Kamis, 18 Februari 2021

KELOMPOK "NATONDITONDION" DI HKBP

 

KELOMPOK "NATONDITONDION" DI HKBP

 

Barangkali  warga jemaat HKBP sekarang tidak banyak lagi yang mengetahui tentang apa “Natonditondion” itu.. Dalam sejarahnya yang banyak mengalami pergumulan, cobaan dan penderitaan pada masa Jepang, yang berlanjut hingga permulaan zaman Kemerdekaan Indonesia ( 1942 -1950), di beberapa Jemaat HKBP pernah muncul beberapa kelompok “fanatis”. Kelompok-kelompok tersebut sebagian bermula  dari beberapa kelompok “kebangunan rohani”, berupa kursus-kursus Alkitab yang di giatkan di beberapa Jemaat HKBP. Tetapi karena kelompok-kelompok itu kemudian kurang mendapat bimbingan dan pengarahan dari pihak gereja (pendeta), maka akhirnya mereka mengikuti jalan sendiri dan menafsirkan isi Alkitab itu menurut kemauan dan fikiran mereka sendiri. Salah satu dari kelompok itu dijuluki orang lain sebagai kelompok “Natonditondion”, yang berarti orang yang bagaikan kesurupan roh.

Demikian nama itu diberikan kepada kelompok ini, karena sikap dan perlakuan mereka yang sering bagaikan orang yang kesurupan roh. Dalam Konfessi HKBP 1951, disebut adanya beberapa kelompok “Natonditondion”, yakni kelompok yang menyebut dirinya “Huria na badia” (jemaat kudus), “Huria panghophopon” (jemaat penebusan), kelompok “na marsubangkon mudar” (berpantangkan darah) seperti yang di Pagar Sinondi dan Pematangsiantar, kelompok pengikut Sibindamora (di Pematangsiantar) dan kelompok yang di Sionomhudon dan Lae Parira (Konfessi HKBP 1951: Pendahuluan point 4). Semua kelompok itu mengatakan bahwa ajaran mereka adalah berdasarkan Alkitab. Tetapi menurut penilaian HKBP ajaran mereka itu telah sesat, karena Alkitab yang mereka katakan sebagai dasar ajaran mereka, ditafsirkan dan diartikan menurut kemauan dan fikiran mereka sendiri.

Salah satu dari antara beberapa kelompok ”Natonditondion” di atas yang cukup banyak menarik perhatian dan yang banyak dibicarakan dalam Synode Godang HKBP sejak tahun 1946 ialah kelompok “Natonditondion” yang di Sionomhudon. Sionomhudon adalah suatu desa di sekitar Parlilitan Tapanuli Utara (sekarang kabupaten Humbang), yang berbatasan dengan Dairi (Sidikalang). Jemaat HKBP di sana masuk Distrik Humbang. Tempat inilah merupakan daerah basis perjuangan Raja Sisingamangaraja XII yang terakhir melawan Belanda.

Dari beberapa sumber diketahui bahwa kelompok ini bermula dari suatu kelompok “kebangunan rohani” berupa kursus Alkitab yang digiatkan oleh Pdt Hercules Marbun, Praeses HKBP Distrik Humbang pada waktu itu (Notulen SG HKBP 1946, hal.12). Berkenaan dengan kebangunan rohani yang digiatkan, Praeses tersebut jug aktif melakukan praktik penyembuhan orang sakit sesuai dengan “kharisma” yang ada pada dirinya. Karunia penyembuhan demikian memang sangat dibutuhkan pada waktu itu di tengah-tengah situasi yang sangat sulit memperoleh pengobatan secara medis, apalagi di daerah pedalaman dan terpencil seperti Sionomhudon tersebut. Rupanya ketika melakukan penyembuhan orang sakit itu, sang pendeta selalu menghubungkannya dengan soal kepercayaan dari orang yang bersangkutan. Katanya, siapa yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus, dialah yang memperoleh kesembuhan itu, sedangkan orang yang tidak percaya tidak akan  memperolehnya.

Praktik penyembuhan yang dilakukan oleh pendeta ini ternyata sangat menarik perhatian dari sebagian pengikut kursus yang digiatkan. Dari antara mereka ada yang ingin memperoleh kharisma penyembuhan itu dengan cara “paksa”, yang rahasianya mereka lihat terkandung di dalam Alkitab itu sendiri. Karena keinginan yang sangat besar itu, maka mereka melakukan pertemuan-pertemuan untuk membahas isi Alkitab setiap malam, tanpa dibimbing oleh pendeta atau orang yang mempunyai pengetahuan tentang isi Alkitab lagi. Kaum ibu banyak yang sangat tekun untuk mengikuti, walaupun hal itu sering dilakukan dari siang hingga larut malam. Pekerjaan mereka sehari-hari, demikian juga anak-anak mereka ditinggalkan begitu saja. Fikiran mereka tercurah ke situ saja, yang akibatnya ada dari antara mereka yang fikirannya tidak normal lagi dan akhirnya gila. Setiap pertemuan malam yang dilakukan selalu diakhiri dengan acara “bersalaman” setelah lampu dimatikan lebih dulu. Jika anaknya sakit, mereka tidak mau membawa berobat ke balai pengobatan atau rumah sakit, karena katanya cukup hanya didoakan saja, hingga anak tersebut meninggal.  Mengenai hal bagaimana mereka memperlakukan Alkitab itu dalam pertemuan mereka, beberapa pendeta yang pernah “mengintip” ( pertemuan mereka itu sangat tertutup) mengatakan demikian:

“Jika pemimpinnya berkhotbah, maka apa yang timbul dalam hatinya itulah dikhotbahkan. Persiapan untuk khotbah itu tidak diperlukan karena katanya Roh Kuduslah yang berbicara dalam hati pengkhotbah. Jika seseoang dari antara mereka berkhotbah, maka Alkitab itu dibuka demikian saja, sehingga ayat mana yang pertama terlihat oleh matanya itulah yang dikhotbahkan. Dan apa yang timbul dalam hatinya itulah yang dikatakan, tetapi semuanya dikatakan dengan penuh semangat, soaranya gemetar, bagaikan yang kesurupan roh” (FH Sianipar, Barita ni Ompui Dr Justin Sihombing, 1978, hal. 104).

 

Dari pengamatan yang lain terlihat bahwa yang paling ditekankan dalam setiap pertemuan mereka itu ialah penyesalan akan dosa yang mereka lakukan sehar-hari, serta penyerahan diri terhadap salib Kristus guna memperoleh keselamatan. Berbagai dosa yang dilakukan sehari-hari seperti: mencuri, meracun orang, melakukan guna-guna, dll., diungkapkan secara terbuka dengan soara tangis di hadapan satu-sama lain melalui doa (Notulen SG HKBP 1950, hal. 4) .

Dalam tindakan yang lebih jauh, kelompok ini kemudian menetapkan adanya berbagai “jabatan” (mereka sebut “parhobas” atau pelayan) di antara mereka. Ada yang disebut “pelihat, nabi, “parhagogoon” (yang mempunyai kekuatan luar biasa”, panuturi ( penafsir orakel), dll.”, sebagai perolehan kharisma bagi mereka masing-masing yang didasarkan pada 1 Korint 12: 4-11. Suatu ajaran yang mengatakan bahwa hari kiamat akan segera terjadi disebar-luaskan. Mengenai ini, seorang pemimpin kelompok tersebut, Julius Sihotang, bekas penatua HKBP setempat, membuat satu stempel. Katanya, barang siapa memiliki selembar kertas yang sudah distempelnya tidak akan mati lagi pada perang agama yang diramalkan akan segera terjadi. Kemudian pada bulan Maret 1950, “istrinya” yang kedua  melahirkan seorang putera, yang dia nyatakan “gembala semua bangsa”, yang didasarkan pada Wahyu 12: 5. Ketika melakukan pesta kelahiran anak tersebut, berdatanganlah pengikut kelompok itu, masing-masing membawa “persembahannya”, sebagaimana katanya diperbuat oleh orang-orang majus dulu terhadap kelahiran Yesus (Notulen SG HKBP 1950, hal. 5).

Banyak lagi usaha yang dilakukan oleh Julius Sihotang untuk memikat hati para pengikutnya agar mereka tetap percaya kepada ajaran-ajarannya. Dan dari hasil pemberian yang diperoleh dari pengikutnya itu, dia menjadi kaya. Di Lae Parira, Dairi, dia memiliki sebidang tanah perkebunan kopi yang cukup luas dan sebuah rumah yang besar. Di tempat itu dia juga telah membentuk kelompok yang sama dan menyebarkan ajaran-ajarannya.  Tetapi karena melihat bahwa ajaran-ajarannya itu telah  makin jauh menyesatkan orang banyak, akhirnya pemerintah pun turut campur tangan untuk menghentikan gerakan itu. Julius akhirnya ditangkap dan dipenjarakan. Sedangkan tindakan pengucilan dari gereja terhadap dia dan sejumlah pengikutnya yang tidak mau meninggalkan ajaran itu telah diberlakukan sejak tahun 1946. (Pdt MSM Panjaitan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar