KONTINUITAS (KESINAMBUNGAN) DARI JABATAN KEPEMIMPINAN GEREJA
Kontinuitas (kesinambungan) dari jabatan kepemimpinn gereja
Di dalam gereja Roma Katolik, Gereja Orthodox dan
Gereja Anglikan ada pengertian dan pengajaran yang menekankan “successio
apostolica” (pewarisan jabatan
rasul). “Successio apostolica” adalah
suatu warisan dari gereja mula-mula, di
mana ditetapkan bahwa jabatan uskup sebagai pengganti jabatan rasul. Dalam gereja yang mengikuti tradisi ini, diajarkan bahwa: anugerah yang istimewa dan
otoritas untuk memimpin dan mengajari
diserahkan oleh Yesus Kristus kepada rasul-rasulnya, dan dari
rasul-rasul yang pertama itu diturunkan kepada uskup-uskup yang pertama, dan
demikian seterusnya kepada uskup-uskup berikuitnya. Inilah yang menjamin kontinuitas
dari jabatan, pelayanan Firman, Sakramen dan tugas Pekabaran Injil yang
dilakukan oleh gereja. Kontinuitas itu tidak boleh terputus-putus. Kebanyakan
gereja Protestan kurang mementingkan
garis “succession” (rangkaian) yang demikian. Mereka menekankan
pentingnya garis yang berhubungan dengan Tuhan Allah sendiri secara langsung.
Dikatakan bahwa “pemberitaan yang benar akan Injil atau Firman Allah” dan
“pelayanan yang benar akan Sakramen’ itulah yang menghubungkan gereja itu
langsung kepada kepala gereja yaitu Kristus. Roh Allah selalu bekerja di luar
pengertian succession yang ditonjolkan oleh pengajaran “succesio apostolica”
itu.
Ada tiga
pemikiran yang berbeda mengenai hubungan antara gereja dengan kepala
gereja itu. Pada satu pihak tergolong
dalam gereja-gereja yang menekankan
“successio apostolica” seperti Roma Katolik, Orthodox , Anglikan, dan pada pihak lain yang tidak mengakui sama sekali adanya unsur yang
diwariskan melalui para rasul tetapi berhubungan langsung
dengan Kristus seperti dianut oleh Free
Church, dan ada juga golongan yang mengakui ke dua-duanya, baik warisan rasuli maupun hubungan langsung dengan Kristus seperti dianut oleh gereja-gerela Lutheran dan
Calvinis. Adanya perbedaan-perbedaan
pikiran tersebut adalah disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda-beda
mengenai gereja itu sendiri.
1. Pendapat dari Roma Katolik
Menurut pemahaman Roma Katolik, kepada gereja itu
diberikan atau dianugerahkan oleh Kristus tiga kuasa yang besar, yaitu:
§ Kuasa kenabian untuk mengajar secara tidak
salah
§ Kuasa keimaman untuk menyampaikan anugerah
Allah melalui sakramen
§ Kuasa Raja, untuk merajai atau memimpin warga gereja dalam hal-hal yang menyangkut
hidup beriman dan moral, dan akhirnya juga menguasai dunia.
Ketiga kuasa ini pada akhirnya bersatu menjadi satu
hakekat, karena sumbernya adalah satu yakni Kristus sebagai Tuhan dan Kepala Gereja. Gereja itu sebagai
pelaksana kuasa-kuasa keilahian itu tidak mungkin diperbaharui, karena gereja
itu selalu baik, kudus dan tidak berdosa
dalam hakekat keilahiannya. Oleh sebab itu terhadap gereja semua warganya harus patuh secara absolut tanpa
pertanyaan. Itulah sebabnya gereja itu
sering disebut “holy mother” (ibu suci)
bagi anggota-anggotanya. Gereja itu menurut RK, walaupun dalam bentuk
organisasi yang kelihatan dan dalam sifatnya yang institusionil, mempunyai
sifat-sifat Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang melepaskan dan tindakan
Allah kepada dan diantara manusia disalurkan melalui gereja Katolik.
Imam-imam sebagai pribadi masih mungkin jatuh ke dalam
dosa. Tetapi ke-imaman (priesthood) itu adalah bersih, kudus dan tidak mendapat
cela apa-apapun. Ini seiringan dengan ide bahwa gereja itu pada hakekatnya yang
asli bukan lagi di bawah “judgement” (penghakiman) dari Allah. Seseorang bisa saja mengkritik pribadi-pribadi
dari Imam, tetapi gereja sebagai gereja tidak boleh disentuh apalagi dikritik,
karena gereja itu adalah tubuh yang kudus, ibu dari orang-orang percaya. Karena
itu gereja tidak membutuhkan fikiran dari para anggotanya. Yang penting ialah
bahwa gereja bertindak untuk anggota. Bagaimana anggota berfikir dan merasakan
sesuatu kurang perlu. Yang perlu ialah hukum-hukum yang diberikan gereja kepada
anggota untuk dilaksanakan. Inilah dasar-dasar apostolis dari hierarkhi gereja RK.
2. Pendirian Protestan Klasik (reformasi)
Yang kita maksud dengan Protestan Klasik ialah gereja-gereja Lutheran dan Reformed
(Calvin) yang berasal dari reformasi Jerman dan Swiss. Sejak mulanya ke dua
golongan gereja ini mengalami hubungan yang erat dan bersatu dalam banyak hal.
Perbedaan yang terus ada sampai sekarang adalah mengenai soal Perjamuan Kudus.
Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pada abad 20 yang mencoba
memperdamaikan ke dua aliran gereja itu
tentang Perjamuan Kudus. Ada indikasi bahwa saling pengertian antara satu sama lain
makin timbul.
§ Pengertian fundamental yang umum terdapat
di dalam ke dua denominasi
gereja itu mengenai
Gereja adalah demikian: Gereja itu bukan
di atas “judgement” (penghakiman) Allah dan bukan tidak berdosa. Oleh karena ia
adalah hamba dari Tuhan Allah, maka gereja
harus selalu dinilai dari hukum sesuai dengan kesetiaannya kepada Firman Tuhan.
§ Diakui selalu bahwa Firman Allah lebih
dahulu ada dari pada gereja. Oleh karena itu ke dua-duanya tidak pernah
setaraf. Jadi kalau bagi gereja RK, gereja itu tidak boleh diperbaiki ( irreformable),
kebalikannyalah yang terdapat dalam pendirian Protestan Klasik, yaitu bahwa
gereja harus terus menerus diperbaiki (diperbaharui), sesuai dengan keharusan
gereja untuk setia kepada Firman Tuhan. Suatu kebiasaan atau aturan gereja yang
nyata tidak sesuai dengan Firman Tuhan harus dirombak. Dengan demikian timbul prinsip: “ecclesia reformata semper reformanda”
artinya gerja yang sudah diperbaiki harus selalu memperbaiki dirinya. Atau
gereja yang memperbaiki, harus selalu diperbaiki.
Dengan demikian jelas bahwa Firman Allahlah yang
menjadi ukuran dalam segenap hidup gereja. Timbul pertanyaan bagaimana Alkitab
yang tertulis berhubungan dengan Firman Allah dan bagaimana Alkitab itu bisa
menjadi ukuran untuk mereformasi gereja. Mengenai
soal ini Luther berbeda pendapat dengan para reformator Swiss. Luther dalam
penilaiannya agak lebih konservatif karena dia merobah aspek-aspek dalam hidup
gereja hanya yang terang-terangan bertentangan dengan Alkitab. Sedangkan para
reformator Swiss merombak apa saja yang tidak disebut oleh Alkitab.
Pada abad-abad selanjutnya beberapa golongan Protestan
yang fundamentalis mengidentifikasikan Firman Allah dengan kata-kata yang tertulis dalam Kitab
Suci dengan dasar kepercayaan bahwa Firman Allah adalah hasil dari ‘verbal
inspiration” (pengilhaman secara lisan). Aliran
fundamentalisme demikian memang sampai sekarang masih populer dikalangan
Protestan, apalagi di kalangan Protestan yang berada dalam negara-negara yang
sudah berkembang. Makin kurang sanggup orang berfikir secara teologis, makin
mudah dia jatuh kepada cara berfikir
fundamentalisme.
Golongan lain di kalangan Protestan yang bukan
fundamentalis mengatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah dalam pengertian
bahwa Kitab Suci mengandung Firman Allah. Dengan demikian tidak semuanya unsur dalam Kitab Suci itu identik dengan
Firman Allah.
Konsensus yang terakhir di dalam teologi Protestan
masa kini nyata sekali dipengaruhi oleh pandangan Karl Barth dalam idenya
tentang: teologi dan Firman. Menurutnya arti pertama dari Firman Allah ialah
Kristus sendiri selaku logos Allah. Arti
kedua dari Firman Allah itu ialah Kitab Suci yang menghunjuk kepada Kristus
itu. Dan arti ketiga ialah segala khotbah dan pengajaran yang mengenakan kesaksian
Alkitab itu kepada situasi dari tiap generasi dalam bimbingan Roh Kudus.
Biasanya dalam kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firmanlah yang dianggap
sebagai alat anugerah yang terutama, walaupun sebenarnya Luther dan Calvin
mengajarkan dua norma dari gereja yang benar itu yakni: di mana Firman Allah
diberitakan secara benar dan sakramen dilayani
secara benar. Oleh karena dalam norma
itu disebut pemberitan Injil atau Firman yang pertama sekali, maka dalam
prakteknya gereja Protestan mengutamakan Injil atau Firman itu. Ini disaksikan
pula akan pengertian Augustinus yang mengatakan bahwa Sakramen itu adalah
“Firman yang dapat dilihat atau Firman yang dibuat nyata. Jadi dalam pemberitaan Injil, Firman lah yang
menjadi intinya; dan di dalam sakramen sebagai “verbum visible”, Firmanlah juga yang menjadi intinya. Itulah
sebabnya di kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firman diutamakan, dan Alkitab sebagai pusat dan dasar dari segala
aktifitas gereja.
Satu lagi perbedaan Protestan Klasik dan RK ialah soal tempatnya iman. Sebenarnya RK
memang tidak menghapuskan begitu saja aspek
subjektif dari iman, tetapi mereka lebih mementingkan aspek objektif dari iman itu, yaitu dengan
mempercayai bahwa yang terpenting ialah apa yang diberikan kepada orang-orang
percaya melalui gereja. Pengutamaan ini sedemikian rupa, sehingga kurang jelas
nampak gunanya response dari kepercayaan
sebagai aspek yang subjektif dari iman. Sedangkan bagi Protestan, dengan
rumusan “justification by faith” (pembenaran oleh iman), baik aspek objektif
mapun aspek subjektif sama-sama mendapat tekanan, walaupun sering kelihatan aspek subjektif yang lebih
menonjol. Orang percaya telah dibenarkan oleh Kistus adalah aspek objektif dari
iman. Tetapi orang beriman itu harus mengadakan respons kepada pembenaran itu.
Respons itulah aspek subjektif dari iman. Dia harus bertobat dan harus berbuat
baik, walaupun usaha berbuat baik itu bukan sebagai satu bagian dari proses
penyelamatan. Maka boleh dikatakan bahwa selain dari pada pemberitaan Injil
secara objektif, dan sakramen, maka iman, doa, perbuatan baik, juga dipandang
oleh golongan Protestan sebagai alat-alat anugerah. Subjketifitas dari iman
berada dalam ruang lingkup objektifitas dari anugerah. Kemungkinan untuk
berbuat baik adalah juga anugerah.
3. Ide dari Free Church
Free Church bukan saja berarti bahwa gereja yang
bersangkutan membiayai diri sendiri sebagai lawan dari gereja yang terikat dan
dibiayai oleh negara. Dan bukan hanya berarti bahwa gereja yang bersangkutan
mempunyai teologi liberal, walaupun tentunya orang-orang dari kalangan Free
Church ini menolak segala
rumusan-rumusan pengakuan iman sebagai ukuran dari kebenaran. Juga bukan
hanya berarti bahwa mereka tidak mempunyai suatu kontrol dari pimpinan pusat
saja. Semuanya yang disebut di atas memang adalah hasiat dari Free Church,
tetapi hasiat yang utama ialah bahwa Free Church adalah pemprotestanan dari
agama Protestan (Protestantation of Protestant religion). Dengan kata lain,
hidup dari gerja Protestan klasik dibongkar dan dipebaharui, baik dalam hal
yang menyangkut organisasi maupun pengajaran.
Sebenarnya adalah sukar untuk membuat suatu rumusan
yang meliputi badan-badan yang tergolong Free Church yaitu:
Quakers, Bretheren, Mennonites, Bapptist, Congregationalist, Disciple, dan
berbagai badan lain yang tersebar di
dunia barat terutama di Inggris dan Amerika. Tetapi mungkin jugalah merumuskan
pandangan-pandangan mereka yang agak bersamaan
mengenai arti gereja dan alat-alat anugerah, yang menjadi dasar dari
ikatan-ikatan mereka satu sama lain. Menurut mereka bahwa di dalam PB sudah
jelas bahwa gereja itu adalah suatu persekutuan, bukan suatu institut
organisatoris. Dan persekutuan itu bukanlah buatan manusia, tetapi persekutuan
dalam bimbingan atau pimpinan Roh Kudus. Tidak ada manusia yang menjadi anggota
persekutuan itu melalui pembaptisan. Hanyalah orang-orang yang telah bertobat
yang menjadi anggotanya.
Dan menurut mereka kehadiran Kristus janganlah dicari
di dalam pelayanan sakramen dan bukan di dalam pemberitaan Firman tetapi
hanyalah di dalam persekutuan yang berkumpul. Firman itu memang masih penting,
tetapi bukan Firman seperti yang dikhotbahkan, yang diajarkan dan yang terdapat
dalam Katekismus serta dalam pengakuan iman. Firman itu ada,
kedengaran dan berkuasa hanya melalui inspirasi dari Roh Kudus sewaktu
orang-orang percaya membaca, mendengar dan bermeditasi.
Di dalam Free Church, baptisan tidak pernah diartikan
sebagaimana diartikan oleh Protestan Klasik. Baptisan itu menurut mereka
terutama adalah kepatuhan iman seorang percaya di dalam mana ia bersaksi secara
publik tentang hidup baru orang beriman
(subjektif bukan objektif), bukan sebagai pekerjan Allah, Roh Kudus dan Yesus
Kristus. Demikian juga halnya dengan
Perjamuan Kudus. Ini juga terutama dianggap sebagai tindakan persekutuan di
dalam mana jemaat itu secara bersama bersaksi tentang persekutuan di dalam Roh yang telah dialami. Pengertian
ini lebih jelas kelihatan dalam golongan “Society of friends” , yang sama sekali tidak mempunyai sakramen
secara formil dan tidak mempunyai pendeta yang ditahbiskan. Yang mereka hayati
ialah pengertian jemaat sebagai persekutuan di dalam Roh.
Free Church
sekarang ini makin berkembang. Tetapi anehnya di dalam perkembangannya
struktur kegerejaanya tidak jelas. Kuasa dan hak gereja setempat sekarang ini
makin tipis, diperbandingkan dengan keadaan mereka bermula. Makin lama mereka
juga makin cenderung masuk ke pada
struktur-struktur institut. Dan makin lama mereka juga makin menyamai Protestan
Klasik dalam struktur organisasi. Dengan kata lain mereka makin menghendaki
adanya kontrol dari pusatnya.
Contoh: gereja
Baptis dan Congregational. Dulu pada mulanya Kantor Pusat mereka tidak
berhak mengatakan sesuatu kepada setiap
jemaat setempat. Kantor pusat kebanyakan hanya berfungsi sebagai pelaksana saja dari keputusan-keputusan
gereja setempat. Tetapi belakangan ini kantor Pusat mereka makin mempunyai
banyak kuasa dan kontrol terhadap jemaat setempat. Tetapi contoh yang lebih
jelas adalah dalam gereja Methodis. Pada permulaannya gereja methodis sungguh-sungguh
hidup sebagai Free Church, di mana jemaat setempat sajalah yang berkuasa atas
dirinya. Tetapi sekarang struktur gereja Methodis sudah sama dengan struktur
gereja Protestan Klasik. Mereka malah sudah mempunyai bishop.
Sebenarnya tiga pendirian yang disebut di atas bukan
tidak dapat disatukan dalam satu badan. Umpamanya di Inggris gereja Anglikan
yang sebenarnya bersifat Episkopal dan gereja Methodis yang sebenarnya bersifat
Free Church bergabung dalam suatu badan gereja. Demikian juga gereja-gereja di
India Selatan mempersatukan ketiga
pendirian itu dalam satu badan gereja, sehingga
terbentuk satu gereja yang bernama ‘ The Church of South India” (Gereja
India Selatan). Ini adalah ssebagai hasil dari gerakan oikumenis di sana.
Gerakan-gerakan oikumenis yang berkembang sekarang ini nampaknya menganjurkan adanya sruktur gereja yang demikian yakni: adanya struktur
pusat yang bertalian dengan struktur-struktur lain di sekitarnya dan tiap-tiap
struktur juga mempunyai hubungan
komunikasi di antara sesamanya. Tetapi belum jelas dalam arti apa struktur pusat itu berada di pusat. (MSM PANJAITAN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar