APA DAN UNTUK APA MANUSIA?
Kita semua ingin
mengetahui tentang diri kita, dalam arti hakekat kita. Sudah merupakah ciri
khasnya, manusia selalu bertanya-tanya
tentang dirinya, pertanyaan mana merupakan pergumulan filsafat dan agama.
Apakah manusia? Bermacam-macam jawaban untuk pertanyaan ini, karena jawabannya
diwarnai oleh cara berpikir dan pandangan masing-masing. Jawaban sederhana mungkin akan kita
katakan bahwa manusia bukan binatang, karena memang kita manusia berbeda dari binatang. Secara umum pula dapat dikatakan bahwa manusia adalah makhluk bermasyarakat, yang
mempunyai adat istiadat, budaya dan agama. Dia sanggup berfikir dan berkreasi
untuk meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan naturalis mengatakan bahwa
manusia adalah campuran dari beberapa unsur materi, daya-daya elektris, dan
unsur-unsur kimiawi lainnya. Tidak ada bedanya dengan sifat dari alam ini.
Unsur-unsur tersebut bercampur untuk menggerakkan hidup manusia. Jadi hidup
ini tidak lain dari proses percampuran
dan akibat-akibat dari proses percampuran itu. Berdasarkan pandangan
tersebut, maka penganut paham komunisme menganggap manusia bagaikan mesin belaka,
yang kalau dibunuh tidak apa-apa, jika tidak dibutuhkan lagi. Tetapi pandangan naturalis ini
berbeda dengan pandangan idealisme, yang
melihat hakekat manusia bukan dari aspek yang nampak, tetapi dari aspek yang
tidak nampak, yakni idea atau roh. Menunut paham idealisme, idea atau roh itulah yang
menentukan hidup manusia, dan yang menjamin kesatuan manusia dengan alam
semesta. Hidup manusia tidak dibatasi oleh maut, karena idea atau roh itu kekal
selama-lamanya. Kita melihat kedua pandangan di atas
berbeda satu sama lain. Yang satu hanya melihat dari segi materinya, dan yang
satu lagi hanya melihat dari segi rohaninya. Tetapi kalau kita ingin mengetahui bagaimana pandangan orang Kristen
tentang manusia, kita perlu memahami apa yang dikatakan dalam berita penciptaan seperti tertulis dalam lembaran permulaan Kitab
Suci yang kita percayai itu. Di sana dijelaskan dengan dalam sekali, di mana
kita dapat mempelajarinya, siapakah kita , dari mana kita datang dan untuk apa
kita adanya. Itu sangat perlu kita
ketahui, karena jika kita tidak tahu sama sekali tentang awal hidup kita, maka
kita tidak akan mengetahui apapun tentang arah dan tujuan hidup ini. Awal dan
akhir hidup kita adalah berkaitan satu sama lain. Menurut Kitab Kejadian, awal manusia
terletak sama sekali di dalam diri Allah sendiri. Selain karena dia
diciptakan oleh Allah, manusia adalah manusia, hanya karena dia
memperoleh nafas kehidupan dari Allah. Dialah makhluk yang tertinggi dan
terluhur dalam skala pekerjaan Penciptaannya. Manusia yang dalam bahasa Ibrani
disebut “adam” adalah hasil keputusan perencanaan Tuhan Allah. “Baiklah Kita
menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita …” ( Kejadian 1: 28). Itulah
keputusan Allah. Manusia adalah gambar dan rupa Allah. Itulah hakekatnya.
Itulah juga ketinggian, kebesaran dan keunikan manusia, yang membedakan dia
dari makhluk-makhluk ciptaan yang lain. Manusia adalah refleksi Tuhan Allah
dalam dunia ciptaan ini, di mana dia terpanggil untuk memelihara dan
menguasainya dengan penuh tanggung-jawab sebagai wakil Allah. Untuk itu manusia dimahkotai oleh Allah dengan kemuliaan dan
hormat (Mazmur 8: 6) dan diisi dengan perbekalan hikmat (Yehez. 28:12). Dia
ditempatkan ke dalam dunia untuk menguasai seluruh makhluk-makhluk. Dia hanya
sedikit lebih rendah dari Allah sendiri ( Mazmur 8), sehingga dia mempunyai kekuasaan
dan hak untuk memelihara segala sesuatu yang ada dalam kawasan pemerintahan
Allah. Karena itu manusia bukanlah seorang
raja yang mempunyai kuasa penuh dari dirinya sendiri, dan bukanlah seorang
diktator dengan kekejaman yang tidak terkontrol terhadap sesamanya dan makhluk ciptaan lainnya. Melainkan dia
diciptakan untuk bersekutu dengan
Penciptanya, bersekutu dengan sesama manusia , bersekutu dengan semua makhluk dan alam
ciptaan Tuhan Allah. Dia bersekutu dan tergantung sama sekali kepada
Tuhan Allah. Persekutuan hidup yang harmonis bersama makhluk lainnya itulah
warna dari eksistensi dan pemerintahannya. Semuanya itu hanya bersumber dari
Allah yang menjadikan adam, laki-laki dan perempuan di dalam gambar dan
teladannya. Selain dari pada itu penulis-penulis
Kitab Suci tempat Allah berbicara kepada kita, bukan hanya memberitahukan
sumber asli dari manusia. Mereka juga
memperingatkan kita akan hal kegampangan manusia itu pecah, karena “debu dan
tanah”, itulah bagian dari unsur-unsur manusia. Jika campuran dari debu dan
tanah yang sangat gampang pecah ini menjadi makhluk hidup, itu hanya terjadi
karena kehadiran nafas Allah di dalamnya. Nafas Allah itulah yang nenciptakan
debu dan tanah itu sehingga menjadi makhluk hidup ( dalam bahasa Batak: tondi
na mangolu, dalam bahasa Ibrani: nefesh hayya). (Terjemahan dalam Bibel bahasa
Batak Toba pada 1 Musa (Kejadian ) 2: 7,
dengan “martondi na mangolu” menurut
kami kurang tepat, tetapi lebih tepat dengan “tondi na mangolu”). Jika nafas hidup (bukan tondi atau roh manusia)
yang merupakan milik Tuhan Allah itu
diambil kembali oleh Allah – dan hanya Dia yang berkuasa melakukan itu - maka manusia kembali menjadi debu dan
tanah, dari mana dia dijadikan. Dalam Kitab Mazmur 90: 3 dikatakan: “Engkau
mengembalikan manusia kepada debu dan berkata: “Kembalilah hai anak-anak
manusia”. Dari keterangan di atas jelaslah
bahwa hidup manusia tergantung kepada Allah. Kalau Penciptanya menjadikan dia
dengan dasar kasih, maksudnya adalah
supaya manusia dapat mengasihi dan melayani Allah dengan mempergunakan
seluruh apa yang telah ada, sedang ada dan akan ada. Itulah jawaban manusia
akan hal penciptaannya. Tidak ada jalan lain baginya selain dari bersekutu dan
bersembah kepada Dia yang menjadikannya dengan keajaiban, melalui Firman yang
telah menjadi daging dalam Yesus Kristus. Itulah ekspressi dari kesegambarannya dengan Allah. Itu juga berarti bahwa sebagai makhluk
ciptaan Allah, semua manusia adalah anak-anak Allah, yang mempunyai harkat yang sama. Karena itu semua manusia adalah bersaudara
yang harus saling mengasihi satu sama lain.
Ini tentu diungkapkan dalam sikap saling menghormati, saling
menghhargai dan saling membantu satu
sama lain. Dengan demikian, merendahkan sesama manusia adalah merendahkan diri
sendiri, dan menghina sesama manusia
adalah menghina diri sendiri. Sikap merendahkan dan menghina sesama manusia adalah kesombongan yang
ingin menempatkan dirinya setara dengan Allah yang menciptakannya. Dalam perkembangannya, manusia
itu kemudian terbentuk dalam
keberagaman, dengan budaya,
adat-istiadat, bahasa, suku, bangsa, warna kulit bahkan agama yang
berbeda-beda. Tetapi perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan, karena itu
merupakan kekayaan yang diberikan oleh Allah.
Dengan keberagaman itu manusia tentu bisa saling melengkapi satu sama lain. Memang sifat manusia yang telah jatuh dalam
dosa, cenderung menganggap dirinya lebih super, lebih tinggi, lebih pintar, dan
lebih benar dari orang lain. Harkat manusia tidak dinilai dari status sosialnya di dunia
ini, dari keberadaannya, dari jabatannya, atau bahkan dari agamanya, tetapi
dari kedekatan hubungannya dengan Allah Penciptanya, dan kedekatan hubungannya
dengan sesama manusia, yang sama-sama
anak-anak Allah. Kedekatan
hubungan dengan Allah tidak cukup hanya dengan
kerajinan melakukan ibadah-ibadah secara ritual menurut aturan dan tradisi agamanya, tetapi
terutama dalam kepatuhan dan kesetiaan menuruti Allah dalam
seluruh aspek kehidupannya, di
mana dia hidup sesuai dengan nilai-nilai, aturan, hukum yang telah ditanamkan dan diajarkan oleh Allah kepadanya
dalam menjalin hubungan kepada sesama manusia dan lingkungannya. Kalau
sudah demikian, maka kehidupan yang harmonis, rukun, damai dan sejahtera akan terwujud. Dalam situasi seperti itulah kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang
akan terwujud. (Pdt MSM Panjaitan)
Pandangan naturalis mengatakan bahwa
manusia adalah campuran dari beberapa unsur materi, daya-daya elektris, dan
unsur-unsur kimiawi lainnya. Tidak ada bedanya dengan sifat dari alam ini.
Unsur-unsur tersebut bercampur untuk menggerakkan hidup manusia. Jadi hidup
ini tidak lain dari proses percampuran
dan akibat-akibat dari proses percampuran itu. Berdasarkan pandangan
tersebut, maka penganut paham komunisme menganggap manusia bagaikan mesin belaka,
yang kalau dibunuh tidak apa-apa, jika tidak dibutuhkan lagi.
Karena itu manusia bukanlah seorang
raja yang mempunyai kuasa penuh dari dirinya sendiri, dan bukanlah seorang
diktator dengan kekejaman yang tidak terkontrol terhadap sesamanya dan makhluk ciptaan lainnya. Melainkan dia
diciptakan untuk bersekutu dengan
Penciptanya, bersekutu dengan sesama manusia , bersekutu dengan semua makhluk dan alam
ciptaan Tuhan Allah. Dia bersekutu dan tergantung sama sekali kepada
Tuhan Allah. Persekutuan hidup yang harmonis bersama makhluk lainnya itulah
warna dari eksistensi dan pemerintahannya. Semuanya itu hanya bersumber dari
Allah yang menjadikan adam, laki-laki dan perempuan di dalam gambar dan
teladannya.
Dalam perkembangannya, manusia
itu kemudian terbentuk dalam
keberagaman, dengan budaya,
adat-istiadat, bahasa, suku, bangsa, warna kulit bahkan agama yang
berbeda-beda. Tetapi perbedaan itu tidak perlu dipertentangkan, karena itu
merupakan kekayaan yang diberikan oleh Allah.
Dengan keberagaman itu manusia tentu bisa saling melengkapi satu sama lain. Memang sifat manusia yang telah jatuh dalam
dosa, cenderung menganggap dirinya lebih super, lebih tinggi, lebih pintar, dan
lebih benar dari orang lain. Harkat manusia tidak dinilai dari status sosialnya di dunia
ini, dari keberadaannya, dari jabatannya, atau bahkan dari agamanya, tetapi
dari kedekatan hubungannya dengan Allah Penciptanya, dan kedekatan hubungannya
dengan sesama manusia, yang sama-sama
anak-anak Allah. Kedekatan
hubungan dengan Allah tidak cukup hanya dengan
kerajinan melakukan ibadah-ibadah secara ritual menurut aturan dan tradisi agamanya, tetapi
terutama dalam kepatuhan dan kesetiaan menuruti Allah dalam
seluruh aspek kehidupannya, di
mana dia hidup sesuai dengan nilai-nilai, aturan, hukum yang telah ditanamkan dan diajarkan oleh Allah kepadanya
dalam menjalin hubungan kepada sesama manusia dan lingkungannya. Kalau
sudah demikian, maka kehidupan yang harmonis, rukun, damai dan sejahtera akan terwujud. Dalam situasi seperti itulah kebahagiaan yang didambakan oleh setiap orang
akan terwujud. (Pdt MSM Panjaitan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar