Senin, 26 Agustus 2019

EKKLESIOLOGI PADA ZAMAN RASULI

Ekklesiologi pada zaman Rasuli
khususnya dalam Surat-surat Paulus dan Kissah para rasul

Oleh : Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th *



Pengantar

                                Ekklesiologi merupakan salah satu pokok teologi yang sangat luas sekali. Kata itu berasal dari kata Junani  “ekklhsia” (ekklesia), yang berarti ‘gereja’, dan “logoV” (logos)  yang berarti “pengetahuan’  atau “studi mengenai”. Jadi ekklesiologi berarti  pengetahuan atau studi mengenai gereja.  Ekklesiologi sebagai suatu pokok teologi, berarti suatu pengkajian mengenai  kehidupan gereja, yang meliputi pemahaman mengenai  hakekat dari gereja itu sendiri, dan juga menyangkut sifat, missi, fungsi, kepemimpinan, jabatan, ordinansi dan tujuan dari gereja itu. Karena  soal ekklesiologi merupakan   pembahasan yang sangat luas, saya hanya membatasi kepada beberapa segi yang saya anggap sangat penting untuk didalami demi memperoleh suatu pemahaman yang benar mengenai gereja itu, sesuai dengan pandangan yang telah diwariskan oleh para rasul,  khususnya rasul Paulus, karena Pauluslah yang memberi  pemahaman yang lebih luas mengenai  apa dan bagaimana gereja itu.

1.       Pemahaman mengenai gereja dalam surat-surat Paulus


Istilah yang dipakai oleh Paulus untuk menyebut gereja adalah   ekklhsia  (ekklesia). Suatu istilah yang sudah dikenal dalam dunia Yunani sebelum kekristenan. Mengenai pemakaian istilah itu dalam dunia Yunani bisa dilihat dari Kitab Perjanjian Baru itu sendiri, seperti dalam Kisah Rasul 19 : 32, 39 dst. Di sana kata  ekklhsia  dipakai dalam pengertian “kumpulan orang banyak atau  sidang rakyat”.  Sudah sejak masa sebelum Plato, kata  “ekklhsia” dipakai  untuk menyebut “sidang rakyat” di kota Athena dan kota-kota Yunani lainnya. Etimologi kata itu sederhana dan mempunyai makna yang berarti. Warga suatu kota disebut  “ekklhtoi”, yakni orang-orang yang dipanggil dan dikumpulkan oleh seorang pembantu raja dari luar. Dari situlah juga timbul pemaham  Kristiani bahwa warga gereja  adalah orang-orang yang telah dipanggil oleh Allah dalam Kristus keluar dari dunia ini.
Pengajaran Paulus mengenai  ekklesia secara eksplisit dijumpai dalam surat-surat Deutero Paulus, terutama dalam surat Kolosse dan Efesus. Suatu ajaran yang khusus mengenai gereja dikaitkan dalam hubungannya kepada Kristus untuk pertama kali dijumpai dalam surat-surat tersebut.  Pada waktu menjelang akhir hidupnya, ketika Paulus dipenjarakan di kota Roma, dia merasa perlu mengajarkan kepada jemaat-jemaat Kristen akan keberadaan Yesus yang sudah ada sejak mulanya, dan yang sekarang duduk disebelah kanan Allah Bapa untuk memimpin Israel yang baru, yakni gereja sebagai tubuh Kristus. Dalam Kolosse 1: 24 misalnya dia mengatakan bahwa ekklhsia  adalah  “swma  kristou”  (soma Kristou  -  tubuh Kristus). Dan pada Kol. 1 : 18 disebut Kristus adalah  “kefalh” (kefale – kepala) dari tubuh itu yakni gereja. Perlu dicatat bahwa dalam Efesus 3 : 21 dan 5 : 32, Kristus dan  ekklesia disebut dalam  hubungan yang sangat erat. Gereja sebagai tubuh Kristus merupakan suatu kiasan yang menggambarkan hubungan Kristus yang sangat erat dengan orang-orang percaya. Dan gagasan mengenai tubuh Kristus ini juga menunjukkan betapa eratnya ikatan yang mempersatukan semua orang percaya. Dalam surat-surat Proto Paulus (Roma dan 1 Korintus), yang dimaksud dengan tubuh Kristus dalam konteks ini adalah jemaat setempat, di mana dijumpai adanya karunia-karunia rohani yang berbeda-beda. Anggota-anggota tubuh yang bermacam-macam diperlukan untuk kepentingan masing-masing anggota supaya tubuh itu dapat berfungsi secara efisien. Di sini terdapat pandangan mengenai jemaat yang bersifat kebersamaan (corporate) yang meniadakan sifat yang individualistis, tetapi memberi kesempatan bagi pemanfaatan kemampuan pribadi.
Penggunaan yang lebih berkembang dari kiasan itu dapat terlihat dalam surat Efesus dan Kolosse. Seperti sudah dikemukakan di atas, bahwa dalam surat-surat tersebut ekklesia disamakan dengan tubuh Kristus. Itu berarti bahwa Kristus sebagai kepala yang mengendalikan jemaat atau gereja. Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan gereja. Dialah yang paling utama dan tertinggi dalam gereja. Penekanan Kristus sebagai kepala gereja juga memperlihatkan kesatuan dari seluruh gereja itu  (Ef. 1 : 23 - 23 ; 4 : 15). Seluruh gereja adalah satu dalam  Kristus. Proses yang menjadikan gereja satu di dalam satu tubuh dikatakan telah dilakukan melalui salib (Ef. 2 : 16),  yang mengatasi permusuhan antara orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi, dan merobohkan tembok pemisah yaitu perseteruan (Ef..2 : 14). Kiasan tentang satu tubuh menjadi tidak sesuai bila terjadi perseteruan antara orang-orang Kristen Yahudi dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi.
Selain sebagai tubuh Kristus, gereja juga dikiaskan sebagai “pengantin perempuan”. Penggunaan kiasan  tentang pengantin perempuan juga telah tercermin dalam pengajaran Jesus, misalnya dalam perumpamaan tentang gadis-gadis (Mat.25 : 1-13),  dan juga dalam perumpamaan tentang Perjamuan Kawin (Mat.22 : 1-14). Kiasan itu diterapkan oleh Paulus terhadap perhimpunan umat Kristen (bdn. Ef.5 : 25). Tetapi di sini pun gereja tidak disebut secara khusus sebagai mempelai perempuan. Hanya disebutkan bahwa hubungan suami dengan istri dipakai sebagai analogi (kiasan) pada hubungan Kristus dengan gerejaNya. Dalam Surat Efesus istilah ekklesia tidak lagi hanya menghunjuk kepada jemaat setempat tetapi telah menghunjuk kepada seluruh gereja  sebagai persekutuan orang-orang percaya, sehingga dengan demikian terlihat bahwa keseluruhan perhimpunan menopang hubungan yang khusus dengan Kristus. Dalam ajaran Perjanjian Baru tentang pernikahan, mempelai perempuan didorong untuk tunduk dan taat kepada suaminya karena hal ini dianggap sebagai pola hubungan gereja dengan Kristus. Kiasan mempelai perempuan di sini juga dihubungkan dengan maksud penebusan Kristus (bd. Ef.5:25). “Mempelai laki-laki” itu bukan hanya Kepala Gereja, tetapi juga Penyelamatnya.
Kiasan yang lain mengenai gereja yang dipakai oleh Paulus ialah gereja sebagai bangunan. Gagasan ini pertama dikembangkan oleh Paulus dalam Surat I Korintus, di mana dia menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah bangunan Allah ( I Kor.3 : 9), dan kemudian Ia menyamakan dirinya sebagai seorang ahli bangunan ( I Kor.3 : 10), yang mendirikan bangunan itu pada dasar yang satu-satunya, yaitu Kristus sendiri. Hal ini membawa Paulus untuk memikirkan gagasan mengenai rumah Allah ( I Kor.3 : 16). Keseluruhan orang-orang percaya pada suatu daerah dipandang sebagai tempat kediaman Allah, yang juga berarti bahwa setiap orang Kristen adalah rumah Allah. Sebagaimana Allah tinggal di tempat yang maha kudus, dengan demikian Roh Kudus tinggal di dalam ekklesia. Kiasan yang sama juga terdapat dalam I Korintus 6 : 19, yang menganggap tubuh masing-masing orang-orang percaya sebagai rumah Allah. Gagasan ini diambil dari gambaran yang diberikan dalam  PL mengenai tempat kediaman Allah di dalam ruang Rumah Allah yang paling dalam.
Lalu dalam surat Efesus, keseluruhan jemaat dipandang sebagai rumah Allah (Ef. 2 : 19-22). Paulus berbicara mengenai “seluruh bangunan” yang dipersatukan bersama-sama sehingga rapi tersusun dan tumbuh “menjadi bait Allah yang kudus ; di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh”. Ada beberapa hal penting yang muncul dari perikop ini. 
Pertama bahwa yang dimaksudkan dengan rumah Allah di situ ialah keseluruhan perhimpunan orang Kristen, karena itu masing-masing bagian dari bangunan itu merupakan jemaat-jemaat atau orang-orang secara pribadi. Masing-masing bagian itu penting selama diikatkan pada keseluruhan. Peranan jemaat-jemaat Kristen masing-masing adalah membentuk bagian yang dapat kelihatan dari keseluruhan jemaat. Penting juga untuk diperhatikan bahwa yang dimaksud dengan ‘bangunan” di situ bukanlah sebuah gedung atau pun suatu organisasi, melainkan tempat kediaman Allah.
Kedua, dikatakan bahwa rumah Allah dibangun di atas “dasar para rasul dan para nabi”, dengan Kristus sebagai batu penjuru. Yang dimaksud dengan ‘dasar para rasul dan para nabi”, adalah pemberitaan yang mereka lakukan yang berpusat kepada Kristus. Dan kalau disebut Kristus sebagai batu penjuru, berarti Kristuslah yang mempersatukan bagian-bagian yang terpisah dan menjadi satu kesatuan.
Ketiga,  ekklesia dipandang sebagai  tempat kediaman Allah  “ di dalam Roh”. Pekerjaan Roh Kudus  memainkan peranan yang penting, seperti terlihat pada perikop-perikop dalam I Korintus 3 dan 6. Bagian-bagian yang terpisah dari bangunan tidak akan pernah menjadi suatu kesatuan tanpa pelayanan Roh Kudus.
Dalam kiasan tentang  bangunan-bangunan  yang digunakan oleh Paulus tidak terdapat kesan bahwa organiasi manusiawi mendapat tempat dalam gagasannya mengenai jemaat. Ada kesamaan yang menonjol antara kiasan ini dengan kiasan tentang tubuh. Kedua kiasan itu mengarah pada kesatuan gereja, tetapi sementara itu tetap mempertahankan sifat-sifat dari masing-masing bagiannya.

2.     Jabatan Gerejawi dan persekutuan Kristen

Jabatan gerejawi yang dilembagakan oleh Tuhan Yesus sebelum kenaikanNya ke sorga ialah jabatan rasul. Jabatan itu diteguhkan oleh Roh Kudus pada hari Pentakosta, sehingga dengan demikian para rasul menjadi kuasa Kristus dalam mendirikan, memelihara dan memperluas gereja. Dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa jabatan itu mencakup kuasa untuk memberitakan Injil, melayani sakramen dan menjalankan disiplin gereja, sesuai dengan kuasa yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-muridNya, yakni untuk memegang kunci  Kerajaan Sorga (bd. Mat.16 : 19). Mereka yang memegang jabatan itu adalah hamba-hamba Allah dan sekaligus hamba-hamba gereja yang dengan roh pengasihan dan keteladanan Kristus akan mengabdikan dirinya untuk melayani Allah dan melayani gereja. Mereka juga disebut sebagai garam dan terang dunia, teman sekerja Allah, juru kunci rahasia Allah dan duta Kristus di dunia ini. Semuanya itu menunjukkan pekerjaan yang mulia, tetapi sekaligus menuntut tanggung-jawab yang besar. Paulus menggambarkan kebesaran dari jabatan rasul itu sebagai suatu “bau kehidupan yang menghidupkan bagi orang-orang percaya, dan bau kematian yang mematikan bagi yang tidak bertobat” ( II Kor. 2 : 16). Ini memang merupakan pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan dari diri sendiri. Kesanggupan dan keberhasilan untuk menunaikan tugas itu berasal dari Allah.
Panggilan internal dan kualifikasi moral untuk jabatan gerejawi datang dari Roh Kudus, tetapi peneguhannya dilakukan oleh gereja. Para rasul telah dipangil secara langsung oleh Yesus Kristus bagi pekerjaan mendirikan gereja. Tetapi gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya terus mengambil bagian secara aktif dalam seluruh peristiwa-peristiwa keagamaan. Karena itu orang-orang  yang telah dipanggil untuk memegang suatu jabatan gerejawi dilakukan untuk fungsi pelayanan mereka melalui tahbisan. Pada mulanya tahbisan itu dilakukan oleh para rasul atau wakil-wakil mereka dengan doa dan peletakan tangan. Penahbisan itu dimaksudkan untuk meneguhkan kuasa dan karunia-karunia rohani yang berasal dari Allah.
Jadi kebesaran dan ketinggian jabatan itu bukan terletak di dalam diri orang-orang yang memegangnya, tetapi terletak di dalam sumbernya yang ilahi.  Jabatan gerejawi tidak membuat orang yang memegangnya lebih tingi dan lebih suci dari warga gereja lainnnya. Para pejabat gerejawi adalah juga orang yang penuh dosa sebagaimana halnya dengan warga gereja lainnya, dan juga tergantung kepada anugerah Allah yang menyelamatkan dirinya. Di pihak lain warga gereja  juga ikut mengambil bagian yang sama dengan pejabat-pejabat gerejawi dalam berkat yang dibawa oleh Injil itu dan juga sama-sama terpanggil kepada persekutuan yang langsung kepada Kristus, kepala dari gereja itu. Missi utama dari gereja adalah untuk memperdamaikan seluruh manusia kepada Allah dan menjadikan mereka menjadi pengikut-pengikut Kristus yang benar. Kitab Perjanjian Baru yang melihat pada prinsip kehidupan yang baru dan panggilan agung akan orang Kristen, menyebut diri orang-orang percaya itu sebagai “persekutuan persaudaraan”, “orang-orang suci”, “bait rohani”, “bangsa yang istimewa”, serta ‘imamat suci dan rohani”. Petrus secara khusus menyebut keimaman itu sebagai bagian dari seluruh orang percaya, sehingga ia menyebut setiap jemaat Kristen sebagai suku Lewi secara rohani, serta umat Allah yang istimewa dan suci bagi Allah  ( I Petrus 2 : 5, 9 ; 5 : 3)
Organisasi gereja yang kelihatan yang sifat temporal menjadi suatu alat dalam pemerintahan Allah, di mana seluruh orang Kristen terpangil menjadi “nabi-nabi, imam-imam dan raja-raja”.

3.     Jabatan-jabatan gerejawi yang pertama

3.1.        Jabatan-jabatan yang bersifat umum

Jabatan gerejawi bermula dengan jabatan apostolat (rasul). Dalam Kitab Injil dan lima pasal yang pertama dari Kitab Kisah Para Rasul, tidak ada pejabat-pejabat gerejawi lain yang disebutkan, selain dari para rasul itu. Tetapi setelah orang-orang percaya makin bertambah jumlahnya, para rasul itu tidak mampu lagi menjalankan seluruh fungsi pelayanan dalam gereja, seperti memberikan pengajaran, memimpin ibadah dan menjalankan disiplin. Karena itu diciptakanlah jabatan-jabatan baru bagi orang-orang yang diikutkan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan dari jemaat itu, sementara para rasul itu kemudian lebih mengkhususkan diri untuk tugas pengawasan umum dan perluasan dari Injil itu. Dengan demikian secara berangsur-angsur timbulkan berbagai jabatan di dalam gereja, baik dalam tingkat umum maupun dalam tingkat jemat setempat. Tetapi semua jabatan itu berakar dalam jabatan apostolat. Yang dimaksud dengan jabatan yang bersifat umum adalah jabatan yang tidak terbatas pada suatu jemaat tertentu tetapi meluas kepada seluruh gereja. Yang tergolong kepada jabatan itu pada jaman rasuli ialah para rasul, nabi-nabi dan evangelis-evangelis. Paulus menyebut ketiganya secara bersama-sama dalam suatu rangkaian (Epes. 4 : 11, I Kor 12 : 28). Jabatan kenabian nampaknya lebih bersifat karunia khusus dan fungsi ketimbang suatu jabatan. Tetapi para rasul itu melayani jemaat secara berpindah-pindah, sehingga ruang lingkup pelayanan mereka tidak terbatas pada satu jemaat saja. Fungsi mereka lebih banyak difokuskan untuk memberi pengajaran dan menjalankan disiplin gereja, serta menerima kembali orang-orang yang telah menyesali dosanya. Suara Allah untuk memberi pengampunan disampaikan melalui para nabi. Dengan otoritas yang demikian luas, tidak mengherankan apabila dalam Perjanjian Baru para nabi nampak memikul peranan yang besar dalam gereja mula-mula. Dalam beberapa kasus, kadang-kadang merekalah juga yang menyatakan siapa yang layak untuk memegang suatu jabatan kepemimpinan bagi jemaat dan mereka juga yang mengambil keputusan tentang suatu pertikaian (Kis. 11 :  28, 13 : 1, 15 : 32).
Sedangkan para evangelis adalah pejabat-pejabat yang mengemban missi khusus untuk menyebarkan Injil itu di bawah bimbingan para rasul. Jabatan evangelis ini bertahan dari waktu ke waktu. Bahkan di kemudian hari Allah juga membangkitkan penginjil-penginjil yang luar biasa yang menyebarkan Injil itu ke berbagai penjuru dunia.
Para rasul yang pada mulanya berjumlah dua belas orang (menurut para ahli ini sesuai dengan jumlah kedua belas suku Israel), tetapi setelah turunnnya Roh Kudus, jumlah ini bertambah lagi, yakni dengan diangkatnya secara khusus oleh Yesus Kristus, Paulus menjadi rasul untuk orang-orang kafir. Tetapi di samping mereka masih ada beberapa orang yang pengaruhnya hampir sama dengan para rasul itu, seperti Barnabas dan Yakobus saudara Yesus. Para rasul itulah yang menjadi utusan-utusan Kristus untuk meneruskan missinya di dunia ini dan manjadi pendiri dan tiang-tiang penyokong gereja. Jabatan mereka bersifat universal, dan tulisan-tulisan mereka sampai sekarang dijadikan sebagai kaidah iman dan perilaku semua umat Kristen. Merekalah pemimpin-pemimpin dari gereja mula-mula . Tetapi mereka tidak pernah menjalankan kuasa kepemimpinan yang mereka peroleh dari Allah  dengan sewenang-wenang. Mereka selalu menghormati hak-hak, kebebasan dan martabat dari setiap insan yang berada di bawah pemeliharaan mereka. Setiap orang Kristen, walaupun itu seorang hamba yang miskin seperti Onesimus, dianggap sebagai saudara yang kekasih dalam Kristus, yang ikut ambil bagian dalam anugerah keselamatan itu. Kepemimpinan mereka dalam gereja didasarkan atas kasih, dan sikap yang rela mengorbankan kepentingan diri sendiri, dengan mengabdi dengan sepenuh hati untuk keselamatan umat Kristen itu.

3.2.        Jabatan-jabatan dalam tingkat jemaat setempat

Pejabat-pejabat gerejawi dalam tingkat jemaat setempat bertugas untuk memikul dan meneruskan pekerjaan yang telah dimulai oleh para rasul dan utusan-utusan mereka. Mereka ada dua macam, yakni jabatan penatua atau penilik dan jabatan diakon atau penolong. Jumlah mereka semakin banyak sejalan dengan perluasan kekristenan itu, sementara jumlah para rasul berkurang karena kematian.
Istilah penatua (presbuteroV -presbyteros) dan penilik (episkopoV - episkopos) di dalam kitab Perjanjian Baru masih menunjukkan jabatan yang sama. Perbedaannya, bahwa istilah penatua dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan istilah penilik (di kemudian disebut uskup) dipinjam dari persekutuan Yunani. Di lingkungan Yahudi, setiap synagoge mempunyai badan penatua yang terdiri dari pemimpin, ahli-ahli taurat dan imam-imam besar (Kis. 4 : 5 – 8 : 23). Mereka berfungsi sebagai badan peradilan dan pemerintahan. Di lingkungan jemaat Kristen untuk pertama kali sebutan penatua muncul di jemaat Yerusalem, yakni pada waktu pengumpulan bantuan bagi orang Kristen Yahudi di Yerusalem yang mengalami kelaparan (Kis. 11 : 30). Para penatua itulah yang menerima bantuan yang dikirin dari jemaat Anthiokia untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan. Beberapa tahun setelah itu, dilaporkan bahwa para penatua itu ikut dalam sidang di Yerusalem sebagai pemimpin-pemimpin jemaat bersama-sama dengan rasul yang dua belas itu (Kis. 15 : 6 dst). Tetapi kemudian istilah penatua juga muncul di jemaat-jemaat yang non- Yahudi, seperti jemaat di Efesus (Kis. 20 : 17 dst). Dan istilah penatua itu selalu muncul dalam bentuk jamak, yang berarti bahwa di dalam sebuah jemaat mereka bertugas sebagai suatu badan atau sebuah majelis.
Seperti sudah disebut di atas, istilah penilik (episkopos) dipinjam dari dunia Yunani. Sebelum memasuki lingkungan gereja, istilah itu sudah dikenal sebagai sebutan untuk pemimpin di lembaga-lembaga kemasyarakatan, seperti pemimpin suatu serikat sosial, kelompok atletik atau pejabat pemerintahan sebuah kota. Di dalam Septuaginta kata episkopos itu sudah dipakai untuk menerjemahkan kata-kata Ibrani yang berarti penilik, pemimpin dan ketua. Dan di Mesir, kata itu sudah lazim dipakai untuk menyebut pejabat dari suatu Bait Suci. Dan seperti jabatan penatua di dalam Kitab Perjanjian Baru, jabatan penilik juga selalu muncul dalam bentuk jamak, yang menunjukkan bahwa mereka juga bekerja dalam satu jemaat sebagai suatu kolega atau badan.
Sampai akhir abad pertama jabatan “penatua – penilik” (presbytero – episkopal) merupakan satu jabatan yang tugasnya untuk mengajar dan memimpin jemaat untuk melaksanakan tuntutan kekristenan . Mereka merupakan gembala dan sekaligus sebagai guru yang menetap. Sebagai pemimpin atau gembala jemaat merekalah yang membina pelaksanaan ibadah, mejalankan disiplin dan tugas pastoral serta mengatur pemakaian harta gereja. Mereka biasanya dipilih dari antara orang-orang yang pertama sekali bertobat dari kalangan warga jemaat itu, bukan dari orang yang baru bertobat (bd. I Tim. 3 : 6), dan diangkat oleh para rasul atau utusan mereka dengan pengesahan jemaat. Mereka ditetapkan ke dalam jabatan itu oleh para rasul atau utusan mereka dengan doa dan penumpangan tangan (Kis. 14 : 23 ; Titus 1 : 5 ; I Tim 5 : 22 ; 4 : 14 ; II Tim. 1 : 6).
Tetapi pada permulaan abad kedua, mulai dari Ignatius, jabatan penatua dan jabatan penilik (uskup) telah dibedakan. Pada waktu itu jabatan uskup (episkopos) mulailah dikenakan kepada pemimpin dari suatu jemaat yang disertai oleh sebuah dewan penatua, dan kemudian menjadi pemimpin dari beberapa jemaat dalam satu wilayah keuskupan. Tetapi uskup yang diangkat menjadi pemimpin itu dipilih dari dewan penatua. Alasan mengapa gelar uskup yang dikenakan kepada pemimpin jemaat itu, bukan jabatan penatua, karena sebelumnya gelar itu telah lazim dipakai untuk menyebut pemimpin finansial dari suatu organisasi masyarakat atau suatu bait suci. Dan pada mulanya uskup sebagai pemimpin suatu jemaat lebih banyak berperan untuk mengawasi seluruh dana-dana gereja, karena pada mulanya gereja lebih banyak menunjukkan fungsi sebagai lembaga sosial yang membantu para janda, yatim piatu, orang-orang asing, jompo, orang lemah dan orang miskin.
Selain dari jabatan penatua atau penilik, jabatan kongregasional yang lain ialah diakon atau diakones. Para diakon atau penolong muncul pertama kali di jemaat Yerusalem dalam jumlah tujuh orang. Penulis kitab Kisah Para Rasul (ps. 6) memperkenalkan jabatan itu lebih dulu ada dari jabatan penatua. Pada mulanya jabatan itu dimaksudkan untuk mengurangi beban yang dipikul oleh para rasul, supaya mereka dapat lebih banyak memusatkan pikiran untuk pekerjaan doa dan pelayanan Firman. Latar belakangnya ialah adanya keluhan orang-orang Kristen Hellenis terhadap orang-orang Kristen Ibrani bahwa janda-janda dari pihak mereka diabaikan dalam pendistribusian makanan (dan mungkin juga uang) setiap hari. Maka dengan mengikuti usul para rasul, jemaat itu mermilih tujuh orang dari antara mereka yang terkenal baik dan penuh Roh dan hikmat. Merekapun dihadapkan kepada rasul-rasul itu untuk ditahbiskan dengan berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka. Contoh yang dilakukan oleh jemaat induk di Yerusalem itu juga diikuti oleh jemaat-jemaat yang lain walaupun tidak terikat kepada jumlah yang tujuh itu.
Menurut pemberitaan kitab Kisah Para Rasul, jabatan diakon merupakan tugas pelayanan di meja pada waktu pesta-pesta kasih setiap hari dan menolong orang-orang yang miskin dan orang-orang yang sakit. Terhadap pekerjaan itu lazim juga diikutkan semacam pemeliharaan jiwa secara pastoral, yang karena kemiskinan dan penyakit memberi peluang yang besar untuk melemahkan iman, sehingga orang-orang miskin dan sakit itu membutuhka penghiburan. Karena itu suatu persyaratan yang diharuskan bagi jabatan diakon ialah iman yang hidup dan keteladanan di tengah-tengah umat Kristen itu. Dua dari antara diakon yang pertama di Yerusalem itu yakni Stephanus dan Filipus juga bekerja sebagai pengkotbah dan evangelis. Pada abad kedua, setelah uskup berfungsi sebagai pemimpin dan gembala suatu jemaat, fungsi diakon nampak lebih banyak membantu uskup dalam penyelenggaraan ibadah dan pelayanan sakramen.
Diakones atau penolong wanita, juga mempunyai tugas yang sama menolong orang-orang miskin dan orang sakit di kalangan kaum wanita. Jabatan itu juga sangat diperlukan pada mulanya,  terutama sebab adanya pemisahan  kelamin yang sangat keras pada waktu itu di tengah-tengah Yunani dan orang-orang Asia. Dan jabatan inilah yang paling cocok bagi wanita pada waktu itu dalam mengikutsertakan mereka untuk pekerjaan pengabdian di tengah-tengah gereja. Paulus menyebut Febe sebagai salah satu diakones di jemaat Kengkrea, pelabuhan Kontintus (Roma 16 : 1). Dan kemungkinan beberapa wanita yang disebut Paulus ikut sebagai teman sekerjanya dalam pekerjaan Tuhan seperti : Priska, Maria, Trifena, Trifosa dan Persis adalah juga melayani sebagai diakones di Roma (Roma 16 : 3, 6, 12). Di gereja Timur jabatan diakones berkelanjutan sampai akhir abad dua belas. Sedang di gereja RK, jabatan diakones telah digantikan oleh perserikatan wanita (Sisterhood) dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan sosial. Sedangkan di banyak gereja Protestan jabatan itu masih tetap dipertahankan sampai sekarang.

4.  Jabatan pelayanan dan penahbisan

                Mengenai bagaimana pengangkatan diri seseorang untuk memikul suatu jabatan pelayanan  tertentu, terlihat adanya corak yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Ada pelayan gereja itu yang ditetapkan melalui penahbisan penumpangan tangan, ada yang sama sekali tidak, melainkan jabatan itu diyakini diterima langsung dari Allah atau dari Yesus Kristus. Kedua belas rasul itu misalnya langusng dipanggil oleh Yesus. Dan rasul-rasul yang lain menyatakan dirinya telah ditetapkan oleh Tuhan yang bangkit itu melalui penampakan kepada mereka. Dalam 1 Kor. 12,28, Paulus menyatakan bahwa Allahlah yang menetapkan “rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar”.  Tetapi di pihak lain kita lihat bahwa jemaat di Antiokhia telah dinasehati oleh Roh Kudus untuk “mengkhususkan Barnabas dan Paulus  untuk tugas yang telah ditentukan bagi mereka” ( Kis. 13,12), dan kemudian para nabi dan pengajar di jemaat itu meletakkan tangan ke atas kedua orang itu disertai dengan puasa dan doa. Tetapi nampaknya peletakan tangan yang dilakukan di sini bukanlah dalam rangka penahbisan mereka sebagai rasul, melainkan hanyalah semacam pemberangkatan mereka menjalankan suruhan Roh Kudus. Dan peletakan tangan yang sudah pernah juga diterima di Damaskus dari Ananias, bukanlah juga sebagai penahbisannya sebagai rasul, melainkan hanya dalam rangka penyembuhan kebutaannya dengan pengharapan supaya dia dipenuhi oleh Roh Kudus  (Kis.9,17). Paulus sendiri selalu mempertahankan bahwa dia dipilih oleh Allah menjadi rasul bukan oleh manusia. Tentu saja dalam hal ini pengalaman pertobatannnya memberi dirinya kepercayaan yang lebih besar dalam pelayanannya  dari peletakan tangan yang dilakukan oleh Ananias atau nabi-nabi dan pengajar-pengajar di Antiokhia.
                Yang pertama kali kita temukan adanya peletakan  tangan dilakukan mengikuti pemilihan yang dilakukan jemaat bagi suatu jabatan pelayanan dalam jemaat adalah bagi ketujuh orang pelayan orang miskin yang telah disebut di atas. Di sini fungsi peletakan tangan nampaknya telah menjadi suatu cara pensahan dan pengakuan dari ke dua belas rasul itu atas pemilihan yang dilakukan jemat bagi mereka. Mengenai pemilihan dan pengangkatan pelayan-pelayan yang beraneka ragam yang dijumpai di jemaat-jemaat yang didirikan Paulus tidak kita ketahui. Hanya disebutkan bahwa mereka mempunyai karunia-karunia khusus, seperti membuat mujizat, memimpin dan menyembuhkan. Tidak disebutkan apakah  ada semacam pelantikan khusus bagi mereka dalam memasuki jabatan  itu. Pada suatu kesempatan yang lain Paulus dan Barnabas diberitakan menetapkan penatua-penatua (Kis. 14,21-23) dan melantik mereka kepada jabatan itu hanya dengan doa dan puasa.
                Dalam surat-surat Pastoral, peletakan tangan telah dihubungkan dengan penganugerahan suatu kharisma yang perlu untuk pelaksanaan jabatan seseorang. “Janganlah lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan penumpangan tangan sidang penatua” ( I Tim.4,14).  “ …Kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” ( II Tim.1,6). Timoteus juga diingatkan supaya ‘jangan terburu-buru menumpangkan tangan atas seseorang” ( I Tim. 5,22). Suatu pertanyaan mengenai perbuatan ini ialah apakah ada penyaluran kharisma dari Allah secara langsung atau melalui yang menahbiskan, atau apakah perbuatan itu hanya merupakan suatu pemberian jabatan (yakni pelantikan dari seseorang pemimpin). Namun jawaban atas pertanyaan ini tidak jelas kita peroleh.
                PB juga tidak memberikan kepada kita suatu gambaran yang jelas atau yang sama mengenai pemilihan pimpinan-pimpinan gereja, walaupun “pengangkatan” yang dilakukan Paulus atau beberapa penatua dapat juga diterjemahkan dalam arti  “menseleksi dengan pemilihan”. Di beberapa jemaat, Paulus dan Barnabas mengangkat pemimpin-pemimpin yang demikian,  sedang di jemaat-jemaat yang lain mereka tidak melakukan seperti itu. Karena itu penumpangan tidak bersifat menyeluruh (universal), dan perbuatan itu tidak dibatasi hanya kepada pelantikan jabatan gerejawi. Dan nampaknya penumpangan tangan itu tidak hanya dilakukan oleh para rasul, tetapi juga oleh para penatua atau nabi-nabi dan pengajar-pengajar.
                Praktek peletakan tangan dalam penahbisan kepada suatu jabatan adalah mengikuti kebiasaan Jahudi. Musa meletakkan tangan atas Josua ketika mengangkat dirinya sebagai gantinya (Ul. 34: 9). Hasilnya, Yosua dipenuhi dengan roh kebijaksanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan jabatan itu. Mengikuti kebiasaan ini, para Rabbi Yahudi telah mengembangkan praktek ordinasi mereka sendiri. Apabila seorang telah menyelesaikan pelajaran yang diharapkan dari padanya, maka dia ditahbiskan oleh gurunya. Ini dilakukan di hadapan para saksi dengan maksud untuk “menyatakan bahwa “rantai tradisi yang menjangkau ke belakang hingga Musa akan diperpanjang lagi dengan penambahan rantai yang lain, pemberian hikmat yang ditanamkan kepada ahli yang berhak untuk itu oleh gurunya”. Praktek penahbisan seperti ini hanya dapat dilakukan di Palestina dan tidak dapat diulangi.
Praktek yang lain sehubungan dengan peletakan tangan ini dapat kita lihat lagi dalam rangka penyembuhan orang sakit yang dilakukan Yesus. Ceritera seperti itu banyak kita jumpai dalam kitab Injil, tetapi dapat kita ringkaskan dengan pernyataan yang dibuat Lukas : “…semua orang membawa kepadaNya orang-orang sakitnya yang menderita bermacam-macam penyakit. Iapun meletakkan tanganNya atas mereka masing-masing dan menyembuhkan mereka” (Lukas 4 : 40). Pelayanan penyembuhan dengan peletakan tangan ini juga diteruskan para rasul. Apakah perbuatan seperti ini dihubungakan dengan perbuatan magic? Tentu sama sekali tidak. Salah satu bukti bahwa peletakan tangan itu tidak disalahgunakan sebagai magic adalah Kis. 8 : 18, dimana Petrus menolak permintaan Simon, ahli sihir di Samaria itu, agar kepadanya diberikan karunia yang ada pada diri Petrus itu dengan imbalan uang. Selain itu kita juga bisa melihat bahwa kuasa penyembuhan Yesus tidak terikat kepada cara seperti itu. Kuasa FirmanNya juga dapat beroperasi walaupun dari jauh (Mat. 8 : 8,13 ; Luk. 7 : 7 ; Joh. 4 : 50,52). Tangan juga diletakkkan pada waktu pemberkatan (misalnya anak-anak pada Mark. 10 : 53 dan juga di dalam rangka baptisan (Kis.8 : 17 ; 19 : 6). Dengan peletakan tangan itu, Roh Kudus diberikan kepada mereka yang dibaptis. Berdasarkan pemahaman inilah peletakan tangan juga diperlukan dalam penahbisan pelayan gereja. Dengan demikian gereja juga meminjam kebiasaan itu dari praktek-praktek Rabbinis, dan para Rabbi pada Bil. 27 : 15-23.
Tetapi baik dalam praktek Yahudi maupun dalam praktek Kristen, ritus seperti itu hanya dilakukan bagi orang-orang yang telah menunjukkan dirinya mampu untuk kepemimpinan. Tetapi perbedaannya dengan praktek Yahudi, dalam praktek Kristen peletakan tangan juga dimengerti sebagai pemberian karunia Roh dan biasanya orang-orang yang ditahbiskan dengan peletakan tangan tersebut harus memenuhi prasyarat tertentu. Karena danya prasyarat yang harus dipenuhi seseorang, maka Timotius diperingatkan supaya jangan tergesa-gesa meletakkan tangan kepada seseorang untuk menerima jabatan gerejawi. Prasyarat itu telah didaftarkan dalam I Tim.3. Selain itu ketujuh orang pelayan yang disebut pada Kis.6 : 1-6 haruslah orang-orang “yang terkenal baik dan penuh Roh dan Hikmat”. Dengan demikian penahbisan jabatan gerejawi adalah semacam pengakuan dari gereja atas karunia-karunia yang telah dimiliki oleh si calon, dan sekaligus juga sebagai pemberian karunia yang baru. Agar prasyarat yang diberikan itu terpenuhi, maka pada gereja zaman PB diadakan pemilihan bagi setiap calon yang akan ditahbiskan untuk melahirkan suatu jabatan gerejawi. Dan di kemudian hari prasyarat-prasyarat yang diharapkan itu ditetapkan dalam bentuk peraturan, agar ada dasar bagi setiap orang yang akan ditahbiskan untuk satu jabatan gerejawi. Dan dalam perkembangan zaman selanjutnya penyeleksian atas diri seseorang apakah sudah layak untuk memikul suatu jabatan tertentu tidak cukup lagi hanya melalui pemilihan jemaat setempat tetapi juga sudah diharuskan melalui latihan-latihan atau pendidikan khusus seperti yang dilakukan oleh gereja-gereja sekarang ini.

5.     Disiplin Gereja

Salah satu fungsi kepemimpinan gereja mula-mula ialah memelihara kesucian gereja, dengan menjalankan disiplin yang ketat. Kesucian adalah salah satu sifat dari Gereja Kristus, di samping sifatnya yang lain yakni kesatuan dan keuniversalan. Tetapi sifat kesucian itu tidak pernah secara sempurna diwujudkan di dalam diri anggotanya di dunia ini. Gereja yang berjuang di dunia ini sebagai satu tubuh harus melalui suatu proses penyucian yang panjang yang belum dapat disempurnakan di dunia ini sampai kedatangan Kristus yang kedua kali. Para rasul itu juga mengakui bahwa diri mereka sendiri masih diliputi oleh banyak kelemahan, yang senantiasa masih membutuhkan pengampunan dan penyucian. Karena itu kesucian moral yang sempurna belum dapat diharapakan dalam gereja mereka. Namun seluruh Surat-surat dalam Kitab Perjanjian Baru berisi nasehat-nasehat untuk meningkatkan  kebajikan dan kesalehan orang-orang Kristen itu dan juga berisi peringatan-peringatan melawan ketidaksetiaan dan kemurtadan serta teguran atas perlakuan yang merusak persekutuan orang-orang percaya itu. Ragi yang lama dari ke Yahudian dan kekafiran tidak dapat dibersihkan dengan cepat. Di tengah-tengah jemaat Galatia misalnya banyak orang yang merasa kembali lagi kepada perhambaan hukum Taurat Yahudi. Di gereja Korintus, Paulus harus mengecam roh perpecahan yang bersifat jasmani, kompetisi yang tidak sehat untuk mencari hikmat, kecenderungan hidup yang tidak suci, serta perlakuan-perlakuan yang keji dalam Perjamuan Kudus dan Perjamuan Kasih yang diselengggrakan oleh gereja itu. Menurut surat-surat Paulus dan Kitab Wahyu, masih banyak jemaat-jemaat di Asia Kecil yang ditulari oleh ajaran-ajaran sesat dan perlakuan-perlakuan yang keji, sehingga mereka masih memerlukan peringatan-peringatan dan teguran-teguran yang keras dari para rasul.
Keadaan itu menunjukkan betapa disiplin itu sangat dibutuhkan, baik bagi gereja itu sebagai persekutuan maupun bagi orang-orang Kristen perorangan yang melakukan kesalahan. Bagi gereja disiplin itu merupakan proses penyucian dan tuntutan hidup suci dan moral yang baik yang secara hakiki menjadi miliknya. Bagi orang perorangan yang bersalah, disiplin itu merupakan hukuman dan jalan yang membimbing kepada pertobatan dan pembaharuan. Tujuan akhir dari disipilin gereja itu adalah keselamatan orang Kristen itu sendiri. Paulus menyebut bentuk yang keras dari disiplin itu yakni penyerahan orang yang berbuat dosa itu kepada Iblis, sehingga dengan demikian tubuhnya dibinasakan, tetapi rohnya dapat diselamatkan pada hari Tuhan (I Kor. 5 : 5 ; bd. Mat. 18 : 15 – 18 ; Titus 3 : 10).
Pelaksanaan dari disiplin gereja itu bertingkat-tingkat, mulai dari bentuk teguran secara pribadi, kemudian teguran umum melalui jemaat. Tetapi jika upaya itu ternyata tidak berhasil, maka diadakan pengucilan, dimana yang bersangkutan dikeluarkan dari persekutusn gereja. Tetapi tindakan disiplin itu dilakukan atas nama seluruh jemaat dalam nama Kristus, bukan merupakan tindakan pribadi dari pejabat gereja itu sendiri. Setelah menunjukkan pertobatan yang sunguh-sungguh orang yang telah dikucilkan itu dapat dipulihkan kembali ke dalam persekutuan gereja.
Dua kasus disiplin yang keras pada gereja jaman rasuli ialah pertama hukuman kematian yang sangat mengejutkan atas diri pasangan Ananias dan Safira, yang menurut Petrus hal itu terjadi karena dusta dan kemunafikan mereka di jemaat Yerusalem (Kis. 5 : 1 – 5), dan kedua pengucilan atas warga jemaat Korintus yang melakukan penyembahan berhala dan pezinahan (I Kor. 5 : 1 dst). Tetapi kasus yang disebut terakhir  ini masih bisa dipulihkan kembali.

6.     Sidang di Yerusalem

Suatu gambaran melengkapi gereja pada jaman rasuli sebagai suatu organisasi ialah sidang yang dilangsungkan di Yerusalem. Sidang itu dimaksudkan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat di antara orang-orang kristen pada waktu itu mengenai pemberlakuan hukum Musa, khususnya sunat, kepada orang-orang Kristen yang berasal dari non-Yahudi. Orang-orang Kristen asal Yahudi khususnya yang berasal dari golongan Farisi menuntut supaya orang-orang Kristen asal non-Yahudi harus disunat dan diwajibkan menuruti hukum Musa. Mereka berpendapat jika mereka tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan Musa, mereka tidak diselamatkan. Tetapi Paulus dan Barnabas menentang dengan keras pendapat itu. Jadi untuk menyelesaikan persoalan yang bisa menjurus kepada perpecahan, diadakanlah sidang di Yerusalem.
Sidang itu bukan hanya diikuti oleh para rasul saja, tetapi juga oleh penatua-penatua dan warga jemaat di Yerusalem. Yakobus yang bukan salah seorang dari rasul yang dua belas itu, dan yang memimpin jemaat setempat, mengusulkan kompromi yang bisa diterima bersama. Pembicaraan bersifat terbuka di hadapan jemaat dan warga jemaat (awam) juga ikut mengambil bagian dalam pertimbangan yang dilakukan. Di dalam sidang itu ada pembicaraan yang keras tetapi pada akhirnya roh kasih dan roh perdamaianlah yang menang atas rasa harga diri yang mau mempertahankan pandangannya. Para rasul berjalan dan menyusun keputusan bersama penatua dan jemaat itu. Dan mereka mengirim surat keliling yang bersifat pengembalaan bukan hanya atas nama mereka sendiri, tetapi atas nama seluruh sidang gereja itu.
Semuanya itu memperlihatkan dengan jelas adanya warga gereja untuk ikut mengambil bagian dalam hal yang menyangkut pemerintahan gereja sebagaimana halnya juga mereka lakukan dalam perbuatan-perbuatan ibadah. Jiwa dan perbuatan para rasul itu telah menyokong  suatu bentuk pemerintahan yang mandiri, kerjasama yang serasi dan persaudaraan yang erat dari seluruh unsur yang berbeda dalam gereja. Situasi itu memperlihatkan tidak ada perbedaan yang abstrak antara pejabat gereja dan awam. Semua orang percaya terpanggil kepada jabatan yang bersifat kenabian, keimaman dan yang rajani di dalam Kristus. Karena itu para pemegang kuasa dan disiplin dalam gereja harus senantiasa mengingat bawa pekerjaan mereka yang utama adalah untuk membimbing mereka yang dipimpin itu kepada kebebasan dan keselamatan. Dan dengan jabatan-jabatan rohani yang bermacam-macam itu, mereka terpanggil untuk membangun umat Kristen kepada kesatuan iman dan pengetahuan dan kepada kedewasaan iman dalam Kristus. Itulah bentuk pemerintahan yang bersifat rasuli. Tetapi di kemudian hari gereja-gereja Yunani dan Romawi secara lambat laun telah terlepas dari bentuk pemerintahan yang rasuli, sehingga gereja itu bukan hanya meniadakan partisipasi awam dalam sidang-sidang atau konsili-konsili gereja, tetapi juga meniadakan pelayan-pelayan gereja yang dianggap lebih rendah.
Sidang di Yerusalem, walaupun bukan suatu patokan yang mengikat, adalah suatu contoh yang sangat berarti, yang memberikan dukungan rasuli terhadap bentuk pemerintahan gereja yang sinodal, di mana seluruh unsur dalam persekutuan Kristen itu diikutkan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan umum dan juga menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan iman dan disipilin gereja. Keputusan yang diambil dan Surat Pengembalaan yang dikirim merupakan hal yang pertama sekali dalam garis keputusan dan peraturan yang panjang yang dikeluarkan melalui otoritas kegerejaan.
Tetapi keputusan itu, walaupun diyakini di bawah bimbingan Roh Kudus adalah merupakan kebijaksanaan yang sifatnya temporer untuk keadaan darurat yang juga temporer sifatnya. Keputusan itu tidak dapat dijadikan sebagai patokan yang permanen yang berlaku sepanjang jaman. Makna yang terpenting dari sidang di Yerusalem itu bukan keputusan yang dihasilkan, melainkan roh persaudaraan dan kerukunan yang menguasai sidang itu sehingga sidang itu dapat menghasilkan keputusan yang dapat diterima bersama.

7.  Kesimpulan

Dari uraian di atas nampak bahwa gereja pada hakekatnya adalah sebagai tubuh Kristus. Namun dalam menjalankan missinya di tengah-tengah dunia ini gereja juga dibina sebagai satu organisasi. Dan organisasi itu dimaksudkan untuk mendukung dan melindungi dirinya dalam menjalankan tugas panggilannya, bukan merintangi perjalanan gereja itu.
Posisi kepemimpinan gereja pada mulanya dipusatkan kepada jabatan rasul. Dan Yesus telah mempersiapkan para rasul itu menjadi pemimpin gereja di dunia ini. Untuk itu kepada mereka telah diberikan kuasa oleh Yesus. Namun kekuasaan itu tidak dimaksudkan untuk meninggikan diri mereka jauh di atas warga gereja itu sendiri, dan membuat mereka bisa bertindak dengan sewenang-wenang. Kuasa itu diberikan hanya untuk memampukan mereka untuk dapat membawa dan memimpin umat manusia kepada Kristus. Sedangkan dasar mereka untuk melakukan pekerjaan itu adalah kasih dan pengabdian diri.
Dalam perkembangan selanjutnya dari gereja, para rasul tidak bekerja sendiri. Sejalan dengan pertumbuhan jemaat itu, bertumbuh juga bermacam-macam jabatan dalam gereja, seperti nabi, evangelis, pengajar, diakon, penatua dan penilik atau uskup. Semuanya itu juga berfungsi dalam menjalankan kepemimpinan dan pelayanan. Tetapi semuanya itu tidak bisa bertindak secara sendiri-sendiri, melainkan harus di dalam kebersamaan. Dan jika ada persoalan itu tidak bisa diselesaikan secara sendiri-sendiri, tetapi harus secara bersama-sama melalui suatu sidang atau rapat bersama.

·         Penulis adalah mantan Dosen STT-HKBP
Bidang Sejarah  Gereja             

Buku Bacaan
§  Boer, Harry R, A Short History of the early Church, Grand Rapids, Michigan : William B. Eerdmans Publishing Company, 1990.

§  Foster, John, The First Advance, Church history I, AD 29 – 500, London : SPCK, 1985.

§  Guthril, Donald, Teologi Perjanjian Baru 3, Jakarta : BPK G. Mulia, 1993.

§  Panjaitan, MSM, Kepemimpinan dan organisasi Gereja pada Zaman Rasuli, dalam VOCATIO DEI, Jurnal Pemikiran Teologis STT-HKBP, Edisi 42, Nop. 1996.

§  Schaft, Philip, History of the Christian Church, Volume I, Michigan : Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1910.

§  Schmidt, K.L., “ekklhsia”, dalam Theological Dictionary of the New testament, (Ed. Gerhard Kittel), Vol. III, Grand Rapids, Michigan : Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1965.

§  Voltz, Carl A., Pastoral Life and Practice in the early Church, Minneapolis : Augsburg Fortress, 1990.   



Tidak ada komentar:

Posting Komentar