MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN BAPTISAN
Biasanya
dalam ajaran gereja Protestan, Firman
dan Sakramen adalah merupakan “means of grace” (alat-alat anugerah). Tetapi
secara praktis, gereja Protestan memberi tekanan yang sangat berat akan arti
Firman, karena Sakramen selalu ditafsirkan sebagai “Firman yang kelihatan”, Firman yang konkrit, yang dapat
dijamah atau dimakan.
Istilah
sakramen, yang berasal dari kata Latin “sacramentum”, dipakai untuk
menerjemahkan kata Yunani " musthrion” ( mysterion), yang artinya misteri atau rahasia. Kata yang dipakai oleh gereja pada mulanya untuk menyebut
perbuatan-perbuatan kudus gereja yang
dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
rahasia. Augustinus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan bahwa Sakramen
adalah Firman yang kelihatan dalam unsur duniawi bagi kita yang masih di dunia ini. Pemikiran inilah juga yang mendasari konsep Martin Luther, yang
mengatakan bahwa Sakramen adalah tindakan suci Tuhan Allah di mana unsur-unsur yang kelihatan (visible), dipergunakan sebagai saluran anugerahnya
yang tidak kelihatan (invisible). Malah
ada kecenderungan dalam aliran Protestan yang mengatakan bahwa Sakramen adalah sebahagian dari
Firman Allah.
Bagi gereja-gereja Protestan, hanya ada dua sakramen
yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sedangkan gereja Roma Katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen yaitu: 1.
Baptisan; 2. Confirmation
(Konfirmasi – peneguhan iman); 3.
Pengakuan dosa (Penance); 4.
Missa (Ekaristi – Perjamuan Kudus); 5.
Peminyakan terakhir (Final Unction) bagi orang sakit yang mau meninggal); 6.
Penahbisan Imam; 7. Nikah/ Pemberkatan Perkawinan
Bagi
bapak-bapak reformasi, lima dari
antara yang tujuh itu kurang berlandaskan Kitab Suci, sehingga tidak bisa
dikategorikan sebagai sakramen. Tetapi
walaupun gereja-gereja pengikut reformasi sama-sama mengakui hanya ada dua sakramen, tetapi gereja-gereja tersebut juga mempunyai tafsiran yang berbeda-beda mengenai makna dari sakramen itu. Misalnya bagi
Zwingli, Baptisan dan Perjamuan Kudus hanya
simbol saja.
Pembaptisan sebagai Sakramen kelahiran
baru
Sebenarnya hampir di semua agama ada upacara
yang menyerupai baptisan, walaupun tidak semuanya
dilakukan dalam bentuk air.Tujuannya ialah untuk memasukkan orang yang dibaptis
itu menjadi anggota dari persekutuan agama itu, dan orang itu telah dianggap memasuki kehidupan yang
baru yaitu hidup dari golongan orang yang membaptis itu.
Apabila Yohannes Pembaptis memberikan
baptisan pengampunan dosa, janganlah itu
disamakan dengan pembaptisan Yesus Kristus. Inilah
dasar kalangan
Protestan untuk tidak menerima ajaran dari sekte lain, seperti:
Pentakosta, yang mendasarkan
pemahamannya akan baptisan itu seperti
pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes Pembaptis. Pembaptisan Yohannes tidak
sama dengan pembaptisan Yesus Kristus,
karena pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes bukanlah merupakan alat
anugerah. Baptisan yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan murid-muridnya
dalam Mat. 28: 18-20 adalah alat anugerah, sedangkan baptisan Yohannes
hanya merupakan tanda pertobatan.
Dalam Mat. 28: 18-20, Kristus memberikan mandat kepada
murid-muridnya, yang disebut dengan “the Great Commission” (Amanat Agung). Tetapi walaupun mandat itu diberikan kepada
murid-muridnya, itu bukan berarti bahwa baptisan yang dijalankan itu
merupakan pekerjaan murid-murid
yang disuruh tersebut. Pada hakekatnya baptisan itu adalah pekerjaan Roh
Kudus, bukan pekerjaan manusia. Pekerjaan membaptiskan juga dalam rangka
menjadikan yang dibaptis itu menjadi
murid Yesus, yang setelah itu mengajar mereka
untuk melakukan apa yang telah diperintahkan (diajarkan) oleh Yesus
kepada murid-muridnya itu. Jadi memang dalam amanat itu disebut pertama adalah baptiskan, baru
ajarkan. Berdasarkan inilah boleh dibenarkan perbuatan-perbuatan gereja-gereja yang lebih dahulu membaptiskan
anak sebelum diajarkan kepada mereka. Tetapi ini memang bukan merupakan
ketentuan yang absolut bahwa lebih dahulu membaptiskan baru mengajarkan. Di
daerah-daerah Zending di mana lebih dahulu dilakukan pendekatan
orang-orang yang sudah dewasa, tentu
saja pengajaran kekristenanlah yang
lebih dahulu diberikan kepada mereka supaya dengan demikian mereka dapat memahaminya dan menumbuhkan iman kepercayaan
bagi mereka.
Tetapi hal yang lebih penting yang dapat dilihat dari Amanat Agung Tuhan Yesus di Mat. 28: 18-20
itu ialah bahwa baptisan itu diadakan
dalam perspektif “kehadiran Yesus
Kristus”, karena disana Yesus Kristus mengatakan: “ketahuilah, Aku menyertai
kamu sampai kepada akhir zaman”. Kalau begitu, para rasul
atau para pendeta di kemudian, hanyalah merupakan alat, yang memberikan
“kehadiran Yesus Kristus itu”.
Pembaptisan
itu disebut “menyelamatkan”
Dalam I Petrus 3: 20-21 disebutkan bahwa
orang yang percaya diselamatkan dengan air, yang menghunjuk
kepada keselamatan Nuh dan keluarganya. Sebagaimana Nuh
diselamatkan dengan air, demikian juga orang-orang Kristen diselamatkan melalui
baptisan. Baptisan itu dimaksudkan bukan untuk membersihkan kenajisan
jasmani, melainkan untuk memohonkan hati
nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Jadi di sini air
baptisan itu diartikan sebagai kebangkitan
Yesus Kristus.
Paulus dalam Titus 3: 5-7, mengatakan bahwa Kristus
menyelamatkan kita dengan pemandian kelahiran kembali dan pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Tidak lain tidak bukan maksudnya adalah pembaptisan. Pada hari Pentakosta, para rasul yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus itu
menganjurkan : “ Bertobatlah dan
hendaklah kamu masing-masing memberi
dirimu dibaptis dalam nama Yesus
Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” ( Kis. 2: 38).
Terang sekali nampak
di sini bahwa pengampunan dosa
itulah hakekat dari pembaptisan. Sama seperti yang disebut dalam Titus 3: 5-7 itu, pembenaran dari dosalah yang
menjadi inti dari baptisan. Roh Allah selalu berdiam di dalam hati orang-orang
yang telah diampuni dosanya untuk selalu menciptakan hidup yang baru.
Siapakah
yang akan dibaptis?
Tentu semua orang yang mau dan bersedia untuk dibaptis. Dalam Kis. 2: 39,
dikatakan: “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu
dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.” Kamu di sini meliputi tua dan muda, Yahudi dan non- Yahudi, karena seperti
dikatakan dalam I Tim. 2: 4, Tuhan Allah
menghendaki agar semua manusia selamat.
Tetapi seseorang yang diselamatkan itu harus lebih dahulu lahir dari air
dan roh ( Yoh. 3: 5). Lahir dari air dan
roh berarti baptisan. Hal itu
merupakan keharusan karena kita semuanya
adalah anak kutuk atau orang-orang yang harus dimurkai. ( band. Epes. 2: 3-5)
Siapakah
yang sewajarnya menerima baptisan?
Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
lebih dahulu sebelum baptisan diterima. Karena sekiranya syarat-syarat untuk
itu tidak ada, pada hal disebut bahwa baptisan itu mempunyai effek, maka baptisan itu akan bisa dianggap sebagai kekuatan yang
bersifat magis belaka, dan seolah-olah air dan perbuatan pendeta yang
membaptisan itu saja yang menimbulkan effek itu. Air dan baptisan itu bukan sesuatu kekuatan
magis. Dalam kitab Suci dikatakan bahwa
iman kepada Yesus Kristuslah yang
menjadi syarat utama dalam proses
keselamatan. Baptisan yang tidak
disertai oleh iman kepada Yesus Kristus, tidak berarti apa-apa. Demikian juga
penerimaan Injil tanpa
baptisan juga tidak membuahkan
apa-apa. Baptisan yang mempunyai arti ialah baptisan yang disertai oleh Firman
Tuhan dan yang diterima dengan iman. Demikian pentingnya iman, sehingga bisa dilihat bahwa
iman dari kepala penjara di
Filipi dapat merangkul (Batak: manghangkung)
keluarganya, oleh sebab mana semua anggota keluarganya dapat dibaptiskan. (Kis.
16: 31- 34). Di sini kita melihat ruang
lingkup dari iman yang mencakup bahkan
manusia yang secara azasi kita
tanggung-jawabi.
Tentang
orang-orang percaya yang tidak dibaptiskan
Tentu timbul pertanyaan, bagaimana
orang-orang percaya terhadap Kristus tetapi meninggal sebelum dibaptiskan ? Bagaimana tentang anak-anak
Kristen yang meninggal sebelum dibaptiskan? Pertanyaan ini timbul berhubung dengan Yoh. 3: 5 yang mengatakan: Seseorang tidak mungkin masuk ke dalam
Kerajaan Allah jika tidak dilahirkan
dalam air dan roh. Terhadap persoalan ini ada tiga jawaban, yaitu:
(1) Oleh karena tidak ada manusia yang dapat
menentukan saat meninggalnya, maka haruslah dilihat I Tim.2: 4, yang mengatakan bahwa Allah
menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Tetapi ayat ini jangan ditafsirkan
sebagai pembenaran akan orang-orang yang sengaja menolak Kristus. Orang yang
menganut faham universalisme keselamatan tidak boleh mengambil ayat ini sebagai
alat teologisnya. Tetapi ayat tadi sangatlah baik untuk dikenakan kepada orang-orang yang
percaya tetapi meninggal sebelum dibaptiskan. Karena bagaimana pun juga dalam
hidupnya orang itu telah diisi oleh
iman, ketika mana maut yang tidak bisa
dikontrol oleh manusia itu mengakhiri
hidupnya.
(2) Khusus mengenai anak-anak. Ingatlah Mat. 18: 14 yang mengatakan bahwa
Allah Bapa menghendaki agar salah
seorang anak yang kecil ini tidak ada yang binasa. Baik dalam konteksnya maupun di luar konteksnya, ayat ini dapat
dipegang sebagai hiburan dalam
memikirkan kunjungan maut terhadap salah seorang anak Kristen yang belum dibaptiskan. Adalah kekejaman teologis untuk
mengatakan bahwa anak yang demikian yang mati sebelum dibaptsikan tidak masuk
kerajaan Allah.
(3) Tuhan Allah dalam kemahakuasaannya tentu
dapat melahirkan kembali seseorang dalam cara yang tidak dapat dimengerti. Bahwa seseorang harus dilahirkan kembali agar dia memasuki Kerajaan
Allah memang merupakan ketentuan. Dan sepanjang yang dinyatakan kepada kita
memang baptisanlah cara melahirkan
kembali itu. Tetapi Allah lebih besar dari pada pernyataannya yang diberikan
kepada kita. Tentu ada proses lain dalam melahirkan kembali seseorang yang
meningal sebelum dibaptisklan, di luar pernyataan itu sendiri. Pernyataan Allah
yang diberikan untuk kita mengerti dan
untuk kita patuhi tidak pernah menjadi sumber
frustrasi dalam hal menghadapi persitiwa-persitiwa sulit. Kita harus sanggup membuka diri kepada adanya
cara-cara Allah bekerja di luar apa yang dinyatakan kepada kita.
Mengenai
baptisan anak-anak (Infant baptism)
Di dalam masyarakat Israel, sunatlah yang
merupakan upacara keagamaan memasukkan
seorang anak yang baru lahir ke dalam keluarga keagamaan mereka.
Penyunatan itu dilakukan pada hari ke 8 sesudah lahir, yang tentu maksudnya
selekas mungkin. Sebagaimana dalam PL
penyunatan adalah upacara penerimaan
seorang anak masuk menjadi anggota keluarga agama Yahudi, demikianlah baptisan dianggap sah sebagai upacara penerimaan masuknya anak ke dalam kekeluargaan
Perjanjian Baru. Inilah yang diandaikan oleh Kolose 2: 11-12. Dan biasanya
keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah
keberatan membaptiskan anak-anaknya. Dan
demikian juga orang-orang Kristen yang
mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya.
Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini
mempunyai persetujuan akan upacara
keagamaan (religious rite) tentang
penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak
mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen
untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu
kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa
yang tidak ada anak-anak. Artinya bangsa yang dimaksud juga meliputi
anak-anak. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada
anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak
tidak pernah di exclude (ditiadakan).
Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan
ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali
mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan
menghapuskan. Dan seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang
keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu muncul kritik dari suatu golongan Kristen
yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan
baptisan terhadap orang dewasa.
Yang paling menentang baptisan anak-anak
sesudah reformasi ialah golongan yang
mengikuti faham “Synergisme”, yaitu
suatu faham yang mengatakan manusia bekersama dengan Allah dalam
keselamatannya. Keselamatan manusia bukan hanya anugerah Allah melulu, tetapi
dalam iman itu manusia bekersama dengan Allah. Jadi menurut golongan ini
anak-anak tidak disetujui untuk dibaptiskan, karena anak-anak dianggap tidak mungkin beriman, tidak mungkin berbuat baik,
tidak mungkin dapat bekerja sama dengan Allah. Tetapi kalau kita menerima
keselamatan adalah melulu pekerjaan Allah, maka kita dapat menerima baptisan anak-anak. Kita dapat mengatakan dalam soal iman
anak-anak bisa melebihi orang-orang dewasa. Dalam Luk.18:
17, Tuhan Yesus mengatakan : “Sesungguhnya
barangsiapa tidak menyambut Kerejaan Allah seperti seorang anak kecil,
ia tidak akan masuk ke dalamnya”. Istilah yang dipakai untuk anak kecil dalam
Luk. 18: 15-17, bukan hanya “paidion” (paidion), tetapi juga “brejh” (brephe).
Dalam bahasa Yunani “brejh” bahkan
meliputi anak yang masih dalam kandungan. Dalam teks ini Kerajaan Allah meliputi “brejh” juga.
Anak-anak tidak usah harus menjadi dewasa dulu
baru memasuki Kerajaan Allah, karena orang-orang dewasa pun harus menerima
Kerejaan Allah seperti anak-anak. Dan dalam Mat. 18: 3 , lebih positif lagi
dikatakan, di mana Yesus mengatakan: “
Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu
tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.
Memang semuanya problem ini adalah
berkisar di sekitar arti dari iman. Pihak yang tidak menerima baptisan anak-anak, alasannya
selalu bahwa anak-anak belum mempunyai iman. Tetapi kita
meragukan pikiran yang mengatakan bahwa seorang anak kecil belum mempunyai iman, karena dalam Mat. 18: 6, Yesus
mengatakan bahwa anak kecil juga sudah percaya kepada Yesus. Yang menjadi persoalan
adalah apakah hakekat dari iman. Adalah
kurang hati-hati apabila ada ahli-ahli teologi mengertikan iman sebagai pengetahuan, atau keyakinan (batak: pos ni roha) di dalam arti disadari. Pemahaman yang demikian telah membatasi pengetahuan dan keyakinan dalam batas kesadaran.
Tetapi kita kurang menyetujui pendapat yang demikian, karena kalau demikian
halnya, bagaimana nasib orang-orang
Kristen yang menjadi gila atau hilang
kesadarannya, apakah mereka sudah di luar Kerajaan Allah. Memang kita akui
bahwa keyakinan dan pengetahuan yang disadari adalah penting, tetapi itu bukan
merupakan hakekat dari iman. Secara negatif bahwa hakekat dari “ketidak
percayaan kepada Allah adalah menolak Allah”. (Kis. 7: 5 : menghalangi Roh Kudus; Ibrani 3: 8 –
mengeraskan hati. Dalam diri orang-orang
percaya, Roh Kudus merombak penolakan kemanusiaan dari orang-orang percaya itu,
tanpa merusak kepribadian orang yang bersangkutan. Dan inilah yang dilakukan
oleh Roh Kudus dalam pemberitaan Firman dan dalam baptisan. Sifat menolak Allah
dari manusia itu dirombak oleh Roh Kudus, agar orang itu dimungkinkan menerima
anugerah Allah. Jadi secara positif hakekat iman itu ialah : “Created
receptiveness of the grace of God”
(sifat menerima yang diciptakan Roh Kudus akan anuegrah Allah; bd. Epes. 2: 8 – iman bukan hasil usaha
manusia tetapi adalah pemberian
Allah). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa iman itulah sifat dari hidup baru yang diterima di dalam kelahiran baru
itu. Dalam Titus 3: 5, dikatakan bahwa
penyucian kelahiran baru itu dan juga pembaharuan dari hidup itu adalah
melulu pekerjaan Roh Kudus. Jadi kalau
demikian halnya maka anak-anak juga mesti dibaptiskan, agar dia juga dimungkinkan menjadi
orang yang sanggup menerima Roh Allah.
Sejajar dengan kenyataan ini ialah bahwa
pemberontakan terhadap Allah adalah
karakteristik dari orang-orang dewasa yang di luar Kerajaan Allah. Tetapi
sifat seperti itu tidak mungkin menjadi
karakteristik dari anak-anak. Memang sewaktu
anugerah Tuhan menyentuh anak-anak, di dalam anak-anak itu juga anugerah menjumpai resistensi (perlawanan) yang tidak disadari, oleh karena
anak-anak juga lahir dalam “sarx” (daging) .(
Di dalam Yoh. 3: 6, dikatakan: “Apa yang
dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah
roh”). Tetapi resistensi dari anak-anak
bukanlah resistensi yang disadari dan bukan resistesnsi yang dikehendakinya.
Dalam hal ini anugerah Tuhan yang dimeteraikan oleh Roh Kudus dalam iman dengan
sendirinya mendobrak resistensi yang tidak disadari oleh anak itu.
Pada hakekatnya iman kepada Tuhan adalah
keterbukaan yang mengakibatkan kesanggupan untuk menerima angerah Allah. Ini
penting dikatakan dengan berhati-hati, sedangkan bagi orang-orang dewasa iman
itu pada hakekatnya bukanlah tindakan yang disadari. Kesadaran bukan dalam semua waktu dan dalam segala keadaan.
Seandainya kesadaran itulah yang menjadi
ukuran dari iman, maka boleh sewaktu dalam tidur atau pingsan, kita tidak beriman. Iman itu ada di dalam hidup
baru yang bukan merupakan buah dari usaha manusia. Dan dalam hidup baru itu
kita bisa bertindak secara sadar, tidur,
pingsan, tanpa mengurangi pengetahuan
yang diberikan oleh Tuhan Allah. Memang
aspek hidup yang tergolong di dalam iman
yang dewasa, umpamanya pengetahuan teologi, pengertian Kristen, keyakinan
Kristen, sukacita, kesabaran, memang sangat penting sekali artinya dalam
pertumbuhan kerohanian seseorang. Tetapi itu bukanlah hakekat dari iman,
melainkan buah dari iman. (Lihat. Gal. 5: 22).
Dengan demikian baptisan anak
mendapat tempat yang terpenting dalam hidup gereja (Pdt MSM Panjaitan).