BAIT ALLAH BAGI UMAT
KRISTEN
Bagi Umat Kristen Bait Allah berarti
Rumah Allah. Kadang-kadang Bait Allah juga disebut Bait Suci karena Allah yang
berdiam di dalamnya adalah suci atau kudus. Belakangan ini Bait Allah sudah
lebih sering disebut “gereja”, walaupun sebutan itu sudah bergeser dari
pengertian yang sebenarnya. Pengertian dari kata “gereja” pada dasarnya bukan menunjuk kepada
bangunannya. Kata itu yang berasal dari bahasa Portugis “igreja” dan terjemahan dari bahasa Yunani
“ekklesia” adalah berarti persekutuan orang-orang yang percaya kepada Yesus
Kristus, yang dipanggil keluar dari dunia ini untuk dipersekutukan dalam satu
persekutuan oleh Roh Kudus . Dalam kitab Perjanjian Baru, kata “ekklesia”
kadang-kadang juga diterjemahkan dengan “jemaat” dalam bahasa Indonesia yang artinya juga merupakan persekutuan orang
orang percaya dalam satu lokasi atau tempat tertentu. Dalam bahasa Batak
disebut “huria”. Tetapi arti
kata”jemaat” pun belakangan ini sudah sering
bergeser, bukan lagi menunjuk
kepada persekutuan atau umat tetapi sudah sering disebut menunjuk kepada
perorangan anggota jemaat itu sendiri. Tetapi dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kata jemaat sebenarnya adalah
“sehimpunan umat”, jadi bukan menunjuk kepada perorangan. Kalau
menghunjuk kepada perorangan, harus menyebutnya dengan “anggota jemaat”. Jadi
jemaat adalah persekutuan warga gereja dalam suatu lingkungan atau wilayah,
atau kampung tertentu. Misalnya dalam naungan HKBP, Jemaat (Huria ) Pearaja, Jemaat Tarutung, Jemaat Simorangkir dll. Jadi Jemaat itu sama artinya dengan “huria
marsadasada” atau jemaat setempat yang dalam bahasa asing disebut “congregatio”
atau “congregation”. Jadi pengertian kata “jemaat” yang sudah bergeser itu, perlu diluruskan.
Pada mulanya umat Kristen tidak
mempunyai Bait Suci sebagai tempat peribadahan dan persekutuan mereka. Mereka
hanya bersekutu di rumah-rumah sesama orang Kristen itu untuk melakukan
persekutuan ibadah dan doa kepada Allah. Setiap hari Minggu mereka bersekutu
untuk merayakan kebangkitan Yesus dan
Turunnya Roh Kudus. Seterusmya hari Minggu itulah yang mereka ikuti sebagai
waktu persekutuan mereka untuk beribadah dan berdoa kepada Allah. Mereka tidak
lagi mengikuti waktu peribadahan Yahudi pada hari Sabat. Selain di rumah-rumah,
mereka juga sering melakukan persekutuan di “katakombe-katakombe”, yakni
lorong-lorong bawah tanah kuburan-kuburan, terutama di kota Roma. Dengan cara
itu mereka juga mau menyembunikan diri dari penghambatan atau persekusi yang
dilakukan oleh pemerintah Romawi terhadap orang-orang Kristen tersebut.
Tetapi walaupun tidak mempunyai
bait khusus untuk tempat beribadah, mereka tidak berkecil hati dan tidak
mengurangi semangat beribadah mereka kepada Allah. Mereka telah menghayati apa
yang diajarkan oleh rasul Paulus, bahwa diri setiap orang yang percaya kepada
Yesus adalah Bait Allah, seperti tertulis dalam 1 Korint 3: 16-17: “Tidak
tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam
kamu? Jika ada orang yang membinasakan bait Allah, maka Allah akan membinasakan
dia. Sebab bait Allah adalah kudus dan bait Allah itu ialah kamu”.
Jadi yang sangat perlu dihayati oleh orang-orang
Kristen adalah bahwa di manapun mereka
menyembah Allah, mereka patut menyembah-Nya di dalam roh dan kebenaran, karena
Allah itu adalah Roh. Itulah yang diajarkan oleh Yesus kepada murid-murid-Nya.
( Yoh. 4: 24)
Tetapi
setelah adanya kebebasan bagi umat Kristen untuk menjalankanm agamanya,
terlebih setelah adanya raja dari suatu negara atau kerajaan yang menjadi Kristen, maka dibangunlah Bait
Suci sebagai tempat orang-orang Kristen itu untuk bersekutu dan beribadah
kepada Allah. Bait Suci orang Kristen yang pertama dijumpai di kerajaan Edessa,
Mesopotamia Utara, yang dibangun oleh rajanya, yakni Abgar VIII, segera setelah
raja itu dibabtis menjadi Kristen, tahun
180 M. Dialah yang tercatat sebagai raja pertama di dunia ini yang menjadi
Kristen, sekaligus menjadikan agama Kristen sebagai agama resmi di dalam
kerajaannya.
Di
kekaisaran Romawi, kaisar yang pertama
mengakui agama Kristen sebagai agama resmi di kekaisaran itu ialah Kaisar
Konstantinus Agung, yakni tahun 313 M. Sejak itu penghambatan terhadap agama
Kristen dihentikan dan agama Kristen mendapat perlindungan dari negara. Lalu
setelah itu berdirilah banyak bait suci
Kristen di lingkungan kekaisaran itu. Bahkan ibu dari kaisar itu sendiri yang bernama Helena, membangun Gereja
Makam Suci Yesus Kristus di Yerusalem ketika dia berziarah ke kota itu. Dia
juga membangun Gereja Nativity, tahun 329, di kandang domba tempat kelahiran
Yesus.
Setelah agama Kristen tersebar ke
seluruh belahan Eropa, di mana pada abad Pertengahan, seluruh bangsa di Eropa
telah menjadi Kristen, maka berdirilah di Eropa banyak “gereja” besar, yang
disebut katedral. Katedral-katedral itulah yang yang menjadi simbol-simbol
keagungan kekristenan, yang sangat dibanggakan oleh umat Kristen di Eropa pada
waktu itu. Memang diakui bahwa kekristenan telah membawa kemajuan besar bagi
bangsa-bangsa Eropa. Di berbagai katedral
itu berdirilah juga pusat-pusat biara sekaligus sebagai pusat-pusat pendidikan,
yang kemudian menjadi awal berdirinya
universitas-universitas yang membawa kemajuan di Eropa di berbagai ilmu
pengetahuan. Sekitar tahun 1100 M, telah berdiri banyak universitas di Eropa
yang menjadi pusat pengembangan dan penyebaran ilmu pengetahuan di Eropa.
Tetapi di kemudian hari, gereja-gereja besar yang ada di Eropa tidak
begitu banyak lagi dipergunakan oleh orang-orang Kristen Eropa untuk menjadi
tempat beribadah. Orang-orang Kristen Eropa tidak lagi mengutamakan persekutuan
dan peribadahan di gereja. Mereka sudah lebih membangkitkan dan mengembangkan
pelayanan-pelayanan yang bersifat sosial dan kemanusiaan.
Sekitar abad ke 17- 18 M, terjadi kebangunan rohani di tengah-tengah umat
Kristen di Eropa yang mendorong berdirinya banyak lembaga-lembaga zending yang
mempersiapkan dan memberangkatkan pekabar-pekabar Injil ke berbagai bangsa di
Asia, Afrika dan Amerika Selatan, yakni
daerah-daerah yang diketahui belum terjangkau oleh berita Injil itu. Sebelum
itu, negara-negara di Eropa mulai dari
Portugis, Spanyol, Inggris, Jerman, Belanda, dll, telah mempunyai daerah-daerah
jajahan di wilayah-wilayah dunia tersebut. Lembaga-lembaga Zending Eropa yang
sudah berdiri itu memanfaatkan situasi
tersebut, yakni dengan ikut bergandengan tangan dengan negara-negara yang sudah
mempunyai daerah-daerah jajahan itu, untuk memberitakan Injil di daerah-daerah
jajahan mereka. Sehingga ketika Indonesia dikuasai oleh pemerintah kolonial
Belanda dan Inggris maka masuklah beberapa lembaga zending dari Eropa ke
Indonesia seperti “Baptist Missionary Society “ dari Inggris, “Nederlandsch
Zendeling genootschap” (NZG) dari
Belanda, dan “Rheinische
Missionsgesellscgaft” ( RMG) dari
Jerman, yang banyak melahirkan gereja-gereja besar di Indonesia. Di beberapa
daerah yang didiami oleh suku-suku yang masih menganut kepercayaan suku atau
animisme, kekristenan itu cepat berkembang, yang dengan demikian berdirilah
gereja-gereja yang berlatar-belakang kesukuan.
Gedung-gedung gereja mereka juga dibangun dengan cepat sebagai tempat
persekutuan dan peribadahan mereka, seperti yang terjadi di Tanah Batak, di
mana sebuah gereja besar yang bernama “ Huria Kristen Batak Protestan” ( HKBP),
hasil penginjilan lembaga zending RMG dari Jerman berdiri. Gedung-gedung gereja besar yang
mengikuti arsitektur gereja-gereja di Eropa pun
segera dibangun sebagai tempat persekutuan dan peribadahan mereka. Sejalan dengan kemajuan yang diakibatkan oleh
kekristenan itu sendiri, maka orang-orang Kristen Batak anggota jemaat HKBP, banyak yang berserak ke
luar daerah Tanah Batak, terutama ke kota-kota besar yang ada di Indonesia,
untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Di tempat-tempat mereka yang baru,
terutama di kota-kota, mereka terus mendirikan gedung-gedung gereja yang besar
dan megah . Gedung-gedung gereja itulah yang dijadikan sebagai pusat-pusat
pelayanan kepada anggota jemaat. Selain dari kebaktian-kebaktian minggu, maka
terbentuk juga pelayanan-pelayanan anggota jemaat yang bersifat kategorial,
mulai dari anak Sekolah Minggu, Remaja, Naposoblung ( kaum pemuda), kaum Bapak,
kaum Ibu, dan kaum Lanjut Usia. Mereka semua dilayani sesuai dengan kebutuhan
spritual mereka. Karena itu setiap Jemaat setempat ( Huria marsadasada)
kelihatannya berlomba untuk membangun gedung-gedung gereja yaang besar dan
megah, sesuai dengan berbagai kebutuhan
pelayanan tersebut. Pelayanan kepada anggota jemaat menjadi terpusat di dalam gedung
gereja itu sendiri. Potensi setiap jemaat setempat seolah-olah dicurahkan
kepada bangunan fisik gereja itu sendiri, melebihi kepada pelayanan yang lain
yang membina kehidupan spritual anggota jemaat itu sendiri. Sering terjadi dana yang disediakan jemaat
setempat kurang kepada pelayanan spritual anggota jemaat itu sendiri, terlebih
kepada pembinaan anak-anak sekolahminggu, remaja dan “naposobulung” (kaum
pemuda) sebagai generasi yang melanjutkan jemaat itu sendiri, demi tersedianya dana
untuk pembanguan secara fisik. Banyak jemaat setempat bersama dengan majelisnya
( parhalado ni huria) merasa puas dan bangga kalau sudah berhasil membangun gedung gereja yang besar
dan megah, seolah-olah itu menjadi prestasi kerja mereka. Mungkin di suatu
waktu Allah seolah-olah terkurung dalam gedung gereja itu, dimana Dia dianggap tidak perlu tahu apa yang terjadi
di luar gedung gereja itu dalam kehidupan anggota jemaat. Di dalam perasaan
anggota jemaat itu pun seolah-olah Allah tidak perlu tahu dan mencampuri apa
yang mereka lakukan di luar gedung gereja itu sendiri, seperti yang pernah
terjadi dalam kehidupan umat Israel. Umat Israel pernah lebih mengkultuskan
Baith Allah di Yerusalem dari pada melaksanakan hukum-hukum Alla itu dalam
kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Mereka tetap datang
menyembah Allah di Baith Allah, tetapi di tengah-tengah masyarakat banyak
terjadi kejahatan, ketidak adilan sosial, dan penindasan kepada dolongan
masyarakat yang lemh. Inilah bahaya besar apabila hal sperti itu terjadi bagi hidup kekristenan anggota jemaat itu.
Orang-orang Kristen itu bisa saja tidak merasa takut lagi melakukan berbagai
perbuatan atau tindak kejahatan yang melanggar hukum kekristenan, karena
menganggap Allah tidak perlu mencampuri semua itu, karena mereka menganggap
yang perlu dilakukan cukuplah rajin datang beribadah ke gereja, mengikuti ritus-ritus
ibadah gereja secara seremonial dan
ritual, memberikan persembahan ke gereja seperti diaturkan oleh gereja. Dengan
melakukan itu semua, mereka menganggap sudah cukup untuk menyenangkan hati
Allah.
Tetapi
kita harapkan pemahaman hidup kekristenan anggota jemaat janganlah sampai kepada tingkat pemahaman seperti itu, karena Allah adalah Roh, yang
ada di mana-mana, yang mengetahui seluk-beluk kehidupan dan perlakuan semua
manusia yang diciptakan-Nya. Kepatuhan kepada Allah tidak cukup dilakukan hanya
dengan cara mematuhi ritus-ritus dan aturan-aturan yang diperbuat oleh gereja. Dalam semua gerak kehidupannya, di rumah, di
tempat kerja, dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, orang
Kristen harus menunjukkan kepatuhan kepada Allah. Kita perlu mengingat dan
merenungkan apa yang pernah terjadi dalam kehidupan umat Israel, dan Yahudi
yang lebih mengkultuskan dan memusatkan
kehidupan penyembahan mereka kepada Allah hanya di Bait Allah itu, dan di luar
Bait Allah mereka mengabaikan Allah, maka sampai beberapa kali Bait Allah di
Jerusalaem itu dibiarkan oleh Allah diruntuhkan oleh bangsa lain, karena umat
itu mengkultuskan dan menyalah gunakan Bait Allah itu sendiri. Terakhir sekali
dimusnahkan oleh tentera Romawi tahun 70 M, yang membuat umat Yahudi terpencar
ke seluruh penjuru dunia, sehingga sejak itu sampai sekarang tidak ada lagi
Bait Allah umat Yahudi. Bisa saja juga gereja umat Kristen suatu waktu dibiarkan oleh Allah dihancurkan oleh
masyarakat lain atau tidak diizinkan oleh Allah berdiri kalau ternyata gedung
gereja sebagai Bait Allah disalah gunakan oleh umat Kristen itu, atau jemaat
itu tidak mempunyai kepedulian kepada hehidupan
masyarakat lingkungan.
(Pdt.Mangontang
SM. Panjaitan,MTh, pendeta pensiun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar