Minggu, 23 Februari 2025

ARTI BERKAT DALAM KEJADIAN 1-2

 

ARTI BERKAT DALAM KEJADIAN 1-2

(Khususnya mengenai arti beranaj cucu dan bertambah-tambah)

Suatu perbandingan dengan pengertian orang Batak

Pengantar

            Artikel ini ditulis tahun 1974, ketika penulis masih mahasiswa yang sudah menyelesaikan tingkat Sarjana Muda Theologia, dan melanjut ke tingkat Sarjana Lengkap, yang diterbitkan dalam Surat Parsaoran (Majalah Immanuel) HKBP, (Edisi no. 14, Juli 1974}.  Karena penulis menganggap topik ini masih perlu dibaca oleh banyak orang Kristen sekarang, maka penulis memuatnya dalam blog ini.

Pendahuluan

Pertambahan penduduk yang semakin menanjak pada zaman sekarang merupakan permasalahan bsar di tengah-tengah masyarakat dunia umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Dunia telah penuh ditempati oleh manusia. Bahkan beberapa ahli sosiologi berpendapat bahwa kira-kiran pada tahu 2000 an mendatang dunia akan penuh sesak dan akan kekurangan bahan makanan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan, kalau perkembangn penduduk berlangsung seperti sekarang.

Karena itulah timbul pemikiran bagi orang-orang yang sudah maju seperti di negeri-negeri Barat untuk membatasi angka kelahiran. Maksud dari pembatasan itu adalah untuk menyesuaikan pertambahan manusia dengan besarnya kebutuhan-kebutuhan yang dialami dan diperlukan di dunia ini. Memang di negeri-negeri Barat baik bagi orang-orang yang sudah beragama Kristen pembatasan kelahiran tidak begitu dipersoalkan lagi. Arti hidup bersama suami istri sudah semakin dirasakan. Di negeri Indonesia yang sedang mengalami proses perkembangan ini, ide untuk membatasi kelahiran dalam arti  Keluarga Berencana sudah dianjurkan oleh pemerintah, agar terdapat masyarakat yang adil dan makmur.  Hal ini disambut baik juga oleh ahli-ahli theologia dan pndeta-pendeta prostestan, dengan menambahkan sebutan Keluarga Berencana  demi melangsungkan keluarga yang bertanggung-jawab. Tetapi pemikiran itu masih menimbulkan permasyalahan di tengah-tengah suku-suku yang tradisional di Indonesia.  Banyak suku di Indonesia yang menghendaki keturunan yang banyak, di antaranya ialah suku Batak. Sehingga pembatasan kelahiran adalah bertentangan  dengan tradisi-tradisi mereka dan keyakinan mereka. Mereka mengatakan bahwa anak yang banyak adalah berkat Allah. Pemikiran ini masih berlangsung walaupun kebanyatakan suku Batak sudah kebanyakan memeluk agama kristen.  Keluarga Berencana dalam arti pembatasan kelahiran adalah hal yang masih sulit diterima oleh banyak orang Batak. Anehnya pendapat ini mereka dukung  dengan Firman Allah dalam Alkitab yang diberitakan dalam berita penciptaaan Kejadian 1: 28. Dalam ayat itu disebut: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi."  Ayat ini dijadikan sebagai landasan untuk membenarkan prinsip untuk memperoleh keturunan yang banyak dalam perkawinan sebagai berkat Allah. Orang yang mempertahankan prinsip ini akan memberi jawaban, kalau prinsip mereka agak disalahkan:  Sedangkan Alkitab sendiri menganjurkan untuk beranak cucu, bertambah-

tambah dan memenuhi bumi dan itu adalah berkat Allah. Bagaimanakah pendapat kita terhadap persoalan ini, apakah memang demikian halnya? Untuk ini maka penulis mencoba untuk menyelidiki apa sebenarnya arti berkat dalam Kejadian 1: 28 dan apa arti berkat dalam pengertian Batak. Tetapi sebelum kita sampai  kepada pengertian Alkitab, baiklah kita  lihat dulu pengertian berkat itu dalam kehidupan suku Batak Toba.

 

I.                 Pengertian berkat dalam kehidupan suku Batak Toba

 

Penulis pernah bertanya kepada  seorang petugas gereja yang berfungsi sebagai guru jemaat dan dia adalah dari suku Batak Toba, demikian: Bagaimana tanggapan bapak dengan adanya sekarang anjuran pemerintah untuk membatasi kelahiran? Maka dia menjawab: Saya tidak setuju kerena Allah sendiri menganjurkan supaya manusia bertambah-tambah dan beranak-cucu, karena hal itu adalah berkat. Kalau kita membatasi kelahiran, berarti kita membatasi berkat Allah kepada kita.  Maka saya lanjutkan pertanyaan dengan mengatakan: bagaimana tanggung-jawab untuk memenuhi kebutuhan anak yang banyak itu? Maka dia dengan spontan menjawab: Karena anak adalah berkat Allah, maka tidak mungkin Allah membiarkan anak itu tidak makan. Setiap anak membawa rezekinya masing-masing dari Allah. Saya menanggapi  perkataaan itu bahwa dia masih beranggapan bahwa berkat itu terjadi dengan spontan. Seolah-olah berkat dan pemberian dari Allah itu jatuh demikian saja dan seolah-olah anak itu lahir dengan membawa perbekalannya untuk hidup di dunia ini. Pada hal menurut keyakinan kita saluran berkat Allah yang pertama sekali kepada anak adalah melalui orang tuanya.  Sebenarnya bagi dia sifat kebatakanlah yang masih banyak mempengaruhi dirinya dan mencoba mempertahankan prinsip itu dari ayat-ayat Alkitab. Kalau begitu bagaimana pandangan orang Batak mengenai berkat.

1.     Pasupasu

Dalam bahasa Batak Toba pengistilah untuk berkat ialah  pasupasu. Pasupasu ini terutama diberikan dari  tingkat yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Karena itu pemberi berkat yang  terutama adalah “Mulajadi Na Bolon” yang sering juga disebut “Ompunta na martua Debata”. Kemudian sumangot, sahala, sombaon,  yaitu roh-roh nenek-moyang yang sudah meninggal dunia,  dan juga orang tua yang masih hidup. Mulajadi Na Bolon sebagai Pencipta segala sesuatu  adalah sumber berkat yang pertama. Berkat itu diberikan kepada orang memenuhi peraturan adat dan hukum, kemudian orang tua mengambil peranan yang besar dalam pemberian berkat ini. Menurut keyakinan orang Batak, orang tua adalah manifestasi Allah, sehingga orang tua dianggap sebagai “Debata yang dapat dilihat” (debata na niida). Penyaluran  berkat itu kepada anak-anaknya nyata juga dalam upacara-upacara adat Batak.  Misalnya apabila orang melakukan  upacara adat “manulangi” (menyuapkan makanan dengan upacara adat) orang tuanya maka dia mengharapkan berkat dari orang tua itu.  Pada waktu seseorang melangsungkan adat perkawinan maka diundanganlah “dalihan na tolu” ( hulahula, dongan tubu dan boru- sistem kekerabatan masyarakat Batak) ke pesta adat itu untuk memberikan berkat.  Pemberian berkat itu disampaikan melalui upacara “marhata sigabegabe” (mengucapkan kata-kata berkat, melalui umpasa-umpasa Batak). Pada waktu itu para orang orang tua dari unsur dalihan na tolu memberikan berkat “Ompu Namartua Deabata), dari sahala dan sumangot ni ompu (roh nenek moyang yang sudah meninggal) dan dari  sahala para tuatua itu sendiri. Sedangkan berkat dari “sombaon” (roh nenek moyang yang sudah mempunyai status yang disembah), adalah yang berhubungan dengan pencegahan bencana atau malapetaka, misalnya: banjir, tanah longsor, kerusakan tanam-tanaman, dll).

Isi pokok dari berkat adalah “hagabeon” ( kesuburan, banyak keturunan), sehingga upacara menyampaikan berkat  dalam upacara adat seperti disebut di atas disebut “marhata sigabegabe”.  Di sana diucapkan “hata na uli, hata na denggan” ( kata-kata yang baik dan indah:, kepada tuan rumah yang mengundang. Hata na uli hata denggan  itulah yang merupakan kata-kata berkat yang di dalamnnya terkandung ucapan-ucapan untuk berketurunan banyak, kesuburan tanah dan kesuburan ternak-ternak. Artinya berkat itu meningkatkan kepada suatu keadaan yang lebih tinggi (memperkembangkan).  Hagabeon sudah mencakup harta kekayaan (hamoraon) dan kemuliaan (hasangapon bagi orang Batak. Anak yang banyak sekalihus membawa harta dan  sekaligus memberikan kemuliaan atau kehormatan bagi orang tua. Itulah makanya ada ungkapan orang Batak, anakhonhi do hamoraon di ahu, anakhonki do hasangapon di ahu (anakku itula kekayaan dan kemuliaan bagi saya) .

 

2.     Faedah keturunan yang banyak bagi orang Batak, sehingga hal itu dianggap berkat.

 

Pertanyaaan yang timbul ialah mengapa keturunan yang banyak merupakan pokok dan tujuan dari berkat?Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu meninjau corak kehidupan orang  Batak dahulu kala.  Kebiasaan masyarakat Batak dahulu kala adalah hidup berkelompok di satu-satu daerah tertentu.  Dan biasanya satu kelompok  adalah terdiri dari satu keluarga atau marga. Hubungan antar kelompok  kurang sekali, karena itu dunia pergaulan sangat sempit sekali hanya  di lingkungan kelompok itu sendiri. Hal ini menimbulkan peninggian terhadap  kelompok atau marganya itu sendiri. Hubungan yang kurang antar kelompok menimbulkan tidak ada keterbukaan  satu sama lain sehingga menimbulkan rasa curiga mencurigai.  Karena itulah sering timbul perselisihan satu sama lain yang sampai juga menimbulkan peperangan. Peperangan membutuhkan tenaga yang banyak, terutama anak laki-laki agar masuhnya dapat dikalahkan.

Faktor ke dua adalah dari segi politis.  Untuk mengangkat pemimpin atas satu-satu daerah adalah dengan dasar demokrasi atau pemilihan suara terbanyak.  Untuk itu maka keluarga besar (natorop di partubu, halak na bolon) akan menang, sehingga kedudukan merek seluruh  dihormati dan ditakuti orang.

Keuntungan dari ekonomis ialah bahwa mata pencaharian orang Batak dahulu kala kebanyakan adalah bertani, yang untuk itu perlu tenaga yang banyak untuk bekerja. Harta adalah terdiri dari tanah, dan untuk memperoleh tanah yang luas perlu anak yang banyak untuk mengerjakannya. Dari segi tempat, bahwa dahulu  Tapanuli sebagai tempat tinggal orang-orang Batak masih jarang penduduknya dan masih memerlukan jumlah orang yang banyak untuk menempatinya.

Dengan alasan-alasan di atas, maka anak yang banyak belum merupakan permasalahan, malah merupakan kebutuhan yang hakiki.

 

3.     Pengaruh keturunan yang banyak dalam hidup keluarga.

 

Dari keterangan di atas nampak, bahwa kesanggupan beranak yang banyak merupakan keunggulan besar bagi pandangan orang Batak. Seseorang yang beranak banyak sering menjadi sombong terhadap orang yang beranak sedikit terutama kepada orang yang tidak beranak. Orang yang tidak beranak dianggap orang yang terkutuk. Tetapi disisi lain anak sebagai berkat sering juga kurang dipahami atau dihayati, karena sering juga  dijumpai adanya orang tua yang mengutuk anak-anaknya, kalau dia tidak sanggup untuk mendidik anak-anaknya itu. Misalnya kalau dia merasa jengkel melihat perlakuan anaknya itu, ada juga orang tua yang dengan spontan mengatakan “ia on so disintakhon begu i” ( kalau ini mengapa tidak diambil hantu itu, maksudnya mati).

Akibat yang lain ialah, suami yang tidak mempunyai  anak dari istrinya, maka dia berusaha untuk kawin lagi dengan perempuan lain, dengan harapan dia akan mempunyao keturunan dari istrinya yang baru itu. Pandangan yang mengatakan  keturunan sebagai tujuan dari perkawinan dapat mengakibatkan bahwa istri yang tidak melahirkan anak tidak perlu dipergunakan. Anaklah yang menjamin hubungan dari suami istri dan bagi istri itu sendiri anaklah yang merupakan pengikatnya  di rumah suaminya.

 

 

II.               Berkat dalam Kejadian 1-2

 

1.     Arti Berkat.

 

a.     Berkat sebagai pemberian.

Dalam Kejadian 1: 28, disebut: Allah memberkati mereka, dengan memakai kata Ibrani    ”yeberekh”. Kata kerja dalam bentuk Piel ini berarti, Allah telah memberkati dan terus akan memberkati. Akar katanya adalah “barakh”. Arti yang pertama dari kata ini berlutut (to bend the knees). Tetapi lebih sering dipakai dalam arti yang ke dua yaitu menyembah (Y. Cambee, “Blessedness, dalam The Interpreter Dictionary of the Bible Vol.A-D. Edisi G.A Buttrick, New York 1962, hal. 445). Biasanya orang yang berlutut ialah orang yang menyembah atau mempersembahkan atau menyerahkan sesuatu sebagai pemberian yang tulus dari hatinya atau jiwanya.  Inilah yang diandaikan oleh kata memberkati yaitu Allah mempersembahkan (bukan menyembah) atau memberikan kepada manusia apa yang ada pada-Nya. Allah mau menyerahkan kepada manusia miliknya yang telah diciptakan itu di dalam penuh kasih. Pemberian ini adalah dari Allah, sehingga pemberian itu diserahkan dari kehendak-Nya yang bebas. Di dalam kehendak Allah terkandung rencana Allah dan tujuan-Nya untuk menciptakan manusia.

      Dalam ayat yang terdahulu telah disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah segambar dan serupa dengan Allah.  Manusia adalah “imago (image) Dei” atau kalau boleh dikatakan merupakan imitasi atau “copy” dari Allah. Manusia  membawa mandat dari Allah di dunia ini. Tetapi kesegambaran atau keserupaan itu bukanlah meruapakam nilai atau kwalitas yang menetap dalam diri manusia.  Dengan kata lain kesegambaran atau keserupaan dengan Allah bukanlah sifat atau tabiat yang permanent dalam diri manusia, tetapi diperoleh dari Allah dalam hubungannya sebagai ciptaan kepada Penciptanya. Kesegambaran adalah persekutuan atau perpautan dengan Allah yang disebabkan oleh anugerah dan karunia Allah. (W.Lempp, Tafsiran Kejadian jilid 1, Jakarta 1964, hal. 53. Allah mau menjadikan manusia di dunia untuk memerintahnya. Untuk tugas inilah Allah mau memberkati manusia. Berkat itu disampaikan melalui  firman-Nya. Ini berarti berkat Allah adalah di dalam firman-Nya tidak terlepas dari firman-Nya yang mengatakan: Beranak cuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi.  Dalam Kitab PL dan agama-agama primitif di sekitar dunia PL, pengertian berkat adalah merupakan kuat-kuasa untuk berkembang dan bertambah banyak( Beyer, art. Eulegeo dalam, Theological Dictionary of the New Testament, edisi G. Kittel, Vol. II, Michigan 1964, hal. 75). Berkat untuk beranak bukanlah milik manusia sendiri aatu bukan kesanggupan manusia itu sendiri, tetapi adalah kuasa yang datang  dari luar diri manusia yaitu kuasa Allah yang di sampaikan kepada manusia.

 

b.     Berkat untuk mencipta

 

Langit dan bumi serta  isinya telah diciptakan oleh Allah. Sebelum manusia, Allah telah lebih dahulu memberkati makhluk-makhluk hidup, juga untuk berkembang dan bertambah-tambah. Melalui brkat itu Allah mau menciptakan tenaga di dalam diri makhluk-makhluk itu untuk berkembang, sebagai lanjutan penciptaan Allah.

Sekarang sampai kepada manusia. Seperti sudah dijelaskan di atas manusia adalah gambar dan rupa Allah. Tetapi kesegambaran itu bukan terdapat hanya dalam satu aspek kehidupan manusia saja  tetapi dalam selurh aspek kehidupannya. Artinya totalitas kehidupan manusia adalah gambar dan rupa Allah.. Dengan demikian perkawinan manusia adalah terkandung dalam kesegambaran dan keserupaan itu. Ini bukan berarti bahwa karena Allah kawin, maka manusia pun kawin.   Di dalam dunia  sekitar PL  terutama di kalangan agama Kanaan, kemampuan berkelamin disembah sebagai kedewaan.  Ini dapat dimengerti bahwa dalam agama Kanaan ada kepercayaan akan dewa kesuburan, yang memberi kesuburan bagi seluruh makhluk, tumbuh-tumbuhan dan tanah. Sehingga untuk merealisasikan kuasa dari dewa kesuburan itu, diadakan persembahan kepada  dewa tersebut, di mana disuguhkan persundalan kudus, yaitu persetubuhan di tempat-tempat kudus. (band.  G.Von Rad, Genesis, London 1961, hal. 58). Cara yang demikian dianggap membuka bagi manusia untuk mengambil bagian dalam dunia Allah.  Dari situ dapat dimengerti bahwa kultus orang-orang Kanaan adalah sebagai persundalan (band. Hosea 1-3; Yer. 3: 1 dst.)

Perkawinan manusia yang juga terdapat dalam kesegambarannya dengan Allah, berarti bahwa dengan perkawinan manusia, Allah menghendaki supaya Dia  semakin nyata. Seluruh corak kehidupan manusia harus sanggup untuk menunjukkan dan menyatakan Allah. Kalau manusia bertambah-tambah harus  menunjukkan bahwa  dengan pertambahan itu  Allah semakin nyata, dan dengan demikian nama-Nya semakin  dibesarkan  di muliakan manusia.

Dengan kesanggupan manusia untuk berketurunan, Allah mau melanjutkan penciptaan manusia.  Untuk itulah Allah menciptakan dua jenis kelamin yang berbeda, dan mempunyai daya  seks yang berlainan tetapi berkeinginan untuk bersatu.

Maka adalah bukan secara kebetulan bahwa dalam Kejadian 1: 28,  berkat itu disampaikan   melalui firman-Nya, yang mana firman Allah adalah kekuasaan Allah untuk menyatakan diri dan menciptakan yang baru serta memelihara yang telah ada.

 

c.Berkat sebagai tanggung-jawab

 

            Pemberian yang dari Allah menuntut  suatu tanggung-jawab. Allah menyerahkan ciptaan itu untuk dimanfaatkan manusia dan untuk dikerjakannya. Jahwist, sumber dari kejadian 2: 4b-25, memberitakan bahwa  manusia ditempatkan diTaman Eden, supaya taman itu dikerjakan dan diusahakan manusia. Mengerjakan adalah berhubungan erat dengan bekerja sebgaia pelayan atau hamba (kata kerja yang dipakai adalah “abhadh”, yang artinya bekerja, melayani).  Jadi Jahwist menekankan peranan kehambaan manusia di hadapan Allah, yang mana manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pekerjaan itu kepada Allah.

            Pemberitaan  P (Priest, seorang imam atau pendeta) dalam Kejadian 1: 1-2: 4a), manusia diberkati untuk beranak cucu atau bertambah banyak, supaya manusia mengawasi dan merajai bumi dan makhluk-makhluk lainnya di dalamnya. Tidak heran bahwa P seorang imam atau pendeta menekankan penguasaan atas makhluk-makhluk atau bumi (alam). Karena di dunia sekitar PL, banyak makhluk  juga alam diilahikan artinya dianggap mempunyai kekuasaan yag lebih tinggi dari manusia.  Tetapi P menegaskan bahwa makhluk-makhluk dan seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah yang diserahkan kepada manusia untuk diperintah dan dikuasai.  Waltke mengutip perkataan seorang yang bernama Babbage yang berkata demikian: “ Kemuliaan manusia dalam hal menaklukkan dunia... Dia memiliki dalam tangannya kuasa untuk membentuk dan memperbaharui dunia: ini adalah kewajiban dan tanggung-jwab.” (BK Waltke, artikel: Old Testament texts Bearing on the problem of the control of human reproduction, dalam buku:Birth control and the Christian, edisi W.O. Spitzer, cs, 1960, hal. 22). Dia mmengaplikasikan perkataan itu dengan adanya pertambahan penduduk yang semakin banyak dewasa ini, di mana keseimbangan dengan natur tidak dapat dipelihara. Pada masa kini perkembangan tekhnolog kawin sudah semakin berkembang. Waltke melanjutkan, walaupun tekhnologi itu belum ada pada waktu permulaan  penciptaan manuusia, tetapi kepandaian manusia adalah termasuk di dalam diri manusia itu sendiri, sehingga termasuk ciptaan Allah. Maka dalam pertambahan penduduk yang menanjak, Allah boleh saja memerintahkan manusia untuk mempergunakan tekhnologi itu untuk  memelihara keseimbangan untuk hidup yang baik.

            Kita kembali kepada perintah, penuhi dan taklukkanlah bumi itu. Tuhan tidak mengatakan penuh sesaklah bumi dan meluapluap. Kalau hal itu terjadi, ucapan taklukkanlah bumi mengakibatkan kejadian yang terbalik, bahwa manusia nanti yang akan ditaklukkan oleh bumi sehingga tidak berdaya untuk meneruskan hidupnya.

 

2.     Hidup bersama antar suami-istri

 

Hidup bersama antar suami-istri dalam bahasa umum disebut kawin. Apa artinya kawin itu dalam kitab Kejadian?. Dalam Kejadian 1: 27, disebut: Allah menjadikan manusia itu laki-laki dan perempuan karena perkelaminan manusia itu adalah baik (band. Kejadian 1: 31. Satu manusia yang sempurna adalah terdiri dari  seorang laku-laki dan seorang perempuan (W. Lempp, d.b.s,  hal. 54). Ini bukan berarti bahwa di dalam seorang manusia diciptakan dua jenis kelamin yang berbeda, tetapi justeru dua jenis kelamin yang berbeda dijadikan satu oleh Allah. Dengan demikian  tidak ada pandangan saling  menganggap lebih tinggi atau lebih rendah terhadap  satu-satu jenis kelamin, tetapi suami istri adalah mempunyai derajat atau harkat yang sama.  Dalam hal ini P agak berbeda dengan Yahwist (J) dalam Kejadian 2: 7 dan 2: 18 dst.). Di sini nnampaknya hanya Adamlah yang ditempatkan di Taman Eden dan perintah hanya ditujukan kepada dia (band, 2: 16- kata “kau”). Tujuan Allah menempatkan  manusia dalam taman itu untuk mengerjakan dan menggunakan taman itu, tetapi dia sendirian. Rupanya bagi Allah, tidak baik manusia itu  sendirian, dia membutuhkan pertolongan dari seorang penolong yang sepadan dengan dia. Maka Allah menjadikan perempuan dari tubuh laki-laki itu untuk menjadi teman yang sepadan bagi laki-laki itu. Lalu Allah mempertemukan laki-laki dan perempuan itu melalui perkawinan. Perkawinan itulah yang dinamakan hidup bersama suami- istri atau pembentukan keluarga.

      F.H.Sianipar mengatakan bahwa maksud dari pembentukan keluarga ini adalah menjadikan hidup yang berteman hidup. (F.H.Sianipar, Satu Jawab, Jakarta, 1973, hal. 15). Teman hiduplah yang menjadi teman bekerja,, teman bersenda gurau, teman berjalan-jalan menikmati keindahan, teman makan, teman berencana, teman menderita.

      Mereka diissi oleh kasih Allah yang menciptakan keluarga itu dengan berkat Allah kepada mereka.  Jadi didalam berkat itu terkandung unsur kasih supaya keduanya saling mengasihi dan kasih itu disalurkan melalui keturunannya. Kasihlah yang mempertemukan mereka bukan dorongan seksual.  Memang seks adalah  salah satu ciptaan Allah  untuk mempertemukan ke duanya atau salah satu alat untuk menyalurkan kasih. Seks itu harus dilakukan dalam  hubungan saling mengasihi, bukan karena paksaan atau perkosaan.  Harus terjadi persertujuan di antara ke dua belah pihak di hadapan Allah, karena itu pemakaian seks itu tidak boleh dilakukan di luar ikatan suami istri. Seks bukan dengan tujuan untuk berkembang biak, tetapi adalah alat Allah supaya terjadi kesatuan di antara suami  istri untuk  bekerja supaya pekerjaan Allah  dapat terwujud.

      Tadi sudah disebut di atas bahwa istri adalah teman hidup yang menolong suami.  Istri bukan tempat produksi anak karena ada kalanya istri tidak beranak. Ucapan bertambah banyak tidak boleh dilepaskan dari pemberian Allah Allah dan tanggung-jawab manusia.  Mendidik anak termasuk di dalam perintah untuk menaklukkan dan menguasai bumi. Anak tidak bisa berkembang dengan sendirinya , tetapi memerlukan bimbingan, dan bimbingan yang pertama adalah dari orang tua. Tuntutan ilmu pengetahuan yang dimiliki anak adalah tanggung-jawab orang tua, selama anak belum bisa berdiri sendiri.

      Kemudian P.D.Latuihamallo dalam artikelnya  yang berjudul; “Pandangan agama Kristen Protestan tentang keluarga berrencana”,  dalam majalah Bina Sejatera, no.3 dan 4, hal.  22, adanya tiga segi  pokok yang bersangkut paut denagn keluarga (nikah). Yang pertama ialah: marital companionship” (persatuan suami istri). Ke dua adalah keluarga parenthood dan ketiga adalah panggilan untuk melayani masyarakat.

      Dia menjelaskan bahwa segi yang pertama adalah  mengungkapkan kekariban suami istri sehingga mereka menjadi sedaging (Kejadian 2: 24). Hubungan sedaging ini adalah menunjukkan bahwa  hubunan suami-istri adalah personal, di mana ke duanya saling menghormati kepribadian masing-masing.  Ini juga berarti bahwa apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (Markus 10: 9).

      Dalam segi yang kedua (parenthood), diterangkan fungsi biologis dan fungsi keturunan dari nikah. Ini dihubungkan dengan Kejadian 1: 28, di mana Allah bermaksud untuk melanjutkan  ciptaan manusia melalui perlengkapan seksualitas manusia sendiri.

      Dalam segi yang ketiga  diterangkan soal pelayanan keluarga itu sendiri terhadap masyarakat. Suami istri dengan daya seksual dan memperanakkan yang dianugerahkan oleh Allah, harus dipergunakan secara bertanggung-jawab. Tanggung-jawab yang pertama adalah kepada Tuhan dan yang ke dua adalah kepada masyarakat di lingkungan mana dia hidup. Pertanggung-jawaban kepada Allah adalah apabila suami-istri sanggup untuk mengerjakan  apa yag ditugaskan Allah kepada mereka.

      Jelaslah bahwa Allah untuk mempertemukan  laki-laki dan perempuan bukan hanya deagan tujuan untuk memperoleh keturunan, tetapi yang pertama sekali ialah supaya melalui perkawinan itu rencana dan kemuliaan Allah semakin nampak yakni supaya dengan kesatuan mereka mengerjakan pekerjaan yang diserahkan oleh Allah; melalui keturunan yang diperoleh dari anugerah Allah, bertanggung jawab kepada dunia sekitar dan masyarakat.

 

III.             Kesimpulan

 

Persamaan antara ke dua pandangan tersebut di atas memang diakui ada, yang mana Kejadian 1 dan 2 juga mengakui bahwa keturunan adalah juga berkat Allah sebagaimana halnya juga dalam kehidupan orang Batak.  Tetapi perbedaan yang paling nyata dapat dilihat yaitu bahwa  bagi orang Batak sendiri isi pokok dari berkat itu adalah keturunan yang banyak. Dan orang Batak tidak melihat hubungan dari berkat itu (keturunan yang banyak)  dengan pemberi berkat itu sendiri yaitu Allah dan tidak melihat hubungannya dengan dunia sekitar. Artinya berkat itu dianggap sebagai kuasa yang berjalan spontan, tanpa mempertanggung-jawabkannya.

Sedangkan Alkitab tidak pernah melepaskan  berkat itu dari Allah dan Firman Allah.  Bahkan berkat itu selalu disalurkan melalui dan di dalam Firman-Nya.  Jadi berkat Allah yang hidup dan berbuah di dalam kehidupan kita manusia, sehingga dengan berkat Allah bukn diri kita yang semakin besar, tetapi Allah yang semakin nampak melalui kita.

 

Fak. Theologia Nommensen Pematangsiantar, Juli 1974.

                                    Mangontang Panjaitan, Sm.Th,  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar