HISTORIOGRAFI:
PENDEKATAN-PENDEKATAN
DAN METODE-METODE PENULISAN SEJARAH GEREJA
Dari
sudut etimologinya, perkataan “historiografi” berasal dari dua perkataan
Yunani, yakni “historia” dan “grafe”. Historia
berarti sejarah dan grafe berarti
tulisan. Jadi historiografe berarti
tulisan sejarah atau penulisan sejarah. Sejarah sebaiknya memang harus
dituliskan, agar bisa dipelajari dengan baik oleh setiap orang terus-menerus.
Tetapi bagaimana caranya menuliskan sejarah itu agar benar-benar mengandung
suatu makna dan faedah bagi setiap orang yang berminat untuk mempelajarinya,
membutuhkan cara-cara pendekatan dan metode-metode yang tepat. Tetapi di dalam
usaha untuk mencari cara-cara pendekatan dan metode-metode penulisan tersebut,
penulis sejarah harus memahami lebih dahulu apa itu sejarah, hal-hal apa yang
harus dituliskan dalam sejarah, barulah dicari langkah-langkah selanjutnya
bagaimana untuk menyelesaikan penulisan itu.
Seorang
yang ahli di bidang pengetahuan dan penulisan sejarah disebut sejarawan. Tetapi
untuk bisa menjadi sejarawan, seseorang akan menempuh proses perjalanan yang
sulit dan perjuangan yang berat. Sejarawan juga mempunyai tanggung-jawab yang
berat. Seorang sejarawan Kristen bernama McIntire pernah berkata, bahwa sejarawan
itu harus sanggup menggali, mengumpulkan, menilai, menganalisa serta menyusun
bahan-bahan sejarah yag ada menjadi satu tulisan sejarah yang bernilai, dan
sekaligus juga harus sanggup untuk mengajarkannya.(1)
Namun walaupun disadari bahwa
untuk menjadi seorangsejarawan itu berat, itu bukan alasan untuk tidak berusaha
untuk memperolehnya. Ada semboyan mengatakan: “Tidak ada gunung yang tidak bisa
didaki dan tidak ada lembah yang tidak bisa diseberangi”. Kalau pada diri
seseorang ada ketekunan, ketabahan dan semangat untuk bisa berhasil. Sejalan
dengan itu Tuhan Yesus pernah berkata: “...Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai
iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari
tempat ini ke sana, -- maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang
mustahil bagimu”. (Matius 17: 20).
Firman Tuhan Yesus itu, akan selalu bisa dijadikan pegangan untuk mengharapkan
sukses dalam segala pekerjaan. Khusus dalam mempelajari seluk-beluk sejarah
gereja, kalaupun itu termasuk suatu pekerjaan yang sulit, apabila berpegang
kepada Firman itu, pasti akan bisa berhasil, walaupun menjadi sejarawan bukan
menjadi tujuan. Namun bagi seorang pendeta yang telah mengabdikan diri dalam
tugas-tugas pelayanan di tengah-tengah gereja,
pengetahuan sejarah itu pasti akan banyak memberi bantuan untuk bisa
terus-menerus meningkatkan tugas
pelayanan itu.
1. PENGERTIAN SEJARAH
1.1. Sejarah
sebagai asal-usul, silsilah, tambo atau badad
Salah satu pengertian sejarah yang berasal dari kata Arab
“syajarah”, adalah sebagai asal-usul, silsilah, tambo atau babad.(2)
Sejarah sebagai asal-usul berarti sejarah yang mengungkapkan asal-usul
(mula-jadi) sesuatu tempat, benda, manusia atau sesuatu badan yang dibentuk
oleh mansia. Bagi setiap orang, pengetahuan tentang asal-usul ini sangat
penting untuk memperkaya pengetahuan atas dirinya, sesamanya ataupun sesuatu
tempat atau benda yang selalu menjadi obyek perhatiannya.
Pengetahuan tentang asal-usul, biasanya meliputi pengetahuan
tentang dari mana asalnya, bagaimana
terjadinya dan kapan itu terjadi (lahir). Adalah tidak mudah untuk mengetahui
asal-usul dari sesuatu dengan tepat dan jelas, apalagi telah melewati waktu
yang sangat lama. Misalnya sebagai contoh, mengenai asal-usul terjadinya Danau
Toba, yang menurut perkiraan ilmuwan sudah ada sejak beratus ribu tahun yang
lampau. Kalau dulu masyarakat Batak yang belum memahami pengetahuan tentang
alam, menceritakan tentang asal-usul Danau Toba itu adalah dengan cerita-cerita
mitos ataupun legenda. Tetapi dewasa ini dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
di segala bidang, pengetahuan tentang asal-usul ini sudah lebih mudah didekati
dengan mempergunakan metode-metode ilmiah.
Sejarah sebagai silsilah (tambo
dalam bahasa Minangkabau, babad dalam
bahasa Jawa atau tarombo dalam bahasa Batak), juga mempunyai arti yang hampir sama
dengan pengertian asal-usul tersebut. Hanya pengertian silsilah lebih sering
dipergunakan untuk menuturkan asal-usul manusia, lengkap dengan garis keturunan
mulai dari nama nenek moyangnya sebagai asal-usulnya.
1.2. Sejarah
sebagai riwayat
Kata yang mempunyai pengertian yang sama dengan sejarah yang
sering kita dengar adalah riwayat. Perkataan riwayat juga berasal dari bahasa
Arab, yang berarti laporan tentang sesuatu kejadian. Bagaimana duduk persoalan
sesuatu kejadian atau peristiwa akan dapat diketahui dengan jelas, bila laporan
mengenai peristiwa itu dapat diperbuat dengan jelas.
1.3. Sejarah
sebagai hikayat
Dalam bahasa Indonesia sejarah sering juga disebut hikayat. Kata
hikayat yang juga berasal dari bahasa Arab, berati cerita tentang kehidupan
seseorang. Karena hikayat berhubungan dengan cerita tentang kehidupan
seseorang, maka dalam ilmu sejarah, sejarah sebagai hikayat sering juga disebut
biografi. Jadi kalau disebutkan misalnya: Hikayat Raja Salomo, maka yang
diceritakan di situ adalah riwayat kehidupan (biografi) raja Salomo
tersebut. Biasanya yang diriwayatkan
dalam kehidupan seseorang adalah mengenai: kelahirannya, asal-usulnya,
pengalaman hidupnya, prestasi yang dicapai, suka-duka dan kelemahannya,
sehingga dengan hikayat tersebut maka kehidupan seseorang dapat dikenal lebih
dekat.
1.4. Sejarah
sebagai cerita atau kissah
Karena sejarah biasanya disampaikan dalam bentuk cerita atau
kissah, maka sejarah sering juga disebut cerita atau kissah. Oleh orang yang
bercerita, cerita sejarah itu akan diusahakan menjadi sebuah cerita yang bisa
menarik perhatian banyak orang. Jadi sifat dari sejarah sebagai cerita
bergantung kepada orang yang menceritakannya. Sifat-sifat dari orang yang
menceritakan sejarah tersebut akan bisa nampak dalam sejarah yang
dituliskannya. Yang dimaksud dengan sifat-sifat manusia yang bisa mempengaruhi
jalan cerita sejarah yang diceritakanya ialah meliputi: keadaan pribadinya,
cita-cita dan pergaulannya, kekayaan pengetahuannya akan sejarah dan suasana
keadaan yang meliputinya.(3)
Yang dimaksud dengan keadaan pribadi misalnya meliputi
perbendaharaan gaya bahasa, sifat keterbukaan atau tertutup, penghumor atau
tidak, dll. Dan yang dimaksud dengan
cita-cita dan pergaulannya adalah menyangkut pandangan hidup, kepercayaan atau
dorongan-dorongan yang mempengaruhi jiwanya. Kekayaan pengetahuan seseorang
akan sejarah jelas sangat mempengaruhi
jalannya sejarah yang diceritakannya, karena dengan pengetahuan yang dimiliki,
maka dia akan mampu memberi ketarangan yang lebih lengkap. Demikian juga
suasana keadaan yang meliputinya pada saat dia menceritakan sejarah itu juga
sangat mempengaruhi jalan cerita sejarah yang diceritakannya, apalagi kejadian
yang diceritkannya kena mengena dengan kejadian-kejadian yang baru terjadi di
sekitarnya.
Karena sifat dan keadaan orang yang menceritakan memang sangat
berpengaruh kepada cerita sejarah yang dituliskan, maka itulah sebabnya apabila
diperhatikan, tidak akan ada dua buah kitab sejarah yang benar-benar sama isi
ceritanya, walaupun judul buku itu sama, jika dituliskan oleh orang yang
berbeda. Jadi penulis suatu sejarah, memang juga akan berfungsi memberikan arah
dari cerita sejarah yang dituliskannya.
1.5. Sejarah
sebagai ilmu
Di atas sudah dicoba dikemukakan beberapa pengertian dari sejarah
itu. Tetapi seluruh pengertian yang dikemukakan di atas masih merupakan
pengertian yang sederhana, belum merupakan pengertian sejarah yang dimaksudkan.
Adapun pengertian sejarah yang dimaksud untuk dituliskan adalah sejarah sebagai
ilmu.
Latar-belakang pengertian sejarah sebagai ilmu diperoleh dari
pemikiran Eropa. Pada masa-masa yang lampau bangsa kita memang sudah banyak
bergaul dengan orang-orang Eropa, seperti Belanda, Jerman dan Inggris, sehingga
oleh pengaruh pemikiran mereka, maka apa yang kita kenal sekarang dengan istilah sejarah khususnya di
perguruan-perguruan sudah diwarnai oleh pengertian orang-orang Eropa tersebut.
Di dalam bahasa Belanda misalnya, istilah yang dipergunakan untuk sejarah ialah
“Geschiedenis” dan di dalam bahasa Jerman “geschichte”, yang ke duanya berarti
sesuatu yang sudah terjadi. Di dalam bahasa Inggris disebut “history”, yang
berasal dari bahasa Yunani “historia”. Historia dalam bahasa Yunani berarti
pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian alam, khususnya yang bersangkut paut dengan kehidupan
manusia.(4) Sebagai pengetahuan yang diperoleh dari hasil penelitian
terhadap kejadian-kejadian alam, maka pengertian historia tidak jauh berbeda
dari pengertian “scientia” dalam bahasa
Latin. Scientia dalam bahasa Latin berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dari
hasil penelitian terhadap gejala=gejala alam. Beda pengertian historia dari
scientia hanyalah dalam susunan khronologis. Historia biasanya disusun secara
khronologis, sedangkan scientia tidak terikat kepada susunan khronologis.
Sesuatu hal baru bisa dikategorikan sebagai ilmu bila memenuhi
persyaratan tertentu. Persyaratan itu menurut Walsh dalam bukunya: “An
Introduction to Philosophy of History”(5), adalah sebagai berikut:
1.
Merupakan suatu kumpulan dari hal-hal yang
diketahui yang diperoleh dengan suatu metode atau sistem.
2.
Mempunyai general propotition.
3.
Mempunyai kegunaan atau nilai yang praktis.
4.
Obyektif.
Persyaratan
itu juga harus berlaku bagi suatu tulisan sejarah. Maka dengan mengikuti
persyaratan itu, suatu sejarah dapat disebut sebagai suatu ilmu, jika
pengetahuan sejarah itu diperoleh dengan mempergunakan metode-metode tertentu
(metode ilmiah), dapat diterima oleh umum, mewariskan nilai-nilai yang berguna
untuk pembaca, dan isinya harus obyektif, sehingga selalu mencerminkan
kebenaran.
Sejarah biasanya digolongkan
kepada ilmu sosial. Ini berarti bahwa dengan fungsinya sebagai ilmu sosial,
maka sejarah akan dapat menjawab masalah-masalah sosial yang bersangkut paut
dengan kehidupan manusia zaman sekarang, dan sekaligus juga akan memberi arah
kehidupan untuk masa yang akan datang.
2. FAKTOR-FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN JIKA
MENULIS SUATU SEJARAH
Di atas suadah dikemukakan bahwa sejarah yang akan ditulis adalah
sejarah sebagai ilmu. Tetapi pertanyaan yang berhubungan dengan itu ialah:
faktor-faktor apakah yang perlu diperhatikan di dalam penulisan sejarah
itu agar benar-benar merupakan suatu
yang ilmu yang historis? Faktor-faktor tersebut ialah:
1)
Wujud dari peristiwa atau kejadian yang akan
ditulis harus jelas.
2)
Manusia sebagai pelaku dari peristiwa itu.
3)
Tempat di mana peristiwa itu terjadi.
4)
Sebab-musabab terjadinya peristiwa itu.
5)
Waktu kapan peristiwa itu terjadi.
Keterangan untuk ke lima faktor ini biasanya diperoleh dengan
menjawab pertanyaan sebagai berikut: apa, siapa, di mana, mengapa dan bila
mana.(6) Kalau ke lima pertanyaan ini dapat dijawab dengan jelas,
maka duduk perkara dari sesuatu peristiwa akan dapat diketahui dengan jelas.
2.1. Apa
wujud dari peristiwa itu?
Menulis sejarah adalah suatu usaha untuk menghidupkan kembali
peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi pada masa yang lampau. Tetapi harus
disadari bahwa peristiwa-peristiwa itu sudah tidak terhingga lagi banyaknya.
Semuakah peristiwa-peristiwa itu harus dicatat dan dihidupkan kembali?
Jawabannya tentu tidak. Karena di samping usaha itu tidak mungkin bisa
dikerjakan oleh manusia dengan keterbatasnnya, juga tidak ada gunanya untuk
menghidupkan semuanya itu kembali.
Kalau demikian halnya, harus dipilih beberapa dari antaranya yang
perlu sesuai dengan pokok yang akan dituliskan. Tugas memilih beberapa dari
antara peristiwa-peristiwa yang banyak itu, di dalam ilmu sejarah disebut seleksi. Namun yang harus diseleksi juga
sudah ada pembatasannya. Dalam ilmu sejarah, secara umum telah disepakati,
bahwa peristiwa-peristiwa yang perlu dihidupkan kembali melalui suatu tulisan
sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang ada hubungannya dengan kehidupan manusia.
(7)Ini berarti bahwa peristiwa-peristiwa alam yang tidak berhubungan
dengan tata kehidupan manusia tidak perlu dicatat. Dengan demikian perhatian tercurah kepada
kegiatan-kegiatan manusia pada masa yang lampau. Namun kegiatan manusia saja
pun juga tidak terhingga lagi banyaknya, dan tidak mungkin bisa dicatat
seluruhnya. Karena itulah sangat
diperlukan penyeleksian.Di dalam usaha penyeleksian itulah maka wujud dari
peristiwa-peristiwa yang akan dipilih harus berpedoman kepada kategori sebagai
berikut:
1)
Peristiwa itu harus penting dan relevan.
Menentukan suatu peristiwa penting
atau tidak, sangat tergantung kepada orang yang akan menulis sejarah itu.
Tetapi sebagai patokan umum, biasanya yang disebut penting dilihat dari sudut
besarnya faedah dari peristiwa itu untuk diketahui dan luasnya ruang lingkup
dari peristiwa itu untuk kehidupan manusia. Misalnya peristiwa “coup de’tat” di
pusat pemerintahan, sudah pasti lebih penting dari peristiwa perkelahian di
kantor Camat, jika dilihat dari sudut sejarah nasional. Dan relevan dimaksudkan
dalam hal ini ialah yang mempunyai kaitan dengan masalah kehidupan sekarang.
2)
Peristiwa itu harus merupakan kegiatan manusia
yang bergerak ke arah perkembangan atau peningkatan taraf kehidupannya.
Manusia
sebagai pelaku sejarah memang diciptakan oleh Tuhan dengan kesanggupan
berfikir, yang membuat manusia itu mampu melahirkan kebudayaannya yang selalu
berkembang sepanjang zaman. Adanya perkembangan kebudayaan itulah yang membuat
gerak sejarah. Gerak sejarah itu misalnya mulai dilihat dari kesanggupan
manusia untuk membentuk barang-barang yang sederhana yang diperlukan untuk
mepertahankan kehidupannya, yang kemudian berkembang menjadi kesanggupan untuk
membentuk ikatan persaudaraan, lembaga-lembaga kemasyarakatan dan bentuk-bentuk
pemerintahan manusia, yang dalam proses perkembangan tersebut manusia akan
banyak menghadapi tantangan-tantangan hidup, yang datangnya juga dari dunia
ini.
2.2. Siapa
manusia pelaku peristiwa itu?
Dalam suatu tulisan sejarah tokoh-tokoh manusia sebagai pelaku sejarah, harus jelas
dicatat karena sebagaimana telah diterangkan di atas, suatu peristiwa tidak
mungkin terjadi tanpa manusia terlibat di dalamnya. Perlunya menjelaskan
siapa=siapa manusia pelakua peristiwa itu, adalah sesuai dengan salah satu
maksud penulisan sejarah itu yakni bahwa dari sejarah akan dikenal banyak
manusia dengan berbagai sifat dan tabiatnya. Semakin banyak sifat manusia dikenal, maka semakin banyak
pula kita mengenal diri kita sendiri, karena sifat-sifat manusia yang ditemukan
itu sepanjang perjalan sejarah, juga mencerminkan sifat kita sendiri.
Secara garis besarnya bahwa dari sejarah dikenal adanya dua sifat
manusia pada umumnya yang sangat menonjol, yakni pertama: keinginan untuk
berkembang dengan kemampuan yang ada padanya, kedua: kecenderungan untuk menipu
keadaan dirinya yang sebenarnya.(8) Adanya ke dua sifat itulah yang
menimbulkan gelombang sejarah. Kalau manusia dengan sifatnya yang pertama akan
mendorong dirinya untuk sanggup memperkembang kebudayaan, maka tabiatnya yang ke dua mendorong dirinya
untuk memperbesar dan meninggikan diri sendiri setara dengan Allah penciptanya.
Dia yang seharusnya memperbesar nama Allah penciptanya melalui prestasi yang
dicapai dan yang juga harus selalu sujud
di bawah telapak kaki-Nya, tetapi karena sifat yang ke dua itu, maka manusia telah mengalihkan semuaya
itu untuk dirinya sendiri. Inilah yang menimbulkan adanya persengketaan di
antara manusia, karena masing-masing telah saling berlomba untuk diakui oleh
sesamanya sebagai yang paling besar, yang paling berkuasa, yang paling benar,
yang paling pintar, yang paling terpandang dan terhormat. Adanya persengketaan
ini merupakan salah satu hambatan dari perkembangan sejarah tersebut, namun di
pihak lain bisa sebagai pendorong untuk berjuang lebih maju lagi dari yang sudah dicapai sekarang.
Mencatat nama-nama orang di dalam sejarah adalah juga mencatat seluruh hal yang
menyangkut kehidupannya, kelahirannya, latar-belakang kehidupannya,
pendidikannya dan seluruh pengalaman hidup dan pergaulannya, yng membentuk kepribadian atau sifat kemanusiaannya.
2.3. Di manakah peristiwa itu terjadi ? (faktor
tempat)
Faktor tempat di mana suatu peristiwa terjadi harus jelas, karena
sangat besar pengaruhnya dalam menentukan perjalanan sejarah tersebut. Yang
dimaksud dengan tempat menyangkut geografis, termasuk keadaan alam atau
iklimnya. Jika jelas diketahui di mana tempat suatu kejadian, maka akan lebih
mudah diketahui sebagian latar-belakang dari peristiwa tersebut.
Keadaan daerah yang subur atau tandus misalnya, strategis atau
terpencil, banyak penghasilan atau tidak, merupakan fator yang turut menentukan
perkembangan sejarah manusia. Apabila diperhatikan daerah-daerah yang menjadi
pusat peradaban manusia zaman dahulu adalah daerah yang subur dan strategis.
Misalnya daerah Mesir, Mesopotamia, dan Tiongkok yang terkenal sebagai pusat
peradaban pada zaman dulu adalah karena daerah itu dikenal sebagai daerah yang
subur. Di samping itu daerah seperti Palestina (diapit oleh Mesir dan
Mesopotamia) dan daerah Asia Tenggara (diapit oleh India dan Tiongkok) juga
terkenal sebagai pusat perkembangan peradaban manusia, karena letak
daerah-daerah tersebut yang strategis, yang diapit oleh dua daerah yang subur.
Maka dengan melihat contoh-contoh tersebut di atas, maka jelaslah,
bahwa perkembangan pemikiran manusia, perkembangan kebudayaan atau bahkan
perkembangan keagamaan, sangat banyak ditentukan oleh keadaan suatu tempat atau
di mana manusia itu berdiam.
2.4. Mengapa
peristiwa itu terjadi? (faktor sebab-musabab)
Sejarah juga merupakan penjelasan mengenai sebab-musabab
terjadinya suatu peristiwa. Apa yang menyebabkan terjadinya peristiwa itu,
harus dijawab oleh sejarah. Di atas sudah dijelaskan, salah satu faktor
pendorong gerakan sejarah manusia adalah sifat atau tabiat manusia itu. Namun
sebagai orang beragama, harus diakui bahwa gerakan sejarah manusia juga tidak
terlepas dari campur tangan Allah dari luar dirinya. Dalam sejarah manusia juga
bisa dilihat adanya peristiwa-peristiwa ajaib, di luar jangkauan peikiran manusia,
yang pada waktu-waktu tertentu dipergunakan oleh Allah untuk menyapa manusia
itu sendiri.
Juga harus diakui bahwa Allahlah yang mengontrol jalannya sejarah
manusia, sehingga setiap peristiwa sejarah manusia saling berkaitan satu sama
lain. Namun kalaupun dikatakan bahwa Allah turut campur tangan mengontrol dan
mengarahkan sejarah manusia, bukanlah berarti bahwa penyebab terjadinya sesuatu
peristiwa sejarah yang dialami manusia adalah karena perbuatan Allah sendiri.
Peristiwa sebab-musabab yang mau diselidiki atas sesuatu peristiwa
sejarah, adalah fator yang terdapat di dalam diri manusia itu, yang didalamnya terpendam: kepentingan
ekonomi, sosial, ideologi, politik, seksual, alam tidak sadar, dll. Kalau
dilihat misalnya terjadinya suatu peperangan di tengah-tengah suatu bangsa,
maka dalam hubungannya dengan faktor sebab-musabab yang ingin ditanyakan
adalah: mengapa peperangan itu terjadi. Setelah dilakukan pnelitian maka
peperangan itu pada satu pihak boleh saja terjadi karena seorang raja ingin
mempertahankan kekuasaannya dari serangan musuh ataupun keinginan untuk
memperluas daerah kekuasaannya, sehingga melibatkan rakyat untuk berperang
melawan musuhnya itu. Tetapi di pihak lain peperangan itu boleh terjadi karena
rakyat memberontak terhadap raja atau pemerintah yang dianggap bertindak
sewenang-wenang, atau karena raja atau pemerintah tersebut tidak memperhatikan
kepentingan rakyatnya.
2.5. Kapan
peristiwa itu terjadi? (faktor waktu).
Sejarah berjalan di dalam waktu. Karena itu faktor waktu sangat
memegang peranan penting
di dalam
perjalanan sejarah, bahkan merupakan sifat khas dari sesuatu tulisan sejarah.
Istilah waktu berasal dari perkataan Arab “waqt”, yang salah satu pengertiannya
dalam kehidupan sehari-hari adalah sekalian rentetan saat yang telah lampau,
sekarang dan yang akan datang.(10) Pengertian lain dari waktu ialah
merupakan ukuran lamanya saat tertentu, misalnya: satu jam, satu hari, satu
minggu, satu bulan, satu tahun, satu dekade, satu abad, satu millenium, dll.
Timbulnya kesadaran tentang waktu adalah oleh abstraksi yang
diperoleh dari pengalaman tentang gejala-gejala yang berhubungan kausal satu
sama lain.(11) Umpamanya, kalau dalam pengalaman manusia diamati, A
menyebabkan B, dan B menyebabkan C, secara sambung menyambung, maka timbullah
kesadaran bahwa A timbul sebelum B, dan B terjadi sebelum C demikian
seterusnya, sehingga proses itu merupakan garis lurus yang tidak
putus-putusnya. Apabila di dalam garis yang panjang itu dibuat titik-titik yang
mempunyai jarak yang sama, maka jarak-jarak itulah yang menjadi patokan untuk
mengukur lamanya sesuatu saat dalam garis waktu itu. Misalnya lamanya satu hari
dibagi atas 24 jam, satu bulan 30 hari, satu tahun sama dengan 12 bulan dan
seterusnya.
Berbagai pandangan bangsa dan agama tentang waktu. Orang Hindu
misalnya memandang waktu sebagai kuasa dewa, yang membuat manusia dan dunia ini
binasa dan hancur apabila saatnya telah
tiba (matang).(12) Dan orang-orang Cina Purba memandang waktu yang
bergerak terus, bagaikan suatu lingkaran, sehingga apa yang terjadi pada masa
yang lampau, akan terulang juga pada saat tertentu. Kalau menurut tradisi
mereka, pada zaman yang lampau pernah terjadi zaman emas, maka pada suatu saat,
zaman yang sama akan terulang juga di permukaan waktu itu. Sehubungan dengan
perulangan waktu tersebut, maka mereka juga mengajarkan, bahwa yang terjadi
pada masa yang lampau harus menjadi suatu pelajaran untuk menentukan sikap pada
masa sekarang.(13)
Orang Yunani juga memandang perjalanan waktu sebagai sesuatu perputaran
lingkaran. Pandangan mereka itu didasarkan atas
pengamatan mereka terhadap peristiwa-peristiwa alam yang sering
berulang-ulang terjadi. Apa yang sudah terjadi sebelumnya, pasti akan muncul
lagi pada kesempatan berikutnya. Dengan menyadari akan kenyataan itu, maka
mereka merasakan bahwa hidup mereka benar-benar
telah dibelenggu oleh lingkaran perputaran waktu tersebut. Karena itu
mereka memandang waktu sebagai kuasa
yang telah memperhamba mereka. Sepanjang perputaran waktu itu mereka tidak
mungkin mengharapkan adanya kehidupan yang baru, kecuali mereka dibebaskan dari
waktu itu sendiri, ke alam yang tanpa waktu.(14)
Bagi orang Kristen, dan juga telah menjadi pandangan umum dari
bangsa-bangsa di dunia sekarang ini, bahwa waktu itu berjalan terus bagaikan
suatu garis lurus, bersama dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya.
Sama seperti garis lurus itu yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain,
demikian jugalah adanya
peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya adalah berkaitan satu sama lain.
Apa yang terjadi pada masa sekarang tidak bisa dipisahkan dari apa yang terjadi
pada masa yang lampau, dan seterusnya akan mempengaruhi apa yang akan terjadi
pada masa yang akan datang. Itulah sebabnya dalam menuliskan suatu sejarah,
kapan waktunya terjadi peristiwa itu harus jelas diketahui. Dengan mengetahui
kapan waktunya peristiwa itu terjadi, telah membantu untuk memahami sebagian
latar-belakang dan duduk persoalan dari terjadinya peristiwa itu.
2.6. Periodisasi
dalam sejarah.
Membuat periodisasi sejarah, berhubungan dengan faktor waktu yang
dibicarakan di atas. Waktu yang sudah dilewati oleh sejarah manusia adalah
waktu yang sudah berkepanjangan, sehingga suatu cara yang bisa membantu untuk
mendekatinya ialah dengan membuat periodisasi. Pembagian periodisasi itu
biasanya didasarkan atas tahap-tahap perkembangan sejarah itu sendiri. Namun
kalaupun periodisasi diperbuat, itu tidak berarti bahwa waktu itu bisa
dipenggal-penggal, sehingga seolah-olah periode yang satu tidak berhubungan
dengan periode yang lain. Harus selalu diingat, bahwa proses perjalanan waktu
adalah saling berhubungan satu sama lain, sehingga pengadaan periodisasi hanya
untuk memudahkan mendekatan terhadap peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
dalam satu-satu periode tertentu.
Ada beberapa istilah yang sering dijumpai yang berhubungan dengan
periodisasi ini. Istilah-istilah tersebut antara lain ialah: zaman, periode,
abad dan epoh. Zaman adalah tahapan waktu yang lebih panjang sejalan dengan
gelombang perjalanan sejarah itu sendiri. Periode ialah jarak waktu dari dua
titik peristiwa sejarah yang sangat penting dan abad adalah ukuran waktu yang
lamanya seratus tahun. Sedangkan epoh
adalah titik permulaan atau titik berangkat dari suatu zaman atau periode yang
baru. Sebagai contoh bisa dilihat dari periodisasi sejarah dunia. Dalam
periodisasi Sejarah Dunia, dikenal adanya zaman Pra-sejarah dan Zaman Sejarah.
Yang dimaksud dengan zaman Pra-sejarah ialah mulai dari manusia pertama dan
berakhir pada saat manusia mengenal tulisan yang pertama. Sedangkan Zaman
Sejarah, mulai dari saat manusia mengenal tulisan itu dengan suatu bukti yang
baru diketahui kemudian, sampai akhir zaman.
Zaman Sejarah biasanya dibagi lagi atas beberapa periode. Sistem
yang lazim dipergunakan sampai sekarang untuk periodisasi sejarah umum ialah
sistem periodisasi yang diciptakan oleh Cellarius (1638-1707). (15)
Dia membagi sejarah dunia atas tiga bagian besar yaknI; Zaman Kuno (Purba),
Zaman Pertengahan dan Zaman Modern. Batasan dari setiap zaman menurut Cellarius
adalah: Zaman Kuno mulai dari permulaan
zaman sejarah manusia dan berakhir sampai runtuhnya kekaisaran Romawi tahun 473
M. Zaman Pertengahan mulai dari sejak itu, dan mengenai akhir dari zaman itu
dikemukakan lima jenis tahun peristiwa dunia yang sama kuatnya, yakni tahun
1453, dengan direbutnya kota Konstantinope oleh bangsa Turki; tahun 1492 dengan
penemuan benua Amerika oleh Colombus, 1517: perbuatan reformasi Martin Luther
di gereja Witteberg Jerman, 1450: penemuan percetakan baru, dan tahun 1519: kaisar
Karel V dilpilih menjadi kaisar.
Tetapi di kalangan pmikir-pemikir sejarah belakangan ini telah
timbul suatu pemikiran baru, karena disadari sistem periodisasi Cellarius ini
terlalu berorientasi terhadap perkembangan sejarah dunia Barat, sehingga sistem
itu tidak bisa diterapkan terhadap sejarah bangsa-bangsa atau negara lain di
dunia ini. Sutrasno misalnya, salah seorang pemikir sejarah dari bangsa
Indonesia, tidak mengikuti sistem periodisasi yang dibuat oleh Cellarius. Dia
berpendapat bahwa sistem periodisasi sejarah dunia yang lebih bersifat umum
ialah jika periodisasi itu didasarkan atas gerak sejarah dan perkembangan
manusia untuk saling berhubungan dengan sesama, dengan alam sekitar dan waktu.(16)
Maka dengan dasar pemikiran itu maka dia membagi sejarah dunia sebagai berikut:
·
Sejarah Kuno (Permulaan Sejarah) berakhir
sampai jatuhnya Konstantinopel oleh kekuasaan Turki pada tahun 1453.
·
Zaman Revolusi Industri dan Imperialis sampai
akhir abad 19.
·
Zaman Neo Kolonialisme dan Perjuangan Nasional
( Asia, Afrika dan Amerika Latin) yang mulai sejak abad 20.
Pembagian periodisasi sedemikian menurut dia akan bisa diterapkan
kepada setiap sejarah (regional, nasional) di dunia, misalnya sejarah Asia atau
sejarah Indonesia. Apabila pembagian itu dikenakan kepada sejarah Indonesia,
maka jadilah periodisasi sejarah Indonesia sbb:
·
Zaman Kuno: mulai dari kedatangan manusia
pertama di bumi Indonesia, yang dengan kedatangan itu terbentuklah kebudayaan
Melayu, Hindu dan Islam sampai akhir abad 16.
·
Zaman Imperialisme: mulai dari kedatangan
Belanda menguasai Indonesia sampai timbulnya gerakan kebangkitan nasional awal
abad 20.
·
Zaman gerakan nasional: mulai dari awal abad
20, hingga Indonesia memperoleh kemerdekaan sampai sekarang.
Di sini tidak dimaksudkan
memberikan tanggapan terhadap ke dua bentuk periodisasi di atas. Ke deua bentuk
itu dikemukakan, hanya sekedar contoh untuk menerangkan apa itu periodisasi
dalam sejarah, dan bagaimana kegunaannya dalam penulisan sejarah.
3. PENULISAN SEJARAH GEREJA
3.1. Sejarah
Gereja sebagai salah satu disiplin teologia
Sejarah Gereja adalah salah satu disiplin teologia yang dikenal
dalam perguruan-perguruan teologia Kristen. Disiplin teologia tersebut adalah:
Biblika, Historika (Sejarah Gereja), Teologia Sistematika dan Teologia Praktika. Biblika (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru)
merupakan sumber dari segala pengetahuan teologia, karena didalamnya Firman dan
Perbuatan Allah terhadap manusia dinyatakan secara sepenuhnya. Metode
pendekatan terhadap Alkitab adalah melalui eksegese dan pengetahuan tentang
Sejarah Israel dan bangsa-bangsa sekitar Israel yang menjadi latar-belakang
pemahaman terhadap Firman Allah yang terdapat di dalamnya.
Sejarah Gereja adalah pengetahuan tentang sejarah prtumbuhan,
perkembangan dan pergumulan gereja di dunia ini sejak lahirnya hinga akhir
zaman. Teologia Sistematika ialah teologia sebagai hasil pandangan orang
Kristen dan gereja yang didasarkan atas Firman Allah dalam pergumulannya
terhadap masalah-masalah yang dihadapi di tengah-tengah dunia, yang disusun
secara sistematis. Teologia Praktika
ialah teologia yang menyangkut segala usaha-usaha praktis dari gereja dan orang
Kristen dalam menghayati Firman Allah dan menjalin hubungan yang erat dengan
Tuhannya.
Sebenarnya seluruh disiplin teologia tersebut adalah saling
berhubungan secara erat satu sama lain. Maka dari itu, Sejarah Gereja sebagai
ilmu pengetahuan yang mengungkapkan perkembangan kehidupan gereja di dunia ini
sepanjang waktu adalah berhubungan erat dengan disiplin-dislipil teologia yang lain. Hubungannya dengan
Biblika sangat jelas, karena dari sejarah gereja akan diketahui bagaimana
gereja dan orang-orang Kristen menghayati dan menafsirkan isi alkitab itu pada
zamannya, yang bisa menjadi dasar perbandingan dalam memberikan penafsiran
untuk kehidupan sekarang. Demikian juga dengan teologia Sistematika, bahwa
teologia sitematika yang dipergunakan sekarang adalah berkembang dari
warisan-warisan pengjaran teologia dari gereja pada masa yang lalu. Juga yang
menyangkut teologia Praktika, bahwa melalui sejarah gereja akan diketahui bahwa
usaha-usaha paraktis yang dijalankan oleh gereja pada masa sekarang, berkembang
dari apa yang sudah dijalankan oleh gereja pada masa yang lampau.
Sebaliknya juga harus disadari bahwa apabila mau mendalami sejarah gereja,
maka akan lebih mudah untuk mendekatinya
jika telah menguasai disiplin-disiplin teologia yang lain.
3.2. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam memahami sejarah gereja
3.2.1.
Sejarah
Gereja sebagai sejarah kehidupan gereja
Sejarah Gereja adalah kissah tentang semua peristiwa yang
berhubungan dengan kehidupan gereja di dunia ini, yang meliputi: kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan dan pergumulannya di tengah-tengah dunia. Pengertian
gereja ialah persekutuan dari pengikut-pengikut Kristus, yang dipanggil keluar
dari dunia ini melalui kuasa Roh Kudus. Kata gereja yang berasal dari bahasa
Portugis “igreja” diterjemahkan dari bahasa Yunani “ekklesia”.
Di dalam Perjanjian Lama (PL), pengertian gereja juga sudah ada,
yakni “qahal”, yang pada dasarnya sama pengertiannya dengan “ekklesia”. Ke
duanya meghunjuk kepada umat Allah yang dipanggil keluar dari dunia ini, dan
dipersiapkan menjadi satu persekutuan yang kudus. Di dalam PL, kata qahal itu
dikenakan khusus kepada umat Israel, sedangkan di dalam Perjanjian Baru (PB),
ekklesia meliputi seluruh bangsa di dunia ini yang telah bersedia menjawab panggilan
Allah melalui kepercayaan kepada Yesus Kristus. Oleh karena itu wujud gereja
adalah panggilan Allah terhadap seluruh bangsa untuk diutus bersaksi di
tengah-tengah dunia, dan sekaligus juga jawaban manusia terhadap panggilan itu.
Dari sudut itu, maka sejarah gereja adalah
sejarah panggilan Allah dan sejarah jawaban manusia terhadap panggilan
itu.(17)
3.2.2.
Yesus
Kristus sebagai pusat dari sejarah Gereja
Yesus Kristus adalah kepala dari gereja, maka oleh karena itu
Dialah juga yang menjadi pusat dari sejarah gereja. Sebagai pusat dari sejarah
Gereja, maka di dalam dirinya sejarah gereja dalam PL berakhir dan sejarah
gereja yang baru dimulai, sebagaimana hal itu dinyatakan dalam PB. Titik tolak
dari kelahiran gereja di dalam PB adalah peristiwa Pentakosta (Kisah Rasul 2), di mana pada hari itu Roh
Kudus yang dijanjikan oleh Yesus sebelum kenaikan-Nya ke sorga, telah
dicurahkan kepada murid-murid-Nya, sehingga oleh kuasa Roh Kudus itu mreka
disanggupkan untuk menjalankan Amanat Agung dari Yesus Kristus, yakni
menjadikan seluruh bangsa menjadi murid-Nya (Mat. 28: 19-20). Namun sebelum itu
Yesus Kristus telah meletakkan dasar yang kokoh dari gereja itu, yakni dengan
karya penyelamatan-Nya, yang berpusat kepada kematiannya dan kebangkitan-Nya,
yang sering disebut Injil Yesus Kristus.
Bagaimana Injil itu disebar luaskan ke seluruh penjuru dunia, dan
sampai dimanakah kesetiaan gereja untuk menyebar-luaskan Injil itu sehingga Nama
Yesus benar-benar dikenal oleh seluruh bangsa sebagai Tuhan dan Juru
Selamatnya, itulah antara lain hal-hal yang harus dijawab dalam sejarah Gereja.
3.2.3.
Sejarah
Gereja sebagai interpretasi atau penafsiran atas kehidupan gereja
Sejarah Gereja adalah juga sebagai hasil suatu penafsiran, yakni
penafsiran terhadap peristiwa-peristiwa yang dialami oleh gereja pada masa yang
lampau. Sebagai hasil dari stuatu penafsiran, maka suatu tulisan sejarah gereja bukanlah merupakan suatu hasil tulisan yang mutlak berlaku tanpa ada perubahan lagi, melainkan
hanya salah satu penafsiran terhadap fakta-fakta sejarah yang ada.(18)
Pengertian ini misalnya sangat jelas terlihat dari judul-judul beberapa buku
terbitan bahasa Inggris, khususnya terbitan tahun-tahun terakhir ini. Di dalam
judul buku sejarah berbahasa Inggris nama itu diungkapkan dengan “A History”,
bukan “The History”. Misalnya judul buku yang ditulis oleh Lars P. Qualben: A
History of the Christian Church”, buku dari Laturette “A History of Christianity”.
Mereka tidak menyebut “The History”, melainkan “A History”. Walaupun nampaknya
ke dua ungkapan itu tidak begitu berbeda, tetapi apabila didalami dari sudut
cara berfikir orang Inggris, antara kata sandang “A” dan “The “ sudah menunjukkan
perbedaan yang besar. Kalau ditulis dengan “A History”, penulis buku itu sadar
bahwa buku sejarah yang ditulisnya bukanlah satu-satunya sejarah gereja yang
mutlak, melainkan hanyalah salah satu pandangan terhadap sejarah gereja itu,
sehingga masih ada lagi kemungkinan bagi orang lain untuk menuliskan sejarah
gereja yang lain.
Namun kalaupun dikatakan bahwa sejarah gereja itu merupakan suatu
penafsiran, bukanlah penafsiran dalam arti penafsiran atas kemauan semata-mata dari penulis tersebut.
Harus juga diingat bahwa sejarah gereja adalah salah satu disiplin ilmu
teologia, dalam arti harus selalu mencerminkan Firman Allah. Oleh karena itu
sebagai ilmu teologia. Maka sejarah gereja yang merupakan penafsiran-penafsiran
terhadap peristiwa-peristiwa historis itu, harus merupakan penafsiran yang
berlandaskan Firman Allah.(19) Atau sebagaimana dikatakan oleh
Philip Schaff, sejarah gereja adalah
merupakan penafsiran atas relalisasi
dari perumpamaan Yesus tentang biji sesawai dan ragi, sebagaimana
terdapat dalam Matius 13: 31-35.(20) Ini berarti bahwa sejarah
gereja akan menerangkan bagaimana makna
dari perumpamaan itu benar-benar nampak dalam pertumbuhan historis dari
gereja itu sendiri. Memang dari sudut perumpamaan ini, pertumbuhan gereja tidak
selamanya dinilai dari perkembangan
lahiriah saja, dengan berhasilnya gereja tersebar ke mana-mana menembus
batas-batas geografis bangsa-bangsa yang di dunia ini. Namun pertumbuhan itu juga harus dilihat dari
pertumbuhan iman orang-orang Kristen itu, sampai dimanakah mereka telah
menghayati Injil itu, sehingga mereka sudah makin dewasa untuk mengatasi
masalah-masalah dan tantangan-tantangan hidup yang datang dari luar dan dalam
dirinya.
3.3. Bidang-bidang
Sejarah Gereja
Yang dimaksud dengan bidang-bidang sejarah gereja adalah
pokok-pokok yang dianggap sangat penting mengisi sejarah gereja itu sendiri.
Pembagian sejarah gereja atas sejumlah bidang juga sangat perlu, sebagai cara
untuk memundahkan pendekatan terhadap peristiwa-peristiwa historis dari
kehidupan gereja yang tidak terhingga lagi banyaknya. Di bawah ini dikemukakan beberapa cara
pembidangan sejarah gereja yang dilakukan beberapa sejarawan Kristen terkemuka,
sebagai suatu bahan perbandingan, yaitu:
3.3.1.
Pembidangan
yang dilakukan oleh Lars P.Qualben
Dalam bukunya yang berjudul “A History of Christian Church”,
Qualben mengemukakan adanya empat bagian besar yang perlu diperlihatkan
mengisis sejarah gereja. Ke empat bidang itu ialah: Bidanga Sejarah Mission,
Bidang Sejarah Gereja Organisasi dan disilpin gereja, Bidang Sejarah
ajaran-ajaran Kristen, dan bidang Sejarah penghambatan dan perlawanan yang
dihadapi oleh gereja. Ke empat bidang ini menurut Qualben adalah sesuai dengan
bidang kehidupan dan prgumulan gereja itu di tengah-tengah dunia sebagai gereja
yang kudus, dan masing-masing bidang dirinci sebagai berikut:(21)
Pertama: Bidang Sejarah Mission (Pekabaran
Injil). Yang tercakup ke dalam bidang ini antaralain ialah:
a.
(Pekabaran Injil) (PI) ke luar, yakni kepada
orang-orang kafir, orang-orang Yahudi dan penganut agama lain seperti Islam.
b.
PI ke dalam, yakni PI di dalam daerah dan
lingkungan gereja itu sendiri, yang juga termasuk di dalamnya
perbuatan-perbuatan sosial dan rumah-sakit.
Kedua: Bidang Sejarah Organisasi dan Disiplin
Gereja. Bidang ini meliputi:
a.
Sejarah bentuk struktur organissi gereja dan
pemerintahan gereja, mulai dari: Apostolik, Papal, Episkopal, Presbyterial,
Congregational, dll.
b.
Sejarah disiplin gereja (hukum gereja atau
tata gereja).
c.
Sejarah tentang bentuk kehidupan dan
tata-kebaktian orang-orang Kristen.
Ketiga: Bidang Sejarah Ajaran dan pandangan
Kristen, yang meliputi:
a.
Sejarah Teologi Kristen: Ekesegetis,
Historis,Sistematika dan Praktika.
b.
Sejarah Doktrin gereja.
c.
Sejarah Dogma-dogma gereja.
d.
Sejarah tentang bidat-bidat.
Keempat: Sejarah penghambatan dan perlawanan
terhadap gereja, yang meliputi:
a.
Penghambatan dari luar, yaitu oleh orang-oranh
Yahudi, oleh oang-orang kafir, oleh penganut agama-agama lain, seperti Islam.
b.
Perlawana di dalam gereja itu sendiri
seperti: Katolik kontra Protestan.
Ortodoks konta Bidat-bidat, Gereja negara kontra Penentang Gereja Negara.
c.
Sejarah tentang lahirnya kebebasan beragama.
3.3.2.
Pembidangan
yang dilakukan oleh Philip Schaff
Philip Schaff adalah seorang sejarawan Kristen yang besar pada
abad 20 , yang menuliskan Buku Sejarah Gereja dalam delapan jilid, dengan judul: History of the
Christian Church. Dalam bukunya itu dia mengemukakan adanya enam bidang yang
perlu mengisi sejarah gereja, yakni: Bidang
Sejarah Mission (Pekabaran Injil), Bidang Sejarah Penghambatan terhadap
kekristenan, Bidang Sejarah Kepemimpinan dan tata-gereja, Bidang Sejarah Ibadat
dan Kebaktian, Bidang Sejarah kehidupan moral atau etis, Bidang Sejarah
Teologia, Bidang Sejarah Pengajaran dan Literatur Kristen.(22)
Untuk melihat gambaran yang lebih jelas mengenai masing-masing bidang, dapat
dilihat dari penjelasaan sebagai berikut:
Pertama: Bidang Sejarah Mission ( Pekabaran
Injil).
Bidang ini
menampakkan bagaimana gereja menyebarkan Injil itu ke tengah-tengah seluruh
bangsa, yang dikenal dalam dua jurusan yakni: PI ke luar dan PI ke dalam. PI ke
luar ditujukan kebada bangsa-bangsa yang
masih belum Kristen, sedang PI ke dalam ditujukan kepada orang-orang Kristen itu sendiri dalam
bentuk pelayanan Firman Allah dan kebangunan rohani. Dalam sejarahnya diketahui
bahwa tahapan-tahapan yang sudah dicapai oleh usaha PI itu ialah mulai dari
pertobatan sisa-sisa orang Yahudi dan pengkristenan seluruh warga kekaisaran
Romawi pada zaman Gereja Lama; dan pada zaman Pertengahan diperoleh pertobatan
orang-orang Eropa Utara dan Barat, sedangkan pada Zaman Modern, hasil dari
usaha PI itu ialah masuknya bangsa-bangsa di luar Eropa menjadi Kristen,
seperti Amerika, Australia, Afrika dan Asia Timur Jauh.
Kedua: Bidang Sejarah Penghambatan.
Bidang ini
menampakkkan sejarah perlawanan atau penghambatan yang dialami oleh gereja dan
kekristenan dari luar dirinya dan bagaimana usaha-usaha gereja untuk menghadapi
perlawanan itu. Dalam sejarahnya, perlawanan atau penghambatan itu mula-mula
datang dari pihak Yahudi, kemudian dari pemerintah Romawi, dari kekafiran, dan
agama-agama lain terutama kemudian dari pihak Islam. Dengan adanya penghambatan
ini, kehidupan kekristenan benar-benar terancam pada satu pihak, tetapi di
pihak lain disadari bahwa itu adalah
suatu ujian terhadap iman orang-orang Kristen itu, sampai dimanakah mereka
tetap setia untuk menyasikan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamatnya.
Ternyata memang diakui banyak orang Kristen yang mempunyai iman yang tidak tergoyahkan, yang rela berkorban
sebagai orang martir, sehingga sejarah mencatat bahwa darah-darah mereka yang
tercurah ke bumi karena membela Kristus dan gerejanya, telah menjadi benih yang
subur dalam pertumbuhan kerajaan Allah di dunia ini.
Di beberapa tempat gereja harus
mengalami kemunduran karena adanya perlawanan yang ganas dari luar dirinya,
khususnya di daerah sekitar Asia Kecil, Mesir dan Afrika Utara, karena sejak
lahirnya agama Islam pada abad ke tujuh, serangan Islam terhadap orang-orang
Kristen di daerah itu sangat kuat sekali. Tetapi mengapa sampai kekristenan itu
begitu lemah di daerah-daerah tersebut pada waktu itu, menjadi hal yang perlu
dikaji dan dijawab dari sudut sejarah gereja.
Namun perlawanan itu bukan hanya
datang dari luar dirinya, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri seperti
seringnya terjadi perselisihan faham di antara umat Kristen itu. Bahkan di
kalangan bangsa-bangsa yang sudah beragama Kristen di Eropa sering terjadi
perag antar mereka, perang mana telah menewaskan berjuta-juta orang Kristen,
sehingga darah orang-orang Kristen yang tertumpah oleh sesama orang Kristen
sendiri, jauh lebih banyak dari pada yang tertumpah oleh perlawanan dari luar
dirinya dari pihak orang kafir atau yang beragama lain. Pada abad 20 tantangan yang paling berat dihadapi oleh
gereja bukanlah dari pihak agama-agama lain seperti Islam, Hindu, Budha dan
lain-lain, tetapi justeru dari dalam umat Kristen itu sendiri, yang dikemudian
hari tidak setia lagi terhadap kekristenannya. Sejarah gereja akan mencatat
bahwa timbulnya faham komunisme yang menjadi tantangan yang sangat berat bagi
kekristenan, adalah justeru dari masyarakat Kristen itu sendiri dan yang
berkembang di tengah-tengah bangsa yang sudah beragama Kristen.(23) Hal ini juga akan menjadi pelajaran bagai
gereja, dan seluruh orang Kristen, mengapa itu bisa terjadi.
Ketiga: Bidang Sejarah kepemimpinan dan
tata-gereja.
Bidang ini
menampakkan perkembangan bentuk-bentuk kepemimpinan dan oraganisasi gereja
sepanjang sejarahnya. Di dalam kehidupannya di dunia ini, gereja memang
memerlukan pemimpin-pemimpin, memerlukan organisasi, memerlukan tata-gereja dan
siasat gereja, agar seluruh kegiatan-kegiatannya dapat berjalan dengan baik dan
teratur. Di dalam sejarahnya gereja telah mengalami perobahan-perobahan bentuk
kepemimpinan dan organisasi, mulai dari bentuk apostolik, episkopal,
patriarkhal, papal, konsistorial, presbiterial, kongregasional, sinodal, dll.
Perlu dilihat apa kebaikan dan keburukan dari masing-masing bentuk-bentuk itu.
Keempat: Bdang Sejarah Ibadah dan kebaktian.
Bidang ini
menampakkan bentuk-bentuk ibadah dan kebaktian yang sudah ada, sebagai cara
untuk mempersekutukan diri umat Kristen dengan Tuhannya. Bagaimanakah
perkembangan bentuk-bentuk persekutuan gerejani, kebaktian minggu,
liturgi-liturgi, perayaan-perayaan, pesta-pesta, nyanyian-nyanyian serta musik
gerejani, dll.
Kelima:Bidang Sejarah kehidupab moral dan etis.
Bidang ini
menampakkan bagaimana perkembangan sikap gereja dan orang Kristen terhadap
sesama manusia, melalui usaha-usaha sosial, sikap terhadap perhambaan, sikap
terhadap perang, sikap bernegara, sikap terhadap kebudayaan dan adat. Perlu
juga dilihat sampai dimanakah pengaruh kekristenan dalam menumbuhkan kesadaran
berbangsa, kesadaran bernegara, sehingga di kalangan bangsa-bangsa timbul
perjuangan menuntut kemerdekaan bangsanya dari kekuasaan bangsa lain, dan
demikian juga perjuangan kemerdekaan beragama dari kekuasaan suaru negara. Demikian juga halnya, bagaimanakah gereja
menunjukkan peranannya untuk turut serta membangun kehidupan masyarakat di
lingkungan mana ia berdiri.
Keenam: Bidang Sejarah teologia, pengajaran
dan literatur Kristen.
Bidang ini
menampakkan bagaimanakah teologia, pengajaran dan literatur Kristen yang
dikenal sekarang menempuh sejarah perkembangannya, seperti: eksegetis, dogma, etika,
historika dan praktika. Bagaimanakah gereja merumuskan pemikiran serta
pandangan mereka terhadap kekristenan hingga lahirnya dogma gereja, pengakuan
iman dan konfessi-konfessi. Dalam sejarahnya dogma atau konfessi-konfessi
gereja adalah lahir sebagai jawabannya terhadap ajaran-ajaran yang salah dari
aliran-aliran atau filsafat-filsafat yang timbul di sekeliling gereja itu.
Pembidangan sejarah gereja yang
diperbuat oleh Schaff ini, demikian juga pembidangan yang diperbuat oleh
Qualben adalah sangat bersifat umum, dan dipandang dari sudur perkembangan
gereja yang berpusat dari Eropa. Oleh karena itu pembidangan ini masih belum
mencakup seluruh bidang sejarah gereja itu, khususnya untuk sejarah gereja di
luar negara-negara barat, yang mulai tumbuh pada abad 19 dan baru berkembang
pada abad 20. Hal yang menyangkut sejarah umum, seperti gerakan oikumene yang baru
tumbuh pada abad 20 belum nampak dalam pembidangan tadi.
3.3.3.
Sejarah
kekristenan yang ditulis oleh Laturette.
Bidang yang ditonjolkan oleh Laturette dalam buku sejarah yang
ditulisnya ialah bidang Pekabaran Injil.
Mengenai usaha PI, dia tidak menonjolkan perbuatan suatu gereja atau
lembaga-lembaga gereja, melainkan adalah perbuatan Allah di dalam Yesus
Kristus, yang di dalamnya sejarah kekristenan juga aktif bekerja.(24)
Dalam usaha PI itu gereja dilihat hanyalah alat Allah, dan hal itu dilakukan
oleh gereja sebagai responsnya terhadap karya penyelamatan Allah, yang
dilakukan di dalam Yesus Kristus.
Bahwa bidang yang ditonjolkan oleh Laturette adalah mengenai
perluasan kekristenan itu sendiri adalah jelas dari buku karya sejarahnya yang
besar dan terkenal itu. Buku yang
terdiri dari tujuh jilid diberi judul: “A History of the expansion of Christianity” dan bukunya yang hanya
terdiri dari satu jilid saja diberi judul” A History of Chriatianity”. Dalam
buku serajahnya itu Laturette juga menjelaskan bahwa pengaruh kuasa Yesus
Kristus tidak hanya dilihat dalam sejarah kekristenan ataupun sejarah gereja,
tetapi juga di dalam sejarah dunia atau sejarah perjalanan hidup seluruh
manusia.(25) Salah satu pertanda bahwa kehidupan Kristus juga turut
mempengaruhi perjalan sejarah dunia menurut pandangan Laturette ialah pemakaian
penanggalan atau kalender yang telah berpusat kepada kehidupan Kristus (Before
Christ=BC dan Anno Domine=AD).
Sebagai orang yang memfokuskan perhatiannya terhadap sejarah
perkembangan kekristenan di seantero dunia, yang pada abad 20 telah menempati
seluruh belahan dunia, maka cara pendekatan yang diperbuat oleh Laturette untuk
meneliti sejarah perkembangan dan perluasan kekristenan itu ialah dengan
mengajukan tujuh pertanyaan yaituL26)
1)
Apakah kekristenan yang tersebar itu?
2)
Mengapa kekristenan itu tersebar?
3)
Mengapa pada waktu-waktu tertentu kekristenan
mengalami kesulitan?
4)
Bagaimana proses tersebarnya kekristenan itu?
5)
Efek apa yang telah dipengaruhi oleh
kekristenan terhadap dunia lingkungannya?
6)
Efek apa dari dunia lingkungannya yang
mempengaruhi kekristenan itu?
7)
Apakah yang dilahirkan oleh proses tersebarnya
kekristenan itu?
3.3.4.
Cara
pembidangan yang lain.
Cara pembidangan sejarah gereja yang lain muncul dalam salah satu
pandangan pada Study Institute Sejarah Gereja yang diselenggarakan oleh
Persetia (Persatuan sekolah-sekolah teologia Indonesia) tahun 1977 di Jakarta, di mana diusulkankan supaya
sejarah gereja itu dibagi atas tiga bidang saja, yakni: bidang pastorat, bidang
apostolat dan bidang diakonat. Ketiga bidang ini katanya sesuai dengan ke tiga
komisi oikumenis, yang kemudian bergabung dalam “Dewan Gereja-gereja Se Dunia
(DGD), yakni: “Faith and Order” (berhubungan dengan pastorat), “International
Misionary Council” (berhubungan dengan apostolat), dan “Life and Work”
(berhubungan dengan diakonat). Bidang pastorat mencakup usaha gereja untuk
mengadakan bimbingan, pengajaran, ibadah untuk hidup anggota gereja serta
disiplin gereja. Bidang apostolat
mencakup usaha pengutusan gereja untuk pergi ke dunia melakukan penyebaran
Injil itu. Bidang diakonat mencakup segala usaha yang bersifat pelayanan
sosial.(27)
Di atas telah dikemukakan adanya empat cara pembidangan sejarah
gereja yang bisa menjadi pedoman dalam menuliskan suatu sejarah gereja. Ke
empat cara itu sebenarnya tidak bertentangan satu sama lain, perbedaannya hanya
di dalam soal penekakan dari masing-masing bidang tersebut, sesuai dengan sudut
pandangan mereka masing-masing. Cara pembidangan yang pertama dan ke dua
melihat dari sudut perkembangan gereja itu yang telah melalui tiga zaman, maka
pembidangan yang mereka buat adalah sesuai dengan bidang kehidupan gereja itu
sendiri. Kalau dalam cara yang keriga yang menonjolkan bidang PI adalah adalah
sesuai dengan sudut pandangannya yang mau melihat perluasan dari kekristenan
itu. Dengan cara pembidangan yang ke empat, diperlihatkan bidang-bidang sejarah
gereja itu sejalan dengan arti dan tugas gereja di tengah-tengah dunia.
3.4. Periodisasi Sejarah Gereja
Sebagaimana sudah diterangkan di atas, salah satu cara untuk
mendekati perjalanan sejarah yang sudah memanjang itu ialah dengan membagi-bagi
sejarah itu atas periode-perode, sesuai dengan perkembangan yang paling
menonjol dari sejarah itu. Untuk sejarah gereja pembagian periodisasi itu juga
dipergunakan. Di bawah ini dkemukakan dua cara periodisasi tersebut, yang juga
bisa menjadi pedoman dalam menyusun periodisasi sejarah gereja, yakni
periodisasi dengan sistem klasik, dan periodisasi dari sudut pengluasan
kekristenan sedunia.
3.4.1.
Periodisasi
dengan sistem klasik
Periodisasi dengan sistem klasik masih merupakan periodisasi yang
umum diterima dalam Sejarah Gereja Umum. Dengan sistem ini sejarah gereja
dibagi atas tiga zaman, yakni: Zaman Gereja Lama, Zaman Pertengahan dan Zaman
Modern.
Zaman
Gereja Lama.
Zaman ini dimulai sejak kelahiran Kristus, dan mengenai akhirnya
masih ada beberapa pendapat yang berbeda. Pendapat yang pertama mengatakan,
zaman ini berakhir tahun 306/311, pada waktu mana Konstantinus Agung naik tahta
menjadi Kaisar Roma yang menetapkan Agama Kristen menjadi agama yang resmi di
kekaisaran itu. Tetapi ada juga pendapat yang lain yang mengatakan bahwa zaman
ini berakhir tahun 476, pada saat mana kekaisaran Roma berakhir, setelah
ditaklukkan oleh bangsa-bangsa Barbarik (yang masih kafir) dari Eropa bagian
Utara, yakni orang-orang Teutonik (Jerman, Skandinavia, dan Anglo-Saxon),
sehingga tahun itulah titik tolak perluasan kekristenan sampai ke seluruh benua
Eropa. Namun pendapat yang paling umum diterima ialah pendapat yang mengatakan bahwa
zaman ini berakhir tahun 590 AD, pada saat mana Gregorius Agung diangkat
menjadi Paus di Roma, dan jabatan itu dipegangnya dari tahun 590-604.(28)
Diangkatnya Gregorius menjadi Paus, ditetapkan menjadi epoh yang baru, karena
itulah yang menjadi titik peralihan dari tata-gereja yang lama dengan
tata-gereja yang baru pada waktu itu. Gregorius Agung berdiri pada batas
pelarilhan itu, karena dialah yang dikenal sebagai uskup yang terakhir di
gereja Roma dan merupakan Paus yang pertama yang memimpin Gereja Katolik di
bawah kekuasaannya yang berpusat di Roma.
Zaman Gereja Lama meliputi masa kehidupan Kristus, kehidupan para
apostel (rasul-rasul), penghambatan-penghambatan, kekristenan sebagai agama
resmi di kekaisaran Roma, perpindahan bangsa-bangsa dari Eropa Utara secara
besar-besaran ke wilayah kekaisaran Roma, sampai Gregorius Agung menjadi Paus.
Wilayah kekristenan pada waktu itu meliputi daerah-daerah sekitar Laut Tengah,
Asia Kecil, Asia Barat, Afrika Utara dan Eropa Selatan,
Zaman
Pertengahan.
Zaman ini mulai dari Gregorius
Agung menjadi Paus sampai terjadinya Reformasi tahun 1517. Zaman ini merupakan
zaman transisi dari gereja-gereja Lama ke pada yang baru, dan pada waktu itu
bangsa-bangsa yang ada di Eropa semuanya telah masuk menjadi Kristen. Permulaan
zaman ini ditandai dengan kemunduran nilai-nilai kekristenan yang lama,
munculnya kejahilan, keruetan hukum dan penganyayaan karena masuknya pengaruh
barbarisme di daerah kekristenan itu. Tetapi berkat usaha-usaha penginjilan
yang dirintis oleh Gregorius Agung ke pada orang-orang kafir itu, akhirnya
kekristenan diterima oleh seluruh bangsa yang ada di Eropa. Stelah itu
timbullah peradaban Kristen yang baru di Eropa, sebagai akibat dari perpaduan
nilai-nilai kekristenan, kebudayaan Graeco-Roman dan kebudayaan bangsa-bangsa
Eropa tersebut.(29)
Tugas gereja pada zaman itu
sangat besar, yakni mentobatkan dan membina orang-orang kafir itu menjadi
Kristen dan pekerjaan itu boleh dikatakan berhasil. Kalau pada satu pihak
orang-orang kafir itu telah berhasil menduduki kekaisaran Roma sejak tahun 476,
maka sejak zaman pertengahan kekristenan telah berhasil menundukkan hidup
mereka di bawah salib Kristus. Namun pada zaman ini gereja mengalami perlawanan
yang keras dari pihak Islam, sehinga di beberapa tempat gereja terpaksa
mengalami kemunduran. Pada zaman itu pula terjadilah perselisihan faham antara
gereja-gereja Timur dan Barat mengenai bentuk kepemimpinan dan ajaran gereja,
sehingga terjadilah skhisma (perpisahan) antara ke dua belah pihak pada tahun
1054.
Perkembangan hierarkhi gereja
juga menonjol pada zaman ini, karena pada zaman itulah terjadi kepausan menjadi
suatu kekuasaan yang mutlak. Memang sejak Gregorius VII Hildebrand menjadi paus
tahun 1049, jabatan kepausan telah mengarah kepada kekuasaan duniawi yang
bersifat mutlak, di mana apapun yang menjadi keputusannya tidak boleh diganggu
gugat, karena keputusan itu dianggapa telah mempunyai kebenaran yang sama
dengan kebenaran Firman Allah. Keadaan inilah yang menjadi salah satu latar-belakang
timbulnya reformasi Martin Luther tahun 1517.
Zaman Modern.
Zaman ini dimulai sejak
reformasi Martin Luther tahun 1517 hingga sekarang. Pada zaman ini dunia
kekristenan semakin luas, sejalan dengan penemuan dunia baru oleh Clumbus tahun
1492 di benua Amerika. Sejak penemuan ini maka banyaklah orang-orang Eropa yang
berhijrah ke Amerika, menetap di sana, yang sekaligus membawa kekristenan itu
sampai ke sana.
Akibat dari Reformasi,
kekristenan di dunia Barat pun menjadi terbagi dua, satu mengikuti jalan yang
lama (Roma Katolik) dan satu lagi mengikuti jalannya reformasi yang disebut
golongan Protestan. Pengaruh Reformasi juga telah menimbulkan kebebasan
beragama di Eropa dan bahkan ada yang sudah merasa sudah terlalu bebas,
sehingga dari golongan Protestan sendiri telah lahir berbagai denominasi yang
berdiri sendiri-sendiri.
Pad zaman Pertengahanlah juga
lahir gerakan Pencerahan yang mengajak
manusia untuk tidak mempercayai apa-apa di luar dari apa yang dapat
diterima oleh akal manusia. Dengan lahirnya gerakan Pencerahan inilah, maka
terjadi pemisahan Gereja dari Negara(30) Namun rupanya, terjadinya
pemisahan gereja dari negara justeru menguntungkan kepada gereja itu sendiri,
karena sejak adanya pemisahan itulah, maka uasaha Pekabaran Injil ke seluruh dunia
menunjukkan perkembangan yang pesat. Pada abad 18 muncullah dari kalangan umat
Protestan suatu gerakan kebangkiran rohani, yakni Pietisme dan Methodisme yang
berusaha membangkitkan kembali kehidupan rohani orang-orang Kristen yang sudah
banyak disesatkan oleh pemikiran Pencerahan yang sesat itu. Gerakan kebangkitan
rohani yang menekankan kesalehan hidup pribadi, kemudian sangat banyak
mendorong lahirnya gerakan penginjilan oleh badan-badan zending di Eopa ke
seluruh bangsa di dunia ini yang masih dalam kegelapan, khususnya yang berada
di Asia dan Afrika.
3.4.2.
Periodisasi
dari sudt pengluasan kekristenan se dunia
Periodisasi dengan sistem klasik di atas adalah dari sudut
pandangan perkembangan gereja Barat, sehingga hanya dapat menjangkau
perkembangan sejarah gereja itu, bagi gereja gereja-gereja yang berlatar-belakang
penginjilan gereja barat. Pengluasan kekristenan ke seluruh dunia , nyatanya
bukan hanya dari jurusan Barat, tetapi ada juga dari juruan Timur dan Selatan
(bd. Kisah 2: 8-11). Menurut tradisi tertentu, kekristenan bukan hanya
disebarkan di wilayah kekaisaran Romawi pada zaman rasul-rasul, tetapi juga ke
luar batas-batas kekaisaran itu, seperti Bartolomeus ke Edessa. Dan Thomas
pergi ke India. Memang kebenaran dari tradisi ini tidak bisa kita buktikan,
namun yang pasti, seorang dari angkatan sesudah para rasul, yang bernama Addai
telah menjadi rasul di Mesopotamia, dan pada tahun 225, gereja Kristen telah mempunyai pusat yang kuat
di Mesopotamia.(31) Oleh karena itulah maka Laturette, seorang
sejarawan Kristen Amerika yang selalu mendekati perkembangan sejarah gereja
dari sudut iman dan ilmu pengetahuan, (32) tidak mau mengikuti
sistem klasik itu, melainkan dia membuat periodisasi berdasarkan pengluasan
kekristenan itu dari sudut pandangan yang menyeluruh di seluruh dunia. Pandangannya
bertitik tolak dari keadaan kekristenan pada abad 20, sehingga dengan
memperhatikan keadaan dan pengaruh kekristenan itu pada masa itu, maka dia
mencoba menyelusuri sejarah perkembangannya dari mula sampai masanya.
Maka dari sudut pandangan itu Laturette membagi sejarah
kekristenan itu atas lima periode, sesuai dengan gelombang pasang-surutnya
ekspansi kekristenan di atas belahan bumi ini. Ke lima periode itu tersebut
ialah:
Pertama:
The First Five centuries (1 - 500 AD)
Kedua: The
Thousand Years of Uncertainty (500 - 1500.
Ketiga:
Three Centuries of Advance (1500 - 1800).
Kempat:
The Great Century (1800 – 1914)
Kelima:
Advance Through Storm (1914 - -- )
Periode
Pertama: 1 – 500 AD
Pada periode ini pengluasan
kekristenan terutama terjadi di sekitar Laut Tengah, yakni bagi warga
kekaisaran Roma, pada zaman inilah gereja lahir sebagai lembaga institusional,
penetapan Kanon PB, landasan Teologi Kristen, rumusan Pengakuan Iman, serta
perkembangan kerahiban. Tetapi walaupun kekristenan pada waktu itu telah
meliputi seluruh wilayah kekaisaran Romawi, namun kalau di pandang dari seluruh
dunia, apayang sudah dicapai itu, masih merupakan bagian yang kecil dari
belahan dunia.
Periode
Kedua: (500 - 1500 AD)
Pada periode ini kekristenan
terancam dari pihak Islam sampai tahun 950, sehingga sebagian besar dari
wilayah kekristenan yang sudah dicapai sebelumnya terpaksa berkurang. Tetapi di
pihak lain pos-pos kekristenan telah tersebar mulai dari Irlandia di Eropa
Barat sampai daerah Cina di Asia Timur jauh. Demikian juga dari Sakandinavia di
Eropa Utara sampai Nubia di daerah Afrika.
Dan sejak tahun 950-1350 kemajuan dicapai lagi bukan dari sudut
pengluasan wilayah, tetapi juga dari sudut pertumbuhan iman dan organissi, dan
peranan kekristenan itu dalam pembentukan kebuadayaan baru khususnya di Eropa
Barat. Tetapi sejak tahun 1350 – 1500 terjadi lagi kemunduran. Pada masa itu
banyak wilayah kekristenan yang hilang, walaupun tidak sebanyak pada masa
500-950. Terjadi juga penyelewengan dalam gereja yakni penyelewengan ajaran dan
kuasa gerejani.
Periode
Ketiga: 1500 – 1800 AD.
Pada periode ini muncullah
banyak missioner yang berani menjelajah ke seluruh dunia, sehingga pada periode
ini sebagian besar dari belahan dunia telah dimasuki oleh kekristenan itu.
Periode
Keempat: 1800 – 1914 AD.
Periode ini adalah merupakan
zaman Pekabaran Injil, karena pada periode inilah kekristenan itu tersebar luas
dengan pesat, sehingga semua benua yang didiami oleh manusia telah dimasuki
oleh kekristenan itu.
Periode
Kelima: 1914 – sekarang
Pada periode inI penyebaran kekristenan tetap dilanjutkan, namun
banyak menghadapi banyak hambatan dan tantangan oleh gelombang pergerakan
dunia, karena pada periode ini muncullah beberapa aliran atau faham yang
berlawanan dengan kekristenan terutama dari pihak komunis.
3.5. Penulisan
Sejarah Gereja Regional, Nasional dan Lokal.
Penulisan Sejarah Gereja Regional, Nasional dan Lokal, sangat
perlu diperkembang dewasa ini, yang dilakukan oleh orang-orang Kristen di
lingkungannya sendiri. Seperti penulisan Sejarah Gereja Asia oleh dan untuk
orang Asia, penulisan Sejarah Gereja di Indonesia oleh dan untuk orang
Indonesia, penulian Sejarah Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh
dan untuk orang Kristen warga HKBP.
Penulisan sejarah dengan pendekatan sedemikian, akan bisa menggambarkan
sejarah gereja dan keadaan lingkungan sekitarnya dengan lebih obyektif,
sehingga identitas dari gereja tersebut dapat lebih jelas dikenal oleh warga
gerejanya.
Selama ini penulisan sejarah gereja Regional, Nasional dan Lokal
juga dikerjakan oleh orangorang Eropa yang bertugas sebagai penginjil di daerah
tersebut. Sehingga buku-buku mengenai Sejarah Gereja Asia misalnya, kebanyakan
ditulis oleh orang-orang Eropa, dan baru sedikit yang ditulis oleh orang-orang
Asia sendiri. Buku-buku Sejarah Gereja Asia yang terkenal yang ditulis oleh
orang Kristen Asia, yang kita kenal di antaranya ialah buku: RB Manikam, Christianity and the Asian Revolution
(1954) dan buku KM Panikkar, yang
berjudul: Asia and Western Dominance
(1953), yang ke duanya dipergunakan oleh Th.Van den End (seorang Belanda yang
sejak tahun 1970 menjadi dosen STT-Jakarta) dalam bukunya: Sejarah Gereja Asia
(1981. Namun ke dua buku tersebut telah banyak menolong orang-orang Kristen Asia
untuk mengenal sejarah gerejanya, bukan hanya dari sudut pandangan Eropa lagi,
melainkan sudah dari sudut pandangan wilayahnya sendiri yakni wilayah Asia.
Dari buku Panikkar tersebut misalnya bisa diketahui bahwa
penyebaran kekristenan ke wilayah Asia, bukanlah dimulai oleh orang Eropa,
tetapi oleh orang-orang Kristen Asia sendiri. Orang-orang Kristen Nestorian misalnya
telah menyebarkan kekristenan sampai ke negeri Cina, sediktnya pada abad ke
tujuah.(33) Hanya diketahui bahwa kekristenan itu oleh penyebaran
mula-mula tidak begitu berkembang, bahkan boleh dikatakan menjadi terhenti
karena posisi agama-agama di Asia (seperti: Zoroaster di Persia, Hindu di
India, Budha dan Kong Hu Cu di Tiongkok dan kemudaian Islam di Timur Tengah)
yang sudah kuat. Namun sisa-sisa kekristenan Nestorian itu sampai sekarang
masih ada di beberapa negeri di Asia
Barat (Irak, Siria, Libanon, Palestina dan Armenia) dan di India Selatan
(Gereja Thomas).
Penyebaran kekristenan untuk orang-orang Asia setelah sempat
beberapa lama terhenti (sejak kira-kira tahun 1400), barulah kemudian
dilanjutkan oleh orang-orang Kristen dari Eropa, yang berawal dari terbukanya
hubungan Eropa ke Asia, setelah Vasco da Gama (orang Portugis) berhasil
menemukan pantai Barat India pada tahun 1498, sebagai orang pertama yang mencoba
berlayar dari Eropa ke arah Timur. Sejak terbukanya hubungan pelayaran dari
Eropa ke Asia itu, maka bertanganlah bangsa-bangsa Eropa menjelajah ke daerah-daerah Asia yang
pada mulanya dengan hubungan dagang, tetapi kemudian beralih fungsi menjadi
penjajah. Pada kesempatan itu bangsa-bangsa Eropa itu juga berusaha menyebarkan
kekristenan, tetapi pada mulanya hanya dalam batas-batas tertentu. Barulah
kemudian usaha penginjilan itu dijalankan secara sungguh-sungguh, setelah usaha
penginjilan itu langsung ditangani oleh penginjil-penginjil yang diutus
oleh Badan-badan zending yang lahir di
Eropa sebagai hasil dari gerakan kebangunan rohani di sana.
Oleh karena itulah, apabila sejarah Gereja Asia itu ditulis oleh
orang-orang Eropa, maka yang ditonjolkan ialah usaha-usaha Pekabaran Injil dari
Eropa itu. Misalnya buku “Sejarah Gereja Indonesia” yang ditulis oleh Dr. Th.
Mueller Kruger tahun 1959. Dalam buku itu penulis dalam menggambarkan sejarah
perkembangan gereja-gereja di Indonesia, jelas sangat menonjolkan usaha-usaha
PI dari Eropa, dan kurang memperhatikan fator-faktor pendukung dari lingkungan
orang-orang Kristen Indonesia itu sendiri, seperti peranan penduduk setempat
ataupun peranan pendeta atau Pekabar Injil pribumi.
Tentang penulisan Sejarah Gereja di Indonsia dari sudut Indonesia, memang telah dirintis dengan
diadakannya Study Institute Sejarah Gereja, yang diselenggarakan oleh
dosen-dosen Sejarah Gereja di Sekolah-sekolah anggota Persetia, yakni pada 19
Juni – 19 Juli 1977 di Jakarta dengan tema: Gereja di tengah-tengah
lingkungannya. Namun sepanjang
pengetahuan penulis, sampai sekarang belum ada
orang Indonesia yang menulis Sejarah Gereja di Indonesia dari sudut
pandangan nasional Indonesia. Hanya usaha ke arah situ telah mulai oleh Dr. Th.
Van den End, yang walaupun dia bukan orang Indonesia, namun dalam bukunya “Ragi
Carita 1 (1500 – 1860) dan Ragi Carita 2 (1860- sekarang), dia telah berusaha
menuliskan Sejarah Gereja di Indonesia itu dari sudut Indonesia.
Memang diakui sebagaimana dikatakan oleh Th. Van den End dalam
kata Pendahuluan bukunya itu tersebut, menulis Sejarah Gereja Nasional seperti
Indonesia akan menghadapi beberapa kesulitan, karena di dalamnya berdiri
beberapa gereja yang mempunyai
latar-belakang yang berbeda. Kesulitan itu antara lain berhubungan dengan:
1)
Bagaimana caranya menetapkan titik permulaan
atau kelahiran dari gereja di Indonesia.
2)
Masalah membagi periodisasi, patokan manakah
yang dibuat untuk membagi periodisasi tersebut. (34)
Mengenai penetapan tanggal kelahiran gereja-gereja di Indonesia,
secara umum dikenal ada tiga cara, yaitu:
1)
Saat masuknya pekabar Injil yang pertama di
daerah itu.
2) Terjadinya
pembaptisan pertama bagi anak daerah itu.
3)
Terbentuknya synode yang pertama dari gereja
itu. (35)
Mengenai pembagian periode, titik tolak yang diperbuat oleh
Mueller Kruger ialah dari segi siapa yang mengabarkan Injil itu, sehingga ada:
Zaman Portugis (abad 16), Zaman VOC (1605-1799), dan zaman badan-badan Zending
dari Eropa (sejak abad 19).
Pembagian periodisasi
yang lebih baik dalam sejarah gereja di Indonesia, ialah pembagian yang
berdasarkan perluasan gereja-gereja di wilayah Indonesia sebagaimana difikirkan
oleh peserta Study Institute Sejarah Gereja tahun 1977 di Jakarta, yakni dengan
pembagian sbb: (36)
I.
1522 – 1570
: Zaman perluasan pertama, berakhir dengan
pembunuhan Sultan Hairun di Ternate dan merosotnya kekuasaan
Portugis di Nusantara.
II.
1570 – 1875 : Zaman Stagnasi. Ada sedikit perluasan pada
masa pertama VOC, tetapi tidak begitu berarti.
III.
1815 – 1870 : Mulailah didirikan pangkalan-pangkalan baru,
tetapi belum ada pengkristenan secara besar-besaran, kecuali di Minahasa.
IV.
1870 – 1950 : Zaman didirikannya gereja-gereja suku.
V.
1950 - :
Zaman penyebaran Injil di pulau Jawa dan juga di daerah-daerah lain.
Pengkristenan penganut agama-agama suku pada dasarnya sudah berakhir.
3.6. Metode=metode
penulian Sejarah Gereja.
Sebagai
salah cabang ilmu teologia, penulisan Sejarah Gereja juga menuntut
metode-metode penulisan yang bersifat ilmiah. Yang dimaksud dengan metpde
ilmiah ialah metode yang dipergunakan untuk menulis suatu ilmu tertentu,
sehinga hasil tulisan itu benar-benar ilmiah, yang artinya dapat dipercaya dan
dibuktikan kebenarannya. Untuk penulisan Sejarah Gereja, itu berarti bahwa
segala peristiwa yang dikemukakan adalah benar-benar fakta yang sungguh-sungguh
benar terjadi. Dalam metode penulisan
Sejarah Gereja, sama halnya dengan penulisan sejarah umum, (37)
paling sedikit ada empat langkah yang harus ditempuh oleh sejarawan, sehingga
sejarah yang dituliskannya benar-benar dapat mencerminkan suatu tulisan ilmiah.
Ke empat langkah itu ialah:
1) Pengumpulan
sumber atau bahan-bahan yang diperlukan.
2) Menguji
bahan-bahan yang diperoleh itu, apakah
masih asli (otentik) atau tidak, sehingga sumber yang tidak asli harus
dituliskan.
3) Menyeleksi
mana dari antara bahan-bahan yang otentik itu, kesaksiannya dapat dipercaya.
Dan memilih mana dari antara kesaksian-kesaksian yang dapat dipercaya itu yang
lebih penting dan relevan.
4) Menyusun
kesaksian-kesaksian penting dan relevan, yang dapat dipercaya itu menjadi suatu
sejarah yang hidup dan bernilai.
3.6.1.
Pengumpulan
sumber atau bahan-bahan yang diperlukan.
Sumber
yang dipergunakan untuk penulisan sejarah gereja dapat digolongkan atas dua
bagian besar, yakni sumber tertulis dan sumber tidak tertulis.
Pertama:
Sumber tertulis.
Yang termasuk ke dalam sumber
tertulis antara lain ialah:
a. Dokumen-dokumen
resmi dari gereja, atau dokumen-dokumen negara yang berhubungan dengan gereja.
b. Tulisan-tulisan
pribadi dari pelaku sejarah, misalnya: tulisan para apostel, tulisan bapa-bapa
gereja lama, tulisan para rahib, tulisan para pekabar Injil, tulisan para
reformator, tulian para petugas gereja, dll.
c. Tulisan-tulisan
sejarawan Kristen tentang sejarah gereja, mulai dari sejarah gereja mula-mula,
sampai sekarang.
d. Inskripsi-inskripsi,
seperti tulian-tulisan yang terdapat pada kuburan atau katakombe-katakombe,
yang sering mengandung pernyataan iman dan pengharapan orang Kristen pada masa
penghambatan.
Kedua:
Sumber tidak tertlis.
Sumber tidak terulis biasanya
jauh lebih sedikit dari sumber tertulis, yang antara lain ialah berupa
bangunan-bangunan gereja, patung-patung, monumen-monumen, lukisan-lukisan dan
tradisi-tradisi gerejani yang tidak tertulis. Untuk penulisan sejarah
kontemporer (sejarah yang baru saja berlalu), diperlukan wawancara terhadap
beberapa orang yang dianggap masih banyak mengetahui atau mengingat beberapa
hal mengenai kejadian masa lalu itu.
3.6.2.
Menguji
sumber-sumber yang diperoleh.
Sumber-sumber
atau bahan-bahan informasi yang diperoleh, tidak otomatis seluruhnya bisa
dipergunakan menjadi bahan penulisan sejarah. Seluruh bahan itu masih harus
diuji, baik dari segi luar maupun dari segi dalamnya. Pengujian dari segi luar
dimaksudkan untuk mengetahui, apakah bahan itu masih otentik atau sudah
dipalsukan, terutama dengan yang menyangkut dokumen tertulis. Sejarawan harus
sangat teliti terhadap pemalsuan sesuatu dokumen.
Pengujian dari segi dalam
(intern) dimaksudkan untuk mengetahui apakah isi dari sesuatu dokumen yang
diperoleh dapat memberi kesaksian yang dapat dipercaya atau sudah meragukan.
Perlu diingat bahwa sesuatu dokumen yang asli belum tentu memberi kesaksian
yang benar dan dapat dipercaya. Dalam hal inilah, maka orang-orang yang memberi
kesaksian atau informasi dalam dokumen tersebut, masih perlu diuji, apakah dia
mempunyai kemampuan atau kemauan untuk menyatakan kebenaran seperti itu.
Kebenaran dari kesaksian itu bisa juga diuji dengan memperbandingkannya dengan
kesaksian yang terdapat dalam dokumen yang lain, apakah kesaksian itu bisa
saling mendukung.
3.6.3.
Menyeleksi
bahan-bahan.
Walaupun
sumber-sumber informasi yang otentik sudah diperoleh, dan isinya ternyata juga
mengandung kebenaran dan fakta, namun bahan-bahan itu perlu lagi diseleksi,
yakni memilih dari antaranya mana peristiwa yang penting dan relevan, sesuai
dengan sasaran yang akan dicapai dalam penulisan sejarah tersebut. Di dalam
usaha penyeleksian ini, para sejarawan biasanya mempunyai penilaian yang
berbeda-beda, tergantung kepada kepercayaan, faham atau ide dari si sejarawan,
atau arah sejarah yang akan dituliskannya. Dengan perkataan lain, di dalam
usaha penyeleksian inilah termasuk bahwa sifat subyektif dari sejarawan tidak
boleh tidak mempengaruhi sejarah yang dituliskannya.
3.6.4.
Penyusunan.
Di dalam pekerjaan penyusunan
ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh sejarawan, yaitu:
a. Sejarawan
harus menguasai seluruh bahan yang dipergunakan, agar isinya dapat
dipertanggung-jawabkan.
b. Sejarawan
juga harus menguasai masalah-masalah masa kini, karena sejarah yang
dituliskannya bukan hanya menyangkut pengetahuan masa lampau saja, melainkan
harus mempunyai sangkut paut dengan masalah-masalah kehidupan sekarang.
c. Sejarawan
harus mempunyai pandangan jauh ke depan, dan selalu harus menyadarai apakah
sasaran yang akan dicapai dengan tulisan sejarahnya itu, agar dia dapat
mengarahkan tulisannya itu untuk mencapai sasaran tersebut/
d. Sejarawan
harus mampu memperhatikan, manakah hal-hal yang sangat perlu mendapat tekanan
dalam tulisan sejarah itu.
e. Tulisan
sejarah itu harus disusun dengan teratur, sistematis serta menguraikan bahasa
yang baik dan mudah dimengerti, sehingga tulisan sejarah itu mencerminkan nilai
seni yang tinggi dan cerita yang hidup.
f.
Sebagai salah satu bidang ilmu teologia, maka
sejarah gereja itu harus diisi dengan nilai teologia. Ini berarti bahwa sejarah
gereja gereja harus dituliskan sedemikian rupa, sehingga senantiasa mampu menyuarakan
Firman Allah, dan membimbing setiap orang Kristen untuk selalu hidup beriman
dan menunjukkan hidup kekristenan yang benar. Untuk itulah di dalam menuliskan sejarah gereja, sejarawan
harus selalu berdiri di atas kebenaran Allah, sebagaimana dinyatakan di dalam
Alkitab dan Yesus Kristus. Di atas kebenaran itulah juga sejarawan memberi
penilaian atau penafsiran terhadap segala peristiwa yang terjadi sepanjang
sejarah gereja. Dengan menyadari tanggung-jawab sedemikianlah maka yang
sebaiknya menjadi penulis sejarah gereja adalah seorang teolog ataupun seorang
pendeta, yang sudah memahami arti penyelamatan Kristus di dunia ini.
4. PENUTUP: FAEDAHNYA MEMPELAJARI SEJARAH GEREJA
Dalam bagian penutup ini perlu
diketahaui apakah faedahnya mempelajari sejarah gereja itu. Setelah di atas telah
dicoba didalami apa itu sejarah gereja dan usaha-usaha untuk menuliskannya
menuntut suatu ketelitian dan tanggung-jawab yang besar, memang jelas terlihat
bahwa mempelajari sejarah gereja akan memberi banyak faedah baik bagi pekerja
gereja maupun bagiwarga jemaat biasa, antara lain yang bisa dikemukakan di
sini:
1) Melalui
sejarah gereja akan semakin banyak
dikenal dan diketahui tentang apa itu gereja. Tidak mungkin bisa
mengenal wujud dari gereja secara benar
tanpa diketahui sejarah dari gereja itu.
Oleh karena itu salah satu cara untuk membina warga gereja agar selalu menjadi
warga gereja yang baik dan mengasihi gereja itu, ialah dengan mengajarkan
sejarah gereja itu dengan sungguh-sungguh kepada mereka.
2) Memperdalam
pengenalan terhadap Allah yang menyatakan diri di dalam Yesus Kristus, dan yang
selalu membimbing gereja-Nya dalam perjalanan sejarah melalui kuasa Roh Kudus.
Allah adalah Allah sejarah yang menyatakan diri dalam sejarah manusia,
khususnya dalam sejarah gereja.
3) Memberikan
pandangan dan pengalaman yang luas di dalam mengatasi persoalan-persoalan yang
dihadapi, khususnya persoalan kegerejaan. Seorang pendeta yang di dalam
pelayanannya di tengah-tengah jemaat misalnya, menghadapi banyak tantangan dan
kesulitan, maka dengan belajar dari pengalaman pelayan-pelayan gereja pada masa
yang silam, maka dia akan selalu tabah melayani jemaat itu. Di samping itu,
masalah lain seperti masalah teologia, masalah ajaran, masalah kepemimpinan,
masalah oikumene, dll.pun, juga akan selalu bisa diatasi dengan pandangan yang
luas, apabila banyak mepelajari sejarah gereja.
4) Sejarah
gereja akan dapat mengingatkan setiap orang untuk selalu waspada terhadap
bahaya-bahaya yang mungkin datang dari dalam dan luar gereja itu sendiri.
Bagaimana untuk mengatasinya apabila bahaya itu datang, akan banyak dipelajari
dari sejarah gereja itu sendiri. Sehubungan dengan bahaya-bahaya ini, maka dari
sejarah akan diketahui, sampai di manakah gereja masih menyadari
tanggung-jawabnya, dan sejauh mana sudah menyeleweng dari wujudnya sebagai
gereja tubuh Tuhan. Martin Luther misalnya, terdorong untuk mengadakan
reformasinya, adalah setelah banyak mempelajari sejarah gereja atau hal-hal
yang terjadi di tengah-tengah gereja itu pada masa lampau.(38)
5) Sejarah
gereja juga menyadarkan orang Kristen akan identitasnya, siapa dia dan dari
mana dia. Artinya, dengan mempelajari sejarah gerejanya, akan diketahui
teologia mana yang melatar-belakangi kekristenannya.
6) Sejarah
gereja juga memberikan kebutuhan batiniah orang Kristen. Ini berarti bahwa
sejarah gereja akan menolong orang Kristen untuk mengungkapkan jiwanya sendiri.
Dengan merenungkan apa-apa yang sudah
terjadi pada masa yang lampau dan berusaha memberi interpretasinya terhadap peristiwa-peristiwa itu, akan
memberi arti tersendiri bagi kepuasan batin setiap orang.
7) Khusus
bagi pemimpin-pemimpin gereja, sejarah gereja akan banyak memberi informasi
tentang masalah kepemimpinan, mengapa ada pemimpin yang berhasil dan
gagal. Kemungkinan untuk bisa berhasil
bagi seorang pemimpin gereja akan lebih banyak, kalau dia banyak mengetahui
masa lampau dari gereja itu.
8) Sejarah
gereja juga mewariskan nilai-nilai intelektual, nilai kultural, serta dorongan untuk maju. Seseorang yang
banyak mempelajari dan memberi penelitian terhadap penyebab dan latar-belakang
suatu kejadian, maka hal itu akan dapat menumbuhkan dan memperkembang cara
berfikirnya. Di samping itu dari sejarah
gereja akan banyak diketahui berbagai kebudayaan dan peradaban sesuatu bangsa,
di mana gereja itu bertumbuh. Demikian juga dari pengalaman-pengalaman
orang-orang Kristen pada masa yang lampau yang banyak berjuang untuk
memenangkan iman dan kekristenan itu, akan memberikan dorongan dan semangat
bagi setiiao orang Kristen untuk berani maju ke depan.
----ooOoo----
Catatan-catatan.
1)
C.T.McIntire, The Ongoing task ofChristian Historiography, dalam George Marsden
(ed,), A Christian View of History,
Michigan, 1975, hal. 53.
2)
Sutan Muhammad Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia, Djakarta, ttp, hal. 680.
3)
Soemarjo, Apakah
Sejarah itu ?, CV. Pelangi, 1961, hal. 16.
4)
Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, UI, Jakarta, 1975, hal. 27.
5)
Dikutip oleh Sutrasno dalam bukunya: Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1975, hal. 33.
6)
Soemarjo, opcit,
hal. 13.
7)
Taufik Abdullah, Ilmu sejarah dan Historiografi, PT Gramedia, Jakarta, 1985, hal. X
ff.
8)
George M. Marsden, A Christian Persfective for the teaching of history, dalam buknya: A Christian View of History ?, Michigan, 1975.hal. 40.
9)
Sutrasno, opcit,
hal. 12.
10)
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1982, kata: waktu, hal,1146.
11)
T.S.G. Mulia (ed.), Ensiklopedia Indonesia, vol. 2,
art,: waktu, Bandung ttp, hal. 1416.
12)
Bhagavadgita
XI, 32, yang dikutip oleh S.G.F.Barandon, History, Time and Deity, New York, 1965, hal. 3.
13)
Sherman Barnes, Man and Time, dalam buku Tim Dawley (ed.), A Lion Handbook: The History of Christianity, Lion Publishing,
England, 1977, hal. 4.
14)
Oscar Cullman, Christ and Time, Philadelphia, 1964, hal. 52.
15)
Sutrasno, opcit,
hal. 88
16)
Ibid, hal. 90
ff.
17)
Th. Van den End, Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia jilid 1, BPK Jakarta,
1980, hal. 6.
18)
Gereja di tengah-tengah lingkungannya, Notula Study Institute Sejarah Gereja,
Persetia, 19 Juni-19 Juli 1977, di Jakarta, hal. 5.
19)
Barangkali pemikiran inilah yang mendasari
pendeta=pendeta Jerman yang bertugas di Gereja batak dulunya, sehingga mereka
menerjemahkan perkataan “Sejarah Gereja” dengan :Jamita Huria”. “Jamita”
berarti bertita yang mencerminkan Firman Allah.
20)
Philip Schaff, History of the Christian Church, Vol. I: Apostolic Christianity (1 –
100 AD), Michigan 1910, hal. 4.
21)
Lars P.Qualben, A History of the Christian Church, New York, 1942, hal. 3-4.
22)
Philip Schaff, opcit, hal.6 ff.
23)
Kenneth Scott Laturette, A History of Christianity, New York, 1953, hal. Xv.
24)
Ibid, hal.
Xxii.
25)
Ibid, hal.
Xiii.
26)
K.S.Laturette, A History of Expansion of Christianity, Vo. I, New York &
London, 1937, hal.x-xv.
27)
Notula Study
Institute ..., opcit., hal.
12-13.
28)
P.Schaff, opcit,
hal, 14; Lihat juga Lars P.Qualben, opcit,
hal. 4.
29)
Lars P.Qualben, opcit, hal. 4.
30)
Th. Van den End, Harta dalam bejana, BPK G.Mulia,
Jakarta, 1982, hal. 231.
31)
Th. Van den End, Sejarah Gereja Asia, Yogyakarta, 1981, hal. 10.
32)
William A.Speck, Kenneth SCOTT Laturette’s Vocation as Christian Historian, dalam,
G.Marsden (ed.). opcit, hal. 119.
33)
K.M.Panikkar, Asia and Western Dominance, London, 1953, hal. 375.
34)
Th. Van den End, Ragi carita 1, hal. 8-11.
35)
Gereja HKBP mempunyai cara yang unik, karena
tidak mengikuti salah satu dari ke tiga cara itu. HKBP menetapkan tgl.
Kelahirannya bukan berdasarkan kedatangan Pekabar Injil yang pertama, atau
pembaptisan yang pertama, bukan pula synode pertama, melainkan berdasarkan
pertemuan pertama dari empat orang Pekabar Injil (dua dari zending Ermelo dan
dua dari RMG yang bergabung dalam naungan RMG), yang membagi cara kerja mereka,
yaitu 7 Oktober 1861.
36)
Notula Study
Institute ..., opcit, hal. 14.
37)
Lihat juga misalnya metode sejarah yang
ditulis oleh Gotschalk, Mengerti Sejarah,
hal. 18.
38)
Julius Bodensieck (ed.), The Encyclopaedia of the Lutheran Church, artikel: History, Vol. II,
1965, hal. 1025.
DAFTAR
BUKU-BUKU BACAAN
-
Abdullah, Taufik, Ilmu sejarah dan Historiografi, PT Gramedia, Jakarta, 1985.
-
Ali, R.Muhammad, Penentuan arti sejarah dan pengaruhnya dalam metodologi Sejarah
Indonesia, Jakarta, 1981.
-
Berkhof, H., Makna Sejarah, BPK Jakarta, 1970.
-
Bodensieck, Julius (ed.), The Encyclopaedia of the Lutheran Church, artikel: History, Vol. II,
1965.
-
Barandon, S.G.F.,History, Time and Deity, New York, 1965.
-
Cullman, Oscar, Christ and Time, Philadelphia, 1964.
-
Dawley,
Tim, (ed.), A Lion Handbook: The History
of Christianity, Lion Publishing, England, 1977.
-
Gottschalk, Louis, Mengerti
Sejarah, UI, Jakarta, 1975.
-
Kruger, Th. Mueller, Kedudukan
Gereja dalam Sejarah Keselamatan: Kuliah Umum pada Dies Natalis
STT-Jakarta, 27 September, 1957, BPK, Jakarta, ttp.
-
Kruger, Th. Mueller, Sejarah Gereja Indonesia,
Jakarta, BPK, 1959
-
Laturette, Kenneth Scott, A History of Christianity, New York, 1953.
-
Marsden, George M, A Christian View of History ?,
Michigan, 1975.
-
Mulia, T.S.G., (ed.), Ensiklopedia Indonesia, vol. 2,
art,: waktu, Bandung ttp
-
Panikkar, K.M., Asia and Western Dominance, London, 1953.
-
Persetia, Gereja
di tengah-tengah lingkungannya, Notula Study Institute Sejarah Gereja,
Persetia, 19 Juni-19 Juli 1977, di Jakarta.
-
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, 1982.
-
Qualben, Lars P., A History of the Christian Church, New York, 1942.
-
Schaff, Philip, History of the Christian Church, Vol. I: Apostolic Christianity (1 –
100 AD), Michigan 1910.
-
Soemarjo,
Apakah Sejarah itu ?, CV.
Pelangi, 1961.
-
Sutrasno, Sejarah
dan Ilmu Pengetahuan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1975.
-
Van den End, Th., Harta dalam bejana, BPK G.Mulia,
Jakarta, 1982.
-
Van den End, Th., Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia jilid 1, BPK Jakarta,
1980.
-
Van den End, Th., Sejarah Gereja Asia, Yogyakarta, 1981.
-
Zain, Sutan Muhammad, Kamus Modern Bahasa Indonesia,
Djakarta, ttp.
(Pdt.
MSM. Panjaitan, MTh)