Selasa, 21 Desember 2021

SEJARAH POHON CEMARA DIJADIKAN POHON NATAL BAGI UMAT KRISTEN

 

SEJARAH POHON CEMARA DIJADIKAN POHON NATAL BAGI UMAT KRISTEN

 

      Perayaan Natal adalah salah satu perayaan kristen yang besar yang merayakan kelahiran Jesus ke dunia ini. Perlu dipahami bahwa yang yang dirayakan bukan "hari kelahiran-Nya", karena hari kelahiran-Na tidak bisa lagi diketahui dengan pasti. Tetapi yang dirayakan adalah kelahirannya itu sendiri yang pasti terjadi di tengah-tengah umat manusia dan dunia sesuai dengan kesaksian Kitab Injil. Kelahiran Yesus itu kemudian disebut Natal, yang dalam bahasa Latin artinya lahir atau kelahiran.

        Dalam menyambut perayaan Natal itu biasanya umat Kristen umumnya menghiasi rumahnya dan juga gereja dengan "pohon natal", yang kadang- kadang juga disebut "pohon terang" karena pohon itu dihiasi dengan lilin atau dalam zaman modern ini dengan bola-bola lampu listrik yang gemerlapan.

          Pohon Natal itu aslinya dibuat dari pohon cemara atau pohon pinus.Tetapi dalam zaman modern ini karena berbagai pertimbangan tetutama tuntutan untuk memelihara lingkungan dan tidak merusak hutan atau pepohonan maka pohon cemara itu diganti dengan tiruannya yang terbuat dari bahan plastik atau bahan lainnya yang tidak membahayakan.

         Kebiasaan membuat pohon cemara sebagai simbol Natal dan menghiasinya dengan berbagai pernak-pernik dalam sejarahnya diketahui berawal dari bangsa Jerman pada abad 16 M. Ada sebuah cerita yang mengisahkan kejadian saat Martin Luther, tokoh Reformasi Gereja di Jerman, sedang berjalan-jalan di hutan pada suatu malam. Terkesan dengan keindahan gemerlap jutaan bintang di angkasa yang sinarnya menembus cabang-cabang pohon cemara di hutan, Martin Luther menebang sebuah pohon cemara kecil dan membawanya pulang pada keluarganya di rumah. Untuk menciptakan gemerlap bintang seperti yang dilihatnya di hutan itu, Martin Luther memasang lilin-lilin pada tiap cabang pohon cemara tersebut.

Sejak itu maka umat Kristen di Jerman bahkan kemudian di seluruh dunia memakai pohon cemara yang dihiasi dengan lilin dan pernak- pernik yang indah sebagai simbol Natal bahkan kemudian disebut sebagai pohon Natal

 

       Pohon Natal yang dibuat dari pohon cemara itu melambangkan "kehidupan yang kekal". Ini disebabkan karena Natal yang dirayakan pada setiap 25 Desember,  yang pada saat itu  musim salju sedang melanda belahan dunia bagian utara, termasuk Eropa. Pada saat musim salju itu hampir semua pohon daunnya rontok berguguran. Satu-satunya pohon yang tidak mengalami kerontokan dan daunnya tetap hijau di musim salju itu adalah pohon cemara. Pada daun-daun pohon cemara itu hinggap serangga-serangga ( kunang-kunang) yang  dapat memancarkan cahaya  berkedap-kedip yang indah sekali  pada malam hari.

Itulah sebabya bangsa Jerman memakai pohon cemara itu sebagai simbol Natal, yang berarti simbol kehidupan yang penuh harapan baru.

 

         Kalau ditelusuri lebih jauh ke belakang, jauh sebelum lahirnya umat Kristen, pohon cemara  sepanjang tahun juga telah memiliki arti khusus bagi banyak orang yang tinggal di daerah  yang mengalami musim salju. Pada saat itu  mereka biasa menghias rumah dengan pohon cemara tersebut. Konon, cemara ini diyakini oleh mereka untuk mengusir dan menjauhkan roh-roh jahat, iblis, serta penyakit.

Hingga kini pohon cemara telah dipajang selalu pada saat perayaan  Natal. Seolah- olah perayaan Natal tidak ada tanpa pohon Natal tersebut lagi. Dan kini bahkan sejak awal Desember, pohon Natal tersebut berdiri megah dan indah selain di gereja juga di pusat keramaian mulai dari mal, perkantoran hingga restoran dan kafe serta di rumah-rumah mereka yang merayakan Natal. Pohon Natal pun jadi simbol perayaan hari Natal yang penuh kedamaian. Karena itu marilah kita rayakan Natal itu dengan sederhana, kudus, hikmat, dan penuh kedamaian dan kasih,  tanpa mengurangi sukacita surgawi yang dibawakan oleh Yesus itu. Selamat menyambut Natal (Pdt MSM Panjaitan, MTh)

Jumat, 05 November 2021

KEBEBASAN KEHENDAK

 

KEBEBASAN KEHENDAK

 

Kita sering mendengar pertanyaan: Mengapa Allah membiarkan manusia jatuh ke dalam dosa, yang telah menyebabkan terjadinya berbagai tindak kejahatan di dunia ini, dan bahkan menyusahkan manusia ciptaannya itu sendiri? Bukankah Allah bisa mencegah supaya manusia itu jangan sampai berbuat dosa, sehingga manusia itu bisa hidup dengan tenteram, damai sejahtera tanpa adanya kejahatan ? Manusia yang berharap untuk hidup dalam dunia tanpa kemungkinan adanya kejahatan, sedang mengharapkan bahwa dirinya tidak ada sama sekali. Alasannya ialah bahwa salah satu karunia terbesar yang Allah berikan kepada manusia adalah kebebasan kehendak. Manusia diciptakan bukanlah seperti robot yang tidak mempunyai kebebasan kehendak dan yang tidak mempunyai tanggung-jawab. Dengan kebebasan kehendak, manusia bisa memilih ya atau tidak dan kapasitas itu membuka hal-hal yang menakjubkan bagi diri manusia itu yaitu: cinta (kasih), rasa percaya dan relasi yang tulus dengan Allah dan sesama manusia. Sayangnya kapasitas yang menakjubkan dan baik itu, juga menjadikan manusia mampu melakukan yang jahat, meski kapasitas itu tidak memberi izin bagi dirinya untuk melakukan dosa atau kejahatan. Untuk itu manusia tetap bertanggung-jawab atas keputusan yang diambil dengan kebebasan kehendak yang dimiliki.

Sejajar dengan pertanyaan di atas, ada juga yang mempertanyakan mengapa Allah membiarkan virus corona menyebar di tengah-tengah dunia ini, yang telah menyusahkan dan membunuh banyak manusia itu sendiri. Bukankah Allah juga yang menguasai virus corona itu dan berkuasa melenyapkannya dari muka bumi ini? Kita manusia memang tidak bisa memahami semua rencana dan maksud Allah atas ciptaannya dan kehidupan kita. Tetapi kita yakin Allah dapat mendatangkan kebaikan di tengah-tengah keburukan pandemi ini. RancanganNya tidak bisa digagalkan oleh apapun, termasuk oleh virus corona, meskipun sulit bagi kita untuk menerima dalam masa krisis ini. Pada saat yang sama, kita tetap bertanggung-jawab atas respons kita terhadap krisis yang ditimbulkan pandemi ini dan terhadap sesama, sebab Allah memberi kita kebebasan kehendak untuk merespons (MSM PANJAITAN).

 

KONTINUITAS (KESINAMBUNGAN) DARI JABATAN KEPEMIMPINAN GEREJA

 

Kontinuitas (kesinambungan) dari jabatan kepemimpinn gereja
 
Di dalam gereja Roma Katolik, Gereja Orthodox dan Gereja Anglikan ada pengertian dan pengajaran yang menekankan “successio apostolica”  (pewarisan jabatan rasul).  “Successio apostolica” adalah suatu  warisan dari gereja mula-mula, di mana ditetapkan bahwa jabatan uskup sebagai pengganti jabatan rasul.  Dalam gereja yang mengikuti tradisi ini,  diajarkan bahwa: anugerah yang istimewa dan otoritas untuk memimpin dan mengajari  diserahkan oleh Yesus Kristus kepada rasul-rasulnya, dan dari rasul-rasul yang pertama itu diturunkan kepada uskup-uskup yang pertama, dan demikian  seterusnya  kepada uskup-uskup  berikuitnya. Inilah yang menjamin kontinuitas dari jabatan, pelayanan Firman, Sakramen dan tugas Pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja. Kontinuitas itu tidak boleh terputus-putus. Kebanyakan gereja Protestan  kurang mementingkan garis  succession” (rangkaian) yang demikian. Mereka menekankan pentingnya garis yang berhubungan dengan Tuhan Allah sendiri secara langsung. Dikatakan bahwa “pemberitaan yang benar akan Injil atau Firman Allah” dan “pelayanan yang benar akan Sakramen’ itulah yang menghubungkan gereja itu langsung kepada kepala gereja yaitu Kristus. Roh Allah selalu bekerja di luar pengertian succession yang ditonjolkan oleh pengajaran “succesio apostolica” itu.
Ada tiga  pemikiran yang berbeda mengenai hubungan antara gereja dengan kepala gereja itu.  Pada satu pihak  tergolong dalam gereja-gereja yang  menekankan “successio apostolica”  seperti  Roma Katolik, Orthodox , Anglikan,  dan pada pihak lain yang tidak mengakui sama sekali adanya unsur yang diwariskan melalui para rasul tetapi berhubungan langsung dengan Kristus seperti dianut  oleh Free Church,  dan ada juga golongan yang mengakui   ke dua-duanya, baik warisan rasuli maupun hubungan langsung dengan Kristus seperti dianut oleh gereja-gerela Lutheran dan Calvinis.  Adanya perbedaan-perbedaan pikiran tersebut adalah disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda-beda mengenai gereja itu sendiri.
 
1.      Pendapat dari Roma Katolik
 
Menurut pemahaman Roma Katolik, kepada gereja itu diberikan atau dianugerahkan oleh Kristus tiga kuasa yang besar, yaitu:
§  Kuasa kenabian untuk mengajar secara tidak salah
§  Kuasa keimaman untuk menyampaikan anugerah Allah melalui sakramen
§  Kuasa Raja, untuk  merajai atau memimpin   warga gereja dalam hal-hal yang menyangkut hidup beriman dan moral, dan akhirnya juga menguasai dunia.
 
Ketiga kuasa ini pada akhirnya bersatu menjadi satu hakekat, karena sumbernya adalah satu yakni Kristus sebagai  Tuhan dan Kepala Gereja. Gereja itu sebagai pelaksana kuasa-kuasa keilahian itu tidak mungkin diperbaharui, karena gereja itu  selalu baik, kudus dan tidak berdosa dalam hakekat keilahiannya. Oleh sebab itu terhadap gereja semua warganya  harus patuh secara absolut tanpa pertanyaan.  Itulah sebabnya gereja itu sering disebut “holy mother” (ibu suci)  bagi anggota-anggotanya. Gereja itu menurut RK, walaupun dalam bentuk organisasi yang kelihatan dan dalam sifatnya yang institusionil, mempunyai sifat-sifat Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang melepaskan dan tindakan Allah kepada dan diantara manusia disalurkan melalui gereja Katolik.
Imam-imam sebagai pribadi masih mungkin jatuh ke dalam dosa. Tetapi ke-imaman (priesthood) itu adalah bersih, kudus dan tidak mendapat cela apa-apapun. Ini seiringan dengan ide bahwa gereja itu pada hakekatnya yang asli bukan lagi di bawah “judgement” (penghakiman) dari Allah.  Seseorang bisa saja mengkritik pribadi-pribadi dari Imam, tetapi gereja sebagai gereja tidak boleh disentuh apalagi dikritik, karena gereja itu adalah tubuh yang kudus, ibu dari orang-orang percaya. Karena itu gereja tidak membutuhkan fikiran dari para anggotanya. Yang penting ialah bahwa gereja bertindak untuk anggota. Bagaimana anggota berfikir dan merasakan sesuatu kurang perlu. Yang perlu ialah hukum-hukum yang diberikan gereja kepada anggota untuk dilaksanakan. Inilah dasar-dasar apostolis dari hierarkhi  gereja RK.
 
2.      Pendirian Protestan Klasik (reformasi)
 
Yang kita maksud dengan Protestan Klasik ialah gereja-gereja Lutheran dan Reformed (Calvin) yang berasal dari reformasi Jerman dan Swiss. Sejak mulanya ke dua golongan gereja ini mengalami hubungan yang erat dan bersatu dalam banyak hal. Perbedaan yang terus ada sampai sekarang adalah mengenai soal Perjamuan Kudus. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pada abad 20 yang mencoba memperdamaikan ke dua  aliran gereja itu tentang Perjamuan Kudus. Ada indikasi bahwa saling pengertian antara satu sama  lain  makin  timbul.
§  Pengertian fundamental yang umum terdapat di dalam ke dua denominasi gereja itu mengenai Gereja  adalah demikian: Gereja itu bukan di atas “judgement” (penghakiman) Allah dan bukan tidak berdosa. Oleh karena ia adalah hamba dari Tuhan Allah, maka gereja harus selalu dinilai dari hukum sesuai dengan kesetiaannya kepada Firman  Tuhan.
§  Diakui selalu bahwa Firman Allah lebih dahulu ada dari pada gereja. Oleh karena itu ke dua-duanya tidak pernah setaraf. Jadi kalau bagi gereja RK, gereja itu tidak boleh diperbaiki ( irreformable), kebalikannyalah yang terdapat dalam pendirian Protestan Klasik, yaitu bahwa gereja harus terus menerus diperbaiki (diperbaharui), sesuai dengan keharusan gereja untuk setia kepada Firman Tuhan. Suatu kebiasaan atau aturan gereja yang nyata tidak sesuai dengan Firman Tuhan harus dirombak. Dengan demikian timbul prinsip:  “ecclesia reformata semper reformanda” artinya gerja yang sudah diperbaiki harus selalu memperbaiki dirinya. Atau gereja yang memperbaiki, harus selalu diperbaiki.
 
Dengan demikian jelas bahwa Firman Allahlah yang menjadi ukuran dalam segenap hidup gereja. Timbul pertanyaan bagaimana Alkitab yang tertulis berhubungan dengan Firman Allah dan bagaimana Alkitab itu bisa menjadi ukuran untuk mereformasi gereja. Mengenai soal ini Luther berbeda pendapat dengan para reformator Swiss. Luther dalam penilaiannya agak lebih konservatif karena dia merobah aspek-aspek dalam hidup gereja hanya yang terang-terangan bertentangan dengan Alkitab. Sedangkan para reformator Swiss merombak apa saja yang tidak disebut oleh Alkitab.
Pada abad-abad selanjutnya beberapa golongan Protestan yang fundamentalis mengidentifikasikan Firman Allah  dengan kata-kata yang tertulis dalam Kitab Suci dengan dasar kepercayaan bahwa Firman Allah adalah hasil dari ‘verbal inspiration” (pengilhaman secara lisan). Aliran fundamentalisme demikian memang sampai sekarang masih populer dikalangan Protestan, apalagi di kalangan Protestan yang berada dalam negara-negara yang sudah berkembang. Makin kurang sanggup orang berfikir secara teologis, makin mudah dia jatuh kepada cara berfikir  fundamentalisme.
Golongan lain di kalangan Protestan yang bukan fundamentalis mengatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah dalam pengertian bahwa Kitab Suci mengandung Firman Allah. Dengan demikian tidak semuanya  unsur dalam Kitab Suci itu identik dengan Firman Allah.
Konsensus yang terakhir di dalam teologi Protestan masa kini nyata sekali dipengaruhi oleh pandangan Karl Barth dalam idenya tentang: teologi dan Firman. Menurutnya arti pertama dari Firman Allah ialah Kristus sendiri selaku logos Allah.  Arti kedua dari Firman Allah itu ialah Kitab Suci yang menghunjuk kepada Kristus itu. Dan arti ketiga ialah segala khotbah dan pengajaran yang mengenakan kesaksian Alkitab itu kepada situasi dari tiap generasi dalam bimbingan Roh Kudus. Biasanya dalam kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firmanlah yang dianggap sebagai alat anugerah yang terutama, walaupun sebenarnya Luther dan Calvin mengajarkan dua norma dari gereja yang benar itu yakni: di mana Firman Allah diberitakan secara benar dan sakramen dilayani secara benar.  Oleh karena dalam norma itu disebut pemberitan Injil atau Firman yang pertama sekali, maka dalam prakteknya gereja Protestan mengutamakan Injil atau Firman itu. Ini disaksikan pula akan pengertian Augustinus yang mengatakan bahwa Sakramen itu adalah “Firman yang dapat dilihat atau Firman yang dibuat nyata.  Jadi dalam pemberitaan Injil, Firman lah yang menjadi intinya; dan di dalam sakramen sebagai “verbum visible”,  Firmanlah juga yang menjadi intinya. Itulah sebabnya di kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firman diutamakan, dan  Alkitab sebagai pusat dan dasar dari segala aktifitas  gereja.
 
Satu lagi perbedaan Protestan Klasik dan RK ialah soal tempatnya iman. Sebenarnya RK memang tidak menghapuskan begitu saja aspek  subjektif dari iman, tetapi mereka lebih mementingkan aspek  objektif dari iman itu, yaitu dengan mempercayai bahwa yang terpenting ialah apa yang diberikan kepada orang-orang percaya melalui gereja. Pengutamaan ini sedemikian rupa, sehingga kurang jelas nampak gunanya response dari kepercayaan  sebagai aspek yang subjektif dari iman. Sedangkan bagi Protestan, dengan rumusan “justification by faith” (pembenaran oleh iman), baik aspek objektif mapun aspek subjektif sama-sama mendapat tekanan, walaupun sering kelihatan aspek subjektif yang lebih menonjol. Orang percaya telah dibenarkan oleh Kistus adalah aspek objektif dari iman. Tetapi orang beriman itu harus mengadakan respons kepada pembenaran itu. Respons itulah aspek subjektif dari iman. Dia harus bertobat dan harus berbuat baik, walaupun usaha berbuat baik itu bukan sebagai satu bagian dari proses penyelamatan. Maka boleh dikatakan bahwa selain dari pada pemberitaan Injil secara objektif, dan sakramen, maka iman, doa, perbuatan baik, juga dipandang oleh golongan Protestan sebagai alat-alat anugerah. Subjketifitas dari iman berada dalam ruang lingkup objektifitas dari anugerah. Kemungkinan untuk berbuat baik adalah juga anugerah.
 
3.      Ide dari Free Church
 
Free Church bukan saja berarti bahwa gereja yang bersangkutan membiayai diri sendiri sebagai lawan dari gereja yang terikat dan dibiayai oleh negara. Dan bukan hanya berarti bahwa gereja yang bersangkutan mempunyai teologi liberal, walaupun tentunya orang-orang dari kalangan Free Church ini menolak segala  rumusan-rumusan pengakuan iman sebagai ukuran dari kebenaran. Juga bukan hanya berarti bahwa mereka tidak mempunyai suatu kontrol dari pimpinan pusat saja. Semuanya yang disebut di atas memang adalah hasiat dari Free Church, tetapi hasiat yang utama ialah bahwa Free Church adalah pemprotestanan dari agama Protestan (Protestantation of Protestant religion). Dengan kata lain, hidup dari gerja Protestan klasik dibongkar dan dipebaharui, baik dalam hal yang menyangkut organisasi maupun pengajaran.
Sebenarnya adalah sukar untuk membuat suatu rumusan yang meliputi badan-badan yang tergolong Free Church yaitu: Quakers, Bretheren, Mennonites, Bapptist, Congregationalist, Disciple, dan berbagai  badan lain yang tersebar di dunia barat terutama di Inggris dan Amerika. Tetapi mungkin jugalah merumuskan pandangan-pandangan mereka yang agak bersamaan  mengenai arti gereja dan alat-alat anugerah, yang menjadi dasar dari ikatan-ikatan mereka satu sama lain. Menurut mereka bahwa di dalam PB sudah jelas bahwa gereja itu adalah suatu persekutuan, bukan suatu institut organisatoris. Dan persekutuan itu bukanlah buatan manusia, tetapi persekutuan dalam bimbingan atau pimpinan Roh Kudus. Tidak ada manusia yang menjadi anggota persekutuan itu melalui pembaptisan. Hanyalah orang-orang yang telah bertobat yang menjadi anggotanya.
Dan menurut mereka kehadiran Kristus janganlah dicari di dalam pelayanan sakramen dan bukan di dalam pemberitaan Firman tetapi hanyalah di dalam persekutuan yang berkumpul. Firman itu memang masih penting, tetapi bukan Firman seperti yang dikhotbahkan, yang diajarkan dan yang terdapat dalam  Katekismus  serta dalam pengakuan iman. Firman itu ada, kedengaran dan berkuasa hanya melalui inspirasi dari Roh Kudus sewaktu orang-orang percaya membaca, mendengar dan bermeditasi.
Di dalam Free Church, baptisan tidak pernah diartikan sebagaimana diartikan oleh Protestan Klasik. Baptisan itu menurut mereka terutama adalah kepatuhan iman seorang percaya di dalam mana ia bersaksi secara publik tentang hidup  baru orang beriman (subjektif bukan objektif), bukan sebagai pekerjan Allah, Roh Kudus dan Yesus Kristus.  Demikian juga halnya dengan Perjamuan Kudus. Ini juga terutama dianggap sebagai tindakan persekutuan di dalam mana jemaat itu secara bersama bersaksi tentang persekutuan  di dalam Roh yang telah dialami. Pengertian ini lebih jelas kelihatan dalam golongan “Society of friends” ,  yang sama sekali tidak mempunyai sakramen secara formil dan tidak mempunyai pendeta yang ditahbiskan. Yang mereka hayati ialah pengertian jemaat sebagai persekutuan di dalam Roh.
Free Church  sekarang ini makin berkembang. Tetapi anehnya di dalam perkembangannya struktur kegerejaanya tidak jelas. Kuasa dan hak gereja setempat sekarang ini makin tipis, diperbandingkan dengan keadaan mereka bermula. Makin lama mereka juga makin cenderung  masuk ke pada struktur-struktur institut. Dan makin lama mereka juga makin menyamai Protestan Klasik dalam struktur organisasi. Dengan kata lain mereka makin menghendaki adanya kontrol dari pusatnya.
Contoh: gereja  Baptis dan Congregational. Dulu pada mulanya Kantor Pusat mereka tidak berhak mengatakan sesuatu  kepada setiap jemaat setempat. Kantor pusat kebanyakan hanya berfungsi sebagai pelaksana saja dari keputusan-keputusan gereja setempat. Tetapi belakangan ini kantor Pusat mereka makin mempunyai banyak kuasa dan kontrol terhadap jemaat setempat. Tetapi contoh yang lebih jelas adalah dalam gereja Methodis. Pada permulaannya gereja methodis sungguh-sungguh hidup sebagai Free Church, di mana jemaat setempat sajalah yang berkuasa atas dirinya. Tetapi sekarang struktur gereja Methodis sudah sama dengan struktur gereja Protestan Klasik. Mereka malah sudah mempunyai bishop.
 
Sebenarnya tiga pendirian yang disebut di atas bukan tidak dapat disatukan dalam satu badan. Umpamanya di Inggris gereja Anglikan yang sebenarnya bersifat Episkopal dan gereja Methodis yang sebenarnya bersifat Free Church bergabung dalam suatu badan gereja. Demikian juga gereja-gereja di India Selatan mempersatukan  ketiga pendirian itu dalam satu badan gereja, sehingga  terbentuk satu gereja yang bernama ‘ The Church of South India” (Gereja India Selatan). Ini adalah ssebagai hasil dari gerakan oikumenis di sana.
Gerakan-gerakan oikumenis  yang berkembang sekarang ini  nampaknya menganjurkan adanya sruktur  gereja yang demikian yakni: adanya struktur pusat yang bertalian dengan struktur-struktur lain di sekitarnya dan tiap-tiap struktur juga mempunyai  hubungan komunikasi di antara sesamanya. Tetapi belum jelas  dalam arti apa struktur pusat itu berada di pusat. (MSM  PANJAITAN)
 

Kamis, 04 November 2021

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS

 

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN PERJAMUAN KUDUS

 

Kalau  Pembaptisan disebut “Sakramen kelahiran baru” (Sacrament of Regeneration), maka Perjamuan Kudus disebut   “Sakramen Penyucian” ( Sacrament of Sanctification). Sakramen kelahiran baru adalah sama dengan “ Sakramen pembenaran” (Sacrament of Justification).  Penyucian atau Sanctification adalah hidup yang sesuai dengan pembenaran itu. Dalam kitab Suci , ada  empat buku yang memberitakan tentang Perjamuan Kudus, yaitu:  Markus 14: 22-24; Luk.22: 19-20;  Mat.26: 26-28, dan I Korint 11: 23-26.  Bahan-bahan atau sumber-sumber liturgi (agenda) dari gereja –gereja Kristen untuk Perjamuan Kudus  adalah kombinasi dari empat teks tersebut.

Ada tiga faktor yang harus diingat dalam Perjamuan Kudus, yaitu:

(1)   Bahwa Perjamuan Kudus adalah perbuatan Allah sendiri  (divine institution)

(2)   Dalam Perjamuan Kudus  terdapat “Unsur-unsur yang dapat dilihat”  (Visible elements)

(3)   Dalam Perjamuan Kudus terdapat anugerah Allah yang tidak kelihatan  (invisible  gifts)

 

Persoalan mengenai  “the real presence” (kehadiran yang nyata)

 

Ini adalah istilah  yang dipakai oleh  Martin Luther, yang  maksudnya, kehadiran yang nyata dari Kristus dalam Perjamuan Kudus. Pengajaran Martin Luther mengenai “:the real presence dari Kristus membuat pengajarannya berada di di antara pengajaran Roma Katolik dan  pengajaran bapak-bapak reformator yang lain. Menurut pengajaran RK, anggur dan roti secara  hurufiah telah  benar-benar berobah menjadi darah dan daging  Kristus setelah imam yang melayani telah mengucapkan kata-kata  liturginya, yang mengikuti kata-kata yang diucapkan oleh Tuhan Yesus dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya. Hal itu terjadi sedemikian berdasarkan pengertian “ex-opere operatio”  (secara otomatis bekerja). Karena adanya keyakinan bahwa zat dari roti dan anggur itu telah benar-bnar berubah menjadi daging dan darah Kristus, maka segala sisa  dari roti dan anggur itu tidak boleh dibagi-bagikan, tetapi harus disimpan atau dimakan sendiri oleh  imam atau pendeta yang melayani. Pengajaran Roma Katolik  yang demikian disebut  “transubstansiasi”. Dalam diri orang-orang yang menerima Perjamuan Kudus,  roti dan anggur itu telah  benar-benar berubah menjadi  daging dan darah Kristus. Dan yang dimaksudkan dengan daging adalah sama dengan tubuhnya yang disalib kan dulu. Bagi Martin Luther, roti dan anggur itu juga telah menjadi  daging dan darah Kristus, tetapi  bukan tubuh yang disalibkan dulu, tetapi adalah  tubuh yang telah dimuliakan.

 

            Pada pihak ekstrem  lainnya, beberapa aliran  gereja Reformasi yang mengikuti  pengajaran Zwingli mengajarkan bahwa  roti dan anggur itu hanya merupakan simbol dari daging dan darah Kristus, yang oleh karena itu  Perjamuan Kudus hanya dianggap sebagai peringatan (remembrance) saja.  Kata ‘ adalah  ( esti ) ‘  dalam ungkapan “Ini adalah tubuhku”  hanyalah dalam pengertian menyimbolkan saja  (symbolizes).

 

            Calvin mempunyai tafsiran dan pengajaran yang lebih kaya, yang boleh dikatakan agak mendekati pengajaran Martin Luther, walaupun memang pengajaran mereka harus dibedakan. Bagi  Calvin Perjamuan Kudus itu lebih dari ingatan saja. Dikatakan bahwa  roti dan anggur itu menjadi makanan kerohanian bagi oang-orang percaya dan menjadi pemberitaan  tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Tetapi tidak ada pengajaran Calvin tentang kehadiran yang nyata dari tubuh dan darah Yesus Kristus  di dalam roti dan anggur itu. Kalaupun dikatakan bahwa Yesus Kristus hadir dalam Perjamuan Kudus itu, kehadirannya adalah sama saja dengan kehadiran di dalam persekutuan orang-orang percaya, tidak ada kekhusususan dari Perjamuan Kudus. Memang Calvin sengaja tidak menyebutkan kehadiran nyata dari Yesus Kristus dalam Perjamuan Kudus itu. Karena menurut pengertian falsafah Calvin, Allah tidak mungkin masuk ke dalam materi. Dualisme dari filsafat Calvin selalu  berusaha mempertahankan pertentangan keilahian terhadap benda-benda material. Karena itu Kristus yang telah dimuliakan tidak mungkin masuk lagi  dalam benda-benda  material yang fana. Inilah dasar  falsafah dari  Calvin di dalam pengertiannya  mengenai Perjamuan Kudus.  Baginya pengajaran yang mengatakan adanya kehadiran Kristus yang dimuliakan dalam unsur duniawi seperti roti dan anggur adalah suatu penyelewengan teologis.

 

            Bagi Martin Luther pengertian Calvin itu sangat miskin. Menurut dia, inilah keagungan dari Tuhan Allah, bahwa walaupun dia bersifat kekal, dia berhak dan sanggup masuk di dalam dunia benda-benda. Peristiwa  kehadiran Kristus ke dunia ini sampai kepada kematiannya, adalah justeru peristiwa masuknya Tuhan Allah ke dalam dunia benda-benda dalam bentuk manusia. Dengan kata lain, Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga, hadir juga dalam persitiwa-peristiwa dunia yang fana. Demi untuk menekankan bahwa Yesus Kristus yang telah dipermuliakan, menyokong Perjamuan Kudus (karena Yesus Kristus sendirilah yang telah menetapkan Perjamuan Kudus itu), maka Martin Luther memakai istilah “ di dalam” (in),  “bersama” (with), dan “di bawah” (under). Jadi dengan mengatakan bahwa  daging dan darah Kristus ada  di dalam, bersama, dan dibawah” roti dan anggur, dia hanya menekankan bahwa Kristus yang dipermuliakan itu menyokong unsur-unsur yang duniawi ini menjadi sesuatu yang banyak arti dan luas. Dengan akta lain, kehadiran Kristus dalam roti dan anggur,  itu sajalah yang dimaksudkan dengan istilah-istilan tersebut di atas. Tetapi janganlah pula istilah-istilah itu ditafsirkan secara hurufiah. Selanjutnya Martin Luther mengatakan bahwa apabila kita memberikan air kepada seseorang yang haus, kita memberikan air yang sesungguhnya, bukan lambang atau simbol dari air itu. Demikian juga apabila kita memberikan roti bagi orang yang lapar, kita bukan memberikan lambang atau simbol dari roti itu. Demikianlah halnya, apabila Kristus mengatakan, makanlah inilah tubuhku, dan minumlah inilah darahku, dia bukan memberi simbol saja, tetapi  dia  memberi tubuh dan darahnya yang sesungguhnya. Pemahaman inilah yang mendorong Luther memakai ketiga istilah tadi  (in, with, under), dengan tidak jatuh kepada pengertian gereja Roma Katolik.

 

            Martin Luther dalam teologianya juga mendasarkan dirinya kepada  Paulus yang mengertikan cawan sebagai partisipasi di dalam darah Kristus, dan roti sebagai partisipasi dalam tubuh Kristus  ( bd I Kor. 11: 26 dst.). Malah partisipasi inilah yang menjadi dasar “koinonia’ (persekutuan) dengan Allah dan sesama manusia. Jadi dapat dimengerti bahwa M.Luther mengalaskan pengajarannnya pada pengajaran Paulus. Oleh sebab itu pengajaran Martin Luther tentang “the Real presence” dari Yesus Kristus, janganlah ditafsirkan seolah-olah kehadirannya secara fisik. Kehadiran itu adalah kehadiran Kristus yang dipermuliakan. Kehadiran itu menjamin anugerahnya yang diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya.

 

Tentang guna dari Perjamuan Kudus:

 

Perjamuan Kudus sebagai pengampunan dosa

 

Ada beberapa aliran dalam gereja Protestan yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus tidak ada sangkut pautnya dengan keampunan dosa. Perjamuan Kudus itu menurut aliran ini hanyalah sekedar  memperteguh persekutuan jemaat atau orang-orang Kristen dengan Kristus saja.  Kita mengerti akan motif dari pengajaran yang demikian. Apalagi pengajaran Protestan yang mengatakan bahwa  keampunan dosa  diterima dalam baptisan. Tetapi Kristus sendiri juga menghubungkan keampunan dosa itu dengan Perjamuan Kudus, ketika dia mengatakan bahwa cawan yang diberikan itu sebagai keampunan dosa  (Mat. 26: 26 –28). Itu sebabnya Martin Luther  mengertikan bawa ‘the real presence” dari Kristus dalam unsur roti dan anggur untuk menyampaikan pengampunan dosa. (Lihat Katekismus Kecil Martin Luther).

 

Memperbaharui persekutuan

 

            Selain memberi pengampunan dosa,  Perjamuan Kudus juga dianggap sebagai  alat ‘memperbaharui persekutuan kasih”  di dalam gereja dan dalam semua hubungan individual.  (catatan: adanya  beberapa pendapat di kalangan gereja Lutheran yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus juga sebagai makanan kerohanian yang berguna kelak di dalam kebangkitan dari maut, bukanlah asli pengajaran M.Luther  dan bukan asli ajaran Kitab Suci).  Perjamuan Kudus itu  melulu adalah tindakan Allah; maknanya tidak ada sangkut pautnya dengan iman dari yang menerimanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan pendeta yang  melayani. Hal ini perlu diingat untuk menghindarkan kemungkinan adanya tafsiran yang bersifat magis dari Perjamuan Kudus itu. Perjamuan Kudus itu terjadi atas kehendak Kristus sendiri, dan berlakunya bukan secara “ex-opere operator”.

 

Siapakah yang seharusnya menerima Perjamuan Kudus itu

 

Tidak dapat disangkal bahwa Perjamuan Kudus hanya diberika kepada orang yang telah menerima Yesus Kristus saja, tetapi agar tiap orang beriman dapat dengan sesungguhnya menghayati makna dari Perjamuan kudus itu, memang perlu persiapan pribadi seperti dianjukan oleh Paulus dalam I Kor. 11: 28 (Persiapan itu sejajar dengan apa yang disebut PL dalam Maz. 139: 23-24, dan juga sejalan dengan pengertian PB dalam II Kor. 13: 5):  Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu”.

 

 

Perjamuan kudus sebagai kesetiaan dan pekabaran Injil

 

            Tidak dapat disangkal bahwa  Zwingli dan Calvin benar juga dalam hal memasukkan faktor “mengingat” (remembrance)  di dalam Perjamuan Kudus. Kesalahan mereka ialah  bahwa mereka memandang hanya dari sudut itu saja.  Harus diakui bahwa Perjamuan Kudus itu adalah juga  ingatan, sesuai pula dengan yang dikatakan oleh Kristus:  “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” . (Luk. 22: 19).  Tetapi selain dari pada itu, Perjamuan kudus adalah juga sebagai kesaksian iman dan pekabaran mengenai Yesus Kristus (Injil).  Di dalam I Korint 11: 26, dikatakan:  “Sebab itu setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang.”

 

            Dari seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Perjamuan Kudus: 

§  Di dalam Perjamuan Kudus, Kristus yang dimuliakan memang hadir ( di dalam roti dan anggur; di dalamnya kita mengingat Kristus yang telah mati dan bangkit untuk kita; dan dengan berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus kita juga menyaksikan iman kita.

§  The real presence dari Kristus hanyalah selama Perjamuan Kudus itu diselenggarakan. Sebelum dan sesudah Perjamuan Kudus itu, roti itu adalah roti biasa dan angur itu adalah anggur biasa. Dengan demikian kita menolak segala pandangan yang bersifat magis dari Perjamuan Kudus itu.(Pdt MSM Panjaitan)

 

 

 

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN BAPTISAN

 

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN  BAPTISAN

 

      Biasanya dalam  ajaran gereja Protestan, Firman dan Sakramen adalah merupakan “means of grace” (alat-alat anugerah). Tetapi secara praktis, gereja Protestan memberi tekanan yang sangat berat akan arti Firman, karena Sakramen selalu ditafsirkan sebagai “Firman yang kelihatan”, Firman yang konkrit, yang dapat dijamah atau dimakan.

 Istilah sakramen, yang berasal dari kata Latin “sacramentum”, dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani  " musthrion” ( mysterion), yang  artinya misteri atau rahasia.  Kata yang dipakai oleh gereja pada mulanya untuk menyebut perbuatan-perbuatan kudus gereja  yang dianggap sebagai sesuatu yang  bersifat rahasia. Augustinus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan bahwa Sakramen adalah Firman yang kelihatan  dalam unsur duniawi  bagi kita yang masih di dunia ini.  Pemikiran inilah juga yang mendasari konsep Martin Luther, yang mengatakan bahwa Sakramen adalah tindakan suci Tuhan Allah di mana unsur-unsur yang kelihatan (visible), dipergunakan sebagai saluran anugerahnya yang tidak kelihatan  (invisible). Malah ada kecenderungan dalam aliran Protestan yang mengatakan bahwa  Sakramen adalah sebahagian dari  Firman Allah.

Bagi gereja-gereja Protestan, hanya ada dua sakramen yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sedangkan gereja Roma Katolik  mengajarkan adanya tujuh sakramen yaitu:  1.  Baptisan;  2. Confirmation (Konfirmasi – peneguhan iman); 3.  Pengakuan dosa (Penance);  4. Missa (Ekaristi – Perjamuan Kudus);  5. Peminyakan terakhir (Final Unction) bagi orang sakit yang mau meninggal);  6.  Penahbisan Imam;  7. Nikah/  Pemberkatan Perkawinan

Bagi  bapak-bapak reformasi,  lima dari antara yang tujuh itu kurang berlandaskan Kitab Suci, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sakramen.  Tetapi walaupun gereja-gereja pengikut reformasi sama-sama mengakui hanya ada dua sakramen, tetapi gereja-gereja tersebut juga mempunyai tafsiran yang berbeda-beda mengenai  makna dari sakramen itu. Misalnya bagi Zwingli, Baptisan dan Perjamuan Kudus hanya  simbol saja.

 

 

Pembaptisan sebagai Sakramen kelahiran baru

 

Sebenarnya hampir di semua agama ada upacara yang menyerupai baptisan, walaupun tidak semuanya dilakukan dalam bentuk air.Tujuannya ialah untuk memasukkan orang yang dibaptis itu menjadi anggota dari persekutuan agama itu, dan orang  itu telah dianggap memasuki kehidupan yang baru yaitu  hidup dari golongan orang yang membaptis itu.

Apabila Yohannes Pembaptis memberikan baptisan pengampunan dosa,  janganlah itu disamakan dengan pembaptisan Yesus Kristus. Inilah dasar kalangan Protestan  untuk tidak menerima  ajaran dari sekte lain, seperti: Pentakosta,  yang mendasarkan pemahamannya akan  baptisan itu seperti pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes Pembaptis. Pembaptisan Yohannes tidak sama dengan pembaptisan  Yesus Kristus, karena pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes bukanlah merupakan alat anugerah. Baptisan yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan murid-muridnya dalam Mat. 28: 18-20 adalah alat anugerah, sedangkan baptisan Yohannes hanya  merupakan tanda pertobatan.

Dalam Mat. 28: 18-20,  Kristus memberikan mandat kepada murid-muridnya,  yang disebut dengan  “the Great Commission” (Amanat Agung).  Tetapi walaupun mandat itu diberikan kepada murid-muridnya, itu bukan berarti bahwa baptisan  yang dijalankan  itu  merupakan pekerjaan murid-murid  yang disuruh tersebut. Pada hakekatnya baptisan itu adalah pekerjaan Roh Kudus, bukan pekerjaan manusia. Pekerjaan membaptiskan juga dalam rangka menjadikan  yang dibaptis itu menjadi murid Yesus, yang setelah itu mengajar mereka  untuk melakukan apa yang telah diperintahkan (diajarkan) oleh Yesus kepada murid-muridnya itu. Jadi memang dalam amanat itu  disebut pertama adalah baptiskan, baru ajarkan.  Berdasarkan inilah boleh dibenarkan perbuatan-perbuatan  gereja-gereja yang lebih dahulu membaptiskan anak sebelum diajarkan kepada mereka. Tetapi ini memang bukan merupakan ketentuan yang absolut bahwa lebih dahulu membaptiskan baru mengajarkan. Di daerah-daerah Zending di mana lebih dahulu dilakukan pendekatan  orang-orang yang sudah dewasa, tentu saja  pengajaran kekristenanlah yang lebih dahulu diberikan kepada mereka supaya dengan demikian mereka dapat  memahaminya dan menumbuhkan iman kepercayaan bagi mereka.

Tetapi hal yang lebih penting yang dapat dilihat dari Amanat Agung Tuhan Yesus di Mat. 28: 18-20 itu ialah  bahwa baptisan itu diadakan dalam perspektif  “kehadiran Yesus Kristus”, karena disana Yesus Kristus mengatakan: “ketahuilah, Aku menyertai kamu  sampai  kepada akhir zaman”. Kalau begitu, para rasul atau para pendeta di kemudian, hanyalah merupakan alat, yang memberikan “kehadiran Yesus Kristus itu”.

 

Pembaptisan itu disebut “menyelamatkan”

 

                Dalam I Petrus 3: 20-21 disebutkan bahwa orang yang percaya diselamatkan dengan air, yang menghunjuk kepada keselamatan Nuh dan keluarganya. Sebagaimana Nuh diselamatkan dengan air, demikian juga orang-orang Kristen diselamatkan melalui baptisan. Baptisan itu dimaksudkan bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani,  melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Jadi di sini air baptisan itu diartikan sebagai kebangkitan  Yesus Kristus.

            Paulus  dalam Titus 3: 5-7, mengatakan bahwa Kristus menyelamatkan kita dengan pemandian kelahiran kembali dan  pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Tidak lain tidak bukan maksudnya adalah pembaptisan. Pada hari Pentakosta, para rasul  yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus itu menganjurkan : “ Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi  dirimu   dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”  ( Kis. 2: 38). Terang sekali nampak di sini bahwa pengampunan dosa itulah hakekat dari pembaptisan. Sama seperti yang disebut dalam Titus  3: 5-7 itu, pembenaran dari dosalah yang menjadi inti dari baptisan. Roh Allah selalu berdiam di dalam hati orang-orang yang telah diampuni dosanya untuk selalu menciptakan hidup yang baru.

 

Siapakah yang akan dibaptis?

 

Tentu semua orang yang mau dan bersedia untuk dibaptis. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan:  “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.” Kamu di sini  meliputi tua dan muda,  Yahudi dan non- Yahudi, karena seperti dikatakan dalam  I Tim. 2: 4, Tuhan Allah menghendaki agar semua manusia selamat.  Tetapi seseorang yang diselamatkan itu harus lebih dahulu lahir dari air dan roh  ( Yoh. 3: 5). Lahir dari air dan roh berarti baptisan. Hal itu merupakan keharusan  karena kita semuanya adalah anak kutuk atau orang-orang yang harus dimurkai. ( band.  Epes. 2: 3-5)  

 

Siapakah yang sewajarnya menerima baptisan?

 

Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu sebelum baptisan diterima. Karena sekiranya syarat-syarat untuk itu tidak ada, pada hal disebut bahwa baptisan itu mempunyai  effek, maka baptisan itu  akan bisa dianggap sebagai kekuatan yang bersifat magis belaka, dan seolah-olah air dan perbuatan pendeta yang membaptisan itu saja yang menimbulkan effek itu.  Air dan baptisan itu bukan sesuatu kekuatan magis.  Dalam kitab Suci dikatakan bahwa iman kepada Yesus Kristuslah  yang menjadi syarat utama  dalam proses keselamatan.  Baptisan yang tidak disertai oleh iman kepada Yesus Kristus, tidak berarti apa-apa. Demikian juga penerimaan Injil tanpa baptisan juga tidak membuahkan apa-apa. Baptisan yang mempunyai arti ialah baptisan yang disertai oleh Firman Tuhan dan yang diterima dengan iman. Demikian pentingnya iman, sehingga bisa   dilihat bahwa  iman  dari kepala penjara di Filipi dapat merangkul (Batak: manghangkung) keluarganya, oleh sebab mana semua anggota keluarganya dapat dibaptiskan. (Kis. 16: 31- 34). Di sini  kita melihat ruang lingkup dari iman yang mencakup  bahkan manusia yang secara azasi  kita tanggung-jawabi.

 

Tentang orang-orang percaya yang tidak dibaptiskan

 

Tentu timbul pertanyaan, bagaimana orang-orang percaya terhadap Kristus tetapi meninggal sebelum  dibaptiskan ? Bagaimana tentang anak-anak Kristen yang meninggal sebelum dibaptiskan? Pertanyaan ini timbul  berhubung dengan Yoh. 3: 5 yang mengatakan:  Seseorang tidak mungkin masuk ke dalam Kerajaan  Allah jika tidak dilahirkan dalam air dan roh. Terhadap persoalan ini ada tiga jawaban, yaitu:

 

(1)    Oleh karena tidak ada manusia yang dapat menentukan saat meninggalnya, maka haruslah dilihat  I Tim.2: 4, yang mengatakan bahwa Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Tetapi ayat ini jangan ditafsirkan sebagai pembenaran akan orang-orang yang sengaja menolak Kristus. Orang yang menganut faham universalisme keselamatan tidak boleh mengambil ayat ini sebagai alat teologisnya.  Tetapi ayat tadi sangatlah  baik untuk dikenakan kepada orang-orang yang percaya tetapi meninggal sebelum dibaptiskan. Karena bagaimana pun juga dalam hidupnya orang itu  telah diisi oleh iman,  ketika mana maut yang tidak bisa dikontrol oleh manusia itu  mengakhiri hidupnya.

(2)   Khusus mengenai anak-anak.  Ingatlah Mat. 18: 14 yang mengatakan bahwa  Allah Bapa  menghendaki agar salah seorang anak yang kecil ini tidak ada yang binasa. Baik dalam konteksnya  maupun di luar konteksnya, ayat ini dapat dipegang sebagai  hiburan dalam memikirkan kunjungan maut terhadap salah seorang anak Kristen yang belum  dibaptiskan. Adalah kekejaman teologis untuk mengatakan bahwa anak yang demikian yang mati sebelum dibaptsikan tidak masuk kerajaan Allah.

(3)   Tuhan Allah dalam kemahakuasaannya tentu dapat melahirkan kembali seseorang dalam cara yang tidak dapat dimengerti. Bahwa seseorang harus  dilahirkan kembali agar dia memasuki Kerajaan Allah memang merupakan ketentuan. Dan sepanjang yang dinyatakan kepada kita memang baptisanlah  cara melahirkan kembali itu. Tetapi Allah lebih besar dari pada pernyataannya yang diberikan kepada kita. Tentu ada proses lain dalam melahirkan kembali seseorang yang meningal sebelum dibaptisklan, di luar pernyataan itu sendiri. Pernyataan Allah yang diberikan  untuk kita mengerti dan untuk kita patuhi tidak pernah menjadi sumber  frustrasi dalam hal menghadapi persitiwa-persitiwa sulit.  Kita harus sanggup membuka diri kepada adanya cara-cara Allah bekerja di luar apa yang dinyatakan kepada kita.

 

Mengenai baptisan anak-anak (Infant baptism)

 

Di dalam masyarakat Israel, sunatlah yang merupakan upacara keagamaan memasukkan  seorang anak yang baru lahir ke dalam keluarga keagamaan mereka. Penyunatan itu dilakukan pada hari ke 8 sesudah lahir, yang tentu maksudnya selekas mungkin.  Sebagaimana dalam PL penyunatan adalah upacara penerimaan  seorang anak masuk menjadi anggota keluarga  agama Yahudi, demikianlah  baptisan dianggap sah sebagai upacara penerimaan masuknya anak ke dalam kekeluargaan Perjanjian Baru. Inilah yang diandaikan oleh Kolose 2: 11-12. Dan biasanya keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah keberatan  membaptiskan anak-anaknya. Dan demikian juga  orang-orang Kristen yang mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya. Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini  mempunyai persetujuan akan upacara keagamaan  (religious rite) tentang penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa yang tidak ada anak-anak.  Artinya  bangsa yang dimaksud juga meliputi anak-anak.  Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak tidak pernah  di exclude (ditiadakan). Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan menghapuskan. Dan seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu  muncul kritik dari suatu golongan Kristen yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan baptisan terhadap orang dewasa.    

Yang paling menentang baptisan anak-anak sesudah reformasi  ialah golongan yang mengikuti faham “Synergisme”,  yaitu suatu faham yang mengatakan manusia bekersama dengan Allah dalam keselamatannya. Keselamatan manusia bukan hanya anugerah Allah melulu, tetapi dalam iman itu manusia bekersama dengan Allah. Jadi menurut golongan ini anak-anak tidak disetujui untuk dibaptiskan, karena anak-anak dianggap tidak mungkin beriman, tidak mungkin berbuat baik, tidak mungkin dapat bekerja sama dengan Allah. Tetapi kalau kita menerima keselamatan adalah melulu pekerjaan Allah, maka kita dapat menerima baptisan anak-anak.  Kita dapat mengatakan dalam soal iman anak-anak bisa melebihi orang-orang dewasa. Dalam Luk.18: 17, Tuhan Yesus mengatakan : “Sesungguhnya  barangsiapa tidak menyambut Kerejaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”. Istilah yang dipakai untuk anak kecil dalam Luk. 18: 15-17, bukan hanya “paidion” (paidion), tetapi juga “brejh” (brephe).  Dalam bahasa Yunani “brejh” bahkan meliputi anak yang masih dalam kandungan. Dalam teks ini  Kerajaan Allah meliputi “brejh  juga. Anak-anak tidak usah harus menjadi dewasa dulu baru memasuki Kerajaan Allah, karena orang-orang dewasa pun harus menerima Kerejaan Allah seperti anak-anak. Dan dalam Mat. 18: 3 , lebih positif lagi dikatakan, di mana Yesus mengatakan:  “ Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.

Memang semuanya problem ini adalah berkisar  di sekitar arti dari iman. Pihak yang tidak menerima baptisan anak-anak, alasannya selalu bahwa anak-anak belum mempunyai iman. Tetapi kita meragukan pikiran yang mengatakan bahwa seorang anak kecil belum mempunyai iman, karena dalam Mat. 18: 6, Yesus mengatakan bahwa anak kecil juga sudah percaya kepada Yesus. Yang menjadi persoalan adalah apakah  hakekat dari iman. Adalah kurang hati-hati apabila ada ahli-ahli teologi mengertikan  iman sebagai pengetahuan, atau keyakinan  (batak: pos ni roha)  di dalam arti disadari.  Pemahaman yang demikian telah membatasi  pengetahuan dan keyakinan dalam batas kesadaran. Tetapi kita kurang menyetujui pendapat yang demikian, karena kalau demikian halnya, bagaimana  nasib orang-orang Kristen yang menjadi  gila atau hilang kesadarannya, apakah mereka sudah di luar Kerajaan Allah. Memang kita akui bahwa keyakinan dan pengetahuan yang disadari adalah penting, tetapi itu bukan merupakan hakekat dari iman. Secara negatif bahwa hakekat dari “ketidak percayaan kepada Allah adalah menolak Allah”. (Kis. 7: 5 :  menghalangi Roh Kudus; Ibrani 3: 8 – mengeraskan hati.  Dalam diri orang-orang percaya, Roh Kudus merombak penolakan kemanusiaan dari orang-orang percaya itu, tanpa merusak kepribadian orang yang bersangkutan. Dan inilah yang dilakukan oleh Roh Kudus dalam pemberitaan Firman dan dalam baptisan. Sifat menolak Allah dari manusia itu dirombak oleh Roh Kudus, agar orang itu dimungkinkan menerima anugerah Allah. Jadi secara positif hakekat iman itu ialah : “Created receptiveness of the grace of God”  (sifat menerima yang diciptakan Roh Kudus akan anuegrah Allah; bd.  Epes. 2: 8 – iman bukan hasil usaha manusia  tetapi adalah pemberian Allah).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iman itulah sifat dari hidup baru yang diterima di dalam kelahiran baru itu. Dalam Titus 3: 5, dikatakan bahwa  penyucian kelahiran baru itu dan juga pembaharuan dari hidup itu adalah melulu pekerjaan  Roh Kudus. Jadi kalau demikian halnya maka anak-anak juga mesti dibaptiskan, agar dia juga dimungkinkan  menjadi orang yang sanggup menerima Roh Allah.

Sejajar dengan kenyataan ini ialah bahwa pemberontakan  terhadap Allah adalah karakteristik dari orang-orang dewasa yang di luar Kerajaan Allah. Tetapi  sifat seperti itu tidak mungkin menjadi karakteristik dari anak-anak. Memang sewaktu  anugerah Tuhan menyentuh anak-anak, di dalam anak-anak itu  juga anugerah menjumpai resistensi  (perlawanan) yang tidak disadari, oleh karena anak-anak juga lahir dalam  sarx” (daging) .( Di dalam Yoh. 3: 6, dikatakan:  “Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh”).   Tetapi resistensi dari anak-anak bukanlah resistensi yang disadari dan bukan resistesnsi yang dikehendakinya. Dalam hal ini anugerah Tuhan yang dimeteraikan oleh Roh Kudus dalam iman dengan sendirinya mendobrak resistensi yang tidak disadari oleh anak itu.

Pada hakekatnya iman kepada Tuhan adalah keterbukaan yang mengakibatkan kesanggupan untuk menerima angerah Allah. Ini penting dikatakan dengan berhati-hati, sedangkan bagi orang-orang dewasa iman itu pada hakekatnya bukanlah tindakan yang disadari. Kesadaran bukan dalam semua waktu dan dalam segala keadaan. Seandainya  kesadaran itulah yang menjadi ukuran dari iman, maka boleh sewaktu dalam tidur atau pingsan, kita tidak beriman. Iman itu ada di dalam hidup baru yang bukan merupakan buah dari usaha manusia. Dan dalam hidup baru itu kita bisa bertindak secara sadar,  tidur, pingsan, tanpa mengurangi  pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan Allah.  Memang aspek hidup yang tergolong  di dalam iman yang dewasa, umpamanya pengetahuan teologi, pengertian Kristen, keyakinan Kristen, sukacita, kesabaran, memang sangat penting sekali artinya dalam pertumbuhan kerohanian seseorang. Tetapi itu bukanlah hakekat dari iman, melainkan buah dari iman. (Lihat. Gal. 5: 22).  Dengan demikian baptisan anak  mendapat tempat yang terpenting dalam hidup gereja (Pdt MSM Panjaitan).