Sejarah masuknya Agama Islam di
Tanah Batak
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh
Sebelum
Kekristenan datang, agama Islam telah
lebih dulu memasuki Tanah Batak, yakni di bagian pesisir dan bagian Selatan
yang berbatasan dengan daerah Minangkabau ( Sumatera barat). Ke bagian pesisir, seperti daerah Asahan, di
mana penduduknya telah banyak orang-orang Batak yang berserak dari dari daerah
Toba, Islam masuk melalui jalur perdagangan, sedangkan ke bagian Selatan, Islam masuk
melalui gerakan Islam yang dilakukan oleh tentera Paderi dari daerah
Minangkabau tahun 1820 an.
Usaha
pengislaman yang dilakukan oleh kaum Paderi, sebenarnya juga dicoba sampai ke daerah Tapanuli Utara, yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Banyak yang
mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah Sipongki Nangolngolan, yakni kemanakan dari
Sisingamangaraja X sendiri, yang sebelumnya dianggap telah meninggal, karena
dia telah pernah dibuang oleh pamannya dalam keadaan hidup di dalam sebuah peti
ke Danau Toba, dengan harapanan dia akan mati di sana. Ternyata dia dibawa oleh
arus air Danau Toba dan terhampar di tepi sungai Asahan di Narumonda Porsea,
dan diselamatkan oleh masyarakat setempat. Kemudian Si Pongki Nangolngolan
pergi kedaerah Minangkabau, tinggal di daerah Rao. Dia hidup bersama masyarakat
setempat dan bergabung dengan Kelompok Tuanku Imam Bonjol, dalam menentang
kehadiran kolonial Belanda di sana. Dia yang sudah menganut agama Islam pada
waktu itu, karena keberaniannya yang luar biasa diangkat oleh masyarakat
setempat sebagai pemimpin mereka dalam menentang Belanda. Karena itulah maka
banyak orang mengatakan bahwa dialah yang dikenal sebagai Tuanku Rao yang pernah memimpin tentera Paderi menyerbu ke Tanah Batak untuk memperluas missi
Islam ke Tanah Batak, yang dimulai dari
Tapanuli bagian Selatan yang masih dekat dengan daerah Minangkau Sumatera Barat.
Dalam Sejarah Batak, masa penyerbuan
kaum Paderi ini dikenal dengan “zaman Pidari’, yakni suatu zaman yang sangat
suram dan mengerikan sekali. Dalam catatan yang ditulis oleh J. Sihombing (
Sejarah Saratus Taon HKBP, hal. 11), keadaan pada masa itu digambarkan sebagai
berikut:
“Rumah-rumah dibakar,
ternak-ternak dihabiskan dan dimusnahkan, serta harta benda penduduk setempat
dirampas. Orang banyak terpaksa mengungsi ke hutan, sedangkan mulut anak-anak
disumbat dengan kain, supaya suaranya jangan terdengar. Setiap orang yang
ditemukan dipaksa untuk masuk menjadi Islam, kalau tidak diangkut dari dari
sana untuk dijadikan budak”.
Tetapi usaha pengislaman yang dilakukan ke daerah
Tapanuli bagian Utara , mulai dari daerah Pahae, Silindung, Humbang, Toba,
Samosir, Uluan dan Habinsaran tidak berhasil. Masyarakat setempat berjuang
dengan sangat keras untuk mengadakan perlawanan, yang untuk itu banyak yang
menjadi korban, termasuk Sisingamangaraja X sendiri sebagai pemimpin mereka. Ada
yang mengatakan bahwa kepala Sisingamangaraja X dipenggal oleh kemenakannya
sendiri yakni Sipongki Nangolngolan yang memimpin penyerbuan itu, sebagai balas
dendamnya kepada pamannya itu. Tentera Paderi tersebut akhirnya terpaksa
meninggakan daerah itu, karena di sana telah berjangkit wabah penyakit menular,
seperti kolera, tyfus, dll, disebabkan oleh banyak bangkai manusia dan ternak
yang berserakan. Peristiwa itu lama menjadi kenangan yang sangat menakutkan
bagi masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Utara, dan telah menjadi salah
satu faktor penghambat bagi mereka di kemudian hari untuk menerima agama
Islam sebagai agamanya.
Keadaannya
berbeda dengan yang terjadi di daerah Tapanuli bagian Selatan. Usaha
pengislaman di daerah ini dapat berhasil dengan baik. Menurut para ahli
sejarah, keberhasilan itu terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat
di sana tidak dapat bersatu unuk melawan
gerakan itu, dan kedua, karena pemerintah kolonial Belanda, yang sejak tahun
1830 an telah berhasil menguasai daerah itu, turut membantu proses pengislaman
itu, dengan cara mendatangkan sejumlah tenaga guru dan para medis dari daerah
Minangkabau, untuk dipekerjakan di sana. Mereka inilah dengan sangat giat
mengembangkan ajaran Islam itu di sana.
Melihat
proses pengislaman yang sedang giatnya dilakukan di darah Tapanuli bagian
Selatan, sedangkan gerakan penginjilan yang mulai masuk ke sana sejak tahun
1850 an ( RMG sendiri dari Jerman baru mulai bekerja di sana 7 Oktober 1861), sangat terbatas, telah mendorong
I.L.Nommensen yang sempat ditugaskan oleh RMG bekerja di darah itu, untuk
memutuskan meninggalkan tempat itu tahun
1863 dan berpindah ke daerah Silindung Tapanuli bagian Utara, di mana
penduduknya masih menganut agama suku yang masih bersifat “palbegu” (animisme) dan masih berada di daerah yang “bebas” pula,
dimana kekuasaan Belanda belum sampai ke sana. Berkat ketekunan dan dedikasinya
yang sangat tinggi bersama beberapa orang temannya yang menyusul kemudian
sebagai tenaga utusan RMG, penginjilan
di daerah itu ternyata dapat bertumbuh dengan sangat subur. Kemudian usaha
penginjilan dan usaha pengislaman bertemu pada daerah-daerah perbatasan yang
didiami oleh orang-orang Batak Toba dan orang-orang Batak Angkola-Mandailing.
Untuk ini maka pemerintah kolonial Belanda melakukan suatu kebijaksanaan, agar
jangan terjadi konflik antara Islam dan Kristen. Misalnya tahun 1899, Gubernur
Jenderal Belanda telah mengeluarkan suatu instruksi kepada Residen Tapanuli,
agar di daerah di mana sebagian besar penduduknya tidak mengakui Islam,
janganlah Islam diperkenankan menjalankan pengaruhnya. (L.Castles, The political life of a Sumatra
residency: Tapanuli 1915-1940, hal. 92. )
Namun
kebijaksanaan ini hanya dapat berjalan beberapa tahun lamanya. Karena setelah
timbulnya gerakan kebangkitan Islam di Indonesia, dengan berdirinya
cabang-cabang Serikat Islam (SI) di berbagai daerah yang berpenduduk Islam
sejak tahun 1911, kebijaksanaan tersebut nampaknya mulai lemah. Hal itu
misalnya dapat dilihat dari peristiwa yang pernah terjadi di daerah Janji
Angkola Pahae, daerah Tapanuli bagian Utara yang berbatasan dengan daerah
Tapanuli bagian Selatan. Walaupun penduduk setempat mayoritas telah menganut
agama Kristen, namun pada tahun 1919, seorang Islam bernama Syeh Haji Ibrahim
Sitompul telah dikukuhkan menjadi kepala negeri
di daerah itu, setelah dia meraih suara terbanyak dalam pemilihan kepala
negeri. Hal itu bisa terjadi karena pengaruh SI yang sudah beberapa tahun
sebelumnya masuk di sana, dan Ibrahim
Sitompul sendiri telah berfungsi sebagai ketua. Missionar setempat dan pimpinan
Zending sempat mengajukan keberatan atas kejadian itu, karena apabila hal itu
berjalan terus, dikhawatirkan sebagian besar orang-orang Kristen setempat akan
beralih menjadi Islam. Tetapi walaupun demikian Ibrahim Sitompul tetap
dikukuhkan juga. Ini berarti bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mau
mencampuri soal agama selama tidak mengganggu kepentingan politik pemerintahan
Belanda.
Islam masuk ke Tapanuli bagian Utara
Dengan
menyerupakan diri sebagai salah satu “zending”, yang mendapat kebebasan dari pihak
kolonial Belanda memasuki daerah Tapanuli bagian Uatara, tahun 1930 an Islam
juga telah berusaha menjalankan missinya di daerah itu, dan mendirikan pusat
penyebarannya di sana. Pada waktu itu hampir seluruh masyarakat Batak yang ada
di Tapanuli bagian Utara, mulai dari
daerah Pahae, Silindung,Humbang,Toba, Uluan, Habinsaran, Samosir, Dairi, telah
menganut agama Kristen. Dalam laporannya tahun 1938, Demang Renatus Hutabarat
yang bertugas di daerah Toba pada waktu itu mengatakan bahwa pusat penyebaran Islam untuk wilayah Toba
pada waktu itu telah berdiri di tiga tempat yakni di Balige, Tambunan dan Porsea Uluan. (Memorie
van overgave en overname, ketikan dalam bahasa Indonesia, hal. 130),
Usaha
penyebaran Islam di beberapa tempat tersebut dilakukan oleh beberapa orang
perantau asal daerah itu yang sudah menganut agama Islam. Dari laporan Synode
Godang HKBP 1933 diketahui bahwa di desa Tambunan misalnya, seorang putera asal
daerah itu mencoba mengislamkan penduduk setempat dengan bujukan kekekeluargaan
dan pengaruh uang. Dengan cara demikian maka berhasillah dia mengislamkan
sejumlah tujuh keluarga, kendatipun semuanya
adalah mereka yang sedang menjalani hukum pengucilan gereja. ( Notulen
Synode Godang 1933, hal. 2). Di Uluan Porsea sebanyak 1500 orang berhasil
diislamkan, tetapi kebanyakan dari antara mereka adalah orang yang masih
menganut agama suku Batak. ( Notulen 1933, hal. 1).
Niat
orang Islam untuk mengislamkan orang-orang Batak pada waktu itu memang sangat
besar sekali. Seorang muslim yang
bernama R. Lubis, tahun 1933, menulis sebuah buku yang berjudul “ Rahasia
Bibel”, di mana dia mencoba mengemukakan beberapa kelemahan Alkitab di mata
orang Kristen dari sudut pandangan Islam. Tetapi pengaruh dari buku itu tidk
sempat meluas, karena para pendeta HKBP pada waktu itu segera untuk
membendungnya. (Notulen Rapat Pendeta HKBP 1933, hal. 37).
Demikianlah
sekilas mengenai sejarah masuknya Islam di Tanah Batak. Dari situ bisa kita
ketahui mengapa mayoritas masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Selatan
telah masuk menjadi Islam karena jauh sebelum datangnya kekristenan, masyarakat
Batak di sana telah diislamkan dari daerah Minangkabau. Pengaruh Islam itu belum
sampai ke tengah-tengah masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara, karena masyarakat
Batak setempat pada waktu itu bisa berhasil menghalau pengaruh tentera
Minangkabau yang juga berusaha memasuki Tanah Batak bagian Utara, sehingga masyarakat Batak setempat tetap
menganut agama sukunya yang masih bersifat animisme. Keadaan ini memberi
peluang bagi missi Kristen yang datang kemudian dari Eropa khususnya dari Jerman, sehingga
kepercayaan masyarakat Batak Tapanuli
bagian Utara yang masih menganut agama suku itu bisa ditaklukkan oleh
kekristenan itu sendiri. Tahun 1930 an, hampir seluruh masyarakat Batak di
Tapanuli bagian Utara telah menganut agama Kristen. Tetapi sejak waktu itu
kebebasaan misi keagamaan dan zending yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda
memasuki Tanah Batak yang masih dikuasainya, maka pihak Islam juga berusaha
menjalankan missi keagaamaan mereka di sana. Tetapi hal itu telah menjadi suatu
dorongn bagi gereja HKBP pada waktu itu
untuk semakin banyak mengadakan dan menggiatkan pembinaan dan pembekalan
mengenai kekristenan itu kepada warganya, supaya mereka tidak begitu mudah
terpengaruh dengan godaan pengaruh kepercayaan yang lain, seperti Islam. Karena
kesungguhan pihak gereja untuk membekali warganya akan iman kekristenan itu, maka pengaruh missi Islam
itu tidak begitu menyebar. Tetapi tantangan
yang paling besar di kemudian hari dari
pihak Islam bagi masyarakat Kristen Batak adalah di beberapa daerah “perantauan”,
di mana orang-orang Kristen dari daerah Tapanuli bagian Utara telah banyak yang
berserak, khususnya di tempat-tempat
yang penduduknya mayoritas Islam. Karena mengalami tekanan sosial-ekonomi,
politik dan bahkan kepercayaan di beberapa tempat tersebut, juga karena
pergaulan mereka dengan masyarakat lingkungannya, khusus para muda-mudi, tidak
sedikit dari antara orang-orang Kristen Batak “terpaksa” masuk menjadi Islam, apalagi
mereka yang belum memiliki bekal iman kekristenan yang cukup. Tetapi keadaan ini tentu akan menjadi tantangan dan
dorongan bagi pihak gereja untuk tetap membenahi dan meningkatkan pelayanannya
terhadap semua warganya di mana pun berada.(msm)