Jumat, 11 Desember 2020

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMBINAAN NAPOSOBULUNG HKBP

 

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMBINAAN NAPOSOBULUNG HKBP

Oleh: Pdt. Mangontang S.M.Panjaitan

                                Ketika saya bertugas sebagai Sekretaris Pelaksana Departemen Naposbulung HKBP tahun 1976-1977, saya ditugaskan oleh Direktor Depatemen NHKBP, Pdt H.Butarbutar STh, untuk menuliskan sebuah sejarah mengenai Perkembangan Pembinaan Naposobulung HKBP, dalam rangka memperingati 50 tahun adanya pelayanan khusus dari HKBP kepada  para-pemuda-pemudi (Naposbulung)  yang mulai dihitung tahun 1927.hingga tahun 1977. Pada Sinode Godang Huria Kristen Batak  1926 ( pada waktu itu namanya masih  "Huria Krisn Batak",  sebutan Protestan baru ditambahkan tahun 1929), , ditetapkan perlunya diselenggarakan pembinaan khusus kepada Naposobulung Kristen Batak, dengan melihat makin banyaknya tantangan dan persoalan iman yang mereka hadapi pada waktu itu. Akibat dari kemajuan yang diperoleh masyarakat Batak melalui pendidikan yang digiatkan oleh Zending, mulai dari Sekolah Zending, Vervolgschool,  HIS, MULO, maka semakin banyak pemuda-pemudi Kristen Batak yang pergi merantau ke luar daerah Tanah Batak, terutama ke daerah Jawa untuk melanjutkan sekolah dan mencari pekerjaan yang lebih baik. Di daerah perantauan mereka diperhadapkan dengan berbagai budaya dan kepercayaan yang berbeda, yang bisa mempengaruhi iman kepercayaan yang sudah mereka terima dari gereja di “bonapasogit”. Untuk melakukan pembinaan khusus ini HKB(P) yang dipimpin oleh oleh Dr.J.Warneck sebagai Ephorus pada waktu itu, terus menindak lanjuti ketetapan synode godang 1926 itu, dengan meminta tenaga khusus yang ahli di bidang pembinaan khusus kepada pemuda-pemudi,  ke RMG di Jerman. Permintaan itu segera dibutuhi oleh RMG, sehingga tahun 1927, diutuslah seorang tenaga dari Jerman yaitu Pdt. Dr. Ernst Verwiebe. Dia adalah seorang yang ahli di bidang pendidikan muda-mudi, dan ahli di bidang olah-raga, karena disamping kependetaannya, dia juga telah menamatkan pendidikannya dari “Turn Hoch Schule” ( Sekolah Tinggi Olah Raga). Kehadiran Dr. Verwiebe di tengah-tengah gereja Kristen Batak tahun 1927, dianggap sebagai awal dari adanya pembinaan khusus kepada pemuda-pemudi (Naposobulung) Kristen Batak (NHKBP).

                Sesuai dengan penugasan dari Direktor Departemen NHKBP tersebut, maka saya mencoba menuliskan Sejarah Perkembangan Pembinaan  kepada Naposbulung HKBP tersebut, walaupun dalam mengerjakannya saya merasa banyak kesulitan, karena harus menggali dokumen-dokumen, arsip-arsip yang masih ada dan melakukan korespondensi kepada beberapa orang yang yang masih hidup pada waktu itu yang ikut sebagai pelaku sejarah pembinaan naposobulung tersebut.  Untuk memahami lebih banyak mengenai latar-belakang naposobulung Kristen Batak, saya juga mencoba mengkaji bagaimana kehidupan naposobulung Batak sebelum datangnya kekristenan. Apa yang saya kemukakan di sini adalah hasil tulisan saya yang sudah pernah diterbitkan dalam sebuah buku Kenangan Kenangan 50 tahun NHKBP, yang diberi judul: Panggilan Untuk Berbuah (Yoh. 15: 16), yang diterbitkan oleh Departemen NHKBP Pearaja-Tarutung, 1-2 Oktober 1977. Semoga tulisan ini bisa membantu setiap warga HKBP,  khususnya bagi para pelayan yang khusus berkecimpung dalam melakukan pembinaan khusus kepada para pemuda-pemudi gerja, untuk melihat apa yang terjadi pada naposobulung HKBP pada masa yang lalu, sebagai pelajaran yang berharga.

 

1.       Naposobulung Batak sebelum Kekristenan

 

Sebelum kekristenan orang Batak dikenal sebagai suku yang menganut agama pelbegu, namun telah mempunyai peradaban yang tinggi, berjiwa keras. Mereka tinggal secara berkelompok menurut sistem marga, dan suka berperang. Pekerjaan mereka yang utama adalah mengerjakan tanah dengan menanam padi di sawah dan ladang, tetapi juga memelihara ternak, menangkap ikan  bagi yang tinggal di pesisir Danau Toba sebagai pekerjaan sampingan.

Sistem kemasyarakatan diatur oleh hukum dan adat yang berlandaskan “dalihan na tolu”, sehingga pimpinan masyarakat adalah seorang raja adat yang berpengaruh, dengan syarat, dia seorang yang kaya, punya keturunan banyak dan ditakuti oleh masyarakat.

Memang dari latar-belakang kehidupan zaman dahulu itu, orang Batak beralasan untuk mencita-citakan mempunyai anak sebanyak-banyaknya, karena anak yang banyak sangat dibutuhkan untuk memperjuangkan hidup ini. Untuk mengerjakan tanah seluas-luasnya agar mendapat hasil yang sebanyak-banyaknya, dan untuk mempertahankan keselamatan jiwa dari serangan musuh ( sifat perang ), dan agar menjadi orang yang ditakuti dan dihormati, orang Batak memintakan agar memperoleh anak sebanyak-banyaknya.

Tetapi orang-orang  Batak tidak hanya menginginkan anak sebanyak-banyaknya, namun juga memperhatikan pendidikan yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka tersebut agar dapat berfungsi seperti yang diharapkan. Mereka dibina untuk mampu melakukan  pekerjaan sehari-hari, mampu berperang, dan patuh kepada hukum dan adat Batak, dan menjadi pewaris orang tua dalam garis keturunan bapa. Orang tua juga berusaha untuk menyediakan bekal untuk anak-anaknya, yang diwariskan di kemudian hari setelah anak tersebut berumah-tangga. Warisan yang paling ditanamkan ialah pendidikan agar anak-anak mereka  menjadi manusia yang beradat di semua bidang kehidupan, terutama sebelum anak tersebut berumah-tangga. Karena alangkah besarnya “cela” yang dipikul orang tua apabila anak-anak mereka dicap oleh orang sebagai “orang yang tidak beradat” (halak na so maradat). Apabila dijumpai orang seperti itu di tengah-tengah masyarakat, maka yang pertama disalahkan adalah orang tua. Jadi sebutan “anak ni hatoban” atau “boru ni hatoban”, dikenakan bagi putra atau putri  Batak yang tidak beradat dan tidak mengenal norma kehidupan yang baik, karena biasanya “hatoban” (hamba) tidak tahu dan tidak mempunyai kesempatan untuk mendidik anak-anaknya menjadi orang-orang yang beradat.

Untuk menghindarkan hal-halyang demikian maka para orang tua berusaha untuk membina anak-anaknya, termasuk naposobulung ( remaja atau pemuda-pemudi yang belum berumah tangga). Dari sini telah bisa diketahui bahwa orang Batak telah melihat pentingnya pembinaan kepada naposobulung tersebut, walaupun mereka belum mengenal sistem pendidikan modern seperti sekarang. Pembinaan pada masa sebelum kekristenan yang masih primitif itu, hanya dipersiapkan untuk membekali naposobulung dalam menghadapi tantangan hidup pada masa itu. Sekolah-sekolah resmi sebagai suatu lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat belum dikenal sama sekali. Kalaupun satu-satu keahlian di bidang tertentu seperti “ hadatuon” (dukun), “guru elmu” ( semacam ilmu silat), itu tidak dipelajari dalam satu-satu sekolah, tetapi kebanyakan hanya sebagai “warisan” dari orang tua,  atau dipelajari secara pribadi ( rahasia) kepada orang tertentu. Pembinaan yang kita maksudkan di sini, terutama yang terjadi di lingkungan keluarga, dan pembinaan secara tidak langsung dari apa yang dilihat, didengar atau dialami dari perbuatan masyarakat secara kollektif.

Adalah umum di kalangan orang-orang Batak dahulu-kala untuk menasehati anak-anaknya dengan menyampaikan cerita-cerita, baik itu merupakan cerita yang benar-benar terjadi, maupun berupa cerita dongeng. Cerita-cerita itu yang hidup di tengah-tengah masyarakat sengaja diciptakan oleh orang yang ahli untuk itu, yang isinya mengandung unsur pendikan (poda). Sampai di zaman modern ini masih banyak cerita-cerita rakyat  yang diwariskan oleh orang tua secara lisan atau tulisan (melalui pustaha Batak), dan apabila isinya digumuli secara mendalam, banyak yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Munculnya cerita itu ada yang karena melihat suatu tempat atau benda yang aneh dan menyeramkan sehingga membuat cerita untuk itu. Misalnya cerita tentang terjadinya: Danau Toba, Batu Gantung, dsb.  Cerita-cerita demikian selalu disangkut-pautkan kepada daya atau kekuatan yang ditakuti atau disembah sebagai allah. Banyak lagi cerita-cerita rakyat yang tidak lagi diketahui oleh generasi sekarang, tetapi isinya, terlepas dari nilai theologisnya, banyak yang dapat diambil sebagai “poda” (nasehat) untuk manusia sekarang. Tetapi maksud dan tujuan dari tulisan ini  bukanlah  untk mengumpulkan cerita-cerita rakyat itu, tetapi hanya untuk membukakan bahwa salah salah satu metode pendidikan yang dilakukan oleh orang tua  pada zaman dahulu-kala untuk anak-anaknya adalah metode bercerita.

Orang tua juga sering menasehati anak-anaknya melalui  perumpamaan atau kiasan. Artinya,melalui perumpamaan itu si anak diajak untuk mengoreksi dirinya. Perumpamaan atau kiasan itu ditanamkan kepada anak tersebut secara berulag-ulang. Nasehat demikian tidak langsung berkaitan  dengan sesuatu perbuatan yang telah dilakukan. Tetapi ada juga nasehat yang secara langsung, yang bentuknya berupa peraturan-peraturan, misalnya, jangan berbuat ini dan itu; jangan pergi kesana, jangan mengatakan begini. Biasanya si anak tersebut, sangat setia mematuhi aturan-aturan demikian, karena ditanamkan suatu kepercayaan, apabila hal itu dilanggar akan mendapat kutukdari roh-roh nenek mereka yang sudah meninggal atau dari “sombaon” yang mereka takuti.

Telah dikenal juga pelaksanaan hukuman yang berupa pendidikan.  Maksudnya seorang anak akan mendapat hukuman dari orang tua, apabila dia melanggar peraturan yang diberikan, supaya dia sadar akan kesalahannya, dan jangan berbuat pelanggaran demikian lagi. Dalam hidup kemasyarakatan sistem ini juga diberlakukan, terutama yang menyangkut pelanggaran hukum dan adat. Barang siapa yang melanggar hukum dan adat tersebut, akan mendapat hukuman dari raja-raja adat yang diputuskan secara musyawarah, misalnya dengan mengucilkan pelanggar tersebut dari persekutuan, kampung atau marga mereka.

Jadi dapat kita lihat, bahwa naposobulung di tengah-tengah masyarakat Batak tidak diabaikan begitu saja. Bahkan pembinaan terhadap mereka dilakukan dengan ketat sekali, karena seperti ada orang mengatakan bahwa seolah-olah  “naposobulung itu  dipaksakan untuk dewasa secepat-cepatnya”. Karena sejak usia 12 tahun anak laki-laki sudah diikut sertakan untuk pekerjaan  berat di swah dan ladang, bahkan telah dilatih untuk ikut berperang.

Peranan naposbulung di tengah-tengah masyarakat

                Di atas telah diterangkan hidup naposobulung itu di tengah-tengh keluarga. Di sini kita mau melihat melihat bagaimana peranan naposobulung itu di tengah-tengah masyarakat yang lebih luas. Di setiap kampung dijumpai banyak  naposobulung, laki-laki dan perempuan. Karena penghuni suatu kampung terdiri dari beberapa keluarga yang masih dekat satu satu sama lain, maka naposobulung di sana pun hidup dalam ikatan keluarga. Naposobulung tersebut sejak kecil telah hidup bersama-sama, bermain bersama-sama, sehingga jiwa kesatuan dan pergaulan yang baik telah tertanam di dalam diri mereka masing-masing. Namun kesatuan dan pergaulan tersebut kebanyakan masih mencirikan hubungan kekeluargaan. Mereka belum mempunyai organisasi dengan perlengkapan-perlengkapan seperti dijumpai pada zaman modern. Tetapi walaupun demikian hubungan dari satu sama lain, senantiasa erat dan kuat, karena merasa saling bertanggung-jawab satu sama lain.

                Apabila di suatu kampung dilangsungkan sesuatu pesta, maka peranan naposobulung di sana sangat besar sekali. Merekalah yang paling banyak mengambil bagian sebagaia “parhobas” (pelayan). Mereka semuanya tunduk mengerjakan pekerjaan masing-masing yang sudah diatur oleh orang tua dengan tidak mengambl dalih untuk menolaknya. Walaupun orang tua dalam pesta-pesta seperti itu menuntut kewajiban yang besar dari pada naposobulung itu, tetapi orang tua hampir tidak memberikan hak kepada mereka, istimewa hak bersuara. Jadi peranan naposobulung dalam hal seperti itu, dan yang berhubungan dengan soal adat masih sampai di situ saja. Mereka belum bisa memberikan pendapat dan komentar, walaupun ada sesuatu hal yang tidak bisa berterima dalam fikiran mereka, sebelum mereka berumah-tangga.  Selagi mereka masih belum kawin, walaupun usia telah lanjut dan fikirannya telah dewasa, mereka belum dilibatkan sebagai anggota yang resmi yang turut mencampuri persoalan adat dalam masyarakat.  Mereka harus bersifat menerima dan tunduk begitu saja terhadap apa yang diatur oleh orang tua.  

Pada musim turun ke sawah atau ladang, mereka tidak bekerja secara sendiri-sendiri, tetapi mereka bekerja bersama-sama dengan seia –sekata secara silih berganti-ganti mengerjakan sawah atau ladang mereka masing-masing, Baik sejak dari pekerjaan mencangkul, sampai panen mereka mengerjakannya secara bersama-sama. Dengan cara demikian mereka akan lebih bergairah bekerja, istimewa jika diiringi dengan cerita-cerita yang sekali-sekali bisa membuat mereka ketawa, perasaan letih tidak terasa lagi.

                Selain dari pada itu naposobulung bertanggung-jawab untuk menjaga keamanan penghuni kampungnya agar terhindar dari ganguan musuh. Karena pada zaman sebelum kekristenan masyarakat Batak masih tertutup sifatnya. Penghuni kampung yang lain yang tentu tidak dikenal sama –sekali dianggap oleh penghuni kampung itu sebagai musuh.  Karena itu sering terjadi perasaan curiga mencurigai dan mengadu kekuatan yang ditunjukkan melalui perang. Untuk ini penghuni suatu kampung selalu menghimpun kekuatan, agar bisa bertahan apabila datangserangan dari pihak musuh. Apabila mereka kalah dalam serangan tersebut maka mereka akan dikauasai, dan seluruh tanah milik mereka (terutama tanah) akan jatuh ke tangan musuh tersebut. Untuk menghindarkan hal-hal yang demikian dan untuk memperkuat  kekuasaan penghuni kampungnya dengan merebut daerah kekuasaan kampung  yang lain, peranan naposobulung (laki-laki) sebagai orang yang mempunyai tenaga yang ckup kuat, sangat besar sekali.

                Dalam persoalan muda-mudi, naposobulung laki-laki bertanggung-jawab untuk melindungi naposobulung perempuan  supaya pemuda yang datang dari kampung yang lain, tidak semberono mengganggu mereka.

 

Rekreasi naposobulung

                Peranan rekreasi sebagai alat untuk membina pribadi naposobulung atau anak-anak, telah diperbolehkan orang Batak jauh sebelum kekristenan. Orang Batak memiliki berbagai kesenian sebagai alat hiburan seperti: seni tari,  seni musik, seni suara, dan berbagai permaiannan yang cukup membuat masing-masing mereka riang dan gembira.  Biasanya pada malam terang bulan, anak-anak dan muda-mudi berkumpul di halaman rumah. Para wanita bernyanyi sambil “martumba”. Pemuda memetik kecapi, meniup seruling dan lain-lain uning-uningan ( alat musik) Batak. Para orang tua turut juga sebagai penonton, bahkan kaum ibu juga yang turut martumba sebagai pelatih.

                Sekali-sekali juga dilangsungkan “pesta naposo” (pesta muda-mudi) dengan “gondang hasapi” atau dengan memukul seperangkat “ogung” (gendang Batak).  Ke sana turut juga diundang muda-mudi dari  kampung yang lain, yang telah mempunyai hubungan yang erat. Pada waktu pesta naposo ini, bisa juga dipertunjukkan “ende taripar” (nyanyian menyeberang) secara kollektif. Dalam “Ende taripar”  ini,  naposobulung dari kampung yang lain diberi kesempatan bernyanyi secara kollektif di dalam pesta itu. Kegiatan naposobulung di bidang musik, tari-tarian, dan nyanyian bersama ini yang sudah mendarah daging dalam kehidupan naposobulung Batak sebelum kekristenan, turut memperlancar usaha para penginjil mendekati para naposobulung untuk menjalankan missinya.

 

2.       Masuknya kekristenan di Tanah Batak

 

Tanggal 7 Oktober 1861, resmilah hari berdirinya Gereja Kristen Batak, yang sekarang dinamai “ Huria Kristen Batak Protestan”, walaupun sebelumnya telah ada usaha  Badan Zending luar negeri untuk memberitakan Kabar Keselamatan itu di tengah-tengah suku Batak. Pada hari bersejarah itu empat orang missionaris, masing-masing dua orang dari Jerman, yaitu Heine, Klammer dan dua orang dari Belanda, yakni  Betz dan Van Asselt, yang diutus dan bergabung dengan (Rheinische Missionsgesselschaft (RMG) telah bermupakat di Sipirok Tapanuli Selatan, untuk membicarakan pembagian tugas dan strategi mereka untuk memberitakan Injil itu di tengah-tengah suku Batak. Dengan demikian jadilah Injil it kekristenan itu tersebar luas ke seluruh daerah di Tanah Batak, dengan cara pendekatan yang telah mereka pelajari sebelumnya.  Dengan usaha yang didorong oleh rasa tanggung-jawab terhadap tugas panggilan dari Yesus Kristus pembawa keselamatan itu dari seluruh missionar, maka terang Injil yang membawa perobahan pesat terhadap kehidupan suku Batak, cepat berterima dan tersebar luas. Walaupun kenyataannya bahwa kekristenan itu cepat berterima bagi sebagian besar suku Batak, namun usaha Zending itu bukanlah bertujuan untuk mengkristenkan orang Batak, melainkan untuk merobah hidup yang berada dalam kegelapan oleh pengaruh agama pelbegu, kepada hidup terang yang membawa perobahan dalam segala aspek kehidupan.

Pada mulanya harus disadari bahwa penerima kekristenan itu masih banyak dipengaruhi oleh rasa kekeluargaan, kuasa raja-raja, atau pengetua kampung setempat. Karena para missionar itu dalam usaha menjalankan missinya lebih dahulu mendekati pribadi-pribadi tertentu yang dianggap berpengaruh dan berkuasa di satu-satu daerah yang diinjili. Seperti di Pearaja misalnya, Nommensen lebih dahulu mendekati raja Pontas Lumbantobing, penguasa di lingkungan itu, yang setelah dia menerima kekristenan itu, sangat banyak membantu usaha pekabaran Injil tersebut di daerah Silindung. Apabila raja-aja dari suatu kampung telah menjadi Kristen, maka kekristenan itu akan lebih mudah disebarkan di sana dan lebih mudah berterima bagi daerah tersebut.Demikian jugalah caranya para missionar itu menjalankan missinya sampai di daerah Humbang, Toba dan Samosir.

Sejalan dengan ini, secara umum boleh dikatakan, apabila suatu kepala keluarga, yakni si bapa dalam suatu keluarga telah menerima kekristenan itu, maka otomatis seluruh anggota keluarga tersebut turut menjadi kristen.  Sehingga pada mulanya pendekatan terhadap muda-mudi itu bukanlah satu sasaran pelayanan khusus. Yang paling penting ialah bagaimana supaya satu-satu keluarga menerima  kekristenan itu. Jadi peranan sistem kekeluargaan Batak yang patrilineal itu sangat banyak membantu lajunya pekabaran Injil itu yang juga meliputi terhadap muda-mudi.

 

 

3.       Tahap permulaan pendekatan terhadap muda-mudi

 

a.       Melalui sidi

Pada mulanya seperti telah diterangkan di atas,  kekristenan yang dimiliki oleh anak-anak muda Batak  baru bersifat penurutan terhadap orang tua. Nilai kekristenan itu belum dihayati sama sekali. Hanya namanya mereka telah Kristen, sedang imannya boleh dikatakan masih kosong.

Untuk menanamkan sedikit demi sedikit ajaran kekristenan atau Kitab Suci kepada mereka, maka masa “marguru malua” (belajar sidi) merupakan kesempatan terutama bagi anak remaja. Pada mulanya Sekolah Minggu belum dibentuk. Sedangkan pengetahuan orang tua yang turut bertanggung-jawab untuk mendewasakan iman anak-anak mereka masih sangat terbatas. Karena itu peranan belajar sidi (katekisasi sidi) sangat besar sekali dalam membina mereka ke arah pengenalan yang lebih mendalam tentang arti keselamatan yang dibawakan oleh Yesus Kristus. Dalam pengajaran katekisasi itulah diajarkan secara tahap demi tahap Pengetahuan Isi Alkitab, baik itu Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, dan juga isi Katekismus Martin Luther. Guru-guru Zending yang utama mengajar anak-anak sidi itu cermat dan teliti, penuh dengan disiplin. Sehingga para katekumen sidi ( yang belajar sidi) itu sangat giat untuk mempelajarinya. Mereka harus bisa melafalkan (pajojorhon)  seluruh Isi Ringkasan Perjanjian Lama (Padan Na Robi na Pinajempek) dan Perjanjian Baru ( Padan Na Imbaru na Pinajempek) dari awal sampai akhir. Isi dari Katekismus itu pun juga harus bisa dilafalkan seluruhnya. Karena tanpa demikian mereka belum bisa dilepaskan untuk berdiri sendiri menggumuli iman kepercayaannya.

 

b.      Melalui Persekutuan Koor Gerejani

 

Salah satu usaha untuk membina naposobulung yang digiatkan ialah dengan membentuk persekutuan koor gerejani naposobulung.  Dengan adanya latar-belakang jiwa penyanyi bagi naposobulung Kristen Batak, maka usaha ini tidak begitu sulit dilaksnakan, malah sangat menarik bagi mereka. Di mana gereja telah berdiri di Tanah Batak, di sana terus diusahakan untuk membentuk  perhimpunan muda-mudi. Mereka mudah dikumpulkan karena jiwa kesatuan juga sudah tertanam  dalam diri mereka jauh sebelum kekristenan tersebut. Dalam persekutuan itu sebagai aktifitas utama adalah mempelajari koor nyanyian gerejani, yang mereka pelajari dengan tekun. Walaupun jiwa lagu-lagu yang diajarkan itu sudah berbeda sekali dengan jiwa lagu-lagu Batak, namun  berkat ketekunan guru jemaat untuk mengajarkannya maka muda-mudi tersebut tidak begitu sulit untuk memahami.  Dengan lagu-lagu koor gerejani tersebut, yang mengandung isi Firman Tuhan, sangat besar sekali artinya  untuk membebaskan para naposobulung itu dari kepercayaan yang lama kepada kepercayaan yang baru. Karena itu sejak mulanya, peranan koor sangat besar sekali artinya untuk menghimpun para muda-mudi itu dan menanamkan jiwa kekristenan kepada mereka, serta membina iman mereka ke arah kedewasaan. Boleh dikatakan bahwa perkumpulan koor ini didirikan bukan semata-mata untuk mempelajari lagu-lagu yang menarik, tetapi merupakan jalan untuk mendekati mereka, serta memberikan bimbingan kekristenan kepada mereka menghadapi berbagai persoalan hidup ini berlandaskan Firman Tuhan, agar mereka semakin dewasa  untuk menentukan sikap yang sebenarnya.

Perkumpulan koor sebagai satu usaha  pembinaan muda-mudi itu adalah suatu cara yang tepat pada zaman itu, karena di samping sebagai aktivitas yang mudah dilaksnakan, juga sangat berguna untuk membangkitkan semangat iman, dan juga dapat menjadi rekreasi yang bermutu bagi mereka.

 

c.       Melalui sekolah

 

Sejak berdirinya Gereja Kristen di Tanah Batak, maka pendirian sekolah-sekolah merupakan sasaran pokok untuk mewujudkan terang Injil yang dibawakan oleh Yesus Kristus itu. Karena melalui sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang resmi, manusia yang dalam hal ini suku Batak yang masih buta-huruf akan lebih mudah diperkenalkan dengan kebudayaan Kristen, yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan taraf hidup.

Dalam sejarah kekristenan di tanah Batak, gereja dan sekolah tidak bisa dipisahkan. Di mana ada gereja di sana ada sekolah.  Dan yang bertugas di gereja sebagai guru jemaat ( guru zending), itulah juga yang bertugas sebagai guru pengajar di sekolah. Sekolah inilah yang terutama membuka fikiran anak-anak Batak untuk mengenal  berbagai corak ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi masyarakat dalam mempertahankan eksistensinya dengan cara yang lebih modern. Ini juga yang membuka mata suku Batak terhadap kemungkinan kemajuan di segala bidang hidup.

Walaupun di kemudian hari sekolah bukan lagi hanya milik gereja di tanah Batak, karena pemerintah juga telah turut mengambil bagian, namun di dalam sejarah keristenan di tanah Batak, tidak dapat disangkal, gerejalah yang pertama sekali yang membuka kemungkinan bagi anak-anak Batak  untuk mengenal sekolah tersebut. Keterlibatan gereja dalam dunia pendidikan dan dalam pendirian gedung sekolah, berpengaruh juga kepada tujuan pendidikan itu, yang bukan semata-mata menanamkan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga memperdalam iman anak-anak Batak, agar kelak menjadi orang Kristen yang bertanggung-jawab, dan dapat merefleksikan imannya dalam segala bidang kehidupan. Karena itu Pendidikan Agama Kristen merupakan dasar utama dalam sekolah itu. Segala bidang pengetahuan yang lain selalu dikaitkan dengan kekristenan. Dengan demikian setiap anak didik dapat mengakui bahwa ilmu pengetahuan adalah pemberian Allah, dan harus dipergunakan untuk kemuliaan Allah, sekaligus sebagai senjata manusia untuk menaklukkan alam sejagat ini.

 

 

 

4.       Masalah dan tantangan terhadap muda-mudi di perantauan

 

Tidak dapat disangkal bahwa kekristenan membuka kemajuan bagi anak-anak Batak. Gereja tidak hanya membuka sekolah desa atau sekolah rakyat yang mempergunakan bahasa daerah, tetapi juga membuka sekolah yang  berbahasa Belanda seperti “Hollandsch-Inlandsche Shool (HIS)  di Sigompulon Tarutung tahun 1914, di Narumonda Porsea, tahun 1919. HIS adalah sekolah dasar berbahasa Belanda. Juga mendirikan “Meer Uitgebreit Lager Onderwijs (MULO), lanjutan dari HIS yang juga  berbahasa Belanda pada tahun 1937 di Tarutung. Dengan demikian anak-anak Batak tamatan dari sekolah-sekolah ini dapat mencari pekerjaan di instansi pemerintahan Belanda yang kebanyakan terdapat di luar tanah Batak. Banyak juga yang dapat melanjutkan sekolah ke luar Sumatera  yakni ke pulau Jawa seperti ke kota Jakarta,  Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Probolinggo, dll.

Semakin banyaknya anak-anak Batak yang pergi ke luar daerah Tapanuli apalagi dengan terbukanya jalan yang menghubungkan kota Sibolga dengan Medan terus juga ke Padang di Sumatera Barat, maka proses ini semakin lancar. Selama ini memang daerah Batak merasa terpencil dan terisolasi terhadap daerah-daerah luar, maka dengan arus lalu lintas yang baru ini  telah mendorong mereka lebih doyan dan dapat berkenalan dengan suku-suku lain di Sumatera Timur dan Sumatera Barat, yang tentu saja mempunyai latar-belakang hidup keagamaan dan adat yang berbeda. Mereka ke luar untuk mengenal “alam yang baru”, serta ingin mencari lapangan kerja yang baru, baik di kantor pemerintah, perkebunan maupun dengan membuka lahan persawahan  di pesisir pantai Sumatera Timur.  Orang-orang Kristen yang hijrah dari Tapanuli inilah yang biasa disebut dengan “perantau”.

Walaupun anak-anak Batak yang sudah tamat dari HIS maupun MULO, dan mau melanjutkan sekolah di pulau Jawa, telah dibekali dengan dasar kekristenan yang cukup kuat, namun mereka tidak lepas dari tantangan yang dihadapi didaerah asing itu. Lingkungan kebudayaan dan agama yang sama sekali masih “baru” bagi mereka bisa saja menyeret mereka untuk meninggalkan imannya. Di  perantauan itu mereka sudah jauh dari orang tua, jauh dari sanak saudara, bahkan jauh dari gereja  yang bisa menyapa mereka dengan Firman Tuhan. Kalaupun mereka ada yang berjumpa dengan sesama orang Kristen dan juga Gereja Kristen, barangkali dasar pengajaran  theologis  mereka telah berbeda dengan dasar pengajaran  theologis  yang mereka warisi dari para missioner Jerman  di gerejanya di Tanah Batak.  Salah satu contoh bapak D.W.Lumbantobingn menceritakan semasa beliau belajar di Kweekscholl Gunung Sari, bagi mereka diajarkan ajaran theosofi, karena sekolah itu didirikan oleh “Theosofische Vereniging”. Theosofi adalag satu ajaran  yang bertentangan dengan kekristenan yang berdasarkan Alkitab.  Theosofi mengajarkan adanya reinkarnasi ( penjelmaan kembali) manusia, hidup vegetarian (tidak makan daging) karena alasan hukum ke IV, dan yang mengatakan bahwa seluruh agama adalah berdasarkan dan berasal dari satu Roh, baik itu Agama Hindu, Yahudi, Zoroaster (Persia), Budha, Kongfuchu, Kristen dan Islam. Yang membahayakan ialah bahwa ajaran ini cenderung menyamakan dirinya dengan Kristen, karena bergabung dengan salah satu gereja di Jakarta yaitu “Vrije Katholieke Kerk”. Dan para anggotanya mengikuti kebaktian minggu di gereja tersebut. Para guru yang mengajar di sekolah itu dan yang menganut faham Theosofi tersebut , selalu berusaha untuk menanamkan pengajaran mereka terhadap pelajar yang belajar di sana, baik melalui ceramah dan renungan pagi.  Faham ini mengagungkan Kristinamurti yang diakui berasal dari Allah, sebagai penjelmaan dari Yesus Kristus dan Muhammad.

Ini termasuk salah satu tantangan di samping tantangan lainnya seperti  adat kebiasaan dan kepercayaan yang lain. Bukan saja pelajar di Jawa yang mengalami tantangan yang demikian, tetapi juga seluruh  anak-anak Kristen Batak perantau, baik di Sumatera Timur, maupun di pulau Jawa. Tetapi adanya tantangan itu telah mendorong para pemuda itu untuk memperkuat  imannya. Walaupun dari antara mereka memang ada yang tergoda pengaruh lingkungan yang baru, namun kebanyakan mereka tetap mempertahankan imannya. Terutama para pelajar yang berada di pulau Jawa, mereka aktif untuk mendirikan persatuan pelajar Kristen di sana, secara suku maupun secara nasional. Melalui wadah inilah kehausan mereka akan Firman Tuhan yang selama ini telah mengisi hidup mereka diisi kembali. Seperti di Solo misalnya, sebagai Pusat Pendidikan Kristen pada waktu itu, tahun  1926 telah terbentuk Persatuan Pemuda dan Pelajar Kristen, yang dinamai “Bond Van Christen Jongeren” ( Ikatan Pemuda Kristen), yang berdasarkan Firman Tuhan seperti tertulis dalam Alkitab. Persatuan ini bersifat nasional, di mana dari masing-masing suku diangkat sebanyak tiga orang untuk menjadi pengurus.

Khusus untuk pemuda Kristen Batak, terbentuk juga gerakan untuk mempersatukan seluruh pemuda dan pemudi Kristen Batak, istimewa yang  berada di perantauan. Persatuan ini disebut “Tole-Vereniging ( Persatuan Tole). Gerakan ini bertujuan untuk mempersatukan seluruh pemuda-pemudi Kristen Batak tersebut, dalam satu ikatan, yang saling mengadakan kontak satu-sama lain. Pada waktu libur panjang setiap tahun mereka berkumpul di salah satu tempat yang sudah ditentukan di “bona pasogit”. Seperti pada 24 Mei 1926, mereka mengadakan konferensi di Sipoholon, yang dihadiri oleh 30 orang pemuda pelajar dan 4 orang pemudi. Konferensi ini disambut dengan baik oleh Ephorus HKBP pada waktu itu, Dr. J. Warneck, yang pada saat itu langsung memimpinnya dan dibantu oleh guru kepala HIS Sigompulon, Direktur Seminari Sipoholon, dan guru kepala HIS Narumonda. Pada konferensi itu seluruhnya mereka memberikan pemikiran bagaimana usaha yang akan dilakukan untuk melayani muda-mudi  yang semakin membutuhkan pelayanan khusus, terutama  mereka yang berada di perantauan. Bagaimana caranya mendidik mereka agar dapat bertahan untuk berpegang teguh dalam iman kepada Yesus Kristus  ditengah-tengah masyarakat  yang telah bercorak heterogen, dan bahkan bisa senantiasa menjadi garam  dan terang di lingkungan mereka yang baru itu. Maka pada konferensi itu diputuskan perlunya seorang “Jeugdleider” (pemimpin pemuda), yang khusus mengabdikan dirinya di bidang pelayanan kepada muda-mudi.

 

5.       Perlunya pembinaan khusus terhadap muda-mudi

 

Perobahan zaman berlangsung terus menerus. Hal ini sekaligus membawa perobahan kepada manusia terutama dalam cara berfikir, sikap sehari-hari dan mencakup bidang pergaulan. Pada mulanya pemuda-pemudi Batak itu hidup di lingkungan masyarakat yang homegen, dengan pola hidup dan cara berfikir yang sama. Sedangkan dengan terbukanya pergaulan ke dunia luar tanah Batak, banyak hal yang mempengaruhi sistem hidup mereka yang lama itu, sehingga orang-orang yang berada di dalamnya mengalami kegoncangan. Pada mulanya persoalan ini mengenai terhadap muda-mudi di perantauan. Karena itu mereka di tengah-tengah permasalahan itu sangat perlu dibina secara khusus. Tanpa menutup diri terhadap hal-hal baru yang mereka alami, mereka perlu dipersiapkan  dengan matang dalam hal hidup  kekristenan yang  dewasa, agar mereka senantiasa dapat menilai hal-hal yang baru itu secara bertanggung-jawab, sehingga mereka tidak terombang-ambing di tengah-tengah arus perobahan zaman tersebut.

Melalui pelayanan khusus inilah dapat ditanamken secara tepat Firman Tuhan, baik itu berupa khotbah, renungan dan Bible-study, sehingga dengan demikian para pemuda-pemudi dapat dengan berani menyaksikan imannya. Sejalan dengan ini mereka juga sangat perlu diberi pengetahuan yang mendalam mengenai ajaran kekrsitenan dan ajaran agama lain, sehingga mereka dapat membedakan agama Kristen dan agama lain di luar Kristen.

Pada Synode Godang tahun 1926, kebutuhan itu telah dibahas terutama oleh para pendeta,  dan utusan yang hadir di sana.  Di salah dibawakan hasil  konferensi 24 Mei 1926 itu,  dan pada waktu itu gereja telah menyadari bagaimana perlunya pembinaan khusus terhadap muda-mudi. Diputuskanlah untuk memintakan seorang tenaga ahli untuk itu dari badan zending RMG di Barmen Jerman.  Permintaan itu disambut dengan baik oleh RMG dan dicarilah seorang tenaga yang sesuai dengan itu, yakni Pdt Dr. E.Verwiebe yang ahli di bidang pendidikan muda-mudi, dan ahli di bidang olah-raga, karena disamping kependetaannya, dia juga telah menamatkan pendidikannya dari “Turn Hoch Schule” ( Sekolah Tinggi Olah Raga).

Dr. E.Verwiebe tiba di tanah Batak menjelang Natal tahun 1927. Dengan keahliannya di bidang muda-mudi itu, dia telah mencoba mendekati  dan mengorganiser para pemuda-pemudi (naposobulung)  Batak, baik yang masih tinggal di kampung halaman, maupun yang telah merantau ke negeri orang untuk melanjutkan pendidikan dan mencari lapangan kerja. Sebelum kedatangan Dr. E.Verwiebe, terutama kaum terpelajar muda-mudi Batak, telah melihat bagaimana perlunya diadakan pembinaan khusus kepada mereka. Usaha mereka yang pertama  ialah mengadakan pertemuan sekali setahun. Sebagai alat komunikasi bagi mereka agar mereka dapat menpelajari Firman Allah dan pengetahuan theologia, juga pengetahuan  tentang  permasalahan muda-mudai pada waktu itu, diterbitkanlah satu majalah muda-mudi yang bernama “Surat Parsaoran Naposobulung”, yang terbit sekali sebulan. Pada mulanya majalah itu terbit sebanyak 500 eksemplar dengan Edisi Narumonda. Majalah ini dikhususkan bagi muda-mudi Batak dan dikerjakan oleh muda-mudi itu sendiri. Dalam setiap terbitan majalah itu berisi renungan singkat, Bibel-study, berita-berita tentang kegiatan naposobulung di tingkat lokal maupun umum, diskusi, usul-usul dan hubungan kekrsitenan dengan adat. Jadi peranan majalah itu sangat besar untuk menambah pengetahuan mereka, sekaligus membantu mereka dalam memberi penyelesaian tetang permasalahan yang dihadapi, sekaligus mendewasakan iman mereka. Penerbitannya bisa berlansung sampai tahun 1940.

 

6.       Perkembangan bentuk pembinaan terhadap muda-mudi

 

a.       Gagasan Jeugdleider (Pemimpin Pemuda)

 

Gagasan tentang pemimpin pemuda lebih dahulu timbul di Eropa. “Jeugdleider” telah lama menjadi salah satu profesi di sana, dan orang dapat dididik untuk keahlian itu. Jadi pekerjaan itu bukan pekerjaan sampingan.  Masyarakat di ana semakin menyadari perlunya pengasuhan, pendidikan dan penuntun khusus kepada muda-mudi,  akibat cepatnya perkembangan yang membawa perobahan keadaan.  Hal ini terjadi terutama pada awal abad 20. Fikiran pemuda-pemudi pada waktu itu telah mulai liar akibat telah banyak dipengaruhi oleh roh-roh dunia. Sistem pergaulan sudah semakin bebas. Pengertian mereka akan nilai-nilai moral sudah semakin kabur.  Adanya jurang antara orang tua dan pemuda semakin dirasakan, akibatnya orang tua semakin cemas melihat kenyataan perobahan yang dialami oleh muda-mudi itu. Untuk menanggulangi inilah, baik oleh organisasi gereja maupun pemerintah, diusahakan untuk mengadakan pembinaan khusus terhadap  muda-mudi, di mana diberikan bimbingan yang dapat mengarahkan hidup mereka ke jalan yang benar. Karena tenaga pekerja di dalamnya membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, maka pekerjaan tersebut kemudian menjadi suatu professi.

Bukan hanya di Eropa, di Indonesia pun pekerjaan seperti itu sangat dibutuhkan, karena pemuda-pemudi Indonesiapun tidak terlepas dari pengalaman yang dipengaruhi leh perkembangan zaman.  Pada mulanya daerah  yang sangat membutuhkan ialah pulau Jawa, sebagai pusat pendidikan pada waktu itu di Indonesia.  Di sana telah berhimpun beribu-ribu pemuda yang mempunyai latar-belakang kesukuan yang berbeda dari berbagai pelosok Indonesia. Mereka mempunyai adat, tradisi dan pembawaan yang berlainan. Untuk mengarahkan muda-mudi Kristen kepada sikap pergaulan yang dewasa dan bertanggung-jawab secara Kristen sangat dibutuhkan tenaga seorang pemimpin pemuda.

Pemuda-pemuda Kristen yang terdiri dari suku Batak, Sunda, Jawa, Dayak, Timor, Papua, Ambon, Minahasa, Sangi, Toraja, Belanda, Cina dll, dihimpun dalam satu perkumpulan yang bernama “Christelijke Jeugdvereniging”. Mereka diutamakan berbahasa Belanda, yang dipimpin oleh seorang Jeugdleider yang bernama Dr. C.L.Van Doorn. Van Doorn  mencoba mendekati muda-mudi i, yang diantaranya kebanyakan pelajar dan mahasiswa, dengan mengadakan kursus-kursus dan konferensi. Dalam satu tulisannya yang berjudul “Pemuda-pemudi Kristen di Indonesia”, Van Doorn menerangkan sebagai berikut:

“Pergerakan nasional di Indonesia didorong oleh mahasiswa-mahasiswa yang berpendidikan Barat. Pergerakan nasional Indonesia itu adalah permulaan negara Indonesia yang baru. Dengan demikian tiap-tiap missioner dari Eropa dan Amerika menjadi orang asing ... Sebelum Perang Dunia ke II sudah terdapat suatu oraganisasi pemuda/penudia di Indonesia. Memang dapat dikatakan bahwa aktivitasnya tidak selalu tepat, tetapi secara umum banyak orang muda-mudi itu dilayani secara teratur. Pekerjaan itu tidak membosankan dan untuk segala umur dikembangkan aktivitas khusus. Misalnya untuk anak-anak di kelas terakhir di Sekolah Rakyat, dan di SMP ada grup-grup kecil, yang masing-masing terdiri dari lima orang. Mereka membaca Alkitab bersama-sama. Pemimpin kelompok itu bertemu sekali sebulan. Untuk pemuda-pemudi didirikan rumah pertemuan di kota industri; di samping itu diadakan kamping di luar kota umpamanya di daerah pegunungan. Mengenai pekerjaan muda-mudi perlu diadakan sekolah, Ikatan mahasiswa Kristen dikuatkan oleh kamping juga. Tiap-tiap tahun diadakan konferensi Ikatan Mahasiswa di Yogya. Perkumpulan ini dan organisasi muda-mudi  mempengaruhi perkembangan Negara Indonesia.  Hampir semua orang penting dan terkemuka dalam kehidupan gerejani, politik dan masyarakat Indonesia adalah anggota perkumpulan ini. Pekerjan muda-mudi yang lama berhenti pada pendudukan  Jepang 1942. Tetapi walaupun pada masa pendudukan Jepang ada larangan, Ikatan Mahasiswa tetap merayakan doa se dunia. Tetap sejak sepuluh tahun kemudian ( ditulis pada waktu 1952), tidak terdapat lagi kelompok Kristen muda atau kamping. Anggota Ikatan Mahasiwa dulu sudah tua, lagi pula telah aktif oleh Negara atau Gereja Indonesia. Bahaya muncul, karena pekerjaan muda-mudi Kristen telah merosot dan berganti dengan munculnya pergerakan pemuda nasional. Menghadapi problema ini penting sekali ada hubungan muda-mudi itu dengan muda-mudi internasional. Hasil konferensi mudai-mudi di Oslo sangat besar pengaruhnya. Banyak pemuda-pemudi Indonesia dapat mengikuti konferensi itu. Pada waktu itu terjadilah aksi politik pertama di pulau Jawa. Setelah konferensi itu didirikan kantor sekretariat di Jakarta yang dipimpin oleh Ds. Rompas. Terbitlah suatu majalah Kristen yang dinamai “Gelanggang Pemuda Kristen”.

 

Christelijke Jeugdvereniging itu berpusat di Jakarta, dan mempunyai cabang dan ranting-ranting  di kota-kota yang ada di pulau Jawa. Seperti diterangkan di atas, bahwa salah satu aktivitas dari perhimpunan ini ialah konferensi.  Konferensi diadakan sekali setahun, berpusat di Cisarua dekat Padalarang Bandung. Cisarua sengaja dipilih sebagai pusat konferensi, karena hawanya nyaman, berbukit-bukit dan sebagai tempat pemandangan yang indah.

Demikianlah perhimpunan ini menggerakkan pemuda-pemuda Kristen tersebut  di dalam satu kesatuan untuk menggumuli imannya. Sehingga banyak pemuda-pemudi Islam yang tertarik untuk memasukinya, sekaligus banyak juga yang ingin menjadi Kristen, walaupun mereka mendapat tekanan bathin dari orang tuanya.

 

Dr. E.Verwiebe, Jeudgleider Pemuda Kristen Batak

 

Gagasan Jeugdleider juga timbul di tengah-tengah Gereja Kristen Batak ( HKBP). Seperti sudah disinggung di atas, oleh konferensi pemuda-pemudi Kristen Batak 24 Mei 1926, diusulkan agar Huria Kristen Batak meminta seorang tenaga Jeugdleider dari Barmen. Synode Godang tahun itu menyambut baik usul itu, sehingga Ephorus Dr. J.Warneck memintakan tenaga itu dari RMG, yang juga disambut oleh badan zending itu.  Jadilah diutus seorang Jeugdleider yakni Dr. Ernst Verwiebe, yang selain ahli kepemudaan juga bertugas sebagai pendeta. Dr E. Verwiebe tiba di tanah Batak pada bulan Desember 1927.

Verwiebe dilahirkan pada 12 Juni 1901 di kota Munster daerah Westfalen Jerman, yang kemudian pada tahun 1906 pindah ke kota Essen. Di kota ini dia memasuki SD selama 4 tahun, yang kemudian meneruskan pelajarannya ke sekolah Goethe-gymnasium, sederajat dengan SMA. Sebagai seorang murid dia ikut dalam kelompok pelajar Alkitab, di mana dia pertama sekali memperoleh kesan keagamaan dan pengalaman perang  di Francis (perang Dunia I). Pada tahun 1920, Verwiebe memasuki perguruan Theologia dan Filsafat. Pada masa libur dia bekerja di pabrik untuk memperoleh uang kuliah. Di samping itu, dia juga bekerja di dalam bermacam-macam pergerakan pemuda ( Jeugdbewegung). Pada tahun 1923, Verwiebe dipromoskan  menjadi doktor Filsafat dengan disertasinya yang berjudul: “Pengalaman keagamaan di dalam filsafat Fichte”. Sejak itu dia bekerja sebagai dosen  pada kursus-kursus akademi di kota Essen dan sebagai penasehat perkumpulan guru-guru muda. Pada tahun 1924,  Verwiebe bekerja di tengah-tengah pemuda yang diperbantukan kepada Pdt. Weigle di kota Essen. Pada waktu itulah dia menyelesaikan ujiannnya  yang pertama di bidang theologia dan lulus pada bulan April 1925. Pada bulan April 1926 dia dipanggil ke “Domkandidantenstift” (asrama mahasiswa-mahasiswa theologia untuk bekerja di bawah asuhan Dr. Conrad, yang ketika itu wakil Presiden Gereja Kesatuan Prusia tua. Di sanalah Verwiebe menerima panggilan dari RMG untuk pergi menjadi pemimpin pemuda-pemuda Kristen di Sumatera.  Pada bulan Maret 1927, dia menyelesaikan ujian theologia yang ke dua, dan pada 1 Mei 1927, ditahbiskan dan dipersiapkan kepada tugas yang baru. Verwie menikah pada 11 Oktober 1927 dengan nona Martha Blechmann. Dua belas hari setelah itu diadakan perpisahan oleh Pdt Lie Hamburg di Gereja Pusat di Barmen.

Verwiebe adalah Jeugdleider yang pertama di tengah-tengah Kristen Batak.  Pendekatan pertama yang dilakukan oleh Verwiebe ialah pendekatan kepada kaum terpelajar yang berada di Tapanuli, maupun di pulau Jawa.  Untuk menarik perhatian para pelajar itu dia menunjukkan keunggulannya di bidang permainan olah raga yang sama sekali belum pernah dipersaksikan oleh pelajar di Tapanuli.  S. Sarumpaet yang menulis satu tulisan yang berjudul: “Mengenang masa lalu Perkumpulan Naposobulung di HKBP”, ( ketikan, 25 halaman, Jakarta 25 Oktober 1976, hal. 6), mengatakan bahwa semasa  Verwiebe datang ke Narumonda tahun 1928, ratusan  anak-anak remaja ternganga  mempersaksikan yang dipertunjukkan oleh Verwiebe di hadapan mereka, seperti: loncatan-loncatan akrobatik,  bermain dengan ring, dll.  Permainan yang menakjubkan itu membuka mata pelajar-pelajar kepada bagian pemeliharaan jasmani dan otot-otot. Sejak itulah  para remaja yang belajar di HIS tersebut semakin terdorong untuk mempelajari cara-cara yang menyehatkan badan.

Cara pembinaan yang lain yang diselenggarakan oleh Verwiebe kepada anak-anak remaja itu ialah: sistem “Wandervogel” atau sistem Pramuka. Dengan pengasuhan di luar sekolah, Verwiebe membina pelajar di MULO Tarutung dengan  sistem pramuka tersebut.  Pada masa libur, mereka dibawa berkemah sambil bertamasya ke alam bebas. Sambil menikmati keindahan alam dengan fikiran yang segar, para remaja  itu dilatih untuk menolong diri sendiri, mengatur keperluan sendiri dan bertanggung-jawab sendiri. Karena dengan perlengkapan yang sangat sederhana dan kadang-kadang tidak mencukupi, para remaja itu dipaksa oleh keadaan dan situasi untuk dapat berfikir menggunakan benda yang dijumpai di tempat itu untuk memasak, mempersiapkan tempat berteduh, mengambil air minum, dsb.  Dengan cara berkemah yang diatur sedemikian rupa, Verwiebe melatih anak-anak yang selalu dimanjakan di rumah oleh orang tuanya untuk berdisiplin tidur dengan teratur, bangun dengan teratur, demikian juga melatih waktu makan dan istirahat dengan teratur.  Benar-benarlah mereka dibina melalui pemberian tugas masyarakat untuk bertanggung-jawab menyelesaikan tugas yang disampaikan kepada mereka. Ke dalam jiwa para remaja itu ditanamkan semboyan yang mengatakan: “satu untuk semuanya dan semuanya untuk satu”.

Untuk melatih fisik dan mental, Verwiebe mencoba membawa anak-anak muda itu berjalan kaki sambil memikul rangsel di bahu dengan berat rata-rata 30 kg, dengan berbaris teratur dari Tarutung ke Muara ( sebuah tepi pantai di sebelah Barat Danau Toba), dari sana naik perahu ke Nainggolan, berjalan kaki melewati Palipi ke Pangururan di pulau Samosir. Istirahat sebentar di Pangururan, kemudian meneruskan perjalanan kaki tersebut mendaki Dolok Pusuk Buhit. Dengan cara demikian menurut Verwiebe semakin mantaplah sifat ketahanan dan keuletan jiwa yang harus dimiliki oleh seorang pemuda. Karena itu bagi Verwiebe, menyerah kalah di tengah jalan adalah sifat yang sangat dipantangkan.

Dalam sistem pramuka tersebut, Verwiebe juga melatih anak-anak muda itu dengan mengadakan perayaan-perayaan.  Seperti dikatakan oleh S. Sarumpaet selanjutnya,  bahwa semasa mereka duduk di sekolah MULO, pada waktu libur, mereka dibawa oleh Verwiebe berkemah dua minggu lamanya di Sigaol, di antara bukit-bukit dengan pantai Danau Toba. Di sana mereka dilatih merencanakan pertahanan dan penyerbuan untuk merebut suatu benteng yang ditentukan di salah satu bukit. Dibentuk dua kelompok yang berhadapan, yang masing-masing kelompok lengkap dengan “komandan”, yakni komandan seksi dan komandan pleton. Mereka diberi tuntunan bagaimana caranya menyerbu dari lambung kanan, kiri dan tengah.  Mereka diperlengkapi dengan senjata bambu, yang pada ujungnya diberi sebuah bola kayu yang dibalut, supaya jika ada yang kena olehnya jangan sampai melukai. Dengan cara demikian mereka diajar untuk menyusun strategi dan untuk pandai mencari jalan cara untuk bisa sampai ke tujuan. Dalam latihan perang itu, cara-cara yang licik dilarang keras, karena cara tersebut adalah menunjukkan cara yang tidak kesatria.  Dan jika kalah, tidak perlu sakit hati, tetapi harus mengaku kekalahan dengan sportif.  Dengan demikian anak-anak muda itu dilatih untuk menghargai sifat-sifat kejujuran dan keberanian.  Sifat pengecut dan penghianat  adalah sifat yang harus dibuang jauh-jauh. Akan tetapi pembinaan melalui latihan perang-perangan yang telah disukai oleh anak-anak pelajar tersebut, berhenti dengan tiba-tiba, karena pemerintah Belanda melarangnya.  Barangkali pemerintah Belanda takut kalau-kalau anak-anak Batak itu menjadi orang yang berjiwa patriot, suka berkelahi, sehingga di kemudian hari mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda sendiri. Tetapi jelas sekali bahwa pembinaan dengan sistem Pramuka itu adalah bertujuan untuk meletakkan dasar kepribadian yang berani, jujur, pandai dan patuh berorganisasi, tahan uji, ulet, dipercaya, hidup teratur dan berdisiplin dan mempunyai rasa tanggung-jawab.  Syukur bagi Tuhan Tuhan, bahw di daerah kita tersedia alam yang luas dan indah, yang dapat dipergunakan dan dinikmati dalam menempa hidup pemuda-pemuda ke arah itu.

Di samping pelajar-pelajar yang ada di Tapanuli, Verwiebe juga  giat untuk membina  pemuda-pemudi terpelajar yang ada di pulau Jawa dan Sumatera Timur.  Verwiebe dapat lebih mudah mendekati mereka, karena sebelumnya telah dibentuk Persatuan Kristen Batak, di kota-kota yang ada di pulau Jawa dan Sumatera Timur.  Menurut laporan dari Dr. E.Verwiebe pada tahun 1933, jumlah anggota Persatuan Kristen batak yang ada di pulau Jawa, telah ada 20 orang di Surabaya,  45 orang di Solo, 25 orang di Bandung, 30 orang di Lembang, 20 orang di Buitenzong (Bogor sekarang), 80 orang di Jakarta.  Dan di Sumatera sendiri kelompok pemuda terpelajar itu juga sudah terbentuk. Misalnya di Pangkalan Berandan kelompok ini telah beranggotakan 20 orang, di Medan, 50 orang, di Pematangsiantar 40 orang, di Tarutung 40 orang, di Doloksanggul  15 orang, di Fort de Koch ( Bukit Tinggi sekarang) 20 orang. Di dalam persatuan ini mereka bergaul dengan bahasa Batak, sehingga yang tidak pandai berbahasa Belanda dapat mengikutinya.

Seluruh perkumpulan yang ada di pulau Jawa dan Sumatera itu dikunjungi oleh Verwiebe. Mereka diisi dengan pelayanan kerohanian yang sangat dibutuhkan mereka pada waktu itu, seperti mendadakan renungan dari Alkitab.  Muda-mudi yang telah mulai aktif mengadakan pergerakan bangsa Indonesia juga merindukan suara Allah untuk berbicara di tengah-tengah mereka. Karena itu Verwiebe memberikan penjelasan Alkitab itu, yang dihubungkan dengan masalah aktual yang dihadapi mereka pada saat itu. Satu-satu waktu mereka berdoa bersama-sama dengan mengadakan Perjamuan Kudus bersama-sama. Verwiebe juga melayani mereka di bidang penggembalaan agar muda-muda Kristen yang berada dalam pergumulan merasakan suau perasaan yang aman dan teteram. Kemudian muncul juga kesaksian dari tengah-tengah muda-mudi itu,  kesaksian mana semakin mendorong sesama anak-anak Batak di sana untuk mendalami imannya dan semakin dikuatkan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi mereka.

Setiap kelompok mempunyai seorang pemimpin yang senantiasa aktif untuk mengorganiser mereka. Supaya kepemimpinan itu berjalan dengan lancar dan baik,  Verwiebe juga menuliskan pedoman kepemimpinan bagi mereka, yang disampaikan bagi setiap pemimpin oraganisasi itu.  Kelompok persatuan yang berada di Sumatera dapat dikunjungi oleh Verwiebe sekali dalam dua bulan.

 

Pendekatan kepada muda-mudi umum  

 

                Dr. Verwiebe juga berhasil mendekati pemuda-pemudi yang yang tinggal di kampung, juga dengan sistem mendirikan kelompok-kelompok di sana.  Untuk menyelenggarakan ini dia bekerjasama dengan guru-guru zending setempat. Dengan kelompok-kelompok yang terbentuk inilah dia menyelenggarakan kursus-kursus Alkitab, pendidikan umum dan olah-raga, yang bertujuan memupuk pertumbuhan kerohanian dan jasmani.

                Namun dalam menggiatkan pembinaan pemuda-pemudi itu Verwiebe menghadapi masalah.  Umumnya para pemuda itu tidak mempunyai kebebasan untuk mengikuti kegiatan-kegiatan itu. Mereka juga belum mempunyai ketekunan untuk mengikutinya.  Mula-mula kelihatannya mereka sangat bergiat, tetapi kemudian menjadi berkurang. Dengan sendirinya orang yang ingin bertahan di dalamnya menjadi malas.

                Untuk mengatasi persoalan ini, dibukalah kumpulan kecil untuk orang-orang yang saleh. Dan bagi kelompok kecil inilah Verwiebe mencoba mengadakan Bibel-study secara teratur.  Yang dipentingkan sekarang bukanlah jumlah anggota, melainkan keberhasilan untuk memperdalam kerohanian bagi generasi muda itu. Pelayanan kepada para pemuda yang tinggal di kampung itu  juga dibantu untuk menggiatkannya oleh pelajar-pelajar apabila mereka pulang ke kampung pada masa libur sekolah.  Mereka melayani dengan ceramah-ceramah  dalam kumpulan-kumpulan kecil.

                Salah satu masalah lagi yang dihadapi ialah kurangnya tenaga  yang mampu untuk mengkordiner dan mengisi mereka dengan kebutuhannya. Namun berkat ketekunan Verwieb untuk  mengunjungi seluruh kelompok kecil itu, maka usahanya dapat berjalan dengan baik. Sampai ke pelosok-pelosok pun, di mana ada kelompok pemuda, Verwiebe pergi mengunjunginya. Misalnya dalam Notulen Pekabaran Injil RMG di Tanah Batak, Verwiebe melaporkan bahwa pada tahun 1932 beliau pergi mengunjungi kelompok pemuda-pemudia yang ada di Barus.  Daerah itu pada waktu itu masih termasuk daerah hutan rimba-raya, namun telah didatangi oleh banyak orang Batak, untuk membuka hutan itu menjadi persawahan atau perladangan menanam padi. Sebelum kunjungannya ke sana  jumlah orang Kristen di daerah itu telah ada kira-kira  2000 orang. Dan tidak berapa lama kemudian jumlah itu semakin bertambah lagi,  dan semakin banyak pula yang datang ke gereja  berkat pergerakan pemuda-pemudi yang ada di sana, untuk mengadakan kegiatan-kegiatan. Kegiatan-kegiatan itu  dilayani oleh guru-guru muda yang  dengan tekunnya memberikan perhatian demi mencapai kemajuan-kemajuan.  Verwiebe sempat berkunjung ke sana beberapa kali. Setiap kali dia berkunjung  dan berkhotbah pada  kebaktian minggu,  umumnya para pemuda itu merasakan khotbah yang disampaikan masih kurang panjang.  Sehabis acara minggu, para pemuda itu masih memintakan untuk mengadakan pertemuan ekstra. Karena kebanyakan para pemuda itu yang tertarik kepada Firman  Allah lebih dalam, maka Verwiebepun merencanakan mengadakan  Bibel-study di sana.

                Rencana tersebut sangat berterima bagi kalangan muda-mudi itu.  Lalu dibentuklah kelompok Bibel-study di beberapa tempat di sekitar daerah itu, seperti di Pakkat, Tarabintang dan Parlilitan.  Kursus itu selalu mendapat kunjungan yang ramai.  Supaya Bibel-study tetap berlangsung, apabila Verwiebe berhalangan, maka Verwiebe bermaksud menuliskan sebuah buku  berbahasa Batak yang bisa membantu pimpinan kelompok  muda-mudai itu dalam memberikan kursus Alkitab dan pengetahuan yang lain.

                Selain yang berhubungan dengan pelayanan kerohanian, Verwiebe juga  memberi pengajaran gymnastik yang merupakan keahliannya kepada  muda-mudi di kampung itu.  Tetapi setiap mengadakan kunjungan yang diutamakan adalah pelayanan kerohanian dalam bentuk kursus Alkitab. Kadang-kadang di beberapa tempat dia disambut dengan seruling bambu oleh kelompok muda-mudi itu secara massal.  Guru-guru telah mengajarkan mereka untuk membuat instrumen yang sederhana itu. Hal itu terjadi seperti di kampung Aek Raut dan Sijaran. Sering perkumpulan itu berlangsung sampai tengah malam, dan mereka mengikutinya dengan penuh perhatian, wlaupun dari antara mereka yag bekerja sebagai buruh di pertambangan emas. Ini terjadi di Banuarea.

 

Pertemuan sekali setahun  

 

                Konferensi Naposobulung se Indonesia yang telah mulai sebelum kedatangan Verwiebe juga dilanjutkan oleh Verwiebe sendiri. Tetapi dia memperluas lingkungan dari konferensi itu. Sebelum kedatangannya, konferensi itu hanya  dilangsungkan oleh pemuda-pemudi terpelajar pada waktu libur sekolah. Tetapi setelah datangnya Verwiebe,  ke dalam konferensi itu telah diikut-sertakan pemuda-pemudi yang bukan terpelajar, dan yang tinggal di kampung, supaya dengan demikian persekutuan yang erat dalam tubuh Naposobulung Kristen Batak itu semakin erat. Tetapi kadang-kadang  pemuda-pemudi yang tidak terpelajar merasakan perasaan yang kurang enak, karena pemuda-pemudi yang terpelajar itu datang mempergubakan bahasa Belanda di dalam pertemuan, apalagi mereka lupa bahwa diantara  yang hadir itu ada yang tidak mengetahui bahasa Belanda.

                Biaya perongkosan dari setiap utusan yang menghadiri konferensi itu dan biaya selama konferensi adalah ditanggung oleh gereja masing-masing, sehingga dari tempat yang jauh pun tidak terhalang datang apabila mereka kesulitan biaya. Semenjak datangnya Verwiebe perhatian gereja banyak dicurahkan kepada  pembangunan kerohanian muda-mudi itu. Dan hasilnya memang sangat menentukan sekali dalam usaha kelanjutan missi  gereja di kemudian hari.  Firman Allah yang sudah tertanam dalam hati mereka senantiasa akan hidup sepanjang masa.  Tokoh gereja dan simpatisan gereja yang ada sampai sekarang adalah orang-orang yang sudah mendapat pembinaan yang matang dengan dasar Firman Allah sejak dari masa mudanya.  Memang itulah dasar dari kelanjutan gereja. Apabila bibit Firman Allah telah hidup dalam jiwa para pemuda gereja itu, maka dia akan menjadi warga gereja yang bertanggung-jawab di kemudian hari. Tetapi apabila gereja melalaikan perhatian terhadap pembinaan kerohanian pemuda-pemudinya, maka kelanjutan dari hidup gereja dengan warga-warga yang bertanggung-jawab akan sulit dapat diharapkan.

                Selama Verwiebe menyelenggarakan pelayanan kepada Napsobulung Kristen Batak (ulaon pangaramotion ni naposobulung Kristen Batak), perhubungannya dengan Christelijke Jeugdverening atau Christilijke Jeugdraad yang ada di pulau Jawa selalu baik. Konferensi yang diadakan di Tapanuli dihadiri oleh Dr. C.L.van Doorn, Jeugdleider yang bertugas di pulau Jawa. Dr. E.Verwiebe sendiripun selalu menghadiri konferensi yang di Cisarua yang diselengarakan oleh Chr. Jeugdvereniging dan Chr. Jeugdraad. Banyak juga pelajar-pelajar Kristen Batak yang menjadi anggota konferensi itu, seperti: Conradin Sitompul yang memimipin perkumplan siswa-siswa  Kristen K.S. Gunung Sari di Lembang.

                Dr. Verwiebe sebagai Jeugdleider hanya  berlangsung  sampai tahun 1936. Sejak tahun itu dia telah terpilih menjadi Ephorus HKBP. Walaupun synode godang tahun 1936 mengusulkan supaya HKBP mengusahakan penggantinya, namun Verwiebe yang telah menjadi Ephorus pada waktu itu mengatakan bahwa hal itu belum bisa dilaksanakan pada waktu itu. Di telah mempercayakan pekerjaan itu dapat diteruskan oleh pengurus-pengurus  NKB yang sudah terbentuk pada waktu itu sampai menunggu tamatnya anak HKBP yang sedang mengikuti studi di HTS ( Hoogere Theologische School) Jakarta, yang telah dapat diangkat menjadi Jeugdleider di HKBP ( Lihat Notulen Synode Godang HKBP 4-5 Nopember 1936 di Sipoholon, bagian ke VIII.

 

b.      Terbentuknya perkumpulan NKB ( Naposobulung Kristen Batak)

 

Setelah Conradin Sitompul sering berjumpa dengan pemuda-pemudi Kristen Batak  dalam konferensi di Cisarua itu, maka dia menggerakkan seluruh pemuda-pemudi Kristen Batak yang ada di seluruh pulau Jawa untuk membentuk perkumpulan Naposobulung Kristen Batak. Sitompul yang sudah digelari lajang tua ini banyak berkorban untuk dapat berhasilnya rencana tersebut.  Dia sudah bekerja sebagai pegawai Pos dan Telekomunikasi di Bandung. Selaku pemuda yang sudah mendapat gaji, maka dia banyak mengeluarkan biaya untuk keperluan pembentukan organisasi itu. Dalam hal yang tidak bisa dilupakan tentang dirinya dalam pergerakan Naposobulung Kristen Batak ialah: dedikasinya, pengorbanannya dan doanya.  S. Sarumpaet yang sudah sempat mengenal Conradin Sitompul ini  mengatakan bahwa berhadapan dengan dia, orang merasa seperti berada di bawah sebatang pohon yang rindang di tepi sungai. Ini menunjukkan suasana bersama dia yang penuh ketenangan, kesejukan dan damai.

Atas anjuran dan usaha Conradin Sitompul inlah maka para pemuda Kristen batak yang berada di seluruh penjuru  pulau Jawa mengadakan pertemuan di Padalarang. Ini terjadi pada bulan Oktober 1932. Sepanjang ingatan S. Sarumpaet dalam tulisannya yang berjudul: Mengenang masa lalu Perkumpulan Naposobulung di HKBP, dia mengatakan bahwa beberapa  yang hadir dalam pertemuan  itu antara lain ialah: Manati Sitompul ( Ir. M.Sitompul alm.), ketika itu mahasiswa  di Technich Hogeschool ( ITB sekarang), Pimin Siahaan dari HIK Bandung, Maruar Lumbantobing, SH. Dalam pertemuan itulah terbentuklah  Perkumpulan Naposobulung Kristen Batak ( NKB) yang pertama sekali dan ketuanya dipercayakan kepada Conradin Sitompul. Tujuan dari organisasi ini terutama untuk membimbing seluruh Naposobulung Kristen Batak ke dalam hidup kekristenan. Melalui  organisasi ini pemuda Kristen Batak dilarang keras kawin kepda perempuan yang beragama lain. Kalau sekiranya seseorang tidak dapat lagi menghindarkan untuk tidak mengawininya, dia harus lebih dulu mengusahakan perempuan itu bersedia menjadi Kristen. Maka disamping memelihara dan mengawasi  pemuda Kristen Batak supaya jangan ada yang murtad dari agamanya, juga dengan usaha ini pemuda Kristen juga ikut melakukan missi kepada yang beragama lain.  Tak dapat disangkal dari antara pemuda-pemuda itu ada juga yang terjerumus, sehingga terpaksa memasuki agama Islam karena kawin dengan putri Islam.  Tetapi banyak juga yang berhasil mengkristenan perempuan yang beragama islam, sebelum dikawininya, dan orang tua dari perempuan itu turut masuk menjadi Kristen, setelah menyadari kelebihan agama Kristen dari agama Islam.

Pada mulanya usaha ini dimaksudkan untuk  mempersatukan seluruh perkumpulan pemuda-pemuda Kristen Batak yang berada di pulau Jawa dalam satu wadah NKB. Tetapi dalam program jangka panjangnya organisasi ini bertujuan untuk mempersatukan  seluruh Naposobulung Kristen Batak, baik yang tergolong kaum terpelajar maupun yang tinggal di kampung halaman, baik itu wanita maupun pria dibawah panji-panji Kristus.

 Pada waktu pembentuka perkumpulan NKB,  Gereja Kristen Batak sudah mengalami perpecahan.  Dari HKBP telah memisahkan diri dalam organisasi yang lain, yakni Huria Christen Batak ( HChB), Punguan Kristen Batak (PKB) dan Mission Batak. Supaya semua pemuda-pemudi Kristen Batak dapat ditampung dalam perkumpulan NKB ini, maka perkumpulan ini tidak berusaha untuk mengikatkan diri kepada HKBP. Karena itu NKB belum merupakan oragnisasi gerejawi, tetapi missinya selalu berwarna kekristenan. Maka oragnanisasi NKB merupakan organisasi yang tersendiri di samping gereja-gereja Kristen Batak yang telah ada pada waktu itu.

Karena gerakan dari NKB ini dimulai dari pulau Jawa, maka pada mulanya pengurus (Hoofdbestuur)nya adalah berkedudkan di pulau Jawa.  Tetapi pada tahun 1934, pada rapat yang diadakan bulan Juli, diputuskanlah untuk memindahkan Hoofdbestuur itu ke Tapanuli, supaya para pemuda-pemudi Kristen Batak yang berada di Tapanuli dan Sumatera Timur dapat lebih mudah dilayani sekaligus bersatu dalam perkumpulan NKB. Sejak itu pengurus yang berada di pulau Jawa berobah hanya menjadi sub-Hoofdbestuur dan merekalah yang mengurus penyelenggaraan kegiatan NKB yang berada di pulau Jawa.

 Dalam Hoofdbestuur  yang telah pindah ke Tapanuli, terpilih D.W.Lumbantobing, yang pada saat itu guru di HIS pemerintah sebagai Voorzitter (  Ketua ) I, dan R.Simanjuntak yang bertugas sebagai guru di Chr. HIS Sipompulon sebagai Voorzitter II. Dr. E.Verwiebe yang tetap sebagai Jeugdleider di lingkungan HKBP, merangkap sebagai Sekretaris I, dan J. Tambun, guru di Chr. HIS  Sigompulon sebagai Sekretaris II.

Selain dari Conradin Sitompul sebagai Voorzitter NKB yang pertama, yang pernah terpilih sebagai pengurus NKB di pulau Jawa ialah Melanthon Siregar, Dr. Mangara Tambunan SH dan W. Silalahi.

 

Konferensi yang meriah

 

Setelah tiga tahun usaha Conradin Sitompul dijalankan, maka tahun 1935 dia mengundang seluruh  pemuda-pemudi Kristen Batak yang bernaung dalam perkumpulan NKB mengadakan konferensi NKB di kota Bandung. Pada waktu itu apa yang dia cita-citakan telah menjadi kenyataan. Semua perkumpulan yang tadinya tidak mempunyai hubungan satu sama lain telah bergabung dalam NKB. Konferensi berlangsung selama satu minggu dalam suasana akrab dan penuh idealisme.  Pada waktu itu dari antara para utusan sudah ada satu dua orang  yang progressif, terutama yang membaca “Nationale Commentare”,  sebuah majalah politik asuhan alm. Dr. Sam Ratulangi,  yang pada waktu itu tokoh terkemuka dan pendekar pejuang dalam “Volksraad” Hindia Belanda. Ada juga yang turut berlangganan “Api”, sebuah surat kabar bagi Indonesia Muda, yang diedarkan secara sembunyi-sembunyi dari tangan ke tangan, yang merupakan gerakan illegal di mata Pemerintah Belanda. Para anggota NKB banyak sedikitnya ikut bersimpati kepada gerakan yang mulai menggelora pada waktu itu.  Karena kedudukan NKB yang bebas sebagai perkumpulan, sangat membantu sekali, sehingga gereja tidak terlibat dalam  percakapan-percakapan diam-diam mengenai perjuangan kebangsaan.  Etiketnya yang jelas adalah “Christelijke Jeugdvereniging”, perkumpulan pemuda Kristen, membuat pemerintah Belanda tidak pernah menyangka NKB ikut membahas soal-soal kebangsaan.

Jiwa pemuda-pemudi pada waktu itu telah mulai sadar akan harga dirinya yang selama ini diperlakukan oleh Pemerintah Belanda tidak senonoh. Pengurus-pengurus berbahasa Belanda  yang tadinya mungkin oleh penjajah hanya dimaksudkan supaya memperoleh tenga-tenaga terpelajar bagi perkembangan sosial-ekonomi penjajahannya, adalah kumpulan untuk pencerdasan otak anak-anak Indodesia, yang ternyata menjadi pisau belati yang menusuk diri pemerintah Belanda sendiri.

Dlam konferense meriah tahun 1935 itu, jelas  bahwa kaum NKB pun turut mengikuti jejak dan derap massanya. Dasar dari NKB yang menyatakan iman kepada Yesus Kristus, telah mempersiapkan anggota-anggotanya untuk saksi-saksi dalam segala bidang kehidupan yang dipertahankan semurni mungkin, termasuk membela nasib bangsanya sendiri yang masih terbelenggu itu.  Hal ini nyata sekali dari Ende Hatopan NKBP  yang berjudul “Udur ma hita sasude” (Mari kita semua satu barisan), yang melodinya ditulis oleh August Pasaribu pada tahun 1933 di Probolinggo, dan syairnya oleh S. Sarumpaet. (Lagu ini menjadi lagu kesayangan sampai sekarang di kalangan Naposobulung HKBP).

Conradin Sitompul tidak lama diizinkan oleh Tuhan bersama-sama dengan teman-temannya di NKB, karena dia meninggal. Tetapi selama dia memimpin NKB, dia telah meninggalkan dan mewariskan kenangan indah untuk kelanjutan dari NKB.

 

Kegiatan NKBP di kampung halaman

 

                Kegiatan NKBP di kampung halaman adalah dipelopori oleh para pemuda Kristen Batak yang telah menamatkan studinya di pulau Jawa, dan yang telah kembali ke Tapanuli. Sehingga boleh dikatakan  kehidupan dari NKB itu sangat tergantung kepada para bekas-pelajar yang berasal dari pulau Jawa yang kebanyakan sudah pulang ke Tapanuli. Maka atas kesepakatan Hoofdbestuur dari Tapanuli dan Sumatera Timur, pada bulan Juli 1936 diadakan konferensi  di kompleks Zending HKBP (Hermon) yang sekarang, yang dahulu masih milik Nommensen Schoolvereniging” di Jalan Gereja Pematangsiantar. Dalam konferensi itu diambil kata sepakat untuk melanjutkan perkumpulan NKB, dengan program jangka panjang yaitu untuk menggalang semua Naposobulung Kristen Batak yang tinggal di bonapasogit, baik yang bersekolah maupun yang bukan pelajar. Semua perkumpulan naposobulung yang sudah terbentuk dalam gereja-gereja setempat akan dipersatukan dalam wadah NKB.  Itulah usaha dari pengurus-pengurus NKB itu, selama dua tahun mereka berusaha, agar tujuan yang baik itu dapat terrealiser.  Ternyata usaha mereka memang tidak sia-sia.  Karena pada bulan Juli 1938 mereka berhasil mengadakan satu kongres NKB, bertempat di kota Sibolga. Dari segala penjuru berdatangan utusan-utusan untuk menghadiri kongres tersebut.  Dan nyata kebanyakan utusan itu  berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur.  Dari Jawa hanya satu dua orang yang kebetulan hadir. Suasana dari konferensi itu mencerminkan suasana yang akrab sekali. Pemuda-pemudi di sana bergaul seperti kakak-beradik. Bahasa pengantar adalah bahasa Batak. Seakan-akan telah tercapai impian semua dari NKB, yakni semua Naposobulung Kristen Batak bersatu dan melangkah ke arah yang sama.

                Pada waktu itu dibentuklah kepengurusan yang baru. D. Walter Lumbantobing tetap terpilih sebagai ketua dan S. Sarampaet terpilih sebagai Sekretaris Jenderal, karena Verwiebe memintakan tidak turut lagi  berfungsi sebagai Sekretaris, hanya tetap sebagai Jeugdleider. Dan P. Siagian guru di HIS Sibolga terpilih sebagai Sekretaris I, anggota yang lain dari Hoofdbestuur itu tetap. Untuk membantu Hoofdbestuur itu melaksanakan tanggung-jawabnya, maka pada konferensi di Sibolga itu  dibentuklah komisaris-komisaris  yang bertugas sebagai kordinator  di beberapa wilayah perkumpulan NKB. Menurut S. Sarumpaet, mereka ialah:

1.       Untuk wilyah Silindung                                      :  Chr. Rajagukguk di Tarutung

2.       Untuk wilayah Toba                                                :  B. Hutagaol di Balige

3.       Untuk wilayah Dairi                                                 :   G. Manik di Sidikalang

4.       Untuk wilayah Samosir                                          :   Helman Naibaho di Pangururan

5.       Untuk wilayah Angkola                                          :   H. Harahap di Padang Sidempuan

6.       Untuk wilayah Sumatera Timur                          :   A.H. Sihombing di Pematangsiantar

7.       Untuk wialayah Jawa                                              :   Mr. Rufinus Lumbantobing di Jakarta.

 

Kegiatan Pengurus Pusat himpunan NKB yang telah berkedudukan di Sibolga pada waktu itu, diarahkankepada dua sasaran, yakni:

1.       Konsolidasi dan pengkaderan anggota-anggota di seluruh Indonesia.

2.       Perencanaan biaya untuk pekerjaan di Kantor Pusat.

 

Untuk mencapai sasaran yang pertama, diterbitkanlah sebuah majalah tengah bulanan di Sibolga, yang bernama : “Naposobulung”, yang memakai bahasa daerah dan bahasa Melayu ( sekarang bahasa Indonesia), bahasa Belanda dan bahasa Inggris. Oplagnya mencapai 5000 exemplar, berisi 36 halaman, yang beredar di seluruh Tanah Air,  Kualalumpur, Singapore, Manila, New York, Amsterdam dan Berlin.  Pada waktu itu sudah ada Naposobulung Kristen Batak yang tinggal di kota-kota tersebut, yang kebanyakan bukan karena belajar, tetapi karena merantau. Pemimpin Redaksi majalah tersebut, dipercayakan langsung kepada Sekretaris Jenderal. Majalah itu berisikan: renungan dari Alkitab, soal organisasi, rubrik tentang bona pasogit (tentang kejadian dan adat), ilmu pengetahuan, keadaan Tanah Air,  rubrik kebudayaan ( syair dan Prosa kiriman), dan berita dunia. Pada pokoknya nada dari missi majalah itu bertujuan untuk pembaharuan pandangan hidup para anggota mengenai berbagai segi kehidupan ( adat, perkawinan, dsb.), supaya selalu berlandaskan Firman Tuhan. Majalah itu sangat berguna sekali untuk mengikat persaudaraan dan meperdalam serta memperluas pengetahuan umum di kalangan para anggota.

Kegiatan yang lain dari pengurus ialah mengadakan kunjungan ke daerah-daerah secara berkala. Sekali setahun diadakan konferensi para pengurus, dan sekali tiga tahun diadakan kongres seluruh anggota NKB.

Salah satu masalah yang dihadapi pengurus NKB itu adalah pembiayaan untuk pekerjaan di Kantor Pusat, pemungutan kontribusi dari seluruh anggota, yang seharusnya dipungut dari anggota melalui ranting dan cabang, tidak pernah terlaksana dengan baik. Akhirnya dicarilah dermawan yang memberikan perhatian untuk kemajuan dari NKB ini. Dan biaya yang lain untuk mencukupi sumbangan dari dermawan itu banyak keluar dari saku pengurus itu sendiri.  Perlu dicatat bahwa perjalanan keliling dari anggota pusat tidak pernah mengalami kemacetan. Karena setiap pengurus cabang dan ranting yang dikunjungi itu selalu menyediakan keperluan yang dibutuhkan. Rupanya setiap cabang atau ranting dari NKB itu lebih suka mengurus sendiri uangnya dari pada menyerahkannya kepada badan pengurus Pusat.

Satu hal lagi yang perlu dicatat dalam kehidupan NKB di Tapanuli ialah bahwa para pemuda terpelajar di sana membentuk suatu pertemuan yang disebut “House Party”, dipimpin oleh A. De Velde ( Controleur Pemerintah Belanda di Balige) dan Dr. E. Verwiebe sekali setahun bertempat di Sigompulon atau Seminari Sipoholon. House-Party ini dilangsungkan pada peringatan Paskah. Dan pertemuan itu dimulai pada sore hari Kamis ( sebelum hari Kematian Yesus) dan selesai pada hari Selasa ( setelah Paskah II). Selama pertemuan dalam House-Party, yang berlangsung selama lima hari itu,  ditanamkan jiwa kekristenan yang utuh, dengan renungan-renungan tentang  peristiwa kematian Yesus dan kebangkitannya dan bimbingan melalui ceramah-ceramah. Seluruh kegiatan dalam pertemuan itu ,merupakan pembinaan agar pemuda terpelajar itu dipersiapkan, kiranya di mana saja pun mereka mendapat pekerjaan kelak dan apa saja yang dikerjakan senantiasa berdasarkan kasih terhadap Allah dan sesama manusia sebagaimana diajarkan oleh Tuhan.

 

Kemajuan yang dicapai

 

                Boleh dikatakan bahwa kehidupan NKBP itu menunjukkan masa yang gemilang, biarpun mengalami kesulitan dalam soal pembiayaan.  Menrut S. Sarumpaet, bahwa barang siapa pada permulaan tahun 1941 melihat sekitar dunia pemuda Batak, maka dia akan melihat adanya gerak maju pemuda-pemudi di mana-mana.  Mereka mengakui dan menaati pola hidup orang tua, tetapi mereka tetap memegang kepemudaan dan ingin secara pribadi meneguk “kebenaran” tersebut, setelah diuji sendiri, mana yang baik dan mana yang buruk menurut perobahan zaman terutama menurut Firman Tuhan. Pengaruh –pengaruh dari luar yang diakibatkan oleh lancarnya lalu-lintas dan komunikasi, tentu sedikit banyaknya mempengaruhi pola hidup pemuda-pemudi pada waktu itu. Adanya bioskop, perkenalan dengan suku-suku lain bangsa Indonesia, adanya perbedaan agama dan adat-istiadat, semuanya mempercepat timbulnya perubahan cara berfikir mereka.

                Dalam pada itu romantisme hidup kepemudaan di desa-desa tetap berjalan seperti biasa, meskipun di sana-sini sudah nampak adanya corak baru, akibat  dari kemajuan yang bertambah pesat.  Sistim pergaulan sudah mulai berubah, dari pergaulan yang tertutup kepada pergaulan yang terbuka. Banyak muncul nyanyian yang ramai dinyanyikan oleh pemuda-pemudi yang diciptakan oleh anak-anak Batak sendiri seperti: Rura Silindung na uli, O Tao Toba dsb.

                Pada masa itu jugalah muncul roman-roman karya angkatan muda yang diterbitkan oleh  surat-surat kabar seperti: Bintang Batak, Bendera Kita,  bahkan dari antara roman-roman itu muncul roman percintaan dalam bahasa Batak yang telah diwarnai oleh kebudayaan yang modern. Roman yang mempunyai nama samaran pengarangnya Lupmatis Niobla telah diipengaruh oleh roman-roman dunia masa itu.   

                Cara “mangaririt”  (mencari jodoh) memang  masih mengikuti pola lama, kendatipun di sana-sini sudah mulai nampak “kebebasan” yang selalu diimpikan oleh kaum muda itu.

 

Suatu tantangan kepada NKB

 

                Perkumpulan NKB tidak terlepas dari pengamatan pemerintah Hindia Belanda. Walaupun NKB hanya membicarakan soal-soal keagamaan  yang membangun jiwa pemuda Batak secara Kristen, namun perkumpulan ini kemudian dicurigai oleh pemerinyah Belanda sebagai gerakan politik rahasia yang bertopengkan keagamaan. Atas penyelidikan pemerintah Belanda diketahuilah bahwa Dr. E.Verwiebe pernah menjadi pemimpin pemuda Nazi di Jerman, sebelum kedatangannya menjadi Jeugdleider di HKBP. Pada waktu itu  ada gerakan NSB ( National Socialistische Bond) “ormas” dari gerakan Nazi aktif di tanah Belanda. Ada kontroleur di Sibolga setelah Jerman memasuki tanah Belanda tahun 1940 pernah mengatakan bahwa ada kemungkinan NKB itu adalah topeng dari NSB. Akibatnya  voorzitter dari NKB, D.W. Lumbantobing terpaksa dihadapkan ke hadapan Magistraad. Karena D.W.Lumbantobing kurang pandai memberikan penjelasan di hadapan Magistraad itu, maka melalui Departemen Pendidikan dikeluarkan surat keputusn untuk memberhentikan dia dengan hormat sebagai guru, dengan alasan tidak sanggup menjadi guru (Ongeschikt als onderwijzer), walaupun sebenarnya dia telah beberapa kali mendapat kondute baik dari Inspektur.

 

c.       Sambutan gereja-gereja terhadap Perkumpulan NKB

 

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa pada waktu terbentuknya perkumpulan NKB ini, Gereja Kristen Batak tidak hanya terdiri dari gereja HKBP lagi, melainkan dari HKBP telah ada beberapa gereja lain yang memisahkan diri seperti HChB, PKB dan Mission Batak. Tetapi gerakan NKB tidak membedakan seseorang menjadi anggota gereja, dan tidak mengikatkan diri terhadap sesuatu gereja Batak itu. Pengurus dari NKB selalu berusaha agar pemuda-pemudi Kristen Batak dapat bersatu dalam NKB, baik itu anggota HKBP, HChB, PKB dan Mission Batak. Tetapi itu selalu gagal, karena HChB, PKB dan Mission Batak tidak menginginkan pemuda-pemudi yang masuk anggota gereja itu bersatu dalam NKB. Gereja-gereja itu  menganggap bahwa adanya perkumpulan NKB  adalah satu usaha untuk menarik anggota-anggota mereka ke dalam HKBP. Karena itu umumnya anggota dari NKB adalah anggota dari gereja HKBP. Dan memang HKBPlah yang banyak memberikan bantuan moral dan material demi kelangsungan dari perkumpulan NKB itu.

 

d.      NKB pada masa pendudukan Jepang

 

Setelah pendudukan Jepang di Indonesia, perkumpulan NKB  sekaligus dengan kegiatan-kegiatannya berhenti dengan tiba-tiba. Pemerintah Jepang yang telah berkuasa setelah menaklukkan pemerintah Belanda, melarang segala kegiatan politik dan gerakan pemuda, baik itu yang berazaskan keagamaan. Sekolah-sekolah swasta banyak yang ditutup, dan sekolah-sekolah lainnyapun terpaksa dirobah sesuai dengan haluan pemerintah Jepang. Pekerjaan pegawaipun banyak yang berobah.

Dalam periode itu banyak dari antara pemuda Kristen Batak masuk menjadi tentera Heiho dan Laskar Rakyat. Situasi politik  dan masyarakat menuntut mereka terpaksa meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya. Dari antara gadis pun banyak yang terjerumus kedalam bujukan-bujukan orang Jepang itu. Mereka dibodoh-bodohi. Dikatakannya bahwa perempuan itu akan dibawa untuk mengikuti studi-tour ke tanah Jepang, pada hal mereka diperlakukan ke dalam lembah kehinaan. Masyarakat memang benar-benar mengalami penderitaan yang pahit akibat tindakan-tindakan orang Jepang itu. Banyak yang jatuh miskin dan menderita kelaparan akibat kekurangan bahan makanan. Barang siapa yang menentang mereka dimasukkan ke dalam tahanan, karena orang demikian dituduh sebagai pro-Belanda.

Dari antara pengurus NKB ada yang terpaksa meletakkan jabatannya dari kepengurusan, seperti S. Sarumpaet ( Sekjen NKB), karena dia pindah ke kota Medan. Maka pimpinan diserahkan kepada Christian Rajagukguk, Rondang Simanjuntak, Jeremias Tambun, dkk, yang berkedudukan di Sigompulon Tarutung. Boleh dikatakan melihat situasi selama tiga setengah tahun penjajahan Jepang itu, pembinaan terhadap naposobulung Kristen Batak yang telah dilaksanakan bertahun-tahun nampaknya hilang begitu saja. Memang ada juga dari antara mereka yang tekun dan bertahan dalam iman, dan orang-orang inilah kemudian yang menjadi tenaga inti dalam membangkitkan hidup pembinaan kepada naposoulung di kemudian hari.

 

e.      Peranan NKB dalam perjuangan kemerdekaan.

 

Pemerintah Jepang tidak begitu lama dibiarkan oleh Tuhan berkuasa di Indonesia. Pengalaman pahit itu cukuplah tiga setengah tahun saja. Walaupun demikian pahitnya pengalaman bangsa Indonesia umumnya, khususnya dalam tubuh NKBP pada waktu itu, namun dari sana dapat diperoleh bahan-bahan pengalaman yang menyangkut  soal-soal politik dan kemasyarakatan. Karena segera setelah kekalahan Jepang, proklamsi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dikumandangkan untuk seluruh dunia.  Tetapi pemerintah Belanda ingin kembali menegakkan kekuasaannya di Indonesia. Tetapi bangsa Indonesia berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dinyatakan itu dan tidak mau lagi dikuasai oleh Belanda. Karena itulah timbul peperangan melawan tentera Belanda. Peperangan itu lebih nyata kelihatan di antara pemuda-pemuda bangsa Indonesia. Akhirnya mereka disebut “bunga bangsa” dan ‘kebanggaan tanah air”,  karena merekalah yang mati-matian memperjuangkan kemerdekaan itu. Di antara pemuda-pemuda itu, semakin timbul kesadaran nasional dan politik yang bertanggung-jawab. Anggota-anggota NKB tidak terlepas dari keikut sertaan dalam perjuangan tersebut. Mereka secara penuh iman menyaksikan dalam siatuasi demikian, bahwa kekristenan dan gereja bukanlah warisan pribadi dari Barat dan orang Kristen bukanlah penghianat dalam perjuangan bangsa, melainkan orang-orang Kristenpun harus turut berpartisipasi dalam  persoalan-persoalan politik.  Karena itulah anggota NKB,  terutama bekas pengurusnya banyak yang ikut menjadi TKR (Tentera Keamanan Rakyat). Di kota-kota besar seperti Medan, Palembang, Jakarta, Surabaya, malah sampai Ujung Pandang terdapat nama-nama bekas anggota NKB  yang mencemplungkan dirinya dalam  perjuangan, bersatu padu dengan saudara-saudaramya dari suku Jawa, Minahasa, Ambon, Sunda, dll.

        Dari antara mereka banyak  bekas guru HIS, yang banyak sedikitnya sudah tahu  tentang latihan baris-berbaris, ikut melatih prajurit-prajurit TKR di mana-mana. Juga tidak sedikit dari antara mereka yang gugur di Medang Perang.  Pemuda Kristen Batak juga tidak ketinggalan dalam perjuangan, hal itu dapat dilihat dalam laskar MALAU dan BEJO yang pada peperangan itu tidak kecil sumbangannya di Tembung dan di Tapanuli yakni pada Agresi II.

        Pemuda-pemuda Kristen Batak terpelajar kelahiran Tapanuli pada masa itu tidak sedikit yang memegang peranan untuk melawan tentera Belanda. Kesemuanya ini menunjukkan kehadiran dari pemuda-pemuda Kristen Batak dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Suatu hal yang harus dibanggakann NKB pada waktu itu ialah bahwa seorang pengurus dan pendiri NKB, yaitu Mr. Rufinus Lumbantobing pernah menjadi Jaksa Agung Muda RI di Bukit Tinggi semasa perjuangan itu. Tentang peranan pemuda-pemuda Kristen Batak dalam perjuangan di masa itu, juga diucapkan oleh Jenseral A.H. Nasution dalam sambutannya pada Jubileum 100 tahun HKBP, yang diadakan di Jakarta tahun 1961, di mana beliau berkata, sbb:

        “Pemuda-pemuda Batak yang menjadi anggota HKBP banyak juga yang menyumbangkan tenaga, fikiran dan raganya dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia. Bukan hanya di Sumatera Utara, tetapi juga di Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar dan lain-lain tempat, pemuda Kristen Batak turut berjuang, malahan kerap-kali menjadi pelopor dari perjuangan kemerdekaan itu. Pemuda-pemuda Batak ini yang telah diajar untuk berbakti kepada Tuhan tidak ketinggalan untuk berbakti kepada Tanah Air Indonesia. Dalam makam-makam pahlawan  sejak dari Kutaraja sampai Ambon, saya terharu melihat kuburan-kuburan pejuang dari pemuda-pemuda Kristen HKBP pada khususnya di samping kuburan-kuburan pejuang Islam dan agama lain.  Ini memperlihatkan kepada saya bahwa gereja Batak HKBP mengajak anggota-anggotanya menjadi  nasionalis-nasionalis yang mencintai Tanah Airnya, yang menjadi anggota yang taat beragama, dan menjungjung tinggi Pancasila dasar Negara kita”. ( Lihat: “Seratus tahun kekristenan dalam sejarah Rakyat Batak”, Panitia Distrk IX Perayaan Jubileum Seratus tahun HKBP, jalan Kramat IV/37, Jakarta, hal. 18).

 

 

7.       Terbentuknya Perkumpulan Naposbulung HKBP

 

a.       Latar-belakang berdirinya

 

Setelah berakhirnya perjuangan fysik melawan Belanda pada tahun 1949, maka fikiran untuk membentuk suatu penampungan Naposobulung di mana mereka bisa mendapat pembinaan khusus muncul kembali. Karena perkumpulan NKB tidak berjalan lagi setelah masa pendudukan Jepang di Indonesia,  maka para naposobulung itu telah banyak yang terbawa arus zaman pada waktu itu. Akibat deras arus kemajuan yang mengombang-ambingkan generai penerus itu, maka dari antara mereka tidak sedikit yang jatuh kepada dekadensi moral, baik pria maupun wanita. Banyak juga karena pengaruh zaman Jepang dan zaman revolusi Kemerdekaan yang pada waktu itu, pembinaan kepada naposobulung  hampir tidak ada. Menurut Sutan Badia Raja Nainggolan dalam tulisan singkatnya yang berjudul: “Sejarah ni pemuda di bagasan 10 tanon parpudi”, yang disampaikan pada konferensi Naposobulung tahun 1952 di Sipoholon mengatakan, telah banyak dari antara para pemuda yang jatuh kepada tindak pembunuhan dan pencurian.  Mencuri harta dari temannya bahkan membunuhnya supaya dia berhasil mencuri. Di antara gadis-gadis telah ada yang jatuh kedalam krisis moril, karena dari antara mereka banyak yang pergi ke dokter-dokter, karena akibat dari krisis moril tersebut.

Dalam synode godang sejak tahun 1948, persoalan kepemudaan tersebut termasuk persoalan yang hangat dibicarakan.  Dalam Synode Godang tahun 1948, Gr. R. Simanungkalit menyampaikan sebuah refraat yang menganjurkan agar perkumpulan NKB dapat dihidupkan kembali. Dalam refraatnya dia mengatakan bahwa naposobulung yang tinggal di Bona Pasogit berbeda dengan Naposobulung yang berada di perantauan. Naposobulung yang tinggal di Bona Pasogit masih hidup dalam ikatan adat, keluarga dan famili dan tinggal bersama orang tua. Sedangkan yang tinggal di perantauan  telah menghadapi banyak tantangan bahaya, yang bisa menghancurkan nilai kerohanian yang telah mereka pegang sebelumnya.

 

b.      Berdirinya perkumpulanan NHKBP dan tujuannya 

 

        Supaya perkumpulan-perkumpulan Naposobulung yang telah ada  di “Huria-huria”  (Jemaat-jemaat) itu  bersatu dalam satu kesatuan dakam tubuh HKBP, maka Pucuk Pimpinan menyarankan kepada  pengurus NKB dulu seperti D.W.Lumbantobing (ketua NKB dulu yang telah menjadi guru di Seminari Sipoholon) untuk mendirikan Perkumpulan Naposobulung HKBP  (NHKBP). Dengan perkumpulan NHKBP ini maka gereja dapat menuntun secara langsung Naposobulung itu menjadi generasi penerus gereja untuk masa depan. Untuk merealisasikan rencana ini maka diadakanlah oleh Pucuk Pimpinan HKBP konferensi NHKBP yang pertama, dan untuk mengikutinya diundanglah  utusan Naposobulung dari seluruh HKBP. Konferensi itu berlangsung pada 23-26 Juni 1952 bertempat di kompleks Seminari Sipoholon Tarutung. Pada pesan konferensi itu untuk seluruh Jemaat HKBP disebutkan bahwa para utusan  itu hadir dari 30 Ressort HKBP, sebanyak 50 orang. Untuk menyelesaikan persiapan terhadap konferensi itu Parhalado Pusat HKBP memberi kepercayaan  kepada Ds. T.S.Sihombing yang sejak tahun 1951 telah menjadi Direktur Seminari Sipoholon.

        Pada mulanya konferensi itu hanya untuk menghimpun Naposobulung dalam satu kesatuan, serta mengumpulkan fikiran-fikiran dari antara mereka dalam rangka untuk mencari usaha kelanjutan dari perkumpulan Naposobulung di tengah-tengah HKBP. Jelas dalam Notulen Konferensi itu dituliskan bahwa pada hari pertama konferensi itu telah diputuskan bahwa sifat dari konferensi itu adalah untuk membentuk satu badan yang menyelenggarakan putusan konferensi serta menetapkan badan pengurus yang permanen.

        Ketua konferensi itu terpilih D.W.Lumbantobing, Sekretaris H.M.Sihombing, utusan dari Butar, dan M.P. Pasaribu, utusan dari Sibolga. Untuk membekali fikiran-fikiran mereka dengan persoalan yang berhubungan dengan pembinaan Naposobulung, kepada mereka disampaikan beberapa  prae-advis oleh beberapa tokoh gereja dan simpatisan Naposobulu, anta lain: Dr. J.Sihombing ( Ephorus HKBP), dengan judul: Gereja dan Pemuda; M.Djaidin Purba dengan judul: Pemuda Kristen dalam gerakan politik;  Sutan Badia Raja Nainggolan dengan judul: Sejarah Pemuda dalam 10 tahun  terakhir; Rev, S.Devanesan  dengan judul: Pergerakan Pemuda Kristen di India; S. Sarumpaet dengan judul: Pelajaran dan Pendidikan Kristen di Indonesia;  A.E.S, Nababan dengan judul:  Pergerakan Pemuda Kristen di Indonesia.

        Dalam konferensi yang berlangsung selama empat hari itu, setelah seluruh yang hadir memeras fikirannya, dapatlah diperoleh hasil yang sangat menentukan sekali dalam pertumbuhan Naposobulung HKBP ke depan. Pada waktu itu diputuskanlah berdirinya Badan NHKBP ( Verslag dari konferensi dimasukkan dalam SP Immanuel HKBP, 13 Juli 1952, no. 28). Dan pada konferensi tersebut dapatlah tersusun Anggaran Dasar sementara perkumpulan NHKBP, demikian juga dengan pengurus-pengurusnya.  Anggaran Dasar itu masih bersifat sementara karena belum disetujui oleh  Synode Godang dan kemudian disyahkan oleh konferensi.

        Dengan terbentuknya organisasi NHKBP sebagai satu Seksi  dalam tubuh HKBP, maka dapatlah diharapkan bahwa NHKBP itu lebih bebas menggumuli imannya berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapinya dalam arus zaman yang senatiasa membawa perubahan.  Dan melalui organisasi ini maka gereja dapat lebih berhasil untuk mencampurinya, sehingga badan itu tidak berbuat di luar garis lingkungan gereja.

        Pengurus sementara yang terpilih dalam konferensi itu ialah:

Jeugdleider                              : Ds. T.S.Sihombing

Ketua                                          : Gr. D.W.Lumbantobing

Wakil Ketua                              : S. Sidabutar, Medan

Skretaris I dan II                     :  ( yang dipercayakan kepada Ketua untuk memilihnya, yaitu):

Sekretaris I, merangkap

Bendahara                                :  J.N.Hutauruk

Sekretaris II                              :  S.M.Sitompul

Commissarissen                     :    

1.       Medan                       :  V.N.Napitupulu, di Medan

2.       Humbang                  :  H.M.Sihombing, di Butar

3.       Sum. Timur               : S.M.Siahaan, di P.Siantar

4.       Silindung                   : J. Lumbantobing, di Tarutung

5.       Simalungun              : T. Tarigan, di Saribudolok

6.       Sibolga                       : C. Hutagalung, di Sibolga

7.       Dairi                             : P.G.P.Panggabean, di Sidikalang

8.       Angkola                     : W. Simanjuntak, di Padang Sidempuan

9.       Samosir                      : B. Nadeak, di Pangururan

10.   Jawa                            : A.E.S. Nababan, di Jakarta

11.   Toba                            : C. Simanjuntak, di Balige

 

             Setiap anggota  komisaris ini ditugaskan  untuk bekerjasama dengan Praeses setiap Distrik, untuk membentuk perkumpulan NHKBP di sana.  Merekalah yang mengorganiser, mengkornider,  dan bertangung-jawab terhadap pengurus Pusat.

 

c.       Sambutan Gereja

 

Pada Synode Godang HKBP 26-28 Nopember 1952, yang dilangsungkan di Seminari Sipoholon, maka Ds. T.S.Sihombing, yang telah diangkat sebagai Jeugdleider sejak 1951 menyampaikan laporan tentang terlaksananya Konferensi NHKBP, dan telah terbentuknya perkumpulan NHKBP, lengkap dengan Anggaran dasar dan Pengurusnya, supaya disahkan oleh Synode Godang tersebut. Setelah Ds. T.S.Sihombing membacakan laporannya, maka Kerkbestuur memberikan praeadvisnya, mengenai hal ini, antara lain:

1.       Supaya di setiap jemaat setempat (huria marsadasada) digiatkan  gerakan NHKBP.

2.       Anggaran Dasar itu disetujui (hanya istilah anggaran dasar diganti dengan reglement, karena itulah semestinya NHKBP sebagai satu seksi di HKBP).

3.       Kerkebestuur menyetujui akan perlunya seorang Jeugdleider di Jakarta, yang langsung berpusat ke Pusat NHKBP. Untuk Jeugdleider ini lebih baik diangkat dari Pendeta Batak, tetapi jika hal itu belum bisa, dapat juga dengan tenaga dari laur negeri.

 

Synode menyambut dengan gembira berdirinya Seksi NHKBP itu. Dan pada saat itu jugalah ada yang mengusulkan dari antara wanita diikutsertakan menjadi pengurus, dan Seksi Wanita juga telah perlu berdiri di HKBP.  Tentang Seksi NHKBP ini, maka Synode Godang tahun 1952 memberikan keputusan, antara lain:

1.       Setiap Jemaat Setempat ( huria marsadasada ) supaya mendirikan perkumpulan NHKBP.

2.       Isi dari Reglement itu dapat disetujui.

3.       Ds. T.S.Sihombing menjadi Alg. Jeugdleider  sementara.

4.       Jeugdleider untuk Jakarta akan diusahakan.

5.       Tentang Seksi Wanita akan dipikirkan.

(Notulen Synode Godang HKBP tahun 1952, hal. 11).

 

Setelah Synode Godang mensahkan berdirinya perkumpulan NHKBP  sebagai satu Seksi dalam HKBP, maka diumumkanlah ke setiap  Jemaat Setempat di mana berdiri  gereja HKBP, agar masing-masing Jemaat Setempat mendirikan perkumpulan NHKBP. Dengan seruan ini maka bangkitlah semangat pemuda-pemudi yang  selama ini boleh dikatakan telah tertidur sama sekali.  Timbullah kemudian perkumpulan-perkumplan NHKBP yang kemudian semakin digiatkan pula dengan berbagai aktivitas yang dapat merangsang mereka untuk menghayati imannya dan membantu mereka bertumbuh menjadi orang Kristen yang dewasa.

 

d.      Aktivitas-aktivias tahap permulaan

 

Sejak berdirinya perkumpulan NHKBP sebagai satu Seksi di HKBP, maka diharapkanlah melalui Seksi ini pelayanan pembinaan terhadap naposobulung semakin dapat ditingkatkan dan terarah. Untuk ini diusahakanlah berbagai aktivitas, sehingga dengan aktivitas itu para naposobulung tersebut  dapat dikumpulkan secara bersama-sama. Setiap tahun pada bulan Juni sejak tahun 1952, diperingati sebagai  bulan “parheheon” ( hari kebangkitan) NHKBP. Pada mulanya bulan ini diisi oleh NHKBP dengan penuh kegembiraan, yang ditunjukkan dalam berbagai permainan seperti: olah raga, drama, festival koor, dll.

Pengurus-pengurus Pusat Seksi NHKBP senantiasa mengusahakan ke setiap Distrik mengadakan kunjungan kerja. Terutama kepada parhalado diberi metode bagaimana caranya untuk menggembleng naposobulung  dalam cara hidup gerejani. Pada mulanya Ds. T.S.Sihombing selalu Jeugdleider pada waktu itu, apabila mereka mengadakan kunjungan ke setiap Distrik selalu menyarankan agar jangan hanya “punguan koor” yang dianggap sebagai anggota naposobulung. Anjuran itu berarti untuk menghindarkan salah pengertian, salah untuk memanfaatkan perkumpulan NHKBP hanya  sebagai organisasi melulu. Karena itu sejak dari mulanya dia telah menganjurkan agar di setiap Distrik HKBP perlu pengangkatan seorang tenaga Jeugdleider yang full-timer agar pelayanan terhadap naposbulung dapat digiatkan lebih luas dan merata.

Pada bulan Juli 1953 diadakanlah kongres NHKBP yang ke dua setelah berdirinya perkumpulan NHKBP secara resmi.  Kongres itu bertempat di gedung Perguruan  Nasrani Immanuel di Medan. Kongres itu dihadiri oleh para utusan dari setiap gereja  HKBP, yang pada waktu itu diperkirakan lebih dari 200 orang. Setiap utusan menyampaikan  berita dari  “Huria’ masing-masing tentang NHKBP, dan Pucuk Pimpinan N-HKBP memberikan laporan tentang pekerjaan mereka.

Dalam Kongres disampaikan beberapa ceramah dari tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh pendidikan. Semua ceramah itu berisi dorongan agar naposobulung hidup sebagai orang Kristen yang bertanggung-jawab, dan menyadari  partisipasi mereka di tengah-tengah msyarakat bangsa  Indonesia. Peranan pemuda Kristen di tengah-tengah masyarakat Indonesia merupakan tekanan utama dalam setiap ceramah. Hal ini sangat ditekankan karena pada waktu itu timbul provokasi yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Islam.

Kongres ini dilanjutkan dengan suatu bentuk rapat umum di lapangan Benteng Medan. Dan mengadakan pawai di kota Medan sampai ke Taman Bahagia ( Makam Pahlawan). Banyak orang Kristen di kota itu yang datang untuk menyaksikan, dan pawai tersebut disemarakkan dengan musik tiup dati Sibolga. Pada waktu itu pengaruh dari pawai dan kunjungan ke Makam Pahlawan itu sangat banyak artinya untuk membangun kekuatan naposobulung.  Dan masyarakat Kristen yang ada di sekitar kota Medan sangat terharu sekali dengan aksi dari para pemuda itu, karena orang Kristen tidak dipandang lagi sebagai yang  pro-Belanda dan anti nasional. Perlu diketahui bahwa Makam Pahlawan dan Tugu Pahlawan itu, belum siap dibangun pada saat itu. Tetapi pemuda-pemudi Kristen Batak telah mengadakan acara peletakan bunga di kaki Tugu Pahlawan yang belum siap dibangun tersebut.  Jadi boleh dikatakan bahwa NHKBP lah yang pertama sekali meletakkan krans bunga di kaki tugu pahlawan itu. Ini berarti bahwa NHKBP turut menghargai nilai-nilai  perjuangan pahlawan bangsa yang mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, dan menunjukkan partisipasi mereka selaku warga negara yang bertanggung-jawab.

Para peserta kongres juga menyadari tanggung-jawab mereka untuk melayani dan bersekutu dengan orang-orang Kristen sekitar kota Medan. Karena itu pada hari miggunya mereka dibagi-bagi ke beberapa gereja untuk memberikan penjelasan dan pergumulan selama kongres kepada anggota gereja.

Kongres yang ketiga diadakan pada 29 Oktober – 2 Nopember 1956 di Sibolga. Pengurus baru diketuai oleh Pdt Jetro Sinaga yang baru kembali dari Amerika. Kongres yang ketiga ini dihadiri juga oleh utusan-utusan dari tiap-tiap Distrik HKBP, semuanya berjumlah 203 orang, sehingga  kongres itu dinyatakan syah memenuhi  quorom. Maka Ketua Panitia Kongres  Pdt M.P.Sitompul menyerahkan pimpinan kepada Ketua Majelis Kongres Gr. D.W. Lumbantobing. Adapun kongres ketiga ini mendapat tekanan tugas untuk memikirkan usaha-usaha yang lebih mendalam untuk kelancaran pelayanan kepada NHKBP yang pada masa lampau masih seret, sebagaimana Kongres I di Sipoholon bertugas untuk pembentukan Seksi NHKBP, dan Kongres II di Medan bertugas untuk menetapkan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga ( Reglemen ) NHKBP.

Pada Kongres III di Sibolga yang dibuka dengan evangelisasi di gereja dan resepsi di Sopo Naposobulung HKBP Sibolga, yang dihadiri undangan dari Pemerintah juga, menggumuli Firman Allah melalui penelaahan  Alkitab dan ceramah-ceramah yang menggambarkan perkembangan pelayanan Pemuda di dalam dan di luar negeri untuk dipedomani oleh NHKBP dalam melancarkan kegiatan-kegiatannya, yang pada laporan-laporan dari daerah-daerah NHKBP menunjukkan masih banyak yang seret, maka akhirnya dirumuskan beberapa usaha peningkatan tugas-tugas dalam oraganisasi  NHKBP.

Satu hal yang sangat penting pada Kongres III di Sibolga ialah diadakannya kebaktian raksasa untuk peringatan Reformasi di depan Gedung Nasional Sibolga, yang diberangkatkan dari tempat kongres berbaris atau pawai pakai obor diiringi dengan musik tiup secara meriah, yang dapat menjadi kesaksian bagi penduduk kota Sibolga yang sebahagian besar bukan beragama Kristen.

Kongres IV yang dinamai Sidang Raya ( Loloan Bolon), merupakan Kongres terakhir sesuai dengan Reglemen NHKBP tahun 1952, diadakan di Balige pada 18-23 Oktober 1960 di Balige, yang dipimpin langsung oleh Ketua / Pemimpin Umum Seksi NHKBP yaitu Pdt Jetro Sinaga, sesuai dengan tugas dan fungsi yang diputuskan oleh Kongres III di Sibolga. Sama seperti kongres-kongres terdahulu, dalam kongres ini, diadakan beberapa ceramah, antara lain berjudul: Pelayanan NHKBP kepada gereja oleh Ds. T.S.Sihombing ( Sekjen HKBP pada waktu itu): Kedudukan dan peranan musik dan paduan suara di gereja, oleh Pdt H.Marbun; Tanggung-jawab pemuda-pemudi dakam Gereja dan Masyarakat, oleh Dr. A.M.Tambunan, SH (alm.); Pemuda-pemudi  di dalam kehidupan berdoa, oleh Dr. Andar Lumbantobing. Di samping itu diadakan juga Penelaahan Alkitab setiap hari. Kongres ini dihadiri oleh utusan-utusan dari semua Distrik HKBP,berjumlah 157 orang, yang bertugas untuk membahas pokok-pokok yang telah ditentukan untuk tiap-tiap kelompok, antara lain:

1.       Organisasi NHKBP, diketuai oleh Pdt H.Butarbutar.

2.       Keuangan/ dana, diketuai oleh Pdt A.Saragi.

3.       Paduan suara dan anggota sidi, diketuai oleh Gr. M.Simarangkir.

4.       Musik/ Sarune, diketuai oleh Pdt A.B.Simanjuntak.

5.       Kerohanian, diketuai oleh Pdt Johan Siahaan.

6.       Pembangunan, diketuai oleh Pdt. P.K.Sinaga.

7.       Sport, diketuai oleh Gr. Mula Hutasoit.

 

Hasil dari sidang-sidang kelompok dipaparkan dalam Sidang Pleno, di mana masih ada penyempurnaan di sana sini. Perlu dicatat bahwa kongres  ini bertugas khusus untuk memperbaharui Reglemen NHKBP, yang sebelum kongres telah disediakan konsepnya oleh Ketua Umum dan wakilnya ( Pdt H.Butarbutar), yang digodok dalam kelompok organisasi. Hasil dari Sidang Pleno ini telah distensil untuk di bahas di Synode Godang HKBP 1962, tetapi belum sempat disahkan karena harus disesuaikan dengan Aturan HKBP yang baru: 1962-1972.

Kongres NHKBP IV ini digabung dengan Pesta Sarune yang pertama dan Pesta Parendeon  pada tanggal 23 Oktober 1960 ( hari Minggu), dimana hadir Parsarune sebanyak 169 orang, dan Parende sekitar 4000 orang dari seluruh Distrik HKBP. Pesta ini juga sebagai pendahuluan dari Pesta Jubileum Seratus Tahun HKBP pada tahun berikutnya ( 7 Oktober 1961), sehingga alangkah banyak anggota NHKBP  dan anggota HKBP dan undangan lain yang menghadirinya.

Upacara Pesta Sarune dan Pesta Parendeon itu berlangsung sangat meriah sampai kepada malam hari Minggu 23 Oktober 1960 itu. Rombongan baru pulang ke tempatnya masing-masing pada esok harinya  24 Oktober. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang tragis yang sangat menyedihkan, yakni Bus Rombongan NHKBP Tomuan Pematangsiantar mengalami kecelakaan di Siserasera Parapat, di mana bus tersebut masuk jurang dan terbakar yang mengakibatkan korban 29 orang meningal di tempat, banyak yang luka berat dan ringan. Salah seorang di antaranya Sahat Manurung, mahasiswa Theologia turut terbakar, tetapi masih hidup dan dengan segera dibawa ke Rumah Sakit untuk perawatan selanjutnya selama satu tahun. Setelah sembuh tetapi dalam keadaan cacat, menyelesaikan studinya, ditahbiskan menjadi pendeta, dan saat ini menjadi Pimpinan Panti Karya Hephata. Korban-korban yang meninggal itu dikebumikan dalam satu tempat di Pekuburan Kristen Pematangsiantar, dimana dibuat juga tugu peringatannya. Kita berdoa untuk keluarga mereka dan mengenang mereka yang telah mendahului kita.

 

e.      Perkembangan sampai sekarang

 

Setelah ditetapkannya Pendeta Naposobulung yang full-timer, baik di Kantor Pusat HKBP, maupun di beberapa Jemaat di kota-kota sejak tahun 1956, maka pembinaan terhadap NHKBP semakin meningkat, dengan adanya kursus-kursus, latihan-latihan pelayanan, serta pengarahan lainnya dan juga adanya koordinasi yang baik. Tetapi masih banyak jemaat-jemaat yang kurang menggiatkan para NHKBP. Hal ini mungkin terjadi karena kerjasama yang kurang serasi antara pemuda-pemudi dan para pelayan (parhalado) gereja, atau mungkin karena permasalahan yang timbul di kalangan HKBP sendiri, khususnya sejak tahun 1962.

Seperti sudah diutarakan di atas, pada Kongres IV di Balige sudah diusahakan untuk mengganti Reglemen NHKBP, tetapi belum mendapat pengesahan dari Synode Godang HKBP. Hal ini berlarut-larut setelah pergantian personalia  Ketua Seksi NHKBP mulai 1 Januari 1963 dari Pdt J.Sinaga kepada Pdt. H.Butarbutar. Dalam Aturan Huria tahun 1962 telah dicantumkan reglemen tiap-tiap Seksi  di HKBP, yang diartikan sebagai sebagai Anggaran Dasar dari Seksi masing-masing.

Mengingat juga bahwa di dalam perpecahan GKPI dari HKBP para pemuda ikut mengambil peranan juga, khususnya di HKBP Sudirman Medan, di mana hampir setengah dari  anggota NHKBPnya meninggalkan HKBP, dengan anggapan seolah-olah Seksi NHKBP merupakan oraganisasi tersendiri yang terpisah dari HKBP, yang dapat bertindak sendiri. Dengan alasan itulah tidak ada lagi penggantian Reglemen NHKBP,  melainkan hanya melaksanakan  Aturan Huria serta memberikan usul-usul penyempurnaan ke Synode Godang HKBP. Demikianlah tugas-tugas Seksi Naposobulung   terlaksana selama tahun 1962- 1972, yang menitik beratkan pelayanan dengan adanya kursus-kursus umum di Distrik, Ressort, Huria dan di Jetun Silangit sejak berdiri dan diresmikannya pada 6 Februari 1966. Tugas ini dapat lebih lancar dilaksanakan atas fasilitas dan usaha serta kerjasama dari Pdt H.Berghauser dengan Ketua Seksi NHKBP, beserta petugas khusus di Seksi NHKBP, antara lain:  Gr. M.Hutasoit, Gr. Djisman Hutapea, Gr. D. Simanungkalit, Gr. Timbang Simamora, dll.,  yang selalu berusaha dalam bidang evangelisasi, musik/ koor, latihan-latihan kepemimpinan dan pelayanan.  Misalnya Latihan Kepemimpinan NHKBP se –Indonesia 2-10 Desember 1966 di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar, yang dihadiri 120 orang peserta NHKBP dari seluruh pelosok HKBP.  Diusahakan juga penerbitan Majalah Naposobulung HKBP, yang telah mengalami 4 gelombang (fase), yakni:

Fase I  dinamai     : “Majalah NHKBP”, sampul bergambar luxous.

Fase II di namai : “Rante Parsaoran NHKBP”, sampul biasa  dengan gambar “rantai”, tali    penghubung persaudaraan.

Fase III dinamai    :   “Rante Parsaoran NHKBP”, juga, yang hanya dalam bentuk stensilan.

Fase IV dinamai    :  “Corona” dengan wajah baru.

 

Di samping itu diterbitkan juga “Rante partangiangan”,  yang memuat ayat-ayat  harian dari Almanak HKBP, sebagai bahan renungan dan doa sehari-hari. Tetapi sangat disayangkan, penerbitan majalah ini tidak bisa berlangsung terus disebabkan kurangnya biaya, karena para langganan kurang setia memenuhi kejawajibannya, hal mana merugikan bagi komunikasi dan pembinaan NHKBP.

Pucuk Pimpinan HKBP selalu memperhatikan akan peningkatan pelayanan terhadap pemuda-pemudi HKBP,  sehingga berusaha untuk mengutus Ketua Seksi Naposobulung, yakni Pd. H.Butarbutar, untuk mempelajari dan meninjau pelayanan pemuda di Jerman dan sekitarnya, yakni pada bulan Februari 1970 – Mei 1971, atas bantua VEM, dalam hal ini Distrik Ludenscheid dan Wetzlar. Diakui bahwa banyak cara-cara pembinaan muda-mudi yang dipelajari di Dunia Barat itu, tetapi tidak semuanya bisa diterapkan di sini, disebabkan perbedaan-perbedaan situasi dan kondisi. Namun demikian sangat berguna juga mengadakan hubungan dengan gereja-gereja  di sana, terutama dengan pemuda-pemudi di Jerman, agar saling mendoakan dan saling membantu, agar dengan demikian makin terjalin hubungan oikumenis, yang selama ini telah terpupuk.

Setelah Ketua Seksi Naposbulung ( kemudian bernama Direktor Departemen NHKBP),  kembali ke Tanah Air, maka sebulan kemudian, yakni tepatnya pada 4 Juni 1971, Pdt H.Berghauser dan keluarga berangat meninggalkan Pearaja untuk kembali ke Jerman, sesuai dengan masa dinasnya yang telah selesai. Sebelumnya telah tiba penggantinya di Pearaja yakni Diakon W. Reinke dan keluarga yakni pada 28 Oktober 1970, yang bertugas khusus untuk menjadi beheerder Jetus Silangit, sesuai dengan keahliannya di bidang tehnik dan pembinaan remaja. Tugas-tugas yang selama ini diemban oleh Pdt H.Berghauser lebih diuatamakan  di bidang evangelisasi dan musik, dan khusus pembangunan Jetun Silangit, maka dengan kehadiran Diakon Reinke, tugas-tuganya diutamakan di perbengkelan sarune dan camping remaja.

Sejak tahun 1971, program NHKBP makin disesuaikan kepada  situasi dan kondisi pemuda HKBP, denga tidak megabaikan sasaran-sasaran sebelumnya, yang kebanyakan bersifat kursus-kursus  kepada pemuda-pemudi, kursus dirigen, kunjungan ke Distrik, Ressort, Huria. Aktivitas-aktivitas selanjutnya antara lain: Latihan-latihan kepemimpinan, Konsultasi, Seminar, dll, yang semuanya menuntut partisipasi yang aktif dari seluruh peserta di dalam menggumuli  permasalahan dalam kelompok-kelompok diskusi (workshop), serta membuat  perumusan-perumusan yang teliti dari kelompok tersebut. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menampung aspirasi dan buah fikiran dari para muda-mudi, karena mereka tidak sudi hanya menerima begitu saja, mereka sudah kritis dan ingin mengeluarkan pendapatnya.  Demikian juga telah digiatkan festival koor, festifal sarune (musik), agar dengan demikian mereka semakin sungguh-sungguh untuk melatih diri untuk kompetisi yang baik, dan memang ternyata bahwa  lagu-lagu gereja yang dahulu diterbitkan oleh Seksi Naposobulung dinilai tidak “enak”, tetapi setelah adanya festival koor, yang lagunya adalah sebahagian dari lagu yang dahulu itu, dinilai sangat baik. Maka festival itu bisa meningkatkan kegiatan menyanyi. Festival Vocal-grup juga dimanfaatkan untuk menyadarkan muda-mudi bahwa sambil melatih main guitar juga menyatakan apa yang tertulis dalam nats Alkitab, misalnya Mazmur 150, bahwa segala instrumen musik itu dapat dimanfaatkan untuk memuji Tuhan termasuk guitar yang selama ini hanya dipergunakan untuk lagu-lagu rakyat ( folk-song).  Demikian juga halnya dengan menggiatkan “malam pemuda”, yakni beraksi dan bersaksi, atraksi, tari, dansa-dansi, deklamasi, nyanyi dan lelucon, drama dan tableau, serta ketrampilan-ketrampilan lainnya agar mereka dapat bergembira ria  di depan umum, yang tentunya dengan batas-batas susila. Telah pernah dilakukan “Tapanuli Tour”, yakni perlombaan mengendarai sepeda motor dengan tujuan untuk mempelajari aturan lalu-lintas, agar mengurangi kecelakaan di jalan dan mencegah ngebut-ngebutan, dsb. Di samping itu digiatkan pula olah raga,  yang dapat membuat  muda-mudi itu melatih diri untuk bermacam-macam ketangkasan. Semua kegiatan itu hanya terlaksana di beberapa tempat atau jemaat, khususnya di kota-kota, belum merata sampai ke desa-desa. Lagi pula dengan adanya alat-alat audio-visual, maka alat itu dapat dipakai untuk menarik anggota-anggota NHKBP khususnya dan semua anggota HKBP umumnya agar berkumpul untuk mengikuti evangelisasi film dan informasi pembinaan pemuda.  Dengan demikian semua ressort HKBP sampai ke pelosok-pelosok sekalipun telah dikunjungi oleh Seksi ( kemudian diubah menjadi Departemen) NHKBP untuk menggiatkan pelayanan naposobulung. Semboyan Departemen Naposobulung  di dalam pembinaan naposbulung adalah” Manfaatkanlah segala sesuatu yang sesuai dengan siatusi dan kondisi muda-mudi asalkan di bawah terang Injil”.

Perlu kiranya dicatat bahwa pada 15-20 Oktober 1973 telah diadakan konferensi NHKBP se Indonesia di Youth Center Jetun Silangit. Selain dari ceramah-ceramah dan penelaahan Alkitab, konferensi itu dimaksudkan untuk menyusun “Pedoman Kerja NHKBP”.  Hal ini timbul dari pertimbangan bahwa perlu kiranya ada pedoman pelaksanaan  struktur organisasi NHKBP yang menyeluruh, karena selama ini belum ada keseragaman di NHKBP, mengingat juga telah disyahkannya Aturan HKBP 1972-1982, sehingga Aturan itu harus diterapkan kepada anggota-anggota naposobulung. Setelah digumuli beberapa hari selama konferensi, maka terciptalah Pedoman Kerja itu, yang semuanya bersumber dan disesuaikan dengan Aturan HKBP tersebut. Diharapkan agar apa yang ditumuskan di sana dilaksanakan di seluruh jemaat HKBP.

Untuk dapat meninjau kembali perkembangan organisasi pemuda di lingkungan HKBP, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas Struktur Organisasi itu sejak dari permulaan hingga sekarang, demikian:

 

1.       Masa Permulaan ( 1927 -1950)

 

Sebelum menguraikan masa ini, perlu diketahui bahwa DR. Verwiebe diutus oleh Organisasi Pemuda Kristen dari Jerman yang dinamai CVJM ( Young Men Christian Association -YMCA dalam bahasa Inggris), yaitu suatu organisasi pemuda Kristen yang ekstra gerejani, yang sangat erat hubungannya dengan gereja, bahkan dapat dikatakan sebagai tangan kanan gereja dalam melakukan usaha pembinaan pemuda. Mereka disokong oleh gereja tetapi bukan di dalam gereja, artinya CVJM itu adalah atas inisiatif pemuda Kristen. Keanggotaannya terdiri dari pribadi-pribadi pemuda Kristen dan yang bukan Kristen, yang patuh kepada  Aturan (AD) dari organisasi itu. Badan ini bersifat international.

Dr. Verwiebe datang ke Indonesia dengan latar-belakang organisasi tersebut, khusus bertugas untuk Pemuda Kristen Batak secara umum. Seperti telah dikemukakan di atas, sebelum kedatangannya, telah terbentuk  beberapa gereja Kristen Batak yang memisah dari HKBP, yakni HChB, PKB dan Mission Batak, tetapi pemuda Kristen yang diasuh oleh Verwiebe hampir seluruhnya anggota HKBP. Tugas utama dan pelayanannya pertama-tama ditujukan kepada para siswa atau mahasiswa di perantauan ( di luar bonapasogit), maka pada Konferensi 1932 di Padalarang disusunlah Statuten perkumpulan pemuda Kristen Batak, yang kemudian disempurnakan, yang isinya hampir sama dengan Statuten CVJM, seperti yang sudah dikemukakan di atas. Oraganisasi itu dinamai Naposobulung Kristen Batak (NKB), seperti telah diuraikan di atas.

 

2.       Masa Persiapan ( 1950- 1952 )

 

Selama pemerintahan Jepang sampai dengan penyerahan kedaulatan Republik Indonesia, NKBP hampir tidak berfungsi sama sekali, meskipun masih ada kepengurusan. Maka timbullah pemikiran dan usaha HKBP untuk membentuk dan menyusun organisasi NHKBP, yang akan langsung ditangani oleh gereja HKBP. Hal ini dibicarakan di dalam Synode Godang HKBP 1950 dan 1951, dimana dicantumkan acara mengenai pentingnya pelayanan pemuda  di HKBP ( Baca Notulen Synode Godang HKBP 1950 dan 1951), maka waktu inilah masa persiapan, di mana belum ada struktur oraganisasi yang tersusun.

 

3.       Masa Permulaan NHKBP ( tahun 1952-1962).

 

Hasil pembicaraan di Synode Godang HKBP tahun 1950 dan 1951, diwujudkan pada tahun 1952, di mana diadakan Konferensi I NHKBP, yakni 1952, di Seminarium Sipoholon untuk pembentukan NHKBP. Pada waktu itu disusunlah Reglemen NHKBP, yang isinya antara lain:

 

-          Perkumpulan  NHKBP adalah organisasi naposobulung yang didirikan HKBP dan berada di dalam tubuh HKBP (intra HKBP).

-          Jenjang kenggotaan dan kepengurusan adalah vertikal: Ranting di Huria, cabang di Ressort, Daerah  di Distrik, Pusat di Kantor Pusat. Jadi sejajar (pararel) dengan jenjang HKBP tetapi terpisah.

-          Di tiap-tiap jenjang ada engurus: Ketua, Sekretaris, Bendahara dan komisaris-komisaris, yang bertanggung-jawab ke pada jenjang atasannya, bukan kepada tiap-tiap jenjang HKBP.

-          Pejabat Gereja ( Guru Huria, Pendeta Ressort, Praeses Distrik), berfungsi sebagai kordinator saja.

-          Lembaga tertinggi adalah kongres.

-          Anggotanya terdiri dari anggota HKBP yang patuh kepada Reglemen ( jadi bukan semua naposobulung HKBP otomatis menjadi  anggota).

-          Ketua Umum adalah Ephorus HKBP ( e-officio, karena jabatannya).

-          Algemene Jeugdleider ( Pemimpin Umum) menjadi pimpinan pelayanan NHKBP ke dalam dan ke luar.

-          Algemene Jeugdleider bertanggung-jawab kepada Synode Godang HKBP dan kepada badan Pekerja Pusat.

-          Hal serupa berlaku di tingkat Huria, Ressort dan Distrik.

-          Dsb.

Dengan demikian jelas terlihat bahwa menurut reglemen ini struktur organisasi NHKBP adalah terpisah dari HKBP atau dapat dikatakan berdiri sendiri dalam kepengurusan dan aktivitasnya, hanya dalam beberapa hal tertentu ada sangkut  pautnya dengan HKBP. Hal itulah yang memungkinkan Badan ini dapat bertindak atas nama organisasi “NHKBP” sendiri, ke dalam misalnya: membuat pernyataan (ingat HKBP Sudirman Medan) dan ke luar HKBP, misalnya: membuat pernyataan-pernyataan kepada gereja tetangga, bahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah.  Tetapi struktur yang demikian ada juga segi-segi positifnya, bahwa Badan ini dapat bebas beraksi untuk membangun  dirinya.

 

4.       Masa lowong ( 1962 -1972).

 

Di atas telah disinggung bahwa masa ini adalah masa pergolakan di dalam tubuh HKBP, yang kesudahannya adalah  pemisahan oleh GKPI dan GKLI, saat mana para pemuda-pemuda HKBP juga ikut mengambil peranan di dalamnya. Untuk menghindarkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingini dari pemuda-pemudi HKBP, dengan sengaja tidak diadakan kongres atau konferensi untuk menyusun semacam reglemen yang baru, sesuai dengan saran Pucuk Pimpinan HKBP, lagi pula telah dicantumkan dalam Aturan HKBP mulai saat itu tentang Seksi NHKBP sebagai dasar dan pegangan. Tetapi prinsip struktur organisasi  NHKBP yang tercantum dalam Aturan HKBP itu telah mulai dikumandangkan dan diterapkan kepada seluruh Jemaat HKBP melalui penerangan ketika melakukan kunjungan langsung kepada Jemaat dan melalui laporan Departemen NHKBP ke Synode Godang HKBP, yang isinya antara lain:

-          NHKBP adalah satu Seksi dalam HKBP, bukan satu organisasi yang paralel dengan HKBP.

-          Segala kebutuhan Seksi NHKBP, rohaniah dan material adalah tanggung-jawab HKBP.

-          Pengurus atau Pelayan Seksi NHKBP harus dibawah naungan dan pengawasan Pelayan (Parhalado) HKBP

-          ( Lihat Aturan HKBP 1962-1972).

 

Meskipun demikian masih banyak Jemaat yang dalam prakteknya terus melaksanakan apa yang termaktub dalam Reglemen NHKBP 1952, karena belum ada pegangan tertulis yang terperinci.

 

5.       Masa sekarang ( 1972- 1982 )

 

Dengan diperbaharuinya Aturan HKBP tahun 1972 yang berlaku sampai tahun 1982, yang di dalamnya sudah termaktub Departemen NHKBP ( lihat hal. 51-54), maka Departemen NHKBP tidak perlu lagi membuat Anggaran Dasar / Aturan untuk pelaksanaan pelayanan  Naposobulung HKBP. Yang perlu disusun hanyalah pelaksanaannya atau Pedoman Kerja.  Mala pada 15-20 Oktober 1973, diadakanlah Konferensi NHKBP di Jetun Silangit, seperti telah disinggung di atas dan menyusun Pedoman Kerja NHKBP, yang telah diterbitkan setelah disyahkan oleh Pucuk Pimpinan HKBP dan Rapat Gabungan Parhalado Pusat, Praeses dan Direktor-direktor Departemen HKBP. ( Lihat Buku Pedoman Kerja NHKBP). Isinya diambil alih dan disesuaikan dengan prinsip dan jiwa Aturan HKBP itu, serta pelaksanaannya yang bertalian dengan pengorganisasian aktivitas NHKBP diperluas.

Isi Ringkas dari Pedoman Kerja itu adalah sebagai berikut:

1.       Naposobulung HKBP adalah bagian integral dari anggota HKBP. Segala sesuatu yang bertalian  dengan anggota HKBP, berlaku juga bagi naposobulung HKBP.

2.       Hak dan kewajiban atau tanggung-jawabnya adalah sama dengan anggota  HKBP lainnya.

3.       Hubungan horizontal dengan sesma anggota dam hubungan vertikal kepada Pelayan ( Parhalado) dan fungsionaris HKBP adalah sama dengan bentuk atau formasi HKBP, yang berarti tidak ada badan atau pengurus  lain dari NHKBP yang berdiri sendiri. Misalnya sebutan: Ranting, Cabang, Daerah, Pusat, seperti termaktub dalam Reglemen NHKBP 1952, tidak ada lagi, tetapi harus menjadi:  Huria, Ressort, Distrik dan Pusat.

4.       Di Huria, Ressort, Distrik dan Pusat, dibentuk Dewan Naposobulung yang bertugas sebagai staf ahli (pembantu) dari fungsionaris yang ada di tiap-tiap jenjang itu. Maka bukanlah dewan itu yang membuat suatu keputusan terakhir, mereka  hanya berfungsi sebagai pemikir atau perencana.

5.       Hubungan Naposobulung kepada Dewan hanyalah indirect (tidak langsung), sedangkan yang direct adalah kepada parhalado.

6.       Segala kebutuhan dibebankan dan ditanggulangi oleh Huria, sebagaimana  pembutuhan aktivitas yang lain dari Huria itu.

7.       NHKBP tidak mempunyai Ketua, Sekretaris dan Bendahara, seperti pada Reglemen 1952, hanya ada Sekretais Umum yang menjadi perantara Parhalado dan Naposobulung, dan sekretaris bidang-didang sesuai dengan kebutuhan untuk kelancaran aktivitas.

8.       Bendahara Hurialah yang menjadi Bendahara NHKBP, tetapi sekretaris bidang keuangan diperkenankan untuk memegang kas kecil untuk persediaan yang tiba-tiba. Maka perlu diadakan Anggran Biaya uang masuk dan uang keluar sesuai dengan rencana kerja.

9.       Sekretaris Umum dan Sekretaris-sekretaris Bidang merencanakan aktivitas dan membuat kebijaksanaan untuk melaksanakan tugas-tugas.

10.   Rapat Anggota NHKBP memilih Sekum dan Sekretaris Bidang yang disetujui oleh Parhalado Huria.

(Lihat dan camkan Buku Pedoman Kerja NHKBP).

 

DemIkianlah secara ringkas perkembangan Struktur Organisasi NHKBP sejak ditetapkannya pelayanan khusus kepada Naposobulung  (1927), sampai sekarang ( 1977). Kiranya sejarah perkembangan pelayanan pemuda di HKBP dapat dinilai sebagai bahan pelajaran untuk pedoman dan peningkatan-peningkatan selanjutnya pada masa-masa yang akan datang.

 

Tambahan:  Daftar  tenaga-tenaga yang khusus mengasuh NHKBP sejak terbentuknya perhimpunan NHKBP ialah:

 

a.       Tenaga Part-Timer:

 

1.       Guru Jeremias Tambun (masa peralihan NKB menjadi NHKBP).

2.       Ds. T.S.Sihombing (Direktur Seminari Sipoholon), sebagai Jeugdleider dari tahun 1952-1954.

3.       P.W.Situmeang (belajar pada Sekolah Pendeta), sebagai Alg. Jeugdleider dari tahun 1954-1956.

 

b.      Tenaga Full-Timer ( di Kantor Pusat )

 

1.       Pdt. Jetro Sinaga, sebagai Ketua Seksi Naposobulung HKBP (1956-1962).

2.       Pdt. Johan Siahaan, sebagai Wakil Ketua Seksi Naposobulung HKBP  (1956-1959)

3.       Pdt. Poltak Sormin sebagai wakil Ketua Naposubulung HKBP ( 1959-1960)

4.       Pdt. H.Butarbutar, sebagai wakil Ketua Seksi Naposobulung HKBP ( 1960-1962)

5.       Pdt. H.Butarbutar, sebagai Ketua Seksi Naposobulung dan Direkror Departemen NHKBP ( 1963 – sekarang )

6.       Pdt. E.S.Simanungkalit, sebagai Sekretaris Pelaksana Departemen NHKBP ( 1970-1974)

7.       Pdt. J.M.Manullang, sebagai Sekretaris Pelaksana Departemen NHKBP ( 1974-1976)

8.       Calon Pdt. Mangontang S.M.Panjaitan, sebagai Sekretaris Pelaksana  Departemen NHKBP ( 1976-1977).

9.       Calon Pdt. T.M.Hasugian, sebagai Sekretaris Pelaksana Departemen NHKBP ( 1977-  )

 

c.       Tenaga Full Timer di Lapangan:

 

1.      Di Medan                        :  Pdt. Soritua A.E.Nababan, Pdt. Johan Siahaan, Pdt Walter Lumbantobing,             Pdt. M.Asal Simanjuntak, Pdt Bonar H. Situmorang, Pdt Rusli Hutapea, Pdt. Eire T. Hutapea.

2.      Di Jakarta                      :  Pdt. Surtan M.Marpaung, Pdt Alboin Simanungkalit, Pdt. Poltak M. Aritonang  ( Part-Timer ).

3.      Di Pem. Siantar          : Pdt. Adelbert A. Sitompul, Pdt. Halomoan Hutapea, Pdt. Jansen P.Pardede, Pdt. Belsing Sihombing, Pdt. Edward G. Simanjunak, Pdt. Manaek Tua.Pandiangan.

4.      Di Balige                        :  Pdt. Slamat H. Simatupang, Pdt. Marulak H.Siagian.

5.      Di P. Sidempuan        : Pdt. Halomoan Hutapea, Pdt. Demak M.Hutagalung.

6.      Di Sibolga                      : Pdt. Panahatan Nainggolan.

7.      Di Bandung                  : Pdt. Surtan H.Marpaung.

8.      Di Yogyakarta              :  Pdt Sountilon M. Siahaan, Pdt. Alboin Simanungkalit, Pdt. Eire T.Hutapea, Kd.Pdt. Robert O. Tampubolon.

 

d.      Tenaga Luar Negeri:

1.       Dr. E.Verwiebe          : 1927-1936 ( 1936 terplih menjadi Ephorus HKBP)

2.       Pdt. H.Berghauser    : 1957-1971.

3.       Diakon W.Reinke      : 1970- 1975.

4.       Pdt. E. Zschau             : 1976 – sekarang.

 

(Pdt. MSM Panjaitan).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar