Senin, 26 Agustus 2019

EKKLESIOLOGI PADA ZAMAN RASULI

Ekklesiologi pada zaman Rasuli
khususnya dalam Surat-surat Paulus dan Kissah para rasul

Oleh : Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th *



Pengantar

                                Ekklesiologi merupakan salah satu pokok teologi yang sangat luas sekali. Kata itu berasal dari kata Junani  “ekklhsia” (ekklesia), yang berarti ‘gereja’, dan “logoV” (logos)  yang berarti “pengetahuan’  atau “studi mengenai”. Jadi ekklesiologi berarti  pengetahuan atau studi mengenai gereja.  Ekklesiologi sebagai suatu pokok teologi, berarti suatu pengkajian mengenai  kehidupan gereja, yang meliputi pemahaman mengenai  hakekat dari gereja itu sendiri, dan juga menyangkut sifat, missi, fungsi, kepemimpinan, jabatan, ordinansi dan tujuan dari gereja itu. Karena  soal ekklesiologi merupakan   pembahasan yang sangat luas, saya hanya membatasi kepada beberapa segi yang saya anggap sangat penting untuk didalami demi memperoleh suatu pemahaman yang benar mengenai gereja itu, sesuai dengan pandangan yang telah diwariskan oleh para rasul,  khususnya rasul Paulus, karena Pauluslah yang memberi  pemahaman yang lebih luas mengenai  apa dan bagaimana gereja itu.

1.       Pemahaman mengenai gereja dalam surat-surat Paulus


Istilah yang dipakai oleh Paulus untuk menyebut gereja adalah   ekklhsia  (ekklesia). Suatu istilah yang sudah dikenal dalam dunia Yunani sebelum kekristenan. Mengenai pemakaian istilah itu dalam dunia Yunani bisa dilihat dari Kitab Perjanjian Baru itu sendiri, seperti dalam Kisah Rasul 19 : 32, 39 dst. Di sana kata  ekklhsia  dipakai dalam pengertian “kumpulan orang banyak atau  sidang rakyat”.  Sudah sejak masa sebelum Plato, kata  “ekklhsia” dipakai  untuk menyebut “sidang rakyat” di kota Athena dan kota-kota Yunani lainnya. Etimologi kata itu sederhana dan mempunyai makna yang berarti. Warga suatu kota disebut  “ekklhtoi”, yakni orang-orang yang dipanggil dan dikumpulkan oleh seorang pembantu raja dari luar. Dari situlah juga timbul pemaham  Kristiani bahwa warga gereja  adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh Allah dalam Kristus keluar dari dunia ini.
Pengajaran Paulus mengenai  ekklesia secara eksplisit dijumpai dalam surat-surat Deutero Paulus, terutama dalam surat Kolosse dan Efesus. Suatu ajaran yang khusus mengenai gereja dikaitkan dalam hubungannya kepada Kristus untuk pertama kali dijumpai dalam surat-surat tersebut.  Pada waktu menjelang akhir hidupnya, ketika Paulus dipenjarakan di kota Roma, dia merasa perlu mengajarkan kepada jemaat-jemaat Kristen akan keberadaan Yesus yang sudah ada sejak mulanya, dan yang sekarang duduk disebelah kanan Allah Bapa untuk memimpin Israel yang baru, yakni gereja sebagai tubuh Kristus. Dalam Kolosse 1: 24 misalnya dia mengatakan bahwa ekklhsia  adalah  “swma  kristou”  (soma Kristou  -  tubuh Kristus). Dan pada Kol. 1 : 18 disebut Kristus adalah  “kefalh” (kefale – kepala) dari tubuh itu yakni gereja. Perlu dicatat bahwa dalam Efesus 3 : 21 dan 5 : 32, Kristus dan  ekklesia disebut dalam  hubungan yang sangat erat. Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan suatu kiasan yang menggambarkan hubungan Kristus yang sangat erat dengan orang-orang percaya. Dan gagasan mengenai tubuh Kristus ini juga menunjukkan betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya. Dalam surat-surat Proto Paulus (Roma dan 1 Korintus), yang dimaksud dengan tubuh Kristus dalam konteks ini adalah jemaat setempat, di mana dijumpai adanya karunia-karunia rohani yang berbeda-beda. Anggota-anggota tubuh yang bermacam-macam diperlukan untuk kepentingan masing-masing anggota supaya tubuh itu dapat berfungsi secara efisien. Di sini terdapat pandangan mengenai jemaat yang bersifat kebersamaan (corporate) yang meniadakan sifat yang individualistis, tetapi memberi kesempatan bagi pemanfaatan kemampuan pribadi.
Penggunaan yang lebih berkembang dari kiasan itu dapat terlihat dalam surat Efesus dan Kolosse. Seperti sudah dikemukakan di atas, bahwa dalam surat-surat tersebut ekklesia disamakan dengan tubuh Kristus. Itu berarti bahwa Kristus sebagai kepala yang mengendalikan jemaat atau gereja. Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan gereja. Dialah yang paling utama dan tertinggi dalam gereja. Penekanan Kristus sebagai kepala gereja juga memperlihatkan kesatuan dari seluruh gereja itu  (Ef. 1 : 23 - 23 ; 4 : 15). Seluruh gereja adalah satu dalam  Kristus. Proses yang menjadikan gereja satu di dalam satu tubuh dikatakan telah dilakukan melalui salib (Ef. 2 : 16),  yang mengatasi permusuhan antara orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, dan merobohkan tembok pemisah yaitu perseteruan (Ef..2 : 14). Kiasan tentang satu tubuh menjadi tidak sesuai bila terjadi perseteruan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi.
Selain sebagai tubuh Kristus, gereja juga dikiaskan sebagai “pengantin perempuan”. Penggunaan kiasan  tentang pengantin perempuan juga telah tercermin dalam pengajaran Jesus, misalnya dalam perumpamaan tentang gadis-gadis (Mat.25 : 1-13),  dan juga dalam perumpamaan tentang Perjamuan Kawin (Mat.22 : 1-14). Kiasan itu diterapkan oleh Paulus terhadap perhimpunan umat Kristen (bdn. Ef.5 : 25). Tetapi di sini pun gereja tidak disebut secara khusus sebagai mempelai perempuan. Hanya disebutkan bahwa hubungan suami dengan istri dipakai sebagai analogi (kiasan) pada hubungan Kristus dengan gerejaNya. Dalam Surat Efesus istilah ekklesia tidak lagi hanya menghunjuk kepada jemaat setempat tetapi telah menghunjuk kepada seluruh gereja  sebagai persekutuan orang-orang percaya, sehingga dengan demikian terlihat bahwa keseluruhan perhimpunan menopang hubungan yang khusus dengan Kristus. Dalam ajaran Perjanjian Baru tentang pernikahan, mempelai perempuan didorong untuk tunduk dan taat kepada suaminya karena hal ini dianggap sebagai pola hubungan gereja dengan Kristus. Kiasan mempelai perempuan di sini juga dihubungkan dengan maksud penebusan Kristus (bd. Ef.5:25). “Mempelai laki-laki” itu bukan hanya Kepala Gereja, tetapi juga Penyelamatnya.
Kiasan yang lain mengenai gereja yang dipakai oleh Paulus ialah gereja sebagai bangunan. Gagasan ini pertama dikembangkan oleh Paulus dalam Surat I Korintus, di mana dia menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah bangunan Allah ( I Kor.3 : 9), dan kemudian Ia menyamakan dirinya sebagai seorang ahli bangunan ( I Kor.3 : 10), yang mendirikan bangunan itu pada dasar yang satu-satunya, yaitu Kristus sendiri. Hal ini membawa Paulus untuk memikirkan gagasan mengenai rumah Allah ( I Kor.3 : 16). Keseluruhan orang-orang percaya pada suatu daerah dipandang sebagai tempat kediaman Allah, yang juga berarti bahwa setiap orang Kristen adalah rumah Allah. Sebagaimana Allah tinggal di tempat yang maha kudus, dengan demikian Roh Kudus tinggal di dalam ekklesia. Kiasan yang sama juga terdapat dalam I Korintus 6 : 19, yang menganggap tubuh masing-masing orang-orang percaya sebagai rumah Allah. Gagasan ini diambil dari gambaran yang diberikan dalam  PL mengenai tempat kediaman Allah di dalam ruang Rumah Allah yang paling dalam.
Lalu dalam surat Efesus, keseluruhan jemaat dipandang sebagai rumah Allah (Ef. 2 : 19-22). Paulus berbicara mengenai “seluruh bangunan” yang dipersatukan bersama-sama sehingga rapi tersusun dan tumbuh “menjadi bait Allah yang kudus ; di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh”. Ada beberapa hal penting yang muncul dari perikop ini. 
Pertama bahwa yang dimaksudkan dengan rumah Allah di situ ialah keseluruhan perhimpunan orang Kristen, karena itu masing-masing bagian dari bangunan itu merupakan jemaat-jemaat atau orang-orang secara pribadi. Masing-masing bagian itu penting selama diikatkan pada keseluruhan. Peranan jemaat-jemaat Kristen masing-masing adalah membentuk bagian yang dapat kelihatan dari keseluruhan jemaat. Penting juga untuk diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan ‘bangunan” di situ bukanlah sebuah gedung atau pun suatu organisasi, melainkan tempat kediaman Allah.
Kedua, dikatakan bahwa rumah Allah dibangun di atas “dasar para rasul dan para nabi”, dengan Kristus sebagai batu penjuru. Yang dimaksud dengan ‘dasar para rasul dan para nabi”, adalah pemberitaan yang mereka lakukan yang berpusat kepada Kristus. Dan kalau disebut Kristus sebagai batu penjuru, berarti Kristuslah yang mempersatukan bagian-bagian yang terpisah dan menjadi satu kesatuan.
Ketiga,  ekklesia dipandang sebagai  tempat kediaman Allah  “ di dalam Roh”. Pekerjaan Roh Kudus  memainkan peranan yang penting, seperti terlihat pada perikop-perikop dalam I Korintus 3 dan 6. Bagian-bagian yang terpisah dari bangunan tidak akan pernah menjadi suatu kesatuan tanpa pelayanan Roh Kudus.
Dalam kiasan tentang  bangunan-bangunan  yang digunakan oleh Paulus tidak terdapat kesan bahwa organiasi manusiawi mendapat tempat dalam gagasannya mengenai jemaat. Ada kesamaan yang menonjol antara kiasan ini dengan kiasan tentang tubuh. Kedua kiasan itu mengarah pada kesatuan gereja, tetapi sementara itu tetap mempertahankan sifat-sifat dari masing-masing bagiannya.

2.     Jabatan Gerejawi dan persekutuan Kristen

Jabatan gerejawi yang dilembagakan oleh Tuhan Yesus sebelum kenaikanNya ke sorga ialah jabatan rasul. Jabatan itu diteguhkan oleh Roh Kudus pada hari Pentakosta, sehingga dengan demikian para rasul menjadi kuasa Kristus dalam mendirikan, memelihara dan memperluas gereja. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa jabatan itu mencakup kuasa untuk memberitakan Injil, melayani sakramen dan menjalankan disiplin gereja, sesuai dengan kuasa yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya, yakni untuk memegang kunci  Kerajaan Sorga (bd. Mat.16 : 19). Mereka yang memegang jabatan itu adalah hamba-hamba Allah dan sekaligus hamba-hamba gereja yang dengan roh pengasihan dan keteladanan Kristus akan mengabdikan dirinya untuk melayani Allah dan melayani gereja. Mereka juga disebut sebagai garam dan terang dunia, teman sekerja Allah, juru kunci rahasia Allah dan duta Kristus di dunia ini. Semuanya itu menunjukkan pekerjaan yang mulia, tetapi sekaligus menuntut tanggung-jawab yang besar. Paulus menggambarkan kebesaran dari jabatan rasul itu sebagai suatu “bau kehidupan yang menghidupkan bagi orang-orang percaya, dan bau kematian yang mematikan bagi yang tidak bertobat” ( II Kor. 2 : 16). Ini memang merupakan pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan dari diri sendiri. Kesanggupan dan keberhasilan untuk menunaikan tugas itu berasal dari Allah.
Panggilan internal dan kualifikasi moral untuk jabatan gerejawi datang dari Roh Kudus, tetapi peneguhannya dilakukan oleh gereja. Para rasul telah dipangil secara langsung oleh Yesus Kristus bagi pekerjaan mendirikan gereja. Tetapi gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya terus mengambil bagian secara aktif dalam seluruh peristiwa-peristiwa keagamaan. Karena itu orang-orang  yang telah dipanggil untuk memegang suatu jabatan gerejawi dilakukan untuk fungsi pelayanan mereka melalui tahbisan. Pada mulanya tahbisan itu dilakukan oleh para rasul atau wakil-wakil mereka dengan doa dan peletakan tangan. Penahbisan itu dimaksudkan untuk meneguhkan kuasa dan karunia-karunia rohani yang berasal dari Allah.
Jadi kebesaran dan ketinggian jabatan itu bukan terletak di dalam diri orang-orang yang memegangnya, tetapi terletak di dalam sumbernya yang ilahi.  Jabatan gerejawi tidak membuat orang yang memegangnya lebih tingi dan lebih suci dari warga gereja lainnnya. Para pejabat gerejawi adalah juga orang yang penuh dosa sebagaimana halnya dengan warga gereja lainnya, dan juga tergantung kepada anugerah Allah yang menyelamatkan dirinya. Di pihak lain warga gereja  juga ikut mengambil bagian yang sama dengan pejabat-pejabat gerejawi dalam berkat yang dibawa oleh Injil itu dan juga sama-sama terpanggil kepada persekutuan yang langsung kepada Kristus, kepala dari gereja itu. Missi utama dari gereja adalah untuk memperdamaikan seluruh manusia kepada Allah dan menjadikan mereka menjadi pengikut-pengikut Kristus yang benar. Kitab Perjanjian Baru yang melihat pada prinsip kehidupan yang baru dan panggilan agung akan orang Kristen, menyebut diri orang-orang percaya itu sebagai “persekutuan persaudaraan”, “orang-orang suci”, “bait rohani”, “bangsa yang istimewa”, serta ‘imamat suci dan rohani”. Petrus secara khusus menyebut keimaman itu sebagai bagian dari seluruh orang percaya, sehingga ia menyebut setiap jemaat Kristen sebagai suku Lewi secara rohani, serta umat Allah yang istimewa dan suci bagi Allah  ( I Petrus 2 : 5, 9 ; 5 : 3)
Organisasi gereja yang kelihatan yang sifat temporal menjadi suatu alat dalam pemerintahan Allah, di mana seluruh orang Kristen terpangil menjadi “nabi-nabi, imam-imam dan raja-raja”.

3.     Jabatan-jabatan gerejawi yang pertama

3.1.        Jabatan-jabatan yang bersifat umum

Jabatan gerejawi bermula dengan jabatan apostolat (rasul). Dalam Kitab Injil dan lima pasal yang pertama dari Kitab Kisah Para Rasul, tidak ada pejabat-pejabat gerejawi lain yang disebutkan, selain dari para rasul itu. Tetapi setelah orang-orang percaya makin bertambah jumlahnya, para rasul itu tidak mampu lagi menjalankan seluruh fungsi pelayanan dalam gereja, seperti memberikan pengajaran, memimpin ibadah dan menjalankan disiplin. Karena itu diciptakanlah jabatan-jabatan baru bagi orang-orang yang diikutkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan dari jemaat itu, sementara para rasul itu kemudian lebih mengkhususkan diri untuk tugas pengawasan umum dan perluasan dari Injil itu. Dengan demikian secara berangsur-angsur timbulkan berbagai jabatan di dalam gereja, baik dalam tingkat umum maupun dalam tingkat jemat setempat. Tetapi semua jabatan itu berakar dalam jabatan apostolat. Yang dimaksud dengan jabatan yang bersifat umum adalah jabatan yang tidak terbatas pada suatu jemaat tertentu tetapi meluas kepada seluruh gereja. Yang tergolong kepada jabatan itu pada jaman rasuli ialah para rasul, nabi-nabi dan evangelis-evangelis. Paulus menyebut ketiganya secara bersama-sama dalam suatu rangkaian (Epes. 4 : 11, I Kor 12 : 28). Jabatan kenabian nampaknya lebih bersifat karunia khusus dan fungsi ketimbang suatu jabatan. Tetapi para rasul itu melayani jemaat secara berpindah-pindah, sehingga ruang lingkup pelayanan mereka tidak terbatas pada satu jemaat saja. Fungsi mereka lebih banyak difokuskan untuk memberi pengajaran dan menjalankan disiplin gereja, serta menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah untuk memberi pengampunan disampaikan melalui para nabi. Dengan otoritas yang demikian luas, tidak mengherankan apabila dalam Perjanjian Baru para nabi nampak memikul peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus, kadang-kadang merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak untuk memegang suatu jabatan kepemimpinan bagi jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang suatu pertikaian (Kis. 11 :  28, 13 : 1, 15 : 32).
Sedangkan para evangelis adalah pejabat-pejabat yang mengemban missi khusus untuk menyebarkan Injil itu di bawah bimbingan para rasul. Jabatan evangelis ini bertahan dari waktu ke waktu. Bahkan di kemudian hari Allah juga membangkitkan penginjil-penginjil yang luar biasa yang menyebarkan Injil itu ke berbagai penjuru dunia.
Para rasul yang pada mulanya berjumlah dua belas orang (menurut para ahli ini sesuai dengan jumlah kedua belas suku Israel), tetapi setelah turunnnya Roh Kudus, jumlah ini bertambah lagi, yakni dengan diangkatnya secara khusus oleh Yesus Kristus, Paulus menjadi rasul untuk orang-orang kafir. Tetapi di samping mereka masih ada beberapa orang yang pengaruhnya hampir sama dengan para rasul itu, seperti Barnabas dan Yakobus saudara Yesus. Para rasul itulah yang menjadi utusan-utusan Kristus untuk meneruskan missinya di dunia ini dan manjadi pendiri dan tiang-tiang penyokong gereja. Jabatan mereka bersifat universal, dan tulisan-tulisan mereka sampai sekarang dijadikan sebagai kaidah iman dan perilaku semua umat Kristen. Merekalah pemimpin-pemimpin dari gereja mula-mula . Tetapi mereka tidak pernah menjalankan kuasa kepemimpinan yang mereka peroleh dari Allah  dengan sewenang-wenang. Mereka selalu menghormati hak-hak, kebebasan dan martabat dari setiap insan yang berada di bawah pemeliharaan mereka. Setiap orang Kristen, walaupun itu seorang hamba yang miskin seperti Onesimus, dianggap sebagai saudara yang kekasih dalam Kristus, yang ikut ambil bagian dalam anugerah keselamatan itu. Kepemimpinan mereka dalam gereja didasarkan atas kasih, dan sikap yang rela mengorbankan kepentingan diri sendiri, dengan mengabdi dengan sepenuh hati untuk keselamatan umat Kristen itu.

3.2.        Jabatan-jabatan dalam tingkat jemaat setempat

Pejabat-pejabat gerejawi dalam tingkat jemaat setempat bertugas untuk memikul dan meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh para rasul dan utusan-utusan mereka. Mereka ada dua macam, yakni jabatan penatua atau penilik dan jabatan diakon atau penolong. Jumlah mereka semakin banyak sejalan dengan perluasan kekristenan itu, sementara jumlah para rasul berkurang karena kematian.
Istilah penatua (presbuteroV -presbyteros) dan penilik (episkopoV - episkopos) di dalam kitab Perjanjian Baru masih menunjukkan jabatan yang sama. Perbedaannya, bahwa istilah penatua dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan istilah penilik (di kemudian disebut uskup) dipinjam dari persekutuan Yunani. Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge mempunyai badan penatua yang terdiri dari pemimpin, ahli-ahli taurat dan imam-imam besar (Kis. 4 : 5 – 8 : 23). Mereka berfungsi sebagai badan peradilan dan pemerintahan. Di lingkungan jemaat Kristen untuk pertama kali sebutan penatua muncul di jemaat Yerusalem, yakni pada waktu pengumpulan bantuan bagi orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11 : 30). Para penatua itulah yang menerima bantuan yang dikirin dari jemaat Anthiokia untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Beberapa tahun setelah itu, dilaporkan bahwa para penatua itu ikut dalam sidang di Yerusalem sebagai pemimpin-pemimpin jemaat bersama-sama dengan rasul yang dua belas itu (Kis. 15 : 6 dst). Tetapi kemudian istilah penatua juga muncul di jemaat-jemaat yang non- Yahudi, seperti jemaat di Efesus (Kis. 20 : 17 dst). Dan istilah penatua itu selalu muncul dalam bentuk jamak, yang berarti bahwa di dalam sebuah jemaat mereka bertugas sebagai suatu badan atau sebuah majelis.
Seperti sudah disebut di atas, istilah penilik (episkopos) dipinjam dari dunia Yunani. Sebelum memasuki lingkungan gereja, istilah itu sudah dikenal sebagai sebutan untuk pemimpin di lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti pemimpin suatu serikat sosial, kelompok atletik atau pejabat pemerintahan sebuah kota. Di dalam Septuaginta kata episkopos itu sudah dipakai untuk menerjemahkan kata-kata Ibrani yang berarti penilik, pemimpin dan ketua. Dan di Mesir, kata itu sudah lazim dipakai untuk menyebut pejabat dari suatu Bait Suci. Dan seperti jabatan penatua di dalam Kitab Perjanjian Baru, jabatan penilik juga selalu muncul dalam bentuk jamak, yang menunjukkan bahwa mereka juga bekerja dalam satu jemaat sebagai suatu kolega atau badan.
Sampai akhir abad pertama jabatan “penatua – penilik” (presbytero – episkopal) merupakan satu jabatan yang tugasnya untuk mengajar dan memimpin jemaat untuk melaksanakan tuntutan kekristenan . Mereka merupakan gembala dan sekaligus sebagai guru yang menetap. Sebagai pemimpin atau gembala jemaat merekalah yang membina pelaksanaan ibadah, mejalankan disiplin dan tugas pastoral serta mengatur pemakaian harta gereja. Mereka biasanya dipilih dari antara orang-orang yang pertama sekali bertobat dari kalangan warga jemaat itu, bukan dari orang yang baru bertobat (bd. I Tim. 3 : 6), dan diangkat oleh para rasul atau utusan mereka dengan pengesahan jemaat. Mereka ditetapkan ke dalam jabatan itu oleh para rasul atau utusan mereka dengan doa dan penumpangan tangan (Kis. 14 : 23 ; Titus 1 : 5 ; I Tim 5 : 22 ; 4 : 14 ; II Tim. 1 : 6).
Tetapi pada permulaan abad kedua, mulai dari Ignatius, jabatan penatua dan jabatan penilik (uskup) telah dibedakan. Pada waktu itu jabatan uskup (episkopos) mulailah dikenakan kepada pemimpin dari suatu jemaat yang disertai oleh sebuah dewan penatua, dan kemudian menjadi pemimpin dari beberapa jemaat dalam satu wilayah keuskupan. Tetapi uskup yang diangkat menjadi pemimpin itu dipilih dari dewan penatua. Alasan mengapa gelar uskup yang dikenakan kepada pemimpin jemaat itu, bukan jabatan penatua, karena sebelumnya gelar itu telah lazim dipakai untuk menyebut pemimpin finansial dari suatu organisasi masyarakat atau suatu bait suci. Dan pada mulanya uskup sebagai pemimpin suatu jemaat lebih banyak berperan untuk mengawasi seluruh dana-dana gereja, karena pada mulanya gereja lebih banyak menunjukkan fungsi sebagai lembaga sosial yang membantu para janda, yatim piatu, orang-orang asing, jompo, orang lemah dan orang miskin.
Selain dari jabatan penatua atau penilik, jabatan kongregasional yang lain ialah diakon atau diakones. Para diakon atau penolong muncul pertama kali di jemaat Yerusalem dalam jumlah tujuh orang. Penulis kitab Kisah Para Rasul (ps. 6) memperkenalkan jabatan itu lebih dulu ada dari jabatan penatua. Pada mulanya jabatan itu dimaksudkan untuk mengurangi beban yang dipikul oleh para rasul, supaya mereka dapat lebih banyak memusatkan pikiran untuk pekerjaan doa dan pelayanan Firman. Latar belakangnya ialah adanya keluhan orang-orang Kristen Hellenis terhadap orang-orang Kristen Ibrani bahwa janda-janda dari pihak mereka diabaikan dalam pendistribusian makanan (dan mungkin juga uang) setiap hari. Maka dengan mengikuti usul para rasul, jemaat itu mermilih tujuh orang dari antara mereka yang terkenal baik dan penuh Roh dan hikmat. Merekapun dihadapkan kepada rasul-rasul itu untuk ditahbiskan dengan berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka. Contoh yang dilakukan oleh jemaat induk di Yerusalem itu juga diikuti oleh jemaat-jemaat yang lain walaupun tidak terikat kepada jumlah yang tujuh itu.
Menurut pemberitaan kitab Kisah Para Rasul, jabatan diakon merupakan tugas pelayanan di meja pada waktu pesta-pesta kasih setiap hari dan menolong orang-orang yang miskin dan orang-orang yang sakit. Terhadap pekerjaan itu lazim juga diikutkan semacam pemeliharaan jiwa secara pastoral, yang karena kemiskinan dan penyakit memberi peluang yang besar untuk melemahkan iman, sehingga orang-orang miskin dan sakit itu membutuhka penghiburan. Karena itu suatu persyaratan yang diharuskan bagi jabatan diakon ialah iman yang hidup dan keteladanan di tengah-tengah umat Kristen itu. Dua dari antara diakon yang pertama di Yerusalem itu yakni Stephanus dan Filipus juga bekerja sebagai pengkotbah dan evangelis. Pada abad kedua, setelah uskup berfungsi sebagai pemimpin dan gembala suatu jemaat, fungsi diakon nampak lebih banyak membantu uskup dalam penyelenggaraan ibadah dan pelayanan sakramen.
Diakones atau penolong wanita, juga mempunyai tugas yang sama menolong orang-orang miskin dan orang sakit di kalangan kaum wanita. Jabatan itu juga sangat diperlukan pada mulanya,  terutama sebab adanya pemisahan  kelamin yang sangat keras pada waktu itu di tengah-tengah Yunani dan orang-orang Asia. Dan jabatan inilah yang paling cocok bagi wanita pada waktu itu dalam mengikutsertakan mereka untuk pekerjaan pengabdian di tengah-tengah gereja. Paulus menyebut Febe sebagai salah satu diakones di jemaat Kengkrea, pelabuhan Kontintus (Roma 16 : 1). Dan kemungkinan beberapa wanita yang disebut Paulus ikut sebagai teman sekerjanya dalam pekerjaan Tuhan seperti : Priska, Maria, Trifena, Trifosa dan Persis adalah juga melayani sebagai diakones di Roma (Roma 16 : 3, 6, 12). Di gereja Timur jabatan diakones berkelanjutan sampai akhir abad dua belas. Sedang di gereja RK, jabatan diakones telah digantikan oleh perserikatan wanita (Sisterhood) dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan sosial. Sedangkan di banyak gereja Protestan jabatan itu masih tetap dipertahankan sampai sekarang.

4.  Jabatan pelayanan dan penahbisan

                Mengenai bagaimana pengangkatan diri seseorang untuk memikul suatu jabatan pelayanan  tertentu, terlihat adanya corak yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Ada pelayan gereja itu yang ditetapkan melalui penahbisan penumpangan tangan, ada yang sama sekali tidak, melainkan jabatan itu diyakini diterima langsung dari Allah atau dari Yesus Kristus. Kedua belas rasul itu misalnya langusng dipanggil oleh Yesus. Dan rasul-rasul yang lain menyatakan dirinya telah ditetapkan oleh Tuhan yang bangkit itu melalui penampakan kepada mereka. Dalam 1 Kor. 12,28, Paulus menyatakan bahwa Allahlah yang menetapkan “rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar”.  Tetapi di pihak lain kita lihat bahwa jemaat di Antiokhia telah dinasehati oleh Roh Kudus untuk “mengkhususkan Barnabas dan Paulus  untuk tugas yang telah ditentukan bagi mereka” ( Kis. 13,12), dan kemudian para nabi dan pengajar di jemaat itu meletakkan tangan ke atas kedua orang itu disertai dengan puasa dan doa. Tetapi nampaknya peletakan tangan yang dilakukan di sini bukanlah dalam rangka penahbisan mereka sebagai rasul, melainkan hanyalah semacam pemberangkatan mereka menjalankan suruhan Roh Kudus. Dan peletakan tangan yang sudah pernah juga diterima di Damaskus dari Ananias, bukanlah juga sebagai penahbisannya sebagai rasul, melainkan hanya dalam rangka penyembuhan kebutaannya dengan pengharapan supaya dia dipenuhi oleh Roh Kudus  (Kis.9,17). Paulus sendiri selalu mempertahankan bahwa dia dipilih oleh Allah menjadi rasul bukan oleh manusia. Tentu saja dalam hal ini pengalaman pertobatannnya memberi dirinya kepercayaan yang lebih besar dalam pelayanannya  dari peletakan tangan yang dilakukan oleh Ananias atau nabi-nabi dan pengajar-pengajar di Antiokhia.
                Yang pertama kali kita temukan adanya peletakan  tangan dilakukan mengikuti pemilihan yang dilakukan jemaat bagi suatu jabatan pelayanan dalam jemaat adalah bagi ketujuh orang pelayan orang miskin yang telah disebut di atas. Di sini fungsi peletakan tangan nampaknya telah menjadi suatu cara pensahan dan pengakuan dari ke dua belas rasul itu atas pemilihan yang dilakukan jemat bagi mereka. Mengenai pemilihan dan pengangkatan pelayan-pelayan yang beraneka ragam yang dijumpai di jemaat-jemaat yang didirikan Paulus tidak kita ketahui. Hanya disebutkan bahwa mereka mempunyai karunia-karunia khusus, seperti membuat mujizat, memimpin dan menyembuhkan. Tidak disebutkan apakah  ada semacam pelantikan khusus bagi mereka dalam memasuki jabatan  itu. Pada suatu kesempatan yang lain Paulus dan Barnabas diberitakan menetapkan penatua-penatua (Kis. 14,21-23) dan melantik mereka kepada jabatan itu hanya dengan doa dan puasa.
                Dalam surat-surat Pastoral, peletakan tangan telah dihubungkan dengan penganugerahan suatu kharisma yang perlu untuk pelaksanaan jabatan seseorang. “Janganlah lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan penumpangan tangan sidang penatua” ( I Tim.4,14).  “ …Kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” ( II Tim.1,6). Timoteus juga diingatkan supaya ‘jangan terburu-buru menumpangkan tangan atas seseorang” ( I Tim. 5,22). Suatu pertanyaan mengenai perbuatan ini ialah apakah ada penyaluran kharisma dari Allah secara langsung atau melalui yang menahbiskan, atau apakah perbuatan itu hanya merupakan suatu pemberian jabatan (yakni pelantikan dari seseorang pemimpin). Namun jawaban atas pertanyaan ini tidak jelas kita peroleh.
                PB juga tidak memberikan kepada kita suatu gambaran yang jelas atau yang sama mengenai pemilihan pimpinan-pimpinan gereja, walaupun “pengangkatan” yang dilakukan Paulus atau beberapa penatua dapat juga diterjemahkan dalam arti  “menseleksi dengan pemilihan”. Di beberapa jemaat, Paulus dan Barnabas mengangkat pemimpin-pemimpin yang demikian,  sedang di jemaat-jemaat yang lain mereka tidak melakukan seperti itu. Karena itu penumpangan tidak bersifat menyeluruh (universal), dan perbuatan itu tidak dibatasi hanya kepada pelantikan jabatan gerejawi. Dan nampaknya penumpangan tangan itu tidak hanya dilakukan oleh para rasul, tetapi juga oleh para penatua atau nabi-nabi dan pengajar-pengajar.
                Praktek peletakan tangan dalam penahbisan kepada suatu jabatan adalah mengikuti kebiasaan Jahudi. Musa meletakkan tangan atas Josua ketika mengangkat dirinya sebagai gantinya (Ul. 34: 9). Hasilnya, Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan jabatan itu. Mengikuti kebiasaan ini, para Rabbi Yahudi telah mengembangkan praktek ordinasi mereka sendiri. Apabila seorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya, maka dia ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan maksud untuk “menyatakan bahwa “rantai tradisi yang menjangkau ke belakang hingga Musa akan diperpanjang lagi dengan penambahan rantai yang lain, pemberian hikmat yang ditanamkan kepada ahli yang berhak untuk itu oleh gurunya”. Praktek penahbisan seperti ini hanya dapat dilakukan di Palestina dan tidak dapat diulangi.
Praktek yang lain sehubungan dengan peletakan tangan ini dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit yang dilakukan Yesus. Ceritera seperti itu banyak kita jumpai dalam kitab Injil, tetapi dapat kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat Lukas : “…semua orang membawa kepadaNya orang-orang sakitnya yang menderita bermacam-macam penyakit. Iapun meletakkan tanganNya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka” (Lukas 4 : 40). Pelayanan penyembuhan dengan peletakan tangan ini juga diteruskan para rasul. Apakah perbuatan seperti ini dihubungakan dengan perbuatan magic? Tentu sama sekali tidak. Salah satu bukti bahwa peletakan tangan itu tidak disalahgunakan sebagai magic adalah Kis. 8 : 18, dimana Petrus menolak permintaan Simon, ahli sihir di Samaria itu, agar kepadanya diberikan karunia yang ada pada diri Petrus itu dengan imbalan uang. Selain itu kita juga bisa melihat bahwa kuasa penyembuhan Yesus tidak terikat kepada cara seperti itu. Kuasa FirmanNya juga dapat beroperasi walaupun dari jauh (Mat. 8 : 8,13 ; Luk. 7 : 7 ; Joh. 4 : 50,52). Tangan juga diletakkkan pada waktu pemberkatan (misalnya anak-anak pada Mark. 10 : 53 dan juga di dalam rangka baptisan (Kis.8 : 17 ; 19 : 6). Dengan peletakan tangan itu, Roh Kudus diberikan kepada mereka yang dibaptis. Berdasarkan pemahaman inilah peletakan tangan juga diperlukan dalam penahbisan pelayan gereja. Dengan demikian gereja juga meminjam kebiasaan itu dari praktek-praktek Rabbinis, dan para Rabbi pada Bil. 27 : 15-23.
Tetapi baik dalam praktek Yahudi maupun dalam praktek Kristen, ritus seperti itu hanya dilakukan bagi orang-orang yang telah menunjukkan dirinya mampu untuk kepemimpinan. Tetapi perbedaannya dengan praktek Yahudi, dalam praktek Kristen peletakan tangan juga dimengerti sebagai pemberian karunia Roh dan biasanya orang-orang yang ditahbiskan dengan peletakan tangan tersebut harus memenuhi prasyarat tertentu. Karena danya prasyarat yang harus dipenuhi seseorang, maka Timotius diperingatkan supaya jangan tergesa-gesa meletakkan tangan kepada seseorang untuk menerima jabatan gerejawi. Prasyarat itu telah didaftarkan dalam I Tim.3. Selain itu ketujuh orang pelayan yang disebut pada Kis.6 : 1-6 haruslah orang-orang “yang terkenal baik dan penuh Roh dan Hikmat”. Dengan demikian penahbisan jabatan gerejawi adalah semacam pengakuan dari gereja atas karunia-karunia yang telah dimiliki oleh si calon, dan sekaligus juga sebagai pemberian karunia yang baru. Agar prasyarat yang diberikan itu terpenuhi, maka pada gereja zaman PB diadakan pemilihan bagi setiap calon yang akan ditahbiskan untuk melahirkan suatu jabatan gerejawi. Dan di kemudian hari prasyarat-prasyarat yang diharapkan itu ditetapkan dalam bentuk peraturan, agar ada dasar bagi setiap orang yang akan ditahbiskan untuk satu jabatan gerejawi. Dan dalam perkembangan zaman selanjutnya penyeleksian atas diri seseorang apakah sudah layak untuk memikul suatu jabatan tertentu tidak cukup lagi hanya melalui pemilihan jemaat setempat tetapi juga sudah diharuskan melalui latihan-latihan atau pendidikan khusus seperti yang dilakukan oleh gereja-gereja sekarang ini.

5.     Disiplin Gereja

Salah satu fungsi kepemimpinan gereja mula-mula ialah memelihara kesucian gereja, dengan menjalankan disiplin yang ketat. Kesucian adalah salah satu sifat dari Gereja Kristus, di samping sifatnya yang lain yakni kesatuan dan keuniversalan. Tetapi sifat kesucian itu tidak pernah secara sempurna diwujudkan di dalam diri anggotanya di dunia ini. Gereja yang berjuang di dunia ini sebagai satu tubuh harus melalui suatu proses penyucian yang panjang yang belum dapat disempurnakan di dunia ini sampai kedatangan Kristus yang kedua kali. Para rasul itu juga mengakui bahwa diri mereka sendiri masih diliputi oleh banyak kelemahan, yang senantiasa masih membutuhkan pengampunan dan penyucian. Karena itu kesucian moral yang sempurna belum dapat diharapakan dalam gereja mereka. Namun seluruh Surat-surat dalam Kitab Perjanjian Baru berisi nasehat-nasehat untuk meningkatkan  kebajikan dan kesalehan orang-orang Kristen itu dan juga berisi peringatan-peringatan melawan ketidaksetiaan dan kemurtadan serta teguran atas perlakuan yang merusak persekutuan orang-orang percaya itu. Ragi yang lama dari ke Yahudian dan kekafiran tidak dapat dibersihkan dengan cepat. Di tengah-tengah jemaat Galatia misalnya banyak orang yang merasa kembali lagi kepada perhambaan hukum Taurat Yahudi. Di gereja Korintus, Paulus harus mengecam roh perpecahan yang bersifat jasmani, kompetisi yang tidak sehat untuk mencari hikmat, kecenderungan hidup yang tidak suci, serta perlakuan-perlakuan yang keji dalam Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih yang diselengggrakan oleh gereja itu. Menurut surat-surat Paulus dan Kitab Wahyu, masih banyak jemaat-jemaat di Asia Kecil yang ditulari oleh ajaran-ajaran sesat dan perlakuan-perlakuan yang keji, sehingga mereka masih memerlukan peringatan-peringatan dan teguran-teguran yang keras dari para rasul.
Keadaan itu menunjukkan betapa disiplin itu sangat dibutuhkan, baik bagi gereja itu sebagai persekutuan maupun bagi orang-orang Kristen perorangan yang melakukan kesalahan. Bagi gereja disiplin itu merupakan proses penyucian dan tuntutan hidup suci dan moral yang baik yang secara hakiki menjadi miliknya. Bagi orang perorangan yang bersalah, disiplin itu merupakan hukuman dan jalan yang membimbing kepada pertobatan dan pembaharuan. Tujuan akhir dari disipilin gereja itu adalah keselamatan orang Kristen itu sendiri. Paulus menyebut bentuk yang keras dari disiplin itu yakni penyerahan orang yang berbuat dosa itu kepada Iblis, sehingga dengan demikian tubuhnya dibinasakan, tetapi rohnya dapat diselamatkan pada hari Tuhan (I Kor. 5 : 5 ; bd. Mat. 18 : 15 – 18 ; Titus 3 : 10).
Pelaksanaan dari disiplin gereja itu bertingkat-tingkat, mulai dari bentuk teguran secara pribadi, kemudian teguran umum melalui jemaat. Tetapi jika upaya itu ternyata tidak berhasil, maka diadakan pengucilan, dimana yang bersangkutan dikeluarkan dari persekutusn gereja. Tetapi tindakan disiplin itu dilakukan atas nama seluruh jemaat dalam nama Kristus, bukan merupakan tindakan pribadi dari pejabat gereja itu sendiri. Setelah menunjukkan pertobatan yang sunguh-sungguh orang yang telah dikucilkan itu dapat dipulihkan kembali ke dalam persekutuan gereja.
Dua kasus disiplin yang keras pada gereja jaman rasuli ialah pertama hukuman kematian yang sangat mengejutkan atas diri pasangan Ananias dan Safira, yang menurut Petrus hal itu terjadi karena dusta dan kemunafikan mereka di jemaat Yerusalem (Kis. 5 : 1 – 5), dan kedua pengucilan atas warga jemaat Korintus yang melakukan penyembahan berhala dan pezinahan (I Kor. 5 : 1 dst). Tetapi kasus yang disebut terakhir  ini masih bisa dipulihkan kembali.

6.     Sidang di Yerusalem

Suatu gambaran melengkapi gereja pada jaman rasuli sebagai suatu organisasi ialah sidang yang dilangsungkan di Yerusalem. Sidang itu dimaksudkan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara orang-orang kristen pada waktu itu mengenai pemberlakuan hukum Musa, khususnya sunat, kepada orang-orang Kristen yang berasal dari non-Yahudi. Orang-orang Kristen asal Yahudi khususnya yang berasal dari golongan Farisi menuntut supaya orang-orang Kristen asal non-Yahudi harus disunat dan diwajibkan menuruti hukum Musa. Mereka berpendapat jika mereka tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan Musa, mereka tidak diselamatkan. Tetapi Paulus dan Barnabas menentang dengan keras pendapat itu. Jadi untuk menyelesaikan persoalan yang bisa menjurus kepada perpecahan, diadakanlah sidang di Yerusalem.
Sidang itu bukan hanya diikuti oleh para rasul saja, tetapi juga oleh penatua-penatua dan warga jemaat di Yerusalem. Yakobus yang bukan salah seorang dari rasul yang dua belas itu, dan yang memimpin jemaat setempat, mengusulkan kompromi yang bisa diterima bersama. Pembicaraan bersifat terbuka di hadapan jemaat dan warga jemaat (awam) juga ikut mengambil bagian dalam pertimbangan yang dilakukan. Di dalam sidang itu ada pembicaraan yang keras tetapi pada akhirnya roh kasih dan roh perdamaianlah yang menang atas rasa harga diri yang mau mempertahankan pandangannya. Para rasul berjalan dan menyusun keputusan bersama penatua dan jemaat itu. Dan mereka mengirim surat keliling yang bersifat pengembalaan bukan hanya atas nama mereka sendiri, tetapi atas nama seluruh sidang gereja itu.
Semuanya itu memperlihatkan dengan jelas adanya warga gereja untuk ikut mengambil bagian dalam hal yang menyangkut pemerintahan gereja sebagaimana halnya juga mereka lakukan dalam perbuatan-perbuatan ibadah. Jiwa dan perbuatan para rasul itu telah menyokong  suatu bentuk pemerintahan yang mandiri, kerjasama yang serasi dan persaudaraan yang erat dari seluruh unsur yang berbeda dalam gereja. Situasi itu memperlihatkan tidak ada perbedaan yang abstrak antara pejabat gereja dan awam. Semua orang percaya terpanggil kepada jabatan yang bersifat kenabian, keimaman dan yang rajani di dalam Kristus. Karena itu para pemegang kuasa dan disiplin dalam gereja harus senantiasa mengingat bawa pekerjaan mereka yang utama adalah untuk membimbing mereka yang dipimpin itu kepada kebebasan dan keselamatan. Dan dengan jabatan-jabatan rohani yang bermacam-macam itu, mereka terpanggil untuk membangun umat Kristen kepada kesatuan iman dan pengetahuan dan kepada kedewasaan iman dalam Kristus. Itulah bentuk pemerintahan yang bersifat rasuli. Tetapi di kemudian hari gereja-gereja Yunani dan Romawi secara lambat laun telah terlepas dari bentuk pemerintahan yang rasuli, sehingga gereja itu bukan hanya meniadakan partisipasi awam dalam sidang-sidang atau konsili-konsili gereja, tetapi juga meniadakan pelayan-pelayan gereja yang dianggap lebih rendah.
Sidang di Yerusalem, walaupun bukan suatu patokan yang mengikat, adalah suatu contoh yang sangat berarti, yang memberikan dukungan rasuli terhadap bentuk pemerintahan gereja yang sinodal, di mana seluruh unsur dalam persekutuan Kristen itu diikutkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umum dan juga menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan iman dan disipilin gereja. Keputusan yang diambil dan Surat Pengembalaan yang dikirim merupakan hal yang pertama sekali dalam garis keputusan dan peraturan yang panjang yang dikeluarkan melalui otoritas kegerejaan.
Tetapi keputusan itu, walaupun diyakini di bawah bimbingan Roh Kudus adalah merupakan kebijaksanaan yang sifatnya temporer untuk keadaan darurat yang juga temporer sifatnya. Keputusan itu tidak dapat dijadikan sebagai patokan yang permanen yang berlaku sepanjang jaman. Makna yang terpenting dari sidang di Yerusalem itu bukan keputusan yang dihasilkan, melainkan roh persaudaraan dan kerukunan yang menguasai sidang itu sehingga sidang itu dapat menghasilkan keputusan yang dapat diterima bersama.

7.  Kesimpulan

Dari uraian di atas nampak bahwa gereja pada hakekatnya adalah sebagai tubuh Kristus. Namun dalam menjalankan missinya di tengah-tengah dunia ini gereja juga dibina sebagai satu organisasi. Dan organisasi itu dimaksudkan untuk mendukung dan melindungi dirinya dalam menjalankan tugas panggilannya, bukan merintangi perjalanan gereja itu.
Posisi kepemimpinan gereja pada mulanya dipusatkan kepada jabatan rasul. Dan Yesus telah mempersiapkan para rasul itu menjadi pemimpin gereja di dunia ini. Untuk itu kepada mereka telah diberikan kuasa oleh Yesus. Namun kekuasaan itu tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri mereka jauh di atas warga gereja itu sendiri, dan membuat mereka bisa bertindak dengan sewenang-wenang. Kuasa itu diberikan hanya untuk memampukan mereka untuk dapat membawa dan memimpin umat manusia kepada Kristus. Sedangkan dasar mereka untuk melakukan pekerjaan itu adalah kasih dan pengabdian diri.
Dalam perkembangan selanjutnya dari gereja, para rasul tidak bekerja sendiri. Sejalan dengan pertumbuhan jemaat itu, bertumbuh juga bermacam-macam jabatan dalam gereja, seperti nabi, evangelis, pengajar, diakon, penatua dan penilik atau uskup. Semuanya itu juga berfungsi dalam menjalankan kepemimpinan dan pelayanan. Tetapi semuanya itu tidak bisa bertindak secara sendiri-sendiri, melainkan harus di dalam kebersamaan. Dan jika ada persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendiri, tetapi harus secara bersama-sama melalui suatu sidang atau rapat bersama.

·         Penulis adalah mantan Dosen STT-HKBP
Bidang Sejarah  Gereja             

Buku Bacaan
§  Boer, Harry R, A Short History of the early Church, Grand Rapids, Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company, 1990.

§  Foster, John, The First Advance, Church history I, AD 29 – 500, London : SPCK, 1985.

§  Guthril, Donald, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta : BPK G. Mulia, 1993.

§  Panjaitan, MSM, Kepemimpinan dan organisasi Gereja pada Zaman Rasuli, dalam VOCATIO DEI, Jurnal Pemikiran Teologis STT-HKBP, Edisi 42, Nop. 1996.

§  Schaft, Philip, History of the Christian Church, Volume I, Michigan : Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1910.

§  Schmidt, K.L., “ekklhsia”, dalam Theological Dictionary of the New testament, (Ed. Gerhard Kittel), Vol. III, Grand Rapids, Michigan : Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1965.

§  Voltz, Carl A., Pastoral Life and Practice in the early Church, Minneapolis : Augsburg Fortress, 1990.   



APA DAN UNTUK APA MANUSIA?

APA DAN UNTUK APA MANUSIA?

                Kita semua ingin mengetahui tentang diri kita, dalam arti hakekat kita. Sudah merupakah ciri khasnya,  manusia selalu bertanya-tanya tentang dirinya, pertanyaan mana merupakan pergumulan filsafat dan agama. Apakah manusia? Bermacam-macam jawaban untuk pertanyaan ini, karena jawabannya diwarnai oleh cara berpikir dan pandangan masing-masing.
            Jawaban sederhana mungkin akan kita katakan bahwa manusia bukan binatang, karena memang kita manusia berbeda dari binatang. Secara umum pula dapat dikatakan bahwa  manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang mempunyai adat istiadat, budaya dan agama. Dia sanggup berfikir dan berkreasi untuk meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi.
            Pandangan naturalis mengatakan bahwa manusia adalah campuran dari beberapa unsur materi, daya-daya elektris, dan unsur-unsur kimiawi lainnya. Tidak ada bedanya dengan sifat dari alam ini. Unsur-unsur tersebut  bercampur  untuk menggerakkan hidup manusia. Jadi hidup ini tidak lain dari proses percampuran  dan akibat-akibat dari proses percampuran itu. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penganut paham komunisme menganggap manusia bagaikan mesin belaka, yang kalau dibunuh tidak apa-apa, jika tidak dibutuhkan lagi.
            Tetapi pandangan naturalis ini berbeda dengan pandangan  idealisme, yang melihat hakekat manusia bukan dari aspek yang nampak, tetapi dari aspek yang tidak nampak, yakni idea atau roh. Menunut paham idealisme, idea atau roh  itulah yang menentukan hidup manusia, dan yang menjamin kesatuan manusia dengan alam semesta. Hidup manusia tidak dibatasi oleh maut, karena idea atau roh itu kekal selama-lamanya.
            Kita melihat kedua pandangan di atas berbeda satu sama lain. Yang satu hanya melihat dari segi materinya, dan yang satu lagi hanya melihat dari segi rohaninya. Tetapi kalau kita ingin  mengetahui bagaimana pandangan orang Kristen tentang manusia, kita perlu memahami apa yang dikatakan dalam berita penciptaan  seperti tertulis dalam lembaran permulaan Kitab Suci yang kita percayai itu. Di sana dijelaskan dengan dalam sekali, di mana kita dapat mempelajarinya, siapakah kita , dari mana kita datang dan untuk apa kita adanya.  Itu sangat perlu kita ketahui, karena jika kita tidak tahu sama sekali tentang awal hidup kita, maka kita tidak akan mengetahui apapun tentang arah dan tujuan hidup ini. Awal dan akhir hidup kita adalah berkaitan satu sama lain.
            Menurut Kitab Kejadian, awal manusia terletak sama sekali di dalam diri Allah sendiri. Selain  karena dia  diciptakan oleh Allah, manusia adalah manusia, hanya karena dia memperoleh nafas kehidupan dari Allah. Dialah makhluk yang tertinggi dan terluhur dalam skala pekerjaan Penciptaannya.
            Manusia yang dalam bahasa Ibrani disebut “adam” adalah hasil keputusan perencanaan Tuhan Allah. “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita …” ( Kejadian 1: 28). Itulah keputusan Allah. Manusia adalah gambar dan rupa Allah. Itulah hakekatnya. Itulah juga ketinggian, kebesaran dan keunikan manusia, yang membedakan dia dari makhluk-makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah refleksi Tuhan Allah dalam dunia ciptaan ini, di mana dia terpanggil untuk memelihara dan menguasainya dengan penuh tanggung-jawab sebagai wakil Allah. Untuk itu manusia  dimahkotai oleh Allah dengan kemuliaan dan hormat (Mazmur 8: 6) dan diisi dengan perbekalan hikmat (Yehez. 28:12). Dia ditempatkan ke dalam dunia untuk menguasai seluruh makhluk-makhluk. Dia hanya sedikit lebih rendah dari Allah sendiri ( Mazmur 8), sehingga dia mempunyai kekuasaan dan hak untuk memelihara segala sesuatu yang ada dalam kawasan pemerintahan Allah.
            Karena itu manusia bukanlah seorang raja yang mempunyai kuasa penuh dari dirinya sendiri, dan bukanlah seorang diktator dengan kekejaman yang tidak terkontrol terhadap sesamanya dan  makhluk ciptaan lainnya. Melainkan dia diciptakan untuk  bersekutu dengan Penciptanya, bersekutu dengan sesama manusia , bersekutu dengan   semua makhluk  dan alam  ciptaan Tuhan Allah. Dia bersekutu dan tergantung sama sekali kepada Tuhan Allah. Persekutuan hidup yang harmonis bersama makhluk lainnya itulah warna dari eksistensi dan pemerintahannya. Semuanya itu hanya bersumber dari Allah yang menjadikan adam, laki-laki dan perempuan di dalam gambar dan teladannya.
            Selain dari pada itu penulis-penulis Kitab Suci tempat Allah berbicara kepada kita, bukan hanya memberitahukan sumber asli dari manusia. Mereka  juga memperingatkan kita akan hal kegampangan manusia itu pecah, karena “debu dan tanah”, itulah bagian dari unsur-unsur manusia. Jika campuran dari debu dan tanah yang sangat gampang pecah ini menjadi makhluk hidup, itu hanya terjadi karena kehadiran nafas Allah di dalamnya. Nafas Allah itulah yang nenciptakan debu dan tanah itu sehingga menjadi makhluk hidup ( dalam bahasa Batak: tondi na mangolu, dalam bahasa Ibrani: nefesh hayya). (Terjemahan dalam Bibel bahasa Batak Toba pada  1 Musa (Kejadian ) 2: 7, dengan  “martondi na mangolu” menurut kami kurang tepat, tetapi lebih tepat dengan “tondi na mangolu”). Jika  nafas hidup (bukan tondi atau roh  manusia)  yang merupakan milik Tuhan Allah itu  diambil kembali oleh Allah – dan hanya Dia yang berkuasa  melakukan itu -  maka manusia kembali menjadi debu dan tanah,  dari mana dia dijadikan.  Dalam Kitab Mazmur 90: 3 dikatakan: “Engkau mengembalikan manusia kepada debu dan berkata: “Kembalilah hai anak-anak manusia”.
            Dari keterangan di atas jelaslah bahwa hidup manusia tergantung kepada Allah. Kalau Penciptanya menjadikan dia dengan dasar kasih, maksudnya adalah  supaya manusia dapat mengasihi dan melayani Allah dengan mempergunakan seluruh apa yang telah ada, sedang ada dan akan ada. Itulah jawaban manusia akan hal penciptaannya. Tidak ada jalan lain baginya selain dari bersekutu dan bersembah kepada Dia yang menjadikannya dengan keajaiban, melalui Firman yang telah menjadi daging dalam Yesus Kristus. Itulah ekspressi  dari kesegambarannya dengan Allah.  Itu juga berarti bahwa sebagai makhluk ciptaan Allah, semua manusia adalah anak-anak Allah,  yang mempunyai harkat yang sama.  Karena itu semua manusia adalah bersaudara yang harus saling mengasihi satu sama lain.  Ini tentu diungkapkan dalam sikap saling menghormati, saling menghhargai  dan saling membantu satu sama lain. Dengan demikian, merendahkan sesama manusia adalah merendahkan diri sendiri,  dan menghina sesama manusia adalah menghina diri sendiri.  Sikap merendahkan dan menghina sesama manusia    adalah kesombongan yang ingin menempatkan dirinya setara dengan Allah yang menciptakannya.
            Dalam perkembangannya, manusia itu  kemudian terbentuk dalam keberagaman,  dengan budaya, adat-istiadat, bahasa, suku, bangsa, warna kulit bahkan agama yang berbeda-beda. Tetapi perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan, karena itu merupakan kekayaan yang diberikan oleh Allah.  Dengan keberagaman itu manusia tentu bisa saling melengkapi  satu sama lain.  Memang sifat manusia yang telah jatuh dalam dosa, cenderung menganggap dirinya lebih super, lebih tinggi, lebih pintar, dan lebih benar dari  orang lain.  Harkat manusia  tidak dinilai dari status sosialnya di dunia ini, dari keberadaannya, dari jabatannya, atau bahkan dari agamanya, tetapi dari kedekatan hubungannya dengan Allah Penciptanya, dan kedekatan hubungannya dengan sesama manusia, yang sama-sama  anak-anak Allah.  Kedekatan hubungan dengan Allah tidak cukup hanya dengan  kerajinan melakukan ibadah-ibadah secara ritual  menurut aturan dan tradisi agamanya, tetapi terutama dalam kepatuhan dan kesetiaan menuruti Allah  dalam  seluruh aspek kehidupannya,  di mana dia hidup sesuai dengan nilai-nilai, aturan, hukum yang telah  ditanamkan dan diajarkan oleh Allah  kepadanya  dalam menjalin hubungan kepada sesama manusia dan lingkungannya. Kalau sudah demikian, maka kehidupan yang harmonis, rukun, damai dan sejahtera  akan terwujud.  Dalam situasi seperti itulah  kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang akan terwujud.  (Pdt MSM Panjaitan)

Senin, 19 Agustus 2019

TANGGAPAN DI FACE BOOK TU PANGHATAION TARINGOT TU HKBP DUNG SARATUS TAON IL NOMMENSEN

Tanggapan di Face Book tu panghataion taringot tu HKBP dung Saratus taon IL Nommensen.

Di sosial media face book, adong do panghataion dohot komentar na marragam taringot tu sada sangkap ni HKBP laho mengkaji pardalanan dohot pangulaon ni HKBP dung saratus taon hamamate ni IL Nommensen di taon 1918. Adong do mananggapi i seolaholah songon sada usaha mengkultushon IL Nommensen songon sahalak parbarita na uli na tarbarita di Tano Batak. Alai adong do na mandok, isara ni Ephorus Emeritus PWT Simanjuntak (Ephermersim), ndang  na mengkultushon IL Nommensen sangkap ni HKBP, molo ditaringoti pe disi ari hamamate ni ILNommensen. Au pe mangantusi songon na nidok ni ompui Ephermersim i do. Ndang na memperingati hari kematian ni I.L. Nommensen sangkap na disi,  alai na neng mangalisa sian sudut sejarah do, songon dia ma HKBP dung hamamate ni Il.Nommensen. Pardalanan ni sejarah i boi dibagibagi tu manang piga periode, songon i do nang sejarah ni HKBP. Adong periode pada masa Nommensen, adong periode dung Nommensen. Tontu sejarah HKBP di periode tingki ni si Nommensen nunga godang naung dihata i, alai sejarah ni HKBP di periode dung Nommensen ndang godang do pe ditaringoti. Adong muse do na maparsoalhon goar HKBP ( Huria Kriten Batak Protestan) dohot ari hatutubu ni ni HKBP. Didik rupani, ndang tepat ari hatutu ni HKBP 7 Oktober 1861, alai 31 Maret 1861, i ma ari pandidion parjolo na pinatupa ni missionar tu dua halak Batak. Jala goar HKBP i dung pe di taon 1929 i ditotophon, andorang so i ndang adong do pe goar HKBP. A;ai ninna roha, soal goar HKBP dang pola be sipersoalhonon, ai nunga disepakati be ari hatutu ni HKBP ari 7 Oktober 1861. Taringot tu ari hatutubu, marragam do cara ni angka huria na adong di portibi on laho manontuhon ari hatutubuna, jala sudena i adong be do dasar teologisna. Adong do na manontuhon marojahan tu haroro ni parbarita na uli na parjolo tu daerah i. Adong do na manontuhon marojahan  tu ari pandidion na parjolo na dipatupa di luat i, adong marojahan tu ari kemandirian ni huria i, manang pengakuan ni pamarenta setempat di huria i. HKBP ndang marojahan tu sada sian na tolu i, alai marojahan tu ari ni Rapot Parjolo na pinatupa ni parbarita na niutus ni RMG sian Jerman di Tano Batak do, i ma di Sipirok ari 7 Oktober 1861. Hatiha i marrapot ma opat missionar laho manghatai taringot tu siulaon nasida  dohot taringot tu pambagian ni inganan nasida laho mandalahon barita na uli i. Nasida na opat halak i,  i ma Heine, Klammer, Betz dohot Van Asselt. Andorang so marrapot nasida nunga mangula hian di Tapanuli Selatan Betz dohot Van Asset na sinuru ni badan sending sian huria Ermelo Bolanda. Jala nunga sanga adong na tardidi dua halak dibahen nasida , i ma Simon Siregar dohot Jakobus Tampubolon, di ari 31 Maret 1861. Nian anggo na dumenggan, ari on do tontuhonon ni HKBP ari hatutubuna, jala asa laos tarida na niula ni Van Asselt di ulaonna namarbarita na uli i. Alai ndang i ditontuhon, ari 7 Oktober 1861 i do. Nian di sejarahna ndang dihalupahon HKBP i, dohot angka na niula ni badan sending na asing naung manguji patolhashon barita na uli, ima sian Inggris dohot sian Amerika. Tontu boi do i taantusi, ala memang badan sending RMG ma na manguduti ulaon i jala na tangkas marhasil pararathon barita na uli i muse di tongatonga ni halak Batak.
            Soal mambahen goar HKBP nunga melalui proses naung leleleng. Di mulana goar na binahen ni RMG, i ma Huria Mission di Tano Batak. Alai di Synode Godang taon 1925 diganti ma i gabe Huria Kristen Batak, jala di Synode Godang taon 1929 ditambahon ma tu goar i hata Protestan, gabe Huria Kristen Batak Protestan, laho patuduhon identitasna songon sada huria na beraliran Protestan, na asing sian huria Roma Katolik naung mulai masuk hatiha i di Tano Batak.

Di na manghatai taringot tu HKBP saratus taon dung Nommensen, tontu nanaeng di hali i ma pardalanan ni HKBP di bagasan na saratus taon na salpu dung monding IL Nommensen taon 1918. Angka aha ma na masa, jala boasa masa songon i. Di tingki Nommensen memang tangkas do usahana pamajuhon huria Batak, dohot pamajuhon halak Batak di sude bidang parngoluon. Ndada holan bidang partondion manang parogamoon dipamaju ibana halak Batak, alai dohot do di bidang pendidikan, bidang kesehatan, dohot bidang sosial ekonomi. Saonari dunghon i, porlu do muse ditinjau,songon dia ma pertumbuhan ni HKBP di ganup sub-periode. Subperiode i boi do marojahan tu masa kepemimpinan ni sadasada ephorus namanguluhon HKBP dung masa ni Nommensen. Angka aha ma naung pinatupa ni HKBP patuduhon “ugas panggilanna” di tongatonga ni portibion. Tarmasuk ma dohot angka tantangan na masa diadopi, sahat tu manang piga huria naung mamulik sian HKBP. On pe porlu dikaji, boasa masa na songn i. Pada umumna diantusi angka ahli sejarah, masa pamulihon  (perpecahan ) di HKBP mulai sian taon 1927, ( HchB /HKI, PKB, Mission Batak) dohot angka na mangihut muse. Godang do perpecahan i masa ala ni masalah kepemimpinan, ndada ala ni parasingan ni dogma. Adong do muse na mamulik ala na manjae, isara ni GKPS, GKPA, GKPM dohot  GKPPD. Tontu laho menkaji angka na niula ni HKBP dohot angka na masa na niadopan ni HKBP di tingki na salpu dung saratus taon Nommensen, ingkon sian sudut analisa sejarah do i dibahen asa marguna. Jala molo denggan do i diuraihon, mangihuthon ahu mansai marguna do i. Ganup mangalangka hita tu jolo, ingkon tongtong do hita marsiajar sian sejarah naung salpu. Jadi ahu mamereng ndang adong disi usaha laho mangkultushon Nommensen,  alai na manghatai pardalanan dohot pangulaon ni HKBP na ma dung saratus taon naung salpu Nommensen. (MSM) 

MENAPAKI PERJALANAN HIDUP DAN PENGABDIAN DR.IL.NOMMENSEN DI TANAH BATAK

MENAPAKI PERJALANAN HIDUP DAN PENGABDIAN DR.IL.NOMMENSEN
 DI TANAH BATAK
Oleh:  Pdt. M.S.M.Panjaitan, MTH*
Pendahuluan
                               Pada tanggal 5-8 April tahun 2007 Pemerintah  Daerah  Propinsi Sumatera Utara menyelenggarakan Napak Tilas Perjalanan Dr.I.L.Nommensen di Tanah Batak,  dengn melibatkan sembilan kabupaten/ kota di propinsi ini. Kepaniitiaannya dipercayakan  kepada  St.Drs.Monang Sitorus, SH,MBA, Bupati Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) sebagai  Ketua Umum.  Napak Tilas yang diselenggarakan dalam rangka perayaan Hari Paskah Umat Kristiani tahun 2007, dimaksudkan untuk mengenang pelayanan  I.L.Nommensen di Tanah Batak, yang melalui penginjilan yang dilakukan telah berhasil membebaskan masyarakat suku Batak dari kuasa “hasiplebegeuon” (penyembahan kepada roh-roh nenek moyang) dan keterbelakangan dalam berbagai kehidupan. Rute perjalanan mulai dari Balige, Dolok Sanggul, Pakkat, Tukka, Sihorbo, Barus, Sibolga, Padangsidempuan, Parauorat, Bungabondar, Sipirok, Tarutung dan acara puncaknya di Sigumpar Minggu tanggal 8 April 2007.  Tema Napak Tilas Perjalanan Nommensen ini yang ditetapkan  rapat panitia tanggal 13  Pebruari 2007 di Kantor Bupati Tobasa  berbunyi: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang menyampaikan  firman Allah kepada kamu”,  yang diambil dari  Surat Ibrani 13:7. Dengan tema itu itu diharapkan  bahwa dalam upaya membina kehidupan spritual  mayarakat Indonesia khususnya  masyarakat Batak yang secara langsung telah menikmati karya-karya penginjilan yang dilakukan oleh I.l.Nommensen , jiwa dan semangat pengabdian  I.L.Nommensen  dapat dilestarikan kembali.  Salah satu usaha untuk mewujudkan itu yang dipikirkan oleh Pemerintah Sumatera Utara ialah dengan mengembangkan wisata rohani,  supaya tempat-tempat bersejarah yang pernah dilalui dan ditempati oleh I.L.Nonmensen  semakin banyak dikunjungi oleh masyarakat yang menghargai nilai-nilai sejarah itu, baik dari tingkat  domestik maupun tingkat internasinal.
                           Memang  hasil missi yang dijalankan oleh Nommensen di tengahtengah masyarakat Batak sangat luar biasa. Sebenarnya bukan hanya dia satutunya penginjil yang pernah bekerja di Tanah Batak, dan bukan pula dia yang memulai pekerjaan itu . Dia adalah salah satu dari ratusan penginjil yang pernah diutus oleh Zending Barmen (Rheinische Missionsgesellschaft -RMG) dari Jerman . RMG sendiri sudah mulai bekerja di Tanah Batak tanggal 7 Oktober 1861, tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari  jadi HKBP. Dan sebelum itu sudah ada berbagai usaha penginjilan mencoba melalukan penginjilan,  seperti dari Inggris, dari Amerika dan dari Belanda. Bahkan sebelum RMG bekerja di Tanah Batak sudah ada dua orang Batak yang  berhasil dibaptis, yang tercatat sebagai orang Batak pertama menjadi Kristen yakni Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, yang dibaptis oleh Van Asselt utusan Zending Ermele dari Belanda,  31 MARET 1861. Van Asselt sendiri bersama temanya Betz dari Ermelo ikut bergabung dengan RMG. Sedangkan Nommensen baru mulai bekerja di Tanah Batak  bulan Mei 1862. Tetapi dialah yang paling berhasil melakukan pekerjaan itu dan paling lama mengabdikan dirinya di tengah-tengah masyarakat Batak yakni sampai akhir hidupnya tahun  1918, sehingga namanyalah yang paling banyak dikenal,  dan dikemudian dia mendapat gelar sebagai ‘apostel ni halak Batak” (rasul orang Batak).   Dia bukan hanya berhasil membebaskan masyarakat Batak dari kuasa kegelapan, tetepi  membawa kemajuan dalam berbagaia segi kehidupan terutama  dalam bidang pendidikan, social budaya dan social ekonomi.  Lagi pula hasil pekerjaaannya itu bukan hanya dinikmati oleh masyarakat Batak yang Kristen tetapi juga  masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Banyak orang-orang  Kristen Batak yang memperoleh pendidikan melalui usaha-usaha pendidikan yang digiatkannya  telah menjadi berkat bagi bangsa Indonesia  dilingkungan di mana mereka hidup dan  bekerja.
                           Memang nama Nommensen tidak asing lagi bagi masyarakat  Batak khususya yang beragama Kristen.  Tetapi siapa dia sebenarnya dan apa saja  yang dilakukan  tentu tidak semua yang mengetahui.    I.L.Nommensen lahir  6 Pebruari 1934 di pulau Noordstrand, sebuah pulau kecil yang terletak di Laut Utara perbatasan Jerman dan Denmark. Orang tuanya sangat miskin sekali, sehingga pada masa anak-anak dia sudah terbiasa hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Tetapi keadan ini telah membimbing hidupnya kepada jalan Tuhan dan mempersiapkan dia untuk melakukan suatu tugas mulia yang akan diterima kelak. Karena kesulitan ekonomi yang sering dialami oleh keluarganya, pada masa anak-anak dia sudah ikut membantu  meringankan beban orangtuanya, misalnya dengan mencari upahana mengembalakan domba-domba orang-orang sekampungnya. Atau membajak sawah dan lading orang lain  Pekerjaannya itu dilakukan dengan penuh tanggung-jawab sehingga dia sangat disukai oleh orang-orang sekampungnya itu.Pada umur 12 tahun dia mengalami kecelakaan . Dua ditabrak oleh kreta kuda, yang membuat kedua kakinya luka berat dan bahkan menjadi lumpuh. Dengan bantuan  familinya dia diusahakan berobat, tetapi tidak juga sembuh-sembuh. Akhirnya dokter menyarankan supaya kakinya itu dipotong demi menghgindarkan akibat yang lebih buruk baginya.  Mendengar itu Nommensen sangat sedih, tetapi karena dia seorang yang sudah rajin membaca Injil, maka pada waktu itu dia membaca  Yohannes 16: 23-24, yang mengatakan: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan kepadamu dalam namaKu. Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu”.  Ayat-ayat ini benar-benar memberi penghiburan dan harapan bagi dirinya sehingga dia berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah sambil berjanji apabila kakinya bisa  disembuhkan, dia akan bersedia menjadi pekabar Injil ke tengah-tengah bangsa yang masih kafir. Doanya itu dikabulkan oleh Tuhan, sehingga setelah dia sudah dewasa dia menepati janjinya itu, walaupun untuk itu dia harus banyak melalui susah payah dan penderitaan. Setelah penyakitnya sembuh, sebelum dia bias mewujudkan janjinya itu dia telah mengerjakan bermacam pekerjaan, seperti menjadi buruh pembuat jalan kreta api, buruh membuat tembok penahan ombak di tepi pantai pulau kediamannya, dan terakhir men jadi guru penolong yang ditunjukkan oleh bekas gurunya yang sangat mengasihinya. Ketika itu lah juga Tuhan membuka jalan bagi untuk mewujudkan  keinginannya untuk menjadi penginjil kepada  bangsa yang masih dalam kegelapan. Dia mengungkapkan keinginan dan janjinya itu kepada pendeta Haustedt kepada sekolah tempatnya bekerja, dan pendeta ini sangat tertarik dengan ungkapan isi hati dari Nommensen itu, sehinga pendeta itu menyuruh dia menjumpai Ephorus (Pengawas Sekolah) yang bernama Versmann agar dia direkommendasikan mengikuti pendidikan penginjil di pusat pendidikan penginjil RMG di Barmen, Jerman.  Berdasarkan rekomendasi dari Eforus Versmann itu maka inspektur Walman yang memiminpin lembaga  penginjilan itu pada waktu itu menerima dia menerima pendidikan dari beberepa guru yang bertugas di sana sambil juga bekerja sebagai guru penolong di sebuah sekolah di kota itu. Tidak lama kemudian inspektur Walman digantikan oleh Dr.Fabri, yang dengan sungguh-sungguh mngusahakan pendidikan yang lebih intensif di lembaga itu. Pada waktu itulah Nommensen dengan penuh waktu mengikuti pendiidkan tersebut dan dalam waktu empat tahun diselesaikan dengan hasil yang sangat baik, lalu  awal Oktober 1861 dia bersama  bersama beberapa orang temannya “ditahbiskan” menjadi Penginjil (Missionar) yang mempunyai fungsi sama seperti seorang Pndeta, Dia ditetapkan oleh Dr.Fabri untuk menjadi penginjil ke Tanah Batak bergabung dengan penginjil-penginjil yang sudah diutus lebih dulu ke sana.. Segera setelah itu, 24 Desember 1861, dia meninggalkan Eropa menuju  Sumatera, Indonesia, dengan menumpang kapal milik Belanda. Mereka tiba di pelabuhan Padang, Sumatera Barat pada 14 Mei 1862, sehingga pelayaran mereka memakan waktu 142 hari lamanya. Selama perjalanan yang memakan waktu hampir lima bulan itu kapal yang ditompangi sering mengalami ancaman bahaya berupa  ombak yang besar, angin ribut yang kuat yang kadang-kadang mengombang-ambingkan kapal itu. Tetapi semuanya itu makin memperteguh iman Nommensen akan penyertaan Tuhan dan memperteguh janjinya kepada Tuhan.  Kesempatan itu juga dipakai membimbing para awak kapal yang dilihatnya sering tidak memperdulikan Tuhan dengan moral yang buruk dan kurang sopan santun  untuk mengenal Tuhan ..
         Keinginan I.L.Nommensen ialah mengabarkan Injil di kalangan masyarakat Batak yang masih “palbegu” di Tapanuli bagian Utara.. Tetapi karena izin untuk memasuki daerah Tapanuli Utara tidak diperoleh dari pemerintah Belanda, maka dia meneruskan perjalanannya sampai ke Barus Tapanuli Tengah, setelah singgah sebentar di Sibolga menemui Van Asselt yang telah menunggu  tunangannya Nona Dina Malga yang dating dari negeri Belanda satu kapal dengan Nommensen agar melangsungkan pernikahan dengan Van Asselt.. Nommensen tiba di Barus tanggal 25 Junii, dan di sanalah dia berdiam hampir enam bulan lamanya. Barus adalah sebuah kota pelabuhan yang sudah sejak dulu ramai dikunjungi oleh para pedagang dari luar negeri  untuk membeli kapur Barus dan kemenyaan yang sangat banyak dihasilkan di daerah itu.  Karena penduduk Barus pada waktu itu kebanyakan orang pesisir dan suku Jawa yang sudah beragama Islam maka dia melihat kesempatan untuk mengabarkan Injil  di tempat itu sudah sangat sedikit. Namun selama dia berada di sana dia mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Batak untuk memperdalam apa yang sudah dipelajari sebelumnya baik selama di Jerman maupun selama dalam perjalan di kapal.  Pada mulanya penduduk setempat  agak takut  bergaul dengan diriunya karena dia seorang kulit putih, tetapi setelah melihat kebaikan dan keramahannya, yang suka menolong dan mengobati orang sakit menebus orang-orang yang telah dijadikan “hatoban”(budak) karena hutangnya dan mengajari mereka  beberapa pengetahuan yang menarik, maka  dia semakin disukai oleh masyarakat setempat. Dia juga terus bersahabat  dengan raja-raja setempat, sehingga namanya terus terkenal  di sekitar daerah itu. Mendengar apa yang telah dilakukan di Barus, maka raja-raja  di kampung-kampung sekitar daerah itu pun, seperti Tukka dan Rambe  engundang dia untuk dating mengunjungi mereka. Dengan tulus dia memenuhi undangan itu tanggal 25 Oktober 1862 ditemani oleh raja dan sahabat-sahabatnya dari Barus, bahkan membawa oleh-oleh  seperti tembakau dan kain sarung untuk menggembirakan hati  mereka. Dia juga membawa obat bagi seorang raja  di sekitar tempat itu yang didengarnya sedang sakit. Di setiap kampung yang dikunjungi dia disambut oleh raja dan penduduk kampung setempat dengan baik, dan meminta dia untuk tinggal lebih lama di sana. Melihat sambutan-sambutan yang begitu baik,  keinginannya untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah mereka menjadi timbul. Untuk itu dia meminta kepada residen pemerintah Belanda di Sibolga, agar dia diizinkan untuk mendirikan rumah di Rambe. Tetapi  keinginan Nommensen itu tidak dikabulkan oleh residen, karena hal itu dilihat bisa  mengganggu rencana Belanda untuk menguasai daerah-daerah pedalaman yang belum  menjadi daeerah kekuasaan Belanda pada waktu itu. Karena itu Nommensen pun disuruh untuk meninggalkan Barus. Dia pun meninggalkan Barus tanggal 30 Nopember  1862 naik perahu ke Sibolga dan dari sana seterusnya dia  memutuskan untuk pergi ke Sipirok, bergabung dengan beberapa penginjil RMG yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Dalam perjalanan menuju Sipirok melalui hutan  dan jalan yang sangat sulit serta membahayakan, dia lebih dulu mengunjungi Missionar Heine di Sigompulon Pahae,  Van Asselt di Sarulla,  lalu tibalah di Sipirok menemui Misionar Klammer tanggal 30 Desember 1862. dan bertahun baru di sana. Setelah itu dia tinggal di Parausorat dan melakukan penginjilan di sana terutama dengan mengajar anak-anak sekolah dan mengobati orang-orang sakit. Tetapi setelah melihat bahwa usaha penginjilan sudah sulit berkembang di daerah itu, karena di sana pengaruh agama Islam sudah demikian kuat, maka pada bulan Nopember 1863, dia memutuskan untuk mengabarkan Injil ke daerah Silindung  Tapanuli Utara, setelah sebelumnya rekannya missionar Heine dan Van Asselt telah melakukan peninjauan ke daerah itu. Dia berangkat bersama dengan beberapa orang pembantunya meninggalkan Bungabondar Sipirok tanggal 7 Nopember 1863, melalui hutan belantara dan pegunungan, karena belum ada jalan yang menghubungkan Sipirok dengan Silindung.   Ketika  sampai di atas Bukit Siatasbarita,,  dalam suatu visinya,dari sana dia melihat begitu banyak berdiri gereja di lembah Silindung dengan menara yang megah serta  mengumandangkan suara lonceng yang bersahut-sahutan. Pada waktu itulah dia berdoa memperteguh janjinya kepada Tuhan dengan mengatakan: “Hidup atau mati, di tengah-tengah bangsa yang telah Kau tebus inilah saya akan tinggal dan memberitakan firmanMu”. Doanya ini kemudian dikabulkan oleh Tuhan, dan visinya itu dalam waktu yang tidak begitu lama telah menjadi terwujud. Karena itu tempat ini merupakan tempat yang sangt bersejaraha untuk perkembangan kekristenan dan pembebasan masyarakat Batak dari kuasa-kuasa kegelapan. Karena di kemudian hari HKBP telah mendirikan di tempat ini sebuah monumen, yang kemuDian dikembangkan menjadi bangunan “Salib Kasih” oleh masyarakat Tapanuli Utara dan sekarang telah menjadi sebuah objek wisata rohani yang banyak dikunjungi umat Kristiani.
         Iba di daerah Silindung, mula-mula dia memilih untuk tinggal di Saitnihuta, menginap di sebuah “sopo” (lumbung padi) milik seorang raja setempat yang  baik hati menerima kedatangannya yakni Raja Ompu Tunggul. Banyak orang dari penduduk setempat yang datang mengerumuni dia dan menanya berbagai hal tentang kedatangannya, ada yang curiga, ada yang mengancam dan mengejek, tetapi semuanya dijawab dengan ramah, dan bijaksana dengan mengatakan bahwa dia mau tinggal bersama-sama mereka  mengajar setiap orang yang ingin menjadi orang yang pandai dan berbahagia.. Setelah begitu sulit mencari sebidang tanah untuk bisa tempat mendirikan rumah, akhirnya dia memperoleh tanah pasir dan rawa-rawa yang tidak bermilik bekas aliran Sungai Situmandi. Dia atas tanah pasir itulah dia mendirikan sebuah rumah  tanggal 12 Juni  1864 Tanah itu lalu ditimbun dan dijadikan sebuah perkampungan kecil yang diberi nama “Huta Dame” (kampung damai). Sekelilingnya dibuat benteng dari tanah, untuk menghindari luapan banjir yang sering terjadi dari Sungai itu.  Di perkampungan inilah dia berusaha untuk mengumpulkan orang-orang Batak yang ingin menjadi Kristen untuk bertempat tinggal, karena pada mulanya siapa yang mau masuk menjadi Kristen akan dikucilkan dari keluarga, dari perkampungan dan juga dari adat. Mereka dikucilkan karena dianggap telah melanggar adat-kebiasaan yang diturunkan oleh nenek-moyang mereka.  Di Huta Dame ini, sesuai dengan tradisi Batak, Nommensen selaku pendiri kampung itu, menjadi “raja huta” atau yang mengepalai kampung itu.
         Di  tempat ini dia juga berusaha untuk mengumpulkan putera-putera Batak, untuk diajari mengenai kekristenan dan ilmu pengetahuan umum seperti: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dll. Namun dalam melakukan pekerjaan itu dia menghadapi tantangan yang berat dari masyarakat setempat, karena dia sebagai orang asing dianggap sebagai pembawa malapetaka bagi masyarakat tersebut. Berkali-kali ada usaha dari pihak yang memusuhinya untuk membunuh dia, misalnya dengan racun, tetapi selalu gagal. Pada suatu pesta tahunan masyarakat untuk menyembah “sombaon Siatasbarita”  (roh nenek moyang yang bermukim di bukit Siatasbarita),  23 Desember 1864, Nommensen ditetapkan oleh masyarakat sebagai korban yang  akan dipersembahkan kepada “sombaon” itu.  Biasanya dalam pesta-pesta seperti itu yang dijadikan sebagai korban adalah berupa ternak, seperti kerbau atau lembu. Korban itu dimaksudkan untuk membujuk “sombaon” tersebut agar dia tidak murka kepada masyarakat setempat, agar masyarakat terhindar dari malapetaka atau bencana,  dan sawah-ladang serta ternak-ternak mereka akan memberikan hasil yang melimpah.  Tetapi rencana masyarakat setempat untuk menjadikan Nommensen sebagai korban sembelihan kepada sombaon itu digagalkan oleh Allah dengan turunnya hujan yang sangat lebat dan angin yang sangat kencang pada waktu pesta sedang berlangsung. Melihat peristiwa itu masyarakat yang sudah sangat ketakutan melarikan diri dari tempat itu, dan Nommensen yang sebelumnya sudah diikat kepada sebatang pohon menjadi terlepas.
         Tantangan lain yang dihadapi Nommensen  ialah dalam upaya menjalankan pendidikan terhadap anak-anak. Pada umumnya para orang tua di daerah itu tidak menghendaki anak-anaknya dididik oleh Nommensen, karena perbuatan itu dianggap merugikan orang tuanya sendiri. Dengan perginya anak-anak mereka belajar di sekolah yang didirikan oleh Nommensen, maka anak-anak tersebut tidak bisa lagi disuruh  untuk membantu orang tuanya  bekerja di sawah atau menggembalakan  ternak di ladang. Tetapi setelah para orang tua itu melihat hasil pendidikan yang diperoleh anak-anak mereka dari I.L.Nommensen, maka para orang tua itu pun akhirnya banyak yang tertarik kepada Nommensen, lalu  mereka pun ikut menerima pengajaran kekristenan  dari padanya. Di situlah nampak kebenaran dari suatu ungkapan Batak yang mengatakan “dapot indungna dibahen anakna” (induknya bisa tertangkap dengan lebih dulu menangkap anaknya). Artinya Nommensen yang lebih dulu berusaha memenangkan anak-anak untuk mengenal agama Kristen itu,  pada akhirnya juga berhasil memenangkan para orang tua mereka.
         Pekerjaan Nommensen di Silindung dapat berhasil dengan cepat, apalagi setelah dia bisa bersahabat dengan seorang pimpinan masyarakat  setempat yang cukup berpengaruh, yakni Raja Pontas Lumbantobing. Dia dan keluarganya ikut dibaptiskan oleh Nommensen pada pembaptisan yang pertama yang dilakukannya di Silindung tanggal 27 Agustus 1865 atas empat orang lelaki dan empat orang wanita dewasa, beserta lima orang anak. Raja Pontas Lumbantobing ini ikut memainkan peranan yang besar dalam memajukan usaha penginjilan di daerah Silindung pada mulanya. Dia juga sering mengorbankan nama dan kehormatannya untuk memberi perlindungan kepada Nommensen dalam menghadapi serangan masyarakat yang mau membunuhnya dan yang berusaha untuk menghancurkan Huta Dame tempat tinggalnya bersama orang-orang Kristen yang pertama itu.
         Beberapa tahun lamanya pertambahan jumlah orang-orang Kristen itu memang agak lambat, karena pada mulanya Nommensen masih mempergunakan “metode pancing”. Sebagai orang yang tidak terlepas dari pengaruh pietis, pada mulanya Nommensen memang masih mengusahakan pertobatan perorangan bagi orang-orang Kristen itu, yakni setelah mereka lebih dulu memperoleh pengajaran Kristen yang sungguh-sungguh, barulah mereka dibaptis menjadi Kristen. Tetapi setelah menyadari bahwa dengan metode seperti itu usaha pengkristenan akan berjalan dengan sangat lambat, maka dia mengubah metodenya itu dengan “metode jala”, yakni dengan mengusahakan pertobatan secara massal. Untuk ini maka dia mulai mempergunakan pengaruh raja-raja adat, pengaruh kepala-kepala kamapung atau kepala-kepala marga dan juga mempergunakan pendekatan sistem kekerabatan dan komunitas masyrakat Batak itu sendiri.

JeJemaat-jemaat Kristen tersebar di seluruhTanah Batak
        Setelah cara pengkristenan yang dilakukan oleh Nommensen berganti dari pengkristenan perorangan menjadi pengkristen massal, maka dengan sangat cepat berdirilah jemaat-jemaat Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak tersebut. Dengan pendekatan  berkelompok, seringlah terjadi penerimaan kekristenan itu oleh satu-satu  kampung atau satu-satu marga, karena pada umumnya dalam sitem komunitas masyarakat Batak, satu-satu kampung  dihuni oleh suatu marga tertentu. Dengan demikian berdirilah jemaat-jemaat yang membawakan nama kampung atau nama marga tertentu  di daerah Silindung, seperti: Jemaat  Saitnihuta, Jemaat Pearaja, Jemaat Simarangkir, Jemaat Hutagalung, Jemaat Hutabarat, Jemaat Simanungkalit, Jemaat Situmeang, dll.  Pada tahun 1870 an, hampir seluruh daerah Silindung sudah dikristenkan. Dan jemaat-jemaat yang telah berserak itu telah dihimpun dalam beberapa ressort, di mana setiap ressort dipimpin oleh seorang pendeta utusan RMG, yakni:  Ressort Pearaja di mana Nommensen berkedudukan (1872), Ressort Pansurnapitu di mana Pendeta Johannsen berkedudukan (1866),  Ressort Simarangkir yang menjadi kedudukan Pendeta Simoneit (1875), Sipoholon yang menjadi tempat Pendeta Mohri (1870),  Ressort Hutabarat di mana Pendeta Puse ditempatkan mulai tahun 1888.
         Setelah daerah Silindung  sudah dikristenkan, maka I.L.Nommensen kemudian bergerak menyebarkan Injil itu ke daerah Humbang (mulai 1878), ke daerah Toba (mulai tahun 1881),  daerah Samosir (1893), daerah Uluan (1893), daerah Simalungun (1903), Pakpak Dairi (1908), dan daerah-daerah lainnya.
        Kerena pertumbuhan jemaat-jemaat dan ressort-ressort yang demikian  cepat,  maka RMG melihat telah perlu mengangkat seorang pimpinan  Gereja Batak. Untuk itu mulai tahun 1881, Nommensen diangkat sebagai pimpinan gereja Batak dengan kedudukan sebagai “Ephorus”(pengawas) yang bertugas untuk memimpin seluruh jemaat-jemaat dan ressort-ressort gereja Batak dan  sekaligus juga untuk memimpin usaha pekabaran Injil yang masih  terus berlangsung di Tanah Batak. Mula-mula dia berkedudukan di Pearaja-Tarutung. Tetapi sejak tahun 1891 sampai meninggalnya tahun 1918, dia berkedudukan di Sigumpar. Di sanalah dia meninggal tahun  1918 dan dikuburkan juga di sana.
       
 “Comprehensive approach” (pendekatan menyeluruh) yang dilakukan Nommensen
          Keberhasilan  Nommensen melakukan penginjilan di Tanah Batak tidak terlepaas dari pendekatan menyeluruh (Comprehensive approach) yang dilakukannya bersama teman-temannya. Dalam pendekatan itu manusia  dilihat  secara seutuhnya, dengan tidak  memisahkan rohaninya dari jasmaninya.  Ini bertolak juga dari pandangan yang memahami Injil itu menyangkut seluruh hidup manusia ,  mental spritual, jasamani, hubungannya dengan sesama dan dunia sekitarnya. Karena itu Injil ini tidak hanya dibatasai kepada orang perorangan, tetapi juga menyangkut pekerjaan socsal –budaya,  pendidikan,  kesehatan, social ekonomi dan seluruh bidang kehidupan manusia itu.  Inilah juga yang dalam ilmu penginjilan, “penyebaran injil total kepada manusia total”.  Inilah juga makna “syalom” atau “eirenen”(damai sejahtera) yang diberitakan dalam Kitab Suci sebagai kualitas kehidupan yang dijanjikan  bagi umat Allah, yakni kehidupan yang penuh damai-sejahtera, keselamatan, kesehatan dan keamanan..
            Pendekatan inilah yang dilakukan oleh  Nommensen, sehingga Injil itu langsung bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat Batak. Selain menggiatkan usaha-usaha  di bidang pembinaan spiritual, Nommensen juga berusaha menggiatkan usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi. Semuanya ini dilakukan dalam kesatuan yang utuh, yang salin g berkaitan satu sama lain untuk membina kehidupan manusia seutuhnya. Usaha yang bermakna pembinaan spiritual dilakukan dengan ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan kristiani, evangelisasi,  “partangiangan” (doa-doa) keluarga, perkunjungan pastoral dsb. Untuk mendukung semuanya ini  Nommensen bekerjasama dengan teman-temannya yang lain mengupayakan penerjemahan  Kitab Suci ke dalam bahasa Batak, agar masyarakat Batak dapat membaca dan memahami isi Firman Tuhan dalam bahasanya sendiri. Juga diupayakan menulis  dan menerjemahkan buku Kristen yang dibutuhkan, seperti buku Nyanyian (Buku Ede), Katekismus, “Bohal Partondion” (santapan rohani), yang bias dipergunakan oleh warga jemaat  dalam ibadah-ibadah keluarga.  Adalah suatu warisan yang  sangat berharga bagi orang-orang Kristen Batak sampai sekarang terjemahan  Kitab Perjanjian Baru yang dilakukan oleh Nommensen(1876), sedang terjemahan Perjanjian Lama dilakukan oleh rekannya P.H.Johannsen (1894).. Walaupun belakangan ini Lembaga Alkitab Indonesia sedang mengupayakan perevisian terjemahan itu, namun  hasil kerja keras  Nommensen dan Johannsen itu masih dipergunakan sampai sekarang oleh umat Kristen Batak. Pekerjaan Nommensen dan teman-temannya itu  patut menjadi pelajaran yang berharga  bagi pelayan-pelayan gereja  sekarang untuk giat melakukan pekerjaannya .
            Selain usaha pembinaan spiritual, Nommensen juga terus mengupayakan usaha-usaha pendidikan.  Di seiap pos-pos penginjilan terus didirikan ruang sekolah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat ibadah hari Minggunya. Sekolah-sekolah itu kemudian sering disebut sekolah-sekolah Zending (setingkat SD), karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan  Zending . Usaha pendidikan yang digiatkan oleh Zending ini bukan hanya sampai setingkat itu, tetapi juga dalam tingkat yang lebih tingggi, sesuai dengan tuntutan kerinduan masyarakat Batak akan  kemajuan. Untuk itu tahun  1911 sudah didirikan sekolah Dasar berbahasa Belanda di Sigompulon Tarutung, dan di Pematangsiantar tahun 1932. Sekolah ini dinamai “Hollands Inlands School” (HIS), yang kemudian banyak menghantar masyarakat Kristen Batak untuk memperoleh pekerjaan dan posisi  yang lebih baik di instansi pemerintahan dan juga diperusahaan-perusahaan perkebunan . Lanjutan dari sekolah ini yakni “Meer Uitgebreid Lager Onderwijs” (MULO) 9setara SLTP) juga  didirikan kemudian oleh Zending di Sigompulon Tarutung.  Selain pendidikan umum, Nommensen juga terus mengusahakan mendirikan pendidikan teologi untuk melatih  orang-orang Kristen Batak untuk ikut berperan dalam pekerjaan zending dan gereja, melalui guru-guru zending yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat. Pendidikan  seperti ini disebut Seminari (parsamean),  mulai tahun 1868 di Parausorat,  kemudian dipindahkan ke Pansurnapitu (1877), ke Sipoholon tahun 1901.  Mulai tahun 1883, di Seminari Pansurnapitu sudah dibuka Sekolah Pendeta  bagi guru-guru yang sudah berpengalaman dan berprestasi. Semuanya ini mempersiapkan   juga dalam rangka mempersiapkan Gereja Batak menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri.
            Pelayanan di bidang kesehatan juga terus diupayakan.  Nommensen dan para penginjil lainnya telah dibekali dengan pengetahuan di bidang kesehatan  yang bias mengupayakan pengobatan kepada orang-orang sakit dan memberi bimbingan kepada masyarakat Batak  agar dapat hidup sehat. Kemudian di seipak pos-pos penginjilan juga didirikan Balai-Balai pengobatan, dan bahkan juga rumah sakit penolong dan rumah sakit besar seperti  di Tarutung (1900) dan Di Balige (1917). Dengan adanya pengobatan secara medis ini, maka kebiasaan masyarakat sebelumnya  untuk memperoleh pengobatan dari seorang “datu” (dukun)  makin ditinggalkan.
            Dalam bidang kehidupan sosial Nommensen juga mempunyai perhatian yang besar.  Di setiap tempat  pelayanannnya dia selalu mengusahakan perdamaian  untuk mencegah kebiasaan berperang antara kampung, membasmi perbudakan (parhatobanon) di mana untuk ini dia sering menebus orang-orang yang sudah “diparhatoban” karena utang-utangnya,  membasmi praktek pinjam meminjam dengan bungan yang sangat besar dengan membangun system perkoperasian (kongsi) di setiap jemaat, membina masyarakat untuk mengetahui system pertanian yang intensif serta memanfaatkan tanah-tanah pekarangan yang kosong dan untuk menanami tanaman-tanaman yang produktif dan berguna untuk kehidupajn sehari-hari,  membuat gilingan padi yang diputar oleh “losung aek” (kincir air),    bahkan juga untuk mengatur hari-hari pekan dari Senen sampai Sabtu (tidak diikutkan hari Minggu  supaya ibadah ke gereja jangan sampai tergganggu),  demi membina system ekonomi yang lancar dan merata. Ini bias terlaksana khususnya di daerah Toba sampai sekarang.  Semua usaha ini memperlihatkan betapa besarnya perhatian Nommensen dan Zending  pada waktu itu kehidupan social  masyarakat itu. Tujuannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera, membebaskan manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan berbagai penderitaan yang diakibatkannya.  Pelayanan dan perhatian seperti itu tidak patut dilupakan dan bahkan perlu dikembangkan oleh gereja dan umat Kristen, yang dalam hal ini tentu bekerjasama dengan pemerintah.  Karena sesuai dengan kesaksian Alkitab, Gereja dan Pemerintah adalah dua lembaga yang sama-sama datangnya dari Allah,  dan sama-sama hamba Allah dalam mengusahakan kehidupan umat manusia atau masyarakat yang lebih sejahtera.  (Roma 13: 1 dst) 

                                      * Penulis adalah Dosen STT-HKBP  di bidang Sejarah Gereja  
                                                        dan anggota Panitia Napak Tilas, Seksi Sejarah