MASALAH KERJA
DITINJAU DARI SUDUT ETOS KRISTEN
Dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Indonesia
menjadi masyarakat yang maju, adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka setiap warga
masyarakat Indonesia dituntut menjadi manusia pekerja keras. Hal ini dipertegas
dalam pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jokowi, supaya seluruh
warga negara Indonesia menjadi manusia yang rela bekerja dengan sungguh-sungguh
sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada padanya. Untuk itu sampai-sampai
nama kabinet pemerintahannya disebut “Kabinet Kerja” untuk periode pertama pemerintahannya.
Hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa pelaksana pembangunan suatu
bangsa adalah manusia. Karena itu peranan kerja manusia sangat menentukan
sekali untuk berhasil tidaknya pembangunan itu dilaksanakan. Secara umum
diartikan bahwa kerja adalah penggunaan fungsi manusia kepada hal-hal yang
berguna, dengan mana manusia berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengolah
sumber daya alam yang tersedia kepada hal-hal yang berguna bagi kehidupannya.
Tetapi dari sudut iman Kristen, manusia dalam membangun diri dan
bangsanya tidak hanya mengandalkan kemampuannya, terlepas dari campur tangan
Allah. Allah adalah Allah yang terus bekerja, bekerja dalam sejarah manusia,
dari awal sampai akhir zaman ( Yoh. 5: 17). Allah yang menciptakan seluruh alam
semesta dan segala isinya, Dia juga yang turut campur tangan memelihara
ciptaannya itu. Tetapi untuk tugas itu
Allah menciptakan manusia di bumi ini, serta memberi kepercayaan kepadanya
menjadi “teman sekerja Allah” (1 Kor. 3: 9). Oleh karena itu seluruh manusia
terpanggil untuk mewujudkan rencana Allah dalam tugas membangun dunia dan
manusia atau bangsa-bangsa ke arah yang lebih maju.
Salah satu panggilan itu adalah panggilan untuk bekerja. Karena Allah
yang mengangkat manusia sebagai “teman sekerjanya” adalah Allah yang bekerja ,
maka manusia juga diharapkan menjadi manusia yang bekerja. Tetapi kerja yang
dilimpahkan oleh Allah kepada manusia telah menjadi masalah, setelah manusia
jatuh ke dalam dosa. Namun dalam iman kekristenan, setiap masalah tidak ada
yang tidak bisa diselesaikan dalam terang Firman Allah. Karena itu segala
sesuatunya yang menyangkut kehidupan manusia harus diuji dari terang Firman
Allah itu sendiri.
Apa kerja itu, untuk apa seseorang perlu bekerja, jenis pekerjaan apa
yang akan dikerjakan, dan bagaimana caranya melakukan pekerjaan itu, itulah
masalah yang sering timbul sehubungan dengan kerja itu. Tetapi orang Kristen
mempunyai sikap dan cara tertentu dalam menghadapi segala masalah hidup,
termasuk masalah kerja. Karena itu masalah kerja perlu ditinjau dari sudut
“Etos Kristen”. Etos Kristen adalah sikap atau cara orang Kristen menghadapi
kenyataan hidup ini1).
1.
Pengertian
kerja
1.1. Ajaran
Alkitab tentang kerja
Pengertian kerja menurut Alkitab
sangan luas sekali. Hal itu meliputi
segala akitifitas Allah dalam penciptaan, karya penyelamatan-Nya, termasuk
menyangkut kerja manusia sampai yang sekecil-kecilnya. Karena luasnya
pengertian kerja itu, maka agak sulit memberikan satu definisi yang konkrit.
Kalau dikatakan bahwa kerja adalah pemakaian tenaga atau sesuatu fungsi untuk
hal-hal yang berguna, definisi itu terlalu luas sehingga tidak menampakkan arti
yang konkrit. Kalau dikatakan kerja adalah pemergunaan tenaga atau fungsi untuk
mencari upah atau keperluan hidup, maka pengertian itu telah menurunkan kerja
penciptaan yang dilakukan oleh Allah.
Karena sulit memberikan satu
definisi yang konkrit tentang kerja di dalam Alkitab, maka Alan Richardson
membedakan adanya tiga pengertian pokok tentang kerja sebagaimana terkandung di
dalam Alkitab, yakni:
Pertama: Ada
pekerjaan penciptaan, yang hanya dikenakan kepada Allah saja. Pekerjaan
penciptaan inilah yang membedakan pekerjaan Allah dari pekerjaan manusia. Yang
dimaksud dengan pekerjaan penciptaan adalah pekerjaan menjadikan sesuatu dari yang
tidak ada menjadi ada.
Kedua: Ada kerja
manusia, yakni seluruh jenis kerja yang dilakukan oleh manusia, mulai dari
tingkat pemerintahan, sampai kerja yang sekecil-kecilnya, seperti menebang kayu
atau mengangkat air. Bagaimana pengertian dari kerja manusia itu akan diuraikan
lagi pada bagian selanjutnya.
Ketiga : Ada pekerjaan
Kristus, sebagai karya penyelamatan Allah terhadap manusia, sebagaimana
dinyatakan khusus di dalam Perjanjian Baru ( Fil. 2: 30).
Yang
diuraikan dalam tulisan ini hanyalah menyangkut kerja manusia, karena masalah
kerja manusialah yang perlu ditinjau dari sudut etos Kristen. Tentang pekerjaan
Allah dan pekerjaan Kristus adalah menyangkut bidang Dogmatika.
1.2. Kerja
sebagai tugas hakiki manusia
Dalam
berita penciptaan manusia ( Kej. 1: 26-28)
dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya (Imago
Dei). Itu berarti bahwa hakekat manusia terletak di dalam kesegambarannya
dengan Allah. Penciptaan manusia menurut Gambar Allah, mempunyai maksud dalam
rencana Allah yang lebih jauh tentang pemanfaatan ciptaan-Nya itu, yakni agar
manusia diberi tugas untuk menguasai dan memelihara alam semesta yang telah
diciptakan oleh Allah.
”Berfirmanlah
Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita,
supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan
atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap
di bumi." Kej.1: 26). ... “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan
menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” (
Kej. 2: 15).
Allah menciptakan manusia sebagai
gambar-Nya, berati Dia menempatkan manusia di dunia ini sebagai tiruan Allah3).
Karena Allah yang menciptkan manusia itu adalah Allah yang bekerja, maka
manusia gambar-Nya itu akan menjadi manusia yang bekerja. Sifat Allah sebagai
Pekerja juga diturunkan kepada manusia,
walaupun kerja manusia berbeda dari kerja Allah. Allah adalah Pencipta dan
pemilik lapangan pekerjaan manusia, sedang manusia hanyalah sebagai pengusaha
dan pemelihara dalam batas-batas kekuasaan yang diperoleh dari Allah. Manusia
memperoleh hak sebagai pekerja bukan dari dirinya atau dari alam, melainkan
dari Allah, yakni dalam keberadaannya
sebagai gambar Allah.
Kalau hakekat
manusia ada dalam kesegambarannya dengan Allah, maka tugas kerja yang
dinyatakan dalam kesegambarannya itu, tidak bisa dipisahkan dari hubungan
manusia dengan Allah. Kerja adalah bersumber dari Allah, yang berarti bahwa
kerja adalah tugas mulia, bukan kutuk, bukan kehinaan, sebagaimana terdapat
dalam filsafat Yunani kuno, dan pandangan beberapa agama lain di dunia ini,
seperti dalam agama Hindu, Budha dan Taoisme di Jepang4).
Menurut
pemikiran Plato dan Aristoteles dalam filsafat dan agama Yunani kuno, dunia
diciptakan oleh allah yang lebih rendah yang disebut Demiurgos. Pekerjaan
penciptaan dunia tidak layak dikerjakan oleh Allah Yang Maha Tinggi, karena dia
dibayangkan sebagai “deus otiosus” atau Allah yang tidak bergerak dan tidak
mencampuri urusan-urusan dunia. Karena itu segala pekerjaan yang menyangkut
dengan dunia materi adalah pekerjaan yang hina dan rendah. Bagi Agama Hindu, kerja adalah suatu penjara
yang mengikat manusia di dunia ini. Karena itu manusia dalam perjalanan
hidupnya harus berusaha melepaskan dirinya dari penjara untuk bersatu dengan Brahma,
sehingga bebas dari segala kerja. Dalam Agama Budha, Nirwana digambarkan
sebagai keadaan di mana tidak ada lagi kegiatan dan pergerakan. Keadaan tidak
bergerak inilah digambarkan sebagai suatu kebahagiaan. Sedangkan hidup dengan
kerja adalah suatu penderitaa. Demikian
juga dalam Taoisme, Tao yang digambarkan sebagai hal yang termulia adalah tidak
berbuat dan tidak bekerja. Peraturan Etis dalam agama Tao ialah jangan berbuat5).
Pandangan
Alkitab bertentangan dengan pandangan-pandangan itu. Taman Eden di mana manusia
ditempatkan pada mulanya adalah tempat kerja. Di sana Allah menyuruh manusia
untuk bekerja, tetapi bukan bekerja demi kerja itu, tetapi demi kemuliaan
Allah. Karena kerja sudah dimulai di
Taman Eden, berarti tugas kerja sudah ada sebelum kejatuhan manusia ke dalam
dosa. Karena itu tidak pada tempatnya, kalau dosa dianggap sebagai penyebab
dari kerja manusia. Karena itu, kerja tidak bisa dipandang sebagai hal yang
hina dan rendah. Memandang kerja sebagai hal yang hina dan rendah, terjadi
hanya karena ingin melepaskan tanggung-jawab dari tugasnya sebagai pekerja,
yang sekaligus ingin menghapus dirinya sebagai gambar Allah. Menghapus diri
sebagai gambar Allah adalah merendahkan Allah sendiri dan merupakan perbuatan
dosa. Dengan kata lain manusia tanpa kesudian untuk bekerja adalah manusia yang
dikuasai oleh dosa.
1.3. Kerja sebagai panggilan Allah
Kerja adalah
juga panggilan Allah dan seluruh manusia terpanggil untuk bekerja. Hal ini
dinyatakan oleh Allah dalam pemberkatan Allah untuk tugas kerja itu. Dalam Kej.
1: 28, dikatakan: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka:
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi." Perkataan itu diucapkan oleh Allah pada
waktu pemberkatan (pelantikan manusia) untuk tugas panggilan itu. Dengan
pemberkatan itu Allah menyerahkan kuasa kepada manusia untuk menjalankan tugas
pemerintahan di bumi, yakni membangun seluruh bidang penciptaan Allah dan
mempergunakan hasilnya untuk kesejahteraan hidupnya, dan untuk kemuliaan Allah.
Tugas panggilan
itu mencakup bidang yang sangat luas. Dari sanalah titik tolak manusia untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi di kemudian hari. Dengan
memberikan kuasa kepada manusia, berati Allah memberikan kemampuan kepada manusia
untuk memeriksa, menyelidiki, mengerti, mengusahai dan mempergunakan seluruh
bidang penciptaan Allah. Tetapi tugas itu bukanlah tugas yang gampang, dan
bukan pula suatu tugas yang tidak
menimbulkan risiko yang berat. Karena menyadari itulah Allah menyampaikannya
dalam suatu pemberkatan. Dengan pemberkatan itu,manusia juga diberikan
kemampuan untuk beranak-cucu. Tetapi jangan salah dipahami, bahwa pengertian
berkat di sini, bukan hanya ditandai oleh kemampuan untuk beranak cucu,
sebagaimana dipakai orang sebagai dalih untuk beranak sebanyak-banyaknya.
Kemampuan beranak cucu, tidak terlepas dari tugas dan tanggung-jawab panggilan
tadi, yakni bekerja sebagai pembangun dunia dan bangsa. Manusia dengan segala
kemampuan yang ada padanya, harus bertanggung-jawab kepada Allah. Kuasa dan
kemampuan itu tidak bisa dipergunakan secara sewenang-wenang, hanya mencari
kepuasan dan kehormatan sendiri, melainkan harus dipertanggung-jawabkan kepada
Allah untuk kemuliaan nama-Nya.
Namun setelah
kejatuhan manusia ke dalam dosa, ketamakan dan kecongkakan telah berkuasa di
dalam diri manusia. Manusia tidak puas hanya sebagai gambar Allah, melainkan
ingin seperti Allah (Kej. 3: 1-7). Manusia memberontak kepada Allah dan tidak
mau menuruti kehendak-Nya, hanya menuruti kemauan sendiri. Akibatnya kerja itu
semakin sulit dilaksanakan, dan menimbulkan banyak kesusahan. Kesusahan itu
bukan hanya mengenai dirinya, tetapi juga mengenai sesama manusia dan
lingkungan sekitarnya.
Tetapi Yesus
Kristus telah datang untuk membebaskan manusia dari seluruh kesusahan yang
ditimbulkan oleh kerja manusia itu. Dia mengembalikan manusia kepada hakekat
kerja yang sebenarnya, di mana Dia bekerja untuk kemuliaan Allah dan
kesejahteraan seluruh umat manusia. Arti kehadiran Yesus di dunia ini jelas
demikian, sebagaimana dinyanyikan oleh para malaekat sorgawi bagi gembala-gembala
di ladang Efrata: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai
sejahtera di bumi di antara manusia yang
berkenan kepada-Nya” (Luk. 2: 14).
Sepanjang zaman
usaha-usaha pembaharuan terhadap arti kerja manusia terus menerus dilakukan
oleh Kristus. Tetapi tuga itu juga telah diserahkan oleh Kristus kepada gereja
dan seluruh orang Kristen. Maka setiap orang Kristen terpanggil untuk memberi
teladan, bagaimana sikap dan cara yang baik tehadap kerja, bagi sesama manusia.
Pemahaman kerja
sebagai panggilan Allah juga turut diperbaharui oleh para reformator gereja.
Martin Luther dan Calvin, sangat menaruh perhatian yang besar terhadap masalah
kerja sebagai panggilan Allah. Mereka mengatakan bahwa manusia terpanggil untuk
bekerja, dan masing-masing harus mempertanggung-jawabkan tugas panggilan itu
kepada
Allah. Menurut Martin Luther ada tiga
lembaga dalam kehidupan manusia, yang dipergunakan oleh Allah sebagai saluran menyampaikan
tugas panggilan itu, sehingga setiap orang yang memasuki lembaga itu, harus
diberkati oleh Allah melalui gereja, agar mereka merasa bertanggung-jawab atas
pekerjaannya6). Ketiga lembaga itu ialah keluarga atau orangtua,
pemerintah dan gereja. Setiap orang tua terpanggil untuk bekerja dengan
sungguh-sungguh untuk membutuhi hidup
keluarganya. Pemerintah terpanggil untuk memimpin dan membimbing bangsanya
kepada kehidupan yang lebih baik, karena pemerintah adalah alat Tuhan untuk
mensejahterakan bangsanya7). Demikian juga gereja terpanggil melayani umatnya dan memberitakan
Injil, yang untuk ini Allah memberi kekuatan, agar gereja mampu menjalankan
tugas panggilannya8).
Dengan demikian setiap kerja
yang sampai kepada manusia adalah panggilan Allah, baik di bidang kerohanian,
maupun di bidang sekuler. Pekerjan kerohanian bukanlah suatu pekerjaan yang
lebih tinggi dari pekerjaan lainnya. Seseorang akan mengerjakan pekerjaannya
dengan baik, bila dia menghayati bahwa dia dipanggil oleh Allah untuk
mengerjakan pekerjaan itu9). Karena itu, setiap orang harus sadar
bahwa dengan pekerjaannya itu, dia turut masuk ke dalam rencana Allah. Ini
berati bahwa setiap orang bersama pekerjaannya harus berada di dalam Allah dan
ditujukan kepada Allah. Seperti dikatakan
oleh Rasul Paulus: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan
kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” ( Roma 11: 36).
Tetapi
disayangkan bahwa masih banyak orang yang menganggap bidang pekerjaannya
sehari-hari, tidak bersangkut paut dengan campur tangan Allah. Yang dianggap
masuk ke dalam ruang lingkup Kerajaan Allah, hanyalah pekerjaan yang bersifat
gerejawi saja, sedangkan pekerjaannya dari hari Senen sampai hari Sabtu adalah
di luar Kerajaan Allah. Inilah salah satu sebabnya, maka banyak orang yang
tidak merasa takut melanggar kehendak Allah dalam pekerjaannya, dengan
melakukan berbagai penipuan, koruksi, dll. Karena setiap kerja manusia adalah
panggilan Allah, maka setiap orang senantiasa harus bertanya di dalam dirinya:
“Apakah yang dikehendaki oleh Allah saya perbuat melalui pekerjaan saya?”.
2. Tujuan Kerja
Tujuan kerja termasuk salah satu masalah kerja. Apakah tujuan kerja itu? Jawaban untuk ini bisa berbeda-beda,
tergantung kepada pemahaman seseorang tentang tujuan kerja yang sampai
kepadanya. Secara umum, banyak orang menganggap bahwa tujuan kerja adalah untuk
mencari makan atau nafkah. Tujuan kerja memang tidak bisa dipisahkan dari
tujuan hidup. Kalau tujuan hidupnya dianggap hanya untuk makan, maka tentu saja
tujuan kerjanya adalah untuk mencari makan.
Dari sudut kekristenan tujuan hidup adalah jauh ke depan, ke suatu
tempat yang tidak terjangkau oleh penglihatan mata ( 1 Kor. 2: 9). Inilah
pengharapan Kristen. Dan yang mendorong perjalanan hidup orang Kristen untuk bisa
sampai ke sama adalah iman. Karena itu iman dan pengharapan tidak bisa
dipisahkan satu-sama lain ( Ibrani 11:1).
Demikian juga dengan kerja, ada motivasi kerja dan ada tujuan
kerja. Ke duanya tidak bisa dipisahkan satu-sama lain. Yang mendorong
(motivasi) orang Kristen untuk bekerja
bukanlah suatu kekuatan dari dalam dirinya, melainkan kekuatan dari
dalam, yakni anugerah Allah10). Tetapi Allah dengan anugerahnya,
bukan hanya mendorong orang Kristen untuk bekerja, tetapi juga memberikan
tujuan yang pasti dari kerja itu. Karena motivasi kerja tidak terlepas dari
tujuan kerja, maka di sini juga diberi tinjaun mengenai motivasi kerja.
Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, motivasi kerja manusia
turut dirusak oleh dosa itu. Oleh dosa maka hubungan manusia dengan sesamanya
menjadi terputus. Karena itu motivasi dan tujuan kerja menjadi terpusat kepada
diri manusia itu. Yakni dari dia, oleh
dia dan untuk dia. Menurut J.Verkuyl, ada tiga motivasi kerja yang perlu
diketahui setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, yaitu11):
Pertama: kerja karena gila hormat dan keangkuhan. Seseorang
berambisi melakukan suatu pekerjaan, karena ingin mendapat kehormatan dari
orang lain dan agar namanya juga termasyhur. Contoh untuk ini dapat dilihat
dari cerita pembangunan Menara Babel, di mana anak-anak Nuh yang baru selamat
dari air bah, berusaha membangun satu menara yang sangat megah, tanpa
memikirkan berapa biaya dan tenaga yang terkuras untuk itu, hanya karena mereka
ingin namanya termasyhur ke seluruh dunia sepanjang zaman ( Kejadian 11).
Kedua: Karena
rasa takut dan khawatir akan keselamatan dirinya. Pembangunan Menara Babel
bukan hanya didorong oleh rasa keangkuhan dan gila hormat, tetapi juga oleh
rasa khawatir akan keselamatan hidupnya. Menara Babel dibangun sebagai benteng
pertahanan dan perlindungan diri mereka terhadap ancaman hukuman Allah di
kemudian. Sampai sekarang rasa khawatir masih banyak menghantui kerja manusia
sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam khotbahnya di bukit seperti
tertulis dalam Matius 6: 24-34. Manusia bekerja mati-matian karena khawatir
akan hidupnya terancam oleh bahaya kelaparan, kemiskinan, penyakit dan maut.
Ketiga: Kerja
karena ketamakan, mammonisme dan hasrat untuk menjadi kaya ( Mat. 9: 19-24; 1
Tim. 5: 6-10; Yak. 5: 1-6). Karena tamak akan harta atau mammon, seorang
bekerja keras membanting tulang
sepanjang hari. Dia bekerja demi harta, demi kekayaan, demi mammon, sehingga
harta dan mammon ditempatkan dalam tingkat yang sama dengan Allah.
Ke tiga
motivasi ini pada hahekatnya sama dan berkaitan satu sama lain. Ke tiganya
bukan saja merupakan sikap mental yang merusak kehidupan manusia. Kalau begitu bagaimana tujuan kerja menurut
kekristenan? P.D.Latuihamallo pernah mengatakan, bahwa segala kehidupan Kristen
yang menyangkut dengan etika hidup, harus didasarkan atas kasih yang
mendamaikan12). Dalam hubungannya dengan masalah kerja, itu berarti
bahwa tujuan kerja harus didasarkan atas kasih yang mendamaikan, yakni kasih
kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia sebagaimana kasih kepada diri
sendiri.
Untuk memahami lebih
luas mengenai tujuan kerja, kembali kepada nats Alkitab dalam Kejadian 1: 28,
di mana manusia dalam kerjanya dilibatkan dalam tiga hubungan, yakni hubungan
kepada Allah, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam atau
lingkungan13). Ke tiga
hubungan ini harus dipelihara secara serentak, selaras dan harmonis, namun
sifat dari masing-masing hubungan berbeda. Tujuan kerja itu terletak di dalam
pemeliharaan ke tiga hubungan itu.
2.1. Kerja untuk kemuliaan Allah
Dalam hubungan kepada Allah manusia harus menyadari bahwa dia
memperoleh kerja itu dari Allah, yang karena itu dia harus mengerjakan segala
tugas dan pekerjaannya untuk kemuliaan Allah semata-mata. Manusia dalam segala
tindak-tanduknya harus selalu mengutamakan kepentingan Allah, bukan kepentingan
dirinya. Namun mengatamakan kepentingan Allah bukan berarti mengabaikan
kepentingan manusia begitu saja. Karena dalam setiap kerja, apabila sudah
mengutamakan kepentingan Allah, dengan sendirinya kepentingan manusia pasti
terjamin. Oleh karena itu setiap kerja manusia harus disorot oleh terang kerja
Allah, dan pelaksanaannya juga harus diatur oleh kehendak Allah.
Di dalam Alkitab bisa juga dilihat bahwa kerja Allah senantiasa
didorong oleh kasih, dengan suatu tujuan untuk kemuliaan nama-Nya dan
kesejahteraan hidup manusia. Allah memberikan kerja kepada manusia karena Dia
kasih akan manusia itu. Dengan kasih, Allah memberikan budi, daya dan waktu
agar manusia dapat berkreasi di bumi ini, sehingga dari dalamnya dia dapat
memenuhi kebutuhan hidup dan sesamanya. Adalah penghinaan kepada Allah, apabila
manusia mengabaikan kasih itu begitu saja. Manusia dituntut untuk selalu mensyukuri kasih Allah
dengan rasa yang sedalam-dalamnya dan dengan cara kesungguhan kerja, penuh
tanggang-jawab kepada Allah Penciptanya. Seorang dapat memperoleh nikmat
kebahagiaan dari hasil kerjanya sehari-hari, hanyalah jika dia senantiasa
mempunyai persekutuan yang erat dengan Allah. Karena itu kerja manusia harus
berlandasakan hukum kasih: “mengasihi Allah dengan sebulat hati, dengan segenap
jiwa dan dengan sepenuh akalbudi” )Mat. 22: 37).
2.2. Kerja
sebagai kasih kepada sesama manusia
Manusia diciptakan oleh Allah dalam keberadaan sebagai manusia
yang bersekutu dengan sesama manusia. Allah mengatakan, tidak baik manusia
hidup seorang diri saja (Kej. 2: 18), maka Allah menciptakan perempuan menjadi
teman hidup laki-laki dengan ikatan perkawinan. Adalah tidak terbayangkan
bagaimana sedih dan susahnya hidup manusia di bumi ini, jika hidup seorang
diri. Dalam Kitab Pengkhotbah, dikatakan bahwa hidup sendirian, tanpa anak,
saudara dan teman adalah hidup yang sia-sia ( 4: 7-12).
Kala Allah membentuk perkawinan, juga diharapkan bahwa dari
perkawinan itu akan lahir keturunan mereka (Kej. 1: 28) dan dengan demikian
terjadilah hidup persekutuan manusia. Hidup persekutuan manusia adalah manifestasi
persekutuan manusia dengan Allah. Sebagai manusia yang hidup bersekutu, manusia
saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kerja, manusia juga harus berjumpa
dengan sesama manusia. Tetapi dalam hubungan kerjapun, manusia harus
menempatkan sesamanya dalam dimensi kemanusiaan, yang mempunyai status yang
sama sebagai gambar Allah. Seluruh manusia adalah sama di hadapan Allah.
Siapaun itu manusia tidak boleh dinilai dari penilaian ekonomis, atau dari
hasil kerjaya secara material. Sikap sperti itu bukanlah sikap orang Kristen,
melainkan sikap penganut komunisme.
Sikap demikian bukan saja merupakan penghinaan kepada sesama manusia,
tetapi juga penghinaan kepada Allah. Dalam faham komunisme, manusia hanya
dianggap sebagai pekerja semata-mata, dan martabat manusia hanya dinilai dari
apa yang dapat ia perbuat dan kerjakan14). Sedang dalam kekrsitenan,
landasan hubungan kepada sesama manusia, termasuk yang menyangkut hubungan
kerja, adalah hukum kasih itu sendiri, yakni mengasihi sesama manusia seperti
mengasihi diri sendiri ( Mat. 22: 39).
Atas dasar kasih, maka kerja manusia bertujuan untuk menolong
sesama manusia yang berkekuarangan. Rasul Paulus sering menasehatkan agar
setiap manusia rajin dan giat bekerja, tujuannya adalah agar kejahatan
berkurang dan dapat membantu yang berkekurangan ( Efes. 4: 28). Tetapi walaupun
di dalam pengertian kerja terkandung sikap dan kesudian untuk menolong orang
yang berkekuarangan, itu bukanlah memberi peluang bagi orang yang hanya ingin
hidup mengemis. Hidup mengemis yang hanya menggantungkan hidupnya dari hasil
meminta-minta kepada sesama manusia, adalah sikap dan cara hidup yang tidak
dikehendaki oleh Allah. Orang Kristen harus menghindarkan sedapat mungkin agar
hidupnya jangan sampai menjadi beban bagi sesama manusia. Rasul Paulus,
walaupun dia sebenarnya berhak hidup dari persembahan umat Kristen, karena dia
seorang rasul, berusaha sedapat mungkin jangan menjadi beban bagi sesamanya.
Dia bekerja dengan tangannya sebagai tukang tenun kain kemah ( Kis. 20: 33-35).
Tetapi dengan perbuatannya itu Paulus tidak bermaksud untuk mengubah apa yang
sudah diaturkan dalam Alkitab, bahwa orang-orang yang secara khusus bekerja di
rumah Allah ( kaum Lewi), tidak perlu lagi hidup dari persembahan umat Allah.
Allah telah mengaturkan bahwa kaum Lewi atau imam hidup dari persembahan umat
Allah ( Ulangan 18). Kalau Paulus berbuat demikian, tujuannya ialah untuk
memberikan pengajaran dan tiruan, supaya setiap orang Kristen berusaha, jangan
sampai menjadi beban bagi sesama manusia.
Namun di pihak lain, harus disadari bahwa di antara sesama manusia
masih banyak dijumpai orang-orang yang lemah, yang lapar, yang sengsara, yang
menderita dan yang tertindas. Membantu orang-orang seperti ini adalah
tanggung-jawab orang Kristen. Yesus
Kristus mengatakan bahwa memberi pertolongan kepada salah seorang yang paling
hina ini, adalah berarti memberi kepada Yesus sendiri ( Mat. 25: 31-46).
Tetapi harus tetap disadari juga, bahwa menolong orang tidak
selamanya berarti memberi makan. Cara menolong dengan hanya memberi makan saja,
dengan sendirinya telah mengajar orang untuk hidup meminta-minta saja. Menolong
orang, mempunyai arti yang luas, itu termasuk dalam hal memberi tuntunan dan
bimbingan kepada seseorang, agar dia mampu untuk dapat bekerja sendiri dengan
segala kemampuan yang ada padanya, sehingga dari hasil kerjanya itu dia dapat
membutuhi keperluan hidupnya.
2.3. Kerja
sebagai pemanfaatan, pemeliharaan dan penyelamatan sumber daya alam
Dalam Kitab Kejadian 1 dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh
Allah setelah alam semesta dan segala isinya selesai diciptakan. Itu berarti
bahwa manusia dalam pekerjaannya harus behubungan dengan alam ciptaan Allah.
Itu juga menunjukkan bahwa alam dan segala isinya bukanlah milik manusia tetapi
milik Allah. Allah menempatkan manusia di tengah-tengah alam semesta yang
begitu indah dan kaya itu, merupakan suatu karunia besar, karena manusia
berkesempatan manikmati hasil karya Allah, di mana manusia itu diangkat menjadi
raja yang berkuasa. Tetapi manusia tidak boleh menyalah-gunakan kuasa itu,
untuk bertindak sesuka hati, bagaikan seorang raja yang lalim yang tidak sadar
akan dirinya. Adalah tindakan sewenang-wenang misalnya, apabila ada orang yang merusak
hutan menebangi pohon di sana dengan sesuka hati, hanya untuk memperkaya diri,
tanpa berusaha untuk menanami pohon itu kembali. Risiko perbuatan itu sangat
besar, yakni mengancam kehidupan berjuta-juta manusia, karena bahaya banjir
akan mengancam, dan persediaan air akan berkurang.
Di zman tehnologi tinggi sekarangpun, membangun industri-industri
besar di kota-kota ataupun desa-desa,
tanpa memikirkan bahaya pencemaran lingkungan akibat pembuangan lembah industri
yang mengandung zat kimia begitu saja, hanya karena mengejar keuntungan yang
besar, adalah suatu tindakan kecerobohan dan pendurhakaan kepada Allah.
Dalam pembangunan yang semakin banyak digiatkan dewasa ini,
hubungan manusia dengan alam semakin banyak dibicaralan, dengan adanya satu
kementerian yang mengurus masalah ligkungan hidup. Juga semakin sering
terdengar bahaya banjir yang meraja-lela, khususnya di daerah-daerah hilir yang
tanahnya landai, misalnya di kota Jakarta dan kota-kota lain lain. Kalau
terjadi banjir banyak masalah yang timbul, misalnya masalah lalu-lintas,
perdagangan, perkantoran dan pemukiman
yang terganggu, serta terjadinya pencemaran lingkungan. Juga banyak
sungai yang tercemar dengan limbah industri yang beracun15). Banyak
kota atau pemukiman yang mengantungkan kebutuhan air dari sungai-sungai
tersebut. Sering juga terdengar, bahwa persediaan air bersih semakin sulit diperoleh,
akibat kebutuhan air yang semakin bertambah, sedang persediaan alam semakin
berkurang.
Semuanya ini terjadi karena kecerobohan kerja manusia. Alam begitu
baik diciptakan oleh Allah, dengan tidak ada kekuarangan sesuatu apapun ( Kej.
1: 31). Di dalamnya Allah menempatkan manusia, bukan hanya sebagai penguasa,
tetapi juga sebagai pemelihara ( Kej. 2: 15). Karena itu di antara pemakaian
dan pemeliharaan harus berjalan secara seimbang. Allahpun bukan hanya
menciptakan alam, tetapi juga memeliharanya dan pemeliharaan itu adalah suatu
tanda dari “creatio continueata” (penciptaan berkesinambungan).
Di samping sebagai Pencipta dan Pemelihara, Allah juga bertindak
sebagai Penyelamat dunia, yang dalam hal ini termasuk penyelamat alam ciptaan-Nya. Sering dikatakan bahwa Kristus bukan hanya
Tuhan dari gereja, tetapi juga Tuhan dari seluruh alam semesta. Dalam Surat Roma 8: 19-22, dikatakan bahwa
segala makhluk merindukan saat-saat anak-anak Allah dinyatakan. Langit dan bumi
baru diciptakan oleh Allah ( Wahyu 21).
Kkalau Allah bertindak sebagai pemelihara dan penyelamat alam
ciptaan-Nya, maka seluruh Kristen juga terpanggil untuk bekerja sebagai
pemelihara dan melindungi kelestarian alam.
Tetapi sekarang ini gereja masih terlalu sedikit membicarakan
masalah-masalah hubungan manusia dengan alam. Kalau dasar hidup orang Kristen
adalah kasih, maka kasih itu juga harus menjadi dasar hubungannya dengan alam.
Kalau dikatakan bahwa setiap orang harus mengasihi alam, itu tidak berarti
bahwa alam harus dipuja, karena satu-satunya yang harus dipuja adalah Allah.
Alam dapat diolah, dipergunakan, dipelihara dan diselamatkan untuk
kesejahteraan seluruh umat manusia, dengan tidak terpisahkan dari dasar kasih
kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.
3. Jenis-jenis kerja
Akibat perkembangan budaya manusia, maka di dunia ini semakin
banyak dijumpai jenis-jenis kerja. Di dalam Alkitab sendiri pun telah
diperkenalkan adanya berbagai jenis pekerjaan manusia. Misalnya ada yang petani
seperti Nuh (Kej. 9: 20), peternak seperti Abraham (Kej. 13, pengrajin tangan
seperti Bezaleel dan Aholiab (Kel. 31: 1-5), nelayan seperti Petrus ( Mat.4:
18), pegawai seperti Zakeus (Luk. 19: 1-10). Tabib (dokter) seperti Lukas (Kol.
4: 14), kerja di Bait Auci seperti para imam.
Di dalam masyarakat desa jenis-jenis kerja belum begitu banyak. Sedang
dalam masyarakat kota dijumpai banyak jenis kerja,, mulai dari petani,
peternak, nelayan, kerja pabrik, kerajinan tangan, pedagang, pengangkutan,
guru, dokter, pegawai, pemimpin-pemimpin oraganisasi dan lain. Timbulnya
berbagai jenis pekerjaan itu juga menimbukan perubahan sosial dan cara hidup,
serta sikap atau penilaian terhadap sesuatu jenis kerja pun juga menjadi
berubah. Berikut ini akan dicoba diberi tinjauan kepada jenis-jenis kerja itu
dan juga tinjauan terhadap sikap orang Kristen terhadap sesuatu jenis
pekerjaan.
3.1. Pembagian
atau pengolompokan jenis-jenis kerja
Dahulu orang sering membagi jenis kerja itu dari segi fungsional, yakni menurut pemakaian
fungsi dari bagia-bagian tubuh atau diri manusia itu. Dengan cara pembagian
itu maka manusia dibagi-bagi sedikitnya atas empat kelompok, yakni: homo sapiens, homo ludens, homo laborans dan
homo orans. Yang termasuk kepada “homo
sapiens”, ialah golongan manusia yang dalam pekerjaannya banyak
mempergunakan fungsi otak, seperti para sarjana, tehnikus dan pimpinan sesuau
badan. Kelompok kedua yakni “homo ludens”,
adalah golongan manusia yang dalam kerjanya banyak mempergunakan fungsi
perasaan halus, seperti seniman, penyanyi, musikus, dll. Kelompok ketiga yakni homo laborans, yakni golongan manusia
yang dalam kerjanya banyak mempergunakan tenaga tangan atau fysik. Golongan ini
sering juga disebut sebagai pekerja kasar, seperti buruh dan petani. Di samping itu ada juga disebut “homo orans”, yakni golongan manusia yang dalam kerjanya
banyak mempergunakan fungsi kerohanian, seperti imam, biarawan-biarawati atau
rahib-rahib.
Cara pembagian kerja seperti ini agaknya bersifat subjektif,
karena mennjolkan fungsi dari bagian-bagian tubuh manusia, dan di dalamnya
tidak nampak hubungan dengan luar dirinya. Bahayanya ialah akan bisa terjadi penilaian
yang berlebihan akan kerja sesuatu fungsi tubuh itu, misalnya dengan mengatakan
bahwa kerja otaklah yang paling berharga, dan merendahkan kerja lain yang
banyak mempergunakan fungsi tangan atau tenaga badan.
Sebenarnya semua kerja membutuhkan pemakaian seluruh fungsi tubuh tersebut, walaupun dalam
batas-batas kemampuan tertentu. Karena pada dasarnya semua fungsi itu adalah
satu kesatuan, dan saling melengkapi satu-sama lain, Nilai sesuatu kerja tidak
bisa diukur hanya dari pemanfaatan salah satu fungsi tertentu, melainkan dalam
satu kesatuan, yakni kesatuan tubuh, sebagaimana diterangkan oleh Paulus dalam 1
Korintus 12.
Cara
pembagian kerja yang lain ialah berdasarkan lapangan kerja yang dikerjakan,
sebagaimana diuraikan oleh J.Verkuyl. Dia membagi lapangan kerja atas empat
bagian17), yakni:
Pertama ialah kerja di lapangan
produksi primer, yakni segala kerja manusia yang mengeluarkan bahan mentah
atau bahan makan dari alam, seperti petani, peternak, penanam hutan,
perkebunan, nelayan dan pertambangan.
Kedua ialah kerja di lapangan
produksi sekunder, yakni segala kerja yang mengolah bahan mentah dan bahan
makanan menjadi hasil yang dapat dipakai dan dimakan, seperti: kerja kerajinan
tangan, karyawan pabrik atau industri, dll.
Ketiga ialah kerja di lapangan
distribusi, seperti perhubungan, perdagangan, bank, dll.
Keempat ialah kerja di bidang pelayanan khusus kemanusiaan,
seperti dokter, juru-rawat, mahaguru, guru, pengacara, hakim, seniman,
penyanyi, ibu rumah tangga, dll.
Pembagian
seperti ini sekarang ini lebih bisa diterima, karena sifatnya lebih objektif
dan lebih konkrit menunjukkan jenis pekerjaan itu.
3.2. Penilaian
terhadap jenis-jenis kerja
3.2.1.
Kerja di
lapangan produksi primer
Banyak orang menganggap bahwa jenis kerja ini adalah pekerjaan
yang hina dan rendah, karena dianggap sebagai pekerjaan yang kasar. Akibat
pengaruh filsafat Yunani, banyak orang menganggap pekeraan ini sebagai
pekerjaan hamba dan budak belian. Dan menurut orang Hindu, jenis kerja ini
adalah pekerjaan kasta yang paling rendah.
Di Indonesia pengaruh pandangan itu masih banyak dijumpai. Masih
banyak orang yang enggan bekerja sebagai petani, peternak, nelayan, khususnya
di kalangan generasi muda. Banyak pemuda yang meninggalkan desanya, dan pergi
mencari kerja di kota, karena enggan bekerja sebagai petani atau peternak di
desanya, walaupun pekerjaan itu masih memungkinkannya untuk berkembang di sana18).
Tetapi menurut Alkitab jenis pekerjaan itu adalah pekerjaan yang
sangat mulia. Pekerjaan petani, peternak atau bahkan perikanan adalah jenis
pekerjaan yang asli dari manusia19). Banyak tokoh Alkitab yang
diperkenalkan sebagai petani ( Habel, Nuh), peternak ( Abraham, Yusuf, Daud,
Amos), sebagai nelayan ( Petrus dan beberapa murid Yesus) dan Palestina tempat tinggal umat Allah adalah daerah
pertanian dan peternakan.
3.2.2.
Kerja di
lapangan produksi sekunder
Dalam pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, lapangan kerja ini
giat ditingkatkan, yakni di sektor industri, yang mengolah sekaligus menunjang
hasil-hasil pertanian20). Tetapi masih banyak juga yang menganggap
lapangan kerja ini sebagai pekerjaan yang hina. Orang masih banyak yang enggan
bekerja sebagai karyawan pabrik atau industri, bahkan bekerja sebagai pengrajin
tangan, khususnya kaum pria. Barangkali salah satu faktor penyebabnya adalah
karena upah kerja sebagai karyawan pabrik atau industri masih rendah.
Di dalam Alkitab, jenis pekerjaan yang banyak disinggung, sehubungan
ini dengan lapangan kerja ini adalah pekerjaan kerajinan tangan. Kata Ibrani
yang banyak dipakai untuk menunjukkan pekerjaan ini adalah “malaka”, suatu
perkataan yang ada hubungannya dengan pekerjaan kudus dari Allah21).
Bezaleel dan Aholiab adalah pengrajin tangan, tetapi mereka dipercayakan oleh
Allah memimpin pembangunan kemah suci (Kel. 31: 6). Jemaat-jemaat asal Yahudi
di perantauan kebanyakan hidup dari hasil industri kerajinan tangan. Paulus
misalnya hidup sebagai tukang tenun kain kemah, dan dia tidak malu dengan
pekerjaan itu, walaupun dia seorang rasul (Kis. 20: 34-35). Tuhan Yesus
sendiri, sebelum memulai pekerjaannya sebagai Mesias bekerja sebagai tukang
kayu bersama Yusuf.
3.2.3.
Kerja di
lapangan distribusi
Lapangan pekerjaan ini belum banyak dibicarakan dalam Alkitab. Ini
dapat dimengerti karena kehidupan orang-orang Israel dan orang-orang Kristen
mula-mula, belum banyak terlibat dalam urusan perdagangan dan perhubungan
lalu-lintas. Barulah di kemudian hari bersama-sama dengan kemajuan manusia itu
sendiri, lapangan pekerjaan ini mendapat tempat yang sangat penting. Peranan
perdagangan, perbankan, dan sarana angkutan lalu-lintas, semakin besar artinya
dalam kemajuan perekonomian sesuatu bangsa.
Tetapi bagaimanakah sikap Kristen terhadap lapangan pekerjaan ini?
Walaupun pekerjaan ini belum banyak dibicarakan dalam Alkitab, tetapi bisa
diyakini bahwa pekerjaan ini adalah berasal dari Allah. Adanya pekerjaan ini
adalah karena saling ketergantungan manusia, termasuk saling ketergantungan di
bidang ekonomi22). Dari Sejarah Gereja bisa dilihat bahwa Allah juga
mempergunakan para pedagang untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia, misalnya
VOC yang menyebarkan Injil di Maluku, Srilangka dan Taiwan pada abad 1723).
Martin Luther, walaupun berasal dari keluarga petani, menganggap pekerjaan
berdagang sebagai pekerjaan yang ditetapkan oleh Allah24). Dan
Calvin, seorang ahli hukum, yang banyak hidup di kota perdagangan Jenewa, juga
menganggap pekerjaan di bidang perdagangan, lalu-lintas dan keuangan sebagai pekerjaan
yang berguna di tengah-tengah masyarakat, jika di sana Kristus dibiarkan
memerintah sebagai Tuhan25).
3.2.4.
Kerja di
bidang pelayanan khusus kemanusiaan
Jenis pekerjaan ini banyak dibicarakan dalam Alkitab. Tetapi itu
tidak berarti bahwa jenis pekerjaan ini lebih baik dan lebih berharga dari
jenis pekerjaan yang lain. Pekerjaan ini juga termasuk pekerjaan yang sudah
dipengaruhi oleh dosa. Misalnya, Allah sering mengecam raja dan
pemimpin-pemimpin keagamaan Israel karena mereka sering berpura-pura melayani
sesama manusia, tetapi sebenarnya hanya melayani diri-sendiri, karena memeras
sesamanya, bagaikan serigala yang buas yang menerkam mangsanya (Yer.23; Kel.
33: 24; Zakh. 11: 5).
Di setiap bangsa, bekerja sebagai pemimpin, sebagai pejabat,
sebagai dokter, sebagai hakim, sebagai jaksa, sebagai guru, bahkan sebagai
pendeta, dianggap sebagai pekerjaan yang terhormat. Tetapi menurut kesaksian
Alkitab, seluruh jenis pekerjaan sama nilainya di hadapan Allah. Di bidang
manapun seseorang bekerja, haruslah diyakini bahwa Tuhanlah menempatkannya di bidang pekerjaan
itu, sehingga dia bekerja dengan setulus hati, supaya dapat membuahkan hasil
bagi kemuliaan Allah dan kesejahteraan bagi hidup bersama. Seluruh warga
kerajaan Allah adalah satu kesatuan, yang dapat dipergunakan Allah untuk
mendukung pertumbuhan kerajaan-Nya di dunia ini.
4. Cara-cara kerja
Yang dimaksud dengan cara kerja ialah cara bagaimana sesuatu pekerjaan dikerjakan dengan
sebaiknya, agar dapat membuahkan hasil
yang baik. Karena itu cara kerja juga sangat perlu diperhatikan dari sudut etos
Kristen. Kualitas sesuatu pekerjaan, sangat banyak ditentukan oleh faktor
bagaimana caranya pekerjaan itu dikerjakan. Dalam kekristenan cara mengerjakan
sesuatu pekerjaan sangat diutamakan, yang berbeda dengan faham komunis. Karena menurut
penganut faham komunis, yang
mengutamakan hasil produksi kerja, dan yang mengukur hasil kerja itu dari nilai
materielnya, tidak mempersoalkan
cara-cara kerja, karena bagi mereka hasil produksi dapat menghalalkan segala cara26).
Dalam kekristenan, segala sesuatu perbuatan harus mengalir dari
iman. Imanlah yang selalu menggerakkan cara kerja yang baik, dan cara kerja
yang baik akan membuahkan buah yang baik. Dalam kerja ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yang menyangkut cara-cara kerja yang baik, yaitu:
4.1. Setiap
pekerjaan harus dilakukan dengan penuh kesetiaan dan ketabahan.
Sering berpindah-pindah kerja dari satu pekerjaan yang satu ke
pekerjaan yang lain, bukan cara kerja yang baik dari seorang Kristen. Dengan sering
berpindah-pindah kerja adalah suatu pertanda, bahwa yang bersangkutan tidak
menunjukkan kesetiaan dan ketabahan terhadap pekerjaan yang dikaruniakan Tuhan
kepadanya. Seseorang juga tidak mungkin bisa makin matang dan cakap terhadap
sesuatu pekerjaan, apabila dia sering berpindah-pindah kerja. Berusaha supaya
makin matang dan cakap dalam bidang pekerjaannya, adalah sikap dan cara kerja
yang baik dari seorang Kristen.
4.2. Setiap
pekerjaan harus dilakukan dengan sebulat hati
Bekerja dengan sebulat hati berarti bekerja dengan tenang, tulus
dan bersungguh-sungguh. Rasul Paulus menasehatkan orang-orang Kristen di
Tessalonika supaya bekerja dengan sebulat hati dan tetap tenang dalam
pekerjaannya (2 Tes. 3: 12). Seseorang yang banyak bergerak dalam berbagai jenis
pekerjaan, tidak mungkin dapat bekerja dengan tenang dan sebulat hati, karena
hati dan fikirannya pasti bercabang-cabang. Ada pepatah Latin mengatakan: “Non
multa, sed multum”, yang artinya : ‘bukan mengerjakan banyaknya macam
pekerjaan, melainkan mengerjakan satu macam pekerjaan dengan sebanyak-banyaknya”27).
4.3. Setiap
pekerjaan harus dilakukan dengan kerajinan
Kemalasan bekerja adalah sikap yang tidak dikehendaki dalam
Alkitab. Di dalam Alkitab sering dijumpai adanya peringatan terhadap
orang=orang yang malas bekerja, karena kemalasan merusak pekerjaan,
mendatangkan kemiskinan dan banyak terbuatan kejahatan (Amsal 6: 6-19; 22: 13).
Sedangkan kerajinan bekerja sangat banyak mengurangi perbuatan kejahatan yang
sia-sia. Paulus mengatakan bahwa orang yang tidak tertib hidupnya, dan malas
bekerja sering sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna ( 2 Tes. 3: 11).
Dikatakan, orang yang tidak mau (malas) bekerja janganlah ia makan ( 2 Tes. 3:
10).
4.4. Setiap
kerja membutuhkan disiplin kerja
Yang dimaksuddengan disiplin kerja ialah keteraturan pemakaian
waktu yang tersedia
dengan
seefisien mungkin, di mana ada waktu kerja dan ada waktu istrirahat. Waktu
adalah pemberian Tuhan yang tidak ternilai harganya, karena itu pemakaiannya
harus juga dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan. Tetapi nilai waktu tidak baik
diukur dengan uang. Penilaian waktu dengan uang, bukan bersumber dari Alkitab,
melainkan dari roh kapitalisme negara-negara Barat. Salah satu roh kapitalisme
itu ialah pandangan yang mengatakan: “waktu itu adalah uang”28).
Masalah tentang pemakaian waktu
ini ialah: berapa lamakah dari waktu yang tersedia itu sebaiknya dipergunakan
untuk bekerja dalam satu hari? Masalah ini tidak dipersoalkan dalam Alkitab,
tetapi di kemudian hari setelah terjadi perubahan sosial yang cepat. Di dalam
Alkitab hanya dipergunakan bahwa waktu siang adalah waktu yang dipergunakan
untuk bekerja, dan waktu malam dipergunakan untuk istirahat (bd. Maz. 104; 22f;
Yoh. 9L 4). Tetapi berapa lama dari waktu siang itu dipergunakan untuk bekerja
tidak disebutkan. Yang jelas diketahui dalam Alkitab ialah bahwa waktu itu
harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Menyianyiakan waktu yang tersedia
adalah kebodohan dan perbuatan dosa29).
Namun demikian, karena perubahan
zaman, masalah lamanya bekerja dalam satu hari harus dibicarakan secara serius.
Manusia bukanlah hamba dari waktu, sebagaimana manusia bukan hamba dari kerja.
Tetapi tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan masalah-masalah itu
dengan panjang lebar. Hanya yang perlu diingat bahwa banyak faktor yang
menyangkut kemanusiaan perlu diperhatikan dalam menentukan lamanya waktu kerja
itu, antara lain fator psykhologis, medis, keagamaan, di samping fator ekonomis yang memang tidak
kurang pentingnya.
Yang sangat perlu dibicarakan
sesuai dengan topik tulisan ini menyangkut disiplin kerja ialah perlunya waktu
istirahat yang cukup. Di dalam Alkitab perlunya waktu istirahat yang cukup
sangat diperhatikan sekali. Di samping adanya waktu istirahat pada malam hari,
peranan hari Sabat sebagai waktu istirahat sangat diwajibkan dalam Alkitab
(Kel. 20: 8-10; Ul. 5:12-15) dan itu termasuk salah satu hukum Allah. Hari
Sabat adalah hari yang dikuduskan Allah untuk menjadi hari perhentian dari
segala pekerjaan sebagaimana Allah juga berhenti pada hari itu dari segala
pekerjaan-Nya (Kej. 2: 2-3). Tetapi tanpa mengurangi makna hari itu sebagai
hari perhentian, gereja Kristen telah mengubah hari Sabat menjadi hari Minggu,
karena hari Minggu adalah hari kemenangan Kristus dalam pekerjaan-Nya sebagai
Juru-Selamat dunia.
Dari
latar-belakang Perjanjian Lama, istirahat Sabat mengandung aspek kemanusiaan,
di mana seluruh pekerja, para hamba, orang asing, dan juga binatang-binatang
membutuhkan hari istirahat. Tetapi di samping aspek kemanusiaan, makna hari itu juga mengandung aspek
keagamaan. Allah menghendaki agar umat-Nya mengenal waktu istirahat, badani dan
rohani, agar umat-Nya jangan menjadi hamba kerja. Karena itu hari yang
dikuduskan itu perlu diisi dengan persekutuan dengan Allah, melalui Firman-Nya.
Melalui persekutuan itu umat-Nya senantiasa diingatkan oleh Allah, bahwa hidup
manusia bukan bergantung kepada hasil kerjanya, tetapi bergantung kepada kuasa
Allah. Allahlah yang berkuasa atas kerja manusia. Dalam Amsal 16: 9 dikatakan:
“Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah
langkahnya”. Melalui persekutuan dengan Allah, umat-Nya dibebaskan dari rasa takut dan khawatir akan
keselamatan hidupnya, dan juga dibebaskan dari rasa ketamakan untuk mengejar
harta duniawi. Dengan kata lain, persekutuan dengan Allah akan menumbuhkan
iman, rasa damai, ketenangan dan ketaatan yang baru kepada Allah.
Tetapi
persekutuan dengan Allah tidak hanya berlangsung pada hari Minggu saja. Setiap
hari umat-Nya harus bersekutu kepada Allah dalam doa, baik doa pribadi, maupun
dalam doa keluarga. Peranan doa begitu besar dalam kehidupan ini. Tuhan Yesus
sendiri sering mengasingkan diri ke tempat-tempat yang sunyi untuk berdoa.
Tetapi hidup ini tidak cukup hanya berdoa, melainkan dituntut juga untuk aktif
bekerja. Itulah sebabnya Martin Luther mengatakan: “Ora et labora”, berdoa dan bekerja.
4.5. Setiap
kerja membutuhkan penghargaan dan upah yang layak
Kerja adalah salah satu jalan yang dipergunakan oleh Allah untuk
membutuhi hidup umat-Nya. Karena itu setiap kerja mengharapkan adanya upah yang
layak, yang dapat dipergunakan sang pekerja untuk membutuhi keperluan hidupnya
sehari-hari. Kerja tanpa upah yang layak adalah suatu bentuk perhambaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Werner Elert: “The demonization of labor without
proper reward is slavery”30).
Di dalam Alkitab, masalah upah kerja banyak mendapat perhatian.
Dikatakan misalnya bahwa seorang majikan tidak boleh menahan upah pekerja
hariannya, karena tindakan seperti itu adalah pemerasan hakl setiap orang
(Imamat 19: 13; Ulangan 24: 14-15). Masalahnya ialah berapakah upah yang layak
dan adil bagi seorang pekerja tertentu? Banyak teori yang diperbuat orang untuk
memecahkan masalah ini. Menurut teori liberal,
besarnya upah bergantung kepada “pasaran kerja”. Apabila dalam “pasaran
kerja”, banyak ditawarkan tenaga kerja, maka upah kerja dapat dibayar dengan
murah. Jika dalam pasaran kerja, hanya sedikit tenaga kerja yang ditawarkan,
maka upah kerja pasti dinaikkan31).
Selanjutnya menurut teori Marxisme, penetapan upah kerja adalah
berdasarkan nilai tukar kerja, yang artinya: kwantitas kerja dikalikan dengan
lamanya waktu kerja. Dan cara menentukan nilai tukar itu ialah dengan jalan
menghitung harga barang-barang yang diperlukan pekerja dan keluarganya untuk
dapat hidup, yakni keperluan pangan, sandang dan sewa rumah32).
Menurut ke dua teori ini, kerja manusia hanya dianggap sebagai
barang dagangan. Nilai manusia hanya dianggap sebagai “homo laborans” (manusia
yang bekerja) dan “homo economicus” (manusia ekonomi). Dari sudut Alkitab, penetapan upah kerja
hanya dari segi ekonomi saja, adalah tidak baik, karena kerja tidak bisa diukur
dengan harga barang. Nilai kerja tidak bisa dipisahkan dari nilai manusia itu
sendiri. Menurut Yer. 13: 12, nilai manusia tidak bisa diukur dengan emas tua
dan emas Ofir. Menetapkan sesuatu upah yang adil dan layak, memang merupakan
perbuatan yang sulit, karena sangat banyak faktor yang perlu diperhatikan,
menyangkut hidup hakiki manusia itu, di samping pertimbangan paedagogisnya. Dan
faktor yang terutama diperhatikan adalah kebutuhan hidup pekerja itu
sebagaimana dia seorang manusia, jasmani, rohani dan batiniah. Karena itu juga
menyangkut hidup keluarga, kebutuhan sosial dan kebutuhan keagamaan.
Tetapi juga sangat diperhatikan prestasi kerja yang dihasilkan.
Adalah tidak patut, jika diberi upah yang sama bagi pekerja yang terlatih atau
berpendidikan, berpengalaman, cakap, rajin, dengan pekerja yang tidak terlatih,
tidak berpengalaman, tidak cakap, dan malas bekerja. Pemberian upah dengan
tidak memperhatikan prestasi, juga mengabaikan unsur paedagogis di dalam kerja
itu.
Perlu juga diperhatikan adanya jaminan pemeliharaan pada waktu
sakit, menderita cacad dan hari tua. Tidak baik
jika seseorang pekerja hanya dihargai semasih tenaganya bisa diperlukan.
Adalah suatu hal yang patut disambut dengan gembira, bahwa di
Indonesia, penetapan upah sudah mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan di
atas. Pemerintah selalu berusaha supaya upah kerja semakin memadai, sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Memang selayaknyalah bahwa setiap warga negara Indonesia bersyukur kepada
Tuhan, karena di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, aspek-aspek
keagamaan, kemanusiaan, kesatuan, musyawarah-mufakat dan keadilan sosial,
sangat dijungjung tinggi. Karena itu umat Kristen dan gereja, patut menunjukkan
kerja sama yang baik dengan pemerintah, dalam membina sikap hidup dan
mentalitas yang baik bagi setiap warga negara
Indonesia umumnya dan orang-orang Kristen khususnya, sebagai penunjang
suksesnya program bangsa dan negara menuju masyarakat yang maju, adil dan
makmur. Salah satu usaha ke arah itu ialah meningkatkan semangat dan kesadaran
kerja bagi setiap warga negara Indonesia.
5. Kesimpulan
Dari semua uraian di atas, maka ada beberapa pokok yang perlu
disimpulkan di sini, yang bisa menjadi pegangan bagi setiap orang Kristen dalam
menentukan sikap dan caranya menghadapi masalah kerja, khususnya dalam keikut
sertaannya membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa dan masyarakat yang maju,
adil dan makmur.
1)
Kerja adalah tugas hakiki manusia yang
bersumber dari Allah dan merupakan sarana yang dipergunakan oleh Allah dan
manusia itu sendiri dalam membangun dirinya untuk hidup yang beriman, damai-sejahtera,
menuju kehidupan yang sempurna di sorga pada akhir zaman.
2)
Kerja adalah suatu panggilan Allah, yang di
dalamnya setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, melayani sesama
dalam hubungan kasih, dan mempergunakan alam atau lingkungan sekitarnya dengan
penuh kesadaran dan rasa tanggung-jawab.
3)
Segala jenis kerja yang bersumber dari Allah
adalah sama, sehingga tidak baik merendahkan kerja yang satu dan menghargai
setinggi-tingginya kerja yang lain. Memilih sesuatu kerja harus diserta dengan
doa, agar Tuhan menuntun hidupnya dan menunjukkan kerja mana yang patut
dikerjakan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.
4)
Setiap kerja yang ditetapkan oleh Allah, harus
dikerjakan dengan baik, penuh kesetiaan, ketabahan, sebulat hati, rajin, berdisiplin, dan senantiasa
hidup dalam persekutuan dengan Tuhan Allah melalui Firman-Nya dan doa. Dialah
yang memberikan kekuatan dan kemampuan bagi setiap orang untuk bekerja dengan
baik dan diharapkan Dia akan memberkati juga dengan penghasilan dan upah yang
layak, sehingga dapat hidup sejahtera dan damai dalam memuji dan memuliakan
Nama-Nya.
Catatan-catatan
1) P.D.Latuihamallo,
Fondasi dan dasar-dasar yang mendamaikan:
dalam buku: Kasih yang mendamaikan,
Himpunan Bahan Study Etika Sosial di Salatiga, terbitan Persetia, 1981,
hal.92.
2) Lihat
Alan Richardson, The Biblical doctrine of
Work, SCM Press LTD, London,1958, hal.13-16.
3) Walter
Lempp, Tafsiran Kejadian 1 (1: 1-4: 26),
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1974, hal. 37.
4) J.
Verkuyl, Etika Sosial Ekonomi ( II/1),
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1982, hal. 18.
5) Ibid,
hal. 18.
6) Hal
ini diucapkan oleh A.A.Sitompul dalam ceramahnya yang berjudul: “Bulatkanlah hatimu bekerja” ( 2 Tes. 3:
12), di hadapan Synode HKBP Distrik Sumatera Timur, 23 Oktober 1984, di
Parapat.
7) Bandingkan
pengurapan jabatan raja di Israel dan pengambilan sumpah janji jabatan di
Indonesia.
8) Dalam
HKBP disebut: pasupasu tohonan
(pemberkatan jabatan gerejawi).
9) Jacques
Ellul, The Ethics of Freedom,
Wm.B.Eerdmans Publicashing Company, London & Oxford, 1976, hal. 499.
10) Stephen
Charles Mott, Biblical Ethics and Soscial
Change, Oxford University Press, New York, 1982, hal. 27.
11) J.Verkuyl,
opcit, hal.34.
12) P.D.Latuihamallo,
opcit, hal.84-109.
13) A.M.Tambunan,
Pembangunan Sosial dalam rangka
pembangunan nasional, BPK Jakarta, 1970, hal. 17.
14) Jacques
Ellul, opcit, hal.500.
15) Surat Kabar SIB, terbitan Medan, 17
Januari 1985.
16) J.Verkuyl,
opcit, hal. 77.
17) Ibid,
hal. 39.
18) Khusus di daerah Tapanuli, telah jarang
dijumpai pemuda-pemudi yang terampil di bidang pertanian. Pemuda-pemudi yang
masih tinggal di sana, kebanyakan yang sudah gagal mencari kerja di kota dan akhirnya kembali ke desa.
19) Lihat
perintah kerja Kejadian 1:28.
20) Ini sudah dimulai dalam pembangunan bertahap seperti pernah dirumuskan dalam GBHN
Indonesia tahun 1983, Bab III, fs. 3(b), iv.
21) J.Verkuyl,
opcit, hal. 41.
22) Werner
Elert, The Christian Ethos,
Muhlenberg Press, Philadelphia, 1957, hal. 19=30.
23) Th.Van
den End, Sejarah Gereja Asia,
Yogyakarta, 1981, hal. 89.
24) Konfessi Augsburg tahun 1530, artikel XV ay. 2.
25) J.Verkuyl, opcit, hal. 41.
26) J.Verkuyl,
Komunisme, Kapitalisme, ditinjau dari
sudut Injil Kristus, BPK Jakarta, 1966, hal.28.
27) J.Verkuyl,
Etika Sosial Ekonomi, hal. 52.
28) Max
Weber, The Protestant Ethics and the
spirit of capitalism, Unwin University Books, London 1965, hal. 48.
29) Alan
Richardson, opcit, hal. 53.
30) Werner
Elert, opcit, hal. 127
31) J.Verkuyl,
Etika Kristen Sosial Ekonomi, hal.
65.
32) Ibid, hal. 66.
Daftar Kepustakaan
1. Elert,
Werner, The Christian Ethos,
Muhlenberg Press, Philadelphia, 1957.
2.
Ellul, Jacques, The Ethics of Freedom, Wm.B.Eerdmans Publicashing Company, London
& Oxford, 1976.
3. Lempp,
Walter, Tafsiran Kejadian 1 (1: 1-4: 26),
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1974.
4. PERSETIA, Kasih
yang mendamaikan, Himpunan Bahan Study Etika Sosial di Salatiga, terbitan
Persetia, 1981.
5. Richardson,
Alan, The Biblical doctrine of Work, SCM Press LTD, London, 1958.
6. Mott,
Stephen Charles, Biblical Ethics and
Soscial Change, Oxford University Press, New York, 1982.
7. Tambunan,
A.M., Pembangunan Sosial dalam rangka
pembangunan nasional, BPK Jakarta, 1970.
8. Van
den End, Th., Sejarah Gereja Asia, Yogyakarta, 1981.
9. Verkuyl,
J., Etika
Sosial Ekonomi ( II/1), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1982.
10. Verkuyl,
J., Komunisme, Kapitalisme, ditinjau dari
sudut Injil Kristus, BPK Jakarta, 1966.
11. Weber, Max, The Protestant Ethics and the spirit of capitalism, Unwin
University Books, London 1965.
Tambahan.
1.
Garis-garis
Besar Haluan Negara ) GBHN) 1983
2. Konfessi Augsburg 1530, Team
Gereja-gereja Sumut (penerjemah), Pematangsiantar 1978.
3. Sitompul,
A.A. “Bulatkanlah hatimu bekerja” ( 2
Tes. 3: 12), dalam ceramahnya di hadapan Synode HKBP Distrik Sumatera
Timur, 23 Oktober 1984, di Parapat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar