Jumat, 11 Desember 2020

MASALAH KERJA DITINJAU DARI SUDUT ETOS KRISTEN

 

MASALAH KERJA DITINJAU DARI SUDUT ETOS KRISTEN

 

               

Dalam upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara Indonesia menjadi masyarakat  yang maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka setiap warga masyarakat Indonesia dituntut menjadi manusia pekerja keras. Hal ini dipertegas dalam pemerintahan Indonesia di bawah pimpinan Presiden Jokowi, supaya seluruh warga negara Indonesia menjadi manusia yang rela bekerja dengan sungguh-sungguh sesuai dengan potensi dan kemampuan yang ada padanya. Untuk itu sampai-sampai nama kabinet pemerintahannya disebut “Kabinet Kerja” untuk periode pertama pemerintahannya.

Hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa pelaksana pembangunan suatu bangsa adalah manusia. Karena itu peranan kerja manusia sangat menentukan sekali untuk berhasil tidaknya pembangunan itu dilaksanakan. Secara umum diartikan bahwa kerja adalah penggunaan fungsi manusia kepada hal-hal yang berguna, dengan mana manusia berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengolah sumber daya alam yang tersedia kepada hal-hal yang berguna bagi kehidupannya.

Tetapi dari sudut iman Kristen, manusia dalam membangun diri dan bangsanya tidak hanya mengandalkan kemampuannya, terlepas dari campur tangan Allah. Allah adalah Allah yang terus bekerja, bekerja dalam sejarah manusia, dari awal sampai akhir zaman ( Yoh. 5: 17). Allah yang menciptakan seluruh alam semesta dan segala isinya, Dia juga yang turut campur tangan memelihara ciptaannya itu. Tetapi  untuk tugas itu Allah menciptakan manusia di bumi ini, serta memberi kepercayaan kepadanya menjadi “teman sekerja Allah” (1 Kor. 3: 9). Oleh karena itu seluruh manusia terpanggil untuk mewujudkan rencana Allah dalam tugas membangun dunia dan manusia atau bangsa-bangsa ke arah yang lebih maju.

Salah satu panggilan itu adalah panggilan untuk bekerja. Karena Allah yang mengangkat manusia sebagai “teman sekerjanya” adalah Allah yang bekerja , maka manusia juga diharapkan menjadi manusia yang bekerja. Tetapi kerja yang dilimpahkan oleh Allah kepada manusia telah menjadi masalah, setelah manusia jatuh ke dalam dosa. Namun dalam iman kekristenan, setiap masalah tidak ada yang tidak bisa diselesaikan dalam terang Firman Allah. Karena itu segala sesuatunya yang menyangkut kehidupan manusia harus diuji dari terang Firman Allah itu sendiri.

Apa kerja itu, untuk apa seseorang perlu bekerja, jenis pekerjaan apa yang akan dikerjakan, dan bagaimana caranya melakukan pekerjaan itu, itulah masalah yang sering timbul sehubungan dengan kerja itu. Tetapi orang Kristen mempunyai sikap dan cara tertentu dalam menghadapi segala masalah hidup, termasuk masalah kerja. Karena itu masalah kerja perlu ditinjau dari sudut “Etos Kristen”. Etos Kristen adalah sikap atau cara orang Kristen menghadapi kenyataan hidup ini1).

1.       Pengertian kerja

1.1.  Ajaran Alkitab tentang kerja

Pengertian kerja menurut Alkitab sangan luas sekali.  Hal itu meliputi segala akitifitas Allah dalam penciptaan, karya penyelamatan-Nya, termasuk menyangkut kerja manusia sampai yang sekecil-kecilnya. Karena luasnya pengertian kerja itu, maka agak sulit memberikan satu definisi yang konkrit. Kalau dikatakan bahwa kerja adalah pemakaian tenaga atau sesuatu fungsi untuk hal-hal yang berguna, definisi itu terlalu luas sehingga tidak menampakkan arti yang konkrit. Kalau dikatakan kerja adalah pemergunaan tenaga atau fungsi untuk mencari upah atau keperluan hidup, maka pengertian itu telah menurunkan kerja penciptaan yang dilakukan oleh Allah.

Karena sulit memberikan satu definisi yang konkrit tentang kerja di dalam Alkitab, maka Alan Richardson membedakan adanya tiga pengertian pokok tentang kerja sebagaimana terkandung di dalam Alkitab,  yakni:

                Pertama: Ada pekerjaan penciptaan, yang hanya dikenakan kepada Allah saja. Pekerjaan penciptaan inilah yang membedakan pekerjaan Allah dari pekerjaan manusia. Yang dimaksud dengan pekerjaan penciptaan adalah pekerjaan menjadikan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada.

                Kedua: Ada kerja manusia, yakni seluruh jenis kerja yang dilakukan oleh manusia, mulai dari tingkat pemerintahan, sampai kerja yang sekecil-kecilnya, seperti menebang kayu atau mengangkat air. Bagaimana pengertian dari kerja manusia itu akan diuraikan lagi pada bagian selanjutnya.

                Ketiga : Ada pekerjaan Kristus, sebagai karya penyelamatan Allah terhadap manusia, sebagaimana dinyatakan khusus di dalam Perjanjian Baru ( Fil. 2: 30).

                                Yang diuraikan dalam tulisan ini hanyalah menyangkut kerja manusia, karena masalah kerja manusialah yang perlu ditinjau dari sudut etos Kristen. Tentang pekerjaan Allah dan pekerjaan Kristus adalah menyangkut bidang Dogmatika.

 

1.2.  Kerja sebagai tugas hakiki manusia       

                       Dalam berita penciptaan manusia ( Kej. 1: 26-28)  dikatakan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya (Imago Dei). Itu berarti bahwa hakekat manusia terletak di dalam kesegambarannya dengan Allah. Penciptaan manusia menurut Gambar Allah, mempunyai maksud dalam rencana Allah yang lebih jauh tentang pemanfaatan ciptaan-Nya itu, yakni agar manusia diberi tugas untuk menguasai dan memelihara alam semesta yang telah diciptakan oleh Allah.

                                Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi." Kej.1: 26). ... “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu” ( Kej. 2: 15).

 

                                Allah menciptakan manusia sebagai gambar-Nya, berati Dia menempatkan manusia di dunia ini sebagai tiruan Allah3). Karena Allah yang menciptkan manusia itu adalah Allah yang bekerja, maka manusia gambar-Nya itu akan menjadi manusia yang bekerja. Sifat Allah sebagai Pekerja juga diturunkan kepada  manusia, walaupun kerja manusia berbeda dari kerja Allah. Allah adalah Pencipta dan pemilik lapangan pekerjaan manusia, sedang manusia hanyalah sebagai pengusaha dan pemelihara dalam batas-batas kekuasaan yang diperoleh dari Allah. Manusia memperoleh hak sebagai pekerja bukan dari dirinya atau dari alam, melainkan dari Allah, yakni dalam  keberadaannya sebagai gambar Allah.

                                Kalau hakekat manusia ada dalam kesegambarannya dengan Allah, maka tugas kerja yang dinyatakan dalam kesegambarannya itu, tidak bisa dipisahkan dari hubungan manusia dengan Allah. Kerja adalah bersumber dari Allah, yang berarti bahwa kerja adalah tugas mulia, bukan kutuk, bukan kehinaan, sebagaimana terdapat dalam filsafat Yunani kuno, dan pandangan beberapa agama lain di dunia ini, seperti dalam agama Hindu, Budha dan Taoisme di Jepang4).

                                Menurut pemikiran Plato dan Aristoteles dalam filsafat dan agama Yunani kuno, dunia diciptakan oleh allah yang lebih rendah yang disebut Demiurgos. Pekerjaan penciptaan dunia tidak layak dikerjakan oleh Allah Yang Maha Tinggi, karena dia dibayangkan sebagai “deus otiosus” atau Allah yang tidak bergerak dan tidak mencampuri urusan-urusan dunia. Karena itu segala pekerjaan yang menyangkut dengan dunia materi adalah pekerjaan yang hina dan rendah.  Bagi Agama Hindu, kerja adalah suatu penjara yang mengikat manusia di dunia ini. Karena itu manusia dalam perjalanan hidupnya harus berusaha melepaskan dirinya dari penjara untuk bersatu dengan Brahma, sehingga bebas dari segala kerja. Dalam Agama Budha, Nirwana digambarkan sebagai keadaan di mana tidak ada lagi kegiatan dan pergerakan. Keadaan tidak bergerak inilah digambarkan sebagai suatu kebahagiaan. Sedangkan hidup dengan kerja adalah suatu penderitaa.  Demikian juga dalam Taoisme, Tao yang digambarkan sebagai hal yang termulia adalah tidak berbuat dan tidak bekerja. Peraturan Etis dalam agama Tao ialah jangan berbuat5).

                                Pandangan Alkitab bertentangan dengan pandangan-pandangan itu. Taman Eden di mana manusia ditempatkan pada mulanya adalah tempat kerja. Di sana Allah menyuruh manusia untuk bekerja, tetapi bukan bekerja demi kerja itu, tetapi demi kemuliaan Allah.  Karena kerja sudah dimulai di Taman Eden, berarti tugas kerja sudah ada sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa. Karena itu tidak pada tempatnya, kalau dosa dianggap sebagai penyebab dari kerja manusia. Karena itu, kerja tidak bisa dipandang sebagai hal yang hina dan rendah. Memandang kerja sebagai hal yang hina dan rendah, terjadi hanya karena ingin melepaskan tanggung-jawab dari tugasnya sebagai pekerja, yang sekaligus ingin menghapus dirinya sebagai gambar Allah. Menghapus diri sebagai gambar Allah adalah merendahkan Allah sendiri dan merupakan perbuatan dosa. Dengan kata lain manusia tanpa kesudian untuk bekerja adalah manusia yang dikuasai oleh dosa.

1.3.  Kerja sebagai panggilan Allah  

                                Kerja adalah juga panggilan Allah dan seluruh manusia terpanggil untuk bekerja. Hal ini dinyatakan oleh Allah dalam pemberkatan Allah untuk tugas kerja itu. Dalam Kej. 1: 28, dikatakan: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Perkataan itu diucapkan oleh Allah pada waktu pemberkatan (pelantikan manusia) untuk tugas panggilan itu. Dengan pemberkatan itu Allah menyerahkan kuasa kepada manusia untuk menjalankan tugas pemerintahan di bumi, yakni membangun seluruh bidang penciptaan Allah dan mempergunakan hasilnya untuk kesejahteraan hidupnya, dan untuk kemuliaan Allah.

                                Tugas panggilan itu mencakup bidang yang sangat luas. Dari sanalah titik tolak manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi di kemudian hari. Dengan memberikan kuasa kepada manusia, berati Allah memberikan kemampuan kepada manusia untuk memeriksa, menyelidiki, mengerti, mengusahai dan mempergunakan seluruh bidang penciptaan Allah. Tetapi tugas itu bukanlah tugas yang gampang, dan bukan pula  suatu tugas yang tidak menimbulkan risiko yang berat. Karena menyadari itulah Allah menyampaikannya dalam suatu pemberkatan. Dengan pemberkatan itu,manusia juga diberikan kemampuan untuk beranak-cucu. Tetapi jangan salah dipahami, bahwa pengertian berkat di sini, bukan hanya ditandai oleh kemampuan untuk beranak cucu, sebagaimana dipakai orang sebagai dalih untuk beranak sebanyak-banyaknya. Kemampuan beranak cucu, tidak terlepas dari tugas dan tanggung-jawab panggilan tadi, yakni bekerja sebagai pembangun dunia dan bangsa. Manusia dengan segala kemampuan yang ada padanya, harus bertanggung-jawab kepada Allah. Kuasa dan kemampuan itu tidak bisa dipergunakan secara sewenang-wenang, hanya mencari kepuasan dan kehormatan sendiri, melainkan harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah untuk kemuliaan nama-Nya.

                                Namun setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, ketamakan dan kecongkakan telah berkuasa di dalam diri manusia. Manusia tidak puas hanya sebagai gambar Allah, melainkan ingin seperti Allah (Kej. 3: 1-7). Manusia memberontak kepada Allah dan tidak mau menuruti kehendak-Nya, hanya menuruti kemauan sendiri. Akibatnya kerja itu semakin sulit dilaksanakan, dan menimbulkan banyak kesusahan. Kesusahan itu bukan hanya mengenai dirinya, tetapi juga mengenai sesama manusia dan lingkungan sekitarnya.

                                Tetapi Yesus Kristus telah datang untuk membebaskan manusia dari seluruh kesusahan yang ditimbulkan oleh kerja manusia itu. Dia mengembalikan manusia kepada hakekat kerja yang sebenarnya, di mana Dia bekerja untuk kemuliaan Allah dan kesejahteraan seluruh umat manusia. Arti kehadiran Yesus di dunia ini jelas demikian, sebagaimana dinyanyikan oleh para malaekat sorgawi bagi gembala-gembala di ladang Efrata: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera  di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk. 2: 14).

                                Sepanjang zaman usaha-usaha pembaharuan terhadap arti kerja manusia terus menerus dilakukan oleh Kristus. Tetapi tuga itu juga telah diserahkan oleh Kristus kepada gereja dan seluruh orang Kristen. Maka setiap orang Kristen terpanggil untuk memberi teladan, bagaimana sikap dan cara yang baik tehadap kerja, bagi sesama manusia.

                                Pemahaman kerja sebagai panggilan Allah juga turut diperbaharui oleh para reformator gereja. Martin Luther dan Calvin, sangat menaruh perhatian yang besar terhadap masalah kerja sebagai panggilan Allah. Mereka mengatakan bahwa manusia terpanggil untuk bekerja, dan masing-masing harus mempertanggung-jawabkan tugas panggilan itu kepada

Allah. Menurut Martin Luther ada tiga lembaga dalam kehidupan manusia, yang dipergunakan oleh Allah sebagai saluran menyampaikan tugas panggilan itu, sehingga setiap orang yang memasuki lembaga itu, harus diberkati oleh Allah melalui gereja, agar mereka merasa bertanggung-jawab atas pekerjaannya6). Ketiga lembaga itu ialah keluarga atau orangtua, pemerintah dan gereja. Setiap orang tua terpanggil untuk bekerja dengan sungguh-sungguh untuk membutuhi  hidup keluarganya. Pemerintah terpanggil untuk memimpin dan membimbing bangsanya kepada kehidupan yang lebih baik, karena pemerintah adalah alat Tuhan untuk mensejahterakan bangsanya7). Demikian juga gereja  terpanggil melayani umatnya dan memberitakan Injil, yang untuk ini Allah memberi kekuatan, agar gereja mampu menjalankan tugas panggilannya8).

                                Dengan demikian setiap kerja yang sampai kepada manusia adalah panggilan Allah, baik di bidang kerohanian, maupun di bidang sekuler. Pekerjan kerohanian bukanlah suatu pekerjaan yang lebih tinggi dari pekerjaan lainnya. Seseorang akan mengerjakan pekerjaannya dengan baik, bila dia menghayati bahwa dia dipanggil oleh Allah untuk mengerjakan pekerjaan itu9). Karena itu, setiap orang harus sadar bahwa dengan pekerjaannya itu, dia turut masuk ke dalam rencana Allah. Ini berati bahwa setiap orang bersama pekerjaannya harus berada di dalam Allah dan ditujukan kepada  Allah. Seperti dikatakan oleh Rasul Paulus: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” ( Roma 11: 36).

                                Tetapi disayangkan bahwa masih banyak orang yang menganggap bidang pekerjaannya sehari-hari, tidak bersangkut paut dengan campur tangan Allah. Yang dianggap masuk ke dalam ruang lingkup Kerajaan Allah, hanyalah pekerjaan yang bersifat gerejawi saja, sedangkan pekerjaannya dari hari Senen sampai hari Sabtu adalah di luar Kerajaan Allah. Inilah salah satu sebabnya, maka banyak orang yang tidak merasa takut melanggar kehendak Allah dalam pekerjaannya, dengan melakukan berbagai penipuan, koruksi, dll. Karena setiap kerja manusia adalah panggilan Allah, maka setiap orang senantiasa harus bertanya di dalam dirinya: “Apakah yang dikehendaki oleh Allah saya perbuat melalui pekerjaan saya?”.

 

2.       Tujuan Kerja

 

Tujuan kerja termasuk salah satu masalah kerja. Apakah tujuan kerja itu? Jawaban untuk ini bisa berbeda-beda, tergantung kepada pemahaman seseorang tentang tujuan kerja yang sampai kepadanya. Secara umum, banyak orang menganggap bahwa tujuan kerja adalah untuk mencari makan atau nafkah. Tujuan kerja memang tidak bisa dipisahkan dari tujuan hidup. Kalau tujuan hidupnya dianggap hanya untuk makan, maka tentu saja tujuan kerjanya adalah untuk mencari makan.

Dari sudut kekristenan tujuan hidup adalah jauh ke depan, ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh penglihatan mata ( 1 Kor. 2: 9). Inilah pengharapan Kristen. Dan yang mendorong perjalanan hidup orang Kristen untuk bisa sampai ke sama adalah iman. Karena itu iman dan pengharapan tidak bisa dipisahkan satu-sama lain ( Ibrani 11:1).

Demikian juga dengan kerja, ada motivasi kerja dan ada tujuan kerja. Ke duanya tidak bisa dipisahkan satu-sama lain. Yang mendorong (motivasi) orang Kristen untuk bekerja  bukanlah suatu kekuatan dari dalam dirinya, melainkan kekuatan dari dalam, yakni anugerah Allah10). Tetapi Allah dengan anugerahnya, bukan hanya mendorong orang Kristen untuk bekerja, tetapi juga memberikan tujuan yang pasti dari kerja itu. Karena motivasi kerja tidak terlepas dari tujuan kerja, maka di sini juga diberi tinjaun mengenai motivasi kerja.

Setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, motivasi kerja manusia turut dirusak oleh dosa itu. Oleh dosa maka hubungan manusia dengan sesamanya menjadi terputus. Karena itu motivasi dan tujuan kerja menjadi terpusat kepada diri manusia itu.  Yakni dari dia, oleh dia dan untuk dia. Menurut J.Verkuyl, ada tiga motivasi kerja yang perlu diketahui setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa, yaitu11):

                Pertama: kerja karena gila hormat dan keangkuhan. Seseorang berambisi melakukan suatu pekerjaan, karena ingin mendapat kehormatan dari orang lain dan agar namanya juga termasyhur. Contoh untuk ini dapat dilihat dari cerita pembangunan Menara Babel, di mana anak-anak Nuh yang baru selamat dari air bah, berusaha membangun satu menara yang sangat megah, tanpa memikirkan berapa biaya dan tenaga yang terkuras untuk itu, hanya karena mereka ingin namanya termasyhur ke seluruh dunia sepanjang zaman ( Kejadian 11).

                Kedua: Karena rasa takut dan khawatir akan keselamatan dirinya. Pembangunan Menara Babel bukan hanya didorong oleh rasa keangkuhan dan gila hormat, tetapi juga oleh rasa khawatir akan keselamatan hidupnya. Menara Babel dibangun sebagai benteng pertahanan dan perlindungan diri mereka terhadap ancaman hukuman Allah di kemudian. Sampai sekarang rasa khawatir masih banyak menghantui kerja manusia sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam khotbahnya di bukit seperti tertulis dalam Matius 6: 24-34. Manusia bekerja mati-matian karena khawatir akan hidupnya terancam oleh bahaya kelaparan, kemiskinan, penyakit dan maut.

                Ketiga: Kerja karena ketamakan, mammonisme dan hasrat untuk menjadi kaya ( Mat. 9: 19-24; 1 Tim. 5: 6-10; Yak. 5: 1-6). Karena tamak akan harta atau mammon, seorang bekerja keras membanting  tulang sepanjang hari. Dia bekerja demi harta, demi kekayaan, demi mammon, sehingga harta dan mammon ditempatkan dalam tingkat yang sama dengan Allah.

                                Ke tiga motivasi ini pada hahekatnya sama dan berkaitan satu sama lain. Ke tiganya bukan saja merupakan sikap mental yang merusak kehidupan manusia.  Kalau begitu bagaimana tujuan kerja menurut kekristenan? P.D.Latuihamallo pernah mengatakan, bahwa segala kehidupan Kristen yang menyangkut dengan etika hidup, harus didasarkan atas kasih yang mendamaikan12). Dalam hubungannya dengan masalah kerja, itu berarti bahwa tujuan kerja harus didasarkan atas kasih yang mendamaikan, yakni kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia sebagaimana kasih kepada diri sendiri.

                                Untuk memahami lebih luas mengenai tujuan kerja, kembali kepada nats Alkitab dalam Kejadian 1: 28, di mana manusia dalam kerjanya dilibatkan dalam tiga hubungan, yakni hubungan kepada Allah, hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan alam atau lingkungan13).  Ke tiga hubungan ini harus dipelihara secara serentak, selaras dan harmonis, namun sifat dari masing-masing hubungan berbeda. Tujuan kerja itu terletak di dalam pemeliharaan ke tiga hubungan itu.

 

2.1. Kerja untuk kemuliaan Allah

 

Dalam hubungan kepada Allah manusia harus menyadari bahwa dia memperoleh kerja itu dari Allah, yang karena itu dia harus mengerjakan segala tugas dan pekerjaannya untuk kemuliaan Allah semata-mata. Manusia dalam segala tindak-tanduknya harus selalu mengutamakan kepentingan Allah, bukan kepentingan dirinya. Namun mengatamakan kepentingan Allah bukan berarti mengabaikan kepentingan manusia begitu saja. Karena dalam setiap kerja, apabila sudah mengutamakan kepentingan Allah, dengan sendirinya kepentingan manusia pasti terjamin. Oleh karena itu setiap kerja manusia harus disorot oleh terang kerja Allah, dan pelaksanaannya juga harus diatur oleh kehendak Allah.

Di dalam Alkitab bisa juga dilihat bahwa kerja Allah senantiasa didorong oleh kasih, dengan suatu tujuan untuk kemuliaan nama-Nya dan kesejahteraan hidup manusia. Allah memberikan kerja kepada manusia karena Dia kasih akan manusia itu. Dengan kasih, Allah memberikan budi, daya dan waktu agar manusia dapat berkreasi di bumi ini, sehingga dari dalamnya dia dapat memenuhi kebutuhan hidup dan sesamanya. Adalah penghinaan kepada Allah, apabila manusia mengabaikan kasih itu begitu saja. Manusia  dituntut untuk selalu mensyukuri kasih Allah dengan rasa yang sedalam-dalamnya dan dengan cara kesungguhan kerja, penuh tanggang-jawab kepada Allah Penciptanya. Seorang dapat memperoleh nikmat kebahagiaan dari hasil kerjanya sehari-hari, hanyalah jika dia senantiasa mempunyai persekutuan yang erat dengan Allah. Karena itu kerja manusia harus berlandasakan hukum kasih: “mengasihi Allah dengan sebulat hati, dengan segenap jiwa dan dengan sepenuh akalbudi” )Mat. 22: 37).

 

2.2.  Kerja sebagai kasih kepada sesama manusia

 

Manusia diciptakan oleh Allah dalam keberadaan sebagai manusia yang bersekutu dengan sesama manusia. Allah mengatakan, tidak baik manusia hidup seorang diri saja (Kej. 2: 18), maka Allah menciptakan perempuan menjadi teman hidup laki-laki dengan ikatan perkawinan. Adalah tidak terbayangkan bagaimana sedih dan susahnya hidup manusia di bumi ini, jika hidup seorang diri. Dalam Kitab Pengkhotbah, dikatakan bahwa hidup sendirian, tanpa anak, saudara dan teman adalah hidup yang sia-sia ( 4: 7-12).

Kala Allah membentuk perkawinan, juga diharapkan bahwa dari perkawinan itu akan lahir keturunan mereka (Kej. 1: 28) dan dengan demikian terjadilah hidup persekutuan manusia. Hidup persekutuan manusia adalah manifestasi persekutuan manusia dengan Allah. Sebagai manusia yang hidup bersekutu, manusia saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kerja, manusia juga harus berjumpa dengan sesama manusia. Tetapi dalam hubungan kerjapun, manusia harus menempatkan sesamanya dalam dimensi kemanusiaan, yang mempunyai status yang sama sebagai gambar Allah. Seluruh manusia adalah sama di hadapan Allah. Siapaun itu manusia tidak boleh dinilai dari penilaian ekonomis, atau dari hasil kerjaya secara material. Sikap sperti itu bukanlah sikap orang Kristen, melainkan sikap penganut komunisme.  Sikap demikian bukan saja merupakan penghinaan kepada sesama manusia, tetapi juga penghinaan kepada Allah. Dalam faham komunisme, manusia hanya dianggap sebagai pekerja semata-mata, dan martabat manusia hanya dinilai dari apa yang dapat ia perbuat dan kerjakan14). Sedang dalam kekrsitenan, landasan hubungan kepada sesama manusia, termasuk yang menyangkut hubungan kerja, adalah hukum kasih itu sendiri, yakni mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri ( Mat. 22: 39).

Atas dasar kasih, maka kerja manusia bertujuan untuk menolong sesama manusia yang berkekuarangan. Rasul Paulus sering menasehatkan agar setiap manusia rajin dan giat bekerja, tujuannya adalah agar kejahatan berkurang dan dapat membantu yang berkekurangan ( Efes. 4: 28). Tetapi walaupun di dalam pengertian kerja terkandung sikap dan kesudian untuk menolong orang yang berkekuarangan, itu bukanlah memberi peluang bagi orang yang hanya ingin hidup mengemis. Hidup mengemis yang hanya menggantungkan hidupnya dari hasil meminta-minta kepada sesama manusia, adalah sikap dan cara hidup yang tidak dikehendaki oleh Allah. Orang Kristen harus menghindarkan sedapat mungkin agar hidupnya jangan sampai menjadi beban bagi sesama manusia. Rasul Paulus, walaupun dia sebenarnya berhak hidup dari persembahan umat Kristen, karena dia seorang rasul, berusaha sedapat mungkin jangan menjadi beban bagi sesamanya. Dia bekerja dengan tangannya sebagai tukang tenun kain kemah ( Kis. 20: 33-35). Tetapi dengan perbuatannya itu Paulus tidak bermaksud untuk mengubah apa yang sudah diaturkan dalam Alkitab, bahwa orang-orang yang secara khusus bekerja di rumah Allah ( kaum Lewi), tidak perlu lagi hidup dari persembahan umat Allah. Allah telah mengaturkan bahwa kaum Lewi atau imam hidup dari persembahan umat Allah ( Ulangan 18). Kalau Paulus berbuat demikian, tujuannya ialah untuk memberikan pengajaran dan tiruan, supaya setiap orang Kristen berusaha, jangan sampai menjadi beban bagi sesama manusia.

Namun di pihak lain, harus disadari bahwa di antara sesama manusia masih banyak dijumpai orang-orang yang lemah, yang lapar, yang sengsara, yang menderita dan yang tertindas. Membantu orang-orang seperti ini adalah tanggung-jawab orang Kristen.  Yesus Kristus mengatakan bahwa memberi pertolongan kepada salah seorang yang paling hina ini, adalah berarti memberi kepada Yesus sendiri ( Mat. 25: 31-46).

Tetapi harus tetap disadari juga, bahwa menolong orang tidak selamanya berarti memberi makan. Cara menolong dengan hanya memberi makan saja, dengan sendirinya telah mengajar orang untuk hidup meminta-minta saja. Menolong orang, mempunyai arti yang luas, itu termasuk dalam hal memberi tuntunan dan bimbingan kepada seseorang, agar dia mampu untuk dapat bekerja sendiri dengan segala kemampuan yang ada padanya, sehingga dari hasil kerjanya itu dia dapat membutuhi keperluan hidupnya.

 

2.3.  Kerja sebagai pemanfaatan, pemeliharaan dan penyelamatan sumber daya alam

 

Dalam Kitab Kejadian 1 dikatakan bahwa manusia diciptakan oleh Allah setelah alam semesta dan segala isinya selesai diciptakan. Itu berarti bahwa manusia dalam pekerjaannya harus behubungan dengan alam ciptaan Allah. Itu juga menunjukkan bahwa alam dan segala isinya bukanlah milik manusia tetapi milik Allah. Allah menempatkan manusia di tengah-tengah alam semesta yang begitu indah dan kaya itu, merupakan suatu karunia besar, karena manusia berkesempatan manikmati hasil karya Allah, di mana manusia itu diangkat menjadi raja yang berkuasa. Tetapi manusia tidak boleh menyalah-gunakan kuasa itu, untuk bertindak sesuka hati, bagaikan seorang raja yang lalim yang tidak sadar akan dirinya. Adalah tindakan sewenang-wenang misalnya, apabila ada orang yang merusak hutan menebangi pohon di sana dengan sesuka hati, hanya untuk memperkaya diri, tanpa berusaha untuk menanami pohon itu kembali. Risiko perbuatan itu sangat besar, yakni mengancam kehidupan berjuta-juta manusia, karena bahaya banjir akan mengancam, dan persediaan air akan berkurang.

Di zman tehnologi tinggi sekarangpun, membangun industri-industri besar di kota-kota  ataupun desa-desa, tanpa memikirkan bahaya pencemaran lingkungan akibat pembuangan lembah industri yang mengandung zat kimia begitu saja, hanya karena mengejar keuntungan yang besar, adalah suatu tindakan kecerobohan dan pendurhakaan kepada Allah.

Dalam pembangunan yang semakin banyak digiatkan dewasa ini, hubungan manusia dengan alam semakin banyak dibicaralan, dengan adanya satu kementerian yang mengurus masalah ligkungan hidup. Juga semakin sering terdengar bahaya banjir yang meraja-lela, khususnya di daerah-daerah hilir yang tanahnya landai, misalnya di kota Jakarta dan kota-kota lain lain. Kalau terjadi banjir banyak masalah yang timbul, misalnya masalah lalu-lintas, perdagangan, perkantoran dan pemukiman  yang terganggu, serta terjadinya pencemaran lingkungan. Juga banyak sungai yang tercemar dengan limbah industri yang beracun15). Banyak kota atau pemukiman yang mengantungkan kebutuhan air dari sungai-sungai tersebut. Sering juga terdengar, bahwa persediaan air bersih semakin sulit diperoleh, akibat kebutuhan air yang semakin bertambah, sedang persediaan alam semakin berkurang.

Semuanya ini terjadi karena kecerobohan kerja manusia. Alam begitu baik diciptakan oleh Allah, dengan tidak ada kekuarangan sesuatu apapun ( Kej. 1: 31). Di dalamnya Allah menempatkan manusia, bukan hanya sebagai penguasa, tetapi juga sebagai pemelihara ( Kej. 2: 15). Karena itu di antara pemakaian dan pemeliharaan harus berjalan secara seimbang. Allahpun bukan hanya menciptakan alam, tetapi juga memeliharanya dan pemeliharaan itu adalah suatu tanda dari “creatio continueata” (penciptaan berkesinambungan).

Di samping sebagai Pencipta dan Pemelihara, Allah juga bertindak sebagai Penyelamat dunia, yang dalam hal ini termasuk penyelamat alam ciptaan-Nya.  Sering dikatakan bahwa Kristus bukan hanya Tuhan dari gereja, tetapi juga Tuhan dari seluruh alam semesta.  Dalam Surat Roma 8: 19-22, dikatakan bahwa segala makhluk merindukan saat-saat anak-anak Allah dinyatakan. Langit dan bumi baru diciptakan oleh Allah ( Wahyu 21).  Kkalau Allah bertindak sebagai pemelihara dan penyelamat alam ciptaan-Nya, maka seluruh Kristen juga terpanggil untuk bekerja sebagai pemelihara dan melindungi kelestarian alam.

Tetapi sekarang ini gereja masih terlalu sedikit membicarakan masalah-masalah hubungan manusia dengan alam. Kalau dasar hidup orang Kristen adalah kasih, maka kasih itu juga harus menjadi dasar hubungannya dengan alam. Kalau dikatakan bahwa setiap orang harus mengasihi alam, itu tidak berarti bahwa alam harus dipuja, karena satu-satunya yang harus dipuja adalah Allah. Alam dapat diolah, dipergunakan, dipelihara dan diselamatkan untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, dengan tidak terpisahkan dari dasar kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama manusia.

 

3.       Jenis-jenis kerja

 

Akibat perkembangan budaya manusia, maka di dunia ini semakin banyak dijumpai jenis-jenis kerja. Di dalam Alkitab sendiri pun telah diperkenalkan adanya berbagai jenis pekerjaan manusia. Misalnya ada yang petani seperti Nuh (Kej. 9: 20), peternak seperti Abraham (Kej. 13, pengrajin tangan seperti Bezaleel dan Aholiab (Kel. 31: 1-5), nelayan seperti Petrus ( Mat.4: 18), pegawai seperti Zakeus (Luk. 19: 1-10). Tabib (dokter) seperti Lukas (Kol. 4: 14), kerja di Bait Auci seperti para imam.

Di dalam masyarakat desa jenis-jenis kerja belum begitu banyak. Sedang dalam masyarakat kota dijumpai banyak jenis kerja,, mulai dari petani, peternak, nelayan, kerja pabrik, kerajinan tangan, pedagang, pengangkutan, guru, dokter, pegawai, pemimpin-pemimpin oraganisasi dan lain. Timbulnya berbagai jenis pekerjaan itu juga menimbukan perubahan sosial dan cara hidup, serta sikap atau penilaian terhadap sesuatu jenis kerja pun juga menjadi berubah. Berikut ini akan dicoba diberi tinjauan kepada jenis-jenis kerja itu dan juga tinjauan terhadap sikap orang Kristen terhadap sesuatu jenis pekerjaan.

 

3.1.  Pembagian atau pengolompokan jenis-jenis kerja

 

Dahulu orang sering membagi jenis kerja itu dari segi fungsional, yakni menurut pemakaian fungsi dari bagia-bagian tubuh atau diri manusia itu. Dengan cara pembagian itu maka manusia dibagi-bagi sedikitnya atas empat kelompok, yakni: homo sapiens, homo ludens, homo laborans dan homo orans. Yang termasuk kepada “homo sapiens”, ialah golongan manusia yang dalam pekerjaannya banyak mempergunakan fungsi otak, seperti para sarjana, tehnikus dan pimpinan sesuau badan. Kelompok kedua yakni “homo ludens”, adalah golongan manusia yang dalam kerjanya banyak mempergunakan fungsi perasaan halus, seperti seniman, penyanyi, musikus, dll. Kelompok ketiga yakni homo laborans, yakni golongan manusia yang dalam kerjanya banyak mempergunakan tenaga tangan atau fysik. Golongan ini sering juga disebut sebagai pekerja kasar, seperti buruh dan petani.  Di samping itu ada juga disebut “homo orans”,  yakni golongan manusia yang dalam kerjanya banyak mempergunakan fungsi kerohanian, seperti imam, biarawan-biarawati atau rahib-rahib.

Cara pembagian kerja seperti ini agaknya bersifat subjektif, karena mennjolkan fungsi dari bagian-bagian tubuh manusia, dan di dalamnya tidak nampak hubungan dengan luar dirinya. Bahayanya ialah akan bisa terjadi penilaian yang berlebihan akan kerja sesuatu fungsi tubuh itu, misalnya dengan mengatakan bahwa kerja otaklah yang paling berharga, dan merendahkan kerja lain yang banyak mempergunakan fungsi tangan atau tenaga badan.

Sebenarnya semua kerja membutuhkan pemakaian seluruh  fungsi tubuh tersebut, walaupun dalam batas-batas kemampuan tertentu. Karena pada dasarnya semua fungsi itu adalah satu kesatuan, dan saling melengkapi satu-sama lain, Nilai sesuatu kerja tidak bisa diukur hanya dari pemanfaatan salah satu fungsi tertentu, melainkan dalam satu kesatuan, yakni kesatuan tubuh, sebagaimana diterangkan oleh Paulus dalam 1 Korintus 12.

Cara pembagian kerja yang lain ialah berdasarkan lapangan kerja yang dikerjakan, sebagaimana diuraikan oleh J.Verkuyl. Dia membagi lapangan kerja atas empat bagian17), yakni:

                Pertama ialah kerja di lapangan produksi primer, yakni segala kerja manusia yang mengeluarkan bahan mentah atau bahan makan dari alam, seperti petani, peternak, penanam hutan, perkebunan, nelayan dan pertambangan.

                Kedua ialah kerja di lapangan produksi sekunder, yakni segala kerja yang mengolah bahan mentah dan bahan makanan menjadi hasil yang dapat dipakai dan dimakan, seperti: kerja kerajinan tangan, karyawan pabrik atau industri, dll.

                Ketiga ialah kerja di lapangan distribusi, seperti perhubungan, perdagangan, bank, dll.

                Keempat ialah kerja di bidang pelayanan khusus kemanusiaan, seperti dokter, juru-rawat, mahaguru, guru, pengacara, hakim, seniman, penyanyi, ibu rumah tangga, dll.

                                Pembagian seperti ini sekarang ini lebih bisa diterima, karena sifatnya lebih objektif dan lebih konkrit menunjukkan jenis pekerjaan itu.

3.2.  Penilaian terhadap jenis-jenis kerja

 

3.2.1.        Kerja di lapangan produksi primer

 

Banyak orang menganggap bahwa jenis kerja ini adalah pekerjaan yang hina dan rendah, karena dianggap sebagai pekerjaan yang kasar. Akibat pengaruh filsafat Yunani, banyak orang menganggap pekeraan ini sebagai pekerjaan hamba dan budak belian. Dan menurut orang Hindu, jenis kerja ini adalah pekerjaan kasta yang paling rendah.

Di Indonesia pengaruh pandangan itu masih banyak dijumpai. Masih banyak orang yang enggan bekerja sebagai petani, peternak, nelayan, khususnya di kalangan generasi muda. Banyak pemuda yang meninggalkan desanya, dan pergi mencari kerja di kota, karena enggan bekerja sebagai petani atau peternak di desanya, walaupun pekerjaan itu masih memungkinkannya untuk berkembang di sana18).

Tetapi menurut Alkitab jenis pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat mulia. Pekerjaan petani, peternak atau bahkan perikanan adalah jenis pekerjaan yang asli dari manusia19). Banyak tokoh Alkitab yang diperkenalkan sebagai petani ( Habel, Nuh), peternak ( Abraham, Yusuf, Daud, Amos), sebagai nelayan ( Petrus dan beberapa murid Yesus) dan Palestina  tempat tinggal umat Allah adalah daerah pertanian dan peternakan.

 

3.2.2.        Kerja di lapangan produksi sekunder

 

Dalam pembangunan ekonomi bangsa Indonesia, lapangan kerja ini giat ditingkatkan, yakni di sektor industri, yang mengolah sekaligus menunjang hasil-hasil pertanian20). Tetapi masih banyak juga yang menganggap lapangan kerja ini sebagai pekerjaan yang hina. Orang masih banyak yang enggan bekerja sebagai karyawan pabrik atau industri, bahkan bekerja sebagai pengrajin tangan, khususnya kaum pria. Barangkali salah satu faktor penyebabnya adalah karena upah kerja sebagai karyawan pabrik atau industri masih rendah. 

Di dalam Alkitab, jenis pekerjaan yang banyak disinggung, sehubungan ini dengan lapangan kerja ini adalah pekerjaan kerajinan tangan. Kata Ibrani yang banyak dipakai untuk menunjukkan pekerjaan ini adalah “malaka”, suatu perkataan yang ada hubungannya dengan pekerjaan kudus dari Allah21). Bezaleel dan Aholiab adalah pengrajin tangan, tetapi mereka dipercayakan oleh Allah memimpin pembangunan kemah suci (Kel. 31: 6). Jemaat-jemaat asal Yahudi di perantauan kebanyakan hidup dari hasil industri kerajinan tangan. Paulus misalnya hidup sebagai tukang tenun kain kemah, dan dia tidak malu dengan pekerjaan itu, walaupun dia seorang rasul (Kis. 20: 34-35). Tuhan Yesus sendiri, sebelum memulai pekerjaannya sebagai Mesias bekerja sebagai tukang kayu bersama Yusuf.

 

3.2.3.        Kerja di lapangan distribusi

 

Lapangan pekerjaan ini belum banyak dibicarakan dalam Alkitab. Ini dapat dimengerti karena kehidupan orang-orang Israel dan orang-orang Kristen mula-mula, belum banyak terlibat dalam urusan perdagangan dan perhubungan lalu-lintas. Barulah di kemudian hari bersama-sama dengan kemajuan manusia itu sendiri, lapangan pekerjaan ini mendapat tempat yang sangat penting. Peranan perdagangan, perbankan, dan sarana angkutan lalu-lintas, semakin besar artinya dalam kemajuan perekonomian sesuatu bangsa.

Tetapi bagaimanakah sikap Kristen terhadap lapangan pekerjaan ini? Walaupun pekerjaan ini belum banyak dibicarakan dalam Alkitab, tetapi bisa diyakini bahwa pekerjaan ini adalah berasal dari Allah. Adanya pekerjaan ini adalah karena saling ketergantungan manusia, termasuk saling ketergantungan di bidang ekonomi22). Dari Sejarah Gereja bisa dilihat bahwa Allah juga mempergunakan para pedagang untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia, misalnya VOC yang menyebarkan Injil di Maluku, Srilangka dan Taiwan pada abad 1723). Martin Luther, walaupun berasal dari keluarga petani, menganggap pekerjaan berdagang sebagai pekerjaan yang ditetapkan oleh Allah24). Dan Calvin, seorang ahli hukum, yang banyak hidup di kota perdagangan Jenewa, juga menganggap pekerjaan di bidang perdagangan, lalu-lintas dan keuangan sebagai pekerjaan yang berguna di tengah-tengah masyarakat, jika di sana Kristus dibiarkan memerintah sebagai Tuhan25).

 

3.2.4.        Kerja di bidang pelayanan khusus kemanusiaan

 

Jenis pekerjaan ini banyak dibicarakan dalam Alkitab. Tetapi itu tidak berarti bahwa jenis pekerjaan ini lebih baik dan lebih berharga dari jenis pekerjaan yang lain. Pekerjaan ini juga termasuk pekerjaan yang sudah dipengaruhi oleh dosa. Misalnya, Allah sering mengecam raja dan pemimpin-pemimpin keagamaan Israel karena mereka sering berpura-pura melayani sesama manusia, tetapi sebenarnya hanya melayani diri-sendiri, karena memeras sesamanya, bagaikan serigala yang buas yang menerkam mangsanya (Yer.23; Kel. 33: 24; Zakh. 11: 5).

Di setiap bangsa, bekerja sebagai pemimpin, sebagai pejabat, sebagai dokter, sebagai hakim, sebagai jaksa, sebagai guru, bahkan sebagai pendeta, dianggap sebagai pekerjaan yang terhormat. Tetapi menurut kesaksian Alkitab, seluruh jenis pekerjaan sama nilainya di hadapan Allah. Di bidang manapun seseorang bekerja, haruslah diyakini bahwa  Tuhanlah menempatkannya di bidang pekerjaan itu, sehingga dia bekerja dengan setulus hati, supaya dapat membuahkan hasil bagi kemuliaan Allah dan kesejahteraan bagi hidup bersama. Seluruh warga kerajaan Allah adalah satu kesatuan, yang dapat dipergunakan Allah untuk mendukung pertumbuhan kerajaan-Nya di dunia ini.

 

4.       Cara-cara kerja

 

Yang dimaksud dengan cara kerja ialah cara bagaimana  sesuatu pekerjaan dikerjakan dengan sebaiknya,  agar dapat membuahkan hasil yang baik. Karena itu cara kerja juga sangat perlu diperhatikan dari sudut etos Kristen. Kualitas sesuatu pekerjaan, sangat banyak ditentukan oleh faktor bagaimana caranya pekerjaan itu dikerjakan. Dalam kekristenan cara mengerjakan sesuatu pekerjaan sangat diutamakan, yang berbeda dengan faham komunis. Karena menurut penganut   faham komunis, yang mengutamakan hasil produksi kerja, dan yang mengukur hasil kerja itu dari nilai materielnya,  tidak mempersoalkan cara-cara kerja, karena bagi mereka hasil produksi dapat menghalalkan segala cara26).

Dalam kekristenan, segala sesuatu perbuatan harus mengalir dari iman. Imanlah yang selalu menggerakkan cara kerja yang baik, dan cara kerja yang baik akan membuahkan buah yang baik. Dalam kerja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang menyangkut cara-cara kerja yang baik, yaitu:

 

4.1.  Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan penuh kesetiaan dan ketabahan.

 

Sering berpindah-pindah kerja dari satu pekerjaan yang satu ke pekerjaan yang lain, bukan cara kerja yang baik dari seorang Kristen. Dengan sering berpindah-pindah kerja adalah suatu pertanda, bahwa yang bersangkutan tidak menunjukkan kesetiaan dan ketabahan terhadap pekerjaan yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Seseorang juga tidak mungkin bisa makin matang dan cakap terhadap sesuatu pekerjaan, apabila dia sering berpindah-pindah kerja. Berusaha supaya makin matang dan cakap dalam bidang pekerjaannya, adalah sikap dan cara kerja yang baik dari seorang Kristen.

 

4.2.  Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan sebulat hati

 

Bekerja dengan sebulat hati berarti bekerja dengan tenang, tulus dan bersungguh-sungguh. Rasul Paulus menasehatkan orang-orang Kristen di Tessalonika supaya bekerja dengan sebulat hati dan tetap tenang dalam pekerjaannya (2 Tes. 3: 12). Seseorang yang banyak bergerak dalam berbagai jenis pekerjaan, tidak mungkin dapat bekerja dengan tenang dan sebulat hati, karena hati dan fikirannya pasti bercabang-cabang. Ada pepatah Latin mengatakan: “Non multa, sed multum”, yang artinya : ‘bukan mengerjakan banyaknya macam pekerjaan, melainkan mengerjakan satu macam pekerjaan dengan sebanyak-banyaknya”27).

 

4.3.  Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan kerajinan

 

Kemalasan bekerja adalah sikap yang tidak dikehendaki dalam Alkitab. Di dalam Alkitab sering dijumpai adanya peringatan terhadap orang=orang yang malas bekerja, karena kemalasan merusak pekerjaan, mendatangkan kemiskinan dan banyak terbuatan kejahatan (Amsal 6: 6-19; 22: 13). Sedangkan kerajinan bekerja sangat banyak mengurangi perbuatan kejahatan yang sia-sia. Paulus mengatakan bahwa orang yang tidak tertib hidupnya, dan malas bekerja sering sibuk dengan hal-hal yang tidak berguna ( 2 Tes. 3: 11). Dikatakan, orang yang tidak mau (malas) bekerja janganlah ia makan ( 2 Tes. 3: 10).

 

4.4.  Setiap kerja membutuhkan disiplin kerja

 

Yang dimaksuddengan disiplin kerja ialah keteraturan pemakaian waktu yang tersedia

dengan seefisien mungkin, di mana ada waktu kerja dan ada waktu istrirahat. Waktu adalah pemberian Tuhan yang tidak ternilai harganya, karena itu pemakaiannya harus juga dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan. Tetapi nilai waktu tidak baik diukur dengan uang. Penilaian waktu dengan uang, bukan bersumber dari Alkitab, melainkan dari roh kapitalisme negara-negara Barat. Salah satu roh kapitalisme itu ialah pandangan yang mengatakan: “waktu itu adalah uang”28).

                Masalah tentang pemakaian waktu ini ialah: berapa lamakah dari waktu yang tersedia itu sebaiknya dipergunakan untuk bekerja dalam satu hari? Masalah ini tidak dipersoalkan dalam Alkitab, tetapi di kemudian hari setelah terjadi perubahan sosial yang cepat. Di dalam Alkitab hanya dipergunakan bahwa waktu siang adalah waktu yang dipergunakan untuk bekerja, dan waktu malam dipergunakan untuk istirahat (bd. Maz. 104; 22f; Yoh. 9L 4). Tetapi berapa lama dari waktu siang itu dipergunakan untuk bekerja tidak disebutkan. Yang jelas diketahui dalam Alkitab ialah bahwa waktu itu harus dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Menyianyiakan waktu yang tersedia adalah kebodohan dan perbuatan dosa29).

                Namun demikian, karena perubahan zaman, masalah lamanya bekerja dalam satu hari harus dibicarakan secara serius. Manusia bukanlah hamba dari waktu, sebagaimana manusia bukan hamba dari kerja. Tetapi tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menguraikan masalah-masalah itu dengan panjang lebar. Hanya yang perlu diingat bahwa banyak faktor yang menyangkut kemanusiaan perlu diperhatikan dalam menentukan lamanya waktu kerja itu, antara lain fator psykhologis, medis, keagamaan,  di samping fator ekonomis yang memang tidak kurang pentingnya.

                Yang sangat perlu dibicarakan sesuai dengan topik tulisan ini menyangkut disiplin kerja ialah perlunya waktu istirahat yang cukup. Di dalam Alkitab perlunya waktu istirahat yang cukup sangat diperhatikan sekali. Di samping adanya waktu istirahat pada malam hari, peranan hari Sabat sebagai waktu istirahat sangat diwajibkan dalam Alkitab (Kel. 20: 8-10; Ul. 5:12-15) dan itu termasuk salah satu hukum Allah. Hari Sabat adalah hari yang dikuduskan Allah untuk menjadi hari perhentian dari segala pekerjaan sebagaimana Allah juga berhenti pada hari itu dari segala pekerjaan-Nya (Kej. 2: 2-3). Tetapi tanpa mengurangi makna hari itu sebagai hari perhentian, gereja Kristen telah mengubah hari Sabat menjadi hari Minggu, karena hari Minggu adalah hari kemenangan Kristus dalam pekerjaan-Nya sebagai Juru-Selamat dunia.

                                Dari latar-belakang Perjanjian Lama, istirahat Sabat mengandung aspek kemanusiaan, di mana seluruh pekerja, para hamba, orang asing, dan juga binatang-binatang membutuhkan hari istirahat. Tetapi di samping aspek kemanusiaan,  makna hari itu juga mengandung aspek keagamaan. Allah menghendaki agar umat-Nya mengenal waktu istirahat, badani dan rohani, agar umat-Nya jangan menjadi hamba kerja. Karena itu hari yang dikuduskan itu perlu diisi dengan persekutuan dengan Allah, melalui Firman-Nya. Melalui persekutuan itu umat-Nya senantiasa diingatkan oleh Allah, bahwa hidup manusia bukan bergantung kepada hasil kerjanya, tetapi bergantung kepada kuasa Allah. Allahlah yang berkuasa atas kerja manusia. Dalam Amsal 16: 9 dikatakan: “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya”. Melalui persekutuan dengan Allah, umat-Nya  dibebaskan dari rasa takut dan khawatir akan keselamatan hidupnya, dan juga dibebaskan dari rasa ketamakan untuk mengejar harta duniawi. Dengan kata lain, persekutuan dengan Allah akan menumbuhkan iman, rasa damai, ketenangan dan ketaatan yang baru kepada Allah.

                                Tetapi persekutuan dengan Allah tidak hanya berlangsung pada hari Minggu saja. Setiap hari umat-Nya harus bersekutu kepada Allah dalam doa, baik doa pribadi, maupun dalam doa keluarga. Peranan doa begitu besar dalam kehidupan ini. Tuhan Yesus sendiri sering mengasingkan diri ke tempat-tempat yang sunyi untuk berdoa. Tetapi hidup ini tidak cukup hanya berdoa, melainkan dituntut juga untuk aktif bekerja. Itulah sebabnya Martin Luther mengatakan: “Ora et labora”,  berdoa dan bekerja.

 

4.5.  Setiap kerja membutuhkan penghargaan dan upah yang layak

 

Kerja adalah salah satu jalan yang dipergunakan oleh Allah untuk membutuhi hidup umat-Nya. Karena itu setiap kerja mengharapkan adanya upah yang layak, yang dapat dipergunakan sang pekerja untuk membutuhi keperluan hidupnya sehari-hari. Kerja tanpa upah yang layak adalah suatu bentuk perhambaan. Sebagaimana dikatakan oleh Werner Elert: “The demonization of labor without proper reward is slavery”30).

Di dalam Alkitab, masalah upah kerja banyak mendapat perhatian. Dikatakan misalnya bahwa seorang majikan tidak boleh menahan upah pekerja hariannya, karena tindakan seperti itu adalah pemerasan hakl setiap orang (Imamat 19: 13; Ulangan 24: 14-15). Masalahnya ialah berapakah upah yang layak dan adil bagi seorang pekerja tertentu? Banyak teori yang diperbuat orang untuk memecahkan masalah ini. Menurut teori liberal,  besarnya upah bergantung kepada “pasaran kerja”. Apabila dalam “pasaran kerja”, banyak ditawarkan tenaga kerja, maka upah kerja dapat dibayar dengan murah. Jika dalam pasaran kerja, hanya sedikit tenaga kerja yang ditawarkan, maka upah kerja pasti dinaikkan31).

Selanjutnya menurut teori Marxisme, penetapan upah kerja adalah berdasarkan nilai tukar kerja, yang artinya: kwantitas kerja dikalikan dengan lamanya waktu kerja. Dan cara menentukan nilai tukar itu ialah dengan jalan menghitung harga barang-barang yang diperlukan pekerja dan keluarganya untuk dapat hidup, yakni keperluan pangan, sandang dan sewa rumah32).

Menurut ke dua teori ini, kerja manusia hanya dianggap sebagai barang dagangan. Nilai manusia hanya dianggap sebagai “homo laborans” (manusia yang bekerja) dan “homo economicus” (manusia ekonomi).  Dari sudut Alkitab, penetapan upah kerja hanya dari segi ekonomi saja, adalah tidak baik, karena kerja tidak bisa diukur dengan harga barang. Nilai kerja tidak bisa dipisahkan dari nilai manusia itu sendiri. Menurut Yer. 13: 12, nilai manusia tidak bisa diukur dengan emas tua dan emas Ofir. Menetapkan sesuatu upah yang adil dan layak, memang merupakan perbuatan yang sulit, karena sangat banyak faktor yang perlu diperhatikan, menyangkut hidup hakiki manusia itu, di samping pertimbangan paedagogisnya. Dan faktor yang terutama diperhatikan adalah kebutuhan hidup pekerja itu sebagaimana dia seorang manusia, jasmani, rohani dan batiniah. Karena itu juga menyangkut hidup keluarga, kebutuhan sosial dan kebutuhan keagamaan.

Tetapi juga sangat diperhatikan prestasi kerja yang dihasilkan. Adalah tidak patut, jika diberi upah yang sama bagi pekerja yang terlatih atau berpendidikan, berpengalaman, cakap, rajin, dengan pekerja yang tidak terlatih, tidak berpengalaman, tidak cakap, dan malas bekerja. Pemberian upah dengan tidak memperhatikan prestasi, juga mengabaikan unsur paedagogis di dalam kerja itu.

Perlu juga diperhatikan adanya jaminan pemeliharaan pada waktu sakit, menderita cacad dan hari tua. Tidak baik  jika seseorang pekerja hanya dihargai semasih tenaganya bisa diperlukan.

Adalah suatu hal yang patut disambut dengan gembira, bahwa di Indonesia, penetapan upah sudah mengarah kepada pertimbangan-pertimbangan di atas. Pemerintah selalu berusaha supaya upah kerja semakin memadai, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Memang selayaknyalah bahwa setiap  warga negara Indonesia bersyukur kepada Tuhan, karena di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, aspek-aspek keagamaan, kemanusiaan, kesatuan, musyawarah-mufakat dan keadilan sosial, sangat dijungjung tinggi. Karena itu umat Kristen dan gereja, patut menunjukkan kerja sama yang baik dengan pemerintah, dalam membina sikap hidup dan mentalitas yang baik bagi setiap warga negara  Indonesia umumnya dan orang-orang Kristen khususnya, sebagai penunjang suksesnya program bangsa dan negara menuju masyarakat yang maju, adil dan makmur. Salah satu usaha ke arah itu ialah meningkatkan semangat dan kesadaran kerja bagi setiap warga negara Indonesia.

 

5.       Kesimpulan       

 

Dari semua uraian di atas, maka ada beberapa pokok yang perlu disimpulkan di sini, yang bisa menjadi pegangan bagi setiap orang Kristen dalam menentukan sikap dan caranya menghadapi masalah kerja, khususnya dalam keikut sertaannya membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa dan masyarakat yang maju, adil dan makmur.

1)      Kerja adalah tugas hakiki manusia yang bersumber dari Allah dan merupakan sarana yang dipergunakan oleh Allah dan manusia itu sendiri dalam membangun dirinya untuk hidup yang beriman, damai-sejahtera, menuju kehidupan yang sempurna di sorga pada akhir zaman.

2)      Kerja adalah suatu panggilan Allah, yang di dalamnya setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah, melayani sesama dalam hubungan kasih, dan mempergunakan alam atau lingkungan sekitarnya dengan penuh kesadaran dan rasa tanggung-jawab.

3)      Segala jenis kerja yang bersumber dari Allah adalah sama, sehingga tidak baik merendahkan kerja yang satu dan menghargai setinggi-tingginya kerja yang lain. Memilih sesuatu kerja harus diserta dengan doa, agar Tuhan menuntun hidupnya dan menunjukkan kerja mana yang patut dikerjakan sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

4)      Setiap kerja yang ditetapkan oleh Allah, harus dikerjakan dengan baik, penuh kesetiaan, ketabahan, sebulat  hati, rajin, berdisiplin, dan senantiasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan Allah melalui Firman-Nya dan doa. Dialah yang memberikan kekuatan dan kemampuan bagi setiap orang untuk bekerja dengan baik dan diharapkan Dia akan memberkati juga dengan penghasilan dan upah yang layak, sehingga dapat hidup sejahtera dan damai dalam memuji dan memuliakan Nama-Nya.

 

 

 

               

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

  

                Catatan-catatan

1)      P.D.Latuihamallo, Fondasi dan dasar-dasar yang mendamaikan: dalam buku: Kasih yang mendamaikan, Himpunan Bahan Study Etika Sosial di Salatiga, terbitan Persetia, 1981, hal.92.

2)      Lihat Alan Richardson, The Biblical doctrine of Work, SCM Press LTD, London,1958, hal.13-16.

3)      Walter Lempp, Tafsiran Kejadian 1 (1: 1-4: 26), BPK Gunung Mulia,  Jakarta 1974, hal. 37.

4)      J. Verkuyl, Etika Sosial Ekonomi ( II/1), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1982, hal. 18.

5)      Ibid, hal. 18.

6)      Hal ini diucapkan oleh A.A.Sitompul dalam ceramahnya yang berjudul: “Bulatkanlah hatimu bekerja” ( 2 Tes. 3: 12), di hadapan Synode HKBP Distrik Sumatera Timur, 23 Oktober 1984, di Parapat.

7)      Bandingkan pengurapan jabatan raja di Israel dan pengambilan sumpah janji jabatan di Indonesia.

8)      Dalam HKBP disebut: pasupasu tohonan (pemberkatan jabatan gerejawi).

9)      Jacques Ellul, The Ethics of Freedom, Wm.B.Eerdmans Publicashing Company, London & Oxford, 1976, hal. 499.

10)   Stephen Charles Mott, Biblical Ethics and Soscial Change, Oxford University Press, New York, 1982, hal. 27.

11)   J.Verkuyl, opcit, hal.34.

12)   P.D.Latuihamallo, opcit, hal.84-109.

13)   A.M.Tambunan, Pembangunan Sosial dalam rangka pembangunan nasional, BPK Jakarta, 1970, hal. 17.

14)   Jacques Ellul, opcit, hal.500.

15)   Surat Kabar SIB, terbitan Medan, 17 Januari 1985.

16)   J.Verkuyl, opcit, hal. 77.

17)   Ibid, hal. 39.

18)    Khusus di daerah Tapanuli, telah jarang dijumpai pemuda-pemudi yang terampil di bidang pertanian. Pemuda-pemudi yang masih tinggal di sana, kebanyakan yang sudah gagal mencari kerja di kota  dan akhirnya kembali ke desa.

19)   Lihat perintah kerja Kejadian 1:28.

20)    Ini sudah dimulai dalam pembangunan  bertahap seperti pernah dirumuskan dalam GBHN Indonesia tahun 1983, Bab III, fs. 3(b), iv.

21)   J.Verkuyl, opcit, hal. 41.

22)   Werner Elert, The Christian Ethos, Muhlenberg Press, Philadelphia, 1957, hal. 19=30.

23)   Th.Van den End, Sejarah Gereja Asia, Yogyakarta, 1981, hal. 89.

24)   Konfessi Augsburg  tahun 1530, artikel XV ay. 2.

25)   J.Verkuyl, opcit, hal. 41.

26)   J.Verkuyl, Komunisme, Kapitalisme, ditinjau dari sudut Injil Kristus, BPK Jakarta, 1966, hal.28.

27)   J.Verkuyl, Etika Sosial Ekonomi, hal. 52.

28)   Max Weber, The Protestant Ethics and the spirit of capitalism, Unwin University Books, London 1965, hal. 48.

29)   Alan Richardson, opcit, hal. 53.

30)   Werner Elert, opcit, hal. 127

31)   J.Verkuyl, Etika Kristen Sosial Ekonomi, hal. 65.

32)   Ibid, hal. 66.

 

 

Daftar Kepustakaan

1.       Elert, Werner, The Christian Ethos, Muhlenberg Press, Philadelphia, 1957.

2.       Ellul, Jacques, The Ethics of Freedom, Wm.B.Eerdmans Publicashing Company, London & Oxford, 1976.

3.       Lempp, Walter, Tafsiran Kejadian 1  (1: 1-4: 26), BPK Gunung Mulia,  Jakarta 1974.

4.       PERSETIA,  Kasih yang mendamaikan, Himpunan Bahan Study Etika Sosial di Salatiga, terbitan Persetia, 1981.

5.       Richardson, Alan,  The Biblical doctrine of Work, SCM Press LTD, London, 1958.

6.       Mott, Stephen Charles, Biblical Ethics and Soscial Change, Oxford University Press, New York, 1982.

7.       Tambunan, A.M., Pembangunan Sosial dalam rangka pembangunan nasional, BPK Jakarta, 1970.

8.       Van den End, Th.,  Sejarah Gereja Asia, Yogyakarta, 1981.

9.       Verkuyl, J.,  Etika Sosial Ekonomi ( II/1), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1982.

10.   Verkuyl, J., Komunisme, Kapitalisme, ditinjau dari sudut Injil Kristus, BPK Jakarta, 1966.

11.    Weber, Max, The Protestant Ethics and the spirit of capitalism, Unwin University Books, London 1965.

Tambahan.

1.       Garis-garis Besar Haluan Negara ) GBHN)  1983

2.       Konfessi Augsburg 1530, Team Gereja-gereja Sumut (penerjemah), Pematangsiantar 1978.

3.       Sitompul, A.A. “Bulatkanlah hatimu bekerja” ( 2 Tes. 3: 12), dalam ceramahnya di hadapan Synode HKBP Distrik Sumatera Timur, 23 Oktober 1984, di Parapat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar