Kamis, 26 Desember 2019

SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI TANAH B ATAK


Sejarah masuknya Agama Islam di Tanah Batak
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh

                Sebelum Kekristenan datang,  agama Islam telah lebih dulu memasuki Tanah Batak, yakni di bagian pesisir dan bagian Selatan yang berbatasan dengan daerah Minangkabau ( Sumatera barat).  Ke bagian pesisir, seperti daerah Asahan, di mana penduduknya telah banyak orang-orang Batak yang berserak dari dari daerah Toba, Islam masuk melalui jalur perdagangan,  sedangkan ke bagian Selatan, Islam masuk melalui gerakan Islam yang dilakukan oleh tentera Paderi dari daerah Minangkabau tahun 1820 an.
                Usaha pengislaman yang dilakukan oleh kaum Paderi, sebenarnya juga  dicoba sampai ke daerah Tapanuli Utara,  yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Banyak yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah Sipongki Nangolngolan, yakni kemanakan dari Sisingamangaraja X sendiri, yang sebelumnya dianggap telah meninggal, karena dia telah pernah dibuang oleh pamannya dalam keadaan hidup di dalam sebuah peti ke Danau Toba, dengan harapanan dia akan mati di sana. Ternyata dia dibawa oleh arus air Danau Toba dan terhampar di tepi sungai Asahan di Narumonda Porsea, dan diselamatkan oleh masyarakat setempat. Kemudian Si Pongki Nangolngolan pergi kedaerah Minangkabau, tinggal di daerah Rao. Dia hidup bersama masyarakat setempat dan bergabung dengan Kelompok Tuanku Imam Bonjol, dalam menentang kehadiran kolonial Belanda di sana. Dia yang sudah menganut agama Islam pada waktu itu, karena keberaniannya yang luar biasa diangkat oleh masyarakat setempat sebagai pemimpin mereka dalam menentang Belanda. Karena itulah maka banyak orang mengatakan bahwa dialah yang dikenal sebagai Tuanku Rao  yang pernah  memimpin tentera Paderi menyerbu  ke Tanah Batak untuk memperluas missi Islam  ke Tanah Batak, yang dimulai dari Tapanuli bagian Selatan yang masih dekat dengan daerah Minangkau Sumatera Barat. Dalam Sejarah Batak, masa penyerbuan  kaum Paderi ini dikenal dengan “zaman Pidari’, yakni suatu zaman yang sangat suram dan mengerikan sekali. Dalam catatan yang ditulis oleh J. Sihombing ( Sejarah Saratus Taon HKBP, hal. 11), keadaan pada masa itu digambarkan sebagai berikut:
         “Rumah-rumah dibakar, ternak-ternak dihabiskan dan dimusnahkan, serta harta benda penduduk setempat dirampas. Orang banyak terpaksa mengungsi ke hutan, sedangkan mulut anak-anak disumbat dengan kain, supaya suaranya jangan terdengar. Setiap orang yang ditemukan dipaksa untuk masuk menjadi Islam, kalau tidak diangkut dari dari sana untuk dijadikan budak”.
                 Tetapi usaha pengislaman yang dilakukan ke daerah Tapanuli bagian Utara , mulai dari daerah Pahae, Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Uluan dan Habinsaran tidak berhasil. Masyarakat setempat berjuang dengan sangat keras untuk mengadakan perlawanan, yang untuk itu banyak yang menjadi korban, termasuk Sisingamangaraja X sendiri sebagai pemimpin mereka. Ada yang mengatakan bahwa kepala Sisingamangaraja X dipenggal oleh kemenakannya sendiri yakni Sipongki Nangolngolan yang memimpin penyerbuan itu, sebagai balas dendamnya kepada pamannya itu. Tentera Paderi tersebut akhirnya terpaksa meninggakan daerah itu, karena di sana telah berjangkit wabah penyakit menular, seperti kolera, tyfus, dll, disebabkan oleh banyak bangkai manusia dan ternak yang berserakan. Peristiwa itu lama menjadi kenangan yang sangat menakutkan bagi masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Utara, dan telah menjadi salah satu faktor penghambat bagi mereka di kemudian hari untuk menerima agama Islam  sebagai agamanya.
                Keadaannya berbeda dengan yang terjadi di daerah Tapanuli bagian Selatan. Usaha pengislaman di daerah ini dapat berhasil dengan baik. Menurut para ahli sejarah, keberhasilan itu terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat  di sana tidak dapat bersatu unuk melawan gerakan itu, dan kedua, karena pemerintah kolonial Belanda, yang sejak tahun 1830 an telah berhasil menguasai daerah itu, turut membantu proses pengislaman itu, dengan cara mendatangkan sejumlah tenaga guru dan para medis dari daerah Minangkabau, untuk dipekerjakan di sana. Mereka inilah dengan sangat giat mengembangkan ajaran Islam itu di sana.
                Melihat proses pengislaman yang sedang giatnya dilakukan di darah Tapanuli bagian Selatan, sedangkan gerakan penginjilan yang mulai masuk ke sana sejak tahun 1850 an ( RMG sendiri dari Jerman baru mulai bekerja di sana 7 Oktober  1861), sangat terbatas, telah mendorong I.L.Nommensen yang sempat ditugaskan oleh RMG bekerja di darah itu, untuk memutuskan  meninggalkan tempat itu tahun 1863 dan berpindah ke daerah Silindung Tapanuli bagian Utara, di mana penduduknya masih menganut agama suku yang masih bersifat “palbegu” (animisme)  dan masih berada di daerah yang “bebas” pula, dimana kekuasaan Belanda belum sampai ke sana. Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi bersama beberapa orang temannya yang menyusul kemudian sebagai tenaga utusan RMG,  penginjilan di daerah itu ternyata dapat bertumbuh dengan sangat subur. Kemudian usaha penginjilan dan usaha pengislaman bertemu pada daerah-daerah perbatasan yang didiami oleh orang-orang Batak Toba dan orang-orang Batak Angkola-Mandailing. Untuk ini maka pemerintah kolonial Belanda melakukan suatu kebijaksanaan, agar jangan terjadi konflik antara Islam dan Kristen. Misalnya tahun 1899, Gubernur Jenderal Belanda telah mengeluarkan suatu instruksi kepada Residen Tapanuli, agar di daerah di mana sebagian besar penduduknya tidak mengakui Islam, janganlah Islam diperkenankan menjalankan pengaruhnya.  (L.Castles, The political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940, hal. 92. )
                Namun kebijaksanaan ini hanya dapat berjalan beberapa tahun lamanya. Karena setelah timbulnya gerakan kebangkitan Islam di Indonesia, dengan berdirinya cabang-cabang Serikat Islam (SI) di berbagai daerah yang berpenduduk Islam sejak tahun 1911, kebijaksanaan tersebut nampaknya mulai lemah. Hal itu misalnya dapat dilihat dari peristiwa yang pernah terjadi di daerah Janji Angkola Pahae, daerah Tapanuli bagian Utara yang berbatasan dengan daerah Tapanuli bagian Selatan. Walaupun penduduk setempat mayoritas telah menganut agama Kristen, namun pada tahun 1919, seorang Islam bernama Syeh Haji Ibrahim Sitompul telah dikukuhkan menjadi kepala negeri  di daerah itu, setelah dia meraih suara terbanyak dalam pemilihan kepala negeri. Hal itu bisa terjadi karena pengaruh SI yang sudah beberapa tahun sebelumnya masuk di sana, dan  Ibrahim Sitompul sendiri telah berfungsi sebagai ketua. Missionar setempat dan pimpinan Zending sempat mengajukan keberatan atas kejadian itu, karena apabila hal itu berjalan terus, dikhawatirkan sebagian besar orang-orang Kristen setempat akan beralih menjadi Islam. Tetapi walaupun demikian Ibrahim Sitompul tetap dikukuhkan juga. Ini berarti bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mau mencampuri soal agama selama tidak mengganggu kepentingan politik pemerintahan Belanda.
Islam masuk ke Tapanuli bagian Utara
                Dengan menyerupakan diri sebagai salah satu “zending”, yang mendapat kebebasan dari pihak kolonial Belanda memasuki daerah Tapanuli bagian Uatara, tahun 1930 an Islam juga telah berusaha menjalankan missinya di daerah itu, dan mendirikan pusat penyebarannya di sana. Pada waktu itu hampir seluruh masyarakat Batak yang ada di Tapanuli bagian  Utara, mulai dari daerah Pahae, Silindung,Humbang,Toba, Uluan, Habinsaran, Samosir, Dairi, telah menganut agama Kristen. Dalam laporannya tahun 1938, Demang Renatus Hutabarat yang bertugas di daerah Toba pada waktu itu mengatakan bahwa  pusat penyebaran Islam untuk wilayah Toba pada waktu itu telah berdiri di tiga tempat yakni di  Balige, Tambunan dan Porsea Uluan. (Memorie van overgave en overname, ketikan dalam bahasa Indonesia, hal. 130),
                Usaha penyebaran Islam di beberapa tempat tersebut dilakukan oleh beberapa orang perantau asal daerah itu yang sudah menganut agama Islam. Dari laporan Synode Godang HKBP 1933 diketahui bahwa di desa Tambunan misalnya, seorang putera asal daerah itu mencoba mengislamkan penduduk setempat dengan bujukan kekekeluargaan dan pengaruh uang. Dengan cara demikian maka berhasillah dia mengislamkan sejumlah tujuh keluarga, kendatipun semuanya  adalah mereka yang sedang menjalani hukum pengucilan gereja. ( Notulen Synode Godang 1933, hal. 2). Di Uluan Porsea sebanyak 1500 orang berhasil diislamkan, tetapi kebanyakan dari antara mereka adalah orang yang masih menganut agama suku Batak. ( Notulen 1933, hal. 1).
                Niat orang Islam untuk mengislamkan orang-orang Batak pada waktu itu memang sangat besar sekali.  Seorang muslim yang bernama R. Lubis, tahun 1933, menulis sebuah buku yang berjudul “ Rahasia Bibel”, di mana dia mencoba mengemukakan beberapa kelemahan Alkitab di mata orang Kristen dari sudut pandangan Islam. Tetapi pengaruh dari buku itu tidk sempat meluas, karena para pendeta HKBP pada waktu itu segera untuk membendungnya. (Notulen Rapat Pendeta HKBP 1933, hal. 37).
                Demikianlah sekilas mengenai sejarah masuknya Islam di Tanah Batak. Dari situ bisa kita ketahui mengapa mayoritas masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Selatan telah masuk menjadi Islam karena jauh sebelum datangnya kekristenan, masyarakat Batak di sana telah diislamkan dari daerah Minangkabau. Pengaruh Islam itu belum sampai ke tengah-tengah masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara, karena masyarakat Batak setempat pada waktu itu bisa berhasil menghalau pengaruh tentera Minangkabau yang juga berusaha memasuki Tanah Batak bagian Utara,  sehingga masyarakat Batak setempat tetap menganut agama sukunya yang masih bersifat animisme. Keadaan ini memberi peluang bagi missi Kristen yang datang kemudian  dari Eropa khususnya dari Jerman, sehingga kepercayaan  masyarakat Batak Tapanuli bagian Utara yang masih menganut agama suku itu bisa ditaklukkan oleh kekristenan itu sendiri. Tahun 1930 an, hampir seluruh masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara telah menganut agama Kristen. Tetapi sejak waktu itu kebebasaan misi keagamaan dan zending yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda memasuki Tanah Batak yang masih dikuasainya, maka pihak Islam juga berusaha menjalankan missi keagaamaan mereka di sana. Tetapi hal itu telah menjadi suatu dorongn  bagi gereja HKBP pada waktu itu untuk semakin banyak mengadakan dan menggiatkan pembinaan dan pembekalan mengenai kekristenan itu kepada warganya, supaya mereka tidak begitu mudah terpengaruh dengan godaan pengaruh kepercayaan yang lain, seperti Islam. Karena kesungguhan pihak gereja untuk membekali warganya akan iman  kekristenan itu, maka pengaruh missi Islam itu tidak begitu  menyebar. Tetapi tantangan yang paling besar di kemudian hari  dari pihak Islam bagi masyarakat Kristen Batak adalah di beberapa daerah “perantauan”, di mana orang-orang Kristen dari daerah Tapanuli bagian Utara telah banyak yang berserak,  khususnya di tempat-tempat yang penduduknya mayoritas Islam. Karena mengalami tekanan sosial-ekonomi, politik dan bahkan kepercayaan di beberapa tempat tersebut, juga karena pergaulan mereka dengan masyarakat lingkungannya, khusus para muda-mudi, tidak sedikit dari antara orang-orang Kristen Batak “terpaksa” masuk menjadi Islam, apalagi mereka yang belum memiliki bekal iman kekristenan yang cukup. Tetapi  keadaan ini tentu akan menjadi tantangan dan dorongan bagi pihak gereja untuk tetap membenahi dan meningkatkan pelayanannya terhadap semua warganya di mana pun berada.(msm)

Senin, 23 Desember 2019

SEJARAH PERAYAAN NATAL

SEJARAH PERAYAAN NATAL

Mengapa umat Kristen merayakan kelahiran Yesus Kristus pada setiap tanggal 25 Desember? Belakangan ini semakin banyak orang yang mempertanyakan kebenaran dari Perayaan Hari Natal setiap tanggal 25 Desember., dengan mengatakan tidak benar Yesus itu lahir pada tanggal 25 Desember. Alasanya tanggal itu tidak ada disebutkan dalam Kitab Injil yang memberitakan tentang kelahiran Yesus. Lagi pula katanya, jika dihubungkan dengan berita dalam Kitab Injil Lukas bahwa kelahiran Yesus itu diberitakan kepada para gembala yang bermalam di Ladang Efrata, tidak mungkin dalam musim dingin tangal 25 Desember itu para gembala bisa bermalam di ladang dalam menjaga ternaknya.
Jika dikaji dari sudut historis memang kita ketahui bahwa hampir empat abad lamanya umat Kristen atau gereja mula-mula belum mengenal adanya perayaan hari helahiran Yesus, yang belakangan ini lebih dikenal dengan “hari Natal”. Sedangkan perayaan-perayaan yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sebelumnya, mulai dari hari Minggu, Paskah, Pentakosta dan Kenaikan Yesus ke sorga. Perayaan hari Minggu yang diadakan setiap minggu dilakukan untuk menggantikan hari Sabbat Yahudi yang dilakukan setiap hari Sabtu. Hari Minggu dipakai oleh umat Kristen menggantikan Sabat Yahudi,  karena  hari itu adalah hari Tuhan, dimana pada saat itulah Yesus bangkit dari kematian, dan juga pada saat itulah hari turunnya Roh Kudus yang melahirkan gereja. Perayaan Paskah tetap dilakukan oleh umat Kristen seperti halnya umat Yahudi sehingga waktunya tetap diseuaikan dengan Paskah Yahudi yang dimulai setiap taggal14 bulan Nissan menurut kalender Yahudia atau sekitar akhir bulan Maret atau awal bulan April menurut kalender Masehi. Kalau umat Yahudi merayakan Paskah dengan penuh kegemberiraan mengingat keluarnya nenek-moyang mereka dari perhambaan Mesir, akan tetapi umat Kristen memulai Paskah tanggal 14 bulan Nissan itu dengan puasa yang sungguh-sungguh mengingat penyaliban yang terjadi bagi diri Yesus, dan baru kemudian diakhiri dengan  perayaan Ekaristi yang penuh sukacita, mengingat kebangkitan Yesus.
      Perayaan lain yang sudah diikuti oleh umat Krsiten sebelum adanya Perayaan Natal adalah Perayaan Pentakosta dan Kenaikan Yesus ke Sorga. Perayaan Pentakosta juga mengikuti tradisi Yahudi yakni hari ke lima puluh sesudah Paskah. Karena Roh Kudus turun bagi murid-murid Yesus tepat pada hari Pentakosta Yahudi  (suatu pesta Panen bagi orang Yahudi), maka orang-orang  Kristen juga menetapkan perayaan kedatangan Roh Kudus itu setiap hari Pentakosta itu juga, yakni pada Minggu ke tujuh sesudah Paskah. Hari Pentakosta ini kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran gereja karena pada hari itulah lahirnya gereja yang pertama sebagai buah dari pekerjaan Roh Kudus. Pesta Pentakosta adalah merupakan pesta kedua terbesar setelah Pesta Paskah yang dirayakan orang Kristen pada mulanya. Pesta itu di beberapa gereja  kemudian, seperti di Inggris, sering juga disebut “Minggu putih” (White Sunday), karena pada  hari Pentakosta itu sering juga dilakukan pembaptisan, di mana orang-orang yang baru dibaptis itu mengenakan pakaian putih. Pesta Kenaikan Yesus juga dirayakan sejak mulanya, yakni 40 hari setelah Paskah, sesuai dengan Kis. 1:3.

 Epifanias dan Natal.  Pada sekitar abad ke 4 M, dua pesta Kristen yang besar bertambah, yakni: Epifanias yang dirayakan pada tanggal 6 Yanuari dan Natal yang dirayakan pada tanggal 25 Desember. Sebelum itu orang-orang Kristen yang mengalami penghambatan dan persekusi (penganyayaan) selama lebih dari tiga abad lamanya belum mengenal perayaan hari lahir Yesus. Tetapi setelah agama Kristen atau gereja mulai mendapat pengakuan di kekaisaran Romawi oleh kaisar Konstatntinus Agung ( tahun 312), dimana umat Kristen telah mendapat kebebasan untuk melakanakan bebagai kegiatan, maka mulailah gereja memikirkan perlunya umat Kristen  merayakan hari kelahiran Yesus, sebagaimana masyarakat di lingkungan kekaisaran Romawi telah mempunyai kebiasaan merayakan hari kelahiran dewa-dewa yang disembah. Karena saat kelahiran Yesus itu sudah berselang demikian lama, maka orang-orang Kristen pada abad yang keempat itu tidak bisa lagi mengingat kapan tanggal dan bulan yang tepat dari hari kelahiran Yesus itu. Petunjuk untuk itu pun juga tidak dijumpai, baik dalam Kitab Injil maupun dalam tulisan-tulisan sejarah pada waktu itu.  Memang dalam kitab Lukas 2:1 disebutkan  bahwa kelahiran Yesus itu terjadi bertepatan dengan keluarnya surat perintah sensus dari Kaisar Agustus untuk seluruh warga kekaisaran Romawi. Tetapi catatan sejarah tidak menyebut tanggal dan bulan dari sensus itu diberlakukan, hanya tahunnya yang disebutkan yakni sekitar tahun 6 atau 7 sebelum Masehi.
      Karena tidak ada petunjuk yang tepat,  maka tidak ada lagi yang mengetahui secara persis  hari kelahiran Yesus Kristus itu. Tetapi di bagian bumi belahan Utara telah ada kebiasaan masyarakat yang sudah lama terjadi mengadakan suatu pesta pada setiap akhir Desember atau awal Januari, yakni pada waktu melewati hari yang paling pendek. Di Roma pesta musim dingin seperti itu disebut “pesta Matahari tak terkalahkan” (Sol Invictus atau Kemenangan Matahari). Kebiasaan  itulah yang diambil-alih oleh gereja di Roma sebagai hari kelahiran Yesus yang ditetapkan pada setiap tanggal 25 Desember, dengan mengisi pemahaman yang baru yakni Yesus Kristuslah Matahari Kemenangan itu, yang telah mengalahkan kegelapan dunia. 
      Sekitar abad 4 itu juga, Helena, ibu dari kaisar Konstantinus Agung, yang telah menjadi pendukung Kristen, telah membangun sebuah gereja di atas gua kelahiran Yesus di Betlehem. Setiap tanggal 6 Januari para uskup dan orang banyak datang ke gereja itu berprosesi untuk merayakan penampakan (Epifania) Yesus. Pesta ini, selain sebagai peringatan kelahiran Yesus, juga berkaitan dengan peringatan peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohannes Pembaptis di sungai Jordan, di mana pada waktu itu  Dia “nampak” sebagai Anak Allah yang dikasihi (Mat.3,17). Di kalangan orang-orang Kristen di wilayah Timur kekaisaran Romawi, seperti di Mesir, Armenia, Palestina, Yunani, hari Epifanias tanggal 6 Januari itulah yang ditetapkan pada mulanya sebagai perayaan hari kelahiran Yesus. Mengapa mereka memilih tanggal 6 Januari itu ? Sebelum kekristenan, orang-orang Mesir telah merayakan tanggal 6 Januari sebagai hari mempermuliakan Dewa Kore yang melahirkan “Aion”. “Aion” berarti yang kekal. Orang-orang Kristen Mesir (gereja Koptik) mengambil hari itu sebagai perayaan kelahiran Kristus, dengan mengingatkan bahwa Yesus Kristuslah “Aion” atau Yang kekal itu. Gereja Armenia dan gereja Koptik sampai sekarang masih memegang Epifania sebagai hari kelahiran Kristus. Demikian juga Gereja Orthoks Syria di India.
      Untuk pertama kali perayaan Natal pada 25 Desember diadakan di Roma tahun 354, yakni dengan mengambil “hari pesta Matahari tak terkalahkan” yang dirayakan masyarakat setempat sebelum kekristenan. Dengan berbuat seperti itu orang-orang Kristen tersebut mau menunjukkan kepada masyarakat setempat bahwa Yesus Kristuslah “Matahari yang tak terkalahkan” itu atau “Matahari kemenangan” bagi seluruh umatNya. Pilihan itu memang tepat, karena sejak abad ke 4, kekristenan telah menang di seluruh kekaisaran Romawi, sedangkan agama-agama yang lama menjadi agama yang harus disingkirkan. Orang-orang Kristen Roma menyebut perayaan itu ‘Dies Natalis atau hari kelahiran -Yesus Kristus. Mulai abad 11, di Inggris hari kelahiran Kristus itu lebih dikenal dengan “Christmas” ( Mass of Christ) season, yang berasal dari kata “Cristes Maesse”  atau Misa Kristus. Makna sebenarnya adalah merayakan anugerah terbesar yang Allah sediakan dalam diri Yesus Kristus yang bersedia turun ke dunia sebagai Raja damai.
      Kebiasaan merayakan  hari kelahiran Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember juga tersebar dengan cepat ke bagian Timur. Di sebagian besar umat Kristen  tanggal 25 Desember itu dapat diterima sebagai hari kelahiran Kritus, sedangkan tanggal 6 Januari itu dirayakan sebagai hari Epifanias, yang dihubungkan  dengan pembaptisan Yesus. Di kemudain hari orang-orang Kristen di Barat juga mengambil hari Epifanias itu juga sebagai pesta Kristen, tetapi mereka menghubungkannya bukan hanya dengan pembaptisan Yesus saja, tetapi juga dengan saat “penampakan Kristus” kepada orang-rang kafir, khususnya kepada orang-orang Majus dari Timur itu ( Mat.2:1ff).
      Sehubungan dengan telah ditetapkannya 25 Desember sebagai Perayaan Kelahiran Yesus Kristus, maka dalam Konsili Saragossa di Spanyol tahun 380 ditetapkanlah adanya masa Adven  sebelum Natal sebagai kewajiban bagi  umat Kristen mempersiapkan diri, supaya perayaan Natal itu benar-benar perayaan yang bersifat krstiani dan perayaan itu benar-benar memawa makna keselamatan bagi umat Kristen. Adven yang berati kedatangan (Kristus) ditetapkan mulai pada hari Minggu terdekat dengan tanggal 30 Nopember ( antara tanggal 27 Nopember dan 3 Desember) dan berlangsung sampai malam Natal 24 Desember, yang terdiri 4 minggu Adven. Dalam masa itu belum diperkenankan untuk merayakan Natal.
      Masa Adven itu bukan hanya sekedar untuk mempersiapkan perayaan Natal, agar perayaan itu secara seremonial dan dekoratif bisa begitu bagus, indah dan mengaggumkan kelihatannya, tetapi lebih dari itu yakni untuk mempersiapkan diri supaya kelahiran Yesus itu bisa benar-benar membawa keselamatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya bagi dirinya. Jadi firman Tuhan yang disoarakan pada minggu adven, adalah firman Allah yang mengarah kepada perenungan pribadi akan dosa-dosa yang dilakukan sehingga hatinya terdorong untuk bertobat, dan membuka diri untuk pembaharuan hidup dari Yesus.
      Belakangan ini masa-masa Adven itu hampir tidak mempunyai makna lagi, tinggal hanya sebagai ungkapan-ungkapan tahun  gerejawi saja, karena masa adven itu telah dikaburkan oleh perayaan-perayaan natal yang hanya bersifat seremonial, dekoratif dan hiburan saja. Ini bisa dilihat karena banyak yang telah merayakan natal mulai dari hari-hari pertama dari masa adven itu sendiri. Ini disebabkan karena perayaan natal itu semakin banyak dilakukan. Kalau yang tadinya itu dilakukan pada malam 24 Desember dan tangal 25-26 Desember saja, dan kalau perlu setelah itu sampai atas hari Epifanias. Semua kelompok anggota jemaat, kategorial, kelompok masyarakat, kelompok marga, arisan,  sekolah-sekolah, telah melakukan perayaan natal, sehingga bisa menyita banyak waktu, dana dan energi. Tetapi sering terkesan perayaan natal itu hanya hanya kesempatan untuk bisa berkumpul, bergembira ria, dan makan-makan yang lebih enak. Ada orang mengatakan bahwa dalam satu kali masa natal, seseorang bisa sampai lebih dari sepuluh kali mengikuti perayaan natal.  Tetapi perlu direnungkan, apakah dengan banyak perayaan natal yang diikuti, dia semakin  mengenal Yesus itu, dan juga bisa semakin memahami atau menghayati arti dan makna kedatangan Yesus itu ke dunia. Sampai sekarang yang tetap konsisten dengan pemanfaatan mingu-minggu adven untuk menjadi perenungan pribadi dan mempersiapkan diri akan kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini, dan memeprsiapkan diri untuk menantikan kedatangan Kristus yang ke dua kali adalah gereja Roma Katolik, sedangkan bagi kebanyakan gereja-gereja Protestan makna masa adven itu semakin kabur karena sudah disingkirkan oleh perayaan-perayaan natal yang cenderung hanya menonjolkan seremonial, dekoratif dan kesenangan-kesenangan duniawi yang sifatnya hanya sementara. Ini perlu direnungkan bersama agar ke depan perayaan natal itu semakin bermakna sebagaimana dikehendaki oleh Yesus Kristus yang kelahirannya dirayakan itu. Selamat hari Natal bagi kita semua. (Pdt MSM Panjaitan).




Minggu, 24 November 2019

JABATAN PENDETA SEBAGAI PANGGILAN

Jabatan” (Tohonan) pendeta sebagai panggilan
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh ( Pendeta HKBP Emeritus)

1.      Pendahuluan
            Banyak orang yang mengertikan bahwa jabatan pendeta itu sebagai profesi, sama seperti pekerjaan-pekerjaan yang lain. Pada hal secara teologis dan secara gerejawi  jabatan pendeta  bukanlah sebuah profesi melainkan sebagai panggilan.  Mungkin sulit  untuk membedakan antara  profesi dan panggilan.  Profesi adalah sebuah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus, misalnya profesi guru, profesi dokter, profesi yang bergerak di bidang hukum, tehnik, desainar, tehnik, dll.  Profesi adalah pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan  adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik  sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Profesi bisa diperoleh atas upaya manusia itu sendiri. Sedangkan jabatan pendeta pekerjaan khusus yang diberikan Allah melalui panggilan.
            Panggilan adalah suatu tugas yang diberikan oleh Allah kepada manusia yang mengacu kepada pelayanan.  Seseorang dipanggil oleh Tuhan  untuk mengabdikan dirinya dalam  pekerjaan khusus Allah di dunia ini, yang berhubungan dengan karya penyelamatan yang direncanakan terhadap umat-Nya.  Misalnya  dalam Kitab Perjanjian Lama Musa dipanggil oleh Allah untuk mnyelamatkan bangsa-Nya dari perbudakan Mesir  dan memimpinnya memasuki tanah perjanjian Kanaan. Para nabi  dipanggil oleh  Allah untuk menyampaikan Firman-Nya  kepada umat-Nya  agar hidup sesuai dengan  hukum Tuhan demi keselamatan mereka. Dengan panggilan itu para nabi bisa menyampaikan tegoran  atau kecaman kepada umat Allah, apabila telah melakukan hal-hal yang menyimpang atau melawan hukum Tuhan, agar mereka bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Jadi di dalam pangilan itu terkandung  suatu pemberian tugas   untuk melayani Allah  dalam menjalankan suatu  pekerjaan khusus atau mencapai suatu tujuan khusus. Dalam Perjanjian Baru pengertian panggilan itu juga sama.  Panggilan itu pada mulanya  diarahkan kepada pemanggilan kedua belas murid Yesus untuk dipersiapkan menjadi para rasul-Nya yang kelak akan diutus untuk memberitakan Injil Kerajaan Allah ke segenap bangsa di dunia ini, serta mengajarkan apa yang sudah  diperintahkan Yesus kepada mereka. Dalam perkembangan selanjutnya panggilan itu semakin meluas  sejalan dengan berdirinya gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya kepada Yesus sebagai buah dari penginjilan itu sendiri di berbagai  daerah di dunia ini. Muncullah berbagai jabatan pelayanan di dalam gereja, yang berdasar kepada panggilan  Tuhan kepada masing-masing mereka.
2.      Pengertian jabatan pendeta

Pada umumnya gereja-gereja protestan di Indonesia mempergunakan sebutan pendeta kepada  orang yang mempunyai tugas panggilan  sebagai  pelayan Firman Tuhan dan tugas penggembalaan  atau kepemimpinan dalam gereja. Pada umumnya gereja-gereja Prostentan di Eropa memakai kata pastor, dan Gereja Katolik Roma di Indonesia juga memakai kata pastor atau imam. Kata pendeta dipakai sebagai terjemahan dari kata”pastor” (gembala) yang dipakai di gereja-gereja Eropa.  Kata itu berasal dari bahasa Sansekerta yakni “pandita”.  Gereja  HKBP  yang merupakan hasil penginjilan “Rheinische Missionsgesselschaf” (RMG) dari Jerman langsung memakai kata “pandita” untuk menerjemahkan  sebutan “pastor” yang dipergunakan  di gereja-gereja Jerman  atau “Reverend” (orang yang terhormat) di gereja-gereja Inggris.  Sejak awal para missionar yang diutus oleh RMG mengenakan sebuatn itu untuk para pelayan pribumi (orang Batak) yang telah memperoleh pendidikan khusus di bidang teologi dan pelayanan kegerejaan  setelah memperoleh pengalaman melayani sebagai “guru” paling sedikit sepuluh tahun. Sedangkan para missionar itu  tidak dipanggil dengan sebutan pendeta, tetapi  dengan sebutan “tuan”.  Gereja-gereja di Indonesia yang mempunyai latar-belakang penginjilan dari Belanda  sempat memakai  sebutan “Dominus” (disingkat Ds), dan diucapkan Domine, yang artinya juga  Tuan.  Sempat juga  sebutan itu dipakai  di sebagian pendeta HKBP, yakni para pendeta yang tamat dari “Hoogere Theologische School” (HTS),  yakni Sekolah Theologia Tinggi  yang berdiri di Jakarta mulai tahun  1934.  Sekolah ini kemudian ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta.  Sebutan itu dipakai untuk membedakan  para pendeta yang tamat dari HTS Jakarta dan yang tamat dari Seminari Passurnapitu dan Seminari Sipoholon. Ada juga gereja-gereja di Indonesia, terutama yang  memakai  sebutan itu  untuk pendetanya. Tetapi  sekarang pada umumnya gereja-gereja Protestan  baik yang merupakan hasil penginjilan dari Lembaga-lembaga Zending dari Eropa, maupun gereja-gereja  Pentakosta atau juga Kharismatis  yang pada umumnya berasal dari Amerika, sudah memakai sebutan pendeta untuk pelayan yang berfungsi sebagai gembala di gerejanya.
Dalam tradisi Hindu atau Budha, “pandita” berarti guru agama, kaum brahmana,  orang terpelajar yang memiliki banyak pengetahuan. Ucapan seorang pandita  diyakini sebagai kebenaran atau dharma. Karena itu dalam tradisi Hindu, ada empat sifat  yang harus ditunjukkan oleh seorang pandita, yakni: pertama, Sang Satya Wadi artinya selalu membicarakan kebenaran; kedua, Sang Apta artinya selalu dapat dipercayai; ketiga, Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian; keempat, Sang Penadahan Upadesa artinya  memiliki kewajiban memberi pendikan  moral kepada masyarakat. Oleh karena itu, pandita disebut Adi Guru Loka yaitu guru utama dalam lingkungan masyarakat.
Karena mempunyai persamaan  dengan seorang pelayan Tuhan yang diharapkan sebagai pembawa Firman Tuhan kepada Jemaat Tuhan dan juga memberi pengajaran dan tuntunan  yang baik  kepada umat Tuhan melalui penggembalaan, dan juga  memberi pengajaran  tentang nilai-nilai kekristenan  kepada semua orang, maka istilah pandita itulah yang dipakai oleh Gereja Batak (HKBP) melalui para missionar kepada setiap orang yang terpangil untuk  mengemban tugas tersebut.  Tugas pelayanan tersebut dinamai “tohonan”  yakni istilah Batak yang sangat sulit diterjemahkan dalam bahasa lain. Ada yang mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata “toho” (tepat) dan “an” (itu) yang artinya si Anulah yang tepat untuk melakukannya atau membicarakannya. Jadi “tohonan” adalah suatu pekerjaan khusus yang sangat penting yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang ditentukan untuk itu, yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang lain. Sebelum masuknya kekristenan di Tanah Batak, istilah itu sudah dipakai  di tengah-tengah masyarakat Batak yang juga dikenakan kepada orang-orang yang mempunyai pekerjaan khusus, seperti  kepada “datu” (tohonan datu),  “raja’ (tohonan raja),  pembicara dalam adat (tohonan raja parhata),   status sebagai  abang (tohonan sihahaan), dan lain-lain.  Dalam masyarakat Batak “tohonan” itu juga mempunyai makna kehormatan atau status  dalam masyarakat.  Latar belakang pemahaman Batak  akan “tohonan” itu kelihatannya  juga berpengaruh kepada pemahaman  akan “tohonan” dalam gereja, karena ada yang menganggap “tohonan” dalam gereja itu  juga sebagai kehormatan.  Apalagi karena sulitnya memeperoleh terjemahan yang tepat terhadap istilah itu.  Sampai sekarang  terjemahan yang  banyak dipakai untuk menyebut “tohonan” adalah  jabatan, yang pada dirinya  dalam pengertian jabatan terkandung  arti status yang mempunyai makna kehormatan di tengah-tengah masyarakat.
Di tengah-tengah Gereja Batak (HKBP), dalam sejarahnya “tohonan pandita” merupakan “tohonan” yang ketiga. Tetapi walaupun muncul sebagai tohonan yang ketiga, di kemudian hari “tohonan pandita” dikenal sebagai “tohonan pokok”. “Tohonan” yang pertama diberikan kepada orang Kristen Batak ialah “tohonan sintua”, yang tugas utamanya sebagai teman sekerja dari para misionar itu untuk menggembalai  para anggota jemaat yang ada di lingkungannya, termasuk menggiatkan mereka untuk rajin mengikuti kebaktian minggu, menggiatkan anak-anak untuk rajin pergi ke sekolah, mendekati orang-orang yang belum Kristen untuk ikut menerima keselamatan dari Kristus.  Itu diberikan bagi empat orang putera Batak  yang sudah Kristen tahun 1867, di gereja Dame Saitnihuta, Tarutung. “Tohonan guru” mulai diberikan tahun  1873 yakni kepada lima orang petera Batak  yang telah menyelesaikan  pendidikan sebagai Guru Injil di Seminari Parausorat yang mulai dibuka tahun 1868.  Guru-guru ini diberi tugas untuk mengajar anak-anak di sekolah asuhan zending, dan sekaligus juga melayani  di Jemaat yang menyatu dengan sekolah tersebut. Mereka berfungsi sebagai pengajar dan juga sebagai pengkhotbah (teacher-preacher).  “Tohonan pandita” mulai diberikan  kepada putera Batak tahun 1885,  yakni kepada tiga orang yang tamat dari Sekolah Pendeta yang mulai dibuka di Seminari Passurnapitu tahun 1885.  Tugas dari para pendeta tersebut  yang diberikan pada waktu  itu adalah untuk memelihara anggota jemaat, melalui pemberitaan Firman, pelayanan sakramen, penggembalaan,  perkunjungan kepada orang sakit,  “paminsangon” (penegoran), pemeliharaan dan pemberian ajaran yang murni sesuai dengan yang disaksikan dalam Alkitab,  menuntun anak-anak,  menjadi teladan dalam setiap perilaku hidup, menjalankan apa yang diputuskan oleh  sinode, dan lain-lain.  Inilah “tohonan hapanditaon”  yang diterima oleh seorang pendeta HKBP, yang diterima pada waktu penahbisan  dirinya sebagai pendeta, seperti dituliskan dalam Agenda (Tata Ibadah) Penahbisan Pendeta. “Tohonan” itu  diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja, melalui  gereja-Nya di dunia ini. Dalam menerima itu seorang pendeta harus berjanji untuk melakukannya  dengan segenap hidupnya.  Inilah juga penampakan pelayanan Kristus  dengan tiga jabatan-Nya itu, yakni sebagai nabi, imam dan raja.  Dan untuk meneruskan pelayanan Kristus  itu di dunia ini, di gereja mula-mula diangkatlah rasul, nabi, pemberita Injil, gembala, pengajar, diaken/ diakones, penetua, uskup (pengawas).  Dengan mengikuti tradisi  Gereja Reformasi, HKBP  mengaku bahwa  semua pelayanan dan jabatan-jabatan  tersebut telah dicakup dalam jabatan (tohonan) kependetaan.  Ini dinyatakan oleh HKBP dalam Pengakuan Iman (Konfessi)  HKBP tahun 1996 pasal 9.

3.       Jabatan kependetaan dalam gereja-gereja Mula-mula.

Sumber-sumber yang memberi informasi bagi kita mengenai jabatan kependetaan dalam gereja mula-mula adalah Kitab Perjanjian Baru, khususnya Kitab Kisah Rasul-rasul, dan juga Surat-surat para rasul. Jabatan-jabatan itu adalah rasul, nabi, pemberita Injil, pengajar (guru), gembala,  diakon/diakones,  penetua (persbyteros), dan penilik atau pengawas (epsikopos)  Jemaat.  Seperti sudah dijelaskan di atas, HKBP mengakui bahwa semua jabatan-jabatan tersebut sudah tercakup dalam “tohonan” pendeta.  Itu berarti bahwa semua pelayanan yang dilakukan oleh pemegang jabatan tersebut adalah masuk dalam  tugas pelayanan seorang pendeta. Memang di HKBP, masih ada jabatan-jabatan pelayanan yang lain  selain pendeta, yakni guru,  bibelvrow (penginjil wanita), diakon/ diakones, evangelis (pemberita injil), dan “sintua” (penetua). Tetapi semua  jabatan itu tidak terlepas dari jabatan pendeta, dan semua pelayanan mereka adalah membantu  tugas pelayanan  pendeta.

3.1.  Para rasul

Pada zamannya, Yesus telah memanggil dua belas orang menjadi murid-murid-Nya. Ke dua belas orang itu  diajari dan dilatih selama lebih kurang tiga tahun untuk  menjadi  “apostolos” yang artinya rasul, utusan-Nya untuk memberitakan Injil keselamatan yang dibawa-Nya ke seluruh bangsa di dunia ini. Bilangan dua belas adalah bilangan simbolis, menunjuk kepada kedua belas suku Israel. Itu juga memberi petunjuk kepada arti gereja sebagai Israel yang baru. Mereka inilah para saksi dari kehidupan, kematian dan kematian Yesus (Ksi. 1: 4-11). Setelah  tiadanya Yudas Iskariot yang bunuh diri karena menghianati Yesus,  jumlah dua belas itu tetap dipertahankan dengan memilih  Matias sebagai gantinya. Namun dalam perkembangan kemudian, istilah  “rasul” lebih sering dipakai untuk menyebut  utusan langsung dari Yesus, dari pada sebuatn “kedua belas” orang itu.
Utusan “rasul” yang datang dari pemikiran Yahudi berarti seorang utusan (duta) yang dihunjuk dengan mempunyai tanggung-jawab yang penuh untuk mewakili  seseorang yang mengutus dia. Dalam Kitab Perjanjian Baru( PB) para rasul disebut meliputi yang dua belas orang itu, ditambah dengan beberapa orang lain yang telah melihat  Yesus yang bangkit itu dan yang ditetapkan melalui Roh Kudus. Rasul-rasul   yang disebut selain dari yang dua belas itu ialah Paulus, Barnabas, Silvanus dan Yakobus, saudara Yesus. Mereka adalah penginjil-penginjil utama. Paulus tidak pernah mempersamakan dirinya dengan yang dua belas itu, namun dia dengan keras mempertahankan bahwa dia tergolong rasul ( 1Kor. 15: 8-10). Para rasul bukan hanya bertugas untuk mengabarkan Injil, tetapi mereka juga berbuat dengan kuasa atas orang-orang sakit dan setan-setan (Matius 1: 1dst). Karena ke dua belas dan para rasul itu  langsung diperhubungkan dengan pelayanan Kristus yang memanggil mereka di dunia ini, maka bagi mereka tidak ada pergantian. Mereka mempunyai murid-murid sendiri, tetapi murid-murid mereka itu tidak diangkat menjadi rasul untuk menggantikan mereka.
Para rasul yang dua belas itu adalah pemimpin-pemimpin  pertama dari gereja mula-mula. Mereka mempertahankan kepemimpinan gereja di Yerusalem hingga hancurnya kota itu tahun 70 M oleh tentera Romawi. Paulus sebagai  seorang  yang mempunyai kuasa rasul dari Yesus Kristus, umumnya berhubungan dengan jemaat-jemaat yang didirikan. Dia berbicara mengenai tekanan-tekanan yang  mengenai seluruh jemaat. Dia dipanggil untuk menyelesaikan perselisihan, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul mengenai sikap dan perilaku Kristen, memperdamaikan kelompok-kelompok yang bertikai, menghadapi masalah hubungan antara tuan-tuan dan hamba-hamba, dan sejumlah issu yang lain.

3.2.  Tiga serangkai pemimpin gereja: rasul, nabi dan pengajar

Dalam suratnya ke jemaat Korintus Paulus menyebut adanya dua jabatan yang baru selain rasul, yakni nabi dan pengajar. Dia menulis “Allah telah menetapkan  beberapa orang dalam Jemaat; pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga sebagai pengajar” ( 1 Kor. 12: 28). Dengan menyebut ketiga jabatan itu dalam pola hierarkhis, Paulus memberi bukti akan adanya tiga serangkai kepemimpinan gereja mula-mula. Setelah para rasul muncul para nabi dan pengajar. Sebagaimana halnya jabatan rasul, jabatan yang dua lagi juga dipercayai sebagai karunia roh yang membangun persekutuan jemaat.  Nabi-nabi, dan kdang-kadang juga para pengajar, melayani jemaat keseluruhan secara berpindah-pindah. Ruang lingkup pelayanan mereka tidak terbatas pada satu tempat saja. Mereka dikenal dengan peranan pelayanan mereka melalui  karunia-karunia khusus dari Roh Kudus bagi diri mereka. Mmereka tidak dipilih kepada jabatan mereka itu dan juga tidak ditetapkan melalui suatu upacara gerejawi.
Kalau para rasul banyak dikenal sebagai misioner-misioner yang mendirikan persekutuan-persekutuan (jemaat) Kristen, para nabi adalah yang memelihara jemaat-jemaat baru itu. Karena sifat pelayanan mereka yang berkeliling, nabi-nabi tidak selalu hadir  dalam suatu jemaat setempat, melainkan mereka datang dan pergi  sesuai dengan keinginan mereka. Mengikuti contoh dalamn Kitab Perjanjian Lama (PL), nabi-nabi mula-mula bertumbuh dalam jemaat-jemaat Kristen Yahudi (Ksi. 11: 27; 15: 32). Tetapi mereka juga di jemaat-jemaat campuran (yahudi dan non-Yahudi) dan juga dalam jemaat-jemaat yang khusus berasal dari non- Yahudi  (Kis. 11: 27; Roma 12: 6-7). Beberapa nabi yang disebut ialah Agabus (Kis. 11: 28), Barnabas, Simeon Niger, Lukius orang Kirene ( Kis. 13: 1 dst) dan juga Yudas dan Silas. Selain itu ada sejumlah nabiah, seperti keempat putri Filipus ( Kis. 21: 9). Jabatan nabiah muncul dalam gereja mula-mula sampai  akhir abad pertama.
Selain mempunyai karunia untuk mengabarkan Firman Allah, nabi juga menjalankan peranan khusus dalam menjalankan disiplin gereja dan dalam menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah  untuk memberi pengampunan  disampaikan melalui para nabi. Dengan otoritas demikian, tidak mengherankan apabila nampak para nabi memikul suatu peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus kadang-kadang merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak memegang jabatan kepemimpinan bagi jemaat-jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang penyelesaian pertikaian yang terjadi di antara orang-orang percaya. Karena itu tidaklah juga mengherankan kalau otoritas yang demikian kadang-kadang disalahgunakan dan juga dipraktikkan oleh semacam dukun yang memperdagangkan kepercayaan orang-orang Kristen. Dalam PB ada juga kita jumpai sejumlah peringatan untuk melawan “nabi-nabi palsu” (Mat. 7: 15; 24: 11)  dan juga perlunya untuk menguji nabi-nabi  ( 1 Yoh. 4: 1). Ujian yang diberikan kepada mereka haruslah dengan melihat konsistensi dan pemberitaan mereka dengan apa yang telah mereka terima dan juga dengan kehidupan mereka sehari-hari ( 1 Yoh. 4: 1).
Para pengajar merupakan golongan ketiga dari pelayan-pelayan kharismatik, setelah para rasul dan nabi-nabi. Dalam banyak hal mereka menunjukkan fungsi yang sama dengan nabi-nabi, sehingga garis perbedaan di antara mereka sulit digambarkan. Seorang nabi kadang-kadang juga berfungsi sebagai pengajar. Di jemaat Antiokhia, para nabi dan pengajarlah yang menetapkan Paulus dan Barnabas untuk menjalankan missinya ke Siprus dan juga yang “meletakkan tangan ke atas mereka serta mengutus mereka” (Kis. 13: 1-3). Suatu fungsi khusus dari pengajar  ialah untuk mempersiapkan para katekumen  untuk baptisan dan juga menyelenggarakan pengajaran lanjutan bagi mereka. Dalam perjalanan sejarah gereja selanjutnya kelihatan fungsi pengajar ini lebih lama bertahan dari fungsi nabi. Sampai abad ke empat kita masih menemukan lagi sejumlah pengajar dalam gereja. Yustinus Martir dan Tatianus misalnya adalah pengajar-pengajar yang kita temukan pada abad ke dua, Klemen dan Origenes pengajar dari Alexandria pada abad ke tiga. Dalam buku Sejarah Gerejanya, Eusebius masih menyebut adanya jabatan pengajar pada abad ke empat, di samping jabatan penetua.

3.3. Para uskup (penilik), penatua dan diakon

Di samping para rasul, nabi dan pengajar, masih ada kelompok pelayan yang lain yang dijumpai  dalam PB, yakni para penilik, penatua dan diakon.  Pada mulanya jabatan “penilik” (bahasa Yunani episkopos) dan “penatua” (bahasa Yunani presbyteros) mempunyai pengertian yang hampir sama. Jabatan penilik mungkin nula-mula berkembang di  jemaat-jemaat Yunani, karena di dunia Hellenis (dunia Yunani) jabatan penilik sudah dikenal sebelumnya sebagai pemimpin di lembaga-lembaga kemasyarakatan. Jabatan “episkopos”, misalnya lazim  dikenakan bagi pemimpin perserikatan sosial, kelompok atletik, termasuk pemimpin  pemerintahan kotapraja. Ketika Paulus mengucapkan salam bagi para penilik  dan diakon jemaat Filipi, dia memakai istilah yang sudah umum dikenal masyarakat di sana. Adalah menarik bahwa Paulus memakai istilah itu dalam bentuk plural  yakni “episkopoi”. Itu menunjukkan bahwa di jemaat itu telah ada lebih dari satu penilik, kecuali jika dengan istilah itu para penatua juga turut dimaksudkan. Tetapi walaupun istilah penilik  dipinjam dari lingkungan budaya  Hellenis, namun gereja telah mengertikan jabatan itu dengan arti dan kuasa rohani. Pada pembicaraannya di Miletus, Paulus telah menyebutkan bahwa para penilik adalah orang-orang yang ditetapkan Roh Kudus untuk menggembalakan  jemaat Allah (Kis. 20: 28).
Sebutan “para penatua” (presbyteroi) untuk pertama kali mauncul pada waktu pengumpulan bantuan bagi orang-orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11: 30). Tanpa diragukan istilah itu adalah dipinjam dari lingkungan Yahudi pada waktu itu.  Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge (rumah ibadat)  mempunyai badan penatua (sanhedrin) yang berfungsi sebagai badan pengadilan dan pemerintahan. Mereka terdiri dari “pemimpin, ahli taurat dan imam-imam besar” (Kis. 4: 5.8.23). Di Jemaat Yerusalem para penatua itulah yangmenerima bantuan yang dikirim dari Jemaat Antiokhia untuk disalurkan kepada setiap orang yang membutuhkan, bukan yang dua belas orang itu, yang pada waktu itu mungkin telah tersebar karena penghambatan yang terjadi. Beberapa tahun kemudian kita menemukan lagi para penatua pada sidang di Yerusalem bersama-sama dengan yang dua belas rasul itu. Setelah itu mereka disebut-sebut lagi dalam Surat-surat Penggembalaan ( 1 Tim. 3: 2; Titus 1: 7). Itu memberi petunjuk bahwa jabatan penatua juga telah merupakan bagian dari jemaat Kristen Yunani, sebagaimana halnya juga jemaat Kristen Yahudi. Nampaknya seluruh penilik pada mulanya adalah juga penatua-penatua yang dipilih  untuk mengetuai badan penatua  dalam memimpin satu-satu jemaat.

3.4. Ketujuh orang yang melayani orang miskin

Hadirnya ketujuh orang pelayan seperti yang diberikatakan dalam Kis. 6: 1-7, menunjukkan suatu perkembangan dalam konsep jabatan dalam gereja mula-mula, karena satu jabatan telah diteapkan oleh Jemaat itu sendiri, tidak langsung oleh Roh Kudus. Pada waktu itu “persekutuan murid-murid”( anggota-anggota jemaat) itu dimintakan oleh kedua belas rasul tersebut untuk memilih dari antara mereka sebanyak tujuh orang yang  dikenal baik, yang penuh Roh dan hikmat (Kis. 6: 3) untuk diangkat dalam tugas “pelayanan meja”. Karena anggota-anggota jemaat itu memilihnya dari antara mereka, tentu pemilihan itu dilakukan dengan proses demoktratis, barulah setelah itu para rasul meletakkan tangan di atas mereka dan berdoa. Walaupun istilah “diakonia” merupakan istilah yang umum bagi seluruh jenis pelayanan gereja,  namun “diakon”   pejabat khusus yang ditetapkan pada waktu itu  khusus untuk “pelayanan meja”.  Tugas itu juga meliputi pendistribusian bantuan yang datang  dan pemeliharaan harta fisik gereja. Selain itu mereka biasanya juga  berfungsi untuk membawa  (atau menyanyikan) epistel  dan Injil pada waktu Persembahan Kudus, menerima persembahan dan membantu pelayanan Perjamuan Kudus itu. Diakon juga kemudian berfungsi sebagai pelayan administratif dari seorang  uskup (penilik).

4.       Pemberian “tohonan” pendeta

Semua jabatan-jabatan yang dikenal dalam gereja mula-mula adalah merupakan  jabatan panggilan, yakni panggilan dari Allah.  Sebagian pemegang jabatan itu langsung dipanggil oleh Allah melalui Yesus Kristus atau melalui kuasa Roh Kudus, seperti para rasul dan para nabi. Tetapi  jabatan-jabatan yang lain  dipanggil  dengan perantaraan para rasul atau dengan perantaraan gereja. Gereja yang dalam bahasa Yunani disebut ekklesia berarti orang-orang percaya kepada Yesus Kristus yang dipanggil keluar dari dunia ini  yang dihimpun dalam satu persekutuan  oleh Roh Kudus. Karena itu gereja juga berarti persekutuan orang-orang percaya. Para rasul yang menerima panggilan itu langsung dari Yesus Kristus, diteguhkan melalui kuasa Roh Kudus yang dicurahkan kepada mereka pada hari Pentakosta ( Kis. 2). Merekalah   yang kemudian menyampaikan jabatan-jabatan yang lain melalui penahbisan penumpangan tangan. Para penilik (uskup) atau episkopos  misalnya yang  ditahbiskan oleh para rasul,  melakukan hal yang sama kepada penggantinya sehingga terjadilah penurunan jabatan itu secara berkesinambungan.  Dalam  dogma Gereja Roma Katolik hal itu disebut “successio apostolica”,  yang artinya pewarisan jabatan rasuli, yakni mulai dari Yesus kepadapara rasul, dari para rasul kepada para uskup, dan seterusnya secara berkesinambungan sehingga terjadi mata-rantai dari jabatan itu yang  berkesinam bungan terus. Dalam Gereja-gereja Protestan pada umumnya ajaran  pewarisan jabatan tersebut ditolak. Bagi Gereja-gereja Protestan,  Kristus yang menjadi kepala gereja, dan gereja sebagai tubuh Kristus, memberikan kuasa kepada gereja untuk mengadakan pelayan-pelayan yang melakukan segala tugas pelayanan yang diamanatkan kepada gereja itu sendiri. Jabatan itu adalah jabatan pelayan yang bukan menjadi milik dari pelayan itu sendiri.  Kalau pelayan itu tidak lagi menjalankan fungsinya atau mengingkari apa yang sudah dia janjikan untuk dilaksanakan, maka gereja bisa mencabut kembali jabatan tersebut, sehingga dia kembali sebagai anggota jemaat biasa.
Pemberian  (tohonan) jabatan pelayanan pendeta kepada seseorang melalui suatu proses yang panjang.   Itu dilakukan oleh gereja mulai dari mempersiapkannya melalui pendidikan yang dibutuhkan untuk setiap pengemban jabatan-jabatan tersebut.  Misalnya untuk gereja HKBP dalam memberikan jabatan pelayanan pendeta itu melalui proses yang panjang. Bagi orang-orang yang terpanggil untuk jabatan pelayanan itu dipersiapkan  dengan pendidikan khusus (Sekolah pendeta dan Pendikan Theologi) dan latihan-latihan yang diberikan  orang-orang yang ditugaskan khusus untuk itu oleh gereja dalam kurun waktu tertentu..  Setelah menyelesaikan seluruh pendidikan, pelatihan dan persiapan-persiapan yang dibutuhkan, maka pendeta ressort dan praeses di  ressort atau distrik di mana mereka menjalani masa pelatihan itu,  memberikan rekomendasi kepada pimpinan HKBP, kalau mereka sudah layak untuk ditahbiskan. Di gereja HKBP tahbisan itu diberikan oleh Ephorus sebagai Pimpinan HKBP, yang didampingi oleh sejumlah pendeta HKBP.
Penahbisan itu  dilakukan dengan menumpangkan tangan kepada orang-orang yang ditahbiskan.  Ini mengikuti tradisi yang sudah dilakukan sejak gereja mula-mula, di mana para rasul menetapkan beberapa jabatan yang dikenal dalam Perjanjian Baru seperti diakon (Kis. 6: 6),  dan penatua dengan menumpangkan tangan (1 Tim. 5: 22) . Sedangkan para rasul melakukan itu mengikuti tradisi Yahudi.  Musa menumpangkan tangan atas Yosua ketika mengangkat dirinya sebagai gantinya ( Bilangan 27: 15-23; Ul. 34: 9). Hasilnya Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan yang diperlukan untuk menjalankan jabatan itu. Mengikuti cara ini , para rabbi Yahudi  telah mengembangkan tahbisan mereka sendiri. Apabila seseorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya, maka dia ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan maksud untuk menyatakan bahwa rantai tradisi yang menjangkau hingga Musa akan diperpanjang  lagi dengan penambahan rantai yang lain, pemberian hikmat kebijaksanaan kepada ahli yang berhak untuk itu oleh gurunya.
Praktek yang lain sehubungan dengan penumpangan tangan ini dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit yang dilakukan oleh Yesus. Cerita seperti ini banyak kita jumpai dalam kitab Injil, tetapi dapat kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat oleh Lukas: “… semua orang membawa kepada-Nya orang-orang sakitnya, yang menderita bermacam-macam pemyakit. Ia pun meletakkan tangan-Nya  atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka” (Luk. 4: 10).  Tangan juga diletakkan pada pemberkatan  (misalnya, pemberkatan Yesus atas anak-anak,  Markus 10: 16) dan juga di dalam rangka baptisan ( Kis. 8: 17; 19: 6).  Makna dari peletakan atau penumpangan tangan itu hanya sebagai simbol  pemberian  berkat atau kuasa dari Tuhan bagi orang yang kepadanya dilakukan penumpangan tangan itu.  Tidak ada sesuatu  pemahaman yang bersifat magis di dalamnya. Artinya tidak otomatis bagi orang yang telah dilakukan peletakan tangan akan memperoleh berkat atau kuasa yang diperlukan.  Itu tergantung kepada kesediaan orang tersebut untuk menerimanya dari Tuhan  melalui persiapan-persiapan dan penyerahan hidupnya sepenuhnya kepada Tuhan untuk melakukan tugas-tugas panggilan yang diberikan oleh Tuhannya. Karena itu sebelum penumpangan tangan itu dilakukan, maka orang yang ditahbiskan itu mengucapkan janji  yang disaksikan oleh  anggota-anggota jemaat yang ikut berkumpul dalam acara penahbisan itu. Ada yang berpendapat bahwa jabatan pendeta yang diberikan oleh Tuhan Allah melalui gereja tidak dapat lagi dicabut-cabut dari orang yang telah menerimanya, karena jabatan katanya jabatan itu  diterimanya bukan dari pimpinan gereja, tetapi langsung dari Tuhan Allah.  Tetapi pemahaman HKBP tidak seperti itu. Bagi HKBP jabatan itu bisa dicabut apabila orang yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tugas pelayanan yang disampaikan kepadanya, atau dia sudah melanggar peraturan gereja atau melakukan pekerjaan yang mencemari “tohonan” nya.

5.      Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, yakni:
i)        Jabatan (tohonan) pendeta adalah suatu  panggilan, yakni panggilan dari Allah untuk melakukan pekerjaan khusus dari Allah, yakni memberitakan kabar keselamatan  kepada semua bangsa dan ciptaan Allah, memelihara orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus melalui  pemberitaan Firman dan penggembalaan, melayani sakramen, dan pelayanan-pelayanan lain yang mendukung tugas panggilan tersebut.
ii)      Jabatan itu pada hakekatnya dimengerti  sebagai pelayanan, bukan sebagai kedudukan atau posisi tinggi yang memberikan kehormatan dan keuntungan-keuntungan duniawi bagi orang yang bersangkutan. Karena itu pendeta  yang memegang jabatan itu adalah sebagai hamba, bukan tuan. Yang memegang jabatan itu bukan seorang yang luar biasa, tetapi dia menyampaikan sesuatu  yang laur biasa.
iii)    Sebutan pendeta, yang berasal dari bahasa Sansekerta “pandita”,  yang dipakai   oleh pada umumnya gereja-gereja Protestan di Indonesia, khususnya gereja HKBP, karena sifat dan peleyanan yang diharapkan dari seorang “pandita” Hindu, sama dengan sifat dan pelayanan yang  diharapkan dari seorang pendeta gereja yakni:  selalu memberitakan kebenaran, selalu dapat dipercayai  sebagai tempat memohon kesucian, dan memiliki kewajiban  untuk memberi pendidikan tentang nilai-nilai yang baik  kepada masyarakat. Pendeta juga sebagai pelayan Tuhan, diharapkan selalu  membawa kebenaran Firman  Tuhan kepada jemaat, dan juga memberi pengajaran dan tuntunan yang baik  kepada Umat Tuhan dan masyarakat  berdasarkan nilai kekristenan yang benar.
iv)    Sesuai dengan  dengan pemahaman dan kepercayaan gereja-gereja Reformasi, semua jabatan yang dikenal  dalam Perjanjian Baru, telah dicakup dalam jabatan pendeta. Tetapi untuk membantu pendeta dalam menjalankan tugas panggilannya itu tetap diperlukan jabatan-jabatan yang lain seperti guru, diakon, penginjil wanita (bibelvrow), evangelis, dan penatua.
v)      Jabatan pendeta  diberikan oleh  Allah Tritunggal melalui gereja di mana pendeta akan menjalankan tugas panggilan itu, yang penahbisannya dilakukan oleh Pimpinan gereja dan  didampingi oleh pendeta-pendeta lainnya melalui suatu ibadah gereja yang dikhususkan untuk itu.  Penahbisan itu yang dilakukan dengan penumpangan tangan, merupakan pemberian kuasa dari Allah, setelah lebih dulu orang yang menerima tahbisan itu berjanji untuk melakukan semua tugas panggilan yang disampaikan dengan segenap hidupnya.
vi)    Jabatan itu bukanlah secara otomatis milik sepenuhnya dari pendeta tersebut  yang tidak bisa dicabut-cabut lagi. Jabatan itu bisa dicabut, kalau orang yang memegang jabatn itu tidak lagi melakukan tugas panggilannya sesuai dengan “tohonan” yang diterima, atau kalau melanggar peraturan gereja.

Sumber kepustakaan:
1.    M.S.M. Panjaitan, Jabatan Pastoral dalam Perjanjian Baru, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
2.    Carl A.Volz, Pastoral life and practice in the early church, Augsburg, Minneapolis, 1990.
3.    J.R.Hutauruk, Ordinasi: Arti, masalah dan Relevansinya, dalam ‘VOCATIO DEI’, Journal STT-HKBP Pematangsiantar, Edisi Pebruari 1992
4.    P.W.T. Simanjuntak, Tunaikanlah tugas pelayananmu (Sahat ula tohonanmi), dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP,      Edisi Pebruari 1992
5.    B.H. Situmorang, Jabatan-jabatan di HKBP, dalam “VOCATIO DEI”, Journal STT-HKBP, Edisi Pebruari 1992
6.    AGENDE,Buku Tata Ibadah Huria Kristen Batak,  Percetakan Mission, Narumonda Toba, 1904

7.  Panindangion Haporseaon (Pengakuan Iman HKBP 1996.