Ekklesiologi pada zaman Rasuli
khususnya
dalam Surat-surat Paulus dan Kissah para rasul
Oleh
: Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th *
Pengantar
Ekklesiologi
merupakan salah satu pokok teologi yang sangat luas sekali. Kata itu berasal
dari kata Junani “ekklhsia” (ekklesia), yang berarti ‘gereja’, dan “logoV” (logos) yang berarti
“pengetahuan’ atau “studi mengenai”.
Jadi ekklesiologi berarti pengetahuan
atau studi mengenai gereja. Ekklesiologi
sebagai suatu pokok teologi, berarti suatu pengkajian mengenai kehidupan gereja, yang meliputi pemahaman
mengenai hakekat dari gereja itu
sendiri, dan juga menyangkut sifat, missi, fungsi, kepemimpinan, jabatan,
ordinansi dan tujuan dari gereja itu. Karena
soal ekklesiologi merupakan
pembahasan yang sangat luas, saya hanya membatasi kepada beberapa segi
yang saya anggap sangat penting untuk didalami demi memperoleh suatu pemahaman
yang benar mengenai gereja itu, sesuai dengan pandangan yang telah diwariskan
oleh para rasul, khususnya rasul Paulus,
karena Pauluslah yang memberi pemahaman
yang lebih luas mengenai apa dan
bagaimana gereja itu.
1.
Pemahaman mengenai gereja dalam surat-surat Paulus
Istilah yang dipakai oleh Paulus untuk
menyebut gereja adalah ekklhsia (ekklesia). Suatu istilah yang sudah dikenal
dalam dunia Yunani sebelum kekristenan. Mengenai pemakaian istilah itu dalam
dunia Yunani bisa dilihat dari Kitab Perjanjian Baru itu sendiri, seperti dalam
Kisah Rasul 19 : 32, 39 dst. Di sana kata
ekklhsia dipakai dalam
pengertian “kumpulan orang banyak atau
sidang rakyat”. Sudah sejak masa
sebelum Plato, kata “ekklhsia” dipakai untuk menyebut “sidang rakyat” di kota Athena
dan kota-kota Yunani lainnya. Etimologi kata itu sederhana dan mempunyai makna
yang berarti. Warga suatu kota disebut “ekklhtoi”, yakni
orang-orang yang dipanggil dan dikumpulkan oleh seorang
pembantu raja dari luar. Dari situlah juga timbul pemaham Kristiani bahwa warga gereja adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh
Allah dalam Kristus keluar dari dunia ini.
Pengajaran Paulus mengenai ekklesia secara eksplisit dijumpai dalam
surat-surat Deutero Paulus, terutama dalam surat Kolosse dan Efesus. Suatu
ajaran yang khusus mengenai gereja dikaitkan dalam hubungannya kepada Kristus
untuk pertama kali dijumpai dalam surat-surat tersebut. Pada waktu menjelang akhir hidupnya, ketika
Paulus dipenjarakan di kota Roma, dia merasa perlu mengajarkan kepada
jemaat-jemaat Kristen akan keberadaan Yesus yang sudah ada sejak mulanya, dan
yang sekarang duduk disebelah kanan Allah Bapa untuk memimpin Israel yang baru,
yakni gereja sebagai tubuh Kristus. Dalam Kolosse 1: 24 misalnya dia
mengatakan bahwa ekklhsia adalah “swma kristou” (soma Kristou
- tubuh Kristus). Dan pada Kol. 1 : 18 disebut Kristus adalah “kefalh” (kefale – kepala) dari tubuh itu yakni gereja. Perlu
dicatat bahwa dalam Efesus 3 : 21 dan 5 : 32, Kristus dan ekklesia disebut dalam hubungan yang sangat erat. Gereja sebagai
tubuh Kristus merupakan suatu kiasan yang menggambarkan hubungan Kristus yang
sangat erat dengan orang-orang percaya. Dan gagasan mengenai tubuh Kristus ini
juga menunjukkan betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya.
Dalam surat-surat Proto Paulus (Roma dan 1 Korintus), yang dimaksud dengan
tubuh Kristus dalam konteks ini adalah jemaat setempat, di mana dijumpai adanya
karunia-karunia rohani yang berbeda-beda. Anggota-anggota tubuh yang
bermacam-macam diperlukan untuk kepentingan masing-masing anggota supaya tubuh
itu dapat berfungsi secara efisien. Di sini terdapat pandangan mengenai jemaat
yang bersifat kebersamaan (corporate) yang meniadakan sifat yang
individualistis, tetapi memberi kesempatan bagi pemanfaatan kemampuan pribadi.
Penggunaan yang lebih berkembang dari
kiasan itu dapat terlihat dalam surat Efesus dan Kolosse. Seperti sudah
dikemukakan di atas, bahwa dalam surat-surat tersebut ekklesia disamakan dengan
tubuh Kristus. Itu berarti bahwa Kristus sebagai kepala yang mengendalikan
jemaat atau gereja. Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan gereja.
Dialah yang paling utama dan tertinggi dalam gereja. Penekanan Kristus sebagai
kepala gereja juga memperlihatkan kesatuan dari seluruh gereja itu (Ef. 1 : 23 - 23 ; 4 : 15). Seluruh gereja
adalah satu dalam Kristus. Proses yang
menjadikan gereja satu di dalam satu tubuh dikatakan telah dilakukan melalui
salib (Ef. 2 : 16), yang mengatasi
permusuhan antara orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, dan merobohkan tembok
pemisah yaitu perseteruan (Ef..2 : 14). Kiasan tentang satu tubuh menjadi tidak
sesuai bila terjadi perseteruan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan
orang-orang Kristen bukan Yahudi.
Selain sebagai tubuh Kristus, gereja juga
dikiaskan sebagai “pengantin perempuan”. Penggunaan kiasan tentang pengantin perempuan juga telah
tercermin dalam pengajaran Jesus, misalnya dalam perumpamaan tentang
gadis-gadis (Mat.25 : 1-13), dan juga
dalam perumpamaan tentang Perjamuan Kawin (Mat.22 : 1-14). Kiasan itu
diterapkan oleh Paulus terhadap perhimpunan umat Kristen (bdn. Ef.5 : 25).
Tetapi di sini pun gereja tidak disebut secara khusus sebagai mempelai
perempuan. Hanya disebutkan bahwa hubungan suami dengan istri dipakai sebagai
analogi (kiasan) pada hubungan Kristus dengan gerejaNya. Dalam Surat Efesus
istilah ekklesia tidak lagi hanya
menghunjuk kepada jemaat setempat tetapi telah menghunjuk kepada seluruh
gereja sebagai persekutuan orang-orang
percaya, sehingga dengan demikian terlihat bahwa keseluruhan perhimpunan
menopang hubungan yang khusus dengan Kristus. Dalam ajaran Perjanjian Baru
tentang pernikahan, mempelai perempuan didorong untuk tunduk dan taat kepada
suaminya karena hal ini dianggap sebagai pola hubungan gereja dengan Kristus.
Kiasan mempelai perempuan di sini juga dihubungkan dengan maksud penebusan
Kristus (bd. Ef.5:25). “Mempelai laki-laki” itu bukan hanya Kepala Gereja,
tetapi juga Penyelamatnya.
Kiasan yang lain mengenai gereja yang
dipakai oleh Paulus ialah gereja sebagai bangunan. Gagasan ini pertama
dikembangkan oleh Paulus dalam Surat I Korintus, di mana dia menyatakan bahwa
jemaat Korintus adalah bangunan Allah ( I Kor.3 : 9), dan kemudian Ia
menyamakan dirinya sebagai seorang ahli bangunan ( I Kor.3 : 10), yang
mendirikan bangunan itu pada dasar yang satu-satunya, yaitu Kristus sendiri.
Hal ini membawa Paulus untuk memikirkan gagasan mengenai rumah Allah ( I Kor.3
: 16). Keseluruhan orang-orang percaya pada suatu daerah dipandang sebagai
tempat kediaman Allah, yang juga berarti bahwa setiap orang Kristen adalah
rumah Allah. Sebagaimana Allah tinggal di tempat yang maha kudus, dengan
demikian Roh Kudus tinggal di dalam ekklesia.
Kiasan yang sama juga terdapat dalam I Korintus 6 : 19, yang menganggap tubuh
masing-masing orang-orang percaya sebagai rumah Allah. Gagasan ini diambil dari
gambaran yang diberikan dalam PL
mengenai tempat kediaman Allah di dalam ruang Rumah Allah yang paling dalam.
Lalu dalam surat Efesus, keseluruhan jemaat
dipandang sebagai rumah Allah (Ef. 2 : 19-22). Paulus berbicara mengenai “seluruh
bangunan” yang dipersatukan bersama-sama sehingga rapi tersusun dan tumbuh
“menjadi bait Allah yang kudus ; di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan
menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh”. Ada beberapa hal penting yang
muncul dari perikop ini.
Pertama bahwa yang dimaksudkan dengan rumah
Allah di situ ialah keseluruhan perhimpunan orang Kristen, karena itu
masing-masing bagian dari bangunan itu merupakan jemaat-jemaat atau orang-orang
secara pribadi. Masing-masing bagian itu penting selama diikatkan pada
keseluruhan. Peranan jemaat-jemaat Kristen masing-masing adalah membentuk
bagian yang dapat kelihatan dari keseluruhan jemaat. Penting juga untuk
diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan ‘bangunan” di situ bukanlah sebuah
gedung atau pun suatu organisasi, melainkan tempat kediaman Allah.
Kedua, dikatakan bahwa rumah Allah dibangun
di atas “dasar para rasul dan para nabi”, dengan Kristus sebagai batu penjuru.
Yang dimaksud dengan ‘dasar para rasul dan para nabi”, adalah pemberitaan yang
mereka lakukan yang berpusat kepada Kristus. Dan kalau disebut Kristus sebagai batu
penjuru, berarti Kristuslah yang mempersatukan bagian-bagian yang terpisah dan
menjadi satu kesatuan.
Ketiga,
ekklesia dipandang sebagai tempat
kediaman Allah “ di dalam Roh”.
Pekerjaan Roh Kudus memainkan peranan
yang penting, seperti terlihat pada perikop-perikop dalam I Korintus 3 dan 6.
Bagian-bagian yang terpisah dari bangunan tidak akan pernah menjadi suatu
kesatuan tanpa pelayanan Roh Kudus.
Dalam kiasan tentang bangunan-bangunan yang digunakan oleh Paulus tidak terdapat
kesan bahwa organiasi manusiawi mendapat tempat dalam gagasannya mengenai
jemaat. Ada kesamaan yang menonjol antara kiasan ini dengan kiasan tentang
tubuh. Kedua kiasan itu mengarah pada kesatuan gereja, tetapi sementara itu
tetap mempertahankan sifat-sifat dari masing-masing bagiannya.
2.
Jabatan Gerejawi dan persekutuan
Kristen
Jabatan gerejawi yang dilembagakan oleh
Tuhan Yesus sebelum kenaikanNya ke sorga ialah jabatan rasul. Jabatan itu
diteguhkan oleh Roh Kudus pada hari Pentakosta, sehingga dengan demikian para
rasul menjadi kuasa Kristus dalam mendirikan, memelihara dan memperluas gereja.
Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa jabatan itu mencakup kuasa untuk
memberitakan Injil, melayani sakramen dan menjalankan disiplin gereja, sesuai
dengan kuasa yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya, yakni untuk
memegang kunci Kerajaan Sorga (bd.
Mat.16 : 19). Mereka yang memegang jabatan itu adalah hamba-hamba Allah dan
sekaligus hamba-hamba gereja yang dengan roh pengasihan dan keteladanan Kristus
akan mengabdikan dirinya untuk melayani Allah dan melayani gereja. Mereka juga
disebut sebagai garam dan terang dunia, teman sekerja Allah, juru kunci rahasia
Allah dan duta Kristus di dunia ini. Semuanya itu menunjukkan pekerjaan yang
mulia, tetapi sekaligus menuntut tanggung-jawab yang besar. Paulus
menggambarkan kebesaran dari jabatan rasul itu sebagai suatu “bau kehidupan
yang menghidupkan bagi orang-orang percaya, dan bau kematian yang mematikan
bagi yang tidak bertobat” ( II Kor. 2 : 16). Ini memang merupakan pekerjaan
yang tidak dapat dikerjakan dari diri sendiri. Kesanggupan dan keberhasilan
untuk menunaikan tugas itu berasal dari Allah.
Panggilan internal dan kualifikasi moral
untuk jabatan gerejawi datang dari Roh Kudus, tetapi peneguhannya dilakukan
oleh gereja. Para rasul telah dipangil secara langsung oleh Yesus Kristus bagi
pekerjaan mendirikan gereja. Tetapi gereja sebagai persekutuan orang-orang
percaya terus mengambil bagian secara aktif dalam seluruh peristiwa-peristiwa
keagamaan. Karena itu orang-orang yang
telah dipanggil untuk memegang suatu jabatan gerejawi dilakukan untuk fungsi
pelayanan mereka melalui tahbisan. Pada mulanya tahbisan itu dilakukan oleh
para rasul atau wakil-wakil mereka dengan doa dan peletakan tangan. Penahbisan
itu dimaksudkan untuk meneguhkan kuasa dan karunia-karunia rohani yang berasal
dari Allah.
Jadi kebesaran dan ketinggian jabatan itu
bukan terletak di dalam diri orang-orang yang memegangnya, tetapi terletak di
dalam sumbernya yang ilahi. Jabatan
gerejawi tidak membuat orang yang memegangnya lebih tingi dan lebih suci dari
warga gereja lainnnya. Para pejabat gerejawi adalah juga orang yang penuh dosa
sebagaimana halnya dengan warga gereja lainnya, dan juga tergantung kepada
anugerah Allah yang menyelamatkan dirinya. Di pihak lain warga gereja juga ikut mengambil bagian yang sama dengan
pejabat-pejabat gerejawi dalam berkat yang dibawa oleh Injil itu dan juga
sama-sama terpanggil kepada persekutuan yang langsung kepada Kristus, kepala
dari gereja itu. Missi utama dari gereja adalah untuk memperdamaikan seluruh
manusia kepada Allah dan menjadikan mereka menjadi pengikut-pengikut Kristus
yang benar. Kitab Perjanjian Baru yang melihat pada prinsip kehidupan yang baru
dan panggilan agung akan orang Kristen, menyebut diri orang-orang percaya itu
sebagai “persekutuan persaudaraan”, “orang-orang suci”, “bait rohani”, “bangsa
yang istimewa”, serta ‘imamat suci dan rohani”. Petrus secara khusus menyebut
keimaman itu sebagai bagian dari seluruh orang percaya, sehingga ia menyebut
setiap jemaat Kristen sebagai suku Lewi secara rohani, serta umat Allah yang
istimewa dan suci bagi Allah ( I Petrus
2 : 5, 9 ; 5 : 3)
Organisasi gereja yang kelihatan yang sifat
temporal menjadi suatu alat dalam pemerintahan Allah, di mana seluruh orang
Kristen terpangil menjadi “nabi-nabi, imam-imam dan raja-raja”.
3. Jabatan-jabatan gerejawi yang pertama
3.1.
Jabatan-jabatan yang bersifat umum
Jabatan gerejawi bermula dengan jabatan
apostolat (rasul). Dalam Kitab Injil dan lima pasal yang pertama dari Kitab Kisah
Para Rasul, tidak ada pejabat-pejabat gerejawi lain yang disebutkan, selain
dari para rasul itu. Tetapi setelah orang-orang percaya makin bertambah
jumlahnya, para rasul itu tidak mampu lagi menjalankan seluruh fungsi pelayanan
dalam gereja, seperti memberikan pengajaran, memimpin ibadah dan menjalankan
disiplin. Karena itu diciptakanlah jabatan-jabatan baru bagi orang-orang yang
diikutkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan dari jemaat itu, sementara para
rasul itu kemudian lebih mengkhususkan diri untuk tugas pengawasan umum dan
perluasan dari Injil itu. Dengan demikian secara berangsur-angsur timbulkan
berbagai jabatan di dalam gereja, baik dalam tingkat umum maupun dalam tingkat
jemat setempat. Tetapi semua jabatan itu berakar dalam jabatan apostolat. Yang
dimaksud dengan jabatan yang bersifat umum adalah jabatan yang tidak terbatas
pada suatu jemaat tertentu tetapi meluas kepada seluruh gereja. Yang tergolong
kepada jabatan itu pada jaman rasuli ialah para rasul, nabi-nabi dan
evangelis-evangelis. Paulus menyebut ketiganya secara bersama-sama dalam suatu
rangkaian (Epes. 4 : 11, I Kor 12 : 28). Jabatan kenabian nampaknya lebih
bersifat karunia khusus dan fungsi ketimbang suatu jabatan. Tetapi para rasul
itu melayani jemaat secara berpindah-pindah, sehingga ruang lingkup pelayanan
mereka tidak terbatas pada satu jemaat saja. Fungsi mereka lebih banyak
difokuskan untuk memberi pengajaran dan menjalankan disiplin gereja, serta
menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah untuk memberi
pengampunan disampaikan melalui para nabi. Dengan otoritas yang demikian luas,
tidak mengherankan apabila dalam Perjanjian Baru para nabi nampak memikul
peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus, kadang-kadang
merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak untuk memegang suatu jabatan
kepemimpinan bagi jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang suatu
pertikaian (Kis. 11 : 28, 13 : 1, 15 :
32).
Sedangkan para evangelis adalah
pejabat-pejabat yang mengemban missi khusus untuk menyebarkan Injil itu di
bawah bimbingan para rasul. Jabatan evangelis ini bertahan dari waktu ke waktu.
Bahkan di kemudian hari Allah juga membangkitkan penginjil-penginjil yang luar
biasa yang menyebarkan Injil itu ke berbagai penjuru dunia.
Para rasul yang pada mulanya berjumlah dua
belas orang (menurut para ahli ini sesuai dengan jumlah kedua belas suku
Israel), tetapi setelah turunnnya Roh Kudus, jumlah ini bertambah lagi, yakni
dengan diangkatnya secara khusus oleh Yesus Kristus, Paulus menjadi rasul untuk
orang-orang kafir. Tetapi di samping mereka masih ada beberapa orang yang
pengaruhnya hampir sama dengan para rasul itu, seperti Barnabas dan Yakobus
saudara Yesus. Para rasul itulah yang menjadi utusan-utusan Kristus untuk
meneruskan missinya di dunia ini dan manjadi pendiri dan tiang-tiang penyokong
gereja. Jabatan mereka bersifat universal, dan tulisan-tulisan mereka sampai
sekarang dijadikan sebagai kaidah iman dan perilaku semua umat Kristen.
Merekalah pemimpin-pemimpin dari gereja mula-mula . Tetapi mereka tidak pernah
menjalankan kuasa kepemimpinan yang mereka peroleh dari Allah dengan sewenang-wenang. Mereka selalu
menghormati hak-hak, kebebasan dan martabat dari setiap insan yang berada di bawah
pemeliharaan mereka. Setiap orang Kristen, walaupun itu seorang hamba yang
miskin seperti Onesimus, dianggap sebagai saudara yang kekasih dalam Kristus,
yang ikut ambil bagian dalam anugerah keselamatan itu. Kepemimpinan mereka
dalam gereja didasarkan atas kasih, dan sikap yang rela mengorbankan
kepentingan diri sendiri, dengan mengabdi dengan sepenuh hati untuk keselamatan
umat Kristen itu.
3.2.
Jabatan-jabatan dalam tingkat jemaat
setempat
Pejabat-pejabat gerejawi dalam tingkat
jemaat setempat bertugas untuk memikul dan meneruskan pekerjaan yang telah
dimulai oleh para rasul dan utusan-utusan mereka. Mereka ada dua macam, yakni
jabatan penatua atau penilik dan jabatan diakon atau penolong. Jumlah mereka
semakin banyak sejalan dengan perluasan kekristenan itu, sementara jumlah para
rasul berkurang karena kematian.
Istilah penatua (presbuteroV -presbyteros) dan penilik (episkopoV - episkopos) di dalam kitab Perjanjian
Baru masih menunjukkan jabatan yang sama. Perbedaannya, bahwa istilah penatua
dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan istilah penilik (di kemudian disebut
uskup) dipinjam dari persekutuan Yunani. Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge
mempunyai badan penatua yang terdiri dari pemimpin, ahli-ahli taurat dan
imam-imam besar (Kis. 4 : 5 – 8 : 23). Mereka berfungsi sebagai badan peradilan
dan pemerintahan. Di lingkungan jemaat Kristen untuk pertama kali sebutan
penatua muncul di jemaat Yerusalem, yakni pada waktu pengumpulan bantuan bagi
orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11 : 30). Para
penatua itulah yang menerima bantuan yang dikirin dari jemaat Anthiokia untuk
disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Beberapa tahun setelah itu,
dilaporkan bahwa para penatua itu ikut dalam sidang di Yerusalem sebagai
pemimpin-pemimpin jemaat bersama-sama dengan rasul yang dua belas itu (Kis. 15
: 6 dst). Tetapi kemudian istilah penatua juga muncul di jemaat-jemaat yang
non- Yahudi, seperti jemaat di Efesus (Kis. 20 : 17 dst). Dan istilah penatua
itu selalu muncul dalam bentuk jamak, yang berarti bahwa di dalam sebuah jemaat
mereka bertugas sebagai suatu badan atau sebuah majelis.
Seperti sudah disebut di atas, istilah
penilik (episkopos) dipinjam dari dunia Yunani. Sebelum memasuki lingkungan
gereja, istilah itu sudah dikenal sebagai sebutan untuk pemimpin di
lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti pemimpin suatu serikat sosial, kelompok
atletik atau pejabat pemerintahan sebuah kota. Di dalam Septuaginta kata
episkopos itu sudah dipakai untuk menerjemahkan kata-kata Ibrani yang berarti
penilik, pemimpin dan ketua. Dan di Mesir, kata itu sudah lazim dipakai untuk
menyebut pejabat dari suatu Bait Suci. Dan seperti jabatan penatua di dalam
Kitab Perjanjian Baru, jabatan penilik juga selalu muncul dalam bentuk jamak,
yang menunjukkan bahwa mereka juga bekerja dalam satu jemaat sebagai suatu
kolega atau badan.
Sampai akhir abad pertama jabatan “penatua
– penilik” (presbytero – episkopal) merupakan satu jabatan yang tugasnya untuk
mengajar dan memimpin jemaat untuk melaksanakan
tuntutan kekristenan . Mereka merupakan gembala dan sekaligus sebagai guru yang
menetap. Sebagai pemimpin atau gembala jemaat merekalah yang membina
pelaksanaan ibadah, mejalankan disiplin dan tugas pastoral serta mengatur
pemakaian harta gereja. Mereka biasanya dipilih dari antara orang-orang yang
pertama sekali bertobat dari kalangan warga jemaat itu, bukan dari orang yang
baru bertobat (bd. I Tim. 3 : 6), dan diangkat oleh para rasul atau utusan
mereka dengan pengesahan jemaat. Mereka ditetapkan ke dalam jabatan itu oleh
para rasul atau utusan mereka dengan doa dan penumpangan tangan (Kis. 14 : 23 ;
Titus 1 : 5 ; I Tim 5 : 22 ; 4 : 14 ; II Tim. 1 : 6).
Tetapi pada permulaan abad kedua, mulai
dari Ignatius, jabatan penatua dan jabatan penilik (uskup) telah dibedakan.
Pada waktu itu jabatan uskup (episkopos) mulailah dikenakan kepada pemimpin
dari suatu jemaat yang disertai oleh sebuah dewan penatua, dan kemudian menjadi
pemimpin dari beberapa jemaat dalam satu wilayah keuskupan. Tetapi uskup yang
diangkat menjadi pemimpin itu dipilih dari dewan penatua. Alasan mengapa gelar
uskup yang dikenakan kepada pemimpin jemaat itu, bukan jabatan penatua, karena
sebelumnya gelar itu telah lazim dipakai untuk menyebut pemimpin finansial dari
suatu organisasi masyarakat atau suatu bait suci. Dan pada mulanya uskup
sebagai pemimpin suatu jemaat lebih banyak berperan untuk mengawasi seluruh
dana-dana gereja, karena pada mulanya gereja lebih banyak menunjukkan fungsi
sebagai lembaga sosial yang membantu para janda, yatim piatu, orang-orang
asing, jompo, orang lemah dan orang miskin.
Selain dari jabatan penatua atau penilik,
jabatan kongregasional yang lain ialah diakon atau diakones. Para diakon
atau penolong muncul pertama kali di jemaat Yerusalem dalam jumlah tujuh orang.
Penulis kitab Kisah Para Rasul (ps. 6) memperkenalkan jabatan itu lebih dulu
ada dari jabatan penatua. Pada mulanya jabatan itu dimaksudkan untuk mengurangi
beban yang dipikul oleh para rasul, supaya mereka dapat lebih banyak memusatkan
pikiran untuk pekerjaan doa dan pelayanan Firman. Latar belakangnya ialah
adanya keluhan orang-orang Kristen Hellenis terhadap orang-orang Kristen Ibrani
bahwa janda-janda dari pihak mereka diabaikan dalam pendistribusian makanan
(dan mungkin juga uang) setiap hari. Maka dengan mengikuti usul para rasul,
jemaat itu mermilih tujuh orang dari antara mereka yang terkenal baik dan penuh
Roh dan hikmat. Merekapun dihadapkan kepada rasul-rasul itu untuk ditahbiskan
dengan berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka. Contoh yang dilakukan oleh
jemaat induk di Yerusalem itu juga diikuti oleh jemaat-jemaat yang lain
walaupun tidak terikat kepada jumlah yang tujuh itu.
Menurut pemberitaan kitab Kisah Para Rasul,
jabatan diakon merupakan tugas pelayanan di meja pada waktu pesta-pesta kasih
setiap hari dan menolong orang-orang yang miskin dan orang-orang yang sakit.
Terhadap pekerjaan itu lazim juga diikutkan semacam pemeliharaan jiwa secara
pastoral, yang karena kemiskinan dan penyakit memberi peluang yang besar untuk
melemahkan iman, sehingga orang-orang miskin dan sakit itu membutuhka
penghiburan. Karena itu suatu persyaratan yang diharuskan bagi jabatan diakon
ialah iman yang hidup dan keteladanan di tengah-tengah umat Kristen itu. Dua
dari antara diakon yang pertama di Yerusalem itu yakni Stephanus dan Filipus
juga bekerja sebagai pengkotbah dan evangelis. Pada abad kedua, setelah uskup
berfungsi sebagai pemimpin dan gembala suatu jemaat, fungsi diakon nampak lebih
banyak membantu uskup dalam penyelenggaraan ibadah dan pelayanan sakramen.
Diakones atau penolong wanita, juga
mempunyai tugas yang sama menolong orang-orang miskin dan orang sakit di
kalangan kaum wanita. Jabatan itu juga sangat diperlukan pada mulanya, terutama sebab adanya pemisahan kelamin yang sangat keras pada waktu itu di
tengah-tengah Yunani dan orang-orang Asia. Dan jabatan inilah yang paling cocok
bagi wanita pada waktu itu dalam mengikutsertakan mereka untuk pekerjaan
pengabdian di tengah-tengah gereja. Paulus menyebut Febe sebagai salah satu
diakones di jemaat Kengkrea, pelabuhan Kontintus (Roma 16 : 1). Dan kemungkinan
beberapa wanita yang disebut Paulus ikut sebagai teman sekerjanya dalam
pekerjaan Tuhan seperti : Priska, Maria, Trifena, Trifosa dan Persis adalah
juga melayani sebagai diakones di Roma (Roma 16 : 3, 6, 12). Di gereja Timur
jabatan diakones berkelanjutan sampai akhir abad dua belas. Sedang di gereja
RK, jabatan diakones telah digantikan oleh perserikatan wanita (Sisterhood)
dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan sosial. Sedangkan di banyak gereja
Protestan jabatan itu masih tetap dipertahankan sampai sekarang.
4. Jabatan pelayanan dan penahbisan
Mengenai
bagaimana pengangkatan diri seseorang untuk memikul suatu jabatan
pelayanan tertentu, terlihat adanya
corak yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Ada pelayan gereja itu yang
ditetapkan melalui penahbisan penumpangan tangan, ada yang sama sekali tidak,
melainkan jabatan itu diyakini diterima langsung dari Allah atau dari Yesus
Kristus. Kedua belas rasul itu misalnya langusng dipanggil oleh Yesus. Dan
rasul-rasul yang lain menyatakan dirinya telah ditetapkan oleh Tuhan yang
bangkit itu melalui penampakan kepada mereka. Dalam 1 Kor. 12,28, Paulus
menyatakan bahwa Allahlah yang menetapkan “rasul-rasul, nabi-nabi dan
pengajar-pengajar”. Tetapi di pihak lain
kita lihat bahwa jemaat di Antiokhia telah dinasehati oleh Roh Kudus untuk
“mengkhususkan Barnabas dan Paulus untuk
tugas yang telah ditentukan bagi mereka” ( Kis. 13,12), dan kemudian para nabi
dan pengajar di jemaat itu meletakkan tangan ke atas kedua orang itu disertai
dengan puasa dan doa. Tetapi nampaknya peletakan tangan yang dilakukan di sini
bukanlah dalam rangka penahbisan mereka sebagai rasul, melainkan hanyalah
semacam pemberangkatan mereka menjalankan suruhan Roh Kudus. Dan peletakan
tangan yang sudah pernah juga diterima di Damaskus dari Ananias, bukanlah juga
sebagai penahbisannya sebagai rasul, melainkan hanya dalam rangka penyembuhan
kebutaannya dengan pengharapan supaya dia dipenuhi oleh Roh Kudus (Kis.9,17). Paulus sendiri selalu
mempertahankan bahwa dia dipilih oleh Allah menjadi rasul bukan oleh manusia.
Tentu saja dalam hal ini pengalaman pertobatannnya memberi dirinya kepercayaan
yang lebih besar dalam pelayanannya dari
peletakan tangan yang dilakukan oleh Ananias atau nabi-nabi dan
pengajar-pengajar di Antiokhia.
Yang
pertama kali kita temukan adanya peletakan
tangan dilakukan mengikuti pemilihan yang dilakukan jemaat bagi suatu
jabatan pelayanan dalam jemaat adalah bagi ketujuh orang pelayan orang miskin
yang telah disebut di atas. Di sini fungsi peletakan tangan nampaknya telah
menjadi suatu cara pensahan dan pengakuan dari ke dua belas rasul itu atas
pemilihan yang dilakukan jemat bagi mereka. Mengenai pemilihan dan pengangkatan
pelayan-pelayan yang beraneka ragam yang dijumpai di jemaat-jemaat yang
didirikan Paulus tidak kita ketahui. Hanya disebutkan bahwa mereka mempunyai
karunia-karunia khusus, seperti membuat mujizat, memimpin dan menyembuhkan.
Tidak disebutkan apakah ada semacam
pelantikan khusus bagi mereka dalam memasuki jabatan itu. Pada suatu kesempatan yang lain Paulus
dan Barnabas diberitakan menetapkan penatua-penatua (Kis. 14,21-23) dan
melantik mereka kepada jabatan itu hanya dengan doa dan puasa.
Dalam
surat-surat Pastoral, peletakan tangan telah dihubungkan dengan penganugerahan
suatu kharisma yang perlu untuk pelaksanaan jabatan seseorang. “Janganlah lalai
dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh
nubuat dan penumpangan tangan sidang penatua” ( I Tim.4,14). “ …Kuperingatkan engkau untuk mengobarkan
karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” ( II Tim.1,6).
Timoteus juga diingatkan supaya ‘jangan terburu-buru menumpangkan tangan atas
seseorang” ( I Tim. 5,22). Suatu pertanyaan mengenai perbuatan ini ialah apakah
ada penyaluran kharisma dari Allah secara langsung atau melalui yang
menahbiskan, atau apakah perbuatan itu hanya merupakan suatu pemberian jabatan
(yakni pelantikan dari seseorang pemimpin). Namun jawaban atas pertanyaan ini
tidak jelas kita peroleh.
PB
juga tidak memberikan kepada kita suatu gambaran yang jelas atau yang sama
mengenai pemilihan pimpinan-pimpinan gereja, walaupun “pengangkatan” yang
dilakukan Paulus atau beberapa penatua dapat juga diterjemahkan dalam arti “menseleksi dengan pemilihan”. Di beberapa
jemaat, Paulus dan Barnabas mengangkat pemimpin-pemimpin yang demikian, sedang di jemaat-jemaat yang lain mereka
tidak melakukan seperti itu. Karena itu penumpangan tidak bersifat menyeluruh
(universal), dan perbuatan itu tidak dibatasi hanya kepada pelantikan jabatan
gerejawi. Dan nampaknya penumpangan tangan itu tidak hanya dilakukan oleh para
rasul, tetapi juga oleh para penatua atau nabi-nabi dan pengajar-pengajar.
Praktek
peletakan tangan dalam penahbisan kepada suatu jabatan adalah mengikuti
kebiasaan Jahudi. Musa meletakkan tangan atas Josua ketika mengangkat dirinya
sebagai gantinya (Ul. 34: 9). Hasilnya, Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan
yang diperlukan bagi pelaksanaan jabatan itu. Mengikuti kebiasaan ini, para
Rabbi Yahudi telah mengembangkan praktek ordinasi mereka sendiri. Apabila
seorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya, maka dia
ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan maksud
untuk “menyatakan bahwa “rantai tradisi yang menjangkau ke belakang hingga Musa
akan diperpanjang lagi dengan penambahan rantai yang lain, pemberian hikmat
yang ditanamkan kepada ahli yang berhak untuk itu oleh gurunya”. Praktek
penahbisan seperti ini hanya dapat dilakukan di Palestina dan tidak dapat
diulangi.
Praktek yang lain sehubungan dengan
peletakan tangan ini dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit
yang dilakukan Yesus. Ceritera seperti itu banyak kita jumpai dalam kitab
Injil, tetapi dapat kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat Lukas :
“…semua orang membawa kepadaNya orang-orang sakitnya yang menderita bermacam-macam
penyakit. Iapun meletakkan tanganNya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan
mereka” (Lukas 4 : 40). Pelayanan penyembuhan dengan peletakan tangan ini juga
diteruskan para rasul. Apakah perbuatan seperti ini dihubungakan dengan
perbuatan magic? Tentu sama sekali tidak. Salah satu bukti bahwa peletakan
tangan itu tidak disalahgunakan sebagai magic adalah Kis. 8 : 18, dimana Petrus
menolak permintaan Simon, ahli sihir di Samaria itu, agar kepadanya diberikan
karunia yang ada pada diri Petrus itu dengan imbalan uang. Selain itu kita juga
bisa melihat bahwa kuasa penyembuhan Yesus tidak terikat kepada cara seperti
itu. Kuasa FirmanNya juga dapat beroperasi walaupun dari jauh (Mat. 8 : 8,13 ;
Luk. 7 : 7 ; Joh. 4 : 50,52). Tangan juga diletakkkan pada waktu pemberkatan
(misalnya anak-anak pada Mark. 10 : 53 dan juga di dalam rangka baptisan (Kis.8
: 17 ; 19 : 6). Dengan peletakan tangan itu, Roh Kudus diberikan kepada mereka
yang dibaptis. Berdasarkan pemahaman inilah peletakan tangan juga diperlukan
dalam penahbisan pelayan gereja. Dengan demikian gereja juga meminjam kebiasaan
itu dari praktek-praktek Rabbinis, dan para Rabbi pada Bil. 27 : 15-23.
Tetapi baik dalam praktek Yahudi maupun
dalam praktek Kristen, ritus seperti itu hanya dilakukan bagi orang-orang yang
telah menunjukkan dirinya mampu untuk kepemimpinan. Tetapi perbedaannya dengan
praktek Yahudi, dalam praktek Kristen peletakan tangan juga dimengerti sebagai
pemberian karunia Roh dan biasanya orang-orang yang ditahbiskan dengan
peletakan tangan tersebut harus memenuhi prasyarat tertentu. Karena danya
prasyarat yang harus dipenuhi seseorang, maka Timotius diperingatkan supaya
jangan tergesa-gesa meletakkan tangan kepada seseorang untuk menerima jabatan
gerejawi. Prasyarat itu telah didaftarkan dalam I Tim.3. Selain itu ketujuh
orang pelayan yang disebut pada Kis.6 : 1-6 haruslah orang-orang “yang terkenal
baik dan penuh Roh dan Hikmat”. Dengan demikian penahbisan jabatan gerejawi
adalah semacam pengakuan dari gereja atas karunia-karunia yang telah dimiliki
oleh si calon, dan sekaligus juga sebagai pemberian karunia yang baru. Agar
prasyarat yang diberikan itu terpenuhi, maka pada gereja zaman PB diadakan
pemilihan bagi setiap calon yang akan ditahbiskan untuk melahirkan suatu
jabatan gerejawi. Dan di kemudian hari prasyarat-prasyarat yang diharapkan itu
ditetapkan dalam bentuk peraturan, agar ada dasar bagi setiap orang yang akan
ditahbiskan untuk satu jabatan gerejawi. Dan dalam perkembangan zaman
selanjutnya penyeleksian atas diri seseorang apakah sudah layak untuk memikul
suatu jabatan tertentu tidak cukup lagi hanya melalui pemilihan jemaat setempat
tetapi juga sudah diharuskan melalui latihan-latihan atau pendidikan khusus
seperti yang dilakukan oleh gereja-gereja sekarang ini.
5.
Disiplin Gereja
Salah satu fungsi kepemimpinan gereja
mula-mula ialah memelihara kesucian gereja, dengan menjalankan disiplin yang
ketat. Kesucian adalah salah satu sifat dari Gereja Kristus, di samping
sifatnya yang lain yakni kesatuan dan keuniversalan. Tetapi sifat kesucian itu
tidak pernah secara sempurna diwujudkan di dalam diri anggotanya di dunia ini.
Gereja yang berjuang di dunia ini sebagai satu tubuh harus melalui suatu proses
penyucian yang panjang yang belum dapat disempurnakan di dunia ini sampai
kedatangan Kristus yang kedua kali. Para rasul itu juga mengakui bahwa diri
mereka sendiri masih diliputi oleh banyak kelemahan, yang senantiasa masih
membutuhkan pengampunan dan penyucian. Karena itu kesucian moral yang sempurna
belum dapat diharapakan dalam gereja mereka. Namun seluruh Surat-surat dalam
Kitab Perjanjian Baru berisi nasehat-nasehat untuk meningkatkan kebajikan dan kesalehan orang-orang Kristen
itu dan juga berisi peringatan-peringatan melawan ketidaksetiaan dan kemurtadan
serta teguran atas perlakuan yang merusak persekutuan orang-orang percaya itu.
Ragi yang lama dari ke Yahudian dan kekafiran tidak dapat dibersihkan dengan
cepat. Di tengah-tengah jemaat Galatia misalnya banyak orang yang merasa
kembali lagi kepada perhambaan hukum Taurat Yahudi. Di gereja Korintus, Paulus
harus mengecam roh perpecahan yang bersifat jasmani, kompetisi yang tidak sehat
untuk mencari hikmat, kecenderungan hidup yang tidak suci, serta
perlakuan-perlakuan yang keji dalam Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih yang
diselengggrakan oleh gereja itu. Menurut surat-surat Paulus dan Kitab Wahyu,
masih banyak jemaat-jemaat di Asia Kecil yang ditulari oleh ajaran-ajaran sesat
dan perlakuan-perlakuan yang keji, sehingga mereka masih memerlukan
peringatan-peringatan dan teguran-teguran yang keras dari para rasul.
Keadaan itu menunjukkan betapa disiplin itu
sangat dibutuhkan, baik bagi gereja itu sebagai persekutuan maupun bagi
orang-orang Kristen perorangan yang melakukan kesalahan. Bagi gereja disiplin
itu merupakan proses penyucian dan tuntutan hidup suci dan moral yang baik yang
secara hakiki menjadi miliknya. Bagi orang perorangan yang bersalah, disiplin
itu merupakan hukuman dan jalan yang membimbing kepada pertobatan dan
pembaharuan. Tujuan akhir dari disipilin gereja itu adalah keselamatan orang
Kristen itu sendiri. Paulus menyebut bentuk yang keras dari disiplin itu yakni
penyerahan orang yang berbuat dosa itu kepada Iblis, sehingga dengan demikian
tubuhnya dibinasakan, tetapi rohnya dapat diselamatkan pada hari Tuhan (I Kor. 5
: 5 ; bd. Mat. 18 : 15 – 18 ; Titus 3 : 10).
Pelaksanaan dari disiplin gereja itu
bertingkat-tingkat, mulai dari bentuk teguran secara pribadi, kemudian teguran
umum melalui jemaat. Tetapi jika upaya itu ternyata tidak berhasil, maka
diadakan pengucilan, dimana yang bersangkutan dikeluarkan dari persekutusn
gereja. Tetapi tindakan disiplin itu dilakukan atas nama seluruh jemaat dalam
nama Kristus, bukan merupakan tindakan pribadi dari pejabat gereja itu sendiri.
Setelah menunjukkan pertobatan yang sunguh-sungguh orang yang telah dikucilkan
itu dapat dipulihkan kembali ke dalam persekutuan gereja.
Dua kasus disiplin yang keras pada gereja
jaman rasuli ialah pertama hukuman kematian yang sangat mengejutkan atas diri
pasangan Ananias dan Safira, yang menurut Petrus hal itu terjadi karena dusta
dan kemunafikan mereka di jemaat Yerusalem (Kis. 5 : 1 – 5), dan kedua
pengucilan atas warga jemaat Korintus yang melakukan penyembahan berhala dan
pezinahan (I Kor. 5 : 1 dst). Tetapi kasus yang disebut terakhir ini masih bisa dipulihkan kembali.
6.
Sidang di Yerusalem
Suatu gambaran melengkapi gereja pada jaman
rasuli sebagai suatu organisasi ialah sidang yang dilangsungkan di Yerusalem.
Sidang itu dimaksudkan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara
orang-orang kristen pada waktu itu mengenai
pemberlakuan hukum Musa, khususnya sunat, kepada orang-orang Kristen yang
berasal dari non-Yahudi. Orang-orang Kristen asal Yahudi khususnya
yang berasal dari golongan Farisi menuntut supaya orang-orang Kristen asal
non-Yahudi harus disunat dan diwajibkan menuruti hukum Musa. Mereka berpendapat
jika mereka tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan Musa, mereka
tidak diselamatkan. Tetapi Paulus dan Barnabas menentang dengan keras pendapat
itu. Jadi untuk menyelesaikan persoalan yang bisa menjurus kepada perpecahan,
diadakanlah sidang di Yerusalem.
Sidang itu bukan hanya diikuti oleh para
rasul saja, tetapi juga oleh penatua-penatua dan warga jemaat di Yerusalem.
Yakobus yang bukan salah seorang dari rasul yang dua belas itu, dan yang
memimpin jemaat setempat, mengusulkan kompromi yang bisa diterima bersama.
Pembicaraan bersifat terbuka di hadapan jemaat dan warga jemaat (awam) juga
ikut mengambil bagian dalam pertimbangan yang dilakukan. Di dalam sidang itu
ada pembicaraan yang keras tetapi pada akhirnya roh kasih dan roh perdamaianlah
yang menang atas rasa harga diri yang mau mempertahankan pandangannya. Para
rasul berjalan dan menyusun keputusan bersama penatua dan jemaat itu. Dan
mereka mengirim surat keliling yang bersifat pengembalaan bukan hanya atas nama
mereka sendiri, tetapi atas nama seluruh sidang gereja itu.
Semuanya itu memperlihatkan dengan jelas
adanya warga gereja untuk ikut mengambil bagian dalam hal yang menyangkut pemerintahan gereja
sebagaimana halnya juga mereka lakukan dalam perbuatan-perbuatan ibadah. Jiwa
dan perbuatan para rasul itu telah menyokong
suatu bentuk pemerintahan yang mandiri, kerjasama yang serasi dan
persaudaraan yang erat dari seluruh unsur yang berbeda dalam gereja. Situasi
itu memperlihatkan tidak ada perbedaan yang abstrak antara pejabat gereja dan
awam. Semua orang percaya terpanggil kepada jabatan yang bersifat kenabian,
keimaman dan yang rajani di dalam Kristus. Karena itu para pemegang kuasa dan
disiplin dalam gereja harus senantiasa mengingat bawa pekerjaan mereka yang
utama adalah untuk membimbing mereka yang dipimpin itu kepada kebebasan dan
keselamatan. Dan dengan jabatan-jabatan rohani yang bermacam-macam itu, mereka
terpanggil untuk membangun umat Kristen kepada kesatuan iman dan pengetahuan
dan kepada kedewasaan iman dalam Kristus. Itulah bentuk pemerintahan yang
bersifat rasuli. Tetapi di kemudian hari gereja-gereja Yunani dan Romawi secara
lambat laun telah terlepas dari bentuk pemerintahan yang rasuli, sehingga
gereja itu bukan hanya meniadakan partisipasi awam dalam sidang-sidang atau
konsili-konsili gereja, tetapi juga meniadakan pelayan-pelayan gereja yang
dianggap lebih rendah.
Sidang di Yerusalem, walaupun bukan suatu
patokan yang mengikat, adalah suatu contoh yang sangat berarti, yang memberikan
dukungan rasuli terhadap bentuk pemerintahan gereja yang sinodal, di mana
seluruh unsur dalam persekutuan Kristen itu diikutkan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan umum dan juga menyelesaikan persoalan yang berhubungan
dengan iman dan disipilin gereja. Keputusan yang diambil dan Surat Pengembalaan
yang dikirim merupakan hal yang pertama sekali dalam garis keputusan dan
peraturan yang panjang yang dikeluarkan melalui otoritas kegerejaan.
Tetapi keputusan itu, walaupun diyakini di
bawah bimbingan Roh Kudus adalah merupakan kebijaksanaan yang sifatnya temporer
untuk keadaan darurat yang juga temporer sifatnya. Keputusan itu tidak dapat
dijadikan sebagai patokan yang permanen yang berlaku sepanjang jaman. Makna
yang terpenting dari sidang di Yerusalem itu bukan keputusan yang dihasilkan,
melainkan roh persaudaraan dan kerukunan yang menguasai sidang itu sehingga
sidang itu dapat menghasilkan keputusan yang dapat diterima bersama.
7. Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bahwa gereja
pada hakekatnya adalah sebagai tubuh Kristus. Namun dalam menjalankan missinya
di tengah-tengah dunia ini gereja juga dibina sebagai satu organisasi. Dan
organisasi itu dimaksudkan untuk mendukung dan melindungi dirinya dalam
menjalankan tugas panggilannya, bukan merintangi perjalanan gereja itu.
Posisi kepemimpinan gereja pada mulanya
dipusatkan kepada jabatan rasul. Dan Yesus telah mempersiapkan para rasul itu
menjadi pemimpin gereja di dunia ini. Untuk itu kepada mereka telah diberikan
kuasa oleh Yesus. Namun kekuasaan itu tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri
mereka jauh di atas warga gereja itu sendiri, dan membuat mereka bisa bertindak
dengan sewenang-wenang. Kuasa itu diberikan hanya untuk memampukan mereka untuk
dapat membawa dan memimpin umat manusia kepada Kristus. Sedangkan dasar mereka
untuk melakukan pekerjaan itu adalah kasih dan pengabdian diri.
Dalam perkembangan selanjutnya dari gereja,
para rasul tidak bekerja sendiri. Sejalan dengan pertumbuhan jemaat itu,
bertumbuh juga bermacam-macam jabatan dalam gereja, seperti nabi, evangelis,
pengajar, diakon, penatua dan penilik atau uskup. Semuanya itu juga berfungsi
dalam menjalankan kepemimpinan dan pelayanan. Tetapi semuanya itu tidak bisa
bertindak secara sendiri-sendiri, melainkan harus di dalam kebersamaan. Dan
jika ada persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendiri, tetapi
harus secara bersama-sama melalui suatu sidang atau rapat bersama.
·
Penulis
adalah mantan Dosen STT-HKBP
Bidang Sejarah
Gereja
Buku Bacaan
§ Boer, Harry R, A Short History of the early
Church, Grand Rapids, Michigan : William B. Eerdmans Publishing
Company, 1990.
§ Foster, John, The First Advance, Church history
I, AD 29 – 500, London : SPCK, 1985.
§ Guthril, Donald, Teologi Perjanjian Baru 3,
Jakarta : BPK G. Mulia, 1993.
§ Panjaitan, MSM, Kepemimpinan dan organisasi Gereja
pada Zaman Rasuli, dalam VOCATIO DEI, Jurnal Pemikiran Teologis
STT-HKBP, Edisi 42, Nop. 1996.
§ Schaft, Philip, History of the Christian Church,
Volume I, Michigan : Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1910.
§ Schmidt, K.L., “ekklhsia”, dalam Theological Dictionary of the New
testament, (Ed. Gerhard Kittel), Vol. III, Grand Rapids, Michigan : Wm.
B. Eerdmans Publishing Co., 1965.
§ Voltz, Carl A., Pastoral Life and Practice in the
early Church, Minneapolis : Augsburg Fortress, 1990.