Minggu, 23 Februari 2025

KEDAHSYATAN MAUT

 

KEDAHSYATAN MAUT



Pengantar

            Artikel ini ditulis tahun 1974, ketika penulis masih mahasiswa yang sudah menyelesaikan tingkat Sarjana Muda Theologia, dan melanjut ke tingkat Sarjana Lengkap, yang diterbitkan dalam Surat Parsaoran (Majalah) HKBP, (Edisi no. 11dan no.12, Juni, Juli 1974}.  Karena penulis menganggap topik ini masih perlu dibaca oleh banyak orang Kristen sekarang, maka penulis memuatnya dalam blog ini.

Pendahuluan

     Soal maut selalu menarik perhatian orang-orang beragama. Timbulnya pendapat-pendapat yang berbeda-beda  di kalangan manusia  mengenai maut, adalah karena maut itu penuh rahasia. Seorang pun yang dari antara orang yang hidup sekarang belum ada yang  dapat memberi laporan yang pasti mengenai kematian itu. Walaupun demikian tidak salah membicarakan soal maut itu berdasarkan kepercayaan masing-masing. Dari segi iman Kristen  hanya Yesus Kristus yang sudah pernah mati dan hidup kembali. Kristus yang hidup itulah  yang tahu dengan sebenarnya  bagaimana keadaan maut.

     Persoalan yang paling hangat dalam membicarakan  maut adalah: apakah  roh-roh orang mati itu hidup atau mati? Kalau hidup di manakah dia berada dan kalau mati bagaimana kita membayangkannya.  Sebelum menjawab pertanyaaan ini berdasarkan apa yang dinyatakan kepada kita dalam Kitab Suci (Alkitab), penulis lebih dahulu akan mencoba  memperkenalkan beberapa pandangan yang lebih populer di dunia filsafat dan agama-agama mistik yang juga sangat banyak mempengaruhi ahli-ahli teologi Kristen.

1.      Menurut pandangan umum yang terdapat  di kalangan orang-orang Yunani kuno, maut dianggap sebagai proses alamiah saja, sebagaimana halnya terjadi pada pohon-pohon dan binatang-binatang atau mahluk lainnya yang sudah sampai waktunya akan mati semua. Pandangan ini sejalan dengan pandangan mereka  yang dualistik itu, yang mengatakan adanya dua  unsur yang saling bertentangan  di dunia ini, yaitu unsur rohani dan unsur jasmani atau materi.  Unsur rohani kekal sifatnya dan materi  adalah fana.  Manusia dikatakan terdiridari badan (materi) dan jiwa (rohani).  Badan dianggap sebagai penjara dan menghambat perjalanan jiwa menuju kekekalan. Jadi kekekalan terjadi apabila  jiwa (roh) itu terlepas dari tubuh (badan) materi ini.  Maut atau kematianlah yang menjadi saat terjadinya perpisahan  ini, karena badan telah mengalami kehancurannya. Pandangan inilah yang menjadi dasar filsafat dari Plato yang bercorak idealisme itu.

2.     Di kalangan agama yang bersifat mistik seperti agama Hindu dan Kebatinan, kematian dianggap sebagai keselamatan yang besar. Sebabnya mereka mengatakan hal yang demikian, karena menganggap batin manusia adalah roh suci, yang sifatnya ilahi dan kekal. Selama manusia masih hidup , batin itu diliputi oleh tubuh jasmani yang hina dan fana sifatnya. Kerena itu selama hidup, mereka berusaha memperjuangkan agar tubuh ini jangan sampai menyiksa batin dengan berpuasa, bertapa, beraskese dengan tujuan untuk mengalahkan tubuh dan keinginannya. Pada waktu kematianlah batin itu terlepas, dan memasuki “álam bebas”, di mana tidak ada lagi keterikatan-keterikatan.

3.     Pandangan yang dua di atas selaku pandangan yang sudah tua, banyak mempengaruhi pikiran orang Kristen. Karena di kalangan orang Kristen timbul pandangan yang memisahkan tubuh dari jiwa (roh). Sehingga dikatakan pada waktu kematian jiwa (roh) tidak turut mati, hanya tubuh (badan) yang mati.  Dikatakan pula bahwa  roh orang yang mati itu ditempatkan  di tempat yang sudah ditentukan untuk itu, yaitu Gehenna, Sheol (hades) dan Paradeiso. Seluruh istilah-istilah ini diambil dari Kitab Suci. Secara salah dikatakan bahwa Gehenna adalah tempat orang-orang mati yang semasa hidpnya tidak mendengar dan menerima Yesus, walaupun kepada mereka sudah diperdengarkan berita Injil itu. Maka Gehenna adalah pendahuluan neraka bagi mereka. Sheol (hades) adalah tempat roh-roh orang mati yang belum pernah mendengar  berita keselamatan, oleh sebab mana mereka  tidak sempat mengenal Yesus Kristus, maka roh yang demikian masih ada lagi kemungkinan untuk bertobat, apabila berita Injil itu diberitakan kepada mereka. Ketempat inilah katanya Yesus datang untuk berkhotbah  sewaktu Dia masih dalam kuburan.  Pandangan ini berdasarkan tafsiran yang salah pada Surat 1 Petrus 3: 19 dan 4: 6. Selanjutnya dikatakan Paradeiso adalah tempat bagi roh-roh  dari orang-orang yang dulunya telah mengaku dan percaya akan Yesus Kristus Juruselamatnya dan dikatakan pula bahwa roh-roh inilah yang disuruh untuk mengunjungi Sheol untuk berkhotbah yang memungkinkan pertobatan roh-roh yang berada di sana.

    Pandangan kuno ini sangat menarik sekali dan memang sangat mudah dimengerti oleh pemikiran-pemikiran kita. Tetapi  gereja Prostestan sudah hampir seluruhnya menolak pandangan ini walaupun ada satu-satu  orang di antaranya  yng  menerimanya secara pribadi.

4.     Bagi orang-orang Batak pandangan ini sangat mudah berterima.  Karena dikatakan oleh orang Batak sebelum kekristenan - dan mungkin juga sesudah kekristenan - ada anggapan bahwa apaila seseorang meninggal dunia, maka badannya menjadi tanah, nafasnya menjadi angin dan rohnya menjadi “begu” atau hantu. Dari antara pengkhotbah-pengkhotab yang berlatar belakang pandangan Batak, sampai sekarang masih ada yang berpandangan demikian. (Lihat misalnya J.Sihombing dalam tulisannya di majalah Immanuel HKBP no. 9 tahun 1974, yang berjudul  “ Tutu do molo  mate sada halak, laos mate dohot tondina?”, menegaskan bahwa waktu kematian hanya badan manusia yang mati sedangkan jiwa (roh) nya hidup terus. Sebenarnya beliau banyak mengambil ayat-ayat dari Kitab Suci sebagai landasan dari pendapat itu. Di antaranya Pengkhotbah 12: 7, perkataan Jesus yang terakhir dari kayu salib: Ya Bapak, ke dalam tangan Mu  Kuserahkan nyawaku ( terjemahan Batak Toba: “Ale Amanang, tu bagasan tanganmu hupasahat tondingKu” ( Luk. 23: 46}, ucapan Stepanus yang terakhir: Ya Tuhan Yesus, terimalah rohkku (Kissah 7: 59), cerita mengenai Lazarus  yang dibawa malaekat ke pangkuan Abraham (Lukas 16: 22), perkataan Yesus kepada orang yang di sebelah kanan-Nya di kayu salib: “..., sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada brsama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23: 43), dan Wahyu 6: 9). Soalnya sekarang, apakah dengan ayat-ayat ini kita dapat membenarkan bahwa jiwa (roh ) manusia itu kekal adanya, tidak pernah mengalami kematian? Maka untuk itu marilah kita mencoba mengertikan beberapa ayat-ayat di atas.:

a)     Dalam Pengkhotbah 12: 7, disebut .... roh (terjemahan lama nyawa) kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.  Roh yang dimaksud dalam ayat ini adalah “yang membuat manusia hidup.  Dengan perkataan lain “roh” dalam ayat ini berarti hidup atau nyawa. Artinya “hidup” yang  diberikan oleh Allah kepada manusia diambil kembali oleh yang mengaruniakannya. Makanya manusia (bukan hanya badannya) mati.  Ayat ini tidak mengandaikan  bahwa “roh”  atau nyawa itu termasuk milik manusia, dan sama sekali tidak memaksudkn bahwa “roh” manusia itu kekal adanya. Di sini tidak ada  pengertian roh yang terpisah dari badan. Persilaksn melihat tafsiran-tafsiran modern akan Pengkhotbah 12: 7.

b)     Mengenai ucapan Tuhan Yesus di kayu salib, dapat juga dihubungkan dengan ucapan Stepanusdalam Kissah 7: 59. Roh dalam ke dua peristiwa itu disebut dengan  perkataan “pneuma” dalam bahasa Yunani, dan itu bukanlah menunjukkan bahwa roh terpisah dari badan. Tetapi dengan perkataan itu mereka mau menyerahkan  seluruh hidup atau totalitas kemanusiaannya kepada yang berkuasa atas itu, yaitu Allah, sebelum mereka meninggal dunia. Pengertian “pneuma” menunjuk kepada kepribadian atau kemanusiaan. Yesus dan Stepanus menyerahkan seantero dirinya kepada Allah; walaupun mereka telah mati, mereka mati di dalam Allah, artinya mati di bawah kekuasaan Tuhan.

c)      Mengenai pengertian 1 Petrus 3: 18, penulis menganjurkan supaya kita membaca buku U.Beyer,  Tafsiran 1 dan 2 Petrus dan Suart Yudas, terbitan BPK Jakarta 1972, hal. 101, sebagaimana juga disebut oleh J.Sihombing.  Tetapi kalau kita benar-benar membaca buku itu,  Beyer tidak menyetujui bahwa dalam kematian Kristus hanya badan-Nya yang mati. Soal kematian Kristus “dalam daging” (sarx) hanya menunjukkan benar-benar mati dalam lingkungan yang dikuasai hal-hal yang bersifat kefanaan yaitu sifatsifat dunia yang membunuh Dia. Adalah sangat salah sekali dan berbau kekafir apabila kita mengatakan bahwa Yesus tidak benar-benar mati (bahwa hanya badannya yang mati). Malah harus dikatakan bahwa Yesus menaklukkan maut, justeru oleh karena seluruh kepribadiannya sungguh-sungguh mati selama tiga hari.

d)     Cerita mengenai Lazarus dalam  kitab Lukas 16: 22-23. Sebenarnya dalam ayat ini tidak ada disebutkan  bahwa “tondi” (roh) dari orang msikin itu  dibawa ke pangkuan Abraham. Tetapi yang disebutkan adalah bahwa orang miskin itu di bawa ke pangkuan Abraham. Dengan demikian tidak ada dibicarakan tentang pemisahan akan badan dan roh (jiwa) di sana.

J. Sihombing juga membedakan tempat dari roh itu di dalam kubur. Dikatakan, roh orang percaya pergi ke Paradeiso seperti Lazarus dan orang penjahat disebelah kanan Yesus yang telah mengenal dosanya dan menyerahkan diri kepda Yesus, dan orang yang tidak percaya ke Sheol (hades). Di dalam Kitab Suci , Gehenna dan Sheol adalah satu keadaan di mana tidak ada lagi dijumpai hubungan dengan Allah. Istilah-istilah itu dipakai untuk mengiaskan tempat-tempat orang mati setelah dikubur. Dan menurut Kitab Suci, Paradeiso adalah keadaan di mana hubungan Allah dengan manusia  baik, dan perkataan itu dipakai untuk menunjukkan keselamatan yang dialami bersama Kristus seperti halnya penjahat di sebelah kanan Yesus di kayu salib itu.

Suasana Paradeiso dapat dikecap oleh orang-orang menerima Kristus bahkan semasa hidupnya di atas dunia. Perkataan “hari ini” yang diucapkan oleh Yesus, meliputi saat-saat hidup  dari penjahat itu, sewaktu mana dia mengakui ke-Allahan Yesus. Arinya baik sewaktu hidup, maupun dalam keadaan mati, orang-orang percaya berada dalam Paradeiso, yakni dalam ikatan kasih Tuhan Allah.

5.     Pandangan Kitab Suci.

Persoalan maut dalam Kitab Suci tidak bisa dipisahkan dari arti yang sebenarnya dan harus dihubungkan dengan dosa manusia.  Memang unsur rohani dan jasmani terdapat dalam diri manusia. Manusia dibuat dari debu tanah. Manusia adalah ciptaan Allah yang bertubuh, sebagai daging. Ini berarti manusia tidak mempunyai daging, tetapi ia sendiri adalah daging.  Tetapi Allah menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya  (Kejadian 2:7), maka manusia itu menjadi “jiwa yang hidup” (Ibrani: nefesh haya- terjemahan baru Alkitab: makhluk yang hidup). Ini juga berarti bahwa manusia  itu tidak mempunyai jiwa, tetapi ia sendiri adalah jiwa, yakni jiwa yang hidup . Sehingga dapatlah dikatakan bahwa manusia adalah “tubuh yang berjiwa” atau “jiwa yang bertubuh” (Chr. Barth, Theologia Peerjanjian Lama I, terbitan BPK Jakarta 1970, hal. 42). Kalau kita mengandaikan adanya jiwa yang hidup dengan nafas kehidupan yang dari Allah, maka kita dapat juga mengandaikan  adanya “jiwa yang mati” (band. Bil.6: 6; 19: 11.13; 23: 10; Yus. 2: 14 dan Hak. 10: 30). Maka “jiwa yang mati” itu menyatakan kepada kita bahwa jiwa bukan satu bagian dari manusia, melainkan menunjukkan manusia itu di dalam keseluruhannya. Demikian eratnya kesatuan itu hingga dalam Bilangan 35: 11 disebut, membunuh jiwa adalah sama dengan membunuh orang.

Maut sebagai upah dari dosa, bukan hanya mengena kepada badan manusia. Kitab Suci mengatakan adanya maut yang total sebagai upah dari dosa (Roma 6: 23), karena manusia seantero telah memberontak kepada Allah. Adalah sangat salah sekali mengatakan hanya badan yang mati, karena itu menutupi kedahsyatan dan kepahitan dari maut itu.  Van Niftrik dan Boland dalam bukunya “Dogmatika Masa kini”, terbitan BPK Jakarta 1967, hal. 402, mengatakan, kitalah yang mati, kita sendiri. Malahan dalam bahasa Kitab Suci, Bileam berkta dalam Bilangan 23: 10, “Jiwaku (nefeshi) matilah kiranya”. Keakuan itulah yang mati, karena dalam Hakim 16: 10,” nefesh” diterjemahkan dengan aku. Jelaslah bahwa Kitab Suci tidak menutupi  bagaimana dahsyatnya maut itu, tidak mengajarkan bahwa jiwa (roh) manusia kekal adanya. Jika maut tidak meliputi keseanteroan diri manusia, dalam arti hanya badan yang mati, sedangkan jiwa (roh) hidp terus, maka itu belum berarti mati yang sebenarnya. Keadaan yang demian menurut F.H.Sianipar masih dinamai “setengah mati”, dan Kitab Suci tidak pernah mengajarkan keadaan setengah m     ati. (bukunya yang berjudul: Satu Jawab, terbitan BPK Jakarta, 1973, hal.13).

Kalau dikatakan dalam Kejadian 3, manusia melanggar perintah Allah dengan memakan buah terlarang itu, tidak berarti hanya tangannya yang mengambil dan hanya mulutnya yang memakan, tetapi dia sebagai manusia totalitas telah melanggar perintah Allah. Karena itu bukan hanya tangan atau mulut atau badanya saja yang kena hukum, tetapi dia sendiri sebagai manusia yang mendapat hukuman itu. Sedikitpun tidak ada dalam dirinya yang dapat dipertahankan untuk menyambung hidupnya. Maka demikian dahsyatnya dosa itu yang mengutuk seantero manusia, demikianlah dahsyatnya maut itu menghancurkan seantero manusia.

6.     KUASA Allah atas maut dan kebangkitan orang mati. Tetapi walaupun manusia mati, kasih Allah tidak dibatasi oleh kematian itu. Dia berkuasa untuk menghidupkan kembali, sehingga di dalam kasih anugerah-Nya, Dia menghidupkan manusia. Kuasa untuk menghidupkan adalah dengan memberikan kembali nafas kehidupan. Didalam kitab Perjanjian Lama, “nafas” Allah untuk menghidupkan adalah melalui Firman-Nya. Rupanya tidak cukup melalui Firman yang disampaikan melalui hamba-Nya, tetapi dalam Kitab Parjanjian Baru kita melihat Firman itu sendiri menjadi manusia sebagaimana kita adanya. Dan inilah yang kita lihat dalam Yesus Kristus. Allah sendiri memasuki sarang dari dosa itu dan mengorbankan Yesus untuk mencapai sampai ke sarang dari maut itu. Dengan demikian maut itu dihancurkan, sehingga tidak berkuasa lagi untuk menahan manusia tetap berada di dalamnya.

Manusia Yesus mati tetapi Allah adalah hidup. Allah menaklukkkan maut itu dengan bangkitnya Yesus dari mati. Dan kebangkitan inilah menjadi jaminan bagi orang-orang percaya bahwa mereka akan dibangkitkan juga pada pada hari-hari yang terakhir. Kebangkitan ini tidak hanya mempertemukan badan dengan jiwa (roh), tetapi kebangkitan adalah menghidupkan kembali manusia itu secara total.

Kita tidak perlu lagi takut untuk menghadapi kematian itu, karena kita sudah berharap bahwa kita pun akan bangkit. Kematian tidak mengurangi atau menghilangkan pengharapan itu. Tetapi justeru kita semakin terhibur, bahwa walaupun kita akan mati, kita pasti akan bangkit kembali.  Kuasa maut sudah dikalahkan oleh Yesus ( 1 Korint. 15: 55), maka maut tidak berkuasa lagi untuk memegang kita menjadi miliknya. Sehingga tidak salah lagi kita sebagai orang-orang percaya mengatakan bahwa  maut itu sudah merupakan pintu masuk ke dalam  Rumah Allah yang kekal adanya.

                      Fak. Theologia Nommensen, Pematangsiantar, 1 Juni 1974

                                   (Mangontang Panjaitan, SM.Th}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar