KEDAHSYATAN MAUT
Pengantar
Artikel ini ditulis tahun 1974, ketika penulis masih
mahasiswa yang sudah menyelesaikan tingkat Sarjana Muda Theologia, dan melanjut
ke tingkat Sarjana Lengkap, yang diterbitkan dalam Surat Parsaoran (Majalah)
HKBP, (Edisi no. 11dan no.12, Juni, Juli 1974}.
Karena penulis menganggap topik ini masih perlu dibaca oleh banyak orang
Kristen sekarang, maka penulis memuatnya dalam blog ini.
Pendahuluan
Soal maut selalu menarik perhatian orang-orang
beragama. Timbulnya pendapat-pendapat yang berbeda-beda di kalangan manusia mengenai maut, adalah karena maut itu penuh
rahasia. Seorang pun yang dari antara orang yang hidup sekarang belum ada
yang dapat memberi laporan yang pasti
mengenai kematian itu. Walaupun demikian tidak salah membicarakan soal maut itu
berdasarkan kepercayaan masing-masing. Dari segi iman Kristen hanya Yesus Kristus yang sudah pernah mati
dan hidup kembali. Kristus yang hidup itulah
yang tahu dengan sebenarnya bagaimana keadaan maut.
Persoalan yang
paling hangat dalam membicarakan maut
adalah: apakah roh-roh orang mati itu hidup atau mati?
Kalau hidup di manakah dia berada dan kalau mati bagaimana kita
membayangkannya. Sebelum menjawab
pertanyaaan ini berdasarkan apa yang dinyatakan kepada kita dalam Kitab Suci
(Alkitab), penulis lebih dahulu akan mencoba
memperkenalkan beberapa pandangan yang lebih populer di dunia filsafat
dan agama-agama mistik yang juga sangat banyak mempengaruhi ahli-ahli teologi
Kristen.
1. Menurut pandangan umum yang terdapat di
kalangan orang-orang Yunani kuno, maut dianggap sebagai proses alamiah
saja, sebagaimana halnya terjadi pada pohon-pohon dan binatang-binatang atau
mahluk lainnya yang sudah sampai waktunya akan mati semua. Pandangan ini
sejalan dengan pandangan mereka yang
dualistik itu, yang mengatakan adanya dua
unsur yang saling bertentangan di
dunia ini, yaitu unsur rohani dan unsur jasmani atau materi. Unsur rohani kekal sifatnya dan materi adalah fana.
Manusia dikatakan terdiridari badan (materi) dan jiwa (rohani). Badan dianggap sebagai penjara dan menghambat
perjalanan jiwa menuju kekekalan. Jadi kekekalan terjadi apabila jiwa (roh) itu terlepas dari tubuh (badan)
materi ini. Maut atau kematianlah yang
menjadi saat terjadinya perpisahan ini,
karena badan telah mengalami kehancurannya. Pandangan inilah yang menjadi dasar
filsafat dari Plato yang bercorak idealisme itu.
2. Di kalangan agama yang bersifat
mistik seperti agama Hindu dan Kebatinan, kematian dianggap sebagai keselamatan
yang besar. Sebabnya mereka mengatakan hal yang demikian, karena menganggap
batin manusia adalah roh suci, yang sifatnya ilahi dan kekal. Selama manusia
masih hidup , batin itu diliputi oleh tubuh jasmani yang hina dan fana
sifatnya. Kerena itu selama hidup, mereka berusaha memperjuangkan agar tubuh
ini jangan sampai menyiksa batin dengan berpuasa, bertapa, beraskese dengan
tujuan untuk mengalahkan tubuh dan keinginannya. Pada waktu kematianlah batin
itu terlepas, dan memasuki “álam bebas”, di mana tidak ada lagi
keterikatan-keterikatan.
3. Pandangan yang dua di atas selaku pandangan
yang sudah tua, banyak mempengaruhi pikiran orang Kristen. Karena di kalangan
orang Kristen timbul pandangan yang memisahkan tubuh dari jiwa (roh). Sehingga
dikatakan pada waktu kematian jiwa (roh) tidak turut mati, hanya tubuh (badan)
yang mati. Dikatakan pula bahwa roh orang yang mati itu ditempatkan di tempat yang sudah ditentukan untuk itu,
yaitu Gehenna, Sheol (hades) dan Paradeiso. Seluruh istilah-istilah ini diambil
dari Kitab Suci. Secara salah dikatakan bahwa Gehenna adalah tempat orang-orang
mati yang semasa hidpnya tidak mendengar dan menerima Yesus, walaupun kepada
mereka sudah diperdengarkan berita Injil itu. Maka Gehenna adalah pendahuluan
neraka bagi mereka. Sheol (hades) adalah tempat roh-roh orang mati yang belum
pernah mendengar berita keselamatan,
oleh sebab mana mereka tidak sempat
mengenal Yesus Kristus, maka roh yang demikian masih ada lagi kemungkinan untuk
bertobat, apabila berita Injil itu diberitakan kepada mereka. Ketempat inilah
katanya Yesus datang untuk berkhotbah sewaktu Dia masih dalam kuburan. Pandangan ini berdasarkan tafsiran yang salah
pada Surat 1 Petrus 3: 19 dan 4: 6. Selanjutnya dikatakan Paradeiso adalah
tempat bagi roh-roh dari orang-orang
yang dulunya telah mengaku dan percaya akan Yesus Kristus Juruselamatnya dan
dikatakan pula bahwa roh-roh inilah yang disuruh untuk mengunjungi Sheol untuk
berkhotbah yang memungkinkan pertobatan roh-roh yang berada di sana.
Pandangan kuno ini sangat menarik sekali
dan memang sangat mudah dimengerti oleh pemikiran-pemikiran kita. Tetapi gereja Prostestan sudah hampir seluruhnya
menolak pandangan ini walaupun ada satu-satu
orang di antaranya yng menerimanya secara pribadi.
4. Bagi orang-orang Batak pandangan ini
sangat mudah berterima. Karena dikatakan
oleh orang Batak sebelum kekristenan - dan mungkin juga sesudah kekristenan -
ada anggapan bahwa apaila seseorang meninggal dunia, maka badannya menjadi
tanah, nafasnya menjadi angin dan rohnya menjadi “begu” atau hantu. Dari antara
pengkhotbah-pengkhotab yang berlatar belakang pandangan Batak, sampai sekarang
masih ada yang berpandangan demikian. (Lihat misalnya J.Sihombing dalam
tulisannya di majalah Immanuel HKBP no. 9 tahun 1974, yang berjudul “ Tutu do molo mate sada halak, laos mate dohot tondina?”,
menegaskan bahwa waktu kematian hanya badan manusia yang mati sedangkan jiwa
(roh) nya hidup terus. Sebenarnya beliau banyak mengambil ayat-ayat dari Kitab
Suci sebagai landasan dari pendapat itu. Di antaranya Pengkhotbah 12: 7,
perkataan Jesus yang terakhir dari kayu salib: Ya Bapak, ke dalam tangan Mu Kuserahkan nyawaku ( terjemahan Batak Toba:
“Ale Amanang, tu bagasan tanganmu hupasahat tondingKu” ( Luk. 23: 46}, ucapan
Stepanus yang terakhir: Ya Tuhan Yesus, terimalah rohkku (Kissah 7: 59), cerita
mengenai Lazarus yang dibawa malaekat ke
pangkuan Abraham (Lukas 16: 22), perkataan Yesus kepada orang yang di sebelah
kanan-Nya di kayu salib: “..., sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
brsama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23: 43), dan Wahyu 6: 9). Soalnya
sekarang, apakah dengan ayat-ayat ini kita dapat membenarkan bahwa jiwa (roh )
manusia itu kekal adanya, tidak pernah mengalami kematian? Maka untuk itu
marilah kita mencoba mengertikan beberapa ayat-ayat di atas.:
a) Dalam Pengkhotbah 12: 7, disebut ....
roh (terjemahan lama nyawa) kembali kepada Allah yang mengaruniakannya. Roh yang dimaksud dalam ayat ini adalah “yang
membuat manusia hidup. Dengan perkataan
lain “roh” dalam ayat ini berarti hidup atau nyawa. Artinya “hidup” yang diberikan oleh Allah kepada manusia diambil
kembali oleh yang mengaruniakannya. Makanya manusia (bukan hanya badannya)
mati. Ayat ini tidak mengandaikan bahwa “roh”
atau nyawa itu termasuk milik manusia, dan sama sekali tidak memaksudkn
bahwa “roh” manusia itu kekal adanya. Di sini tidak ada pengertian roh yang terpisah dari badan.
Persilaksn melihat tafsiran-tafsiran modern akan Pengkhotbah 12: 7.
b) Mengenai ucapan Tuhan Yesus di kayu
salib, dapat juga dihubungkan dengan ucapan Stepanusdalam Kissah 7: 59. Roh dalam
ke dua peristiwa itu disebut dengan
perkataan “pneuma” dalam bahasa Yunani, dan itu bukanlah menunjukkan
bahwa roh terpisah dari badan. Tetapi dengan perkataan itu mereka mau
menyerahkan seluruh hidup atau totalitas
kemanusiaannya kepada yang berkuasa atas itu, yaitu Allah, sebelum mereka meninggal
dunia. Pengertian “pneuma” menunjuk kepada kepribadian atau kemanusiaan. Yesus
dan Stepanus menyerahkan seantero dirinya kepada Allah; walaupun mereka telah
mati, mereka mati di dalam Allah, artinya mati di bawah kekuasaan Tuhan.
c) Mengenai pengertian 1 Petrus 3: 18,
penulis menganjurkan supaya kita membaca buku U.Beyer, Tafsiran 1 dan 2 Petrus dan Suart Yudas,
terbitan BPK Jakarta 1972, hal. 101, sebagaimana juga disebut oleh
J.Sihombing. Tetapi kalau kita benar-benar
membaca buku itu, Beyer tidak menyetujui
bahwa dalam kematian Kristus hanya badan-Nya yang mati. Soal kematian Kristus
“dalam daging” (sarx) hanya menunjukkan benar-benar mati dalam lingkungan yang dikuasai
hal-hal yang bersifat kefanaan yaitu sifatsifat dunia yang membunuh Dia. Adalah
sangat salah sekali dan berbau kekafir apabila kita mengatakan bahwa Yesus
tidak benar-benar mati (bahwa hanya badannya yang mati). Malah harus dikatakan
bahwa Yesus menaklukkan maut, justeru oleh karena seluruh kepribadiannya
sungguh-sungguh mati selama tiga hari.
d) Cerita mengenai Lazarus dalam kitab Lukas 16: 22-23. Sebenarnya dalam ayat
ini tidak ada disebutkan bahwa “tondi”
(roh) dari orang msikin itu dibawa ke
pangkuan Abraham. Tetapi yang disebutkan adalah bahwa orang miskin itu di bawa
ke pangkuan Abraham. Dengan demikian tidak ada dibicarakan tentang pemisahan
akan badan dan roh (jiwa) di sana.
J. Sihombing juga
membedakan tempat dari roh itu di dalam kubur. Dikatakan, roh orang percaya
pergi ke Paradeiso seperti Lazarus dan orang penjahat disebelah kanan Yesus
yang telah mengenal dosanya dan menyerahkan diri kepda Yesus, dan orang yang
tidak percaya ke Sheol (hades). Di dalam Kitab Suci , Gehenna dan Sheol adalah
satu keadaan di mana tidak ada lagi dijumpai hubungan dengan Allah. Istilah-istilah
itu dipakai untuk mengiaskan tempat-tempat orang mati setelah dikubur. Dan
menurut Kitab Suci, Paradeiso adalah keadaan di mana hubungan Allah dengan
manusia baik, dan perkataan itu dipakai
untuk menunjukkan keselamatan yang dialami bersama Kristus seperti halnya
penjahat di sebelah kanan Yesus di kayu salib itu.
Suasana Paradeiso dapat
dikecap oleh orang-orang menerima Kristus bahkan semasa hidupnya di atas dunia.
Perkataan “hari ini” yang diucapkan oleh Yesus, meliputi saat-saat hidup
dari penjahat itu, sewaktu mana dia mengakui ke-Allahan Yesus. Arinya
baik sewaktu hidup, maupun dalam keadaan mati, orang-orang percaya berada dalam
Paradeiso, yakni dalam ikatan kasih Tuhan Allah.
5. Pandangan Kitab Suci.
Persoalan
maut dalam Kitab Suci tidak bisa dipisahkan dari arti yang sebenarnya dan harus
dihubungkan dengan dosa manusia. Memang
unsur rohani dan jasmani terdapat dalam diri manusia. Manusia dibuat dari debu
tanah. Manusia adalah ciptaan Allah yang bertubuh, sebagai daging. Ini berarti
manusia tidak mempunyai daging, tetapi ia
sendiri adalah daging. Tetapi Allah
menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya
(Kejadian 2:7), maka manusia itu menjadi “jiwa yang hidup” (Ibrani:
nefesh haya- terjemahan baru Alkitab: makhluk yang hidup). Ini juga berarti
bahwa manusia itu tidak mempunyai jiwa,
tetapi ia sendiri adalah jiwa, yakni jiwa
yang hidup . Sehingga dapatlah dikatakan bahwa manusia adalah “tubuh yang
berjiwa” atau “jiwa yang bertubuh” (Chr. Barth, Theologia Peerjanjian Lama I,
terbitan BPK Jakarta 1970, hal. 42). Kalau kita mengandaikan adanya jiwa yang
hidup dengan nafas kehidupan yang dari Allah, maka kita dapat juga
mengandaikan adanya “jiwa yang mati”
(band. Bil.6: 6; 19: 11.13; 23: 10; Yus. 2: 14 dan Hak. 10: 30). Maka “jiwa
yang mati” itu menyatakan kepada kita bahwa jiwa bukan satu bagian dari
manusia, melainkan menunjukkan manusia
itu di dalam keseluruhannya. Demikian eratnya kesatuan itu hingga dalam
Bilangan 35: 11 disebut, membunuh jiwa adalah sama dengan membunuh orang.
Maut sebagai upah dari
dosa, bukan hanya mengena kepada badan manusia. Kitab Suci mengatakan adanya
maut yang total sebagai upah dari dosa (Roma 6: 23), karena manusia seantero
telah memberontak kepada Allah. Adalah sangat salah sekali mengatakan hanya
badan yang mati, karena itu menutupi kedahsyatan
dan kepahitan dari maut itu. Van
Niftrik dan Boland dalam bukunya “Dogmatika Masa kini”, terbitan BPK Jakarta
1967, hal. 402, mengatakan, kitalah yang mati, kita sendiri. Malahan dalam
bahasa Kitab Suci, Bileam berkta dalam Bilangan 23: 10, “Jiwaku (nefeshi)
matilah kiranya”. Keakuan itulah yang mati, karena dalam Hakim 16: 10,” nefesh”
diterjemahkan dengan aku. Jelaslah bahwa Kitab Suci tidak menutupi bagaimana dahsyatnya maut itu, tidak
mengajarkan bahwa jiwa (roh) manusia kekal adanya. Jika maut tidak meliputi
keseanteroan diri manusia, dalam arti hanya badan yang mati, sedangkan jiwa
(roh) hidp terus, maka itu belum berarti mati yang sebenarnya. Keadaan yang
demian menurut F.H.Sianipar masih dinamai “setengah mati”, dan Kitab Suci tidak
pernah mengajarkan keadaan setengah m ati.
(bukunya yang berjudul: Satu Jawab, terbitan BPK Jakarta, 1973, hal.13).
Kalau dikatakan dalam
Kejadian 3, manusia melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang itu,
tidak berarti hanya tangannya yang mengambil dan hanya mulutnya yang memakan,
tetapi dia sebagai manusia totalitas telah melanggar perintah Allah. Karena itu
bukan hanya tangan atau mulut atau badanya saja yang kena hukum, tetapi dia sendiri
sebagai manusia yang mendapat hukuman itu. Sedikitpun tidak ada dalam dirinya
yang dapat dipertahankan untuk menyambung hidupnya. Maka demikian dahsyatnya
dosa itu yang mengutuk seantero manusia, demikianlah dahsyatnya maut itu
menghancurkan seantero manusia.
6. KUASA Allah atas maut dan kebangkitan
orang mati. Tetapi walaupun manusia mati, kasih Allah tidak dibatasi oleh
kematian itu. Dia berkuasa untuk menghidupkan kembali, sehingga di dalam kasih
anugerah-Nya, Dia menghidupkan manusia. Kuasa untuk menghidupkan adalah dengan
memberikan kembali nafas kehidupan. Didalam kitab Perjanjian Lama, “nafas”
Allah untuk menghidupkan adalah melalui Firman-Nya. Rupanya tidak cukup melalui
Firman yang disampaikan melalui hamba-Nya, tetapi dalam Kitab Parjanjian Baru
kita melihat Firman itu sendiri menjadi manusia sebagaimana kita adanya. Dan
inilah yang kita lihat dalam Yesus Kristus. Allah sendiri memasuki sarang dari
dosa itu dan mengorbankan Yesus untuk mencapai sampai ke sarang dari maut itu.
Dengan demikian maut itu dihancurkan, sehingga tidak berkuasa lagi untuk
menahan manusia tetap berada di dalamnya.
Manusia Yesus mati tetapi Allah
adalah hidup. Allah menaklukkkan maut itu dengan bangkitnya Yesus dari mati.
Dan kebangkitan inilah menjadi jaminan bagi orang-orang percaya bahwa mereka
akan dibangkitkan juga pada pada hari-hari yang terakhir. Kebangkitan ini tidak
hanya mempertemukan badan dengan jiwa (roh), tetapi kebangkitan adalah menghidupkan kembali manusia itu secara
total.
Kita tidak perlu lagi takut untuk menghadapi
kematian itu, karena kita sudah berharap bahwa kita pun akan bangkit. Kematian
tidak mengurangi atau menghilangkan pengharapan itu. Tetapi justeru kita
semakin terhibur, bahwa walaupun kita akan mati, kita pasti akan bangkit
kembali. Kuasa maut sudah dikalahkan
oleh Yesus ( 1 Korint. 15: 55), maka maut tidak berkuasa lagi untuk memegang
kita menjadi miliknya. Sehingga tidak salah lagi kita sebagai orang-orang
percaya mengatakan bahwa maut itu sudah
merupakan pintu masuk ke dalam Rumah
Allah yang kekal adanya.
Fak. Theologia Nommensen,
Pematangsiantar, 1 Juni 1974
(Mangontang Panjaitan, SM.Th}
Tidak ada komentar:
Posting Komentar