Kamis, 04 November 2021

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN BAPTISAN

 

MEMAHAMI ARTI DAN MAKNA SAKRAMEN  BAPTISAN

 

      Biasanya dalam  ajaran gereja Protestan, Firman dan Sakramen adalah merupakan “means of grace” (alat-alat anugerah). Tetapi secara praktis, gereja Protestan memberi tekanan yang sangat berat akan arti Firman, karena Sakramen selalu ditafsirkan sebagai “Firman yang kelihatan”, Firman yang konkrit, yang dapat dijamah atau dimakan.

 Istilah sakramen, yang berasal dari kata Latin “sacramentum”, dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani  " musthrion” ( mysterion), yang  artinya misteri atau rahasia.  Kata yang dipakai oleh gereja pada mulanya untuk menyebut perbuatan-perbuatan kudus gereja  yang dianggap sebagai sesuatu yang  bersifat rahasia. Augustinus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan bahwa Sakramen adalah Firman yang kelihatan  dalam unsur duniawi  bagi kita yang masih di dunia ini.  Pemikiran inilah juga yang mendasari konsep Martin Luther, yang mengatakan bahwa Sakramen adalah tindakan suci Tuhan Allah di mana unsur-unsur yang kelihatan (visible), dipergunakan sebagai saluran anugerahnya yang tidak kelihatan  (invisible). Malah ada kecenderungan dalam aliran Protestan yang mengatakan bahwa  Sakramen adalah sebahagian dari  Firman Allah.

Bagi gereja-gereja Protestan, hanya ada dua sakramen yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sedangkan gereja Roma Katolik  mengajarkan adanya tujuh sakramen yaitu:  1.  Baptisan;  2. Confirmation (Konfirmasi – peneguhan iman); 3.  Pengakuan dosa (Penance);  4. Missa (Ekaristi – Perjamuan Kudus);  5. Peminyakan terakhir (Final Unction) bagi orang sakit yang mau meninggal);  6.  Penahbisan Imam;  7. Nikah/  Pemberkatan Perkawinan

Bagi  bapak-bapak reformasi,  lima dari antara yang tujuh itu kurang berlandaskan Kitab Suci, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sakramen.  Tetapi walaupun gereja-gereja pengikut reformasi sama-sama mengakui hanya ada dua sakramen, tetapi gereja-gereja tersebut juga mempunyai tafsiran yang berbeda-beda mengenai  makna dari sakramen itu. Misalnya bagi Zwingli, Baptisan dan Perjamuan Kudus hanya  simbol saja.

 

 

Pembaptisan sebagai Sakramen kelahiran baru

 

Sebenarnya hampir di semua agama ada upacara yang menyerupai baptisan, walaupun tidak semuanya dilakukan dalam bentuk air.Tujuannya ialah untuk memasukkan orang yang dibaptis itu menjadi anggota dari persekutuan agama itu, dan orang  itu telah dianggap memasuki kehidupan yang baru yaitu  hidup dari golongan orang yang membaptis itu.

Apabila Yohannes Pembaptis memberikan baptisan pengampunan dosa,  janganlah itu disamakan dengan pembaptisan Yesus Kristus. Inilah dasar kalangan Protestan  untuk tidak menerima  ajaran dari sekte lain, seperti: Pentakosta,  yang mendasarkan pemahamannya akan  baptisan itu seperti pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes Pembaptis. Pembaptisan Yohannes tidak sama dengan pembaptisan  Yesus Kristus, karena pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes bukanlah merupakan alat anugerah. Baptisan yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan murid-muridnya dalam Mat. 28: 18-20 adalah alat anugerah, sedangkan baptisan Yohannes hanya  merupakan tanda pertobatan.

Dalam Mat. 28: 18-20,  Kristus memberikan mandat kepada murid-muridnya,  yang disebut dengan  “the Great Commission” (Amanat Agung).  Tetapi walaupun mandat itu diberikan kepada murid-muridnya, itu bukan berarti bahwa baptisan  yang dijalankan  itu  merupakan pekerjaan murid-murid  yang disuruh tersebut. Pada hakekatnya baptisan itu adalah pekerjaan Roh Kudus, bukan pekerjaan manusia. Pekerjaan membaptiskan juga dalam rangka menjadikan  yang dibaptis itu menjadi murid Yesus, yang setelah itu mengajar mereka  untuk melakukan apa yang telah diperintahkan (diajarkan) oleh Yesus kepada murid-muridnya itu. Jadi memang dalam amanat itu  disebut pertama adalah baptiskan, baru ajarkan.  Berdasarkan inilah boleh dibenarkan perbuatan-perbuatan  gereja-gereja yang lebih dahulu membaptiskan anak sebelum diajarkan kepada mereka. Tetapi ini memang bukan merupakan ketentuan yang absolut bahwa lebih dahulu membaptiskan baru mengajarkan. Di daerah-daerah Zending di mana lebih dahulu dilakukan pendekatan  orang-orang yang sudah dewasa, tentu saja  pengajaran kekristenanlah yang lebih dahulu diberikan kepada mereka supaya dengan demikian mereka dapat  memahaminya dan menumbuhkan iman kepercayaan bagi mereka.

Tetapi hal yang lebih penting yang dapat dilihat dari Amanat Agung Tuhan Yesus di Mat. 28: 18-20 itu ialah  bahwa baptisan itu diadakan dalam perspektif  “kehadiran Yesus Kristus”, karena disana Yesus Kristus mengatakan: “ketahuilah, Aku menyertai kamu  sampai  kepada akhir zaman”. Kalau begitu, para rasul atau para pendeta di kemudian, hanyalah merupakan alat, yang memberikan “kehadiran Yesus Kristus itu”.

 

Pembaptisan itu disebut “menyelamatkan”

 

                Dalam I Petrus 3: 20-21 disebutkan bahwa orang yang percaya diselamatkan dengan air, yang menghunjuk kepada keselamatan Nuh dan keluarganya. Sebagaimana Nuh diselamatkan dengan air, demikian juga orang-orang Kristen diselamatkan melalui baptisan. Baptisan itu dimaksudkan bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani,  melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Jadi di sini air baptisan itu diartikan sebagai kebangkitan  Yesus Kristus.

            Paulus  dalam Titus 3: 5-7, mengatakan bahwa Kristus menyelamatkan kita dengan pemandian kelahiran kembali dan  pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Tidak lain tidak bukan maksudnya adalah pembaptisan. Pada hari Pentakosta, para rasul  yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus itu menganjurkan : “ Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi  dirimu   dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”  ( Kis. 2: 38). Terang sekali nampak di sini bahwa pengampunan dosa itulah hakekat dari pembaptisan. Sama seperti yang disebut dalam Titus  3: 5-7 itu, pembenaran dari dosalah yang menjadi inti dari baptisan. Roh Allah selalu berdiam di dalam hati orang-orang yang telah diampuni dosanya untuk selalu menciptakan hidup yang baru.

 

Siapakah yang akan dibaptis?

 

Tentu semua orang yang mau dan bersedia untuk dibaptis. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan:  “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.” Kamu di sini  meliputi tua dan muda,  Yahudi dan non- Yahudi, karena seperti dikatakan dalam  I Tim. 2: 4, Tuhan Allah menghendaki agar semua manusia selamat.  Tetapi seseorang yang diselamatkan itu harus lebih dahulu lahir dari air dan roh  ( Yoh. 3: 5). Lahir dari air dan roh berarti baptisan. Hal itu merupakan keharusan  karena kita semuanya adalah anak kutuk atau orang-orang yang harus dimurkai. ( band.  Epes. 2: 3-5)  

 

Siapakah yang sewajarnya menerima baptisan?

 

Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu sebelum baptisan diterima. Karena sekiranya syarat-syarat untuk itu tidak ada, pada hal disebut bahwa baptisan itu mempunyai  effek, maka baptisan itu  akan bisa dianggap sebagai kekuatan yang bersifat magis belaka, dan seolah-olah air dan perbuatan pendeta yang membaptisan itu saja yang menimbulkan effek itu.  Air dan baptisan itu bukan sesuatu kekuatan magis.  Dalam kitab Suci dikatakan bahwa iman kepada Yesus Kristuslah  yang menjadi syarat utama  dalam proses keselamatan.  Baptisan yang tidak disertai oleh iman kepada Yesus Kristus, tidak berarti apa-apa. Demikian juga penerimaan Injil tanpa baptisan juga tidak membuahkan apa-apa. Baptisan yang mempunyai arti ialah baptisan yang disertai oleh Firman Tuhan dan yang diterima dengan iman. Demikian pentingnya iman, sehingga bisa   dilihat bahwa  iman  dari kepala penjara di Filipi dapat merangkul (Batak: manghangkung) keluarganya, oleh sebab mana semua anggota keluarganya dapat dibaptiskan. (Kis. 16: 31- 34). Di sini  kita melihat ruang lingkup dari iman yang mencakup  bahkan manusia yang secara azasi  kita tanggung-jawabi.

 

Tentang orang-orang percaya yang tidak dibaptiskan

 

Tentu timbul pertanyaan, bagaimana orang-orang percaya terhadap Kristus tetapi meninggal sebelum  dibaptiskan ? Bagaimana tentang anak-anak Kristen yang meninggal sebelum dibaptiskan? Pertanyaan ini timbul  berhubung dengan Yoh. 3: 5 yang mengatakan:  Seseorang tidak mungkin masuk ke dalam Kerajaan  Allah jika tidak dilahirkan dalam air dan roh. Terhadap persoalan ini ada tiga jawaban, yaitu:

 

(1)    Oleh karena tidak ada manusia yang dapat menentukan saat meninggalnya, maka haruslah dilihat  I Tim.2: 4, yang mengatakan bahwa Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Tetapi ayat ini jangan ditafsirkan sebagai pembenaran akan orang-orang yang sengaja menolak Kristus. Orang yang menganut faham universalisme keselamatan tidak boleh mengambil ayat ini sebagai alat teologisnya.  Tetapi ayat tadi sangatlah  baik untuk dikenakan kepada orang-orang yang percaya tetapi meninggal sebelum dibaptiskan. Karena bagaimana pun juga dalam hidupnya orang itu  telah diisi oleh iman,  ketika mana maut yang tidak bisa dikontrol oleh manusia itu  mengakhiri hidupnya.

(2)   Khusus mengenai anak-anak.  Ingatlah Mat. 18: 14 yang mengatakan bahwa  Allah Bapa  menghendaki agar salah seorang anak yang kecil ini tidak ada yang binasa. Baik dalam konteksnya  maupun di luar konteksnya, ayat ini dapat dipegang sebagai  hiburan dalam memikirkan kunjungan maut terhadap salah seorang anak Kristen yang belum  dibaptiskan. Adalah kekejaman teologis untuk mengatakan bahwa anak yang demikian yang mati sebelum dibaptsikan tidak masuk kerajaan Allah.

(3)   Tuhan Allah dalam kemahakuasaannya tentu dapat melahirkan kembali seseorang dalam cara yang tidak dapat dimengerti. Bahwa seseorang harus  dilahirkan kembali agar dia memasuki Kerajaan Allah memang merupakan ketentuan. Dan sepanjang yang dinyatakan kepada kita memang baptisanlah  cara melahirkan kembali itu. Tetapi Allah lebih besar dari pada pernyataannya yang diberikan kepada kita. Tentu ada proses lain dalam melahirkan kembali seseorang yang meningal sebelum dibaptisklan, di luar pernyataan itu sendiri. Pernyataan Allah yang diberikan  untuk kita mengerti dan untuk kita patuhi tidak pernah menjadi sumber  frustrasi dalam hal menghadapi persitiwa-persitiwa sulit.  Kita harus sanggup membuka diri kepada adanya cara-cara Allah bekerja di luar apa yang dinyatakan kepada kita.

 

Mengenai baptisan anak-anak (Infant baptism)

 

Di dalam masyarakat Israel, sunatlah yang merupakan upacara keagamaan memasukkan  seorang anak yang baru lahir ke dalam keluarga keagamaan mereka. Penyunatan itu dilakukan pada hari ke 8 sesudah lahir, yang tentu maksudnya selekas mungkin.  Sebagaimana dalam PL penyunatan adalah upacara penerimaan  seorang anak masuk menjadi anggota keluarga  agama Yahudi, demikianlah  baptisan dianggap sah sebagai upacara penerimaan masuknya anak ke dalam kekeluargaan Perjanjian Baru. Inilah yang diandaikan oleh Kolose 2: 11-12. Dan biasanya keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah keberatan  membaptiskan anak-anaknya. Dan demikian juga  orang-orang Kristen yang mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya. Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini  mempunyai persetujuan akan upacara keagamaan  (religious rite) tentang penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa yang tidak ada anak-anak.  Artinya  bangsa yang dimaksud juga meliputi anak-anak.  Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak tidak pernah  di exclude (ditiadakan). Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan menghapuskan. Dan seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu  muncul kritik dari suatu golongan Kristen yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan baptisan terhadap orang dewasa.    

Yang paling menentang baptisan anak-anak sesudah reformasi  ialah golongan yang mengikuti faham “Synergisme”,  yaitu suatu faham yang mengatakan manusia bekersama dengan Allah dalam keselamatannya. Keselamatan manusia bukan hanya anugerah Allah melulu, tetapi dalam iman itu manusia bekersama dengan Allah. Jadi menurut golongan ini anak-anak tidak disetujui untuk dibaptiskan, karena anak-anak dianggap tidak mungkin beriman, tidak mungkin berbuat baik, tidak mungkin dapat bekerja sama dengan Allah. Tetapi kalau kita menerima keselamatan adalah melulu pekerjaan Allah, maka kita dapat menerima baptisan anak-anak.  Kita dapat mengatakan dalam soal iman anak-anak bisa melebihi orang-orang dewasa. Dalam Luk.18: 17, Tuhan Yesus mengatakan : “Sesungguhnya  barangsiapa tidak menyambut Kerejaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”. Istilah yang dipakai untuk anak kecil dalam Luk. 18: 15-17, bukan hanya “paidion” (paidion), tetapi juga “brejh” (brephe).  Dalam bahasa Yunani “brejh” bahkan meliputi anak yang masih dalam kandungan. Dalam teks ini  Kerajaan Allah meliputi “brejh  juga. Anak-anak tidak usah harus menjadi dewasa dulu baru memasuki Kerajaan Allah, karena orang-orang dewasa pun harus menerima Kerejaan Allah seperti anak-anak. Dan dalam Mat. 18: 3 , lebih positif lagi dikatakan, di mana Yesus mengatakan:  “ Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.

Memang semuanya problem ini adalah berkisar  di sekitar arti dari iman. Pihak yang tidak menerima baptisan anak-anak, alasannya selalu bahwa anak-anak belum mempunyai iman. Tetapi kita meragukan pikiran yang mengatakan bahwa seorang anak kecil belum mempunyai iman, karena dalam Mat. 18: 6, Yesus mengatakan bahwa anak kecil juga sudah percaya kepada Yesus. Yang menjadi persoalan adalah apakah  hakekat dari iman. Adalah kurang hati-hati apabila ada ahli-ahli teologi mengertikan  iman sebagai pengetahuan, atau keyakinan  (batak: pos ni roha)  di dalam arti disadari.  Pemahaman yang demikian telah membatasi  pengetahuan dan keyakinan dalam batas kesadaran. Tetapi kita kurang menyetujui pendapat yang demikian, karena kalau demikian halnya, bagaimana  nasib orang-orang Kristen yang menjadi  gila atau hilang kesadarannya, apakah mereka sudah di luar Kerajaan Allah. Memang kita akui bahwa keyakinan dan pengetahuan yang disadari adalah penting, tetapi itu bukan merupakan hakekat dari iman. Secara negatif bahwa hakekat dari “ketidak percayaan kepada Allah adalah menolak Allah”. (Kis. 7: 5 :  menghalangi Roh Kudus; Ibrani 3: 8 – mengeraskan hati.  Dalam diri orang-orang percaya, Roh Kudus merombak penolakan kemanusiaan dari orang-orang percaya itu, tanpa merusak kepribadian orang yang bersangkutan. Dan inilah yang dilakukan oleh Roh Kudus dalam pemberitaan Firman dan dalam baptisan. Sifat menolak Allah dari manusia itu dirombak oleh Roh Kudus, agar orang itu dimungkinkan menerima anugerah Allah. Jadi secara positif hakekat iman itu ialah : “Created receptiveness of the grace of God”  (sifat menerima yang diciptakan Roh Kudus akan anuegrah Allah; bd.  Epes. 2: 8 – iman bukan hasil usaha manusia  tetapi adalah pemberian Allah).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iman itulah sifat dari hidup baru yang diterima di dalam kelahiran baru itu. Dalam Titus 3: 5, dikatakan bahwa  penyucian kelahiran baru itu dan juga pembaharuan dari hidup itu adalah melulu pekerjaan  Roh Kudus. Jadi kalau demikian halnya maka anak-anak juga mesti dibaptiskan, agar dia juga dimungkinkan  menjadi orang yang sanggup menerima Roh Allah.

Sejajar dengan kenyataan ini ialah bahwa pemberontakan  terhadap Allah adalah karakteristik dari orang-orang dewasa yang di luar Kerajaan Allah. Tetapi  sifat seperti itu tidak mungkin menjadi karakteristik dari anak-anak. Memang sewaktu  anugerah Tuhan menyentuh anak-anak, di dalam anak-anak itu  juga anugerah menjumpai resistensi  (perlawanan) yang tidak disadari, oleh karena anak-anak juga lahir dalam  sarx” (daging) .( Di dalam Yoh. 3: 6, dikatakan:  “Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh”).   Tetapi resistensi dari anak-anak bukanlah resistensi yang disadari dan bukan resistesnsi yang dikehendakinya. Dalam hal ini anugerah Tuhan yang dimeteraikan oleh Roh Kudus dalam iman dengan sendirinya mendobrak resistensi yang tidak disadari oleh anak itu.

Pada hakekatnya iman kepada Tuhan adalah keterbukaan yang mengakibatkan kesanggupan untuk menerima angerah Allah. Ini penting dikatakan dengan berhati-hati, sedangkan bagi orang-orang dewasa iman itu pada hakekatnya bukanlah tindakan yang disadari. Kesadaran bukan dalam semua waktu dan dalam segala keadaan. Seandainya  kesadaran itulah yang menjadi ukuran dari iman, maka boleh sewaktu dalam tidur atau pingsan, kita tidak beriman. Iman itu ada di dalam hidup baru yang bukan merupakan buah dari usaha manusia. Dan dalam hidup baru itu kita bisa bertindak secara sadar,  tidur, pingsan, tanpa mengurangi  pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan Allah.  Memang aspek hidup yang tergolong  di dalam iman yang dewasa, umpamanya pengetahuan teologi, pengertian Kristen, keyakinan Kristen, sukacita, kesabaran, memang sangat penting sekali artinya dalam pertumbuhan kerohanian seseorang. Tetapi itu bukanlah hakekat dari iman, melainkan buah dari iman. (Lihat. Gal. 5: 22).  Dengan demikian baptisan anak  mendapat tempat yang terpenting dalam hidup gereja (Pdt MSM Panjaitan).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar