ARTI BERKAT DALAM KEJADIAN 1-2
(Khususnya mengenai arti
beranaj cucu dan bertambah-tambah)
Suatu perbandingan dengan
pengertian orang Batak
Pengantar
Artikel ini ditulis tahun 1974, ketika penulis masih
mahasiswa yang sudah menyelesaikan tingkat Sarjana Muda Theologia, dan melanjut
ke tingkat Sarjana Lengkap, yang diterbitkan dalam Surat Parsaoran (Majalah
Immanuel) HKBP, (Edisi no. 14, Juli 1974}.
Karena penulis menganggap topik ini masih perlu dibaca oleh banyak orang
Kristen sekarang, maka penulis memuatnya dalam blog ini.
Pendahuluan
Pertambahan penduduk yang
semakin menanjak pada zaman sekarang merupakan permasalahan bsar di
tengah-tengah masyarakat dunia umumnya dan masyarakat Kristen khususnya. Dunia
telah penuh ditempati oleh manusia. Bahkan beberapa ahli sosiologi berpendapat
bahwa kira-kiran pada tahu 2000 an mendatang dunia akan penuh sesak dan akan
kekurangan bahan makanan dan kebutuhan-kebutuhan lain yang diperlukan, kalau
perkembangn penduduk berlangsung seperti sekarang.
Karena itulah timbul pemikiran bagi orang-orang yang sudah maju seperti
di negeri-negeri Barat untuk membatasi angka kelahiran. Maksud dari pembatasan
itu adalah untuk menyesuaikan pertambahan manusia dengan besarnya
kebutuhan-kebutuhan yang dialami dan diperlukan di dunia ini. Memang di
negeri-negeri Barat baik bagi orang-orang yang sudah beragama Kristen
pembatasan kelahiran tidak begitu dipersoalkan lagi. Arti hidup bersama suami
istri sudah semakin dirasakan. Di negeri Indonesia yang sedang mengalami proses
perkembangan ini, ide untuk membatasi kelahiran dalam arti Keluarga Berencana sudah dianjurkan oleh
pemerintah, agar terdapat masyarakat yang adil dan makmur. Hal ini disambut baik juga oleh ahli-ahli
theologia dan pndeta-pendeta prostestan, dengan menambahkan sebutan Keluarga
Berencana demi melangsungkan keluarga
yang bertanggung-jawab. Tetapi pemikiran itu masih menimbulkan permasyalahan di
tengah-tengah suku-suku yang tradisional di Indonesia. Banyak suku di Indonesia yang menghendaki
keturunan yang banyak, di antaranya ialah suku Batak. Sehingga pembatasan
kelahiran adalah bertentangan dengan
tradisi-tradisi mereka dan keyakinan mereka. Mereka mengatakan bahwa anak yang
banyak adalah berkat Allah. Pemikiran ini masih berlangsung walaupun
kebanyatakan suku Batak sudah kebanyakan memeluk agama kristen. Keluarga Berencana dalam arti pembatasan
kelahiran adalah hal yang masih sulit diterima oleh banyak orang Batak. Anehnya
pendapat ini mereka dukung dengan Firman
Allah dalam Alkitab yang diberitakan dalam berita penciptaaan Kejadian 1: 28.
Dalam ayat itu disebut: “Allah
memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan
bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang
merayap di bumi." Ayat ini
dijadikan sebagai landasan untuk membenarkan prinsip untuk memperoleh keturunan
yang banyak dalam perkawinan sebagai berkat Allah. Orang yang mempertahankan
prinsip ini akan memberi jawaban, kalau prinsip mereka agak disalahkan: Sedangkan Alkitab sendiri menganjurkan untuk
beranak cucu, bertambah-
tambah dan memenuhi bumi dan itu
adalah berkat Allah. Bagaimanakah pendapat kita terhadap persoalan ini, apakah
memang demikian halnya? Untuk ini maka penulis mencoba untuk menyelidiki apa
sebenarnya arti berkat dalam Kejadian 1: 28 dan apa arti berkat dalam
pengertian Batak. Tetapi sebelum kita sampai
kepada pengertian Alkitab, baiklah kita
lihat dulu pengertian berkat itu dalam kehidupan suku Batak Toba.
I.
Pengertian
berkat dalam kehidupan suku Batak Toba
Penulis
pernah bertanya kepada seorang petugas
gereja yang berfungsi sebagai guru jemaat dan dia adalah dari suku Batak Toba,
demikian: Bagaimana tanggapan bapak dengan adanya sekarang anjuran pemerintah
untuk membatasi kelahiran? Maka dia menjawab: Saya tidak setuju kerena Allah
sendiri menganjurkan supaya manusia bertambah-tambah dan beranak-cucu, karena
hal itu adalah berkat. Kalau kita membatasi kelahiran, berarti kita membatasi
berkat Allah kepada kita. Maka saya
lanjutkan pertanyaan dengan mengatakan: bagaimana tanggung-jawab untuk memenuhi
kebutuhan anak yang banyak itu? Maka dia dengan spontan menjawab: Karena anak
adalah berkat Allah, maka tidak mungkin Allah membiarkan anak itu tidak makan.
Setiap anak membawa rezekinya masing-masing dari Allah. Saya menanggapi perkataaan itu bahwa dia masih beranggapan
bahwa berkat itu terjadi dengan spontan. Seolah-olah berkat dan pemberian dari
Allah itu jatuh demikian saja dan seolah-olah anak itu lahir dengan membawa
perbekalannya untuk hidup di dunia ini. Pada hal menurut keyakinan kita saluran
berkat Allah yang pertama sekali kepada anak adalah melalui orang tuanya. Sebenarnya bagi dia sifat kebatakanlah yang
masih banyak mempengaruhi dirinya dan mencoba mempertahankan prinsip itu dari
ayat-ayat Alkitab. Kalau begitu bagaimana pandangan orang Batak mengenai
berkat.
1.
Pasupasu
Dalam
bahasa Batak Toba pengistilah untuk berkat ialah pasupasu.
Pasupasu ini terutama diberikan dari
tingkat yang lebih tinggi kepada tingkat yang lebih rendah. Karena itu
pemberi berkat yang terutama adalah
“Mulajadi Na Bolon” yang sering juga disebut “Ompunta na martua Debata”.
Kemudian sumangot, sahala, sombaon, yaitu roh-roh nenek-moyang yang sudah
meninggal dunia, dan juga orang tua yang
masih hidup. Mulajadi Na Bolon sebagai Pencipta segala sesuatu adalah sumber berkat yang pertama. Berkat itu
diberikan kepada orang memenuhi peraturan adat dan hukum, kemudian orang tua mengambil
peranan yang besar dalam pemberian berkat ini. Menurut keyakinan orang Batak,
orang tua adalah manifestasi Allah, sehingga orang tua dianggap sebagai “Debata
yang dapat dilihat” (debata na niida). Penyaluran berkat itu kepada anak-anaknya nyata juga
dalam upacara-upacara adat Batak.
Misalnya apabila orang melakukan
upacara adat “manulangi” (menyuapkan makanan dengan upacara adat) orang
tuanya maka dia mengharapkan berkat dari orang tua itu. Pada waktu seseorang melangsungkan adat
perkawinan maka diundanganlah “dalihan na tolu” ( hulahula, dongan tubu dan
boru- sistem kekerabatan masyarakat Batak) ke pesta adat itu untuk memberikan
berkat. Pemberian berkat itu disampaikan
melalui upacara “marhata sigabegabe” (mengucapkan kata-kata berkat, melalui
umpasa-umpasa Batak). Pada waktu itu para orang orang tua dari unsur dalihan na
tolu memberikan berkat “Ompu Namartua Deabata), dari sahala dan sumangot ni
ompu (roh nenek moyang yang sudah meninggal) dan dari sahala para tuatua itu sendiri. Sedangkan berkat
dari “sombaon” (roh nenek moyang yang sudah mempunyai status yang disembah),
adalah yang berhubungan dengan pencegahan bencana atau malapetaka, misalnya:
banjir, tanah longsor, kerusakan tanam-tanaman, dll).
Isi
pokok dari berkat adalah “hagabeon” ( kesuburan, banyak keturunan), sehingga
upacara menyampaikan berkat dalam
upacara adat seperti disebut di atas disebut “marhata sigabegabe”. Di sana diucapkan “hata na uli, hata na
denggan” ( kata-kata yang baik dan indah:, kepada tuan rumah yang mengundang. Hata na uli hata denggan itulah yang merupakan kata-kata berkat yang
di dalamnnya terkandung ucapan-ucapan untuk berketurunan banyak, kesuburan
tanah dan kesuburan ternak-ternak. Artinya berkat itu meningkatkan kepada suatu
keadaan yang lebih tinggi (memperkembangkan).
Hagabeon sudah mencakup harta kekayaan (hamoraon) dan kemuliaan
(hasangapon bagi orang Batak. Anak yang banyak sekalihus membawa harta dan sekaligus memberikan kemuliaan atau
kehormatan bagi orang tua. Itulah makanya ada ungkapan orang Batak, anakhonhi
do hamoraon di ahu, anakhonki do hasangapon di ahu (anakku itula kekayaan dan
kemuliaan bagi saya) .
2.
Faedah
keturunan yang banyak bagi orang Batak, sehingga hal itu dianggap berkat.
Pertanyaaan
yang timbul ialah mengapa keturunan yang banyak merupakan pokok dan tujuan dari
berkat?Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu meninjau corak kehidupan
orang Batak dahulu kala. Kebiasaan masyarakat Batak dahulu kala adalah
hidup berkelompok di satu-satu daerah tertentu.
Dan biasanya satu kelompok adalah
terdiri dari satu keluarga atau marga. Hubungan antar kelompok kurang sekali, karena itu dunia pergaulan
sangat sempit sekali hanya di lingkungan
kelompok itu sendiri. Hal ini menimbulkan peninggian terhadap kelompok atau marganya itu sendiri. Hubungan
yang kurang antar kelompok menimbulkan tidak ada keterbukaan satu sama lain sehingga menimbulkan rasa
curiga mencurigai. Karena itulah sering
timbul perselisihan satu sama lain yang sampai juga menimbulkan peperangan.
Peperangan membutuhkan tenaga yang banyak, terutama anak laki-laki agar
masuhnya dapat dikalahkan.
Faktor
ke dua adalah dari segi politis. Untuk
mengangkat pemimpin atas satu-satu daerah adalah dengan dasar demokrasi atau
pemilihan suara terbanyak. Untuk itu maka
keluarga besar (natorop di partubu, halak na bolon) akan menang, sehingga
kedudukan merek seluruh dihormati dan
ditakuti orang.
Keuntungan
dari ekonomis ialah bahwa mata pencaharian orang Batak dahulu kala kebanyakan
adalah bertani, yang untuk itu perlu tenaga yang banyak untuk bekerja. Harta
adalah terdiri dari tanah, dan untuk memperoleh tanah yang luas perlu anak yang
banyak untuk mengerjakannya. Dari segi tempat, bahwa dahulu Tapanuli sebagai tempat tinggal orang-orang Batak
masih jarang penduduknya dan masih memerlukan jumlah orang yang banyak untuk
menempatinya.
Dengan
alasan-alasan di atas, maka anak yang banyak belum merupakan permasalahan,
malah merupakan kebutuhan yang hakiki.
3.
Pengaruh
keturunan yang banyak dalam hidup keluarga.
Dari
keterangan di atas nampak, bahwa kesanggupan beranak yang banyak merupakan
keunggulan besar bagi pandangan orang Batak. Seseorang yang beranak banyak
sering menjadi sombong terhadap orang yang beranak sedikit terutama kepada
orang yang tidak beranak. Orang yang tidak beranak dianggap orang yang
terkutuk. Tetapi disisi lain anak sebagai berkat sering juga kurang dipahami
atau dihayati, karena sering juga dijumpai adanya orang tua yang mengutuk
anak-anaknya, kalau dia tidak sanggup untuk mendidik anak-anaknya itu. Misalnya
kalau dia merasa jengkel melihat perlakuan anaknya itu, ada juga orang tua yang
dengan spontan mengatakan “ia on so disintakhon begu i” ( kalau ini mengapa
tidak diambil hantu itu, maksudnya mati).
Akibat
yang lain ialah, suami yang tidak mempunyai
anak dari istrinya, maka dia berusaha untuk kawin lagi dengan perempuan
lain, dengan harapan dia akan mempunyao keturunan dari istrinya yang baru itu.
Pandangan yang mengatakan keturunan
sebagai tujuan dari perkawinan dapat mengakibatkan bahwa istri yang tidak
melahirkan anak tidak perlu dipergunakan. Anaklah yang menjamin hubungan dari
suami istri dan bagi istri itu sendiri anaklah yang merupakan pengikatnya di rumah suaminya.
II.
Berkat
dalam Kejadian 1-2
1.
Arti
Berkat.
a.
Berkat sebagai
pemberian.
Dalam Kejadian 1: 28, disebut: Allah
memberkati mereka, dengan memakai kata Ibrani
”yeberekh”. Kata kerja dalam bentuk Piel ini berarti, Allah telah
memberkati dan terus akan memberkati. Akar katanya adalah “barakh”. Arti yang
pertama dari kata ini berlutut (to bend the knees). Tetapi lebih sering dipakai
dalam arti yang ke dua yaitu menyembah (Y. Cambee, “Blessedness, dalam The
Interpreter Dictionary of the Bible Vol.A-D. Edisi G.A Buttrick, New York 1962,
hal. 445). Biasanya orang yang berlutut ialah orang yang menyembah atau
mempersembahkan atau menyerahkan sesuatu sebagai pemberian yang tulus dari
hatinya atau jiwanya. Inilah yang
diandaikan oleh kata memberkati yaitu Allah mempersembahkan (bukan menyembah)
atau memberikan kepada manusia apa yang ada pada-Nya. Allah mau menyerahkan
kepada manusia miliknya yang telah diciptakan itu di dalam penuh kasih.
Pemberian ini adalah dari Allah, sehingga pemberian itu diserahkan dari
kehendak-Nya yang bebas. Di dalam kehendak Allah terkandung rencana Allah dan
tujuan-Nya untuk menciptakan manusia.
Dalam
ayat yang terdahulu telah disebutkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah
segambar dan serupa dengan Allah. Manusia
adalah “imago (image) Dei” atau kalau boleh dikatakan merupakan imitasi atau
“copy” dari Allah. Manusia membawa
mandat dari Allah di dunia ini. Tetapi kesegambaran atau keserupaan itu
bukanlah meruapakam nilai atau kwalitas yang menetap dalam diri manusia. Dengan kata lain kesegambaran atau keserupaan
dengan Allah bukanlah sifat atau tabiat yang permanent dalam diri manusia,
tetapi diperoleh dari Allah dalam hubungannya sebagai ciptaan kepada
Penciptanya. Kesegambaran adalah persekutuan atau perpautan dengan Allah yang
disebabkan oleh anugerah dan karunia Allah. (W.Lempp, Tafsiran Kejadian jilid
1, Jakarta 1964, hal. 53. Allah mau menjadikan manusia di dunia untuk
memerintahnya. Untuk tugas inilah Allah mau memberkati manusia. Berkat itu
disampaikan melalui firman-Nya. Ini
berarti berkat Allah adalah di dalam firman-Nya tidak terlepas dari firman-Nya
yang mengatakan: Beranak cuculah dan bertambah banyak dan penuhilah bumi. Dalam Kitab PL dan agama-agama primitif di
sekitar dunia PL, pengertian berkat adalah merupakan kuat-kuasa untuk
berkembang dan bertambah banyak( Beyer, art. Eulegeo dalam, Theological
Dictionary of the New Testament, edisi G. Kittel, Vol. II, Michigan 1964, hal.
75). Berkat untuk beranak bukanlah milik manusia sendiri aatu bukan kesanggupan
manusia itu sendiri, tetapi adalah kuasa yang datang dari luar diri manusia yaitu kuasa Allah yang
di sampaikan kepada manusia.
b.
Berkat untuk
mencipta
Langit dan bumi
serta isinya telah diciptakan oleh
Allah. Sebelum manusia, Allah telah lebih dahulu memberkati makhluk-makhluk
hidup, juga untuk berkembang dan bertambah-tambah. Melalui brkat itu Allah mau
menciptakan tenaga di dalam diri makhluk-makhluk itu untuk berkembang, sebagai
lanjutan penciptaan Allah.
Sekarang sampai
kepada manusia. Seperti sudah dijelaskan di atas manusia adalah gambar dan rupa
Allah. Tetapi kesegambaran itu bukan terdapat hanya dalam satu aspek kehidupan
manusia saja tetapi dalam selurh aspek
kehidupannya. Artinya totalitas kehidupan manusia adalah gambar dan rupa
Allah.. Dengan demikian perkawinan manusia adalah terkandung dalam kesegambaran
dan keserupaan itu. Ini bukan berarti bahwa karena Allah kawin, maka manusia
pun kawin. Di dalam dunia sekitar PL
terutama di kalangan agama Kanaan, kemampuan berkelamin disembah sebagai
kedewaan. Ini dapat dimengerti bahwa
dalam agama Kanaan ada kepercayaan akan dewa kesuburan, yang memberi kesuburan
bagi seluruh makhluk, tumbuh-tumbuhan dan tanah. Sehingga untuk merealisasikan
kuasa dari dewa kesuburan itu, diadakan persembahan kepada dewa tersebut, di mana disuguhkan persundalan
kudus, yaitu persetubuhan di tempat-tempat kudus. (band. G.Von Rad, Genesis, London 1961, hal. 58).
Cara yang demikian dianggap membuka bagi manusia untuk mengambil bagian dalam
dunia Allah. Dari situ dapat dimengerti
bahwa kultus orang-orang Kanaan adalah sebagai persundalan (band. Hosea 1-3;
Yer. 3: 1 dst.)
Perkawinan
manusia yang juga terdapat dalam kesegambarannya dengan Allah, berarti bahwa
dengan perkawinan manusia, Allah menghendaki supaya Dia semakin nyata. Seluruh corak kehidupan
manusia harus sanggup untuk menunjukkan dan menyatakan Allah. Kalau manusia
bertambah-tambah harus menunjukkan
bahwa dengan pertambahan itu Allah semakin nyata, dan dengan demikian nama-Nya
semakin dibesarkan di muliakan manusia.
Dengan
kesanggupan manusia untuk berketurunan, Allah mau melanjutkan penciptaan
manusia. Untuk itulah Allah menciptakan
dua jenis kelamin yang berbeda, dan mempunyai daya seks yang berlainan tetapi berkeinginan untuk
bersatu.
Maka adalah
bukan secara kebetulan bahwa dalam Kejadian 1: 28, berkat itu disampaikan melalui firman-Nya, yang mana firman Allah
adalah kekuasaan Allah untuk menyatakan diri dan menciptakan yang baru serta
memelihara yang telah ada.
c.Berkat sebagai tanggung-jawab
Pemberian yang dari Allah
menuntut suatu tanggung-jawab. Allah
menyerahkan ciptaan itu untuk dimanfaatkan manusia dan untuk dikerjakannya.
Jahwist, sumber dari kejadian 2: 4b-25, memberitakan bahwa manusia ditempatkan diTaman Eden, supaya
taman itu dikerjakan dan diusahakan manusia. Mengerjakan adalah berhubungan
erat dengan bekerja sebgaia pelayan atau hamba (kata kerja yang dipakai adalah “abhadh”,
yang artinya bekerja, melayani). Jadi
Jahwist menekankan peranan kehambaan manusia di hadapan Allah, yang mana manusia
harus mempertanggung-jawabkan hasil pekerjaan itu kepada Allah.
Pemberitaan P (Priest, seorang imam atau pendeta) dalam
Kejadian 1: 1-2: 4a), manusia diberkati untuk beranak cucu atau bertambah
banyak, supaya manusia mengawasi dan merajai bumi dan makhluk-makhluk lainnya
di dalamnya. Tidak heran bahwa P seorang imam atau pendeta menekankan
penguasaan atas makhluk-makhluk atau bumi (alam). Karena di dunia sekitar PL,
banyak makhluk juga alam diilahikan
artinya dianggap mempunyai kekuasaan yag lebih tinggi dari manusia. Tetapi P menegaskan bahwa makhluk-makhluk dan
seluruh alam semesta adalah ciptaan Allah yang diserahkan kepada manusia untuk
diperintah dan dikuasai. Waltke mengutip
perkataan seorang yang bernama Babbage yang berkata demikian: “ Kemuliaan
manusia dalam hal menaklukkan dunia... Dia memiliki dalam tangannya kuasa untuk
membentuk dan memperbaharui dunia: ini adalah kewajiban dan tanggung-jwab.” (BK
Waltke, artikel: Old Testament texts Bearing on the problem of the control of
human reproduction, dalam buku:Birth control and the Christian, edisi W.O.
Spitzer, cs, 1960, hal. 22). Dia mmengaplikasikan perkataan itu dengan adanya
pertambahan penduduk yang semakin banyak dewasa ini, di mana keseimbangan
dengan natur tidak dapat dipelihara. Pada masa kini perkembangan tekhnolog
kawin sudah semakin berkembang. Waltke melanjutkan, walaupun tekhnologi itu
belum ada pada waktu permulaan
penciptaan manuusia, tetapi kepandaian manusia adalah termasuk di dalam
diri manusia itu sendiri, sehingga termasuk ciptaan Allah. Maka dalam
pertambahan penduduk yang menanjak, Allah boleh saja memerintahkan manusia
untuk mempergunakan tekhnologi itu untuk
memelihara keseimbangan untuk hidup yang baik.
Kita kembali kepada perintah, penuhi
dan taklukkanlah bumi itu. Tuhan tidak mengatakan penuh sesaklah bumi dan
meluapluap. Kalau hal itu terjadi, ucapan taklukkanlah bumi mengakibatkan
kejadian yang terbalik, bahwa manusia nanti yang akan ditaklukkan oleh bumi
sehingga tidak berdaya untuk meneruskan hidupnya.
2.
Hidup bersama
antar suami-istri
Hidup
bersama antar suami-istri dalam bahasa umum disebut kawin. Apa artinya kawin itu dalam kitab Kejadian?. Dalam Kejadian
1: 27, disebut: Allah menjadikan manusia itu laki-laki dan perempuan karena
perkelaminan manusia itu adalah baik (band. Kejadian 1: 31. Satu manusia yang
sempurna adalah terdiri dari seorang
laku-laki dan seorang perempuan (W. Lempp, d.b.s, hal. 54). Ini bukan berarti bahwa di dalam
seorang manusia diciptakan dua jenis kelamin yang berbeda, tetapi justeru dua
jenis kelamin yang berbeda dijadikan satu oleh Allah. Dengan demikian tidak ada pandangan saling menganggap lebih tinggi atau lebih rendah
terhadap satu-satu jenis kelamin, tetapi
suami istri adalah mempunyai derajat atau harkat yang sama. Dalam hal ini P agak berbeda dengan Yahwist
(J) dalam Kejadian 2: 7 dan 2: 18 dst.). Di sini nnampaknya hanya Adamlah yang
ditempatkan di Taman Eden dan perintah hanya ditujukan kepada dia (band, 2: 16-
kata “kau”). Tujuan Allah menempatkan
manusia dalam taman itu untuk mengerjakan dan menggunakan taman itu,
tetapi dia sendirian. Rupanya bagi Allah, tidak baik manusia itu sendirian, dia membutuhkan pertolongan dari
seorang penolong yang sepadan dengan dia. Maka Allah menjadikan perempuan dari
tubuh laki-laki itu untuk menjadi teman yang sepadan bagi laki-laki itu. Lalu
Allah mempertemukan laki-laki dan perempuan itu melalui perkawinan. Perkawinan
itulah yang dinamakan hidup bersama suami- istri atau pembentukan keluarga.
F.H.Sianipar mengatakan bahwa maksud dari
pembentukan keluarga ini adalah menjadikan hidup
yang berteman hidup. (F.H.Sianipar, Satu Jawab, Jakarta, 1973, hal. 15).
Teman hiduplah yang menjadi teman bekerja,, teman bersenda gurau, teman
berjalan-jalan menikmati keindahan, teman makan, teman berencana, teman
menderita.
Mereka diissi oleh kasih Allah yang
menciptakan keluarga itu dengan berkat Allah kepada mereka. Jadi didalam berkat itu terkandung unsur
kasih supaya keduanya saling mengasihi dan kasih itu disalurkan melalui keturunannya.
Kasihlah yang mempertemukan mereka bukan dorongan seksual. Memang seks adalah salah satu ciptaan Allah untuk mempertemukan ke duanya atau salah satu
alat untuk menyalurkan kasih. Seks itu harus dilakukan dalam hubungan saling mengasihi, bukan karena paksaan
atau perkosaan. Harus terjadi persertujuan
di antara ke dua belah pihak di hadapan Allah, karena itu pemakaian seks itu
tidak boleh dilakukan di luar ikatan suami istri. Seks bukan dengan tujuan
untuk berkembang biak, tetapi adalah alat Allah supaya terjadi kesatuan di
antara suami istri untuk bekerja supaya pekerjaan Allah dapat terwujud.
Tadi sudah disebut di atas bahwa istri
adalah teman hidup yang menolong suami.
Istri bukan tempat produksi anak karena ada kalanya istri tidak beranak.
Ucapan bertambah banyak tidak boleh dilepaskan dari pemberian Allah Allah dan
tanggung-jawab manusia. Mendidik anak
termasuk di dalam perintah untuk menaklukkan dan menguasai bumi. Anak tidak
bisa berkembang dengan sendirinya , tetapi memerlukan bimbingan, dan bimbingan
yang pertama adalah dari orang tua. Tuntutan ilmu pengetahuan yang dimiliki
anak adalah tanggung-jawab orang tua, selama anak belum bisa berdiri sendiri.
Kemudian P.D.Latuihamallo dalam
artikelnya yang berjudul; “Pandangan
agama Kristen Protestan tentang keluarga berrencana”, dalam majalah Bina Sejatera, no.3 dan 4,
hal. 22, adanya tiga segi pokok yang bersangkut paut denagn keluarga
(nikah). Yang pertama ialah: marital companionship” (persatuan suami istri). Ke
dua adalah keluarga parenthood dan ketiga adalah panggilan untuk melayani
masyarakat.
Dia menjelaskan bahwa segi yang pertama
adalah mengungkapkan kekariban suami
istri sehingga mereka menjadi sedaging (Kejadian 2: 24). Hubungan sedaging ini
adalah menunjukkan bahwa hubunan
suami-istri adalah personal, di mana ke duanya saling menghormati kepribadian
masing-masing. Ini juga berarti bahwa
apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia (Markus 10: 9).
Dalam segi yang kedua (parenthood),
diterangkan fungsi biologis dan fungsi keturunan dari nikah. Ini dihubungkan
dengan Kejadian 1: 28, di mana Allah bermaksud untuk melanjutkan ciptaan manusia melalui perlengkapan
seksualitas manusia sendiri.
Dalam segi yang ketiga diterangkan soal pelayanan keluarga itu
sendiri terhadap masyarakat. Suami istri dengan daya seksual dan memperanakkan
yang dianugerahkan oleh Allah, harus dipergunakan secara bertanggung-jawab.
Tanggung-jawab yang pertama adalah kepada Tuhan dan yang ke dua adalah kepada
masyarakat di lingkungan mana dia hidup. Pertanggung-jawaban kepada Allah
adalah apabila suami-istri sanggup untuk mengerjakan apa yag ditugaskan Allah kepada mereka.
Jelaslah bahwa Allah untuk
mempertemukan laki-laki dan perempuan
bukan hanya deagan tujuan untuk memperoleh keturunan, tetapi yang pertama
sekali ialah supaya melalui perkawinan itu rencana dan kemuliaan Allah semakin
nampak yakni supaya dengan kesatuan mereka mengerjakan pekerjaan yang
diserahkan oleh Allah; melalui keturunan yang diperoleh dari anugerah Allah,
bertanggung jawab kepada dunia sekitar dan masyarakat.
III.
Kesimpulan
Persamaan
antara ke dua pandangan tersebut di atas memang diakui ada, yang mana Kejadian
1 dan 2 juga mengakui bahwa keturunan adalah juga berkat Allah sebagaimana
halnya juga dalam kehidupan orang Batak.
Tetapi perbedaan yang paling nyata dapat dilihat yaitu bahwa bagi orang Batak sendiri isi pokok dari
berkat itu adalah keturunan yang banyak. Dan orang Batak tidak melihat hubungan
dari berkat itu (keturunan yang banyak)
dengan pemberi berkat itu sendiri yaitu Allah dan tidak melihat
hubungannya dengan dunia sekitar. Artinya berkat itu dianggap sebagai kuasa
yang berjalan spontan, tanpa mempertanggung-jawabkannya.
Sedangkan
Alkitab tidak pernah melepaskan berkat
itu dari Allah dan Firman Allah. Bahkan
berkat itu selalu disalurkan melalui dan di dalam Firman-Nya. Jadi berkat Allah yang hidup dan berbuah di
dalam kehidupan kita manusia, sehingga dengan berkat Allah bukn diri kita yang
semakin besar, tetapi Allah yang semakin nampak melalui kita.
Fak. Theologia
Nommensen Pematangsiantar, Juli 1974.
Mangontang
Panjaitan, Sm.Th,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar