Jumat, 05 November 2021

KONTINUITAS (KESINAMBUNGAN) DARI JABATAN KEPEMIMPINAN GEREJA

 

Kontinuitas (kesinambungan) dari jabatan kepemimpinn gereja
 
Di dalam gereja Roma Katolik, Gereja Orthodox dan Gereja Anglikan ada pengertian dan pengajaran yang menekankan “successio apostolica”  (pewarisan jabatan rasul).  “Successio apostolica” adalah suatu  warisan dari gereja mula-mula, di mana ditetapkan bahwa jabatan uskup sebagai pengganti jabatan rasul.  Dalam gereja yang mengikuti tradisi ini,  diajarkan bahwa: anugerah yang istimewa dan otoritas untuk memimpin dan mengajari  diserahkan oleh Yesus Kristus kepada rasul-rasulnya, dan dari rasul-rasul yang pertama itu diturunkan kepada uskup-uskup yang pertama, dan demikian  seterusnya  kepada uskup-uskup  berikuitnya. Inilah yang menjamin kontinuitas dari jabatan, pelayanan Firman, Sakramen dan tugas Pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja. Kontinuitas itu tidak boleh terputus-putus. Kebanyakan gereja Protestan  kurang mementingkan garis  succession” (rangkaian) yang demikian. Mereka menekankan pentingnya garis yang berhubungan dengan Tuhan Allah sendiri secara langsung. Dikatakan bahwa “pemberitaan yang benar akan Injil atau Firman Allah” dan “pelayanan yang benar akan Sakramen’ itulah yang menghubungkan gereja itu langsung kepada kepala gereja yaitu Kristus. Roh Allah selalu bekerja di luar pengertian succession yang ditonjolkan oleh pengajaran “succesio apostolica” itu.
Ada tiga  pemikiran yang berbeda mengenai hubungan antara gereja dengan kepala gereja itu.  Pada satu pihak  tergolong dalam gereja-gereja yang  menekankan “successio apostolica”  seperti  Roma Katolik, Orthodox , Anglikan,  dan pada pihak lain yang tidak mengakui sama sekali adanya unsur yang diwariskan melalui para rasul tetapi berhubungan langsung dengan Kristus seperti dianut  oleh Free Church,  dan ada juga golongan yang mengakui   ke dua-duanya, baik warisan rasuli maupun hubungan langsung dengan Kristus seperti dianut oleh gereja-gerela Lutheran dan Calvinis.  Adanya perbedaan-perbedaan pikiran tersebut adalah disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda-beda mengenai gereja itu sendiri.
 
1.      Pendapat dari Roma Katolik
 
Menurut pemahaman Roma Katolik, kepada gereja itu diberikan atau dianugerahkan oleh Kristus tiga kuasa yang besar, yaitu:
§  Kuasa kenabian untuk mengajar secara tidak salah
§  Kuasa keimaman untuk menyampaikan anugerah Allah melalui sakramen
§  Kuasa Raja, untuk  merajai atau memimpin   warga gereja dalam hal-hal yang menyangkut hidup beriman dan moral, dan akhirnya juga menguasai dunia.
 
Ketiga kuasa ini pada akhirnya bersatu menjadi satu hakekat, karena sumbernya adalah satu yakni Kristus sebagai  Tuhan dan Kepala Gereja. Gereja itu sebagai pelaksana kuasa-kuasa keilahian itu tidak mungkin diperbaharui, karena gereja itu  selalu baik, kudus dan tidak berdosa dalam hakekat keilahiannya. Oleh sebab itu terhadap gereja semua warganya  harus patuh secara absolut tanpa pertanyaan.  Itulah sebabnya gereja itu sering disebut “holy mother” (ibu suci)  bagi anggota-anggotanya. Gereja itu menurut RK, walaupun dalam bentuk organisasi yang kelihatan dan dalam sifatnya yang institusionil, mempunyai sifat-sifat Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang melepaskan dan tindakan Allah kepada dan diantara manusia disalurkan melalui gereja Katolik.
Imam-imam sebagai pribadi masih mungkin jatuh ke dalam dosa. Tetapi ke-imaman (priesthood) itu adalah bersih, kudus dan tidak mendapat cela apa-apapun. Ini seiringan dengan ide bahwa gereja itu pada hakekatnya yang asli bukan lagi di bawah “judgement” (penghakiman) dari Allah.  Seseorang bisa saja mengkritik pribadi-pribadi dari Imam, tetapi gereja sebagai gereja tidak boleh disentuh apalagi dikritik, karena gereja itu adalah tubuh yang kudus, ibu dari orang-orang percaya. Karena itu gereja tidak membutuhkan fikiran dari para anggotanya. Yang penting ialah bahwa gereja bertindak untuk anggota. Bagaimana anggota berfikir dan merasakan sesuatu kurang perlu. Yang perlu ialah hukum-hukum yang diberikan gereja kepada anggota untuk dilaksanakan. Inilah dasar-dasar apostolis dari hierarkhi  gereja RK.
 
2.      Pendirian Protestan Klasik (reformasi)
 
Yang kita maksud dengan Protestan Klasik ialah gereja-gereja Lutheran dan Reformed (Calvin) yang berasal dari reformasi Jerman dan Swiss. Sejak mulanya ke dua golongan gereja ini mengalami hubungan yang erat dan bersatu dalam banyak hal. Perbedaan yang terus ada sampai sekarang adalah mengenai soal Perjamuan Kudus. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pada abad 20 yang mencoba memperdamaikan ke dua  aliran gereja itu tentang Perjamuan Kudus. Ada indikasi bahwa saling pengertian antara satu sama  lain  makin  timbul.
§  Pengertian fundamental yang umum terdapat di dalam ke dua denominasi gereja itu mengenai Gereja  adalah demikian: Gereja itu bukan di atas “judgement” (penghakiman) Allah dan bukan tidak berdosa. Oleh karena ia adalah hamba dari Tuhan Allah, maka gereja harus selalu dinilai dari hukum sesuai dengan kesetiaannya kepada Firman  Tuhan.
§  Diakui selalu bahwa Firman Allah lebih dahulu ada dari pada gereja. Oleh karena itu ke dua-duanya tidak pernah setaraf. Jadi kalau bagi gereja RK, gereja itu tidak boleh diperbaiki ( irreformable), kebalikannyalah yang terdapat dalam pendirian Protestan Klasik, yaitu bahwa gereja harus terus menerus diperbaiki (diperbaharui), sesuai dengan keharusan gereja untuk setia kepada Firman Tuhan. Suatu kebiasaan atau aturan gereja yang nyata tidak sesuai dengan Firman Tuhan harus dirombak. Dengan demikian timbul prinsip:  “ecclesia reformata semper reformanda” artinya gerja yang sudah diperbaiki harus selalu memperbaiki dirinya. Atau gereja yang memperbaiki, harus selalu diperbaiki.
 
Dengan demikian jelas bahwa Firman Allahlah yang menjadi ukuran dalam segenap hidup gereja. Timbul pertanyaan bagaimana Alkitab yang tertulis berhubungan dengan Firman Allah dan bagaimana Alkitab itu bisa menjadi ukuran untuk mereformasi gereja. Mengenai soal ini Luther berbeda pendapat dengan para reformator Swiss. Luther dalam penilaiannya agak lebih konservatif karena dia merobah aspek-aspek dalam hidup gereja hanya yang terang-terangan bertentangan dengan Alkitab. Sedangkan para reformator Swiss merombak apa saja yang tidak disebut oleh Alkitab.
Pada abad-abad selanjutnya beberapa golongan Protestan yang fundamentalis mengidentifikasikan Firman Allah  dengan kata-kata yang tertulis dalam Kitab Suci dengan dasar kepercayaan bahwa Firman Allah adalah hasil dari ‘verbal inspiration” (pengilhaman secara lisan). Aliran fundamentalisme demikian memang sampai sekarang masih populer dikalangan Protestan, apalagi di kalangan Protestan yang berada dalam negara-negara yang sudah berkembang. Makin kurang sanggup orang berfikir secara teologis, makin mudah dia jatuh kepada cara berfikir  fundamentalisme.
Golongan lain di kalangan Protestan yang bukan fundamentalis mengatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah dalam pengertian bahwa Kitab Suci mengandung Firman Allah. Dengan demikian tidak semuanya  unsur dalam Kitab Suci itu identik dengan Firman Allah.
Konsensus yang terakhir di dalam teologi Protestan masa kini nyata sekali dipengaruhi oleh pandangan Karl Barth dalam idenya tentang: teologi dan Firman. Menurutnya arti pertama dari Firman Allah ialah Kristus sendiri selaku logos Allah.  Arti kedua dari Firman Allah itu ialah Kitab Suci yang menghunjuk kepada Kristus itu. Dan arti ketiga ialah segala khotbah dan pengajaran yang mengenakan kesaksian Alkitab itu kepada situasi dari tiap generasi dalam bimbingan Roh Kudus. Biasanya dalam kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firmanlah yang dianggap sebagai alat anugerah yang terutama, walaupun sebenarnya Luther dan Calvin mengajarkan dua norma dari gereja yang benar itu yakni: di mana Firman Allah diberitakan secara benar dan sakramen dilayani secara benar.  Oleh karena dalam norma itu disebut pemberitan Injil atau Firman yang pertama sekali, maka dalam prakteknya gereja Protestan mengutamakan Injil atau Firman itu. Ini disaksikan pula akan pengertian Augustinus yang mengatakan bahwa Sakramen itu adalah “Firman yang dapat dilihat atau Firman yang dibuat nyata.  Jadi dalam pemberitaan Injil, Firman lah yang menjadi intinya; dan di dalam sakramen sebagai “verbum visible”,  Firmanlah juga yang menjadi intinya. Itulah sebabnya di kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firman diutamakan, dan  Alkitab sebagai pusat dan dasar dari segala aktifitas  gereja.
 
Satu lagi perbedaan Protestan Klasik dan RK ialah soal tempatnya iman. Sebenarnya RK memang tidak menghapuskan begitu saja aspek  subjektif dari iman, tetapi mereka lebih mementingkan aspek  objektif dari iman itu, yaitu dengan mempercayai bahwa yang terpenting ialah apa yang diberikan kepada orang-orang percaya melalui gereja. Pengutamaan ini sedemikian rupa, sehingga kurang jelas nampak gunanya response dari kepercayaan  sebagai aspek yang subjektif dari iman. Sedangkan bagi Protestan, dengan rumusan “justification by faith” (pembenaran oleh iman), baik aspek objektif mapun aspek subjektif sama-sama mendapat tekanan, walaupun sering kelihatan aspek subjektif yang lebih menonjol. Orang percaya telah dibenarkan oleh Kistus adalah aspek objektif dari iman. Tetapi orang beriman itu harus mengadakan respons kepada pembenaran itu. Respons itulah aspek subjektif dari iman. Dia harus bertobat dan harus berbuat baik, walaupun usaha berbuat baik itu bukan sebagai satu bagian dari proses penyelamatan. Maka boleh dikatakan bahwa selain dari pada pemberitaan Injil secara objektif, dan sakramen, maka iman, doa, perbuatan baik, juga dipandang oleh golongan Protestan sebagai alat-alat anugerah. Subjketifitas dari iman berada dalam ruang lingkup objektifitas dari anugerah. Kemungkinan untuk berbuat baik adalah juga anugerah.
 
3.      Ide dari Free Church
 
Free Church bukan saja berarti bahwa gereja yang bersangkutan membiayai diri sendiri sebagai lawan dari gereja yang terikat dan dibiayai oleh negara. Dan bukan hanya berarti bahwa gereja yang bersangkutan mempunyai teologi liberal, walaupun tentunya orang-orang dari kalangan Free Church ini menolak segala  rumusan-rumusan pengakuan iman sebagai ukuran dari kebenaran. Juga bukan hanya berarti bahwa mereka tidak mempunyai suatu kontrol dari pimpinan pusat saja. Semuanya yang disebut di atas memang adalah hasiat dari Free Church, tetapi hasiat yang utama ialah bahwa Free Church adalah pemprotestanan dari agama Protestan (Protestantation of Protestant religion). Dengan kata lain, hidup dari gerja Protestan klasik dibongkar dan dipebaharui, baik dalam hal yang menyangkut organisasi maupun pengajaran.
Sebenarnya adalah sukar untuk membuat suatu rumusan yang meliputi badan-badan yang tergolong Free Church yaitu: Quakers, Bretheren, Mennonites, Bapptist, Congregationalist, Disciple, dan berbagai  badan lain yang tersebar di dunia barat terutama di Inggris dan Amerika. Tetapi mungkin jugalah merumuskan pandangan-pandangan mereka yang agak bersamaan  mengenai arti gereja dan alat-alat anugerah, yang menjadi dasar dari ikatan-ikatan mereka satu sama lain. Menurut mereka bahwa di dalam PB sudah jelas bahwa gereja itu adalah suatu persekutuan, bukan suatu institut organisatoris. Dan persekutuan itu bukanlah buatan manusia, tetapi persekutuan dalam bimbingan atau pimpinan Roh Kudus. Tidak ada manusia yang menjadi anggota persekutuan itu melalui pembaptisan. Hanyalah orang-orang yang telah bertobat yang menjadi anggotanya.
Dan menurut mereka kehadiran Kristus janganlah dicari di dalam pelayanan sakramen dan bukan di dalam pemberitaan Firman tetapi hanyalah di dalam persekutuan yang berkumpul. Firman itu memang masih penting, tetapi bukan Firman seperti yang dikhotbahkan, yang diajarkan dan yang terdapat dalam  Katekismus  serta dalam pengakuan iman. Firman itu ada, kedengaran dan berkuasa hanya melalui inspirasi dari Roh Kudus sewaktu orang-orang percaya membaca, mendengar dan bermeditasi.
Di dalam Free Church, baptisan tidak pernah diartikan sebagaimana diartikan oleh Protestan Klasik. Baptisan itu menurut mereka terutama adalah kepatuhan iman seorang percaya di dalam mana ia bersaksi secara publik tentang hidup  baru orang beriman (subjektif bukan objektif), bukan sebagai pekerjan Allah, Roh Kudus dan Yesus Kristus.  Demikian juga halnya dengan Perjamuan Kudus. Ini juga terutama dianggap sebagai tindakan persekutuan di dalam mana jemaat itu secara bersama bersaksi tentang persekutuan  di dalam Roh yang telah dialami. Pengertian ini lebih jelas kelihatan dalam golongan “Society of friends” ,  yang sama sekali tidak mempunyai sakramen secara formil dan tidak mempunyai pendeta yang ditahbiskan. Yang mereka hayati ialah pengertian jemaat sebagai persekutuan di dalam Roh.
Free Church  sekarang ini makin berkembang. Tetapi anehnya di dalam perkembangannya struktur kegerejaanya tidak jelas. Kuasa dan hak gereja setempat sekarang ini makin tipis, diperbandingkan dengan keadaan mereka bermula. Makin lama mereka juga makin cenderung  masuk ke pada struktur-struktur institut. Dan makin lama mereka juga makin menyamai Protestan Klasik dalam struktur organisasi. Dengan kata lain mereka makin menghendaki adanya kontrol dari pusatnya.
Contoh: gereja  Baptis dan Congregational. Dulu pada mulanya Kantor Pusat mereka tidak berhak mengatakan sesuatu  kepada setiap jemaat setempat. Kantor pusat kebanyakan hanya berfungsi sebagai pelaksana saja dari keputusan-keputusan gereja setempat. Tetapi belakangan ini kantor Pusat mereka makin mempunyai banyak kuasa dan kontrol terhadap jemaat setempat. Tetapi contoh yang lebih jelas adalah dalam gereja Methodis. Pada permulaannya gereja methodis sungguh-sungguh hidup sebagai Free Church, di mana jemaat setempat sajalah yang berkuasa atas dirinya. Tetapi sekarang struktur gereja Methodis sudah sama dengan struktur gereja Protestan Klasik. Mereka malah sudah mempunyai bishop.
 
Sebenarnya tiga pendirian yang disebut di atas bukan tidak dapat disatukan dalam satu badan. Umpamanya di Inggris gereja Anglikan yang sebenarnya bersifat Episkopal dan gereja Methodis yang sebenarnya bersifat Free Church bergabung dalam suatu badan gereja. Demikian juga gereja-gereja di India Selatan mempersatukan  ketiga pendirian itu dalam satu badan gereja, sehingga  terbentuk satu gereja yang bernama ‘ The Church of South India” (Gereja India Selatan). Ini adalah ssebagai hasil dari gerakan oikumenis di sana.
Gerakan-gerakan oikumenis  yang berkembang sekarang ini  nampaknya menganjurkan adanya sruktur  gereja yang demikian yakni: adanya struktur pusat yang bertalian dengan struktur-struktur lain di sekitarnya dan tiap-tiap struktur juga mempunyai  hubungan komunikasi di antara sesamanya. Tetapi belum jelas  dalam arti apa struktur pusat itu berada di pusat. (MSM  PANJAITAN)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar