Kamis, 26 Desember 2019

SEJARAH MASUKNYA AGAMA ISLAM DI TANAH B ATAK


Sejarah masuknya Agama Islam di Tanah Batak
Oleh: Pdt MSM Panjaitan, MTh

                Sebelum Kekristenan datang,  agama Islam telah lebih dulu memasuki Tanah Batak, yakni di bagian pesisir dan bagian Selatan yang berbatasan dengan daerah Minangkabau ( Sumatera barat).  Ke bagian pesisir, seperti daerah Asahan, di mana penduduknya telah banyak orang-orang Batak yang berserak dari dari daerah Toba, Islam masuk melalui jalur perdagangan,  sedangkan ke bagian Selatan, Islam masuk melalui gerakan Islam yang dilakukan oleh tentera Paderi dari daerah Minangkabau tahun 1820 an.
                Usaha pengislaman yang dilakukan oleh kaum Paderi, sebenarnya juga  dicoba sampai ke daerah Tapanuli Utara,  yang dipimpin oleh Tuanku Rao. Banyak yang mengatakan bahwa Tuanku Rao adalah Sipongki Nangolngolan, yakni kemanakan dari Sisingamangaraja X sendiri, yang sebelumnya dianggap telah meninggal, karena dia telah pernah dibuang oleh pamannya dalam keadaan hidup di dalam sebuah peti ke Danau Toba, dengan harapanan dia akan mati di sana. Ternyata dia dibawa oleh arus air Danau Toba dan terhampar di tepi sungai Asahan di Narumonda Porsea, dan diselamatkan oleh masyarakat setempat. Kemudian Si Pongki Nangolngolan pergi kedaerah Minangkabau, tinggal di daerah Rao. Dia hidup bersama masyarakat setempat dan bergabung dengan Kelompok Tuanku Imam Bonjol, dalam menentang kehadiran kolonial Belanda di sana. Dia yang sudah menganut agama Islam pada waktu itu, karena keberaniannya yang luar biasa diangkat oleh masyarakat setempat sebagai pemimpin mereka dalam menentang Belanda. Karena itulah maka banyak orang mengatakan bahwa dialah yang dikenal sebagai Tuanku Rao  yang pernah  memimpin tentera Paderi menyerbu  ke Tanah Batak untuk memperluas missi Islam  ke Tanah Batak, yang dimulai dari Tapanuli bagian Selatan yang masih dekat dengan daerah Minangkau Sumatera Barat. Dalam Sejarah Batak, masa penyerbuan  kaum Paderi ini dikenal dengan “zaman Pidari’, yakni suatu zaman yang sangat suram dan mengerikan sekali. Dalam catatan yang ditulis oleh J. Sihombing ( Sejarah Saratus Taon HKBP, hal. 11), keadaan pada masa itu digambarkan sebagai berikut:
         “Rumah-rumah dibakar, ternak-ternak dihabiskan dan dimusnahkan, serta harta benda penduduk setempat dirampas. Orang banyak terpaksa mengungsi ke hutan, sedangkan mulut anak-anak disumbat dengan kain, supaya suaranya jangan terdengar. Setiap orang yang ditemukan dipaksa untuk masuk menjadi Islam, kalau tidak diangkut dari dari sana untuk dijadikan budak”.
                 Tetapi usaha pengislaman yang dilakukan ke daerah Tapanuli bagian Utara , mulai dari daerah Pahae, Silindung, Humbang, Toba, Samosir, Uluan dan Habinsaran tidak berhasil. Masyarakat setempat berjuang dengan sangat keras untuk mengadakan perlawanan, yang untuk itu banyak yang menjadi korban, termasuk Sisingamangaraja X sendiri sebagai pemimpin mereka. Ada yang mengatakan bahwa kepala Sisingamangaraja X dipenggal oleh kemenakannya sendiri yakni Sipongki Nangolngolan yang memimpin penyerbuan itu, sebagai balas dendamnya kepada pamannya itu. Tentera Paderi tersebut akhirnya terpaksa meninggakan daerah itu, karena di sana telah berjangkit wabah penyakit menular, seperti kolera, tyfus, dll, disebabkan oleh banyak bangkai manusia dan ternak yang berserakan. Peristiwa itu lama menjadi kenangan yang sangat menakutkan bagi masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Utara, dan telah menjadi salah satu faktor penghambat bagi mereka di kemudian hari untuk menerima agama Islam  sebagai agamanya.
                Keadaannya berbeda dengan yang terjadi di daerah Tapanuli bagian Selatan. Usaha pengislaman di daerah ini dapat berhasil dengan baik. Menurut para ahli sejarah, keberhasilan itu terutama disebabkan oleh dua hal. Pertama, masyarakat  di sana tidak dapat bersatu unuk melawan gerakan itu, dan kedua, karena pemerintah kolonial Belanda, yang sejak tahun 1830 an telah berhasil menguasai daerah itu, turut membantu proses pengislaman itu, dengan cara mendatangkan sejumlah tenaga guru dan para medis dari daerah Minangkabau, untuk dipekerjakan di sana. Mereka inilah dengan sangat giat mengembangkan ajaran Islam itu di sana.
                Melihat proses pengislaman yang sedang giatnya dilakukan di darah Tapanuli bagian Selatan, sedangkan gerakan penginjilan yang mulai masuk ke sana sejak tahun 1850 an ( RMG sendiri dari Jerman baru mulai bekerja di sana 7 Oktober  1861), sangat terbatas, telah mendorong I.L.Nommensen yang sempat ditugaskan oleh RMG bekerja di darah itu, untuk memutuskan  meninggalkan tempat itu tahun 1863 dan berpindah ke daerah Silindung Tapanuli bagian Utara, di mana penduduknya masih menganut agama suku yang masih bersifat “palbegu” (animisme)  dan masih berada di daerah yang “bebas” pula, dimana kekuasaan Belanda belum sampai ke sana. Berkat ketekunan dan dedikasinya yang sangat tinggi bersama beberapa orang temannya yang menyusul kemudian sebagai tenaga utusan RMG,  penginjilan di daerah itu ternyata dapat bertumbuh dengan sangat subur. Kemudian usaha penginjilan dan usaha pengislaman bertemu pada daerah-daerah perbatasan yang didiami oleh orang-orang Batak Toba dan orang-orang Batak Angkola-Mandailing. Untuk ini maka pemerintah kolonial Belanda melakukan suatu kebijaksanaan, agar jangan terjadi konflik antara Islam dan Kristen. Misalnya tahun 1899, Gubernur Jenderal Belanda telah mengeluarkan suatu instruksi kepada Residen Tapanuli, agar di daerah di mana sebagian besar penduduknya tidak mengakui Islam, janganlah Islam diperkenankan menjalankan pengaruhnya.  (L.Castles, The political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940, hal. 92. )
                Namun kebijaksanaan ini hanya dapat berjalan beberapa tahun lamanya. Karena setelah timbulnya gerakan kebangkitan Islam di Indonesia, dengan berdirinya cabang-cabang Serikat Islam (SI) di berbagai daerah yang berpenduduk Islam sejak tahun 1911, kebijaksanaan tersebut nampaknya mulai lemah. Hal itu misalnya dapat dilihat dari peristiwa yang pernah terjadi di daerah Janji Angkola Pahae, daerah Tapanuli bagian Utara yang berbatasan dengan daerah Tapanuli bagian Selatan. Walaupun penduduk setempat mayoritas telah menganut agama Kristen, namun pada tahun 1919, seorang Islam bernama Syeh Haji Ibrahim Sitompul telah dikukuhkan menjadi kepala negeri  di daerah itu, setelah dia meraih suara terbanyak dalam pemilihan kepala negeri. Hal itu bisa terjadi karena pengaruh SI yang sudah beberapa tahun sebelumnya masuk di sana, dan  Ibrahim Sitompul sendiri telah berfungsi sebagai ketua. Missionar setempat dan pimpinan Zending sempat mengajukan keberatan atas kejadian itu, karena apabila hal itu berjalan terus, dikhawatirkan sebagian besar orang-orang Kristen setempat akan beralih menjadi Islam. Tetapi walaupun demikian Ibrahim Sitompul tetap dikukuhkan juga. Ini berarti bahwa pemerintah kolonial Belanda tidak mau mencampuri soal agama selama tidak mengganggu kepentingan politik pemerintahan Belanda.
Islam masuk ke Tapanuli bagian Utara
                Dengan menyerupakan diri sebagai salah satu “zending”, yang mendapat kebebasan dari pihak kolonial Belanda memasuki daerah Tapanuli bagian Uatara, tahun 1930 an Islam juga telah berusaha menjalankan missinya di daerah itu, dan mendirikan pusat penyebarannya di sana. Pada waktu itu hampir seluruh masyarakat Batak yang ada di Tapanuli bagian  Utara, mulai dari daerah Pahae, Silindung,Humbang,Toba, Uluan, Habinsaran, Samosir, Dairi, telah menganut agama Kristen. Dalam laporannya tahun 1938, Demang Renatus Hutabarat yang bertugas di daerah Toba pada waktu itu mengatakan bahwa  pusat penyebaran Islam untuk wilayah Toba pada waktu itu telah berdiri di tiga tempat yakni di  Balige, Tambunan dan Porsea Uluan. (Memorie van overgave en overname, ketikan dalam bahasa Indonesia, hal. 130),
                Usaha penyebaran Islam di beberapa tempat tersebut dilakukan oleh beberapa orang perantau asal daerah itu yang sudah menganut agama Islam. Dari laporan Synode Godang HKBP 1933 diketahui bahwa di desa Tambunan misalnya, seorang putera asal daerah itu mencoba mengislamkan penduduk setempat dengan bujukan kekekeluargaan dan pengaruh uang. Dengan cara demikian maka berhasillah dia mengislamkan sejumlah tujuh keluarga, kendatipun semuanya  adalah mereka yang sedang menjalani hukum pengucilan gereja. ( Notulen Synode Godang 1933, hal. 2). Di Uluan Porsea sebanyak 1500 orang berhasil diislamkan, tetapi kebanyakan dari antara mereka adalah orang yang masih menganut agama suku Batak. ( Notulen 1933, hal. 1).
                Niat orang Islam untuk mengislamkan orang-orang Batak pada waktu itu memang sangat besar sekali.  Seorang muslim yang bernama R. Lubis, tahun 1933, menulis sebuah buku yang berjudul “ Rahasia Bibel”, di mana dia mencoba mengemukakan beberapa kelemahan Alkitab di mata orang Kristen dari sudut pandangan Islam. Tetapi pengaruh dari buku itu tidk sempat meluas, karena para pendeta HKBP pada waktu itu segera untuk membendungnya. (Notulen Rapat Pendeta HKBP 1933, hal. 37).
                Demikianlah sekilas mengenai sejarah masuknya Islam di Tanah Batak. Dari situ bisa kita ketahui mengapa mayoritas masyarakat Batak di daerah Tapanuli bagian Selatan telah masuk menjadi Islam karena jauh sebelum datangnya kekristenan, masyarakat Batak di sana telah diislamkan dari daerah Minangkabau. Pengaruh Islam itu belum sampai ke tengah-tengah masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara, karena masyarakat Batak setempat pada waktu itu bisa berhasil menghalau pengaruh tentera Minangkabau yang juga berusaha memasuki Tanah Batak bagian Utara,  sehingga masyarakat Batak setempat tetap menganut agama sukunya yang masih bersifat animisme. Keadaan ini memberi peluang bagi missi Kristen yang datang kemudian  dari Eropa khususnya dari Jerman, sehingga kepercayaan  masyarakat Batak Tapanuli bagian Utara yang masih menganut agama suku itu bisa ditaklukkan oleh kekristenan itu sendiri. Tahun 1930 an, hampir seluruh masyarakat Batak di Tapanuli bagian Utara telah menganut agama Kristen. Tetapi sejak waktu itu kebebasaan misi keagamaan dan zending yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda memasuki Tanah Batak yang masih dikuasainya, maka pihak Islam juga berusaha menjalankan missi keagaamaan mereka di sana. Tetapi hal itu telah menjadi suatu dorongn  bagi gereja HKBP pada waktu itu untuk semakin banyak mengadakan dan menggiatkan pembinaan dan pembekalan mengenai kekristenan itu kepada warganya, supaya mereka tidak begitu mudah terpengaruh dengan godaan pengaruh kepercayaan yang lain, seperti Islam. Karena kesungguhan pihak gereja untuk membekali warganya akan iman  kekristenan itu, maka pengaruh missi Islam itu tidak begitu  menyebar. Tetapi tantangan yang paling besar di kemudian hari  dari pihak Islam bagi masyarakat Kristen Batak adalah di beberapa daerah “perantauan”, di mana orang-orang Kristen dari daerah Tapanuli bagian Utara telah banyak yang berserak,  khususnya di tempat-tempat yang penduduknya mayoritas Islam. Karena mengalami tekanan sosial-ekonomi, politik dan bahkan kepercayaan di beberapa tempat tersebut, juga karena pergaulan mereka dengan masyarakat lingkungannya, khusus para muda-mudi, tidak sedikit dari antara orang-orang Kristen Batak “terpaksa” masuk menjadi Islam, apalagi mereka yang belum memiliki bekal iman kekristenan yang cukup. Tetapi  keadaan ini tentu akan menjadi tantangan dan dorongan bagi pihak gereja untuk tetap membenahi dan meningkatkan pelayanannya terhadap semua warganya di mana pun berada.(msm)

Senin, 23 Desember 2019

SEJARAH PERAYAAN NATAL

SEJARAH PERAYAAN NATAL

Mengapa umat Kristen merayakan kelahiran Yesus Kristus pada setiap tanggal 25 Desember? Belakangan ini semakin banyak orang yang mempertanyakan kebenaran dari Perayaan Hari Natal setiap tanggal 25 Desember., dengan mengatakan tidak benar Yesus itu lahir pada tanggal 25 Desember. Alasanya tanggal itu tidak ada disebutkan dalam Kitab Injil yang memberitakan tentang kelahiran Yesus. Lagi pula katanya, jika dihubungkan dengan berita dalam Kitab Injil Lukas bahwa kelahiran Yesus itu diberitakan kepada para gembala yang bermalam di Ladang Efrata, tidak mungkin dalam musim dingin tangal 25 Desember itu para gembala bisa bermalam di ladang dalam menjaga ternaknya.
Jika dikaji dari sudut historis memang kita ketahui bahwa hampir empat abad lamanya umat Kristen atau gereja mula-mula belum mengenal adanya perayaan hari helahiran Yesus, yang belakangan ini lebih dikenal dengan “hari Natal”. Sedangkan perayaan-perayaan yang sudah dilakukan oleh umat Kristen sebelumnya, mulai dari hari Minggu, Paskah, Pentakosta dan Kenaikan Yesus ke sorga. Perayaan hari Minggu yang diadakan setiap minggu dilakukan untuk menggantikan hari Sabbat Yahudi yang dilakukan setiap hari Sabtu. Hari Minggu dipakai oleh umat Kristen menggantikan Sabat Yahudi,  karena  hari itu adalah hari Tuhan, dimana pada saat itulah Yesus bangkit dari kematian, dan juga pada saat itulah hari turunnya Roh Kudus yang melahirkan gereja. Perayaan Paskah tetap dilakukan oleh umat Kristen seperti halnya umat Yahudi sehingga waktunya tetap diseuaikan dengan Paskah Yahudi yang dimulai setiap taggal14 bulan Nissan menurut kalender Yahudia atau sekitar akhir bulan Maret atau awal bulan April menurut kalender Masehi. Kalau umat Yahudi merayakan Paskah dengan penuh kegemberiraan mengingat keluarnya nenek-moyang mereka dari perhambaan Mesir, akan tetapi umat Kristen memulai Paskah tanggal 14 bulan Nissan itu dengan puasa yang sungguh-sungguh mengingat penyaliban yang terjadi bagi diri Yesus, dan baru kemudian diakhiri dengan  perayaan Ekaristi yang penuh sukacita, mengingat kebangkitan Yesus.
      Perayaan lain yang sudah diikuti oleh umat Krsiten sebelum adanya Perayaan Natal adalah Perayaan Pentakosta dan Kenaikan Yesus ke Sorga. Perayaan Pentakosta juga mengikuti tradisi Yahudi yakni hari ke lima puluh sesudah Paskah. Karena Roh Kudus turun bagi murid-murid Yesus tepat pada hari Pentakosta Yahudi  (suatu pesta Panen bagi orang Yahudi), maka orang-orang  Kristen juga menetapkan perayaan kedatangan Roh Kudus itu setiap hari Pentakosta itu juga, yakni pada Minggu ke tujuh sesudah Paskah. Hari Pentakosta ini kemudian ditetapkan sebagai hari kelahiran gereja karena pada hari itulah lahirnya gereja yang pertama sebagai buah dari pekerjaan Roh Kudus. Pesta Pentakosta adalah merupakan pesta kedua terbesar setelah Pesta Paskah yang dirayakan orang Kristen pada mulanya. Pesta itu di beberapa gereja  kemudian, seperti di Inggris, sering juga disebut “Minggu putih” (White Sunday), karena pada  hari Pentakosta itu sering juga dilakukan pembaptisan, di mana orang-orang yang baru dibaptis itu mengenakan pakaian putih. Pesta Kenaikan Yesus juga dirayakan sejak mulanya, yakni 40 hari setelah Paskah, sesuai dengan Kis. 1:3.

 Epifanias dan Natal.  Pada sekitar abad ke 4 M, dua pesta Kristen yang besar bertambah, yakni: Epifanias yang dirayakan pada tanggal 6 Yanuari dan Natal yang dirayakan pada tanggal 25 Desember. Sebelum itu orang-orang Kristen yang mengalami penghambatan dan persekusi (penganyayaan) selama lebih dari tiga abad lamanya belum mengenal perayaan hari lahir Yesus. Tetapi setelah agama Kristen atau gereja mulai mendapat pengakuan di kekaisaran Romawi oleh kaisar Konstatntinus Agung ( tahun 312), dimana umat Kristen telah mendapat kebebasan untuk melakanakan bebagai kegiatan, maka mulailah gereja memikirkan perlunya umat Kristen  merayakan hari kelahiran Yesus, sebagaimana masyarakat di lingkungan kekaisaran Romawi telah mempunyai kebiasaan merayakan hari kelahiran dewa-dewa yang disembah. Karena saat kelahiran Yesus itu sudah berselang demikian lama, maka orang-orang Kristen pada abad yang keempat itu tidak bisa lagi mengingat kapan tanggal dan bulan yang tepat dari hari kelahiran Yesus itu. Petunjuk untuk itu pun juga tidak dijumpai, baik dalam Kitab Injil maupun dalam tulisan-tulisan sejarah pada waktu itu.  Memang dalam kitab Lukas 2:1 disebutkan  bahwa kelahiran Yesus itu terjadi bertepatan dengan keluarnya surat perintah sensus dari Kaisar Agustus untuk seluruh warga kekaisaran Romawi. Tetapi catatan sejarah tidak menyebut tanggal dan bulan dari sensus itu diberlakukan, hanya tahunnya yang disebutkan yakni sekitar tahun 6 atau 7 sebelum Masehi.
      Karena tidak ada petunjuk yang tepat,  maka tidak ada lagi yang mengetahui secara persis  hari kelahiran Yesus Kristus itu. Tetapi di bagian bumi belahan Utara telah ada kebiasaan masyarakat yang sudah lama terjadi mengadakan suatu pesta pada setiap akhir Desember atau awal Januari, yakni pada waktu melewati hari yang paling pendek. Di Roma pesta musim dingin seperti itu disebut “pesta Matahari tak terkalahkan” (Sol Invictus atau Kemenangan Matahari). Kebiasaan  itulah yang diambil-alih oleh gereja di Roma sebagai hari kelahiran Yesus yang ditetapkan pada setiap tanggal 25 Desember, dengan mengisi pemahaman yang baru yakni Yesus Kristuslah Matahari Kemenangan itu, yang telah mengalahkan kegelapan dunia. 
      Sekitar abad 4 itu juga, Helena, ibu dari kaisar Konstantinus Agung, yang telah menjadi pendukung Kristen, telah membangun sebuah gereja di atas gua kelahiran Yesus di Betlehem. Setiap tanggal 6 Januari para uskup dan orang banyak datang ke gereja itu berprosesi untuk merayakan penampakan (Epifania) Yesus. Pesta ini, selain sebagai peringatan kelahiran Yesus, juga berkaitan dengan peringatan peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohannes Pembaptis di sungai Jordan, di mana pada waktu itu  Dia “nampak” sebagai Anak Allah yang dikasihi (Mat.3,17). Di kalangan orang-orang Kristen di wilayah Timur kekaisaran Romawi, seperti di Mesir, Armenia, Palestina, Yunani, hari Epifanias tanggal 6 Januari itulah yang ditetapkan pada mulanya sebagai perayaan hari kelahiran Yesus. Mengapa mereka memilih tanggal 6 Januari itu ? Sebelum kekristenan, orang-orang Mesir telah merayakan tanggal 6 Januari sebagai hari mempermuliakan Dewa Kore yang melahirkan “Aion”. “Aion” berarti yang kekal. Orang-orang Kristen Mesir (gereja Koptik) mengambil hari itu sebagai perayaan kelahiran Kristus, dengan mengingatkan bahwa Yesus Kristuslah “Aion” atau Yang kekal itu. Gereja Armenia dan gereja Koptik sampai sekarang masih memegang Epifania sebagai hari kelahiran Kristus. Demikian juga Gereja Orthoks Syria di India.
      Untuk pertama kali perayaan Natal pada 25 Desember diadakan di Roma tahun 354, yakni dengan mengambil “hari pesta Matahari tak terkalahkan” yang dirayakan masyarakat setempat sebelum kekristenan. Dengan berbuat seperti itu orang-orang Kristen tersebut mau menunjukkan kepada masyarakat setempat bahwa Yesus Kristuslah “Matahari yang tak terkalahkan” itu atau “Matahari kemenangan” bagi seluruh umatNya. Pilihan itu memang tepat, karena sejak abad ke 4, kekristenan telah menang di seluruh kekaisaran Romawi, sedangkan agama-agama yang lama menjadi agama yang harus disingkirkan. Orang-orang Kristen Roma menyebut perayaan itu ‘Dies Natalis atau hari kelahiran -Yesus Kristus. Mulai abad 11, di Inggris hari kelahiran Kristus itu lebih dikenal dengan “Christmas” ( Mass of Christ) season, yang berasal dari kata “Cristes Maesse”  atau Misa Kristus. Makna sebenarnya adalah merayakan anugerah terbesar yang Allah sediakan dalam diri Yesus Kristus yang bersedia turun ke dunia sebagai Raja damai.
      Kebiasaan merayakan  hari kelahiran Yesus Kristus pada tanggal 25 Desember juga tersebar dengan cepat ke bagian Timur. Di sebagian besar umat Kristen  tanggal 25 Desember itu dapat diterima sebagai hari kelahiran Kritus, sedangkan tanggal 6 Januari itu dirayakan sebagai hari Epifanias, yang dihubungkan  dengan pembaptisan Yesus. Di kemudain hari orang-orang Kristen di Barat juga mengambil hari Epifanias itu juga sebagai pesta Kristen, tetapi mereka menghubungkannya bukan hanya dengan pembaptisan Yesus saja, tetapi juga dengan saat “penampakan Kristus” kepada orang-rang kafir, khususnya kepada orang-orang Majus dari Timur itu ( Mat.2:1ff).
      Sehubungan dengan telah ditetapkannya 25 Desember sebagai Perayaan Kelahiran Yesus Kristus, maka dalam Konsili Saragossa di Spanyol tahun 380 ditetapkanlah adanya masa Adven  sebelum Natal sebagai kewajiban bagi  umat Kristen mempersiapkan diri, supaya perayaan Natal itu benar-benar perayaan yang bersifat krstiani dan perayaan itu benar-benar memawa makna keselamatan bagi umat Kristen. Adven yang berati kedatangan (Kristus) ditetapkan mulai pada hari Minggu terdekat dengan tanggal 30 Nopember ( antara tanggal 27 Nopember dan 3 Desember) dan berlangsung sampai malam Natal 24 Desember, yang terdiri 4 minggu Adven. Dalam masa itu belum diperkenankan untuk merayakan Natal.
      Masa Adven itu bukan hanya sekedar untuk mempersiapkan perayaan Natal, agar perayaan itu secara seremonial dan dekoratif bisa begitu bagus, indah dan mengaggumkan kelihatannya, tetapi lebih dari itu yakni untuk mempersiapkan diri supaya kelahiran Yesus itu bisa benar-benar membawa keselamatan dan kebahagiaan yang sesungguhnya bagi dirinya. Jadi firman Tuhan yang disoarakan pada minggu adven, adalah firman Allah yang mengarah kepada perenungan pribadi akan dosa-dosa yang dilakukan sehingga hatinya terdorong untuk bertobat, dan membuka diri untuk pembaharuan hidup dari Yesus.
      Belakangan ini masa-masa Adven itu hampir tidak mempunyai makna lagi, tinggal hanya sebagai ungkapan-ungkapan tahun  gerejawi saja, karena masa adven itu telah dikaburkan oleh perayaan-perayaan natal yang hanya bersifat seremonial, dekoratif dan hiburan saja. Ini bisa dilihat karena banyak yang telah merayakan natal mulai dari hari-hari pertama dari masa adven itu sendiri. Ini disebabkan karena perayaan natal itu semakin banyak dilakukan. Kalau yang tadinya itu dilakukan pada malam 24 Desember dan tangal 25-26 Desember saja, dan kalau perlu setelah itu sampai atas hari Epifanias. Semua kelompok anggota jemaat, kategorial, kelompok masyarakat, kelompok marga, arisan,  sekolah-sekolah, telah melakukan perayaan natal, sehingga bisa menyita banyak waktu, dana dan energi. Tetapi sering terkesan perayaan natal itu hanya hanya kesempatan untuk bisa berkumpul, bergembira ria, dan makan-makan yang lebih enak. Ada orang mengatakan bahwa dalam satu kali masa natal, seseorang bisa sampai lebih dari sepuluh kali mengikuti perayaan natal.  Tetapi perlu direnungkan, apakah dengan banyak perayaan natal yang diikuti, dia semakin  mengenal Yesus itu, dan juga bisa semakin memahami atau menghayati arti dan makna kedatangan Yesus itu ke dunia. Sampai sekarang yang tetap konsisten dengan pemanfaatan mingu-minggu adven untuk menjadi perenungan pribadi dan mempersiapkan diri akan kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini, dan memeprsiapkan diri untuk menantikan kedatangan Kristus yang ke dua kali adalah gereja Roma Katolik, sedangkan bagi kebanyakan gereja-gereja Protestan makna masa adven itu semakin kabur karena sudah disingkirkan oleh perayaan-perayaan natal yang cenderung hanya menonjolkan seremonial, dekoratif dan kesenangan-kesenangan duniawi yang sifatnya hanya sementara. Ini perlu direnungkan bersama agar ke depan perayaan natal itu semakin bermakna sebagaimana dikehendaki oleh Yesus Kristus yang kelahirannya dirayakan itu. Selamat hari Natal bagi kita semua. (Pdt MSM Panjaitan).