KELOMPOK "NATONDITONDION" DI HKBP
Barangkali warga jemaat HKBP sekarang tidak banyak lagi
yang mengetahui tentang apa “Natonditondion” itu.. Dalam sejarahnya yang banyak
mengalami pergumulan, cobaan dan penderitaan pada masa Jepang, yang berlanjut
hingga permulaan zaman Kemerdekaan Indonesia ( 1942 -1950), di beberapa Jemaat
HKBP pernah muncul beberapa kelompok “fanatis”. Kelompok-kelompok tersebut sebagian
bermula dari beberapa kelompok
“kebangunan rohani”, berupa kursus-kursus Alkitab yang di giatkan di beberapa
Jemaat HKBP. Tetapi karena kelompok-kelompok itu kemudian kurang mendapat
bimbingan dan pengarahan dari pihak gereja (pendeta), maka akhirnya mereka
mengikuti jalan sendiri dan menafsirkan isi Alkitab itu menurut kemauan dan
fikiran mereka sendiri. Salah satu dari kelompok itu dijuluki orang lain
sebagai kelompok “Natonditondion”, yang berarti orang yang bagaikan kesurupan
roh.
Demikian nama itu
diberikan kepada kelompok ini, karena sikap dan perlakuan mereka yang sering
bagaikan orang yang kesurupan roh. Dalam Konfessi HKBP 1951, disebut adanya
beberapa kelompok “Natonditondion”, yakni kelompok yang menyebut dirinya “Huria
na badia” (jemaat kudus), “Huria panghophopon” (jemaat penebusan), kelompok “na
marsubangkon mudar” (berpantangkan darah) seperti yang di Pagar Sinondi dan
Pematangsiantar, kelompok pengikut Sibindamora (di Pematangsiantar) dan
kelompok yang di Sionomhudon dan Lae Parira (Konfessi HKBP 1951: Pendahuluan
point 4). Semua kelompok itu mengatakan bahwa ajaran mereka adalah berdasarkan
Alkitab. Tetapi menurut penilaian HKBP ajaran mereka itu telah sesat, karena
Alkitab yang mereka katakan sebagai dasar ajaran mereka, ditafsirkan dan
diartikan menurut kemauan dan fikiran mereka sendiri.
Salah satu dari
antara beberapa kelompok ”Natonditondion” di atas yang cukup banyak menarik
perhatian dan yang banyak dibicarakan dalam Synode Godang HKBP sejak tahun 1946
ialah kelompok “Natonditondion” yang di Sionomhudon. Sionomhudon adalah suatu
desa di sekitar Parlilitan Tapanuli Utara (sekarang kabupaten Humbang), yang berbatasan
dengan Dairi (Sidikalang). Jemaat HKBP di sana masuk Distrik Humbang. Tempat
inilah merupakan daerah basis perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang
terakhir melawan Belanda.
Dari beberapa sumber
diketahui bahwa kelompok ini bermula dari suatu kelompok “kebangunan rohani”
berupa kursus Alkitab yang digiatkan oleh Pdt Hercules Marbun, Praeses HKBP
Distrik Humbang pada waktu itu (Notulen SG HKBP 1946, hal.12). Berkenaan dengan
kebangunan rohani yang digiatkan, Praeses tersebut jug aktif melakukan praktik
penyembuhan orang sakit sesuai dengan “kharisma” yang ada pada dirinya. Karunia
penyembuhan demikian memang sangat dibutuhkan pada waktu itu di tengah-tengah
situasi yang sangat sulit memperoleh pengobatan secara medis, apalagi di daerah
pedalaman dan terpencil seperti Sionomhudon tersebut. Rupanya ketika melakukan
penyembuhan orang sakit itu, sang pendeta selalu menghubungkannya dengan soal
kepercayaan dari orang yang bersangkutan. Katanya, siapa yang sungguh-sungguh
percaya kepada Tuhan Yesus, dialah yang memperoleh kesembuhan itu, sedangkan
orang yang tidak percaya tidak akan
memperolehnya.
Praktik penyembuhan
yang dilakukan oleh pendeta ini ternyata sangat menarik perhatian dari sebagian
pengikut kursus yang digiatkan. Dari antara mereka ada yang ingin memperoleh
kharisma penyembuhan itu dengan cara “paksa”, yang rahasianya mereka lihat
terkandung di dalam Alkitab itu sendiri. Karena keinginan yang sangat besar
itu, maka mereka melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas isi Alkitab
setiap malam, tanpa dibimbing oleh pendeta atau orang yang mempunyai
pengetahuan tentang isi Alkitab lagi. Kaum ibu banyak yang sangat tekun untuk
mengikuti, walaupun hal itu sering dilakukan dari siang hingga larut malam.
Pekerjaan mereka sehari-hari, demikian juga anak-anak mereka ditinggalkan
begitu saja. Fikiran mereka tercurah ke situ saja, yang akibatnya ada dari
antara mereka yang fikirannya tidak normal lagi dan akhirnya gila. Setiap
pertemuan malam yang dilakukan selalu diakhiri dengan acara “bersalaman” setelah
lampu dimatikan lebih dulu. Jika anaknya sakit, mereka tidak mau membawa
berobat ke balai pengobatan atau rumah sakit, karena katanya cukup hanya
didoakan saja, hingga anak tersebut meninggal. Mengenai hal bagaimana mereka memperlakukan
Alkitab itu dalam pertemuan mereka, beberapa pendeta yang pernah “mengintip” (
pertemuan mereka itu sangat tertutup) mengatakan demikian:
“Jika pemimpinnya
berkhotbah, maka apa yang timbul dalam hatinya itulah dikhotbahkan. Persiapan
untuk khotbah itu tidak diperlukan karena katanya Roh Kuduslah yang berbicara
dalam hati pengkhotbah. Jika seseoang dari antara mereka berkhotbah, maka
Alkitab itu dibuka demikian saja, sehingga ayat mana yang pertama terlihat oleh
matanya itulah yang dikhotbahkan. Dan apa yang timbul dalam hatinya itulah yang
dikatakan, tetapi semuanya dikatakan dengan penuh semangat, soaranya gemetar,
bagaikan yang kesurupan roh” (FH Sianipar, Barita ni Ompui Dr Justin Sihombing,
1978, hal. 104).
Dari pengamatan yang
lain terlihat bahwa yang paling ditekankan dalam setiap pertemuan mereka itu
ialah penyesalan akan dosa yang mereka lakukan sehar-hari, serta penyerahan
diri terhadap salib Kristus guna memperoleh keselamatan. Berbagai dosa yang
dilakukan sehari-hari seperti: mencuri, meracun orang, melakukan guna-guna,
dll., diungkapkan secara terbuka dengan soara tangis di hadapan satu-sama lain
melalui doa (Notulen SG HKBP 1950, hal. 4) .
Dalam tindakan yang
lebih jauh, kelompok ini kemudian menetapkan adanya berbagai “jabatan” (mereka
sebut “parhobas” atau pelayan) di antara mereka. Ada yang disebut “pelihat,
nabi, “parhagogoon” (yang mempunyai kekuatan luar biasa”, panuturi ( penafsir
orakel), dll.”, sebagai perolehan kharisma bagi mereka masing-masing yang
didasarkan pada 1 Korint 12: 4-11. Suatu ajaran yang mengatakan bahwa hari
kiamat akan segera terjadi disebar-luaskan. Mengenai ini, seorang pemimpin
kelompok tersebut, Julius Sihotang, bekas penatua HKBP setempat, membuat satu
stempel. Katanya, barang siapa memiliki selembar kertas yang sudah distempelnya
tidak akan mati lagi pada perang agama yang diramalkan akan segera terjadi.
Kemudian pada bulan Maret 1950, “istrinya” yang kedua melahirkan seorang putera, yang dia nyatakan
“gembala semua bangsa”, yang didasarkan pada Wahyu 12: 5. Ketika melakukan
pesta kelahiran anak tersebut, berdatanganlah pengikut kelompok itu,
masing-masing membawa “persembahannya”, sebagaimana katanya diperbuat oleh
orang-orang majus dulu terhadap kelahiran Yesus (Notulen SG HKBP 1950, hal. 5).
Banyak lagi usaha
yang dilakukan oleh Julius Sihotang untuk memikat hati para pengikutnya agar
mereka tetap percaya kepada ajaran-ajarannya. Dan dari hasil pemberian yang
diperoleh dari pengikutnya itu, dia menjadi kaya. Di Lae Parira, Dairi, dia
memiliki sebidang tanah perkebunan kopi yang cukup luas dan sebuah rumah yang
besar. Di tempat itu dia juga telah membentuk kelompok yang sama dan
menyebarkan ajaran-ajarannya. Tetapi
karena melihat bahwa ajaran-ajarannya itu telah
makin jauh menyesatkan orang banyak, akhirnya pemerintah pun turut campur
tangan untuk menghentikan gerakan itu. Julius akhirnya ditangkap dan
dipenjarakan. Sedangkan tindakan pengucilan dari gereja terhadap dia dan
sejumlah pengikutnya yang tidak mau meninggalkan ajaran itu telah diberlakukan
sejak tahun 1946. (Pdt MSM Panjaitan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar