MENAPAKI PERJALANAN HIDUP DAN PENGABDIAN DR.IL.NOMMENSEN
DI TANAH BATAK
Oleh: Pdt. M.S.M.Panjaitan,
MTH*
Pendahuluan
Pada
tanggal 5-8 April tahun 2007 Pemerintah
Daerah Propinsi Sumatera Utara menyelenggarakan
Napak Tilas Perjalanan Dr.I.L.Nommensen di Tanah Batak, dengn melibatkan sembilan kabupaten/ kota di
propinsi ini. Kepaniitiaannya dipercayakan
kepada St.Drs.Monang Sitorus,
SH,MBA, Bupati Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) sebagai Ketua Umum.
Napak Tilas yang diselenggarakan dalam rangka perayaan Hari Paskah Umat
Kristiani tahun 2007, dimaksudkan untuk mengenang pelayanan I.L.Nommensen di Tanah Batak, yang melalui
penginjilan yang dilakukan telah berhasil membebaskan masyarakat suku Batak
dari kuasa “hasiplebegeuon” (penyembahan kepada roh-roh nenek moyang) dan
keterbelakangan dalam berbagai kehidupan. Rute perjalanan mulai dari Balige,
Dolok Sanggul, Pakkat, Tukka, Sihorbo, Barus, Sibolga, Padangsidempuan,
Parauorat, Bungabondar, Sipirok, Tarutung dan acara puncaknya di Sigumpar Minggu
tanggal 8 April 2007. Tema Napak Tilas
Perjalanan Nommensen ini yang ditetapkan
rapat panitia tanggal 13 Pebruari
2007 di Kantor Bupati Tobasa berbunyi: “Ingatlah
akan pemimpin-pemimpin kamu, yang menyampaikan
firman Allah kepada kamu”, yang
diambil dari Surat Ibrani 13:7. Dengan
tema itu itu diharapkan bahwa dalam
upaya membina kehidupan spritual
mayarakat Indonesia khususnya
masyarakat Batak yang secara langsung telah menikmati karya-karya
penginjilan yang dilakukan oleh I.l.Nommensen , jiwa dan semangat
pengabdian I.L.Nommensen dapat dilestarikan kembali. Salah satu usaha untuk mewujudkan itu yang
dipikirkan oleh Pemerintah Sumatera Utara ialah dengan mengembangkan wisata
rohani, supaya tempat-tempat bersejarah
yang pernah dilalui dan ditempati oleh I.L.Nonmensen semakin banyak dikunjungi oleh masyarakat
yang menghargai nilai-nilai sejarah itu, baik dari tingkat domestik maupun tingkat internasinal.
Memang hasil missi yang dijalankan oleh Nommensen di
tengahtengah masyarakat Batak sangat luar biasa. Sebenarnya bukan hanya dia
satutunya penginjil yang pernah bekerja di Tanah Batak, dan bukan pula dia yang
memulai pekerjaan itu . Dia adalah salah satu dari ratusan penginjil yang
pernah diutus oleh Zending Barmen (Rheinische Missionsgesellschaft -RMG) dari
Jerman . RMG sendiri sudah mulai bekerja di Tanah Batak tanggal 7 Oktober 1861,
tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari
jadi HKBP. Dan sebelum itu sudah ada berbagai usaha penginjilan mencoba
melalukan penginjilan, seperti dari
Inggris, dari Amerika dan dari Belanda. Bahkan sebelum RMG bekerja di Tanah
Batak sudah ada dua orang Batak yang
berhasil dibaptis, yang tercatat sebagai orang Batak pertama menjadi
Kristen yakni Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, yang dibaptis oleh Van
Asselt utusan Zending Ermele dari Belanda,
31 MARET 1861. Van Asselt sendiri bersama temanya Betz dari Ermelo ikut
bergabung dengan RMG. Sedangkan Nommensen baru mulai bekerja di Tanah
Batak bulan Mei 1862. Tetapi dialah yang
paling berhasil melakukan pekerjaan itu dan paling lama mengabdikan dirinya di
tengah-tengah masyarakat Batak yakni sampai akhir hidupnya tahun 1918, sehingga namanyalah yang paling banyak
dikenal, dan dikemudian dia mendapat
gelar sebagai ‘apostel ni halak Batak” (rasul orang Batak). Dia bukan hanya berhasil membebaskan
masyarakat Batak dari kuasa kegelapan, tetepi
membawa kemajuan dalam berbagaia segi kehidupan terutama dalam bidang pendidikan, social budaya dan
social ekonomi. Lagi pula hasil
pekerjaaannya itu bukan hanya dinikmati oleh masyarakat Batak yang Kristen
tetapi juga masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Banyak orang-orang Kristen
Batak yang memperoleh pendidikan melalui usaha-usaha pendidikan yang
digiatkannya telah menjadi berkat bagi
bangsa Indonesia dilingkungan di mana
mereka hidup dan bekerja.
Memang nama Nommensen
tidak asing lagi bagi masyarakat Batak
khususya yang beragama Kristen. Tetapi
siapa dia sebenarnya dan apa saja yang
dilakukan tentu tidak semua yang
mengetahui. I.L.Nommensen lahir 6 Pebruari 1934 di pulau Noordstrand, sebuah
pulau kecil yang terletak di Laut Utara perbatasan Jerman dan Denmark. Orang
tuanya sangat miskin sekali, sehingga pada masa anak-anak dia sudah terbiasa
hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Tetapi keadan ini telah membimbing
hidupnya kepada jalan Tuhan dan mempersiapkan dia untuk melakukan suatu tugas
mulia yang akan diterima kelak. Karena kesulitan ekonomi yang sering dialami
oleh keluarganya, pada masa anak-anak dia sudah ikut membantu meringankan beban orangtuanya, misalnya
dengan mencari upahana mengembalakan domba-domba orang-orang sekampungnya. Atau
membajak sawah dan lading orang lain
Pekerjaannya itu dilakukan dengan penuh tanggung-jawab sehingga dia
sangat disukai oleh orang-orang sekampungnya itu.Pada umur 12 tahun dia
mengalami kecelakaan . Dua ditabrak oleh kreta kuda, yang membuat kedua kakinya
luka berat dan bahkan menjadi lumpuh. Dengan bantuan familinya dia diusahakan berobat, tetapi
tidak juga sembuh-sembuh. Akhirnya dokter menyarankan supaya kakinya itu
dipotong demi menghgindarkan akibat yang lebih buruk baginya. Mendengar itu Nommensen sangat sedih, tetapi
karena dia seorang yang sudah rajin membaca Injil, maka pada waktu itu dia
membaca Yohannes 16: 23-24, yang
mengatakan: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta
kepada Bapa, akan diberikan kepadamu dalam namaKu. Sampai sekarang kamu belum
meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya
penuhlah sukacitamu”. Ayat-ayat ini
benar-benar memberi penghiburan dan harapan bagi dirinya sehingga dia berdoa
dengan sepenuh hati kepada Allah sambil berjanji apabila kakinya bisa disembuhkan, dia akan bersedia menjadi
pekabar Injil ke tengah-tengah bangsa yang masih kafir. Doanya itu dikabulkan
oleh Tuhan, sehingga setelah dia sudah dewasa dia menepati janjinya itu,
walaupun untuk itu dia harus banyak melalui susah payah dan penderitaan.
Setelah penyakitnya sembuh, sebelum dia bias mewujudkan janjinya itu dia telah
mengerjakan bermacam pekerjaan, seperti menjadi buruh pembuat jalan kreta api,
buruh membuat tembok penahan ombak di tepi pantai pulau kediamannya, dan
terakhir men jadi guru penolong yang ditunjukkan oleh bekas gurunya yang sangat
mengasihinya. Ketika itu lah juga Tuhan membuka jalan bagi untuk
mewujudkan keinginannya untuk menjadi
penginjil kepada bangsa yang masih dalam
kegelapan. Dia mengungkapkan keinginan dan janjinya itu kepada pendeta Haustedt
kepada sekolah tempatnya bekerja, dan pendeta ini sangat tertarik dengan
ungkapan isi hati dari Nommensen itu, sehinga pendeta itu menyuruh dia
menjumpai Ephorus (Pengawas Sekolah) yang bernama Versmann agar dia
direkommendasikan mengikuti pendidikan penginjil di pusat pendidikan penginjil
RMG di Barmen, Jerman. Berdasarkan
rekomendasi dari Eforus Versmann itu maka inspektur Walman yang memiminpin
lembaga penginjilan itu pada waktu itu
menerima dia menerima pendidikan dari beberepa guru yang bertugas di sana
sambil juga bekerja sebagai guru penolong di sebuah sekolah di kota itu. Tidak
lama kemudian inspektur Walman digantikan oleh Dr.Fabri, yang dengan
sungguh-sungguh mngusahakan pendidikan yang lebih intensif di lembaga itu. Pada
waktu itulah Nommensen dengan penuh waktu mengikuti pendiidkan tersebut dan
dalam waktu empat tahun diselesaikan dengan hasil yang sangat baik, lalu awal Oktober 1861 dia bersama bersama beberapa orang temannya “ditahbiskan”
menjadi Penginjil (Missionar) yang mempunyai fungsi sama seperti seorang
Pndeta, Dia ditetapkan oleh Dr.Fabri untuk menjadi penginjil ke Tanah Batak
bergabung dengan penginjil-penginjil yang sudah diutus lebih dulu ke sana..
Segera setelah itu, 24 Desember 1861, dia meninggalkan Eropa menuju Sumatera, Indonesia, dengan menumpang kapal
milik Belanda. Mereka tiba di pelabuhan Padang, Sumatera Barat pada 14 Mei
1862, sehingga pelayaran mereka memakan waktu 142 hari lamanya. Selama
perjalanan yang memakan waktu hampir lima bulan itu kapal yang ditompangi
sering mengalami ancaman bahaya berupa
ombak yang besar, angin ribut yang kuat yang kadang-kadang
mengombang-ambingkan kapal itu. Tetapi semuanya itu makin memperteguh iman
Nommensen akan penyertaan Tuhan dan memperteguh janjinya kepada Tuhan. Kesempatan itu juga dipakai membimbing para
awak kapal yang dilihatnya sering tidak memperdulikan Tuhan dengan moral yang
buruk dan kurang sopan santun untuk
mengenal Tuhan ..
Keinginan I.L.Nommensen ialah
mengabarkan Injil di kalangan masyarakat Batak yang masih “palbegu” di Tapanuli
bagian Utara.. Tetapi karena izin untuk memasuki daerah Tapanuli Utara tidak
diperoleh dari pemerintah Belanda, maka dia meneruskan perjalanannya sampai ke
Barus Tapanuli Tengah, setelah singgah sebentar di Sibolga menemui Van
Asselt yang telah menunggu tunangannya
Nona Dina Malga yang dating dari negeri Belanda satu kapal dengan Nommensen
agar melangsungkan pernikahan dengan Van Asselt.. Nommensen tiba di Barus tanggal
25 Junii, dan di sanalah dia berdiam hampir enam bulan lamanya. Barus adalah
sebuah kota pelabuhan yang sudah sejak dulu ramai dikunjungi oleh para pedagang
dari luar negeri untuk membeli kapur
Barus dan kemenyaan yang sangat banyak dihasilkan di daerah itu. Karena penduduk Barus pada waktu itu
kebanyakan orang pesisir dan suku Jawa yang sudah beragama Islam maka dia
melihat kesempatan untuk mengabarkan Injil
di tempat itu sudah sangat sedikit. Namun selama dia berada di sana dia
mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Batak untuk memperdalam apa yang sudah dipelajari
sebelumnya baik selama di Jerman maupun selama dalam perjalan di kapal. Pada mulanya penduduk setempat agak takut
bergaul dengan diriunya karena dia seorang kulit putih, tetapi setelah
melihat kebaikan dan keramahannya, yang suka menolong dan mengobati orang sakit
menebus orang-orang yang telah dijadikan “hatoban”(budak) karena hutangnya dan
mengajari mereka beberapa pengetahuan
yang menarik, maka dia semakin disukai oleh
masyarakat setempat. Dia juga terus bersahabat
dengan raja-raja setempat, sehingga namanya terus terkenal di sekitar daerah itu. Mendengar apa yang
telah dilakukan di Barus, maka raja-raja
di kampung-kampung sekitar daerah itu pun, seperti Tukka dan Rambe engundang dia untuk dating mengunjungi
mereka. Dengan tulus dia memenuhi undangan itu tanggal 25 Oktober 1862 ditemani
oleh raja dan sahabat-sahabatnya dari Barus, bahkan membawa oleh-oleh seperti tembakau dan kain sarung untuk
menggembirakan hati mereka. Dia juga
membawa obat bagi seorang raja di
sekitar tempat itu yang didengarnya sedang sakit. Di setiap kampung yang
dikunjungi dia disambut oleh raja dan penduduk kampung setempat dengan baik,
dan meminta dia untuk tinggal lebih lama di sana. Melihat sambutan-sambutan
yang begitu baik, keinginannya untuk
mengabarkan Injil di tengah-tengah mereka menjadi timbul. Untuk itu dia meminta
kepada residen pemerintah Belanda di Sibolga, agar dia diizinkan untuk
mendirikan rumah di Rambe. Tetapi
keinginan Nommensen itu tidak dikabulkan oleh residen, karena hal itu
dilihat bisa mengganggu rencana Belanda
untuk menguasai daerah-daerah pedalaman yang belum menjadi daeerah kekuasaan Belanda pada waktu
itu. Karena itu Nommensen pun disuruh untuk meninggalkan Barus. Dia pun
meninggalkan Barus tanggal 30 Nopember
1862 naik perahu ke Sibolga dan dari sana seterusnya dia memutuskan untuk pergi ke Sipirok, bergabung
dengan beberapa penginjil RMG yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Dalam
perjalanan menuju Sipirok melalui hutan
dan jalan yang sangat sulit serta membahayakan, dia lebih dulu
mengunjungi Missionar Heine di Sigompulon Pahae, Van Asselt di Sarulla, lalu tibalah di Sipirok menemui
Misionar Klammer tanggal 30 Desember 1862. dan bertahun baru di sana. Setelah
itu dia tinggal di Parausorat dan melakukan penginjilan di sana terutama
dengan mengajar anak-anak sekolah dan mengobati orang-orang sakit. Tetapi
setelah melihat bahwa usaha penginjilan sudah sulit berkembang di daerah itu,
karena di sana pengaruh agama Islam sudah demikian kuat, maka pada bulan
Nopember 1863, dia memutuskan untuk mengabarkan Injil ke daerah Silindung Tapanuli Utara, setelah sebelumnya rekannya
missionar Heine dan Van Asselt telah melakukan peninjauan ke daerah itu. Dia
berangkat bersama dengan beberapa orang pembantunya meninggalkan Bungabondar
Sipirok tanggal 7 Nopember 1863, melalui hutan belantara dan pegunungan, karena
belum ada jalan yang menghubungkan Sipirok dengan Silindung. Ketika
sampai di atas Bukit Siatasbarita,, dalam suatu visinya,dari sana dia melihat
begitu banyak berdiri gereja di lembah Silindung dengan menara yang megah
serta mengumandangkan suara lonceng yang
bersahut-sahutan. Pada waktu itulah dia berdoa memperteguh janjinya kepada
Tuhan dengan mengatakan: “Hidup atau mati, di tengah-tengah bangsa yang telah
Kau tebus inilah saya akan tinggal dan memberitakan firmanMu”. Doanya ini
kemudian dikabulkan oleh Tuhan, dan visinya itu dalam waktu yang tidak begitu
lama telah menjadi terwujud. Karena itu tempat ini merupakan tempat yang sangt
bersejaraha untuk perkembangan kekristenan dan pembebasan masyarakat Batak dari
kuasa-kuasa kegelapan. Karena di kemudian hari HKBP telah mendirikan di tempat
ini sebuah monumen, yang kemuDian dikembangkan menjadi bangunan “Salib Kasih”
oleh masyarakat Tapanuli Utara dan sekarang telah menjadi sebuah objek wisata
rohani yang banyak dikunjungi umat Kristiani.
Iba di daerah Silindung, mula-mula dia
memilih untuk tinggal di Saitnihuta, menginap di sebuah “sopo” (lumbung padi)
milik seorang raja setempat yang baik
hati menerima kedatangannya yakni Raja Ompu Tunggul. Banyak orang dari penduduk
setempat yang datang mengerumuni dia dan menanya berbagai hal tentang
kedatangannya, ada yang curiga, ada yang mengancam dan mengejek, tetapi
semuanya dijawab dengan ramah, dan bijaksana dengan mengatakan bahwa dia mau
tinggal bersama-sama mereka mengajar
setiap orang yang ingin menjadi orang yang pandai dan berbahagia.. Setelah
begitu sulit mencari sebidang tanah untuk bisa tempat mendirikan rumah,
akhirnya dia memperoleh tanah pasir dan rawa-rawa yang tidak bermilik bekas
aliran Sungai Situmandi. Dia atas tanah pasir itulah dia mendirikan sebuah
rumah tanggal 12 Juni 1864 Tanah itu lalu ditimbun dan dijadikan
sebuah perkampungan kecil yang diberi nama “Huta Dame” (kampung damai).
Sekelilingnya dibuat benteng dari tanah, untuk menghindari luapan banjir yang
sering terjadi dari Sungai itu. Di
perkampungan inilah dia berusaha untuk mengumpulkan orang-orang Batak yang
ingin menjadi Kristen untuk bertempat tinggal, karena pada mulanya siapa yang
mau masuk menjadi Kristen akan dikucilkan dari keluarga, dari perkampungan dan
juga dari adat. Mereka dikucilkan karena dianggap telah melanggar
adat-kebiasaan yang diturunkan oleh nenek-moyang mereka. Di Huta Dame ini, sesuai dengan tradisi
Batak, Nommensen selaku pendiri kampung itu, menjadi “raja huta” atau yang
mengepalai kampung itu.
Di
tempat ini dia juga berusaha untuk mengumpulkan putera-putera Batak,
untuk diajari mengenai kekristenan dan ilmu pengetahuan umum seperti: membaca,
menulis, berhitung, ilmu bumi, dll. Namun dalam melakukan pekerjaan itu dia
menghadapi tantangan yang berat dari masyarakat setempat, karena dia sebagai
orang asing dianggap sebagai pembawa malapetaka bagi masyarakat tersebut.
Berkali-kali ada usaha dari pihak yang memusuhinya untuk membunuh dia, misalnya
dengan racun, tetapi selalu gagal. Pada suatu pesta tahunan masyarakat untuk
menyembah “sombaon Siatasbarita” (roh
nenek moyang yang bermukim di bukit Siatasbarita), 23 Desember 1864, Nommensen ditetapkan oleh
masyarakat sebagai korban yang akan
dipersembahkan kepada “sombaon” itu.
Biasanya dalam pesta-pesta seperti itu yang dijadikan sebagai korban
adalah berupa ternak, seperti kerbau atau lembu. Korban itu dimaksudkan untuk
membujuk “sombaon” tersebut agar dia tidak murka kepada masyarakat setempat,
agar masyarakat terhindar dari malapetaka atau bencana, dan sawah-ladang serta ternak-ternak mereka
akan memberikan hasil yang melimpah.
Tetapi rencana masyarakat setempat untuk menjadikan Nommensen sebagai
korban sembelihan kepada sombaon itu digagalkan oleh Allah dengan turunnya
hujan yang sangat lebat dan angin yang sangat kencang pada waktu pesta sedang
berlangsung. Melihat peristiwa itu masyarakat yang sudah sangat ketakutan
melarikan diri dari tempat itu, dan Nommensen yang sebelumnya sudah diikat
kepada sebatang pohon menjadi terlepas.
Tantangan lain yang dihadapi
Nommensen ialah dalam upaya menjalankan
pendidikan terhadap anak-anak. Pada umumnya para orang tua di daerah itu tidak
menghendaki anak-anaknya dididik oleh Nommensen, karena perbuatan itu dianggap
merugikan orang tuanya sendiri. Dengan perginya anak-anak mereka belajar di
sekolah yang didirikan oleh Nommensen, maka anak-anak tersebut tidak bisa lagi
disuruh untuk membantu orang tuanya bekerja di sawah atau menggembalakan ternak di ladang. Tetapi setelah para orang
tua itu melihat hasil pendidikan yang diperoleh anak-anak mereka dari
I.L.Nommensen, maka para orang tua itu pun akhirnya banyak yang tertarik kepada
Nommensen, lalu mereka pun ikut menerima
pengajaran kekristenan dari padanya. Di
situlah nampak kebenaran dari suatu ungkapan Batak yang mengatakan “dapot
indungna dibahen anakna” (induknya bisa tertangkap dengan lebih dulu menangkap
anaknya). Artinya Nommensen yang lebih dulu berusaha memenangkan anak-anak
untuk mengenal agama Kristen itu, pada
akhirnya juga berhasil memenangkan para orang tua mereka.
Pekerjaan Nommensen di Silindung dapat
berhasil dengan cepat, apalagi setelah dia bisa bersahabat dengan seorang
pimpinan masyarakat setempat yang cukup
berpengaruh, yakni Raja Pontas Lumbantobing. Dia dan keluarganya ikut
dibaptiskan oleh Nommensen pada pembaptisan yang pertama yang dilakukannya di
Silindung tanggal 27 Agustus 1865 atas empat orang lelaki dan empat orang
wanita dewasa, beserta lima orang anak. Raja Pontas Lumbantobing ini ikut
memainkan peranan yang besar dalam memajukan usaha penginjilan di daerah
Silindung pada mulanya. Dia juga sering mengorbankan nama dan kehormatannya
untuk memberi perlindungan kepada Nommensen dalam menghadapi serangan
masyarakat yang mau membunuhnya dan yang berusaha untuk menghancurkan Huta Dame
tempat tinggalnya bersama orang-orang Kristen yang pertama itu.
Beberapa tahun lamanya pertambahan
jumlah orang-orang Kristen itu memang agak lambat, karena pada mulanya
Nommensen masih mempergunakan “metode pancing”. Sebagai orang yang tidak
terlepas dari pengaruh pietis, pada mulanya Nommensen memang masih mengusahakan
pertobatan perorangan bagi orang-orang Kristen itu, yakni setelah mereka lebih
dulu memperoleh pengajaran Kristen yang sungguh-sungguh, barulah mereka
dibaptis menjadi Kristen. Tetapi setelah menyadari bahwa dengan metode seperti
itu usaha pengkristenan akan berjalan dengan sangat lambat, maka dia mengubah
metodenya itu dengan “metode jala”, yakni dengan mengusahakan pertobatan secara
massal. Untuk ini maka dia mulai mempergunakan pengaruh raja-raja adat,
pengaruh kepala-kepala kamapung atau kepala-kepala marga dan juga mempergunakan
pendekatan sistem kekerabatan dan komunitas masyrakat Batak itu sendiri.
JeJemaat-jemaat Kristen tersebar di seluruhTanah Batak
Setelah cara pengkristenan yang dilakukan oleh Nommensen berganti
dari pengkristenan perorangan menjadi pengkristen massal, maka dengan sangat
cepat berdirilah jemaat-jemaat Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak
tersebut. Dengan pendekatan berkelompok,
seringlah terjadi penerimaan kekristenan itu oleh satu-satu kampung atau satu-satu marga, karena pada
umumnya dalam sitem komunitas masyarakat Batak, satu-satu kampung dihuni oleh suatu marga tertentu. Dengan
demikian berdirilah jemaat-jemaat yang membawakan nama kampung atau nama marga
tertentu di daerah Silindung, seperti:
Jemaat Saitnihuta, Jemaat Pearaja,
Jemaat Simarangkir, Jemaat Hutagalung, Jemaat Hutabarat, Jemaat Simanungkalit,
Jemaat Situmeang, dll. Pada tahun 1870
an, hampir seluruh daerah Silindung sudah dikristenkan. Dan jemaat-jemaat yang
telah berserak itu telah dihimpun dalam beberapa ressort, di mana setiap ressort
dipimpin oleh seorang pendeta utusan RMG, yakni: Ressort Pearaja di mana Nommensen
berkedudukan (1872), Ressort Pansurnapitu di mana Pendeta Johannsen
berkedudukan (1866), Ressort Simarangkir
yang menjadi kedudukan Pendeta Simoneit (1875), Sipoholon yang menjadi tempat
Pendeta Mohri (1870), Ressort Hutabarat
di mana Pendeta Puse ditempatkan mulai tahun 1888.
Setelah daerah Silindung sudah dikristenkan, maka I.L.Nommensen
kemudian bergerak menyebarkan Injil itu ke daerah Humbang (mulai 1878), ke
daerah Toba (mulai tahun 1881), daerah
Samosir (1893), daerah Uluan (1893), daerah Simalungun (1903), Pakpak Dairi
(1908), dan daerah-daerah lainnya.
Kerena pertumbuhan jemaat-jemaat dan
ressort-ressort yang demikian
cepat, maka RMG melihat telah
perlu mengangkat seorang pimpinan Gereja
Batak. Untuk itu mulai tahun 1881, Nommensen diangkat sebagai pimpinan gereja
Batak dengan kedudukan sebagai “Ephorus”(pengawas) yang bertugas untuk memimpin
seluruh jemaat-jemaat dan ressort-ressort gereja Batak dan sekaligus juga untuk memimpin usaha pekabaran
Injil yang masih terus berlangsung di
Tanah Batak. Mula-mula dia berkedudukan di Pearaja-Tarutung. Tetapi sejak tahun
1891 sampai meninggalnya tahun 1918, dia berkedudukan di Sigumpar. Di sanalah dia
meninggal tahun 1918 dan dikuburkan juga
di sana.
“Comprehensive approach” (pendekatan menyeluruh) yang dilakukan
Nommensen
Keberhasilan Nommensen melakukan penginjilan di Tanah
Batak tidak terlepaas dari pendekatan menyeluruh (Comprehensive approach) yang
dilakukannya bersama teman-temannya. Dalam pendekatan itu manusia dilihat
secara seutuhnya, dengan tidak
memisahkan rohaninya dari jasmaninya.
Ini bertolak juga dari pandangan yang memahami Injil itu menyangkut
seluruh hidup manusia , mental spritual,
jasamani, hubungannya dengan sesama dan dunia sekitarnya. Karena itu Injil ini
tidak hanya dibatasai kepada orang perorangan, tetapi juga menyangkut pekerjaan
socsal –budaya, pendidikan, kesehatan, social ekonomi dan seluruh bidang
kehidupan manusia itu. Inilah juga yang
dalam ilmu penginjilan, “penyebaran injil total kepada manusia total”. Inilah juga makna “syalom” atau
“eirenen”(damai sejahtera) yang diberitakan dalam Kitab Suci sebagai kualitas
kehidupan yang dijanjikan bagi umat
Allah, yakni kehidupan yang penuh damai-sejahtera, keselamatan, kesehatan dan
keamanan..
Pendekatan
inilah yang dilakukan oleh Nommensen,
sehingga Injil itu langsung bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat Batak. Selain menggiatkan
usaha-usaha di bidang pembinaan
spiritual, Nommensen juga berusaha menggiatkan usaha di bidang pendidikan,
kesehatan dan sosial ekonomi.
Semuanya ini dilakukan dalam kesatuan yang utuh, yang salin g berkaitan satu
sama lain untuk membina kehidupan manusia seutuhnya. Usaha yang bermakna
pembinaan spiritual dilakukan dengan ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan
kristiani, evangelisasi, “partangiangan”
(doa-doa) keluarga, perkunjungan pastoral dsb. Untuk mendukung semuanya
ini Nommensen bekerjasama dengan
teman-temannya yang lain mengupayakan penerjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa Batak, agar
masyarakat Batak dapat membaca dan memahami isi Firman Tuhan dalam bahasanya
sendiri. Juga diupayakan
menulis dan menerjemahkan buku Kristen
yang dibutuhkan, seperti buku Nyanyian (Buku Ede), Katekismus, “Bohal Partondion” (santapan
rohani), yang bias dipergunakan oleh warga jemaat dalam ibadah-ibadah keluarga. Adalah suatu warisan yang sangat berharga bagi orang-orang Kristen
Batak sampai sekarang terjemahan Kitab
Perjanjian Baru yang dilakukan oleh Nommensen(1876), sedang terjemahan
Perjanjian Lama dilakukan oleh rekannya P.H.Johannsen (1894).. Walaupun
belakangan ini Lembaga Alkitab Indonesia sedang mengupayakan perevisian
terjemahan itu, namun hasil kerja keras Nommensen dan Johannsen itu masih
dipergunakan sampai sekarang oleh umat Kristen Batak. Pekerjaan Nommensen dan
teman-temannya itu patut menjadi
pelajaran yang berharga bagi
pelayan-pelayan gereja sekarang untuk
giat melakukan pekerjaannya .
Selain
usaha pembinaan spiritual, Nommensen juga terus mengupayakan usaha-usaha
pendidikan. Di seiap pos-pos penginjilan
terus didirikan ruang sekolah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat ibadah
hari Minggunya. Sekolah-sekolah itu kemudian sering disebut sekolah-sekolah Zending
(setingkat SD), karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kegiatan Zending . Usaha pendidikan yang
digiatkan oleh Zending ini bukan hanya sampai setingkat itu, tetapi juga dalam
tingkat yang lebih tingggi, sesuai dengan tuntutan kerinduan masyarakat Batak
akan kemajuan. Untuk itu tahun 1911 sudah didirikan sekolah Dasar berbahasa
Belanda di Sigompulon Tarutung, dan di Pematangsiantar tahun 1932. Sekolah ini
dinamai “Hollands Inlands School” (HIS), yang kemudian banyak menghantar
masyarakat Kristen Batak untuk memperoleh pekerjaan dan posisi yang lebih baik di instansi pemerintahan dan
juga diperusahaan-perusahaan perkebunan . Lanjutan dari sekolah ini yakni “Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs” (MULO) 9setara SLTP) juga didirikan kemudian oleh Zending di Sigompulon
Tarutung. Selain pendidikan umum,
Nommensen juga terus mengusahakan mendirikan pendidikan teologi untuk
melatih orang-orang Kristen Batak untuk
ikut berperan dalam pekerjaan zending dan gereja, melalui guru-guru zending
yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat. Pendidikan seperti ini disebut Seminari
(parsamean), mulai tahun 1868 di
Parausorat, kemudian dipindahkan ke
Pansurnapitu (1877), ke Sipoholon tahun 1901.
Mulai tahun 1883, di Seminari Pansurnapitu sudah dibuka Sekolah
Pendeta bagi guru-guru yang sudah berpengalaman
dan berprestasi. Semuanya ini mempersiapkan
juga dalam rangka mempersiapkan Gereja Batak menjadi sebuah gereja yang
berdiri sendiri.
Pelayanan
di bidang kesehatan juga terus diupayakan.
Nommensen dan para penginjil lainnya telah dibekali dengan pengetahuan
di bidang kesehatan yang bias
mengupayakan pengobatan kepada orang-orang sakit dan memberi bimbingan kepada
masyarakat Batak agar dapat hidup sehat.
Kemudian di seipak pos-pos penginjilan juga didirikan Balai-Balai pengobatan,
dan bahkan juga rumah sakit penolong dan rumah sakit besar seperti di Tarutung (1900) dan Di Balige (1917).
Dengan adanya pengobatan secara medis ini, maka kebiasaan masyarakat
sebelumnya untuk memperoleh pengobatan
dari seorang “datu” (dukun) makin
ditinggalkan.
Dalam
bidang kehidupan sosial Nommensen
juga mempunyai perhatian yang besar. Di
setiap tempat pelayanannnya dia selalu
mengusahakan perdamaian untuk mencegah
kebiasaan berperang antara kampung, membasmi perbudakan (parhatobanon) di mana
untuk ini dia sering menebus orang-orang yang sudah “diparhatoban” karena
utang-utangnya, membasmi praktek pinjam
meminjam dengan bungan yang sangat besar dengan membangun system perkoperasian
(kongsi) di setiap jemaat, membina masyarakat untuk mengetahui system pertanian
yang intensif serta memanfaatkan tanah-tanah pekarangan yang kosong dan untuk
menanami tanaman-tanaman yang produktif dan berguna untuk kehidupajn
sehari-hari, membuat gilingan padi yang
diputar oleh “losung aek” (kincir air),
bahkan juga untuk mengatur hari-hari pekan dari Senen sampai Sabtu
(tidak diikutkan hari Minggu supaya
ibadah ke gereja jangan sampai tergganggu),
demi membina system ekonomi yang lancar dan merata. Ini bias terlaksana
khususnya di daerah Toba sampai sekarang.
Semua usaha ini memperlihatkan betapa besarnya perhatian Nommensen dan
Zending pada waktu itu kehidupan
social masyarakat itu. Tujuannya untuk
memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera, membebaskan manusia dari kemiskinan,
kebodohan, dan berbagai penderitaan yang diakibatkannya. Pelayanan dan perhatian seperti itu tidak
patut dilupakan dan bahkan perlu dikembangkan oleh gereja dan umat Kristen,
yang dalam hal ini tentu bekerjasama dengan pemerintah. Karena sesuai dengan kesaksian Alkitab,
Gereja dan Pemerintah adalah dua lembaga yang sama-sama datangnya dari
Allah, dan sama-sama hamba Allah dalam
mengusahakan kehidupan umat manusia atau masyarakat yang lebih sejahtera. (Roma 13: 1 dst)
*
Penulis adalah
Dosen STT-HKBP di bidang Sejarah Gereja
dan anggota Panitia Napak Tilas, Seksi Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar