Selasa, 02 November 2021

BAIT ALLAH BAGI UMAT KRISTEN

 

BAIT ALLAH BAGI UMAT KRISTEN

 

Bagi Umat Kristen Bait Allah berarti Rumah Allah. Kadang-kadang Bait Allah juga disebut Bait Suci karena Allah yang berdiam di dalamnya adalah suci atau kudus. Belakangan ini Bait Allah sudah lebih sering disebut “gereja”, walaupun sebutan itu sudah bergeser dari pengertian yang sebenarnya. Pengertian dari kata “gereja”  pada dasarnya bukan menunjuk kepada bangunannya. Kata itu yang berasal dari bahasa Portugis  “igreja” dan terjemahan dari bahasa Yunani “ekklesia” adalah berarti persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus Kristus, yang dipanggil keluar dari dunia ini untuk dipersekutukan dalam satu persekutuan oleh Roh Kudus . Dalam kitab Perjanjian Baru, kata “ekklesia” kadang-kadang juga diterjemahkan dengan “jemaat” dalam bahasa Indonesia  yang artinya juga merupakan persekutuan orang orang percaya dalam satu lokasi atau tempat tertentu. Dalam bahasa Batak disebut “huria”.  Tetapi arti kata”jemaat” pun belakangan ini sudah sering  bergeser,  bukan lagi menunjuk kepada persekutuan atau umat tetapi sudah sering disebut menunjuk kepada perorangan anggota jemaat itu sendiri. Tetapi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata jemaat sebenarnya adalah  “sehimpunan umat”, jadi bukan menunjuk kepada perorangan. Kalau menghunjuk kepada perorangan, harus menyebutnya dengan “anggota jemaat”. Jadi jemaat adalah persekutuan warga gereja dalam suatu lingkungan atau wilayah, atau kampung tertentu. Misalnya dalam naungan HKBP,  Jemaat (Huria )  Pearaja, Jemaat  Tarutung, Jemaat Simorangkir dll.  Jadi Jemaat itu sama artinya dengan “huria marsadasada” atau jemaat setempat yang dalam bahasa asing disebut “congregatio” atau “congregation”. Jadi pengertian kata “jemaat” yang sudah bergeser itu,  perlu diluruskan.            

Pada mulanya umat Kristen tidak mempunyai Bait Suci sebagai tempat peribadahan dan persekutuan mereka. Mereka hanya bersekutu di rumah-rumah sesama orang Kristen itu untuk melakukan persekutuan ibadah dan doa kepada Allah. Setiap hari Minggu mereka bersekutu untuk merayakan  kebangkitan Yesus dan Turunnya Roh Kudus. Seterusmya hari Minggu itulah yang mereka ikuti sebagai waktu persekutuan mereka untuk beribadah dan berdoa kepada Allah. Mereka tidak lagi mengikuti waktu peribadahan Yahudi pada hari Sabat. Selain di rumah-rumah, mereka juga sering melakukan persekutuan di “katakombe-katakombe”, yakni lorong-lorong bawah tanah kuburan-kuburan, terutama di kota Roma. Dengan cara itu mereka juga mau menyembunikan diri dari penghambatan atau persekusi yang dilakukan oleh pemerintah Romawi terhadap orang-orang Kristen tersebut.

Tetapi walaupun tidak mempunyai bait khusus untuk tempat beribadah, mereka tidak berkecil hati dan tidak mengurangi semangat beribadah mereka kepada Allah. Mereka telah menghayati apa yang diajarkan oleh rasul Paulus, bahwa diri setiap orang yang percaya kepada Yesus adalah Bait Allah, seperti tertulis dalam 1 Korint 3: 16-17: “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu”.

Jadi yang sangat perlu dihayati oleh orang-orang Kristen adalah  bahwa di manapun mereka menyembah Allah, mereka patut menyembah-Nya di dalam roh dan kebenaran, karena Allah itu adalah Roh. Itulah yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. ( Yoh. 4: 24)

            Tetapi setelah adanya kebebasan bagi umat Kristen untuk menjalankanm agamanya, terlebih setelah adanya raja dari suatu negara atau kerajaan  yang menjadi Kristen, maka dibangunlah Bait Suci sebagai tempat orang-orang Kristen itu untuk bersekutu dan beribadah kepada Allah. Bait Suci orang Kristen yang pertama dijumpai di kerajaan Edessa, Mesopotamia Utara, yang dibangun oleh rajanya, yakni Abgar VIII, segera setelah raja itu  dibabtis menjadi Kristen, tahun 180 M. Dialah yang tercatat sebagai raja pertama di dunia ini yang menjadi Kristen, sekaligus menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi di dalam kerajaannya.

            Di kekaisaran Romawi,  kaisar yang pertama mengakui agama Kristen sebagai agama resmi di kekaisaran itu ialah Kaisar Konstantinus Agung, yakni tahun 313 M. Sejak itu penghambatan terhadap agama Kristen dihentikan dan agama Kristen mendapat perlindungan dari negara. Lalu setelah  itu berdirilah banyak bait suci Kristen di lingkungan kekaisaran itu. Bahkan ibu dari kaisar itu  sendiri yang bernama Helena, membangun Gereja Makam Suci Yesus Kristus di Yerusalem ketika dia berziarah ke kota itu. Dia juga membangun Gereja Nativity, tahun 329, di kandang domba tempat kelahiran Yesus.

                Setelah agama Kristen tersebar ke seluruh belahan Eropa, di mana pada abad Pertengahan, seluruh bangsa di Eropa telah menjadi Kristen, maka berdirilah di Eropa banyak “gereja” besar, yang disebut katedral. Katedral-katedral itulah yang yang menjadi simbol-simbol keagungan kekristenan, yang sangat dibanggakan oleh umat Kristen di Eropa pada waktu itu. Memang diakui bahwa kekristenan telah membawa kemajuan besar bagi bangsa-bangsa Eropa.  Di berbagai katedral itu berdirilah juga pusat-pusat biara sekaligus sebagai pusat-pusat pendidikan,  yang kemudian menjadi awal berdirinya universitas-universitas yang membawa kemajuan di Eropa di berbagai ilmu pengetahuan. Sekitar tahun 1100 M, telah berdiri banyak universitas di Eropa yang menjadi pusat pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan di Eropa.

            Tetapi di kemudian hari,  gereja-gereja besar yang ada di Eropa tidak begitu banyak lagi dipergunakan oleh orang-orang Kristen Eropa untuk menjadi tempat beribadah. Orang-orang Kristen Eropa tidak lagi mengutamakan persekutuan dan peribadahan di gereja. Mereka sudah lebih membangkitkan dan mengembangkan pelayanan-pelayanan yang bersifat sosial dan kemanusiaan.

            Sekitar abad ke 17- 18 M, terjadi kebangunan rohani di tengah-tengah umat Kristen di Eropa yang mendorong berdirinya banyak lembaga-lembaga zending yang mempersiapkan dan memberangkatkan pekabar-pekabar Injil ke berbagai bangsa di Asia,  Afrika dan Amerika Selatan, yakni daerah-daerah yang diketahui belum terjangkau oleh berita Injil itu. Sebelum itu, negara-negara di Eropa  mulai dari Portugis, Spanyol, Inggris, Jerman, Belanda, dll, telah mempunyai daerah-daerah jajahan di wilayah-wilayah dunia tersebut. Lembaga-lembaga Zending Eropa yang sudah berdiri itu memanfaatkan  situasi tersebut, yakni dengan ikut bergandengan tangan dengan negara-negara yang sudah mempunyai daerah-daerah jajahan itu,  untuk memberitakan Injil di daerah-daerah jajahan mereka. Sehingga ketika Indonesia dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda dan Inggris maka masuklah beberapa lembaga zending dari Eropa ke Indonesia seperti “Baptist Missionary Society “ dari Inggris, “Nederlandsch Zendeling genootschap” (NZG) dari  Belanda, dan  “Rheinische Missionsgesellscgaft” ( RMG)  dari Jerman, yang banyak melahirkan gereja-gereja besar di Indonesia. Di beberapa daerah yang didiami oleh suku-suku yang masih menganut kepercayaan suku atau animisme, kekristenan itu cepat berkembang, yang dengan demikian berdirilah gereja-gereja yang berlatar-belakang kesukuan.  Gedung-gedung gereja mereka juga dibangun dengan cepat sebagai tempat persekutuan dan peribadahan mereka, seperti yang terjadi di Tanah Batak, di mana sebuah gereja besar yang bernama “ Huria Kristen Batak Protestan” ( HKBP), hasil penginjilan lembaga zending RMG dari Jerman   berdiri. Gedung-gedung gereja besar yang mengikuti arsitektur gereja-gereja di Eropa pun  segera dibangun sebagai tempat persekutuan dan peribadahan mereka.  Sejalan dengan kemajuan yang diakibatkan oleh kekristenan itu sendiri, maka orang-orang Kristen Batak  anggota jemaat HKBP, banyak yang berserak ke luar daerah Tanah Batak, terutama ke kota-kota besar yang ada di Indonesia, untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di tempat-tempat mereka yang baru, terutama di kota-kota, mereka terus mendirikan gedung-gedung gereja yang besar dan megah . Gedung-gedung gereja itulah yang dijadikan sebagai pusat-pusat pelayanan kepada anggota jemaat. Selain dari kebaktian-kebaktian minggu, maka terbentuk juga pelayanan-pelayanan anggota jemaat yang bersifat kategorial, mulai dari anak Sekolah Minggu, Remaja, Naposoblung ( kaum pemuda), kaum Bapak, kaum Ibu, dan kaum Lanjut Usia. Mereka semua dilayani sesuai dengan kebutuhan spritual mereka. Karena itu setiap Jemaat setempat ( Huria marsadasada) kelihatannya berlomba untuk membangun gedung-gedung gereja yaang besar dan megah, sesuai dengan berbagai  kebutuhan pelayanan tersebut. Pelayanan kepada anggota jemaat menjadi terpusat di dalam gedung gereja itu sendiri. Potensi setiap jemaat setempat seolah-olah dicurahkan kepada bangunan fisik gereja itu sendiri, melebihi kepada pelayanan yang lain yang membina kehidupan spritual anggota jemaat itu sendiri.  Sering terjadi dana yang disediakan jemaat setempat kurang kepada pelayanan spritual anggota jemaat itu sendiri, terlebih kepada pembinaan anak-anak sekolahminggu, remaja dan “naposobulung” (kaum pemuda) sebagai generasi yang melanjutkan jemaat itu sendiri, demi tersedianya dana untuk pembanguan secara fisik. Banyak jemaat setempat bersama dengan majelisnya ( parhalado ni huria) merasa puas dan bangga kalau sudah  berhasil membangun gedung gereja yang besar dan megah, seolah-olah itu menjadi prestasi kerja mereka. Mungkin di suatu waktu Allah seolah-olah terkurung dalam gedung gereja itu, dimana  Dia dianggap tidak perlu tahu apa yang terjadi di luar gedung gereja itu dalam kehidupan anggota jemaat. Di dalam perasaan anggota jemaat itu pun seolah-olah Allah tidak perlu tahu dan mencampuri apa yang mereka lakukan di luar gedung gereja itu sendiri, seperti yang pernah terjadi dalam kehidupan umat Israel. Umat Israel pernah lebih mengkultuskan Baith Allah di Yerusalem dari pada melaksanakan hukum-hukum Alla itu dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Mereka tetap datang menyembah Allah di Baith Allah, tetapi di tengah-tengah masyarakat banyak terjadi kejahatan, ketidak adilan sosial, dan penindasan kepada dolongan masyarakat yang lemh. Inilah bahaya besar apabila hal sperti itu terjadi  bagi hidup kekristenan anggota jemaat itu. Orang-orang Kristen itu bisa saja tidak merasa takut lagi melakukan berbagai perbuatan atau tindak kejahatan yang melanggar hukum kekristenan, karena menganggap Allah tidak perlu mencampuri semua itu, karena mereka menganggap yang perlu dilakukan cukuplah rajin datang beribadah ke gereja, mengikuti ritus-ritus ibadah  gereja secara seremonial dan ritual, memberikan persembahan ke gereja seperti diaturkan oleh gereja. Dengan melakukan itu semua, mereka menganggap sudah cukup untuk menyenangkan hati Allah.

Tetapi kita harapkan pemahaman hidup kekristenan anggota jemaat  janganlah sampai kepada tingkat pemahaman  seperti itu, karena Allah adalah Roh, yang ada di mana-mana, yang mengetahui seluk-beluk kehidupan dan perlakuan semua manusia yang diciptakan-Nya. Kepatuhan kepada Allah tidak cukup dilakukan hanya dengan cara mematuhi ritus-ritus dan aturan-aturan yang diperbuat oleh gereja.  Dalam semua gerak kehidupannya, di rumah, di tempat kerja, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, orang Kristen harus menunjukkan kepatuhan kepada Allah. Kita perlu mengingat dan merenungkan apa yang pernah terjadi dalam kehidupan umat Israel, dan Yahudi yang  lebih mengkultuskan dan memusatkan kehidupan penyembahan mereka kepada Allah hanya di Bait Allah itu, dan di luar Bait Allah mereka mengabaikan Allah, maka sampai beberapa kali Bait Allah di Jerusalaem itu dibiarkan oleh Allah diruntuhkan oleh bangsa lain, karena umat itu mengkultuskan dan menyalah gunakan Bait Allah itu sendiri. Terakhir sekali dimusnahkan oleh tentera Romawi tahun 70 M, yang membuat umat Yahudi terpencar ke seluruh penjuru dunia, sehingga sejak itu sampai sekarang tidak ada lagi Bait Allah umat Yahudi. Bisa saja juga gereja umat Kristen suatu waktu  dibiarkan oleh Allah dihancurkan oleh masyarakat lain atau tidak diizinkan oleh Allah berdiri kalau ternyata gedung gereja sebagai Bait Allah disalah gunakan oleh umat Kristen itu, atau jemaat itu tidak mempunyai kepedulian  kepada hehidupan masyarakat lingkungan.

(Pdt.Mangontang SM. Panjaitan,MTh,   pendeta pensiun)

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar