (Penelitian Alkitab pada Synode Bolon GKPS 21-25 Mei 1975, di Pematangsiantar, diktat, hal. 7.

105) George A.F.Knight, A Christian Theology of the Old Testament, Richmond, Virginia, 1959, hal. 224.

106) W. Eichrodt, opcit., hal. 235.

107) ibid, hal. 235f.

108) ibid, hal. 235.

109) Lihatlah Kitab Apokrifa seperti Jub.  2: 20; 19: 29; Wahyu Barukh 78: 4; Hikmat 11: 10; 14: 3; III Makkabeus 2: 21. Dalam lingkungan kaum Rabbi, predikat “Bapa dalam Surgawi” telah menunjukkan  pengertian “Tuhan Dunia” ( Lihat Eichrodt, opcit., hal. 236.

110)  Di Babilonia misalnya raja digelari sebagai  “gembala yang setia”, ( faithful shepherd), lihat Sydnei Snaith, The Practice of Kingship in early Semitics Kindom, dalam buku: S.H.Hooke, opcit., hal. 27/

111)  A. De Kuiper,Tafsiran Hosea, Jakarta, 1971, hal. 46.

112) D.C.Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, Jakarta, 1970, hal. 107.

113) ibid, hal. 107.

114)  G.A.Smith, The Book of Isaiah, II, London, 1927, hal. 281.

115) ibid, hal. 273.

116) ibid., hal. 273.

117) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem (ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal.28.

118) J.Calvin, Isaiah, II, Michigan, 1956, hal. 106f.

119) G.A.Smith, The Book of Isaiah, II, hal. 272.

120) S.M.Siahaan, Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem (ringkasan), Pematangsiantar, 1975, hal.30.

121) Ibid., hal. 30.

122) Ibid., hal. 34.

123)  Chr. Barth, op.cit, hal. 95.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

D A F T A R    K E P U S T A K A N

 

1.       Sumber  Teks.

Kittel, R, Biblia Hebraica, Stutgart, 1958.

LAI, Alkitab :Terjemahan Lama, Jakarta, 1963.

----, Alkitab: Terjemahan Baru, Jakarta, 1974.

Rahlfs, A.  Septuaginta, Stuttgart, 1952.

RSV, The Holy Bibel,  London, 1952.

----   , The Apocrypha, New York – Edinburg, 1957

Charles, R.H., The Apocrypha and Pseudepigraphs, I+II. Oxford, 1968.

2.       Buku-buku pembantu

Feyerabend, K., Langenscheidt’s Pocket Hebrew Dictionary ( to the Old Testament): Hebrew-Engkish, London, 1965.

Kochler, E., Lexicon in vetris Testamenti Libros, Leiden, 1958.

Pino, E., Wittermans, T., Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta, Croningen, 1955.

The Oxford English Dictionary, VII (L-M), London, 1961.

Tregelles, S.P., Gesenius’Hebrew and Chalde Lexicon: to the Old Testament Scriptures, Michigan, 1950.

3.       Buku-buku Tafsiran, Monografi dan artikel-artikel.

Baab, O.J., artikel: Family, dalam buku G.A.Buttrick, Interpreter’s Dictionaru of the Bible, (B-J), New York Nashville, 1962

------          , artilel: Marriage, dalam Interpreter’s Dictionary of the Bible, (K-Q), New York-Nasville 1962.

Barth, Chr.,Theologia Perjanjian Lama, I, Jakarta 1970

Begrich, ., Berit, ZAW 60, 1944.

Boland, B.J., Tafsiran Amos, Jakarta, 1966.

Calvin, J., Genesis, II, Michigan, 1956.

------,   Isaiah, II, Michigan, 1956.

Congar, Y.M.J., The Mysteri of the Temple, London, 1962.

Eichrodt, W., Theology of the Old Testament, I, London, 1964.

Fairman, H.W., The Kingship Ritual of Egyp, dalam buku S.H.Hooke (ed.),  Myth, Ritual and Kingship, London, 1958.

 

Glueck, H., Das Word Hesed, seri Beihefte Zur Zeitschrift fur dis Altestenentliche Wissenschaft (BZAW), 47, Berlin, 21961.

Henry, Matthew,  Commentary on the Whole Bible, Michigan, 1961.

Hasting, J.(ed.), Dictinaory of the Bible, Edinburg,21963.

Heinisch, P., Theology of the Old Testament, Minnesota, 1955.

Hertzberg, H.W., I&II Semuel, London, 1964.

Jacob, E., Theology of the Old Testament, New York, 1958.

Johnson, A.J.,  Hebrew Conceptios of kingship, dalam buku S.H.Hooke ed., Myth, Ritual and Kingship, London, 1958.

Keil,  C.F. & Delitzsch, Biblical Dictionary on the Book of Samuel, Michigan, 1950.

Kinight, G.A.F., A Christian Theology of the Old Testament, Eichmond-Virginia, 1919.

Klaus Koch, The Growth of the Biblical tradition: The Form Critical Method, New York, 1969.

Kuiper, A.D., Tafsiran Hosea, Jakarta, 1971.

Lemp, W., Tafsiran Kejadian, II, Jakarta, 1968

   -------     , Tafsiran Kejadian, III, Jakarta, 1969.

   --------    , Tafsiran Kejadian IV/1, Jakarta, 1974.

   --------    , Tafsiran Kejadian IV/ 2, Jakarta, 1974.

Lodds, A., The prophet and the rise of Judaism, London, 1937.

Mulder, D.C., Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, Jakarta, 1970.

Rad, G. Von, Genesis, London, 21965.

Robinson, H.W., Inspiration and revelation in the Old Testament, Oxford, 61963.

Rothlisberger, H., Firmanku seperti api, Jakarta, 1965.

          -----           , Tafsiran 1 Semuel, Jakarta, 1969.

           ----           ,  Tafsiran 2 Semuel, Jakarta, 1970.

Rowley, H.H., & Matthew Black ( ed.), Peak’s Commentary on the Bible, London, Edinburg, 51967.

Rowley, H.H., The Biblical doctrine of elecetion, London 1964.

Siahaan, S.M., Konkritisasi Pengharapan Messias sesudah kejatuhan Yerusalem (ringkasan), Pematangsiantar, 1975.

    ------           , Ulangan 6: 4-25 (Penelitian Alkitab pada Synode Bolon GKPS 21-25 Mei 1975, di Pematangsiantar, diktat.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

              

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sitompul, A.A.,Tata kehidupan bangsa Allah dalam Perjanjian Lama, diktat untuk mahasiswa Fak. Theologia Nommensen.

Skinner, John,  A Critical dan Exegetical Commentary on Genesis, seri ICC, Edinburg, 21963.

Smith, G.A., The Book of Isaiah, II, London,1927.

Smith, W.R., Kinship and marriage in early Arabia, Cambridge, 1885.

     ------        , The prophets of Israel and their place in history, London 1928.

Snaith, N.H., The Distinctive ideas of the Old Testament, London, 1944.

Snaith, Sydnei, The Practice of Kingship in early Semitics Kingdom, dalam buku: S.H.Hooke ed.),  Myth, Ritual and Kingship, London, 1958.

Tucker, G.M., Covenat Forms and Contract Forms, dalam Vetus Testamentum, XV, 1965.

Unger, Merrill F. , Unger’s Bible Dictionary, Chicago, 31966.

Walker, W.L., Lovingkindness, dalam buku, James Orr ( ed), The International Standard Bible Encyclopaedia, Michigan, 1949.

Zimmerli, W., artikel χαρις , dalam buku G. Friedrich ( ed.), Theological Dictionary of the New Testament, IX, Michigan, 19