Kamis, 26 Desember 2019

SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI TANAH B ATAK


Sejarah masuknya Agama Islam di Tanah Batak
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh

                Sebelum Kekristenan datang,  agama Islam telah lebih dulu memasuki Tanah Batak, yakni di bagian pesisir dan bagian Selatan yang berbatasan dengan daerah Minangkabau ( Sumatera barat).  Ke bagian pesisir, seperti daerah Asahan, di mana penduduknya telah banyak orang-orang Batak yang berserak dari dari daerah Toba, Islam masuk melalui jalur perdagangan,  sedangkan ke bagian Selatan, Islam masuk melalui gerakan Islam yang dilakukan oleh tentera Paderi dari daerah Minangkabau tahun 1820 an.
                Usaha pengislaman yang dilakukan oleh kaum Paderi, sebenarnya juga  dicoba sampai ke daerah Tapanuli Utara,  yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Banyak yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah Sipongki Nangolngolan, yakni kemanakan dari Sisingamangaraja X sendiri, yang sebelumnya dianggap telah meninggal, karena dia telah pernah dibuang oleh pamannya dalam keadaan hidup di dalam sebuah peti ke Danau Toba, dengan harapanan dia akan mati di sana. Ternyata dia dibawa oleh arus air Danau Toba dan terhampar di tepi sungai Asahan di Narumonda Porsea, dan diselamatkan oleh masyarakat setempat. Kemudian Si Pongki Nangolngolan pergi kedaerah Minangkabau, tinggal di daerah Rao. Dia hidup bersama masyarakat setempat dan bergabung dengan Kelompok Tuanku Imam Bonjol, dalam menentang kehadiran kolonial Belanda di sana. Dia yang sudah menganut agama Islam pada waktu itu, karena keberaniannya yang luar biasa diangkat oleh masyarakat setempat sebagai pemimpin mereka dalam menentang Belanda. Karena itulah maka banyak orang mengatakan bahwa dialah yang dikenal sebagai Tuanku Rao  yang pernah  memimpin tentera Paderi menyerbu  ke Tanah Batak untuk memperluas missi Islam  ke Tanah Batak, yang dimulai dari Tapanuli bagian Selatan yang masih dekat dengan daerah Minangkau Sumatera Barat. Dalam Sejarah Batak, masa penyerbuan  kaum Paderi ini dikenal dengan “zaman Pidari’, yakni suatu zaman yang sangat suram dan mengerikan sekali. Dalam catatan yang ditulis oleh J. Sihombing ( Sejarah Saratus Taon HKBP, hal. 11), keadaan pada masa itu digambarkan sebagai berikut:
         “Rumah-rumah dibakar, ternak-ternak dihabiskan dan dimusnahkan, serta harta benda penduduk setempat dirampas. Orang banyak terpaksa mengungsi ke hutan, sedangkan mulut anak-anak disumbat dengan kain, supaya suaranya jangan terdengar. Setiap orang yang ditemukan dipaksa untuk masuk menjadi Islam, kalau tidak diangkut dari dari sana untuk dijadikan budak”.
                 Tetapi usaha pengislaman yang dilakukan ke daerah Tapanuli bagian Utara , mulai dari daerah Pahae, Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Uluan dan Habinsaran tidak berhasil. Masyarakat setempat berjuang dengan sangat keras untuk mengadakan perlawanan, yang untuk itu banyak yang menjadi korban, termasuk Sisingamangaraja X sendiri sebagai pemimpin mereka. Ada yang mengatakan bahwa kepala Sisingamangaraja X dipenggal oleh kemenakannya sendiri yakni Sipongki Nangolngolan yang memimpin penyerbuan itu, sebagai balas dendamnya kepada pamannya itu. Tentera Paderi tersebut akhirnya terpaksa meninggakan daerah itu, karena di sana telah berjangkit wabah penyakit menular, seperti kolera, tyfus, dll, disebabkan oleh banyak bangkai manusia dan ternak yang berserakan. Peristiwa itu lama menjadi kenangan yang sangat menakutkan bagi masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Utara, dan telah menjadi salah satu faktor penghambat bagi mereka di kemudian hari untuk menerima agama Islam  sebagai agamanya.
                Keadaannya berbeda dengan yang terjadi di daerah Tapanuli bagian Selatan. Usaha pengislaman di daerah ini dapat berhasil dengan baik. Menurut para ahli sejarah, keberhasilan itu terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat  di sana tidak dapat bersatu unuk melawan gerakan itu, dan kedua, karena pemerintah kolonial Belanda, yang sejak tahun 1830 an telah berhasil menguasai daerah itu, turut membantu proses pengislaman itu, dengan cara mendatangkan sejumlah tenaga guru dan para medis dari daerah Minangkabau, untuk dipekerjakan di sana. Mereka inilah dengan sangat giat mengembangkan ajaran Islam itu di sana.
                Melihat proses pengislaman yang sedang giatnya dilakukan di darah Tapanuli bagian Selatan, sedangkan gerakan penginjilan yang mulai masuk ke sana sejak tahun 1850 an ( RMG sendiri dari Jerman baru mulai bekerja di sana 7 Oktober  1861), sangat terbatas, telah mendorong I.L.Nommensen yang sempat ditugaskan oleh RMG bekerja di darah itu, untuk memutuskan  meninggalkan tempat itu tahun 1863 dan berpindah ke daerah Silindung Tapanuli bagian Utara, di mana penduduknya masih menganut agama suku yang masih bersifat “palbegu” (animisme)  dan masih berada di daerah yang “bebas” pula, dimana kekuasaan Belanda belum sampai ke sana. Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi bersama beberapa orang temannya yang menyusul kemudian sebagai tenaga utusan RMG,  penginjilan di daerah itu ternyata dapat bertumbuh dengan sangat subur. Kemudian usaha penginjilan dan usaha pengislaman bertemu pada daerah-daerah perbatasan yang didiami oleh orang-orang Batak Toba dan orang-orang Batak Angkola-Mandailing. Untuk ini maka pemerintah kolonial Belanda melakukan suatu kebijaksanaan, agar jangan terjadi konflik antara Islam dan Kristen. Misalnya tahun 1899, Gubernur Jenderal Belanda telah mengeluarkan suatu instruksi kepada Residen Tapanuli, agar di daerah di mana sebagian besar penduduknya tidak mengakui Islam, janganlah Islam diperkenankan menjalankan pengaruhnya.  (L.Castles, The political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940, hal. 92. )
                Namun kebijaksanaan ini hanya dapat berjalan beberapa tahun lamanya. Karena setelah timbulnya gerakan kebangkitan Islam di Indonesia, dengan berdirinya cabang-cabang Serikat Islam (SI) di berbagai daerah yang berpenduduk Islam sejak tahun 1911, kebijaksanaan tersebut nampaknya mulai lemah. Hal itu misalnya dapat dilihat dari peristiwa yang pernah terjadi di daerah Janji Angkola Pahae, daerah Tapanuli bagian Utara yang berbatasan dengan daerah Tapanuli bagian Selatan. Walaupun penduduk setempat mayoritas telah menganut agama Kristen, namun pada tahun 1919, seorang Islam bernama Syeh Haji Ibrahim Sitompul telah dikukuhkan menjadi kepala negeri  di daerah itu, setelah dia meraih suara terbanyak dalam pemilihan kepala negeri. Hal itu bisa terjadi karena pengaruh SI yang sudah beberapa tahun sebelumnya masuk di sana, dan  Ibrahim Sitompul sendiri telah berfungsi sebagai ketua. Missionar setempat dan pimpinan Zending sempat mengajukan keberatan atas kejadian itu, karena apabila hal itu berjalan terus, dikhawatirkan sebagian besar orang-orang Kristen setempat akan beralih menjadi Islam. Tetapi walaupun demikian Ibrahim Sitompul tetap dikukuhkan juga. Ini berarti bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mau mencampuri soal agama selama tidak mengganggu kepentingan politik pemerintahan Belanda.
Islam masuk ke Tapanuli bagian Utara
                Dengan menyerupakan diri sebagai salah satu “zending”, yang mendapat kebebasan dari pihak kolonial Belanda memasuki daerah Tapanuli bagian Uatara, tahun 1930 an Islam juga telah berusaha menjalankan missinya di daerah itu, dan mendirikan pusat penyebarannya di sana. Pada waktu itu hampir seluruh masyarakat Batak yang ada di Tapanuli bagian  Utara, mulai dari daerah Pahae, Silindung,Humbang,Toba, Uluan, Habinsaran, Samosir, Dairi, telah menganut agama Kristen. Dalam laporannya tahun 1938, Demang Renatus Hutabarat yang bertugas di daerah Toba pada waktu itu mengatakan bahwa  pusat penyebaran Islam untuk wilayah Toba pada waktu itu telah berdiri di tiga tempat yakni di  Balige, Tambunan dan Porsea Uluan. (Memorie van overgave en overname, ketikan dalam bahasa Indonesia, hal. 130),
                Usaha penyebaran Islam di beberapa tempat tersebut dilakukan oleh beberapa orang perantau asal daerah itu yang sudah menganut agama Islam. Dari laporan Synode Godang HKBP 1933 diketahui bahwa di desa Tambunan misalnya, seorang putera asal daerah itu mencoba mengislamkan penduduk setempat dengan bujukan kekekeluargaan dan pengaruh uang. Dengan cara demikian maka berhasillah dia mengislamkan sejumlah tujuh keluarga, kendatipun semuanya  adalah mereka yang sedang menjalani hukum pengucilan gereja. ( Notulen Synode Godang 1933, hal. 2). Di Uluan Porsea sebanyak 1500 orang berhasil diislamkan, tetapi kebanyakan dari antara mereka adalah orang yang masih menganut agama suku Batak. ( Notulen 1933, hal. 1).
                Niat orang Islam untuk mengislamkan orang-orang Batak pada waktu itu memang sangat besar sekali.  Seorang muslim yang bernama R. Lubis, tahun 1933, menulis sebuah buku yang berjudul “ Rahasia Bibel”, di mana dia mencoba mengemukakan beberapa kelemahan Alkitab di mata orang Kristen dari sudut pandangan Islam. Tetapi pengaruh dari buku itu tidk sempat meluas, karena para pendeta HKBP pada waktu itu segera untuk membendungnya. (Notulen Rapat Pendeta HKBP 1933, hal. 37).
                Demikianlah sekilas mengenai sejarah masuknya Islam di Tanah Batak. Dari situ bisa kita ketahui mengapa mayoritas masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Selatan telah masuk menjadi Islam karena jauh sebelum datangnya kekristenan, masyarakat Batak di sana telah diislamkan dari daerah Minangkabau. Pengaruh Islam itu belum sampai ke tengah-tengah masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara, karena masyarakat Batak setempat pada waktu itu bisa berhasil menghalau pengaruh tentera Minangkabau yang juga berusaha memasuki Tanah Batak bagian Utara,  sehingga masyarakat Batak setempat tetap menganut agama sukunya yang masih bersifat animisme. Keadaan ini memberi peluang bagi missi Kristen yang datang kemudian  dari Eropa khususnya dari Jerman, sehingga kepercayaan  masyarakat Batak Tapanuli bagian Utara yang masih menganut agama suku itu bisa ditaklukkan oleh kekristenan itu sendiri. Tahun 1930 an, hampir seluruh masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara telah menganut agama Kristen. Tetapi sejak waktu itu kebebasaan misi keagamaan dan zending yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda memasuki Tanah Batak yang masih dikuasainya, maka pihak Islam juga berusaha menjalankan missi keagaamaan mereka di sana. Tetapi hal itu telah menjadi suatu dorongn  bagi gereja HKBP pada waktu itu untuk semakin banyak mengadakan dan menggiatkan pembinaan dan pembekalan mengenai kekristenan itu kepada warganya, supaya mereka tidak begitu mudah terpengaruh dengan godaan pengaruh kepercayaan yang lain, seperti Islam. Karena kesungguhan pihak gereja untuk membekali warganya akan iman  kekristenan itu, maka pengaruh missi Islam itu tidak begitu  menyebar. Tetapi tantangan yang paling besar di kemudian hari  dari pihak Islam bagi masyarakat Kristen Batak adalah di beberapa daerah “perantauan”, di mana orang-orang Kristen dari daerah Tapanuli bagian Utara telah banyak yang berserak,  khususnya di tempat-tempat yang penduduknya mayoritas Islam. Karena mengalami tekanan sosial-ekonomi, politik dan bahkan kepercayaan di beberapa tempat tersebut, juga karena pergaulan mereka dengan masyarakat lingkungannya, khusus para muda-mudi, tidak sedikit dari antara orang-orang Kristen Batak “terpaksa” masuk menjadi Islam, apalagi mereka yang belum memiliki bekal iman kekristenan yang cukup. Tetapi  keadaan ini tentu akan menjadi tantangan dan dorongan bagi pihak gereja untuk tetap membenahi dan meningkatkan pelayanannya terhadap semua warganya di mana pun berada.(msm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar