SEJARAH PERKEMBANGAN PEMBINAAN NAPOSOBULUNG HKBP
Oleh: Pdt. Mangontang S.M.Panjaitan
Ketika saya bertugas sebagai
Sekretaris Pelaksana Departemen Naposbulung HKBP tahun 1976-1977, saya ditugaskan
oleh Direktor Depatemen NHKBP, Pdt H.Butarbutar STh, untuk menuliskan sebuah sejarah mengenai Perkembangan Pembinaan Naposobulung HKBP, dalam rangka memperingati 50 tahun
adanya pelayanan khusus dari HKBP kepada
para-pemuda-pemudi (Naposbulung)
yang mulai dihitung tahun 1927.hingga tahun 1977. Pada Sinode Godang Huria Kristen Batak 1926 ( pada waktu itu namanya masih "Huria Krisn Batak", sebutan Protestan baru ditambahkan
tahun 1929), , ditetapkan perlunya diselenggarakan pembinaan khusus kepada
Naposobulung Kristen Batak, dengan melihat makin banyaknya tantangan dan
persoalan iman yang mereka hadapi pada waktu itu. Akibat dari kemajuan yang
diperoleh masyarakat Batak melalui pendidikan yang digiatkan oleh Zending,
mulai dari Sekolah Zending, Vervolgschool,
HIS, MULO, maka semakin banyak pemuda-pemudi Kristen Batak yang pergi
merantau ke luar daerah Tanah Batak, terutama ke daerah Jawa untuk melanjutkan
sekolah dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Di daerah perantauan mereka
diperhadapkan dengan berbagai budaya dan kepercayaan yang berbeda, yang bisa
mempengaruhi iman kepercayaan yang sudah mereka terima dari gereja di
“bonapasogit”. Untuk melakukan pembinaan khusus ini HKB(P) yang dipimpin oleh
oleh Dr.J.Warneck sebagai Ephorus pada waktu itu, terus menindak lanjuti
ketetapan synode godang 1926 itu, dengan meminta tenaga khusus yang ahli di
bidang pembinaan khusus kepada pemuda-pemudi,
ke RMG di Jerman. Permintaan itu segera dibutuhi oleh RMG, sehingga
tahun 1927, diutuslah seorang tenaga dari Jerman yaitu Pdt. Dr. Ernst Verwiebe.
Dia adalah seorang yang ahli di bidang pendidikan muda-mudi, dan ahli di bidang
olah-raga, karena disamping kependetaannya, dia juga telah menamatkan
pendidikannya dari “Turn Hoch Schule” ( Sekolah Tinggi Olah Raga). Kehadiran
Dr. Verwiebe di tengah-tengah gereja Kristen Batak tahun 1927, dianggap sebagai
awal dari adanya pembinaan khusus kepada pemuda-pemudi (Naposobulung) Kristen
Batak (NHKBP).
Sesuai
dengan penugasan dari Direktor Departemen NHKBP tersebut, maka saya mencoba
menuliskan Sejarah Perkembangan Pembinaan
kepada Naposbulung HKBP tersebut, walaupun dalam mengerjakannya saya
merasa banyak kesulitan, karena harus menggali dokumen-dokumen, arsip-arsip yang
masih ada dan melakukan korespondensi kepada beberapa orang yang yang masih
hidup pada waktu itu yang ikut sebagai pelaku sejarah pembinaan naposobulung
tersebut. Untuk memahami lebih banyak
mengenai latar-belakang naposobulung Kristen Batak, saya juga mencoba mengkaji
bagaimana kehidupan naposobulung Batak sebelum datangnya kekristenan. Apa yang
saya kemukakan di sini adalah hasil tulisan saya yang sudah pernah diterbitkan
dalam sebuah buku Kenangan Kenangan 50 tahun NHKBP, yang diberi judul: Panggilan
Untuk Berbuah (Yoh. 15: 16), yang diterbitkan oleh Departemen NHKBP
Pearaja-Tarutung, 1-2 Oktober 1977. Semoga tulisan ini bisa membantu setiap
warga HKBP, khususnya bagi para pelayan
yang khusus berkecimpung dalam melakukan pembinaan khusus kepada para
pemuda-pemudi gerja, untuk melihat apa yang terjadi pada naposobulung HKBP pada
masa yang lalu, sebagai pelajaran yang berharga.
1.
Naposobulung
Batak sebelum Kekristenan
Sebelum kekristenan orang Batak dikenal
sebagai suku yang menganut agama pelbegu, namun telah mempunyai peradaban yang
tinggi, berjiwa keras. Mereka tinggal secara berkelompok menurut sistem marga,
dan suka berperang. Pekerjaan mereka yang utama adalah mengerjakan tanah dengan
menanam padi di sawah dan ladang, tetapi juga memelihara ternak, menangkap
ikan bagi yang tinggal di pesisir Danau
Toba sebagai pekerjaan sampingan.
Sistem kemasyarakatan diatur oleh hukum
dan adat yang berlandaskan “dalihan na tolu”, sehingga pimpinan masyarakat
adalah seorang raja adat yang berpengaruh, dengan syarat, dia seorang yang
kaya, punya keturunan banyak dan ditakuti oleh masyarakat.
Memang dari latar-belakang kehidupan
zaman dahulu itu, orang Batak beralasan untuk mencita-citakan mempunyai anak
sebanyak-banyaknya, karena anak yang banyak sangat dibutuhkan untuk
memperjuangkan hidup ini. Untuk mengerjakan tanah seluas-luasnya agar mendapat
hasil yang sebanyak-banyaknya, dan untuk mempertahankan keselamatan jiwa dari
serangan musuh ( sifat perang ), dan agar menjadi orang yang ditakuti dan
dihormati, orang Batak memintakan agar memperoleh anak sebanyak-banyaknya.
Tetapi orang-orang Batak tidak hanya menginginkan anak
sebanyak-banyaknya, namun juga memperhatikan pendidikan yang dibutuhkan oleh
anak-anak mereka tersebut agar dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Mereka
dibina untuk mampu melakukan pekerjaan
sehari-hari, mampu berperang, dan patuh kepada hukum dan adat Batak, dan
menjadi pewaris orang tua dalam garis keturunan bapa. Orang tua juga berusaha
untuk menyediakan bekal untuk anak-anaknya, yang diwariskan di kemudian hari
setelah anak tersebut berumah-tangga. Warisan yang paling ditanamkan ialah
pendidikan agar anak-anak mereka menjadi
manusia yang beradat di semua bidang kehidupan, terutama sebelum anak tersebut
berumah-tangga. Karena alangkah besarnya “cela” yang dipikul orang tua apabila
anak-anak mereka dicap oleh orang sebagai “orang yang tidak beradat” (halak na
so maradat). Apabila dijumpai orang seperti itu di tengah-tengah masyarakat,
maka yang pertama disalahkan adalah orang tua. Jadi sebutan “anak ni hatoban”
atau “boru ni hatoban”, dikenakan bagi putra atau putri Batak yang tidak beradat dan tidak mengenal
norma kehidupan yang baik, karena biasanya “hatoban” (hamba) tidak tahu dan
tidak mempunyai kesempatan untuk mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang
beradat.
Untuk menghindarkan hal-halyang demikian
maka para orang tua berusaha untuk membina anak-anaknya, termasuk naposobulung ( remaja atau pemuda-pemudi
yang belum berumah tangga). Dari sini telah bisa diketahui bahwa orang Batak
telah melihat pentingnya pembinaan kepada naposobulung
tersebut, walaupun mereka belum mengenal sistem pendidikan modern seperti sekarang.
Pembinaan pada masa sebelum kekristenan yang masih primitif itu, hanya
dipersiapkan untuk membekali naposobulung
dalam menghadapi tantangan hidup pada masa itu. Sekolah-sekolah resmi sebagai
suatu lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat belum dikenal sama sekali.
Kalaupun satu-satu keahlian di bidang tertentu seperti “ hadatuon” (dukun),
“guru elmu” ( semacam ilmu silat), itu tidak dipelajari dalam satu-satu
sekolah, tetapi kebanyakan hanya sebagai “warisan” dari orang tua, atau dipelajari secara pribadi ( rahasia)
kepada orang tertentu. Pembinaan yang kita maksudkan di sini, terutama yang
terjadi di lingkungan keluarga, dan pembinaan secara tidak langsung dari apa
yang dilihat, didengar atau dialami dari perbuatan masyarakat secara kollektif.
Adalah umum di kalangan orang-orang
Batak dahulu-kala untuk menasehati anak-anaknya dengan menyampaikan
cerita-cerita, baik itu merupakan cerita yang benar-benar terjadi, maupun
berupa cerita dongeng. Cerita-cerita itu yang hidup di tengah-tengah masyarakat
sengaja diciptakan oleh orang yang ahli untuk itu, yang isinya mengandung unsur
pendikan (poda). Sampai di zaman modern ini masih banyak cerita-cerita
rakyat yang diwariskan oleh orang tua
secara lisan atau tulisan (melalui pustaha Batak), dan apabila isinya digumuli
secara mendalam, banyak yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Munculnya
cerita itu ada yang karena melihat suatu tempat atau benda yang aneh dan
menyeramkan sehingga membuat cerita untuk itu. Misalnya cerita tentang
terjadinya: Danau Toba, Batu Gantung, dsb.
Cerita-cerita demikian selalu disangkut-pautkan kepada daya atau
kekuatan yang ditakuti atau disembah sebagai allah. Banyak lagi cerita-cerita
rakyat yang tidak lagi diketahui oleh generasi sekarang, tetapi isinya,
terlepas dari nilai theologisnya, banyak yang dapat diambil sebagai “poda”
(nasehat) untuk manusia sekarang. Tetapi maksud dan tujuan dari tulisan
ini bukanlah untk mengumpulkan cerita-cerita rakyat itu,
tetapi hanya untuk membukakan bahwa salah salah satu metode pendidikan yang dilakukan
oleh orang tua pada zaman dahulu-kala
untuk anak-anaknya adalah metode bercerita.
Orang tua juga sering menasehati
anak-anaknya melalui perumpamaan atau
kiasan. Artinya,melalui perumpamaan itu si anak diajak untuk mengoreksi
dirinya. Perumpamaan atau kiasan itu ditanamkan kepada anak tersebut secara
berulag-ulang. Nasehat demikian tidak langsung berkaitan dengan sesuatu perbuatan yang telah
dilakukan. Tetapi ada juga nasehat yang secara langsung, yang bentuknya berupa
peraturan-peraturan, misalnya, jangan berbuat ini dan itu; jangan pergi kesana,
jangan mengatakan begini. Biasanya si anak tersebut, sangat setia mematuhi
aturan-aturan demikian, karena ditanamkan suatu kepercayaan, apabila hal itu
dilanggar akan mendapat kutukdari roh-roh nenek mereka yang sudah meninggal
atau dari “sombaon” yang mereka takuti.
Telah dikenal juga pelaksanaan hukuman
yang berupa pendidikan. Maksudnya
seorang anak akan mendapat hukuman dari orang tua, apabila dia melanggar
peraturan yang diberikan, supaya dia sadar akan kesalahannya, dan jangan
berbuat pelanggaran demikian lagi. Dalam hidup kemasyarakatan sistem ini juga
diberlakukan, terutama yang menyangkut pelanggaran hukum dan adat. Barang siapa
yang melanggar hukum dan adat tersebut, akan mendapat hukuman dari raja-raja
adat yang diputuskan secara musyawarah, misalnya dengan mengucilkan pelanggar
tersebut dari persekutuan, kampung atau marga mereka.
Jadi dapat kita lihat, bahwa
naposobulung di tengah-tengah masyarakat Batak tidak diabaikan begitu saja.
Bahkan pembinaan terhadap mereka dilakukan dengan ketat sekali, karena seperti
ada orang mengatakan bahwa seolah-olah
“naposobulung itu dipaksakan
untuk dewasa secepat-cepatnya”. Karena sejak usia 12 tahun anak laki-laki sudah
diikut sertakan untuk pekerjaan berat di
swah dan ladang, bahkan telah dilatih untuk ikut berperang.
Peranan naposbulung di tengah-tengah masyarakat
Di
atas telah diterangkan hidup naposobulung itu di tengah-tengh keluarga. Di sini
kita mau melihat melihat bagaimana peranan naposobulung itu di tengah-tengah
masyarakat yang lebih luas. Di setiap kampung dijumpai banyak naposobulung, laki-laki dan perempuan. Karena
penghuni suatu kampung terdiri dari beberapa keluarga yang masih dekat satu
satu sama lain, maka naposobulung di sana pun hidup dalam ikatan keluarga.
Naposobulung tersebut sejak kecil telah hidup bersama-sama, bermain
bersama-sama, sehingga jiwa kesatuan dan pergaulan yang baik telah tertanam di
dalam diri mereka masing-masing. Namun kesatuan dan pergaulan tersebut
kebanyakan masih mencirikan hubungan kekeluargaan. Mereka belum mempunyai
organisasi dengan perlengkapan-perlengkapan seperti dijumpai pada zaman modern.
Tetapi walaupun demikian hubungan dari satu sama lain, senantiasa erat dan
kuat, karena merasa saling bertanggung-jawab satu sama lain.
Apabila
di suatu kampung dilangsungkan sesuatu pesta, maka peranan naposobulung di sana
sangat besar sekali. Merekalah yang paling banyak mengambil bagian sebagaia
“parhobas” (pelayan). Mereka semuanya tunduk mengerjakan pekerjaan
masing-masing yang sudah diatur oleh orang tua dengan tidak mengambl dalih
untuk menolaknya. Walaupun orang tua dalam pesta-pesta seperti itu menuntut
kewajiban yang besar dari pada naposobulung itu, tetapi orang tua hampir tidak
memberikan hak kepada mereka, istimewa hak bersuara. Jadi peranan naposobulung
dalam hal seperti itu, dan yang berhubungan dengan soal adat masih sampai di
situ saja. Mereka belum bisa memberikan pendapat dan komentar, walaupun ada
sesuatu hal yang tidak bisa berterima dalam fikiran mereka, sebelum mereka
berumah-tangga. Selagi mereka masih
belum kawin, walaupun usia telah lanjut dan fikirannya telah dewasa, mereka
belum dilibatkan sebagai anggota yang resmi yang turut mencampuri persoalan
adat dalam masyarakat. Mereka harus
bersifat menerima dan tunduk begitu saja terhadap apa yang diatur oleh orang
tua.
Pada musim
turun ke sawah atau ladang, mereka tidak bekerja secara sendiri-sendiri, tetapi
mereka bekerja bersama-sama dengan seia –sekata secara silih berganti-ganti
mengerjakan sawah atau ladang mereka masing-masing, Baik sejak dari pekerjaan
mencangkul, sampai panen mereka mengerjakannya secara bersama-sama. Dengan cara
demikian mereka akan lebih bergairah bekerja, istimewa jika diiringi dengan
cerita-cerita yang sekali-sekali bisa membuat mereka ketawa, perasaan letih
tidak terasa lagi.
Selain
dari pada itu naposobulung bertanggung-jawab untuk menjaga keamanan penghuni
kampungnya agar terhindar dari ganguan musuh. Karena pada zaman sebelum
kekristenan masyarakat Batak masih tertutup sifatnya. Penghuni kampung yang
lain yang tentu tidak dikenal sama –sekali dianggap oleh penghuni kampung itu
sebagai musuh. Karena itu sering terjadi
perasaan curiga mencurigai dan mengadu kekuatan yang ditunjukkan melalui
perang. Untuk ini penghuni suatu kampung selalu menghimpun kekuatan, agar bisa
bertahan apabila datangserangan dari pihak musuh. Apabila mereka kalah dalam
serangan tersebut maka mereka akan dikauasai, dan seluruh tanah milik mereka
(terutama tanah) akan jatuh ke tangan musuh tersebut. Untuk menghindarkan
hal-hal yang demikian dan untuk memperkuat
kekuasaan penghuni kampungnya dengan merebut daerah kekuasaan
kampung yang lain, peranan naposobulung
(laki-laki) sebagai orang yang mempunyai tenaga yang ckup kuat, sangat besar
sekali.
Dalam
persoalan muda-mudi, naposobulung laki-laki bertanggung-jawab untuk melindungi
naposobulung perempuan supaya pemuda
yang datang dari kampung yang lain, tidak semberono mengganggu mereka.
Rekreasi naposobulung
Peranan
rekreasi sebagai alat untuk membina pribadi naposobulung atau anak-anak, telah
diperbolehkan orang Batak jauh sebelum kekristenan. Orang Batak memiliki
berbagai kesenian sebagai alat hiburan seperti: seni tari, seni musik, seni suara, dan berbagai
permaiannan yang cukup membuat masing-masing mereka riang dan gembira. Biasanya pada malam terang bulan, anak-anak
dan muda-mudi berkumpul di halaman rumah. Para wanita bernyanyi sambil
“martumba”. Pemuda memetik kecapi, meniup seruling dan lain-lain uning-uningan
( alat musik) Batak. Para orang tua turut juga sebagai penonton, bahkan kaum
ibu juga yang turut martumba sebagai pelatih.
Sekali-sekali
juga dilangsungkan “pesta naposo” (pesta muda-mudi) dengan “gondang hasapi”
atau dengan memukul seperangkat “ogung” (gendang Batak). Ke sana turut juga diundang muda-mudi
dari kampung yang lain, yang telah
mempunyai hubungan yang erat. Pada waktu pesta naposo ini, bisa juga
dipertunjukkan “ende taripar” (nyanyian menyeberang) secara kollektif. Dalam
“Ende taripar” ini, naposobulung dari kampung yang lain diberi
kesempatan bernyanyi secara kollektif di dalam pesta itu. Kegiatan naposobulung
di bidang musik, tari-tarian, dan nyanyian bersama ini yang sudah mendarah
daging dalam kehidupan naposobulung Batak sebelum kekristenan, turut
memperlancar usaha para penginjil mendekati para naposobulung untuk menjalankan
missinya.
2.
Masuknya
kekristenan di Tanah Batak
Tanggal 7 Oktober 1861, resmilah
hari berdirinya Gereja Kristen Batak, yang sekarang dinamai “ Huria Kristen
Batak Protestan”, walaupun sebelumnya telah ada usaha Badan Zending luar negeri untuk memberitakan
Kabar Keselamatan itu di tengah-tengah suku Batak. Pada hari bersejarah itu
empat orang missionaris, masing-masing dua orang dari Jerman, yaitu Heine,
Klammer dan dua orang dari Belanda, yakni
Betz dan Van Asselt, yang diutus dan bergabung dengan (Rheinische
Missionsgesselschaft (RMG) telah bermupakat di Sipirok Tapanuli Selatan, untuk
membicarakan pembagian tugas dan strategi mereka untuk memberitakan Injil itu
di tengah-tengah suku Batak. Dengan demikian jadilah Injil it kekristenan itu
tersebar luas ke seluruh daerah di Tanah Batak, dengan cara pendekatan yang
telah mereka pelajari sebelumnya. Dengan
usaha yang didorong oleh rasa tanggung-jawab terhadap tugas panggilan dari
Yesus Kristus pembawa keselamatan itu dari seluruh missionar, maka terang Injil
yang membawa perobahan pesat terhadap kehidupan suku Batak, cepat berterima dan
tersebar luas. Walaupun kenyataannya bahwa kekristenan itu cepat berterima bagi
sebagian besar suku Batak, namun usaha Zending itu bukanlah bertujuan untuk
mengkristenkan orang Batak, melainkan untuk merobah hidup yang berada dalam
kegelapan oleh pengaruh agama pelbegu, kepada hidup terang yang membawa
perobahan dalam segala aspek kehidupan.
Pada mulanya harus disadari
bahwa penerima kekristenan itu masih banyak dipengaruhi oleh rasa kekeluargaan,
kuasa raja-raja, atau pengetua kampung setempat. Karena para missionar itu
dalam usaha menjalankan missinya lebih dahulu mendekati pribadi-pribadi
tertentu yang dianggap berpengaruh dan berkuasa di satu-satu daerah yang
diinjili. Seperti di Pearaja misalnya, Nommensen lebih dahulu mendekati raja
Pontas Lumbantobing, penguasa di lingkungan itu, yang setelah dia menerima
kekristenan itu, sangat banyak membantu usaha pekabaran Injil tersebut di
daerah Silindung. Apabila raja-aja dari suatu kampung telah menjadi Kristen,
maka kekristenan itu akan lebih mudah disebarkan di sana dan lebih mudah
berterima bagi daerah tersebut.Demikian jugalah caranya para missionar itu
menjalankan missinya sampai di daerah Humbang, Toba dan Samosir.
Sejalan dengan ini, secara umum
boleh dikatakan, apabila suatu kepala keluarga, yakni si bapa dalam suatu
keluarga telah menerima kekristenan itu, maka otomatis seluruh anggota keluarga
tersebut turut menjadi kristen. Sehingga
pada mulanya pendekatan terhadap muda-mudi itu bukanlah satu sasaran pelayanan
khusus. Yang paling penting ialah bagaimana supaya satu-satu keluarga
menerima kekristenan itu. Jadi peranan
sistem kekeluargaan Batak yang patrilineal itu sangat banyak membantu lajunya
pekabaran Injil itu yang juga meliputi terhadap muda-mudi.
3.
Tahap
permulaan pendekatan terhadap muda-mudi
a.
Melalui
sidi
Pada
mulanya seperti telah diterangkan di atas,
kekristenan yang dimiliki oleh anak-anak muda Batak baru bersifat penurutan terhadap orang tua.
Nilai kekristenan itu belum dihayati sama sekali. Hanya namanya mereka telah
Kristen, sedang imannya boleh dikatakan masih kosong.
Untuk
menanamkan sedikit demi sedikit ajaran kekristenan atau Kitab Suci kepada
mereka, maka masa “marguru malua” (belajar sidi) merupakan kesempatan terutama
bagi anak remaja. Pada mulanya Sekolah Minggu belum dibentuk. Sedangkan
pengetahuan orang tua yang turut bertanggung-jawab untuk mendewasakan iman
anak-anak mereka masih sangat terbatas. Karena itu peranan belajar sidi
(katekisasi sidi) sangat besar sekali dalam membina mereka ke arah pengenalan
yang lebih mendalam tentang arti keselamatan yang dibawakan oleh Yesus Kristus.
Dalam pengajaran katekisasi itulah diajarkan secara tahap demi tahap
Pengetahuan Isi Alkitab, baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan
juga isi Katekismus Martin Luther. Guru-guru Zending yang utama mengajar
anak-anak sidi itu cermat dan teliti, penuh dengan disiplin. Sehingga para
katekumen sidi ( yang belajar sidi) itu sangat giat untuk mempelajarinya.
Mereka harus bisa melafalkan (pajojorhon)
seluruh Isi Ringkasan Perjanjian Lama (Padan Na Robi na Pinajempek) dan
Perjanjian Baru ( Padan Na Imbaru na Pinajempek) dari awal sampai akhir. Isi
dari Katekismus itu pun juga harus bisa dilafalkan seluruhnya. Karena tanpa
demikian mereka belum bisa dilepaskan untuk berdiri sendiri menggumuli iman
kepercayaannya.
b.
Melalui
Persekutuan Koor Gerejani
Salah
satu usaha untuk membina naposobulung yang digiatkan ialah dengan membentuk
persekutuan koor gerejani naposobulung.
Dengan adanya latar-belakang jiwa penyanyi bagi naposobulung Kristen
Batak, maka usaha ini tidak begitu sulit dilaksnakan, malah sangat menarik bagi
mereka. Di mana gereja telah berdiri di Tanah Batak, di sana terus diusahakan
untuk membentuk perhimpunan muda-mudi. Mereka
mudah dikumpulkan karena jiwa kesatuan juga sudah tertanam dalam diri mereka jauh sebelum kekristenan
tersebut. Dalam persekutuan itu sebagai aktifitas utama adalah mempelajari koor
nyanyian gerejani, yang mereka pelajari dengan tekun. Walaupun jiwa lagu-lagu
yang diajarkan itu sudah berbeda sekali dengan jiwa lagu-lagu Batak, namun berkat ketekunan guru jemaat untuk
mengajarkannya maka muda-mudi tersebut tidak begitu sulit untuk memahami. Dengan lagu-lagu koor gerejani tersebut, yang
mengandung isi Firman Tuhan, sangat besar sekali artinya untuk membebaskan para naposobulung itu dari
kepercayaan yang lama kepada kepercayaan yang baru. Karena itu sejak mulanya,
peranan koor sangat besar sekali artinya untuk menghimpun para muda-mudi itu
dan menanamkan jiwa kekristenan kepada mereka, serta membina iman mereka ke
arah kedewasaan. Boleh dikatakan bahwa perkumpulan koor ini didirikan bukan
semata-mata untuk mempelajari lagu-lagu yang menarik, tetapi merupakan jalan
untuk mendekati mereka, serta memberikan bimbingan kekristenan kepada mereka
menghadapi berbagai persoalan hidup ini berlandaskan Firman Tuhan, agar mereka
semakin dewasa untuk menentukan sikap
yang sebenarnya.
Perkumpulan
koor sebagai satu usaha pembinaan
muda-mudi itu adalah suatu cara yang tepat pada zaman itu, karena di samping
sebagai aktivitas yang mudah dilaksnakan, juga sangat berguna untuk
membangkitkan semangat iman, dan juga dapat menjadi rekreasi yang bermutu bagi
mereka.
c.
Melalui
sekolah
Sejak
berdirinya Gereja Kristen di Tanah Batak, maka pendirian sekolah-sekolah
merupakan sasaran pokok untuk mewujudkan terang Injil yang dibawakan oleh Yesus
Kristus itu. Karena melalui sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang
resmi, manusia yang dalam hal ini suku Batak yang masih buta-huruf akan lebih
mudah diperkenalkan dengan kebudayaan Kristen, yang sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan taraf hidup.
Dalam
sejarah kekristenan di tanah Batak, gereja dan sekolah tidak bisa dipisahkan.
Di mana ada gereja di sana ada sekolah.
Dan yang bertugas di gereja sebagai guru jemaat ( guru zending), itulah
juga yang bertugas sebagai guru pengajar di sekolah. Sekolah inilah yang
terutama membuka fikiran anak-anak Batak untuk mengenal berbagai corak ilmu pengetahuan yang sangat
berguna bagi masyarakat dalam mempertahankan eksistensinya dengan cara yang
lebih modern. Ini juga yang membuka mata suku Batak terhadap kemungkinan
kemajuan di segala bidang hidup.
Walaupun
di kemudian hari sekolah bukan lagi hanya milik gereja di tanah Batak, karena
pemerintah juga telah turut mengambil bagian, namun di dalam sejarah keristenan
di tanah Batak, tidak dapat disangkal, gerejalah yang pertama sekali yang
membuka kemungkinan bagi anak-anak Batak untuk mengenal sekolah tersebut. Keterlibatan
gereja dalam dunia pendidikan dan dalam pendirian gedung sekolah, berpengaruh
juga kepada tujuan pendidikan itu, yang bukan semata-mata menanamkan ilmu
pengetahuan saja, tetapi juga memperdalam iman anak-anak Batak, agar kelak
menjadi orang Kristen yang bertanggung-jawab, dan dapat merefleksikan imannya
dalam segala bidang kehidupan. Karena itu Pendidikan Agama Kristen merupakan
dasar utama dalam sekolah itu. Segala bidang pengetahuan yang lain selalu
dikaitkan dengan kekristenan. Dengan demikian setiap anak didik dapat mengakui
bahwa ilmu pengetahuan adalah pemberian Allah, dan harus dipergunakan untuk
kemuliaan Allah, sekaligus sebagai senjata manusia untuk menaklukkan alam
sejagat ini.
4.
Masalah
dan tantangan terhadap muda-mudi di perantauan
Tidak
dapat disangkal bahwa kekristenan membuka kemajuan bagi anak-anak Batak. Gereja
tidak hanya membuka sekolah desa atau sekolah rakyat yang mempergunakan bahasa daerah,
tetapi juga membuka sekolah yang berbahasa
Belanda seperti “Hollandsch-Inlandsche Shool (HIS) di Sigompulon Tarutung tahun 1914, di
Narumonda Porsea, tahun 1919. HIS adalah sekolah dasar berbahasa Belanda. Juga
mendirikan “Meer Uitgebreit Lager Onderwijs (MULO), lanjutan dari HIS yang
juga berbahasa Belanda pada tahun 1937
di Tarutung. Dengan demikian anak-anak Batak tamatan dari sekolah-sekolah ini
dapat mencari pekerjaan di instansi pemerintahan Belanda yang kebanyakan
terdapat di luar tanah Batak. Banyak juga yang dapat melanjutkan sekolah ke
luar Sumatera yakni ke pulau Jawa
seperti ke kota Jakarta, Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Probolinggo, dll.
Semakin
banyaknya anak-anak Batak yang pergi ke luar daerah Tapanuli apalagi dengan
terbukanya jalan yang menghubungkan kota Sibolga dengan Medan terus juga ke
Padang di Sumatera Barat, maka proses ini semakin lancar. Selama ini memang
daerah Batak merasa terpencil dan terisolasi terhadap daerah-daerah luar, maka
dengan arus lalu lintas yang baru ini
telah mendorong mereka lebih doyan dan dapat berkenalan dengan suku-suku
lain di Sumatera Timur dan Sumatera Barat, yang tentu saja mempunyai
latar-belakang hidup keagamaan dan adat yang berbeda. Mereka ke luar untuk
mengenal “alam yang baru”, serta ingin mencari lapangan kerja yang baru, baik
di kantor pemerintah, perkebunan maupun dengan membuka lahan persawahan di pesisir pantai Sumatera Timur. Orang-orang Kristen yang hijrah dari Tapanuli
inilah yang biasa disebut dengan “perantau”.
Walaupun
anak-anak Batak yang sudah tamat dari HIS maupun MULO, dan mau melanjutkan
sekolah di pulau Jawa, telah dibekali dengan dasar kekristenan yang cukup kuat,
namun mereka tidak lepas dari tantangan yang dihadapi didaerah asing itu.
Lingkungan kebudayaan dan agama yang sama sekali masih “baru” bagi mereka bisa
saja menyeret mereka untuk meninggalkan imannya. Di perantauan itu mereka sudah jauh dari orang
tua, jauh dari sanak saudara, bahkan jauh dari gereja yang bisa menyapa mereka dengan Firman Tuhan.
Kalaupun mereka ada yang berjumpa dengan sesama orang Kristen dan juga Gereja
Kristen, barangkali dasar pengajaran
theologis mereka telah berbeda
dengan dasar pengajaran theologis yang mereka warisi dari para missioner
Jerman di gerejanya di Tanah Batak. Salah satu contoh bapak D.W.Lumbantobingn menceritakan
semasa beliau belajar di Kweekscholl Gunung Sari, bagi mereka diajarkan ajaran
theosofi, karena sekolah itu didirikan oleh “Theosofische Vereniging”. Theosofi
adalag satu ajaran yang bertentangan
dengan kekristenan yang berdasarkan Alkitab.
Theosofi mengajarkan adanya reinkarnasi ( penjelmaan kembali) manusia,
hidup vegetarian (tidak makan daging) karena alasan hukum ke IV, dan yang
mengatakan bahwa seluruh agama adalah berdasarkan dan berasal dari satu Roh,
baik itu Agama Hindu, Yahudi, Zoroaster (Persia), Budha, Kongfuchu, Kristen dan
Islam. Yang membahayakan ialah bahwa ajaran ini cenderung menyamakan dirinya
dengan Kristen, karena bergabung dengan salah satu gereja di Jakarta yaitu
“Vrije Katholieke Kerk”. Dan para anggotanya mengikuti kebaktian minggu di
gereja tersebut. Para guru yang mengajar di sekolah itu dan yang menganut faham
Theosofi tersebut , selalu berusaha untuk menanamkan pengajaran mereka terhadap
pelajar yang belajar di sana, baik melalui ceramah dan renungan pagi. Faham ini mengagungkan Kristinamurti yang
diakui berasal dari Allah, sebagai penjelmaan dari Yesus Kristus dan Muhammad.
Ini
termasuk salah satu tantangan di samping tantangan lainnya seperti adat kebiasaan dan kepercayaan yang lain.
Bukan saja pelajar di Jawa yang mengalami tantangan yang demikian, tetapi juga
seluruh anak-anak Kristen Batak
perantau, baik di Sumatera Timur, maupun di pulau Jawa. Tetapi adanya tantangan
itu telah mendorong para pemuda itu untuk memperkuat imannya. Walaupun dari antara mereka memang
ada yang tergoda pengaruh lingkungan yang baru, namun kebanyakan mereka tetap
mempertahankan imannya. Terutama para pelajar yang berada di pulau Jawa, mereka
aktif untuk mendirikan persatuan pelajar Kristen di sana, secara suku maupun
secara nasional. Melalui wadah inilah kehausan mereka akan Firman Tuhan yang
selama ini telah mengisi hidup mereka diisi kembali. Seperti di Solo misalnya,
sebagai Pusat Pendidikan Kristen pada waktu itu, tahun 1926 telah terbentuk Persatuan Pemuda dan
Pelajar Kristen, yang dinamai “Bond Van Christen Jongeren” ( Ikatan Pemuda
Kristen), yang berdasarkan Firman Tuhan seperti tertulis dalam Alkitab.
Persatuan ini bersifat nasional, di mana dari masing-masing suku diangkat
sebanyak tiga orang untuk menjadi pengurus.
Khusus
untuk pemuda Kristen Batak, terbentuk juga gerakan untuk mempersatukan seluruh
pemuda dan pemudi Kristen Batak, istimewa yang
berada di perantauan. Persatuan ini disebut “Tole-Vereniging ( Persatuan
Tole). Gerakan ini bertujuan untuk mempersatukan seluruh pemuda-pemudi Kristen
Batak tersebut, dalam satu ikatan, yang saling mengadakan kontak satu-sama
lain. Pada waktu libur panjang setiap tahun mereka berkumpul di salah satu tempat
yang sudah ditentukan di “bona pasogit”. Seperti pada 24 Mei 1926, mereka
mengadakan konferensi di Sipoholon, yang dihadiri oleh 30 orang pemuda pelajar
dan 4 orang pemudi. Konferensi ini disambut dengan baik oleh Ephorus HKBP pada
waktu itu, Dr. J. Warneck, yang pada saat itu langsung memimpinnya dan dibantu
oleh guru kepala HIS Sigompulon, Direktur Seminari Sipoholon, dan guru kepala
HIS Narumonda. Pada konferensi itu seluruhnya mereka memberikan pemikiran
bagaimana usaha yang akan dilakukan untuk melayani muda-mudi yang semakin membutuhkan pelayanan khusus,
terutama mereka yang berada di
perantauan. Bagaimana caranya mendidik mereka agar dapat bertahan untuk
berpegang teguh dalam iman kepada Yesus Kristus
ditengah-tengah masyarakat yang
telah bercorak heterogen, dan bahkan bisa senantiasa menjadi garam dan terang di lingkungan mereka yang baru
itu. Maka pada konferensi itu diputuskan perlunya seorang “Jeugdleider”
(pemimpin pemuda), yang khusus mengabdikan dirinya di bidang pelayanan kepada
muda-mudi.
5.
Perlunya
pembinaan khusus terhadap muda-mudi
Perobahan
zaman berlangsung terus menerus. Hal ini sekaligus membawa perobahan kepada
manusia terutama dalam cara berfikir, sikap sehari-hari dan mencakup bidang
pergaulan. Pada mulanya pemuda-pemudi Batak itu hidup di lingkungan masyarakat
yang homegen, dengan pola hidup dan cara berfikir yang sama. Sedangkan dengan
terbukanya pergaulan ke dunia luar tanah Batak, banyak hal yang mempengaruhi
sistem hidup mereka yang lama itu, sehingga orang-orang yang berada di dalamnya
mengalami kegoncangan. Pada mulanya persoalan ini mengenai terhadap muda-mudi
di perantauan. Karena itu mereka di tengah-tengah permasalahan itu sangat perlu
dibina secara khusus. Tanpa menutup diri terhadap hal-hal baru yang mereka
alami, mereka perlu dipersiapkan dengan
matang dalam hal hidup kekristenan yang dewasa, agar mereka senantiasa dapat menilai
hal-hal yang baru itu secara bertanggung-jawab, sehingga mereka tidak
terombang-ambing di tengah-tengah arus perobahan zaman tersebut.
Melalui
pelayanan khusus inilah dapat ditanamken secara tepat Firman Tuhan, baik itu
berupa khotbah, renungan dan Bible-study, sehingga dengan demikian para pemuda-pemudi
dapat dengan berani menyaksikan imannya. Sejalan dengan ini mereka juga sangat
perlu diberi pengetahuan yang mendalam mengenai ajaran kekrsitenan dan ajaran
agama lain, sehingga mereka dapat membedakan agama Kristen dan agama lain di
luar Kristen.
Pada
Synode Godang tahun 1926, kebutuhan itu telah dibahas terutama oleh para
pendeta, dan utusan yang hadir di
sana. Di salah dibawakan hasil konferensi 24 Mei 1926 itu, dan pada waktu itu gereja telah menyadari
bagaimana perlunya pembinaan khusus terhadap muda-mudi. Diputuskanlah untuk
memintakan seorang tenaga ahli untuk itu dari badan zending RMG di Barmen
Jerman. Permintaan itu disambut dengan
baik oleh RMG dan dicarilah seorang tenaga yang sesuai dengan itu, yakni Pdt Dr.
E.Verwiebe yang ahli di bidang pendidikan muda-mudi, dan ahli di bidang
olah-raga, karena disamping kependetaannya, dia juga telah menamatkan
pendidikannya dari “Turn Hoch Schule” ( Sekolah Tinggi Olah Raga).
Dr.
E.Verwiebe tiba di tanah Batak menjelang Natal tahun 1927. Dengan keahliannya
di bidang muda-mudi itu, dia telah mencoba mendekati dan mengorganiser para pemuda-pemudi
(naposobulung) Batak, baik yang masih
tinggal di kampung halaman, maupun yang telah merantau ke negeri orang untuk
melanjutkan pendidikan dan mencari lapangan kerja. Sebelum kedatangan Dr.
E.Verwiebe, terutama kaum terpelajar muda-mudi Batak, telah melihat bagaimana
perlunya diadakan pembinaan khusus kepada mereka. Usaha mereka yang
pertama ialah mengadakan pertemuan
sekali setahun. Sebagai alat komunikasi bagi mereka agar mereka dapat
menpelajari Firman Allah dan pengetahuan theologia, juga pengetahuan tentang
permasalahan muda-mudai pada waktu itu, diterbitkanlah satu majalah
muda-mudi yang bernama “Surat Parsaoran Naposobulung”, yang terbit sekali
sebulan. Pada mulanya majalah itu terbit sebanyak 500 eksemplar dengan Edisi
Narumonda. Majalah ini dikhususkan bagi muda-mudi Batak dan dikerjakan oleh
muda-mudi itu sendiri. Dalam setiap terbitan majalah itu berisi renungan
singkat, Bibel-study, berita-berita tentang kegiatan naposobulung di tingkat
lokal maupun umum, diskusi, usul-usul dan hubungan kekrsitenan dengan adat.
Jadi peranan majalah itu sangat besar untuk menambah pengetahuan mereka,
sekaligus membantu mereka dalam memberi penyelesaian tetang permasalahan yang
dihadapi, sekaligus mendewasakan iman mereka. Penerbitannya bisa berlansung
sampai tahun 1940.
6.
Perkembangan
bentuk pembinaan terhadap muda-mudi
a.
Gagasan
Jeugdleider (Pemimpin Pemuda)
Gagasan
tentang pemimpin pemuda lebih dahulu timbul di Eropa. “Jeugdleider” telah lama
menjadi salah satu profesi di sana, dan orang dapat dididik untuk keahlian itu.
Jadi pekerjaan itu bukan pekerjaan sampingan.
Masyarakat di ana semakin menyadari perlunya pengasuhan, pendidikan dan
penuntun khusus kepada muda-mudi, akibat
cepatnya perkembangan yang membawa perobahan keadaan. Hal ini terjadi terutama pada awal abad 20.
Fikiran pemuda-pemudi pada waktu itu telah mulai liar akibat telah banyak dipengaruhi
oleh roh-roh dunia. Sistem pergaulan sudah semakin bebas. Pengertian mereka
akan nilai-nilai moral sudah semakin kabur.
Adanya jurang antara orang tua dan pemuda semakin dirasakan, akibatnya
orang tua semakin cemas melihat kenyataan perobahan yang dialami oleh muda-mudi
itu. Untuk menanggulangi inilah, baik oleh organisasi gereja maupun pemerintah,
diusahakan untuk mengadakan pembinaan khusus terhadap muda-mudi, di mana diberikan bimbingan yang
dapat mengarahkan hidup mereka ke jalan yang benar. Karena tenaga pekerja di
dalamnya membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, maka pekerjaan tersebut
kemudian menjadi suatu professi.
Bukan
hanya di Eropa, di Indonesia pun pekerjaan seperti itu sangat dibutuhkan,
karena pemuda-pemudi Indonesiapun tidak terlepas dari pengalaman yang
dipengaruhi leh perkembangan zaman. Pada
mulanya daerah yang sangat membutuhkan
ialah pulau Jawa, sebagai pusat pendidikan pada waktu itu di Indonesia. Di sana telah berhimpun beribu-ribu pemuda
yang mempunyai latar-belakang kesukuan yang berbeda dari berbagai pelosok
Indonesia. Mereka mempunyai adat, tradisi dan pembawaan yang berlainan. Untuk
mengarahkan muda-mudi Kristen kepada sikap pergaulan yang dewasa dan
bertanggung-jawab secara Kristen sangat dibutuhkan tenaga seorang pemimpin
pemuda.
Pemuda-pemuda
Kristen yang terdiri dari suku Batak, Sunda, Jawa, Dayak, Timor, Papua, Ambon,
Minahasa, Sangi, Toraja, Belanda, Cina dll, dihimpun dalam satu perkumpulan
yang bernama “Christelijke Jeugdvereniging”. Mereka diutamakan berbahasa
Belanda, yang dipimpin oleh seorang Jeugdleider yang bernama Dr. C.L.Van Doorn.
Van Doorn mencoba mendekati muda-mudi i,
yang diantaranya kebanyakan pelajar dan mahasiswa, dengan mengadakan
kursus-kursus dan konferensi. Dalam satu tulisannya yang berjudul “Pemuda-pemudi
Kristen di Indonesia”, Van Doorn menerangkan sebagai berikut:
“Pergerakan nasional di Indonesia didorong oleh
mahasiswa-mahasiswa yang berpendidikan Barat. Pergerakan nasional Indonesia itu
adalah permulaan negara Indonesia yang baru. Dengan demikian tiap-tiap
missioner dari Eropa dan Amerika menjadi orang asing ... Sebelum Perang Dunia
ke II sudah terdapat suatu oraganisasi pemuda/penudia di Indonesia. Memang
dapat dikatakan bahwa aktivitasnya tidak selalu tepat, tetapi secara umum
banyak orang muda-mudi itu dilayani secara teratur. Pekerjaan itu tidak
membosankan dan untuk segala umur dikembangkan aktivitas khusus. Misalnya untuk
anak-anak di kelas terakhir di Sekolah Rakyat, dan di SMP ada grup-grup kecil,
yang masing-masing terdiri dari lima orang. Mereka membaca Alkitab bersama-sama.
Pemimpin kelompok itu bertemu sekali sebulan. Untuk pemuda-pemudi didirikan
rumah pertemuan di kota industri; di samping itu diadakan kamping di luar kota
umpamanya di daerah pegunungan. Mengenai pekerjaan muda-mudi perlu diadakan
sekolah, Ikatan mahasiswa Kristen dikuatkan oleh kamping juga. Tiap-tiap tahun
diadakan konferensi Ikatan Mahasiswa di Yogya. Perkumpulan ini dan organisasi
muda-mudi mempengaruhi perkembangan
Negara Indonesia. Hampir semua orang
penting dan terkemuka dalam kehidupan gerejani, politik dan masyarakat
Indonesia adalah anggota perkumpulan ini. Pekerjan muda-mudi yang lama berhenti
pada pendudukan Jepang 1942. Tetapi
walaupun pada masa pendudukan Jepang ada larangan, Ikatan Mahasiswa tetap
merayakan doa se dunia. Tetap sejak sepuluh tahun kemudian ( ditulis pada waktu
1952), tidak terdapat lagi kelompok Kristen muda atau kamping. Anggota Ikatan
Mahasiwa dulu sudah tua, lagi pula telah aktif oleh Negara atau Gereja
Indonesia. Bahaya muncul, karena pekerjaan muda-mudi Kristen telah merosot dan
berganti dengan munculnya pergerakan pemuda nasional. Menghadapi problema ini
penting sekali ada hubungan muda-mudi itu dengan muda-mudi internasional. Hasil
konferensi mudai-mudi di Oslo sangat besar pengaruhnya. Banyak pemuda-pemudi
Indonesia dapat mengikuti konferensi itu. Pada waktu itu terjadilah aksi
politik pertama di pulau Jawa. Setelah konferensi itu didirikan kantor
sekretariat di Jakarta yang dipimpin oleh Ds. Rompas. Terbitlah suatu majalah
Kristen yang dinamai “Gelanggang Pemuda Kristen”.
Christelijke
Jeugdvereniging itu berpusat di Jakarta, dan mempunyai cabang dan
ranting-ranting di kota-kota yang ada di
pulau Jawa. Seperti diterangkan di atas, bahwa salah satu aktivitas dari
perhimpunan ini ialah konferensi.
Konferensi diadakan sekali setahun, berpusat di Cisarua dekat Padalarang
Bandung. Cisarua sengaja dipilih sebagai pusat konferensi, karena hawanya
nyaman, berbukit-bukit dan sebagai tempat pemandangan yang indah.
Demikianlah
perhimpunan ini menggerakkan pemuda-pemuda Kristen tersebut di dalam satu kesatuan untuk menggumuli
imannya. Sehingga banyak pemuda-pemudi Islam yang tertarik untuk memasukinya,
sekaligus banyak juga yang ingin menjadi Kristen, walaupun mereka mendapat
tekanan bathin dari orang tuanya.
Dr. E.Verwiebe,
Jeudgleider Pemuda Kristen Batak
Gagasan
Jeugdleider juga timbul di tengah-tengah Gereja Kristen Batak ( HKBP). Seperti
sudah disinggung di atas, oleh konferensi pemuda-pemudi Kristen Batak 24 Mei
1926, diusulkan agar Huria Kristen Batak meminta seorang tenaga Jeugdleider
dari Barmen. Synode Godang tahun itu menyambut baik usul itu, sehingga Ephorus
Dr. J.Warneck memintakan tenaga itu dari RMG, yang juga disambut oleh badan
zending itu. Jadilah diutus seorang
Jeugdleider yakni Dr. Ernst Verwiebe, yang selain ahli kepemudaan juga bertugas
sebagai pendeta. Dr E. Verwiebe tiba di tanah Batak pada bulan Desember 1927.
Verwiebe
dilahirkan pada 12 Juni 1901 di kota Munster daerah Westfalen Jerman, yang
kemudian pada tahun 1906 pindah ke kota Essen. Di kota ini dia memasuki SD
selama 4 tahun, yang kemudian meneruskan pelajarannya ke sekolah
Goethe-gymnasium, sederajat dengan SMA. Sebagai seorang murid dia ikut dalam
kelompok pelajar Alkitab, di mana dia pertama sekali memperoleh kesan keagamaan
dan pengalaman perang di Francis (perang
Dunia I). Pada tahun 1920, Verwiebe memasuki perguruan Theologia dan Filsafat.
Pada masa libur dia bekerja di pabrik untuk memperoleh uang kuliah. Di samping
itu, dia juga bekerja di dalam bermacam-macam pergerakan pemuda ( Jeugdbewegung).
Pada tahun 1923, Verwiebe dipromoskan
menjadi doktor Filsafat dengan disertasinya yang berjudul: “Pengalaman
keagamaan di dalam filsafat Fichte”. Sejak itu dia bekerja sebagai dosen pada kursus-kursus akademi di kota Essen dan
sebagai penasehat perkumpulan guru-guru muda. Pada tahun 1924, Verwiebe bekerja di tengah-tengah pemuda yang
diperbantukan kepada Pdt. Weigle di kota Essen. Pada waktu itulah dia
menyelesaikan ujiannnya yang pertama di
bidang theologia dan lulus pada bulan April 1925. Pada bulan April 1926 dia
dipanggil ke “Domkandidantenstift” (asrama mahasiswa-mahasiswa theologia untuk
bekerja di bawah asuhan Dr. Conrad, yang ketika itu wakil Presiden Gereja
Kesatuan Prusia tua. Di sanalah Verwiebe menerima panggilan dari RMG untuk pergi
menjadi pemimpin pemuda-pemuda Kristen di Sumatera. Pada bulan Maret 1927, dia menyelesaikan
ujian theologia yang ke dua, dan pada 1 Mei 1927, ditahbiskan dan dipersiapkan
kepada tugas yang baru. Verwie menikah pada 11 Oktober 1927 dengan nona Martha Blechmann.
Dua belas hari setelah itu diadakan perpisahan oleh Pdt Lie Hamburg di Gereja
Pusat di Barmen.
Verwiebe
adalah Jeugdleider yang pertama di tengah-tengah Kristen Batak. Pendekatan pertama yang dilakukan oleh
Verwiebe ialah pendekatan kepada kaum terpelajar yang berada di Tapanuli,
maupun di pulau Jawa. Untuk menarik
perhatian para pelajar itu dia menunjukkan keunggulannya di bidang permainan
olah raga yang sama sekali belum pernah dipersaksikan oleh pelajar di
Tapanuli. S. Sarumpaet yang menulis satu
tulisan yang berjudul: “Mengenang masa lalu Perkumpulan Naposobulung di HKBP”,
( ketikan, 25 halaman, Jakarta 25 Oktober 1976, hal. 6), mengatakan bahwa
semasa Verwiebe datang ke Narumonda
tahun 1928, ratusan anak-anak remaja
ternganga mempersaksikan yang
dipertunjukkan oleh Verwiebe di hadapan mereka, seperti: loncatan-loncatan
akrobatik, bermain dengan ring,
dll. Permainan yang menakjubkan itu
membuka mata pelajar-pelajar kepada bagian pemeliharaan jasmani dan otot-otot. Sejak
itulah para remaja yang belajar di HIS
tersebut semakin terdorong untuk mempelajari cara-cara yang menyehatkan badan.
Cara
pembinaan yang lain yang diselenggarakan oleh Verwiebe kepada anak-anak remaja
itu ialah: sistem “Wandervogel” atau sistem Pramuka. Dengan pengasuhan di luar
sekolah, Verwiebe membina pelajar di MULO Tarutung dengan sistem pramuka tersebut. Pada masa libur, mereka dibawa berkemah
sambil bertamasya ke alam bebas. Sambil menikmati keindahan alam dengan fikiran
yang segar, para remaja itu dilatih untuk
menolong diri sendiri, mengatur keperluan sendiri dan bertanggung-jawab
sendiri. Karena dengan perlengkapan yang sangat sederhana dan kadang-kadang
tidak mencukupi, para remaja itu dipaksa oleh keadaan dan situasi untuk dapat
berfikir menggunakan benda yang dijumpai di tempat itu untuk memasak,
mempersiapkan tempat berteduh, mengambil air minum, dsb. Dengan cara berkemah yang diatur sedemikian
rupa, Verwiebe melatih anak-anak yang selalu dimanjakan di rumah oleh orang
tuanya untuk berdisiplin tidur dengan teratur, bangun dengan teratur, demikian
juga melatih waktu makan dan istirahat dengan teratur. Benar-benarlah mereka dibina melalui
pemberian tugas masyarakat untuk bertanggung-jawab menyelesaikan tugas yang
disampaikan kepada mereka. Ke dalam jiwa para remaja itu ditanamkan semboyan
yang mengatakan: “satu untuk semuanya dan semuanya untuk satu”.
Untuk
melatih fisik dan mental, Verwiebe mencoba membawa anak-anak muda itu berjalan
kaki sambil memikul rangsel di bahu dengan berat rata-rata 30 kg, dengan
berbaris teratur dari Tarutung ke Muara ( sebuah tepi pantai di sebelah Barat
Danau Toba), dari sana naik perahu ke Nainggolan, berjalan kaki melewati Palipi
ke Pangururan di pulau Samosir. Istirahat sebentar di Pangururan, kemudian
meneruskan perjalanan kaki tersebut mendaki Dolok Pusuk Buhit. Dengan cara
demikian menurut Verwiebe semakin mantaplah sifat ketahanan dan keuletan jiwa
yang harus dimiliki oleh seorang pemuda. Karena itu bagi Verwiebe, menyerah
kalah di tengah jalan adalah sifat yang sangat dipantangkan.
Dalam
sistem pramuka tersebut, Verwiebe juga melatih anak-anak muda itu dengan
mengadakan perayaan-perayaan. Seperti
dikatakan oleh S. Sarumpaet selanjutnya,
bahwa semasa mereka duduk di sekolah MULO, pada waktu libur, mereka
dibawa oleh Verwiebe berkemah dua minggu lamanya di Sigaol, di antara
bukit-bukit dengan pantai Danau Toba. Di sana mereka dilatih merencanakan
pertahanan dan penyerbuan untuk merebut suatu benteng yang ditentukan di salah
satu bukit. Dibentuk dua kelompok yang berhadapan, yang masing-masing kelompok
lengkap dengan “komandan”, yakni komandan seksi dan komandan pleton. Mereka
diberi tuntunan bagaimana caranya menyerbu dari lambung kanan, kiri dan
tengah. Mereka diperlengkapi dengan senjata
bambu, yang pada ujungnya diberi sebuah bola kayu yang dibalut, supaya jika ada
yang kena olehnya jangan sampai melukai. Dengan cara demikian mereka diajar
untuk menyusun strategi dan untuk pandai mencari jalan cara untuk bisa sampai
ke tujuan. Dalam latihan perang itu, cara-cara yang licik dilarang keras,
karena cara tersebut adalah menunjukkan cara yang tidak kesatria. Dan jika kalah, tidak perlu sakit hati,
tetapi harus mengaku kekalahan dengan sportif.
Dengan demikian anak-anak muda itu dilatih untuk menghargai sifat-sifat
kejujuran dan keberanian. Sifat pengecut
dan penghianat adalah sifat yang harus
dibuang jauh-jauh. Akan tetapi pembinaan melalui latihan perang-perangan yang
telah disukai oleh anak-anak pelajar tersebut, berhenti dengan tiba-tiba,
karena pemerintah Belanda melarangnya.
Barangkali pemerintah Belanda takut kalau-kalau anak-anak Batak itu
menjadi orang yang berjiwa patriot, suka berkelahi, sehingga di kemudian hari
mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda sendiri. Tetapi jelas sekali
bahwa pembinaan dengan sistem Pramuka itu adalah bertujuan untuk meletakkan
dasar kepribadian yang berani, jujur, pandai dan patuh berorganisasi, tahan
uji, ulet, dipercaya, hidup teratur dan berdisiplin dan mempunyai rasa
tanggung-jawab. Syukur bagi Tuhan Tuhan,
bahw di daerah kita tersedia alam yang luas dan indah, yang dapat dipergunakan
dan dinikmati dalam menempa hidup pemuda-pemuda ke arah itu.
Di
samping pelajar-pelajar yang ada di Tapanuli, Verwiebe juga giat untuk membina pemuda-pemudi terpelajar yang ada di pulau
Jawa dan Sumatera Timur. Verwiebe dapat
lebih mudah mendekati mereka, karena sebelumnya telah dibentuk Persatuan
Kristen Batak, di kota-kota yang ada di pulau Jawa dan Sumatera Timur. Menurut laporan dari Dr. E.Verwiebe pada
tahun 1933, jumlah anggota Persatuan Kristen batak yang ada di pulau Jawa, telah
ada 20 orang di Surabaya, 45 orang di
Solo, 25 orang di Bandung, 30 orang di Lembang, 20 orang di Buitenzong (Bogor
sekarang), 80 orang di Jakarta. Dan di
Sumatera sendiri kelompok pemuda terpelajar itu juga sudah terbentuk. Misalnya
di Pangkalan Berandan kelompok ini telah beranggotakan 20 orang, di Medan, 50
orang, di Pematangsiantar 40 orang, di Tarutung 40 orang, di Doloksanggul 15 orang, di Fort de Koch ( Bukit Tinggi
sekarang) 20 orang. Di dalam persatuan ini mereka bergaul dengan bahasa Batak,
sehingga yang tidak pandai berbahasa Belanda dapat mengikutinya.
Seluruh
perkumpulan yang ada di pulau Jawa dan Sumatera itu dikunjungi oleh Verwiebe.
Mereka diisi dengan pelayanan kerohanian yang sangat dibutuhkan mereka pada waktu
itu, seperti mendadakan renungan dari Alkitab.
Muda-mudi yang telah mulai aktif mengadakan pergerakan bangsa Indonesia
juga merindukan suara Allah untuk berbicara di tengah-tengah mereka. Karena itu
Verwiebe memberikan penjelasan Alkitab itu, yang dihubungkan dengan masalah
aktual yang dihadapi mereka pada saat itu. Satu-satu waktu mereka berdoa
bersama-sama dengan mengadakan Perjamuan Kudus bersama-sama. Verwiebe juga
melayani mereka di bidang penggembalaan agar muda-muda Kristen yang berada
dalam pergumulan merasakan suau perasaan yang aman dan teteram. Kemudian muncul
juga kesaksian dari tengah-tengah muda-mudi itu, kesaksian mana semakin mendorong sesama
anak-anak Batak di sana untuk mendalami imannya dan semakin dikuatkan untuk
mengatasi tantangan yang dihadapi mereka.
Setiap
kelompok mempunyai seorang pemimpin yang senantiasa aktif untuk mengorganiser
mereka. Supaya kepemimpinan itu berjalan dengan lancar dan baik, Verwiebe juga menuliskan pedoman kepemimpinan
bagi mereka, yang disampaikan bagi setiap pemimpin oraganisasi itu. Kelompok persatuan yang berada di Sumatera
dapat dikunjungi oleh Verwiebe sekali dalam dua bulan.
Pendekatan
kepada muda-mudi umum
Dr.
Verwiebe juga berhasil mendekati pemuda-pemudi yang yang tinggal di kampung,
juga dengan sistem mendirikan kelompok-kelompok di sana. Untuk menyelenggarakan ini dia bekerjasama
dengan guru-guru zending setempat. Dengan kelompok-kelompok yang terbentuk
inilah dia menyelenggarakan kursus-kursus Alkitab, pendidikan umum dan
olah-raga, yang bertujuan memupuk pertumbuhan kerohanian dan jasmani.
Namun
dalam menggiatkan pembinaan pemuda-pemudi itu Verwiebe menghadapi masalah. Umumnya para pemuda itu tidak mempunyai
kebebasan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Mereka juga belum mempunyai
ketekunan untuk mengikutinya. Mula-mula
kelihatannya mereka sangat bergiat, tetapi kemudian menjadi berkurang. Dengan
sendirinya orang yang ingin bertahan di dalamnya menjadi malas.
Untuk
mengatasi persoalan ini, dibukalah kumpulan kecil untuk orang-orang yang saleh.
Dan bagi kelompok kecil inilah Verwiebe mencoba mengadakan Bibel-study secara
teratur. Yang dipentingkan sekarang
bukanlah jumlah anggota, melainkan keberhasilan untuk memperdalam kerohanian bagi
generasi muda itu. Pelayanan kepada para pemuda yang tinggal di kampung
itu juga dibantu untuk menggiatkannya
oleh pelajar-pelajar apabila mereka pulang ke kampung pada masa libur sekolah. Mereka melayani dengan ceramah-ceramah dalam kumpulan-kumpulan kecil.
Salah
satu masalah lagi yang dihadapi ialah kurangnya tenaga yang mampu untuk mengkordiner dan mengisi
mereka dengan kebutuhannya. Namun berkat ketekunan Verwieb untuk mengunjungi seluruh kelompok kecil itu, maka
usahanya dapat berjalan dengan baik. Sampai ke pelosok-pelosok pun, di mana ada
kelompok pemuda, Verwiebe pergi mengunjunginya. Misalnya dalam Notulen
Pekabaran Injil RMG di Tanah Batak, Verwiebe melaporkan bahwa pada tahun 1932
beliau pergi mengunjungi kelompok pemuda-pemudia yang ada di Barus. Daerah itu pada waktu itu masih termasuk
daerah hutan rimba-raya, namun telah didatangi oleh banyak orang Batak, untuk
membuka hutan itu menjadi persawahan atau perladangan menanam padi. Sebelum
kunjungannya ke sana jumlah orang
Kristen di daerah itu telah ada kira-kira
2000 orang. Dan tidak berapa lama kemudian jumlah itu semakin bertambah
lagi, dan semakin banyak pula yang
datang ke gereja berkat pergerakan
pemuda-pemudi yang ada di sana, untuk mengadakan kegiatan-kegiatan.
Kegiatan-kegiatan itu dilayani oleh
guru-guru muda yang dengan tekunnya
memberikan perhatian demi mencapai kemajuan-kemajuan. Verwiebe sempat berkunjung ke sana beberapa
kali. Setiap kali dia berkunjung dan
berkhotbah pada kebaktian minggu, umumnya para pemuda itu merasakan khotbah
yang disampaikan masih kurang panjang.
Sehabis acara minggu, para pemuda itu masih memintakan untuk mengadakan
pertemuan ekstra. Karena kebanyakan para pemuda itu yang tertarik kepada Firman Allah lebih dalam, maka Verwiebepun merencanakan
mengadakan Bibel-study di sana.
Rencana
tersebut sangat berterima bagi kalangan muda-mudi itu. Lalu dibentuklah kelompok Bibel-study di
beberapa tempat di sekitar daerah itu, seperti di Pakkat, Tarabintang dan
Parlilitan. Kursus itu selalu mendapat
kunjungan yang ramai. Supaya Bibel-study
tetap berlangsung, apabila Verwiebe berhalangan, maka Verwiebe bermaksud
menuliskan sebuah buku berbahasa Batak
yang bisa membantu pimpinan kelompok
muda-mudai itu dalam memberikan kursus Alkitab dan pengetahuan yang
lain.
Selain
yang berhubungan dengan pelayanan kerohanian, Verwiebe juga memberi pengajaran gymnastik yang merupakan
keahliannya kepada muda-mudi di kampung
itu. Tetapi setiap mengadakan kunjungan
yang diutamakan adalah pelayanan kerohanian dalam bentuk kursus Alkitab.
Kadang-kadang di beberapa tempat dia disambut dengan seruling bambu oleh
kelompok muda-mudi itu secara massal.
Guru-guru telah mengajarkan mereka untuk membuat instrumen yang
sederhana itu. Hal itu terjadi seperti di kampung Aek Raut dan Sijaran. Sering
perkumpulan itu berlangsung sampai tengah malam, dan mereka mengikutinya dengan
penuh perhatian, wlaupun dari antara mereka yag bekerja sebagai buruh di
pertambangan emas. Ini terjadi di Banuarea.
Pertemuan
sekali setahun
Konferensi Naposobulung se Indonesia
yang telah mulai sebelum kedatangan Verwiebe juga dilanjutkan oleh Verwiebe
sendiri. Tetapi dia memperluas lingkungan dari konferensi itu. Sebelum
kedatangannya, konferensi itu hanya
dilangsungkan oleh pemuda-pemudi terpelajar pada waktu libur sekolah.
Tetapi setelah datangnya Verwiebe, ke
dalam konferensi itu telah diikut-sertakan pemuda-pemudi yang bukan terpelajar,
dan yang tinggal di kampung, supaya dengan demikian persekutuan yang erat dalam
tubuh Naposobulung Kristen Batak itu semakin erat. Tetapi kadang-kadang pemuda-pemudi yang tidak terpelajar merasakan
perasaan yang kurang enak, karena pemuda-pemudi yang terpelajar itu datang
mempergubakan bahasa Belanda di dalam pertemuan, apalagi mereka lupa bahwa
diantara yang hadir itu ada yang tidak
mengetahui bahasa Belanda.
Biaya
perongkosan dari setiap utusan yang menghadiri konferensi itu dan biaya selama
konferensi adalah ditanggung oleh gereja masing-masing, sehingga dari tempat
yang jauh pun tidak terhalang datang apabila mereka kesulitan biaya. Semenjak
datangnya Verwiebe perhatian gereja banyak dicurahkan kepada pembangunan kerohanian muda-mudi itu. Dan
hasilnya memang sangat menentukan sekali dalam usaha kelanjutan missi gereja di kemudian hari. Firman Allah yang sudah tertanam dalam hati
mereka senantiasa akan hidup sepanjang masa.
Tokoh gereja dan simpatisan gereja yang ada sampai sekarang adalah
orang-orang yang sudah mendapat pembinaan yang matang dengan dasar Firman Allah
sejak dari masa mudanya. Memang itulah
dasar dari kelanjutan gereja. Apabila bibit Firman Allah telah hidup dalam jiwa
para pemuda gereja itu, maka dia akan menjadi warga gereja yang
bertanggung-jawab di kemudian hari. Tetapi apabila gereja melalaikan perhatian
terhadap pembinaan kerohanian pemuda-pemudinya, maka kelanjutan dari hidup
gereja dengan warga-warga yang bertanggung-jawab akan sulit dapat diharapkan.
Selama
Verwiebe menyelenggarakan pelayanan kepada Napsobulung Kristen Batak (ulaon
pangaramotion ni naposobulung Kristen Batak), perhubungannya dengan
Christelijke Jeugdverening atau Christilijke Jeugdraad yang ada di pulau Jawa
selalu baik. Konferensi yang diadakan di Tapanuli dihadiri oleh Dr. C.L.van
Doorn, Jeugdleider yang bertugas di pulau Jawa. Dr. E.Verwiebe sendiripun
selalu menghadiri konferensi yang di Cisarua yang diselengarakan oleh Chr.
Jeugdvereniging dan Chr. Jeugdraad. Banyak juga pelajar-pelajar Kristen Batak
yang menjadi anggota konferensi itu, seperti: Conradin Sitompul yang memimipin
perkumplan siswa-siswa Kristen K.S.
Gunung Sari di Lembang.
Dr.
Verwiebe sebagai Jeugdleider hanya
berlangsung sampai tahun 1936.
Sejak tahun itu dia telah terpilih menjadi Ephorus HKBP. Walaupun synode godang
tahun 1936 mengusulkan supaya HKBP mengusahakan penggantinya, namun Verwiebe
yang telah menjadi Ephorus pada waktu itu mengatakan bahwa hal itu belum bisa
dilaksanakan pada waktu itu. Di telah mempercayakan pekerjaan itu dapat
diteruskan oleh pengurus-pengurus NKB
yang sudah terbentuk pada waktu itu sampai menunggu tamatnya anak HKBP yang
sedang mengikuti studi di HTS ( Hoogere Theologische School) Jakarta, yang
telah dapat diangkat menjadi Jeugdleider di HKBP ( Lihat Notulen Synode Godang
HKBP 4-5 Nopember 1936 di Sipoholon, bagian ke VIII.
b.
Terbentuknya
perkumpulan NKB ( Naposobulung Kristen Batak)
Setelah Conradin Sitompul sering
berjumpa dengan pemuda-pemudi Kristen Batak
dalam konferensi di Cisarua itu, maka dia menggerakkan seluruh
pemuda-pemudi Kristen Batak yang ada di seluruh pulau Jawa untuk membentuk perkumpulan
Naposobulung Kristen Batak. Sitompul yang sudah digelari lajang tua ini banyak
berkorban untuk dapat berhasilnya rencana tersebut. Dia sudah bekerja sebagai pegawai Pos dan
Telekomunikasi di Bandung. Selaku pemuda yang sudah mendapat gaji, maka dia
banyak mengeluarkan biaya untuk keperluan pembentukan organisasi itu. Dalam hal
yang tidak bisa dilupakan tentang dirinya dalam pergerakan Naposobulung Kristen
Batak ialah: dedikasinya, pengorbanannya dan doanya. S. Sarumpaet yang sudah sempat mengenal
Conradin Sitompul ini mengatakan bahwa
berhadapan dengan dia, orang merasa seperti berada di bawah sebatang pohon yang
rindang di tepi sungai. Ini menunjukkan suasana bersama dia yang penuh
ketenangan, kesejukan dan damai.
Atas anjuran dan usaha Conradin
Sitompul inlah maka para pemuda Kristen batak yang berada di seluruh
penjuru pulau Jawa mengadakan pertemuan
di Padalarang. Ini terjadi pada bulan Oktober 1932. Sepanjang ingatan S.
Sarumpaet dalam tulisannya yang berjudul: Mengenang
masa lalu Perkumpulan Naposobulung di HKBP, dia mengatakan bahwa
beberapa yang hadir dalam pertemuan itu antara lain ialah: Manati Sitompul ( Ir.
M.Sitompul alm.), ketika itu mahasiswa
di Technich Hogeschool ( ITB sekarang), Pimin Siahaan dari HIK Bandung,
Maruar Lumbantobing, SH. Dalam pertemuan itulah terbentuklah Perkumpulan Naposobulung Kristen Batak ( NKB) yang pertama sekali dan ketuanya
dipercayakan kepada Conradin Sitompul. Tujuan dari organisasi ini terutama
untuk membimbing seluruh Naposobulung Kristen Batak ke dalam hidup kekristenan.
Melalui organisasi ini pemuda Kristen
Batak dilarang keras kawin kepda perempuan yang beragama lain. Kalau sekiranya
seseorang tidak dapat lagi menghindarkan untuk tidak mengawininya, dia harus
lebih dulu mengusahakan perempuan itu bersedia menjadi Kristen. Maka disamping
memelihara dan mengawasi pemuda Kristen Batak
supaya jangan ada yang murtad dari agamanya, juga dengan usaha ini pemuda
Kristen juga ikut melakukan missi kepada yang beragama lain. Tak dapat disangkal dari antara pemuda-pemuda
itu ada juga yang terjerumus, sehingga terpaksa memasuki agama Islam karena
kawin dengan putri Islam. Tetapi banyak
juga yang berhasil mengkristenan perempuan yang beragama islam, sebelum
dikawininya, dan orang tua dari perempuan itu turut masuk menjadi Kristen,
setelah menyadari kelebihan agama Kristen dari agama Islam.
Pada mulanya usaha ini
dimaksudkan untuk mempersatukan seluruh
perkumpulan pemuda-pemuda Kristen Batak yang berada di pulau Jawa dalam satu
wadah NKB. Tetapi dalam program jangka panjangnya organisasi ini bertujuan
untuk mempersatukan seluruh Naposobulung
Kristen Batak, baik yang tergolong kaum terpelajar maupun yang tinggal di
kampung halaman, baik itu wanita maupun pria dibawah panji-panji Kristus.
Pada waktu pembentuka perkumpulan NKB, Gereja Kristen Batak sudah mengalami
perpecahan. Dari HKBP telah memisahkan
diri dalam organisasi yang lain, yakni Huria Christen Batak ( HChB), Punguan
Kristen Batak (PKB) dan Mission Batak. Supaya semua pemuda-pemudi Kristen Batak
dapat ditampung dalam perkumpulan NKB ini, maka perkumpulan ini tidak berusaha
untuk mengikatkan diri kepada HKBP. Karena itu NKB belum merupakan oragnisasi
gerejawi, tetapi missinya selalu berwarna kekristenan. Maka oragnanisasi NKB
merupakan organisasi yang tersendiri di samping gereja-gereja Kristen Batak
yang telah ada pada waktu itu.
Karena gerakan dari NKB ini
dimulai dari pulau Jawa, maka pada mulanya pengurus (Hoofdbestuur)nya adalah
berkedudkan di pulau Jawa. Tetapi pada
tahun 1934, pada rapat yang diadakan bulan Juli, diputuskanlah untuk
memindahkan Hoofdbestuur itu ke Tapanuli, supaya para pemuda-pemudi Kristen Batak
yang berada di Tapanuli dan Sumatera Timur dapat lebih mudah dilayani sekaligus
bersatu dalam perkumpulan NKB. Sejak itu pengurus yang berada di pulau Jawa
berobah hanya menjadi sub-Hoofdbestuur dan merekalah yang mengurus
penyelenggaraan kegiatan NKB yang berada di pulau Jawa.
Dalam Hoofdbestuur yang telah pindah ke Tapanuli, terpilih
D.W.Lumbantobing, yang pada saat itu guru di HIS pemerintah sebagai Voorzitter
( Ketua ) I, dan R.Simanjuntak yang
bertugas sebagai guru di Chr. HIS Sipompulon sebagai Voorzitter II. Dr.
E.Verwiebe yang tetap sebagai Jeugdleider di lingkungan HKBP, merangkap sebagai
Sekretaris I, dan J. Tambun, guru di Chr. HIS
Sigompulon sebagai Sekretaris II.
Selain dari Conradin Sitompul
sebagai Voorzitter NKB yang pertama, yang pernah terpilih sebagai pengurus NKB
di pulau Jawa ialah Melanthon Siregar, Dr. Mangara Tambunan SH dan W. Silalahi.
Konferensi
yang meriah
Setelah tiga tahun usaha
Conradin Sitompul dijalankan, maka tahun 1935 dia mengundang seluruh pemuda-pemudi Kristen Batak yang bernaung
dalam perkumpulan NKB mengadakan konferensi NKB di kota Bandung. Pada waktu itu
apa yang dia cita-citakan telah menjadi kenyataan. Semua perkumpulan yang
tadinya tidak mempunyai hubungan satu sama lain telah bergabung dalam NKB.
Konferensi berlangsung selama satu minggu dalam suasana akrab dan penuh
idealisme. Pada waktu itu dari antara
para utusan sudah ada satu dua orang
yang progressif, terutama yang membaca “Nationale Commentare”, sebuah majalah politik asuhan alm. Dr. Sam
Ratulangi, yang pada waktu itu tokoh
terkemuka dan pendekar pejuang dalam “Volksraad” Hindia Belanda. Ada juga yang
turut berlangganan “Api”, sebuah surat kabar bagi Indonesia Muda, yang
diedarkan secara sembunyi-sembunyi dari tangan ke tangan, yang merupakan
gerakan illegal di mata Pemerintah Belanda. Para anggota NKB banyak sedikitnya
ikut bersimpati kepada gerakan yang mulai menggelora pada waktu itu. Karena kedudukan NKB yang bebas sebagai
perkumpulan, sangat membantu sekali, sehingga gereja tidak terlibat dalam percakapan-percakapan diam-diam mengenai
perjuangan kebangsaan. Etiketnya yang
jelas adalah “Christelijke Jeugdvereniging”, perkumpulan pemuda Kristen,
membuat pemerintah Belanda tidak pernah menyangka NKB ikut membahas soal-soal
kebangsaan.
Jiwa pemuda-pemudi pada waktu
itu telah mulai sadar akan harga dirinya yang selama ini diperlakukan oleh
Pemerintah Belanda tidak senonoh. Pengurus-pengurus berbahasa Belanda yang tadinya mungkin oleh penjajah hanya
dimaksudkan supaya memperoleh tenga-tenaga terpelajar bagi perkembangan
sosial-ekonomi penjajahannya, adalah kumpulan untuk pencerdasan otak anak-anak
Indodesia, yang ternyata menjadi pisau belati yang menusuk diri pemerintah
Belanda sendiri.
Dlam konferense meriah tahun
1935 itu, jelas bahwa kaum NKB pun turut
mengikuti jejak dan derap massanya. Dasar dari NKB yang menyatakan iman kepada
Yesus Kristus, telah mempersiapkan anggota-anggotanya untuk saksi-saksi dalam
segala bidang kehidupan yang dipertahankan semurni mungkin, termasuk membela
nasib bangsanya sendiri yang masih terbelenggu itu. Hal ini nyata sekali dari Ende Hatopan NKBP yang berjudul “Udur ma hita sasude” (Mari kita
semua satu barisan), yang melodinya ditulis oleh August Pasaribu pada tahun
1933 di Probolinggo, dan syairnya oleh S. Sarumpaet. (Lagu ini menjadi lagu
kesayangan sampai sekarang di kalangan Naposobulung HKBP).
Conradin Sitompul tidak lama
diizinkan oleh Tuhan bersama-sama dengan teman-temannya di NKB, karena dia
meninggal. Tetapi selama dia memimpin NKB, dia telah meninggalkan dan
mewariskan kenangan indah untuk kelanjutan dari NKB.
Kegiatan
NKBP di kampung halaman
Kegiatan
NKBP di kampung halaman adalah dipelopori oleh para pemuda Kristen Batak yang
telah menamatkan studinya di pulau Jawa, dan yang telah kembali ke Tapanuli.
Sehingga boleh dikatakan kehidupan dari
NKB itu sangat tergantung kepada para bekas-pelajar yang berasal dari pulau
Jawa yang kebanyakan sudah pulang ke Tapanuli. Maka atas kesepakatan
Hoofdbestuur dari Tapanuli dan Sumatera Timur, pada bulan Juli 1936 diadakan
konferensi di kompleks Zending HKBP
(Hermon) yang sekarang, yang dahulu masih milik Nommensen Schoolvereniging” di
Jalan Gereja Pematangsiantar. Dalam konferensi itu diambil kata sepakat untuk
melanjutkan perkumpulan NKB, dengan program jangka panjang yaitu untuk
menggalang semua Naposobulung Kristen Batak yang tinggal di bonapasogit, baik
yang bersekolah maupun yang bukan pelajar. Semua perkumpulan naposobulung yang
sudah terbentuk dalam gereja-gereja setempat akan dipersatukan dalam wadah
NKB. Itulah usaha dari pengurus-pengurus
NKB itu, selama dua tahun mereka berusaha, agar tujuan yang baik itu dapat
terrealiser. Ternyata usaha mereka
memang tidak sia-sia. Karena pada bulan
Juli 1938 mereka berhasil mengadakan satu kongres NKB, bertempat di kota
Sibolga. Dari segala penjuru berdatangan utusan-utusan untuk menghadiri kongres
tersebut. Dan nyata kebanyakan utusan
itu berasal dari Tapanuli dan Sumatera
Timur. Dari Jawa hanya satu dua orang
yang kebetulan hadir. Suasana dari konferensi itu mencerminkan suasana yang
akrab sekali. Pemuda-pemudi di sana bergaul seperti kakak-beradik. Bahasa
pengantar adalah bahasa Batak. Seakan-akan telah tercapai impian semua dari
NKB, yakni semua Naposobulung Kristen Batak bersatu dan melangkah ke arah yang
sama.
Pada
waktu itu dibentuklah kepengurusan yang baru. D. Walter Lumbantobing tetap
terpilih sebagai ketua dan S. Sarampaet terpilih sebagai Sekretaris Jenderal,
karena Verwiebe memintakan tidak turut lagi
berfungsi sebagai Sekretaris, hanya tetap sebagai Jeugdleider. Dan P.
Siagian guru di HIS Sibolga terpilih sebagai Sekretaris I, anggota yang lain
dari Hoofdbestuur itu tetap. Untuk membantu Hoofdbestuur itu melaksanakan
tanggung-jawabnya, maka pada konferensi di Sibolga itu dibentuklah komisaris-komisaris yang bertugas sebagai kordinator di beberapa wilayah perkumpulan NKB. Menurut
S. Sarumpaet, mereka ialah:
1.
Untuk wilyah Silindung : Chr.
Rajagukguk di Tarutung
2.
Untuk wilayah Toba : B. Hutagaol di Balige
3.
Untuk wilayah Dairi : G. Manik di Sidikalang
4.
Untuk wilayah Samosir : Helman Naibaho di Pangururan
5.
Untuk wilayah Angkola : H. Harahap di Padang Sidempuan
6.
Untuk wilayah Sumatera Timur : A.H. Sihombing di Pematangsiantar
7.
Untuk wialayah Jawa : Mr. Rufinus Lumbantobing di Jakarta.
Kegiatan
Pengurus Pusat himpunan NKB yang telah berkedudukan di Sibolga pada waktu itu,
diarahkankepada dua sasaran, yakni:
1.
Konsolidasi dan pengkaderan anggota-anggota di
seluruh Indonesia.
2.
Perencanaan biaya untuk pekerjaan di Kantor
Pusat.
Untuk mencapai
sasaran yang pertama, diterbitkanlah sebuah majalah tengah bulanan di Sibolga,
yang bernama : “Naposobulung”, yang memakai bahasa daerah dan bahasa Melayu (
sekarang bahasa Indonesia), bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Oplagnya
mencapai 5000 exemplar, berisi 36 halaman, yang beredar di seluruh Tanah
Air, Kualalumpur, Singapore, Manila, New
York, Amsterdam dan Berlin. Pada waktu
itu sudah ada Naposobulung Kristen Batak yang tinggal di kota-kota tersebut,
yang kebanyakan bukan karena belajar, tetapi karena merantau. Pemimpin Redaksi
majalah tersebut, dipercayakan langsung kepada Sekretaris Jenderal. Majalah itu
berisikan: renungan dari Alkitab, soal organisasi, rubrik tentang bona pasogit
(tentang kejadian dan adat), ilmu pengetahuan, keadaan Tanah Air, rubrik kebudayaan ( syair dan Prosa kiriman),
dan berita dunia. Pada pokoknya nada dari missi majalah itu bertujuan untuk
pembaharuan pandangan hidup para anggota mengenai berbagai segi kehidupan (
adat, perkawinan, dsb.), supaya selalu berlandaskan Firman Tuhan. Majalah itu
sangat berguna sekali untuk mengikat persaudaraan dan meperdalam serta
memperluas pengetahuan umum di kalangan para anggota.
Kegiatan yang
lain dari pengurus ialah mengadakan kunjungan ke daerah-daerah secara berkala.
Sekali setahun diadakan konferensi para pengurus, dan sekali tiga tahun
diadakan kongres seluruh anggota NKB.
Salah satu
masalah yang dihadapi pengurus NKB itu adalah pembiayaan untuk pekerjaan di
Kantor Pusat, pemungutan kontribusi dari seluruh anggota, yang seharusnya
dipungut dari anggota melalui ranting dan cabang, tidak pernah terlaksana
dengan baik. Akhirnya dicarilah dermawan yang memberikan perhatian untuk
kemajuan dari NKB ini. Dan biaya yang lain untuk mencukupi sumbangan dari
dermawan itu banyak keluar dari saku pengurus itu sendiri. Perlu dicatat bahwa perjalanan keliling dari
anggota pusat tidak pernah mengalami kemacetan. Karena setiap pengurus cabang
dan ranting yang dikunjungi itu selalu menyediakan keperluan yang dibutuhkan.
Rupanya setiap cabang atau ranting dari NKB itu lebih suka mengurus sendiri
uangnya dari pada menyerahkannya kepada badan pengurus Pusat.
Satu hal lagi
yang perlu dicatat dalam kehidupan NKB di Tapanuli ialah bahwa para pemuda
terpelajar di sana membentuk suatu pertemuan yang disebut “House Party”,
dipimpin oleh A. De Velde ( Controleur Pemerintah Belanda di Balige) dan Dr. E.
Verwiebe sekali setahun bertempat di Sigompulon atau Seminari Sipoholon.
House-Party ini dilangsungkan pada peringatan Paskah. Dan pertemuan itu dimulai
pada sore hari Kamis ( sebelum hari Kematian Yesus) dan selesai pada hari
Selasa ( setelah Paskah II). Selama pertemuan dalam House-Party, yang
berlangsung selama lima hari itu,
ditanamkan jiwa kekristenan yang utuh, dengan renungan-renungan
tentang peristiwa kematian Yesus dan kebangkitannya
dan bimbingan melalui ceramah-ceramah. Seluruh kegiatan dalam pertemuan itu ,merupakan
pembinaan agar pemuda terpelajar itu dipersiapkan, kiranya di mana saja pun
mereka mendapat pekerjaan kelak dan apa saja yang dikerjakan senantiasa
berdasarkan kasih terhadap Allah dan sesama manusia sebagaimana diajarkan oleh
Tuhan.
Kemajuan yang dicapai
Boleh
dikatakan bahwa kehidupan NKBP itu menunjukkan masa yang gemilang, biarpun
mengalami kesulitan dalam soal pembiayaan. Menrut S. Sarumpaet, bahwa barang siapa pada
permulaan tahun 1941 melihat sekitar dunia pemuda Batak, maka dia akan melihat
adanya gerak maju pemuda-pemudi di mana-mana.
Mereka mengakui dan menaati pola hidup orang tua, tetapi mereka tetap
memegang kepemudaan dan ingin secara pribadi meneguk “kebenaran” tersebut, setelah
diuji sendiri, mana yang baik dan mana yang buruk menurut perobahan zaman
terutama menurut Firman Tuhan. Pengaruh –pengaruh dari luar yang diakibatkan
oleh lancarnya lalu-lintas dan komunikasi, tentu sedikit banyaknya mempengaruhi
pola hidup pemuda-pemudi pada waktu itu. Adanya bioskop, perkenalan dengan
suku-suku lain bangsa Indonesia, adanya perbedaan agama dan adat-istiadat,
semuanya mempercepat timbulnya perubahan cara berfikir mereka.
Dalam
pada itu romantisme hidup kepemudaan di desa-desa tetap berjalan seperti biasa,
meskipun di sana-sini sudah nampak adanya corak baru, akibat dari kemajuan yang bertambah pesat. Sistim pergaulan sudah mulai berubah, dari
pergaulan yang tertutup kepada pergaulan yang terbuka. Banyak muncul nyanyian
yang ramai dinyanyikan oleh pemuda-pemudi yang diciptakan oleh anak-anak Batak
sendiri seperti: Rura Silindung na uli, O Tao Toba dsb.
Pada
masa itu jugalah muncul roman-roman karya angkatan muda yang diterbitkan
oleh surat-surat kabar seperti: Bintang
Batak, Bendera Kita, bahkan dari antara
roman-roman itu muncul roman percintaan dalam bahasa Batak yang telah diwarnai
oleh kebudayaan yang modern. Roman yang mempunyai nama samaran pengarangnya
Lupmatis Niobla telah diipengaruh oleh roman-roman dunia masa itu.
Cara “mangaririt” (mencari jodoh) memang masih mengikuti pola lama, kendatipun di
sana-sini sudah mulai nampak “kebebasan” yang selalu diimpikan oleh kaum muda
itu.
Suatu
tantangan kepada NKB
Perkumpulan
NKB tidak terlepas dari pengamatan pemerintah Hindia Belanda. Walaupun NKB
hanya membicarakan soal-soal keagamaan
yang membangun jiwa pemuda Batak secara Kristen, namun perkumpulan ini
kemudian dicurigai oleh pemerinyah Belanda sebagai gerakan politik rahasia yang
bertopengkan keagamaan. Atas penyelidikan pemerintah Belanda diketahuilah bahwa
Dr. E.Verwiebe pernah menjadi pemimpin pemuda Nazi di Jerman, sebelum
kedatangannya menjadi Jeugdleider di HKBP. Pada waktu itu ada gerakan NSB ( National Socialistische
Bond) “ormas” dari gerakan Nazi aktif di tanah Belanda. Ada kontroleur di
Sibolga setelah Jerman memasuki tanah Belanda tahun 1940 pernah mengatakan
bahwa ada kemungkinan NKB itu adalah topeng dari NSB. Akibatnya voorzitter dari NKB, D.W. Lumbantobing
terpaksa dihadapkan ke hadapan Magistraad. Karena D.W.Lumbantobing kurang
pandai memberikan penjelasan di hadapan Magistraad itu, maka melalui Departemen
Pendidikan dikeluarkan surat keputusn untuk memberhentikan dia dengan hormat
sebagai guru, dengan alasan tidak sanggup menjadi guru (Ongeschikt als
onderwijzer), walaupun sebenarnya dia telah beberapa kali mendapat kondute baik
dari Inspektur.
c. Sambutan gereja-gereja terhadap Perkumpulan
NKB
Seperti telah
disebutkan di atas, bahwa pada waktu terbentuknya perkumpulan NKB ini, Gereja
Kristen Batak tidak hanya terdiri dari gereja HKBP lagi, melainkan dari HKBP
telah ada beberapa gereja lain yang memisahkan diri seperti HChB, PKB dan
Mission Batak. Tetapi gerakan NKB tidak membedakan seseorang menjadi anggota
gereja, dan tidak mengikatkan diri terhadap sesuatu gereja Batak itu. Pengurus
dari NKB selalu berusaha agar pemuda-pemudi Kristen Batak dapat bersatu dalam
NKB, baik itu anggota HKBP, HChB, PKB dan Mission Batak. Tetapi itu selalu
gagal, karena HChB, PKB dan Mission Batak tidak menginginkan pemuda-pemudi yang
masuk anggota gereja itu bersatu dalam NKB. Gereja-gereja itu menganggap bahwa adanya perkumpulan NKB adalah satu usaha untuk menarik
anggota-anggota mereka ke dalam HKBP. Karena itu umumnya anggota dari NKB adalah
anggota dari gereja HKBP. Dan memang HKBPlah yang banyak memberikan bantuan
moral dan material demi kelangsungan dari perkumpulan NKB itu.
d. NKB pada masa pendudukan Jepang
Setelah pendudukan
Jepang di Indonesia, perkumpulan NKB
sekaligus dengan kegiatan-kegiatannya berhenti dengan tiba-tiba.
Pemerintah Jepang yang telah berkuasa setelah menaklukkan pemerintah Belanda,
melarang segala kegiatan politik dan gerakan pemuda, baik itu yang berazaskan
keagamaan. Sekolah-sekolah swasta banyak yang ditutup, dan sekolah-sekolah
lainnyapun terpaksa dirobah sesuai dengan haluan pemerintah Jepang. Pekerjaan
pegawaipun banyak yang berobah.
Dalam periode itu
banyak dari antara pemuda Kristen Batak masuk menjadi tentera Heiho dan Laskar Rakyat.
Situasi politik dan masyarakat menuntut
mereka terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya. Dari antara gadis pun
banyak yang terjerumus kedalam bujukan-bujukan orang Jepang itu. Mereka
dibodoh-bodohi. Dikatakannya bahwa perempuan itu akan dibawa untuk mengikuti
studi-tour ke tanah Jepang, pada hal mereka diperlakukan ke dalam lembah
kehinaan. Masyarakat memang benar-benar mengalami penderitaan yang pahit akibat
tindakan-tindakan orang Jepang itu. Banyak yang jatuh miskin dan menderita
kelaparan akibat kekurangan bahan makanan. Barang siapa yang menentang mereka
dimasukkan ke dalam tahanan, karena orang demikian dituduh sebagai pro-Belanda.
Dari antara
pengurus NKB ada yang terpaksa meletakkan jabatannya dari kepengurusan, seperti
S. Sarumpaet ( Sekjen NKB), karena dia pindah ke kota Medan. Maka pimpinan diserahkan
kepada Christian Rajagukguk, Rondang Simanjuntak, Jeremias Tambun, dkk, yang
berkedudukan di Sigompulon Tarutung. Boleh dikatakan melihat situasi selama
tiga setengah tahun penjajahan Jepang itu, pembinaan terhadap naposobulung
Kristen Batak yang telah dilaksanakan bertahun-tahun nampaknya hilang begitu
saja. Memang ada juga dari antara mereka yang tekun dan bertahan dalam iman,
dan orang-orang inilah kemudian yang menjadi tenaga inti dalam membangkitkan
hidup pembinaan kepada naposoulung di kemudian hari.
e.
Peranan NKB dalam perjuangan kemerdekaan.
Pemerintah Jepang
tidak begitu lama dibiarkan oleh Tuhan berkuasa di Indonesia. Pengalaman pahit
itu cukuplah tiga setengah tahun saja. Walaupun demikian pahitnya pengalaman bangsa
Indonesia umumnya, khususnya dalam tubuh NKBP pada waktu itu, namun dari sana
dapat diperoleh bahan-bahan pengalaman yang menyangkut soal-soal politik dan kemasyarakatan. Karena
segera setelah kekalahan Jepang, proklamsi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945 dikumandangkan untuk seluruh dunia.
Tetapi pemerintah Belanda ingin kembali menegakkan kekuasaannya di
Indonesia. Tetapi bangsa Indonesia berusaha mempertahankan kemerdekaan yang
telah dinyatakan itu dan tidak mau lagi dikuasai oleh Belanda. Karena itulah
timbul peperangan melawan tentera Belanda. Peperangan itu lebih nyata kelihatan
di antara pemuda-pemuda bangsa Indonesia. Akhirnya mereka disebut “bunga
bangsa” dan ‘kebanggaan tanah air”,
karena merekalah yang mati-matian memperjuangkan kemerdekaan itu. Di
antara pemuda-pemuda itu, semakin timbul kesadaran nasional dan politik yang
bertanggung-jawab. Anggota-anggota NKB tidak terlepas dari keikut sertaan dalam
perjuangan tersebut. Mereka secara penuh iman menyaksikan dalam siatuasi
demikian, bahwa kekristenan dan gereja bukanlah warisan pribadi dari Barat dan
orang Kristen bukanlah penghianat dalam perjuangan bangsa, melainkan
orang-orang Kristenpun harus turut berpartisipasi dalam persoalan-persoalan politik. Karena itulah anggota NKB, terutama bekas pengurusnya banyak yang ikut
menjadi TKR (Tentera Keamanan Rakyat). Di kota-kota besar seperti Medan,
Palembang, Jakarta, Surabaya, malah sampai Ujung Pandang terdapat nama-nama
bekas anggota NKB yang mencemplungkan
dirinya dalam perjuangan, bersatu padu
dengan saudara-saudaramya dari suku Jawa, Minahasa, Ambon, Sunda, dll.
Dari antara mereka banyak bekas guru HIS, yang banyak sedikitnya sudah
tahu tentang latihan baris-berbaris, ikut
melatih prajurit-prajurit TKR di mana-mana. Juga tidak sedikit dari antara
mereka yang gugur di Medang Perang.
Pemuda Kristen Batak juga tidak ketinggalan dalam perjuangan, hal itu
dapat dilihat dalam laskar MALAU dan BEJO yang pada peperangan itu tidak kecil
sumbangannya di Tembung dan di Tapanuli yakni pada Agresi II.
Pemuda-pemuda Kristen Batak terpelajar
kelahiran Tapanuli pada masa itu tidak sedikit yang memegang peranan untuk
melawan tentera Belanda. Kesemuanya ini menunjukkan kehadiran dari
pemuda-pemuda Kristen Batak dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Suatu hal yang harus dibanggakann NKB pada waktu itu ialah bahwa seorang
pengurus dan pendiri NKB, yaitu Mr. Rufinus Lumbantobing pernah menjadi Jaksa
Agung Muda RI di Bukit Tinggi semasa perjuangan itu. Tentang peranan
pemuda-pemuda Kristen Batak dalam perjuangan di masa itu, juga diucapkan oleh
Jenseral A.H. Nasution dalam sambutannya pada Jubileum 100 tahun HKBP, yang
diadakan di Jakarta tahun 1961, di mana beliau berkata, sbb:
“Pemuda-pemuda
Batak yang menjadi anggota HKBP banyak juga yang menyumbangkan tenaga, fikiran
dan raganya dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan hanya di
Sumatera Utara, tetapi juga di Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Surabaya,
Makassar dan lain-lain tempat, pemuda Kristen Batak turut berjuang, malahan
kerap-kali menjadi pelopor dari perjuangan kemerdekaan itu. Pemuda-pemuda Batak
ini yang telah diajar untuk berbakti kepada Tuhan tidak ketinggalan untuk
berbakti kepada Tanah Air Indonesia. Dalam makam-makam pahlawan sejak dari Kutaraja sampai Ambon, saya terharu
melihat kuburan-kuburan pejuang dari pemuda-pemuda Kristen HKBP pada khususnya
di samping kuburan-kuburan pejuang Islam dan agama lain. Ini memperlihatkan kepada saya bahwa gereja
Batak HKBP mengajak anggota-anggotanya menjadi
nasionalis-nasionalis yang mencintai Tanah Airnya, yang menjadi anggota
yang taat beragama, dan menjungjung tinggi Pancasila dasar Negara kita”. (
Lihat: “Seratus tahun kekristenan dalam
sejarah Rakyat Batak”, Panitia Distrk IX Perayaan Jubileum Seratus tahun
HKBP, jalan Kramat IV/37, Jakarta, hal. 18).
7. Terbentuknya Perkumpulan Naposbulung HKBP
a. Latar-belakang berdirinya
Setelah berakhirnya perjuangan fysik melawan Belanda pada tahun
1949, maka fikiran untuk membentuk suatu penampungan Naposobulung di mana
mereka bisa mendapat pembinaan khusus muncul kembali. Karena perkumpulan NKB
tidak berjalan lagi setelah masa pendudukan Jepang di Indonesia, maka para naposobulung itu telah banyak yang
terbawa arus zaman pada waktu itu. Akibat deras arus kemajuan yang
mengombang-ambingkan generai penerus itu, maka dari antara mereka tidak sedikit
yang jatuh kepada dekadensi moral, baik pria maupun wanita. Banyak juga karena pengaruh
zaman Jepang dan zaman revolusi Kemerdekaan yang pada waktu itu, pembinaan
kepada naposobulung hampir tidak ada.
Menurut Sutan Badia Raja Nainggolan dalam tulisan singkatnya yang berjudul: “Sejarah ni pemuda di bagasan 10 tanon
parpudi”, yang disampaikan pada konferensi Naposobulung tahun 1952 di
Sipoholon mengatakan, telah banyak dari antara para pemuda yang jatuh kepada
tindak pembunuhan dan pencurian. Mencuri
harta dari temannya bahkan membunuhnya supaya dia berhasil mencuri. Di antara
gadis-gadis telah ada yang jatuh kedalam krisis moril, karena dari antara
mereka banyak yang pergi ke dokter-dokter, karena akibat dari krisis moril
tersebut.
Dalam synode godang sejak tahun 1948, persoalan kepemudaan
tersebut termasuk persoalan yang hangat dibicarakan. Dalam Synode Godang tahun 1948, Gr. R.
Simanungkalit menyampaikan sebuah refraat yang menganjurkan agar perkumpulan
NKB dapat dihidupkan kembali. Dalam refraatnya dia mengatakan bahwa
naposobulung yang tinggal di Bona Pasogit berbeda dengan Naposobulung yang
berada di perantauan. Naposobulung yang tinggal di Bona Pasogit masih hidup
dalam ikatan adat, keluarga dan famili dan tinggal bersama orang tua. Sedangkan
yang tinggal di perantauan telah
menghadapi banyak tantangan bahaya, yang bisa menghancurkan nilai kerohanian
yang telah mereka pegang sebelumnya.
b. Berdirinya perkumpulanan NHKBP dan
tujuannya
Supaya perkumpulan-perkumpulan
Naposobulung yang telah ada di
“Huria-huria” (Jemaat-jemaat) itu bersatu dalam satu kesatuan dakam tubuh HKBP,
maka Pucuk Pimpinan menyarankan kepada
pengurus NKB dulu seperti D.W.Lumbantobing (ketua NKB dulu yang telah
menjadi guru di Seminari Sipoholon) untuk mendirikan Perkumpulan Naposobulung
HKBP (NHKBP). Dengan perkumpulan NHKBP
ini maka gereja dapat menuntun secara langsung Naposobulung itu menjadi
generasi penerus gereja untuk masa depan. Untuk merealisasikan rencana ini maka
diadakanlah oleh Pucuk Pimpinan HKBP konferensi NHKBP yang pertama, dan untuk
mengikutinya diundanglah utusan
Naposobulung dari seluruh HKBP. Konferensi itu berlangsung pada 23-26 Juni 1952
bertempat di kompleks Seminari Sipoholon Tarutung. Pada pesan konferensi itu
untuk seluruh Jemaat HKBP disebutkan bahwa para utusan itu hadir dari 30 Ressort HKBP, sebanyak 50
orang. Untuk menyelesaikan persiapan terhadap konferensi itu Parhalado Pusat
HKBP memberi kepercayaan kepada Ds.
T.S.Sihombing yang sejak tahun 1951 telah menjadi Direktur Seminari Sipoholon.
Pada mulanya konferensi itu hanya untuk
menghimpun Naposobulung dalam satu kesatuan, serta mengumpulkan fikiran-fikiran
dari antara mereka dalam rangka untuk mencari usaha kelanjutan dari perkumpulan
Naposobulung di tengah-tengah HKBP. Jelas dalam Notulen Konferensi itu
dituliskan bahwa pada hari pertama konferensi itu telah diputuskan bahwa sifat
dari konferensi itu adalah untuk membentuk satu badan yang menyelenggarakan
putusan konferensi serta menetapkan badan pengurus yang permanen.
Ketua konferensi itu terpilih
D.W.Lumbantobing, Sekretaris H.M.Sihombing, utusan dari Butar, dan M.P.
Pasaribu, utusan dari Sibolga. Untuk membekali fikiran-fikiran mereka dengan
persoalan yang berhubungan dengan pembinaan Naposobulung, kepada mereka
disampaikan beberapa prae-advis oleh
beberapa tokoh gereja dan simpatisan Naposobulu, anta lain: Dr. J.Sihombing (
Ephorus HKBP), dengan judul: Gereja dan
Pemuda; M.Djaidin Purba dengan judul: Pemuda
Kristen dalam gerakan politik; Sutan
Badia Raja Nainggolan dengan judul: Sejarah
Pemuda dalam 10 tahun terakhir; Rev,
S.Devanesan dengan judul: Pergerakan Pemuda Kristen di India; S. Sarumpaet
dengan judul: Pelajaran dan Pendidikan
Kristen di Indonesia; A.E.S, Nababan
dengan judul: Pergerakan Pemuda Kristen di Indonesia.
Dalam konferensi yang berlangsung selama
empat hari itu, setelah seluruh yang hadir memeras fikirannya, dapatlah
diperoleh hasil yang sangat menentukan sekali dalam pertumbuhan Naposobulung
HKBP ke depan. Pada waktu itu diputuskanlah berdirinya Badan NHKBP ( Verslag
dari konferensi dimasukkan dalam SP Immanuel HKBP, 13 Juli 1952, no. 28). Dan
pada konferensi tersebut dapatlah tersusun Anggaran Dasar sementara perkumpulan
NHKBP, demikian juga dengan pengurus-pengurusnya. Anggaran Dasar itu masih bersifat sementara
karena belum disetujui oleh Synode
Godang dan kemudian disyahkan oleh konferensi.
Dengan terbentuknya organisasi NHKBP
sebagai satu Seksi dalam tubuh HKBP,
maka dapatlah diharapkan bahwa NHKBP itu lebih bebas menggumuli imannya
berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam arus zaman yang
senatiasa membawa perubahan. Dan melalui
organisasi ini maka gereja dapat lebih berhasil untuk mencampurinya, sehingga
badan itu tidak berbuat di luar garis lingkungan gereja.
Pengurus sementara yang terpilih dalam
konferensi itu ialah:
Jeugdleider :
Ds. T.S.Sihombing
Ketua : Gr. D.W.Lumbantobing
Wakil Ketua : S. Sidabutar,
Medan
Skretaris I dan II : ( yang dipercayakan kepada Ketua untuk
memilihnya, yaitu):
Sekretaris I, merangkap
Bendahara : J.N.Hutauruk
Sekretaris II : S.M.Sitompul
Commissarissen :
1.
Medan : V.N.Napitupulu, di Medan
2.
Humbang : H.M.Sihombing, di Butar
3.
Sum. Timur :
S.M.Siahaan, di P.Siantar
4.
Silindung :
J. Lumbantobing, di Tarutung
5.
Simalungun :
T. Tarigan, di Saribudolok
6.
Sibolga :
C. Hutagalung, di Sibolga
7.
Dairi :
P.G.P.Panggabean, di Sidikalang
8.
Angkola :
W. Simanjuntak, di Padang Sidempuan
9.
Samosir :
B. Nadeak, di Pangururan
10.
Jawa :
A.E.S. Nababan, di Jakarta
11.
Toba :
C. Simanjuntak, di Balige
Setiap anggota komisaris ini ditugaskan untuk bekerjasama dengan Praeses setiap
Distrik, untuk membentuk perkumpulan NHKBP di sana. Merekalah yang mengorganiser,
mengkornider, dan bertangung-jawab
terhadap pengurus Pusat.
c. Sambutan Gereja
Pada Synode Godang HKBP 26-28 Nopember 1952, yang dilangsungkan
di Seminari Sipoholon, maka Ds. T.S.Sihombing, yang telah diangkat sebagai
Jeugdleider sejak 1951 menyampaikan laporan tentang terlaksananya Konferensi
NHKBP, dan telah terbentuknya perkumpulan NHKBP, lengkap dengan Anggaran dasar
dan Pengurusnya, supaya disahkan oleh Synode Godang tersebut. Setelah Ds.
T.S.Sihombing membacakan laporannya, maka Kerkbestuur memberikan praeadvisnya,
mengenai hal ini, antara lain:
1.
Supaya di setiap jemaat setempat (huria
marsadasada) digiatkan gerakan NHKBP.
2.
Anggaran Dasar itu disetujui (hanya istilah
anggaran dasar diganti dengan reglement, karena itulah semestinya NHKBP sebagai
satu seksi di HKBP).
3.
Kerkebestuur menyetujui akan perlunya seorang
Jeugdleider di Jakarta, yang langsung berpusat ke Pusat NHKBP. Untuk Jeugdleider
ini lebih baik diangkat dari Pendeta Batak, tetapi jika hal itu belum bisa,
dapat juga dengan tenaga dari laur negeri.
Synode menyambut dengan gembira berdirinya Seksi NHKBP itu. Dan
pada saat itu jugalah ada yang mengusulkan dari antara wanita diikutsertakan
menjadi pengurus, dan Seksi Wanita juga telah perlu berdiri di HKBP. Tentang Seksi NHKBP ini, maka Synode Godang
tahun 1952 memberikan keputusan, antara lain:
1.
Setiap Jemaat Setempat ( huria marsadasada )
supaya mendirikan perkumpulan NHKBP.
2.
Isi dari Reglement itu dapat disetujui.
3.
Ds. T.S.Sihombing menjadi Alg. Jeugdleider sementara.
4.
Jeugdleider untuk Jakarta akan diusahakan.
5.
Tentang Seksi Wanita akan dipikirkan.
(Notulen
Synode Godang HKBP tahun 1952, hal. 11).
Setelah Synode Godang mensahkan
berdirinya perkumpulan NHKBP sebagai
satu Seksi dalam HKBP, maka diumumkanlah ke setiap Jemaat Setempat di mana berdiri gereja HKBP, agar masing-masing Jemaat
Setempat mendirikan perkumpulan NHKBP. Dengan seruan ini maka bangkitlah
semangat pemuda-pemudi yang selama ini
boleh dikatakan telah tertidur sama sekali.
Timbullah kemudian perkumpulan-perkumplan NHKBP yang kemudian semakin
digiatkan pula dengan berbagai aktivitas yang dapat merangsang mereka untuk
menghayati imannya dan membantu mereka bertumbuh menjadi orang Kristen yang
dewasa.
d. Aktivitas-aktivias tahap permulaan
Sejak berdirinya perkumpulan NHKBP sebagai satu Seksi di HKBP,
maka diharapkanlah melalui Seksi ini pelayanan pembinaan terhadap naposobulung
semakin dapat ditingkatkan dan terarah. Untuk ini diusahakanlah berbagai
aktivitas, sehingga dengan aktivitas itu para naposobulung tersebut dapat dikumpulkan secara bersama-sama. Setiap tahun pada bulan Juni sejak tahun
1952, diperingati sebagai bulan
“parheheon” ( hari kebangkitan) NHKBP. Pada mulanya bulan ini diisi oleh
NHKBP dengan penuh kegembiraan, yang ditunjukkan dalam berbagai permainan
seperti: olah raga, drama, festival koor, dll.
Pengurus-pengurus Pusat Seksi NHKBP senantiasa mengusahakan ke
setiap Distrik mengadakan kunjungan kerja. Terutama kepada parhalado diberi
metode bagaimana caranya untuk menggembleng naposobulung dalam cara hidup gerejani. Pada mulanya Ds.
T.S.Sihombing selalu Jeugdleider pada waktu itu, apabila mereka mengadakan
kunjungan ke setiap Distrik selalu menyarankan agar jangan hanya “punguan koor”
yang dianggap sebagai anggota naposobulung. Anjuran itu berarti untuk
menghindarkan salah pengertian, salah untuk memanfaatkan perkumpulan NHKBP
hanya sebagai organisasi melulu. Karena
itu sejak dari mulanya dia telah menganjurkan agar di setiap Distrik HKBP perlu
pengangkatan seorang tenaga Jeugdleider yang full-timer agar pelayanan terhadap
naposbulung dapat digiatkan lebih luas dan merata.
Pada bulan Juli 1953 diadakanlah kongres NHKBP yang ke dua
setelah berdirinya perkumpulan NHKBP secara resmi. Kongres itu bertempat di gedung Perguruan Nasrani Immanuel di Medan. Kongres itu
dihadiri oleh para utusan dari setiap gereja
HKBP, yang pada waktu itu diperkirakan lebih dari 200 orang. Setiap
utusan menyampaikan berita dari “Huria’ masing-masing tentang NHKBP, dan
Pucuk Pimpinan N-HKBP memberikan laporan tentang pekerjaan mereka.
Dalam Kongres disampaikan beberapa ceramah dari tokoh-tokoh
masyarakat dan tokoh pendidikan. Semua ceramah itu berisi dorongan agar
naposobulung hidup sebagai orang Kristen yang bertanggung-jawab, dan
menyadari partisipasi mereka di
tengah-tengah msyarakat bangsa
Indonesia. Peranan pemuda Kristen di tengah-tengah masyarakat Indonesia
merupakan tekanan utama dalam setiap ceramah. Hal ini sangat ditekankan karena
pada waktu itu timbul provokasi yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Islam.
Kongres ini dilanjutkan dengan suatu bentuk rapat umum di
lapangan Benteng Medan. Dan mengadakan pawai di kota Medan sampai ke Taman
Bahagia ( Makam Pahlawan). Banyak orang Kristen di kota itu yang datang untuk
menyaksikan, dan pawai tersebut disemarakkan dengan musik tiup dati Sibolga. Pada
waktu itu pengaruh dari pawai dan kunjungan ke Makam Pahlawan itu sangat banyak
artinya untuk membangun kekuatan naposobulung.
Dan masyarakat Kristen yang ada di sekitar kota Medan sangat terharu
sekali dengan aksi dari para pemuda itu, karena orang Kristen tidak dipandang
lagi sebagai yang pro-Belanda dan anti
nasional. Perlu diketahui bahwa Makam Pahlawan dan Tugu Pahlawan itu, belum
siap dibangun pada saat itu. Tetapi pemuda-pemudi Kristen Batak telah
mengadakan acara peletakan bunga di kaki Tugu Pahlawan yang belum siap dibangun
tersebut. Jadi boleh dikatakan bahwa
NHKBP lah yang pertama sekali meletakkan krans bunga di kaki tugu pahlawan itu.
Ini berarti bahwa NHKBP turut menghargai nilai-nilai perjuangan pahlawan bangsa yang
mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, dan menunjukkan partisipasi mereka selaku
warga negara yang bertanggung-jawab.
Para peserta kongres juga menyadari tanggung-jawab mereka untuk
melayani dan bersekutu dengan orang-orang Kristen sekitar kota Medan. Karena
itu pada hari miggunya mereka dibagi-bagi ke beberapa gereja untuk memberikan
penjelasan dan pergumulan selama kongres kepada anggota gereja.
Kongres yang ketiga diadakan pada 29 Oktober – 2 Nopember 1956
di Sibolga. Pengurus baru diketuai oleh Pdt Jetro Sinaga yang baru kembali dari
Amerika. Kongres yang ketiga ini dihadiri juga oleh utusan-utusan dari
tiap-tiap Distrik HKBP, semuanya berjumlah 203 orang, sehingga kongres itu dinyatakan syah memenuhi quorom. Maka Ketua Panitia Kongres Pdt M.P.Sitompul menyerahkan pimpinan kepada
Ketua Majelis Kongres Gr. D.W. Lumbantobing. Adapun kongres ketiga ini mendapat
tekanan tugas untuk memikirkan usaha-usaha yang lebih mendalam untuk kelancaran
pelayanan kepada NHKBP yang pada masa lampau masih seret, sebagaimana Kongres I
di Sipoholon bertugas untuk pembentukan Seksi NHKBP, dan Kongres II di Medan
bertugas untuk menetapkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ( Reglemen )
NHKBP.
Pada Kongres III di Sibolga yang dibuka dengan evangelisasi di
gereja dan resepsi di Sopo Naposobulung HKBP Sibolga, yang dihadiri undangan
dari Pemerintah juga, menggumuli Firman Allah melalui penelaahan Alkitab dan ceramah-ceramah yang
menggambarkan perkembangan pelayanan Pemuda di dalam dan di luar negeri untuk
dipedomani oleh NHKBP dalam melancarkan kegiatan-kegiatannya, yang pada
laporan-laporan dari daerah-daerah NHKBP menunjukkan masih banyak yang seret,
maka akhirnya dirumuskan beberapa usaha peningkatan tugas-tugas dalam
oraganisasi NHKBP.
Satu hal yang sangat penting pada Kongres III di Sibolga ialah
diadakannya kebaktian raksasa untuk peringatan Reformasi di depan Gedung
Nasional Sibolga, yang diberangkatkan dari tempat kongres berbaris atau pawai
pakai obor diiringi dengan musik tiup secara meriah, yang dapat menjadi
kesaksian bagi penduduk kota Sibolga yang sebahagian besar bukan beragama Kristen.
Kongres IV yang dinamai Sidang Raya ( Loloan Bolon), merupakan
Kongres terakhir sesuai dengan Reglemen NHKBP tahun 1952, diadakan di Balige
pada 18-23 Oktober 1960 di Balige, yang dipimpin langsung oleh Ketua / Pemimpin
Umum Seksi NHKBP yaitu Pdt Jetro Sinaga, sesuai dengan tugas dan fungsi yang
diputuskan oleh Kongres III di Sibolga. Sama seperti kongres-kongres terdahulu,
dalam kongres ini, diadakan beberapa ceramah, antara lain berjudul: Pelayanan NHKBP kepada gereja oleh Ds.
T.S.Sihombing ( Sekjen HKBP pada waktu itu): Kedudukan dan peranan musik dan paduan suara di gereja, oleh Pdt
H.Marbun; Tanggung-jawab pemuda-pemudi
dakam Gereja dan Masyarakat, oleh Dr. A.M.Tambunan, SH (alm.); Pemuda-pemudi di dalam kehidupan berdoa, oleh Dr. Andar
Lumbantobing. Di samping itu diadakan juga Penelaahan
Alkitab setiap hari. Kongres ini dihadiri oleh utusan-utusan dari semua
Distrik HKBP,berjumlah 157 orang, yang bertugas untuk membahas pokok-pokok yang
telah ditentukan untuk tiap-tiap kelompok, antara lain:
1.
Organisasi NHKBP, diketuai oleh Pdt
H.Butarbutar.
2.
Keuangan/ dana, diketuai oleh Pdt A.Saragi.
3.
Paduan suara dan anggota sidi, diketuai oleh Gr.
M.Simarangkir.
4.
Musik/ Sarune, diketuai oleh Pdt A.B.Simanjuntak.
5.
Kerohanian, diketuai oleh Pdt Johan Siahaan.
6.
Pembangunan, diketuai oleh Pdt. P.K.Sinaga.
7.
Sport, diketuai oleh Gr. Mula Hutasoit.
Hasil dari sidang-sidang kelompok dipaparkan dalam Sidang Pleno,
di mana masih ada penyempurnaan di sana sini. Perlu dicatat bahwa kongres ini bertugas khusus untuk memperbaharui Reglemen
NHKBP, yang sebelum kongres telah disediakan konsepnya oleh Ketua Umum dan
wakilnya ( Pdt H.Butarbutar), yang digodok dalam kelompok organisasi. Hasil
dari Sidang Pleno ini telah distensil untuk di bahas di Synode Godang HKBP
1962, tetapi belum sempat disahkan karena harus disesuaikan dengan Aturan HKBP
yang baru: 1962-1972.
Kongres NHKBP IV ini digabung dengan Pesta Sarune yang pertama
dan Pesta Parendeon pada tanggal 23
Oktober 1960 ( hari Minggu), dimana hadir Parsarune sebanyak 169 orang, dan Parende
sekitar 4000 orang dari seluruh Distrik HKBP. Pesta ini juga sebagai
pendahuluan dari Pesta Jubileum Seratus Tahun HKBP pada tahun berikutnya ( 7
Oktober 1961), sehingga alangkah banyak anggota NHKBP dan anggota HKBP dan undangan lain yang
menghadirinya.
Upacara Pesta Sarune dan Pesta Parendeon itu berlangsung sangat
meriah sampai kepada malam hari Minggu 23 Oktober 1960 itu. Rombongan baru
pulang ke tempatnya masing-masing pada esok harinya 24 Oktober. Pada waktu itulah terjadi
peristiwa yang tragis yang sangat menyedihkan, yakni Bus Rombongan NHKBP Tomuan
Pematangsiantar mengalami kecelakaan di Siserasera Parapat, di mana bus
tersebut masuk jurang dan terbakar yang mengakibatkan korban 29 orang meningal
di tempat, banyak yang luka berat dan ringan. Salah seorang di antaranya Sahat
Manurung, mahasiswa Theologia turut terbakar, tetapi masih hidup dan dengan
segera dibawa ke Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya selama satu tahun. Setelah
sembuh tetapi dalam keadaan cacat, menyelesaikan studinya, ditahbiskan menjadi
pendeta, dan saat ini menjadi Pimpinan Panti Karya Hephata. Korban-korban yang
meninggal itu dikebumikan dalam satu tempat di Pekuburan Kristen
Pematangsiantar, dimana dibuat juga tugu peringatannya. Kita berdoa untuk
keluarga mereka dan mengenang mereka yang telah mendahului kita.
e. Perkembangan sampai sekarang
Setelah ditetapkannya Pendeta Naposobulung yang full-timer, baik
di Kantor Pusat HKBP, maupun di beberapa Jemaat di kota-kota sejak tahun 1956,
maka pembinaan terhadap NHKBP semakin meningkat, dengan adanya kursus-kursus,
latihan-latihan pelayanan, serta pengarahan lainnya dan juga adanya koordinasi
yang baik. Tetapi masih banyak jemaat-jemaat yang kurang menggiatkan para
NHKBP. Hal ini mungkin terjadi karena kerjasama yang kurang serasi antara
pemuda-pemudi dan para pelayan (parhalado) gereja, atau mungkin karena
permasalahan yang timbul di kalangan HKBP sendiri, khususnya sejak tahun 1962.
Seperti sudah diutarakan di atas, pada Kongres IV di Balige
sudah diusahakan untuk mengganti Reglemen NHKBP, tetapi belum mendapat
pengesahan dari Synode Godang HKBP. Hal ini berlarut-larut setelah pergantian
personalia Ketua Seksi NHKBP mulai 1
Januari 1963 dari Pdt J.Sinaga kepada Pdt. H.Butarbutar. Dalam Aturan Huria
tahun 1962 telah dicantumkan reglemen tiap-tiap Seksi di HKBP, yang diartikan sebagai sebagai
Anggaran Dasar dari Seksi masing-masing.
Mengingat juga bahwa di dalam perpecahan GKPI dari HKBP para
pemuda ikut mengambil peranan juga, khususnya di HKBP Sudirman Medan, di mana
hampir setengah dari anggota NHKBPnya
meninggalkan HKBP, dengan anggapan seolah-olah Seksi NHKBP merupakan
oraganisasi tersendiri yang terpisah dari HKBP, yang dapat bertindak sendiri.
Dengan alasan itulah tidak ada lagi penggantian Reglemen NHKBP, melainkan hanya melaksanakan Aturan Huria serta memberikan usul-usul
penyempurnaan ke Synode Godang HKBP. Demikianlah tugas-tugas Seksi
Naposobulung terlaksana selama tahun
1962- 1972, yang menitik beratkan pelayanan dengan adanya kursus-kursus umum di
Distrik, Ressort, Huria dan di Jetun Silangit sejak berdiri dan diresmikannya
pada 6 Februari 1966. Tugas ini dapat lebih lancar dilaksanakan atas fasilitas
dan usaha serta kerjasama dari Pdt H.Berghauser dengan Ketua Seksi NHKBP,
beserta petugas khusus di Seksi NHKBP, antara lain: Gr. M.Hutasoit, Gr. Djisman Hutapea, Gr. D.
Simanungkalit, Gr. Timbang Simamora, dll.,
yang selalu berusaha dalam bidang evangelisasi, musik/ koor,
latihan-latihan kepemimpinan dan pelayanan.
Misalnya Latihan Kepemimpinan NHKBP se –Indonesia 2-10 Desember 1966 di
Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, yang dihadiri 120 orang peserta
NHKBP dari seluruh pelosok HKBP. Diusahakan juga penerbitan Majalah Naposobulung
HKBP, yang telah mengalami 4 gelombang (fase), yakni:
Fase I dinamai : “Majalah NHKBP”, sampul bergambar
luxous.
Fase
II di namai : “Rante Parsaoran NHKBP”, sampul biasa dengan gambar “rantai”, tali penghubung persaudaraan.
Fase
III dinamai : “Rante Parsaoran NHKBP”, juga, yang hanya
dalam bentuk stensilan.
Fase
IV dinamai : “Corona” dengan wajah baru.
Di samping itu diterbitkan juga “Rante partangiangan”, yang memuat ayat-ayat harian dari Almanak HKBP, sebagai bahan
renungan dan doa sehari-hari. Tetapi sangat disayangkan, penerbitan majalah ini
tidak bisa berlangsung terus disebabkan kurangnya biaya, karena para langganan
kurang setia memenuhi kejawajibannya, hal mana merugikan bagi komunikasi dan
pembinaan NHKBP.
Pucuk Pimpinan HKBP selalu memperhatikan akan peningkatan
pelayanan terhadap pemuda-pemudi HKBP,
sehingga berusaha untuk mengutus Ketua Seksi Naposobulung, yakni Pd.
H.Butarbutar, untuk mempelajari dan meninjau pelayanan pemuda di Jerman dan
sekitarnya, yakni pada bulan Februari 1970 – Mei 1971, atas bantua VEM, dalam
hal ini Distrik Ludenscheid dan Wetzlar. Diakui bahwa banyak cara-cara
pembinaan muda-mudi yang dipelajari di Dunia Barat itu, tetapi tidak semuanya
bisa diterapkan di sini, disebabkan perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi.
Namun demikian sangat berguna juga mengadakan hubungan dengan gereja-gereja di sana, terutama dengan pemuda-pemudi di
Jerman, agar saling mendoakan dan saling membantu, agar dengan demikian makin
terjalin hubungan oikumenis, yang selama ini telah terpupuk.
Setelah Ketua Seksi Naposbulung ( kemudian bernama Direktor
Departemen NHKBP), kembali ke Tanah Air,
maka sebulan kemudian, yakni tepatnya pada 4 Juni 1971, Pdt H.Berghauser dan
keluarga berangat meninggalkan Pearaja untuk kembali ke Jerman, sesuai dengan
masa dinasnya yang telah selesai. Sebelumnya telah tiba penggantinya di Pearaja
yakni Diakon W. Reinke dan keluarga yakni pada 28 Oktober 1970, yang bertugas
khusus untuk menjadi beheerder Jetus Silangit, sesuai dengan keahliannya di
bidang tehnik dan pembinaan remaja. Tugas-tugas yang selama ini diemban oleh
Pdt H.Berghauser lebih diuatamakan di
bidang evangelisasi dan musik, dan khusus pembangunan Jetun Silangit, maka
dengan kehadiran Diakon Reinke, tugas-tuganya diutamakan di perbengkelan sarune
dan camping remaja.
Sejak tahun 1971, program NHKBP makin disesuaikan kepada situasi dan kondisi pemuda HKBP, denga tidak
megabaikan sasaran-sasaran sebelumnya, yang kebanyakan bersifat
kursus-kursus kepada pemuda-pemudi,
kursus dirigen, kunjungan ke Distrik, Ressort, Huria. Aktivitas-aktivitas
selanjutnya antara lain: Latihan-latihan kepemimpinan, Konsultasi, Seminar,
dll, yang semuanya menuntut partisipasi yang aktif dari seluruh peserta di
dalam menggumuli permasalahan dalam
kelompok-kelompok diskusi (workshop), serta membuat perumusan-perumusan yang teliti dari kelompok
tersebut. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menampung aspirasi dan buah fikiran
dari para muda-mudi, karena mereka tidak sudi hanya menerima begitu saja,
mereka sudah kritis dan ingin mengeluarkan pendapatnya. Demikian juga telah digiatkan festival koor,
festifal sarune (musik), agar dengan demikian mereka semakin sungguh-sungguh
untuk melatih diri untuk kompetisi yang baik, dan memang ternyata bahwa lagu-lagu gereja yang dahulu diterbitkan oleh
Seksi Naposobulung dinilai tidak “enak”, tetapi setelah adanya festival koor,
yang lagunya adalah sebahagian dari lagu yang dahulu itu, dinilai sangat baik.
Maka festival itu bisa meningkatkan kegiatan menyanyi. Festival Vocal-grup juga
dimanfaatkan untuk menyadarkan muda-mudi bahwa sambil melatih main guitar juga
menyatakan apa yang tertulis dalam nats Alkitab, misalnya Mazmur 150, bahwa
segala instrumen musik itu dapat dimanfaatkan untuk memuji Tuhan termasuk
guitar yang selama ini hanya dipergunakan untuk lagu-lagu rakyat (
folk-song). Demikian juga halnya dengan
menggiatkan “malam pemuda”, yakni beraksi dan bersaksi, atraksi, tari,
dansa-dansi, deklamasi, nyanyi dan lelucon, drama dan tableau, serta
ketrampilan-ketrampilan lainnya agar mereka dapat bergembira ria di depan umum, yang tentunya dengan
batas-batas susila. Telah pernah dilakukan “Tapanuli Tour”, yakni perlombaan
mengendarai sepeda motor dengan tujuan untuk mempelajari aturan lalu-lintas,
agar mengurangi kecelakaan di jalan dan mencegah ngebut-ngebutan, dsb. Di
samping itu digiatkan pula olah raga,
yang dapat membuat muda-mudi itu melatih
diri untuk bermacam-macam ketangkasan. Semua kegiatan itu hanya terlaksana di
beberapa tempat atau jemaat, khususnya di kota-kota, belum merata sampai ke
desa-desa. Lagi pula dengan adanya alat-alat audio-visual, maka alat itu dapat
dipakai untuk menarik anggota-anggota NHKBP khususnya dan semua anggota HKBP
umumnya agar berkumpul untuk mengikuti evangelisasi film dan informasi
pembinaan pemuda. Dengan demikian semua
ressort HKBP sampai ke pelosok-pelosok sekalipun telah dikunjungi oleh Seksi (
kemudian diubah menjadi Departemen) NHKBP untuk menggiatkan pelayanan
naposobulung. Semboyan Departemen Naposobulung
di dalam pembinaan naposbulung adalah” Manfaatkanlah segala sesuatu yang
sesuai dengan siatusi dan kondisi muda-mudi asalkan di bawah terang Injil”.
Perlu kiranya dicatat bahwa pada 15-20 Oktober 1973 telah
diadakan konferensi NHKBP se Indonesia di Youth Center Jetun Silangit. Selain
dari ceramah-ceramah dan penelaahan Alkitab, konferensi itu dimaksudkan untuk
menyusun “Pedoman Kerja NHKBP”. Hal ini
timbul dari pertimbangan bahwa perlu kiranya ada pedoman pelaksanaan struktur organisasi NHKBP yang menyeluruh,
karena selama ini belum ada keseragaman di NHKBP, mengingat juga telah
disyahkannya Aturan HKBP 1972-1982, sehingga Aturan itu harus diterapkan kepada
anggota-anggota naposobulung. Setelah digumuli beberapa hari selama konferensi,
maka terciptalah Pedoman Kerja itu, yang semuanya bersumber dan disesuaikan
dengan Aturan HKBP tersebut. Diharapkan agar apa yang ditumuskan di sana
dilaksanakan di seluruh jemaat HKBP.
Untuk dapat meninjau kembali perkembangan organisasi pemuda di
lingkungan HKBP, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas Struktur Organisasi
itu sejak dari permulaan hingga sekarang, demikian:
1. Masa Permulaan ( 1927 -1950)
Sebelum menguraikan masa ini, perlu diketahui bahwa DR. Verwiebe
diutus oleh Organisasi Pemuda Kristen dari Jerman yang dinamai CVJM ( Young Men
Christian Association -YMCA dalam bahasa Inggris), yaitu suatu organisasi
pemuda Kristen yang ekstra gerejani, yang sangat erat hubungannya dengan
gereja, bahkan dapat dikatakan sebagai tangan kanan gereja dalam melakukan
usaha pembinaan pemuda. Mereka disokong oleh gereja tetapi bukan di dalam
gereja, artinya CVJM itu adalah atas inisiatif pemuda Kristen. Keanggotaannya
terdiri dari pribadi-pribadi pemuda Kristen dan yang bukan Kristen, yang patuh
kepada Aturan (AD) dari organisasi itu.
Badan ini bersifat international.
Dr. Verwiebe datang ke Indonesia dengan latar-belakang
organisasi tersebut, khusus bertugas untuk Pemuda Kristen Batak secara umum.
Seperti telah dikemukakan di atas, sebelum kedatangannya, telah terbentuk beberapa gereja Kristen Batak yang memisah
dari HKBP, yakni HChB, PKB dan Mission Batak, tetapi pemuda Kristen yang diasuh
oleh Verwiebe hampir seluruhnya anggota HKBP. Tugas utama dan pelayanannya
pertama-tama ditujukan kepada para siswa atau mahasiswa di perantauan ( di luar
bonapasogit), maka pada Konferensi 1932 di Padalarang disusunlah Statuten
perkumpulan pemuda Kristen Batak, yang kemudian disempurnakan, yang isinya
hampir sama dengan Statuten CVJM, seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Oraganisasi itu dinamai Naposobulung Kristen Batak (NKB), seperti telah
diuraikan di atas.
2. Masa Persiapan ( 1950- 1952 )
Selama pemerintahan Jepang sampai dengan penyerahan kedaulatan Republik
Indonesia, NKBP hampir tidak berfungsi sama sekali, meskipun masih ada
kepengurusan. Maka timbullah pemikiran dan usaha HKBP untuk membentuk dan
menyusun organisasi NHKBP, yang akan langsung ditangani oleh gereja HKBP. Hal
ini dibicarakan di dalam Synode Godang HKBP 1950 dan 1951, dimana dicantumkan
acara mengenai pentingnya pelayanan pemuda
di HKBP ( Baca Notulen Synode Godang HKBP 1950 dan 1951), maka waktu
inilah masa persiapan, di mana belum ada struktur oraganisasi yang tersusun.
3. Masa Permulaan NHKBP ( tahun 1952-1962).
Hasil pembicaraan di Synode Godang HKBP tahun 1950 dan 1951,
diwujudkan pada tahun 1952, di mana diadakan Konferensi I NHKBP, yakni 1952, di
Seminarium Sipoholon untuk pembentukan NHKBP. Pada waktu itu disusunlah Reglemen
NHKBP, yang isinya antara lain:
-
Perkumpulan
NHKBP adalah organisasi naposobulung yang didirikan HKBP dan berada di
dalam tubuh HKBP (intra HKBP).
-
Jenjang kenggotaan dan kepengurusan adalah
vertikal: Ranting di Huria, cabang di Ressort, Daerah di Distrik, Pusat di Kantor Pusat. Jadi
sejajar (pararel) dengan jenjang HKBP tetapi terpisah.
-
Di tiap-tiap jenjang ada engurus: Ketua,
Sekretaris, Bendahara dan komisaris-komisaris, yang bertanggung-jawab ke pada
jenjang atasannya, bukan kepada tiap-tiap jenjang HKBP.
-
Pejabat Gereja ( Guru Huria, Pendeta Ressort,
Praeses Distrik), berfungsi sebagai kordinator saja.
-
Lembaga tertinggi adalah kongres.
-
Anggotanya terdiri dari anggota HKBP yang patuh
kepada Reglemen ( jadi bukan semua naposobulung HKBP otomatis menjadi anggota).
-
Ketua Umum adalah Ephorus HKBP ( e-officio,
karena jabatannya).
-
Algemene Jeugdleider ( Pemimpin Umum) menjadi
pimpinan pelayanan NHKBP ke dalam dan ke luar.
-
Algemene Jeugdleider bertanggung-jawab kepada
Synode Godang HKBP dan kepada badan Pekerja Pusat.
-
Hal serupa berlaku di tingkat Huria, Ressort dan
Distrik.
-
Dsb.
Dengan demikian jelas terlihat bahwa menurut reglemen ini
struktur organisasi NHKBP adalah terpisah dari HKBP atau dapat dikatakan
berdiri sendiri dalam kepengurusan dan aktivitasnya, hanya dalam beberapa hal
tertentu ada sangkut pautnya dengan
HKBP. Hal itulah yang memungkinkan Badan ini dapat bertindak atas nama
organisasi “NHKBP” sendiri, ke dalam misalnya: membuat pernyataan (ingat HKBP
Sudirman Medan) dan ke luar HKBP, misalnya: membuat pernyataan-pernyataan
kepada gereja tetangga, bahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah. Tetapi struktur yang demikian ada juga
segi-segi positifnya, bahwa Badan ini dapat bebas beraksi untuk membangun dirinya.
4.
Masa
lowong ( 1962 -1972).
Di atas telah disinggung bahwa masa ini adalah masa pergolakan
di dalam tubuh HKBP, yang kesudahannya adalah
pemisahan oleh GKPI dan GKLI, saat mana para pemuda-pemuda HKBP juga
ikut mengambil peranan di dalamnya. Untuk menghindarkan kemungkinan-kemungkinan
yang tidak diingini dari pemuda-pemudi HKBP, dengan sengaja tidak diadakan
kongres atau konferensi untuk menyusun semacam reglemen yang baru, sesuai
dengan saran Pucuk Pimpinan HKBP, lagi pula telah dicantumkan dalam Aturan HKBP
mulai saat itu tentang Seksi NHKBP sebagai dasar dan pegangan. Tetapi prinsip
struktur organisasi NHKBP yang tercantum
dalam Aturan HKBP itu telah mulai dikumandangkan dan diterapkan kepada seluruh
Jemaat HKBP melalui penerangan ketika melakukan kunjungan langsung kepada Jemaat
dan melalui laporan Departemen NHKBP ke Synode Godang HKBP, yang isinya antara
lain:
-
NHKBP adalah satu Seksi dalam HKBP, bukan satu
organisasi yang paralel dengan HKBP.
-
Segala kebutuhan Seksi NHKBP, rohaniah dan
material adalah tanggung-jawab HKBP.
-
Pengurus atau Pelayan Seksi NHKBP harus dibawah
naungan dan pengawasan Pelayan (Parhalado) HKBP
-
( Lihat Aturan HKBP 1962-1972).
Meskipun demikian masih banyak Jemaat yang dalam prakteknya
terus melaksanakan apa yang termaktub dalam Reglemen NHKBP 1952, karena belum
ada pegangan tertulis yang terperinci.
5. Masa sekarang ( 1972- 1982 )
Dengan diperbaharuinya Aturan HKBP tahun 1972 yang berlaku
sampai tahun 1982, yang di dalamnya sudah termaktub Departemen NHKBP ( lihat
hal. 51-54), maka Departemen NHKBP tidak perlu lagi membuat Anggaran Dasar /
Aturan untuk pelaksanaan pelayanan
Naposobulung HKBP. Yang perlu disusun hanyalah pelaksanaannya atau
Pedoman Kerja. Mala pada 15-20 Oktober
1973, diadakanlah Konferensi NHKBP di Jetun Silangit, seperti telah disinggung
di atas dan menyusun Pedoman Kerja NHKBP, yang telah diterbitkan setelah
disyahkan oleh Pucuk Pimpinan HKBP dan Rapat Gabungan Parhalado Pusat, Praeses
dan Direktor-direktor Departemen HKBP. ( Lihat Buku Pedoman Kerja NHKBP).
Isinya diambil alih dan disesuaikan dengan prinsip dan jiwa Aturan HKBP itu,
serta pelaksanaannya yang bertalian dengan pengorganisasian aktivitas NHKBP
diperluas.
Isi Ringkas dari Pedoman Kerja itu adalah sebagai berikut:
1.
Naposobulung HKBP adalah bagian integral dari
anggota HKBP. Segala sesuatu yang bertalian
dengan anggota HKBP, berlaku juga bagi naposobulung HKBP.
2.
Hak dan kewajiban atau tanggung-jawabnya adalah
sama dengan anggota HKBP lainnya.
3.
Hubungan horizontal dengan sesma anggota dam
hubungan vertikal kepada Pelayan ( Parhalado) dan fungsionaris HKBP adalah sama
dengan bentuk atau formasi HKBP, yang berarti tidak ada badan atau
pengurus lain dari NHKBP yang berdiri
sendiri. Misalnya sebutan: Ranting, Cabang, Daerah, Pusat, seperti termaktub
dalam Reglemen NHKBP 1952, tidak ada lagi, tetapi harus menjadi: Huria, Ressort, Distrik dan Pusat.
4.
Di Huria, Ressort, Distrik dan Pusat, dibentuk
Dewan Naposobulung yang bertugas sebagai staf ahli (pembantu) dari fungsionaris
yang ada di tiap-tiap jenjang itu. Maka bukanlah dewan itu yang membuat suatu
keputusan terakhir, mereka hanya
berfungsi sebagai pemikir atau perencana.
5.
Hubungan Naposobulung kepada Dewan hanyalah
indirect (tidak langsung), sedangkan yang direct adalah kepada parhalado.
6.
Segala kebutuhan dibebankan dan ditanggulangi
oleh Huria, sebagaimana pembutuhan
aktivitas yang lain dari Huria itu.
7.
NHKBP tidak mempunyai Ketua, Sekretaris dan
Bendahara, seperti pada Reglemen 1952, hanya ada Sekretais Umum yang menjadi
perantara Parhalado dan Naposobulung, dan sekretaris bidang-didang sesuai
dengan kebutuhan untuk kelancaran aktivitas.
8.
Bendahara Hurialah yang menjadi Bendahara NHKBP,
tetapi sekretaris bidang keuangan diperkenankan untuk memegang kas kecil untuk
persediaan yang tiba-tiba. Maka perlu diadakan Anggran Biaya uang masuk dan
uang keluar sesuai dengan rencana kerja.
9.
Sekretaris Umum dan Sekretaris-sekretaris Bidang
merencanakan aktivitas dan membuat kebijaksanaan untuk melaksanakan
tugas-tugas.
10.
Rapat Anggota NHKBP memilih Sekum dan Sekretaris
Bidang yang disetujui oleh Parhalado Huria.
(Lihat dan camkan Buku Pedoman Kerja NHKBP).
DemIkianlah secara ringkas perkembangan Struktur Organisasi
NHKBP sejak ditetapkannya pelayanan khusus kepada Naposobulung (1927), sampai sekarang ( 1977). Kiranya
sejarah perkembangan pelayanan pemuda di HKBP dapat dinilai sebagai bahan
pelajaran untuk pedoman dan peningkatan-peningkatan selanjutnya pada masa-masa
yang akan datang.
Tambahan: Daftar
tenaga-tenaga yang khusus mengasuh NHKBP sejak terbentuknya perhimpunan
NHKBP ialah:
a.
Tenaga
Part-Timer:
1.
Guru Jeremias Tambun (masa peralihan NKB menjadi
NHKBP).
2.
Ds. T.S.Sihombing (Direktur Seminari Sipoholon),
sebagai Jeugdleider dari tahun 1952-1954.
3.
P.W.Situmeang (belajar pada Sekolah Pendeta),
sebagai Alg. Jeugdleider dari tahun 1954-1956.
b. Tenaga Full-Timer ( di Kantor Pusat )
1.
Pdt. Jetro Sinaga, sebagai Ketua Seksi
Naposobulung HKBP (1956-1962).
2.
Pdt. Johan Siahaan, sebagai Wakil Ketua Seksi
Naposobulung HKBP (1956-1959)
3.
Pdt. Poltak Sormin sebagai wakil Ketua
Naposubulung HKBP ( 1959-1960)
4.
Pdt. H.Butarbutar, sebagai wakil Ketua Seksi
Naposobulung HKBP ( 1960-1962)
5.
Pdt. H.Butarbutar, sebagai Ketua Seksi
Naposobulung dan Direkror Departemen NHKBP ( 1963 – sekarang )
6.
Pdt. E.S.Simanungkalit, sebagai Sekretaris
Pelaksana Departemen NHKBP ( 1970-1974)
7.
Pdt. J.M.Manullang, sebagai Sekretaris Pelaksana
Departemen NHKBP ( 1974-1976)
8.
Calon Pdt. Mangontang S.M.Panjaitan, sebagai
Sekretaris Pelaksana Departemen NHKBP (
1976-1977).
9.
Calon Pdt. T.M.Hasugian, sebagai Sekretaris
Pelaksana Departemen NHKBP ( 1977- )
c. Tenaga Full Timer di Lapangan:
1. Di
Medan : Pdt. Soritua A.E.Nababan, Pdt. Johan Siahaan,
Pdt Walter Lumbantobing, Pdt. M.Asal Simanjuntak, Pdt Bonar H.
Situmorang, Pdt Rusli Hutapea, Pdt. Eire T. Hutapea.
2. Di
Jakarta : Pdt. Surtan M.Marpaung, Pdt Alboin
Simanungkalit, Pdt. Poltak M. Aritonang
( Part-Timer ).
3. Di
Pem. Siantar : Pdt. Adelbert A.
Sitompul, Pdt. Halomoan Hutapea, Pdt. Jansen P.Pardede, Pdt. Belsing Sihombing,
Pdt. Edward G. Simanjunak, Pdt. Manaek Tua.Pandiangan.
4. Di
Balige : Pdt. Slamat H. Simatupang, Pdt. Marulak
H.Siagian.
5. Di
P. Sidempuan : Pdt. Halomoan
Hutapea, Pdt. Demak M.Hutagalung.
6. Di
Sibolga : Pdt.
Panahatan Nainggolan.
7. Di
Bandung : Pdt. Surtan
H.Marpaung.
8. Di
Yogyakarta : Pdt Sountilon M. Siahaan, Pdt. Alboin
Simanungkalit, Pdt. Eire T.Hutapea, Kd.Pdt. Robert O. Tampubolon.
d. Tenaga Luar Negeri:
1.
Dr. E.Verwiebe :
1927-1936 ( 1936 terplih menjadi Ephorus HKBP)
2.
Pdt. H.Berghauser : 1957-1971.
3.
Diakon W.Reinke :
1970- 1975.
4.
Pdt. E. Zschau :
1976 – sekarang.
(Pdt. MSM Panjaitan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar