Jumat, 26 Februari 2021

SAMAKAH KE SEPULUH HUKUM TUHAN ITU DENGAN HUKUM TAURAT

 

SAMAKAH KE SEPULUH HUKUM TUHAN ITU DENGAN HUKUM TAURAT?

Pertanyaan ini saya kemukakan untuk kita diskusikan bersama, karena saya memperhatikan banyak “Paragenda” (pemimpin liturgi kebaktian) minggu HKBP berbahasa Indonesia,  ketika mau membacakan ke Sepuluh Hukum Tuhan mengatakan : “Hukum Taurat bagi kita dalam kebaktian minggu kita hari ini adalah dari...”, lalu dibacakanlah hukum yang sepuluh itu, atau sebahagian dari nya. Sedangkan dalam Agenda bahasa Indonesia tidak disebut demikian,melainkan hanya disebut: "Dengarlah hukum Tuhan!", atau dalam bahasa Batak disebut "Tangihon hamu ma Patik ni Debata", tidak ada disitu sebutan  Hukum Taurat.  Dalam KATEKISMUS KECIL Martin, ke sepuluh hukum Tuhan itu disebut Dasa Titah, dan dalam KATEKISMUS BESAR Martin Luther disebut Sepuluh Firman, sesuai dengan dasarnya dalam kitab Keluaran 20: 1-17, dan Ulangan 5: 6-21. Karena itulah kadang-kadang ke sepuluh Hukum itu disebut “Dekalog” yang berasal dari bahasa Yunani “δεκα λογοί “ (deka logoi) atau dalam bahasa Ibrani        חַדּֽבׇרׅ׳מ עֲשֶרֶת  (aseret hadebarim), artinya Sepuluh Firman,  seperti disebut dalam  Ulangan 4: 13 dan 10: 4). Mengapa kemudian paragenda berbahasa Indonesia ( paragenda berbahasa Batak tetap menyebutnya “patik”) di HKBP  menyebutnya itu sebagai Hukum Taurat, tentu karena Ke Sepuluh Hukum Tuhan itu dianggap sama dengan Hukum Taurat. Pada hal Hukum Taurat itu menurut Yahudi mempunyai pengertian yang lebih luas dari ke 10 hukum Tuhan itu. Dalam pemahaman Yahudi Hukum Taurat itu menghunjuk kepada seluruh hukum yang diberikan oleh Allah kepada Musa,  yang meliputi hukum yang mengatur keagamaan,  peribadahan dan yang mengatur kehidupan sosial politik, dan ekonomi umat Israel (Yahudi(  yang ratusan jumlahnya seperti dituliskan dalam semua kitab Musa yang lima itu. Karena itulah dalam pembagian Kitab Suci Yahudi yang berbahasa Ibrani, semua kitab Musa yang lima itu disebut Kitab Taurat.

Dalam Kitab Injil,  yang dimaksud dengan Hukum Taurat adalah menghunjuk kepada  sema hukum Musa, yang dipelihara oleh orang Jahudi dengan ketat, karena itulah yang mereka anggap sebagai jalan keselamatan. Di dalam bahasa Yunani Hukum Taurat itu hanya disebut  dengan kata νοמος (nomos) yang artinya hukum,  dan dalam terjemahan Batak hanya disebut “patik”, dalam bahasa Inggris  “law”, tanpa ada kata “torah”(lihat misanya Matius 5: 17-19).  Jadi hanya terjemahan bahasa Indonesia menyebutnya sebagai Hukum Taurat.   Menurut Yesus, hukum Taurat itu telah menjadi kuk yang membebani umat itu, yang untuk itulah Yesus datang untuk membebaskan, dengan memberi dirinya sebagai juru selamat. Dan bagi Paulus sendiri, sebutan hukum Taurat bukanlah sebutan yang disenangi, karena seperti disebut dalam Gal. 3: 10-11, hukum taurat itu telah menghukum setiap orang. Dikatakan:" Karena semua orang, yang hidup dari pekerjaan hukum Taurat, berada di bawah kutuk. Sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang tidak setia melakukan segala sesuatu yang tertulis dalam kitab hukum Taurat." Dan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat adalah jelas, karena: "Orang yang benar akan hidup oleh iman."

Jadi menurut hemat saya sebutan Hukum Taurat tidak bisa disamakan dengan ke Sepuluh Hukum itu, dan  kalaupun ke sepuluh hukum itu dibacakan dalam setiap kebaktian minggu fungsinya tidak sama lagi dengan fungsi  hukum taurat Yahudi. Ke Sepuluh Hukum itu  yang juga sebagai bagian dari Firman Allah adalah berfungsi  sebagai cermin yang memperlihatkan dosa-dosa kita, membimbing kita untuk datang kepada Allah memohon pengampunan dosa kita, dan juga membimbing kita tentang apa yang wajib dan tidak boleh kita lakukan sebagai anak-anak Allah yang telah diselamatkan oleh Allah melalui Yesus Kristus. Itulah sebabnya pembacaan ke sepuluh hukum Tuhan itu, ditempatkan sebelum Pengakuan Dosa dalam Tata Kebaktian HKBP supaya setelah masing-masing mengenal dosanya umat Allah yang beribadah itu datang ke hadapan Allah untuk memohon keampunan dosanya, melalui doa pengampunan dosa.

Bagaimana menurut  saudara-saudara? Saya senang kalau ada memberi tanggapan yang bisa memperkaya pemahaman kita bersama mengenai topik ini.

Minggu, 21 Februari 2021

MAKNA ZIARAH KE KUBURAN MENURUT KEPERCAYAAN KRISTEN

 

MAKNA ZIARAH KE KUBURAN MENURUT KEPERCAYAAN KRISTEN


            Belakangan ini orang-orang Kristen telah banyak yang mempunyai kebiasaan melakukan ziarah ke kuburan. Mungkin  kebiasaan itu banyak terpengaruh dari saudara-saudara kita orang muslim,  karena kata  "ziarah sendiri"  adalah serapan kata Arab, yang berarti berkunjung, bisa berkunjung ke kerabat dan bisa berkunjung ke kuburan. Ziarah ke kerabat mempunyai makna untuk memperteguh tali atau hubungan silaturahmi, sedangkan ziarah ke kuburan menurut orang Kristen adalah  untuk mengingat kematian itu sendiri yang menimpa seiap orang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KIBI) kata “ziarah” diartikan sebagai “kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap kramat atau mulia ( makam dan sebagainya)”, sedangkan berziarah diartikan sebagai perbuatan “berkunjung ke tempat-tempat yang dianggap kramat atau mulia (makam dan sebagainya) untuk berkirim doa”. Tidak disebut berkirim doa untuk siapa, tetapi dari prakteknya mungkin berkirim doa kepada Allah untuk arwah orang mati yang dikubur dalam kuburan itu, sesuai dengan kepercayaan Islam. Karena dalam kepercayaan Islam masih bisa mendoakan arwah orang yang sudah meninggal agar diterima di sisi Tuhan. Tetapi pengertian Kristen tentang Ziarah tidak seperti itu, dan orang yang sudah meninggal tidak bisa lagi didoakan.
            Walaupun mungkin masih ada  orang kristen mengartikan ziarah seperti pemahaman Islam atau pengertian yang disebut dalam KIBI itu, tetapi makna ziarah  menurut kepercayaan Kristen yang sebenarnya  tidak seperti itu halnya. Bagi orang Kristen kebiasaan ziarah itu banyak dilakukan pada Hari Paskah atau  masa Akhir Tahun Gerejawi yang sekaligus juga ditetapkan sebagai Peringatan akan orang yang telah meninggal. Tetapi melakukan ziarah tidak dibatasi hanya pada hari-hari seperti itu. Kita bisa melakukan ziarah atau kunjungan ke kuburan setiap waktu. Dalam melakukan kunjungan ke kuburan, biasanya juga sekaligus membersihkan kuburan itu dari rerumputan yang menumbuhi kuburan tersebut, supaya kuburan itu kelihatan bersih dan indah jangan menyeramkan. Banyak kuburan yang tidak terurus, yang sangat jarang dibersihkan, semak belukar tumbuh begitu saja sehingga kuburan itu kelihatan sangat menyeramkan dan menakutkan sekali.  Kuburan tidak seharusnya ditakuti, seolah-olah roh-roh orang mati itu bergentayangan di sana.  Orang-orang Kristen yang berlatar-belakang Batak, masih ada yang menganggap  bahwa ziarah ke kuburan itu, terutama kuburan orang tua atau moyangnya  adalah untuk menghormati roh orang yang sudah meninggal itu, bahkan ada yang  meminta  berkat kepadanya untuk memperoleh rezeki yang baik dan kesehatan, atau bahkan agar  diberi jodoh bagi yang belum mempunyai jodoh dan keturunan  bagi orang yang belum mempunyai keturunan. Dengan anggapan  seperti itu tidak jarang adanya dulu orang mengunjungi kuburan dengan  membawa makanan dan diletakkan di atas kuburan itu, di mana dipercyai bahwa perbuatan itu menyenangkan bagi orang mati yang ada di kuburan tersebut,  sehingga rohnya memberkati orang yang menaruh makanan itu. Biasanya orang yang berbuat seperti itu adalah keturunan dari yang meninggal itu, atau kerabat dekatnya. Tetapi perbuatan seperti itu adalah perbutan sesat, karena dalam kepercayaan kristen tidak ada lagi roh orang mati.  Yang mempunyai roh adalah orang yang masih hidup, dan roh itu  adalah  kekuatan yang berasal dari Allah yang membuat manusia itu hidup ( Kejadian 2: 7 ). Ada juga yang mengganggap orang mati itu punya hantu atau begu, yang bisa mengganggu atau menyakiti mausia yang hidup yang tidak disukainya. Ini adalah juga pikiran yang sesat. Dalam kepercayaan kristen, orang mati tidak bisa lagi berhubungan dengan orang hidup, dan orang hidup  juga tidak bisa berkomunikasi dengan orang mati. Dalam Pengkotbah 9: 5-6 disebut “....orang mati tak tahu apa-apa, tak ada lagi upah bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. Baik kasih mereka maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi di bawah matahari.” Tetapi  iblis yang selalu berusaha menyesatkan manusia, bisa menyamar sebagai “hantu” orang meninggal mendatangi seseorang, seolah-olah dalam anggapan orang hidup yang didatangi itu, bahwa seseorang yang sudah meninggal itulah yang mendatangi dirinya.  
            Lalu apakah makna  melakukan ziarah itu, apakah berdoa bisa dilakukan di kuburan? Bagi orang Kristen makna ziarah ke kuburan, pertama  sekali adalah mengingatkan kita bahwa kita pun juga mati seperti yang sudah mati itu. Lalu ke dua, mengenang orang yang mati iu, terutama akan sesuatu kebaikan yang diperbuat semasa hidupnya, untuk disyukuri kepada Tuhan. Pada waktu ziarah itu berdoa juga bisa dilakukan, karena di mana-mana kita bisa berdoa, termasuk di kuburan. Tetapi jika kita berdoa di kuburan, tentu yang kita doakan bukanlah orang mati yang ada dalam kuburan itu, dan tidak juga meminta sesuatu dari orang mati iu. Kita tetap berdoa kepada Allah Bapa, dan yang kita doadakan adalah diri kita yang masih hidup, supaya kita diberi kekuatan mejalani hari- hari hidup ini, terutama dalam menghadapi kematian itu sendiri. Janganlah kiranya kuasa kematian yakni dosa, iblis dan roh-roh duniawi  yang telah ditaklukkan oleh Yesus membuat diri kita merasa cemas dan kuatir akan hidup ini. Cuci muka pun bisa dilakukan yang juga diiringi doa dalam hati, kiranyaTuhan yang telah mengalahkan kuasa maut membersihkan wajah kita dari air mata yang disebabkan oleh berbagai kesedihan di dunia ini, termasuk kesedihan karena kematian itu sendiri, seperti halnya nanti dilakukan oleh Allah kepada umat-Nya di sorga. Di dalam Wahyu 21: 4, dikatakan: “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu."
  ( msm panjaitan).
 
 

Kamis, 18 Februari 2021

KELOMPOK "NATONDITONDION" DI HKBP

 

KELOMPOK "NATONDITONDION" DI HKBP

 

Barangkali  warga jemaat HKBP sekarang tidak banyak lagi yang mengetahui tentang apa “Natonditondion” itu.. Dalam sejarahnya yang banyak mengalami pergumulan, cobaan dan penderitaan pada masa Jepang, yang berlanjut hingga permulaan zaman Kemerdekaan Indonesia ( 1942 -1950), di beberapa Jemaat HKBP pernah muncul beberapa kelompok “fanatis”. Kelompok-kelompok tersebut sebagian bermula  dari beberapa kelompok “kebangunan rohani”, berupa kursus-kursus Alkitab yang di giatkan di beberapa Jemaat HKBP. Tetapi karena kelompok-kelompok itu kemudian kurang mendapat bimbingan dan pengarahan dari pihak gereja (pendeta), maka akhirnya mereka mengikuti jalan sendiri dan menafsirkan isi Alkitab itu menurut kemauan dan fikiran mereka sendiri. Salah satu dari kelompok itu dijuluki orang lain sebagai kelompok “Natonditondion”, yang berarti orang yang bagaikan kesurupan roh.

Demikian nama itu diberikan kepada kelompok ini, karena sikap dan perlakuan mereka yang sering bagaikan orang yang kesurupan roh. Dalam Konfessi HKBP 1951, disebut adanya beberapa kelompok “Natonditondion”, yakni kelompok yang menyebut dirinya “Huria na badia” (jemaat kudus), “Huria panghophopon” (jemaat penebusan), kelompok “na marsubangkon mudar” (berpantangkan darah) seperti yang di Pagar Sinondi dan Pematangsiantar, kelompok pengikut Sibindamora (di Pematangsiantar) dan kelompok yang di Sionomhudon dan Lae Parira (Konfessi HKBP 1951: Pendahuluan point 4). Semua kelompok itu mengatakan bahwa ajaran mereka adalah berdasarkan Alkitab. Tetapi menurut penilaian HKBP ajaran mereka itu telah sesat, karena Alkitab yang mereka katakan sebagai dasar ajaran mereka, ditafsirkan dan diartikan menurut kemauan dan fikiran mereka sendiri.

Salah satu dari antara beberapa kelompok ”Natonditondion” di atas yang cukup banyak menarik perhatian dan yang banyak dibicarakan dalam Synode Godang HKBP sejak tahun 1946 ialah kelompok “Natonditondion” yang di Sionomhudon. Sionomhudon adalah suatu desa di sekitar Parlilitan Tapanuli Utara (sekarang kabupaten Humbang), yang berbatasan dengan Dairi (Sidikalang). Jemaat HKBP di sana masuk Distrik Humbang. Tempat inilah merupakan daerah basis perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang terakhir melawan Belanda.

Dari beberapa sumber diketahui bahwa kelompok ini bermula dari suatu kelompok “kebangunan rohani” berupa kursus Alkitab yang digiatkan oleh Pdt Hercules Marbun, Praeses HKBP Distrik Humbang pada waktu itu (Notulen SG HKBP 1946, hal.12). Berkenaan dengan kebangunan rohani yang digiatkan, Praeses tersebut jug aktif melakukan praktik penyembuhan orang sakit sesuai dengan “kharisma” yang ada pada dirinya. Karunia penyembuhan demikian memang sangat dibutuhkan pada waktu itu di tengah-tengah situasi yang sangat sulit memperoleh pengobatan secara medis, apalagi di daerah pedalaman dan terpencil seperti Sionomhudon tersebut. Rupanya ketika melakukan penyembuhan orang sakit itu, sang pendeta selalu menghubungkannya dengan soal kepercayaan dari orang yang bersangkutan. Katanya, siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus, dialah yang memperoleh kesembuhan itu, sedangkan orang yang tidak percaya tidak akan  memperolehnya.

Praktik penyembuhan yang dilakukan oleh pendeta ini ternyata sangat menarik perhatian dari sebagian pengikut kursus yang digiatkan. Dari antara mereka ada yang ingin memperoleh kharisma penyembuhan itu dengan cara “paksa”, yang rahasianya mereka lihat terkandung di dalam Alkitab itu sendiri. Karena keinginan yang sangat besar itu, maka mereka melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas isi Alkitab setiap malam, tanpa dibimbing oleh pendeta atau orang yang mempunyai pengetahuan tentang isi Alkitab lagi. Kaum ibu banyak yang sangat tekun untuk mengikuti, walaupun hal itu sering dilakukan dari siang hingga larut malam. Pekerjaan mereka sehari-hari, demikian juga anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja. Fikiran mereka tercurah ke situ saja, yang akibatnya ada dari antara mereka yang fikirannya tidak normal lagi dan akhirnya gila. Setiap pertemuan malam yang dilakukan selalu diakhiri dengan acara “bersalaman” setelah lampu dimatikan lebih dulu. Jika anaknya sakit, mereka tidak mau membawa berobat ke balai pengobatan atau rumah sakit, karena katanya cukup hanya didoakan saja, hingga anak tersebut meninggal.  Mengenai hal bagaimana mereka memperlakukan Alkitab itu dalam pertemuan mereka, beberapa pendeta yang pernah “mengintip” ( pertemuan mereka itu sangat tertutup) mengatakan demikian:

“Jika pemimpinnya berkhotbah, maka apa yang timbul dalam hatinya itulah dikhotbahkan. Persiapan untuk khotbah itu tidak diperlukan karena katanya Roh Kuduslah yang berbicara dalam hati pengkhotbah. Jika seseoang dari antara mereka berkhotbah, maka Alkitab itu dibuka demikian saja, sehingga ayat mana yang pertama terlihat oleh matanya itulah yang dikhotbahkan. Dan apa yang timbul dalam hatinya itulah yang dikatakan, tetapi semuanya dikatakan dengan penuh semangat, soaranya gemetar, bagaikan yang kesurupan roh” (FH Sianipar, Barita ni Ompui Dr Justin Sihombing, 1978, hal. 104).

 

Dari pengamatan yang lain terlihat bahwa yang paling ditekankan dalam setiap pertemuan mereka itu ialah penyesalan akan dosa yang mereka lakukan sehar-hari, serta penyerahan diri terhadap salib Kristus guna memperoleh keselamatan. Berbagai dosa yang dilakukan sehari-hari seperti: mencuri, meracun orang, melakukan guna-guna, dll., diungkapkan secara terbuka dengan soara tangis di hadapan satu-sama lain melalui doa (Notulen SG HKBP 1950, hal. 4) .

Dalam tindakan yang lebih jauh, kelompok ini kemudian menetapkan adanya berbagai “jabatan” (mereka sebut “parhobas” atau pelayan) di antara mereka. Ada yang disebut “pelihat, nabi, “parhagogoon” (yang mempunyai kekuatan luar biasa”, panuturi ( penafsir orakel), dll.”, sebagai perolehan kharisma bagi mereka masing-masing yang didasarkan pada 1 Korint 12: 4-11. Suatu ajaran yang mengatakan bahwa hari kiamat akan segera terjadi disebar-luaskan. Mengenai ini, seorang pemimpin kelompok tersebut, Julius Sihotang, bekas penatua HKBP setempat, membuat satu stempel. Katanya, barang siapa memiliki selembar kertas yang sudah distempelnya tidak akan mati lagi pada perang agama yang diramalkan akan segera terjadi. Kemudian pada bulan Maret 1950, “istrinya” yang kedua  melahirkan seorang putera, yang dia nyatakan “gembala semua bangsa”, yang didasarkan pada Wahyu 12: 5. Ketika melakukan pesta kelahiran anak tersebut, berdatanganlah pengikut kelompok itu, masing-masing membawa “persembahannya”, sebagaimana katanya diperbuat oleh orang-orang majus dulu terhadap kelahiran Yesus (Notulen SG HKBP 1950, hal. 5).

Banyak lagi usaha yang dilakukan oleh Julius Sihotang untuk memikat hati para pengikutnya agar mereka tetap percaya kepada ajaran-ajarannya. Dan dari hasil pemberian yang diperoleh dari pengikutnya itu, dia menjadi kaya. Di Lae Parira, Dairi, dia memiliki sebidang tanah perkebunan kopi yang cukup luas dan sebuah rumah yang besar. Di tempat itu dia juga telah membentuk kelompok yang sama dan menyebarkan ajaran-ajarannya.  Tetapi karena melihat bahwa ajaran-ajarannya itu telah  makin jauh menyesatkan orang banyak, akhirnya pemerintah pun turut campur tangan untuk menghentikan gerakan itu. Julius akhirnya ditangkap dan dipenjarakan. Sedangkan tindakan pengucilan dari gereja terhadap dia dan sejumlah pengikutnya yang tidak mau meninggalkan ajaran itu telah diberlakukan sejak tahun 1946. (Pdt MSM Panjaitan)