Senin, 19 Agustus 2019

MENAPAKI PERJALANAN HIDUP DAN PENGABDIAN DR.IL.NOMMENSEN DI TANAH BATAK

MENAPAKI PERJALANAN HIDUP DAN PENGABDIAN DR.IL.NOMMENSEN
 DI TANAH BATAK
Oleh:  Pdt. M.S.M.Panjaitan, MTH*
Pendahuluan
                               Pada tanggal 5-8 April tahun 2007 Pemerintah  Daerah  Propinsi Sumatera Utara menyelenggarakan Napak Tilas Perjalanan Dr.I.L.Nommensen di Tanah Batak,  dengn melibatkan sembilan kabupaten/ kota di propinsi ini. Kepaniitiaannya dipercayakan  kepada  St.Drs.Monang Sitorus, SH,MBA, Bupati Kabupaten Toba Samosir (Tobasa) sebagai  Ketua Umum.  Napak Tilas yang diselenggarakan dalam rangka perayaan Hari Paskah Umat Kristiani tahun 2007, dimaksudkan untuk mengenang pelayanan  I.L.Nommensen di Tanah Batak, yang melalui penginjilan yang dilakukan telah berhasil membebaskan masyarakat suku Batak dari kuasa “hasiplebegeuon” (penyembahan kepada roh-roh nenek moyang) dan keterbelakangan dalam berbagai kehidupan. Rute perjalanan mulai dari Balige, Dolok Sanggul, Pakkat, Tukka, Sihorbo, Barus, Sibolga, Padangsidempuan, Parauorat, Bungabondar, Sipirok, Tarutung dan acara puncaknya di Sigumpar Minggu tanggal 8 April 2007.  Tema Napak Tilas Perjalanan Nommensen ini yang ditetapkan  rapat panitia tanggal 13  Pebruari 2007 di Kantor Bupati Tobasa  berbunyi: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang menyampaikan  firman Allah kepada kamu”,  yang diambil dari  Surat Ibrani 13:7. Dengan tema itu itu diharapkan  bahwa dalam upaya membina kehidupan spritual  mayarakat Indonesia khususnya  masyarakat Batak yang secara langsung telah menikmati karya-karya penginjilan yang dilakukan oleh I.l.Nommensen , jiwa dan semangat pengabdian  I.L.Nommensen  dapat dilestarikan kembali.  Salah satu usaha untuk mewujudkan itu yang dipikirkan oleh Pemerintah Sumatera Utara ialah dengan mengembangkan wisata rohani,  supaya tempat-tempat bersejarah yang pernah dilalui dan ditempati oleh I.L.Nonmensen  semakin banyak dikunjungi oleh masyarakat yang menghargai nilai-nilai sejarah itu, baik dari tingkat  domestik maupun tingkat internasinal.
                           Memang  hasil missi yang dijalankan oleh Nommensen di tengahtengah masyarakat Batak sangat luar biasa. Sebenarnya bukan hanya dia satutunya penginjil yang pernah bekerja di Tanah Batak, dan bukan pula dia yang memulai pekerjaan itu . Dia adalah salah satu dari ratusan penginjil yang pernah diutus oleh Zending Barmen (Rheinische Missionsgesellschaft -RMG) dari Jerman . RMG sendiri sudah mulai bekerja di Tanah Batak tanggal 7 Oktober 1861, tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari  jadi HKBP. Dan sebelum itu sudah ada berbagai usaha penginjilan mencoba melalukan penginjilan,  seperti dari Inggris, dari Amerika dan dari Belanda. Bahkan sebelum RMG bekerja di Tanah Batak sudah ada dua orang Batak yang  berhasil dibaptis, yang tercatat sebagai orang Batak pertama menjadi Kristen yakni Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon, yang dibaptis oleh Van Asselt utusan Zending Ermele dari Belanda,  31 MARET 1861. Van Asselt sendiri bersama temanya Betz dari Ermelo ikut bergabung dengan RMG. Sedangkan Nommensen baru mulai bekerja di Tanah Batak  bulan Mei 1862. Tetapi dialah yang paling berhasil melakukan pekerjaan itu dan paling lama mengabdikan dirinya di tengah-tengah masyarakat Batak yakni sampai akhir hidupnya tahun  1918, sehingga namanyalah yang paling banyak dikenal,  dan dikemudian dia mendapat gelar sebagai ‘apostel ni halak Batak” (rasul orang Batak).   Dia bukan hanya berhasil membebaskan masyarakat Batak dari kuasa kegelapan, tetepi  membawa kemajuan dalam berbagaia segi kehidupan terutama  dalam bidang pendidikan, social budaya dan social ekonomi.  Lagi pula hasil pekerjaaannya itu bukan hanya dinikmati oleh masyarakat Batak yang Kristen tetapi juga  masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Banyak orang-orang  Kristen Batak yang memperoleh pendidikan melalui usaha-usaha pendidikan yang digiatkannya  telah menjadi berkat bagi bangsa Indonesia  dilingkungan di mana mereka hidup dan  bekerja.
                           Memang nama Nommensen tidak asing lagi bagi masyarakat  Batak khususya yang beragama Kristen.  Tetapi siapa dia sebenarnya dan apa saja  yang dilakukan  tentu tidak semua yang mengetahui.    I.L.Nommensen lahir  6 Pebruari 1934 di pulau Noordstrand, sebuah pulau kecil yang terletak di Laut Utara perbatasan Jerman dan Denmark. Orang tuanya sangat miskin sekali, sehingga pada masa anak-anak dia sudah terbiasa hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Tetapi keadan ini telah membimbing hidupnya kepada jalan Tuhan dan mempersiapkan dia untuk melakukan suatu tugas mulia yang akan diterima kelak. Karena kesulitan ekonomi yang sering dialami oleh keluarganya, pada masa anak-anak dia sudah ikut membantu  meringankan beban orangtuanya, misalnya dengan mencari upahana mengembalakan domba-domba orang-orang sekampungnya. Atau membajak sawah dan lading orang lain  Pekerjaannya itu dilakukan dengan penuh tanggung-jawab sehingga dia sangat disukai oleh orang-orang sekampungnya itu.Pada umur 12 tahun dia mengalami kecelakaan . Dua ditabrak oleh kreta kuda, yang membuat kedua kakinya luka berat dan bahkan menjadi lumpuh. Dengan bantuan  familinya dia diusahakan berobat, tetapi tidak juga sembuh-sembuh. Akhirnya dokter menyarankan supaya kakinya itu dipotong demi menghgindarkan akibat yang lebih buruk baginya.  Mendengar itu Nommensen sangat sedih, tetapi karena dia seorang yang sudah rajin membaca Injil, maka pada waktu itu dia membaca  Yohannes 16: 23-24, yang mengatakan: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan kepadamu dalam namaKu. Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam namaKu. Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu”.  Ayat-ayat ini benar-benar memberi penghiburan dan harapan bagi dirinya sehingga dia berdoa dengan sepenuh hati kepada Allah sambil berjanji apabila kakinya bisa  disembuhkan, dia akan bersedia menjadi pekabar Injil ke tengah-tengah bangsa yang masih kafir. Doanya itu dikabulkan oleh Tuhan, sehingga setelah dia sudah dewasa dia menepati janjinya itu, walaupun untuk itu dia harus banyak melalui susah payah dan penderitaan. Setelah penyakitnya sembuh, sebelum dia bias mewujudkan janjinya itu dia telah mengerjakan bermacam pekerjaan, seperti menjadi buruh pembuat jalan kreta api, buruh membuat tembok penahan ombak di tepi pantai pulau kediamannya, dan terakhir men jadi guru penolong yang ditunjukkan oleh bekas gurunya yang sangat mengasihinya. Ketika itu lah juga Tuhan membuka jalan bagi untuk mewujudkan  keinginannya untuk menjadi penginjil kepada  bangsa yang masih dalam kegelapan. Dia mengungkapkan keinginan dan janjinya itu kepada pendeta Haustedt kepada sekolah tempatnya bekerja, dan pendeta ini sangat tertarik dengan ungkapan isi hati dari Nommensen itu, sehinga pendeta itu menyuruh dia menjumpai Ephorus (Pengawas Sekolah) yang bernama Versmann agar dia direkommendasikan mengikuti pendidikan penginjil di pusat pendidikan penginjil RMG di Barmen, Jerman.  Berdasarkan rekomendasi dari Eforus Versmann itu maka inspektur Walman yang memiminpin lembaga  penginjilan itu pada waktu itu menerima dia menerima pendidikan dari beberepa guru yang bertugas di sana sambil juga bekerja sebagai guru penolong di sebuah sekolah di kota itu. Tidak lama kemudian inspektur Walman digantikan oleh Dr.Fabri, yang dengan sungguh-sungguh mngusahakan pendidikan yang lebih intensif di lembaga itu. Pada waktu itulah Nommensen dengan penuh waktu mengikuti pendiidkan tersebut dan dalam waktu empat tahun diselesaikan dengan hasil yang sangat baik, lalu  awal Oktober 1861 dia bersama  bersama beberapa orang temannya “ditahbiskan” menjadi Penginjil (Missionar) yang mempunyai fungsi sama seperti seorang Pndeta, Dia ditetapkan oleh Dr.Fabri untuk menjadi penginjil ke Tanah Batak bergabung dengan penginjil-penginjil yang sudah diutus lebih dulu ke sana.. Segera setelah itu, 24 Desember 1861, dia meninggalkan Eropa menuju  Sumatera, Indonesia, dengan menumpang kapal milik Belanda. Mereka tiba di pelabuhan Padang, Sumatera Barat pada 14 Mei 1862, sehingga pelayaran mereka memakan waktu 142 hari lamanya. Selama perjalanan yang memakan waktu hampir lima bulan itu kapal yang ditompangi sering mengalami ancaman bahaya berupa  ombak yang besar, angin ribut yang kuat yang kadang-kadang mengombang-ambingkan kapal itu. Tetapi semuanya itu makin memperteguh iman Nommensen akan penyertaan Tuhan dan memperteguh janjinya kepada Tuhan.  Kesempatan itu juga dipakai membimbing para awak kapal yang dilihatnya sering tidak memperdulikan Tuhan dengan moral yang buruk dan kurang sopan santun  untuk mengenal Tuhan ..
         Keinginan I.L.Nommensen ialah mengabarkan Injil di kalangan masyarakat Batak yang masih “palbegu” di Tapanuli bagian Utara.. Tetapi karena izin untuk memasuki daerah Tapanuli Utara tidak diperoleh dari pemerintah Belanda, maka dia meneruskan perjalanannya sampai ke Barus Tapanuli Tengah, setelah singgah sebentar di Sibolga menemui Van Asselt yang telah menunggu  tunangannya Nona Dina Malga yang dating dari negeri Belanda satu kapal dengan Nommensen agar melangsungkan pernikahan dengan Van Asselt.. Nommensen tiba di Barus tanggal 25 Junii, dan di sanalah dia berdiam hampir enam bulan lamanya. Barus adalah sebuah kota pelabuhan yang sudah sejak dulu ramai dikunjungi oleh para pedagang dari luar negeri  untuk membeli kapur Barus dan kemenyaan yang sangat banyak dihasilkan di daerah itu.  Karena penduduk Barus pada waktu itu kebanyakan orang pesisir dan suku Jawa yang sudah beragama Islam maka dia melihat kesempatan untuk mengabarkan Injil  di tempat itu sudah sangat sedikit. Namun selama dia berada di sana dia mempelajari bahasa Melayu dan bahasa Batak untuk memperdalam apa yang sudah dipelajari sebelumnya baik selama di Jerman maupun selama dalam perjalan di kapal.  Pada mulanya penduduk setempat  agak takut  bergaul dengan diriunya karena dia seorang kulit putih, tetapi setelah melihat kebaikan dan keramahannya, yang suka menolong dan mengobati orang sakit menebus orang-orang yang telah dijadikan “hatoban”(budak) karena hutangnya dan mengajari mereka  beberapa pengetahuan yang menarik, maka  dia semakin disukai oleh masyarakat setempat. Dia juga terus bersahabat  dengan raja-raja setempat, sehingga namanya terus terkenal  di sekitar daerah itu. Mendengar apa yang telah dilakukan di Barus, maka raja-raja  di kampung-kampung sekitar daerah itu pun, seperti Tukka dan Rambe  engundang dia untuk dating mengunjungi mereka. Dengan tulus dia memenuhi undangan itu tanggal 25 Oktober 1862 ditemani oleh raja dan sahabat-sahabatnya dari Barus, bahkan membawa oleh-oleh  seperti tembakau dan kain sarung untuk menggembirakan hati  mereka. Dia juga membawa obat bagi seorang raja  di sekitar tempat itu yang didengarnya sedang sakit. Di setiap kampung yang dikunjungi dia disambut oleh raja dan penduduk kampung setempat dengan baik, dan meminta dia untuk tinggal lebih lama di sana. Melihat sambutan-sambutan yang begitu baik,  keinginannya untuk mengabarkan Injil di tengah-tengah mereka menjadi timbul. Untuk itu dia meminta kepada residen pemerintah Belanda di Sibolga, agar dia diizinkan untuk mendirikan rumah di Rambe. Tetapi  keinginan Nommensen itu tidak dikabulkan oleh residen, karena hal itu dilihat bisa  mengganggu rencana Belanda untuk menguasai daerah-daerah pedalaman yang belum  menjadi daeerah kekuasaan Belanda pada waktu itu. Karena itu Nommensen pun disuruh untuk meninggalkan Barus. Dia pun meninggalkan Barus tanggal 30 Nopember  1862 naik perahu ke Sibolga dan dari sana seterusnya dia  memutuskan untuk pergi ke Sipirok, bergabung dengan beberapa penginjil RMG yang sudah lebih dulu bekerja di sana. Dalam perjalanan menuju Sipirok melalui hutan  dan jalan yang sangat sulit serta membahayakan, dia lebih dulu mengunjungi Missionar Heine di Sigompulon Pahae,  Van Asselt di Sarulla,  lalu tibalah di Sipirok menemui Misionar Klammer tanggal 30 Desember 1862. dan bertahun baru di sana. Setelah itu dia tinggal di Parausorat dan melakukan penginjilan di sana terutama dengan mengajar anak-anak sekolah dan mengobati orang-orang sakit. Tetapi setelah melihat bahwa usaha penginjilan sudah sulit berkembang di daerah itu, karena di sana pengaruh agama Islam sudah demikian kuat, maka pada bulan Nopember 1863, dia memutuskan untuk mengabarkan Injil ke daerah Silindung  Tapanuli Utara, setelah sebelumnya rekannya missionar Heine dan Van Asselt telah melakukan peninjauan ke daerah itu. Dia berangkat bersama dengan beberapa orang pembantunya meninggalkan Bungabondar Sipirok tanggal 7 Nopember 1863, melalui hutan belantara dan pegunungan, karena belum ada jalan yang menghubungkan Sipirok dengan Silindung.   Ketika  sampai di atas Bukit Siatasbarita,,  dalam suatu visinya,dari sana dia melihat begitu banyak berdiri gereja di lembah Silindung dengan menara yang megah serta  mengumandangkan suara lonceng yang bersahut-sahutan. Pada waktu itulah dia berdoa memperteguh janjinya kepada Tuhan dengan mengatakan: “Hidup atau mati, di tengah-tengah bangsa yang telah Kau tebus inilah saya akan tinggal dan memberitakan firmanMu”. Doanya ini kemudian dikabulkan oleh Tuhan, dan visinya itu dalam waktu yang tidak begitu lama telah menjadi terwujud. Karena itu tempat ini merupakan tempat yang sangt bersejaraha untuk perkembangan kekristenan dan pembebasan masyarakat Batak dari kuasa-kuasa kegelapan. Karena di kemudian hari HKBP telah mendirikan di tempat ini sebuah monumen, yang kemuDian dikembangkan menjadi bangunan “Salib Kasih” oleh masyarakat Tapanuli Utara dan sekarang telah menjadi sebuah objek wisata rohani yang banyak dikunjungi umat Kristiani.
         Iba di daerah Silindung, mula-mula dia memilih untuk tinggal di Saitnihuta, menginap di sebuah “sopo” (lumbung padi) milik seorang raja setempat yang  baik hati menerima kedatangannya yakni Raja Ompu Tunggul. Banyak orang dari penduduk setempat yang datang mengerumuni dia dan menanya berbagai hal tentang kedatangannya, ada yang curiga, ada yang mengancam dan mengejek, tetapi semuanya dijawab dengan ramah, dan bijaksana dengan mengatakan bahwa dia mau tinggal bersama-sama mereka  mengajar setiap orang yang ingin menjadi orang yang pandai dan berbahagia.. Setelah begitu sulit mencari sebidang tanah untuk bisa tempat mendirikan rumah, akhirnya dia memperoleh tanah pasir dan rawa-rawa yang tidak bermilik bekas aliran Sungai Situmandi. Dia atas tanah pasir itulah dia mendirikan sebuah rumah  tanggal 12 Juni  1864 Tanah itu lalu ditimbun dan dijadikan sebuah perkampungan kecil yang diberi nama “Huta Dame” (kampung damai). Sekelilingnya dibuat benteng dari tanah, untuk menghindari luapan banjir yang sering terjadi dari Sungai itu.  Di perkampungan inilah dia berusaha untuk mengumpulkan orang-orang Batak yang ingin menjadi Kristen untuk bertempat tinggal, karena pada mulanya siapa yang mau masuk menjadi Kristen akan dikucilkan dari keluarga, dari perkampungan dan juga dari adat. Mereka dikucilkan karena dianggap telah melanggar adat-kebiasaan yang diturunkan oleh nenek-moyang mereka.  Di Huta Dame ini, sesuai dengan tradisi Batak, Nommensen selaku pendiri kampung itu, menjadi “raja huta” atau yang mengepalai kampung itu.
         Di  tempat ini dia juga berusaha untuk mengumpulkan putera-putera Batak, untuk diajari mengenai kekristenan dan ilmu pengetahuan umum seperti: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dll. Namun dalam melakukan pekerjaan itu dia menghadapi tantangan yang berat dari masyarakat setempat, karena dia sebagai orang asing dianggap sebagai pembawa malapetaka bagi masyarakat tersebut. Berkali-kali ada usaha dari pihak yang memusuhinya untuk membunuh dia, misalnya dengan racun, tetapi selalu gagal. Pada suatu pesta tahunan masyarakat untuk menyembah “sombaon Siatasbarita”  (roh nenek moyang yang bermukim di bukit Siatasbarita),  23 Desember 1864, Nommensen ditetapkan oleh masyarakat sebagai korban yang  akan dipersembahkan kepada “sombaon” itu.  Biasanya dalam pesta-pesta seperti itu yang dijadikan sebagai korban adalah berupa ternak, seperti kerbau atau lembu. Korban itu dimaksudkan untuk membujuk “sombaon” tersebut agar dia tidak murka kepada masyarakat setempat, agar masyarakat terhindar dari malapetaka atau bencana,  dan sawah-ladang serta ternak-ternak mereka akan memberikan hasil yang melimpah.  Tetapi rencana masyarakat setempat untuk menjadikan Nommensen sebagai korban sembelihan kepada sombaon itu digagalkan oleh Allah dengan turunnya hujan yang sangat lebat dan angin yang sangat kencang pada waktu pesta sedang berlangsung. Melihat peristiwa itu masyarakat yang sudah sangat ketakutan melarikan diri dari tempat itu, dan Nommensen yang sebelumnya sudah diikat kepada sebatang pohon menjadi terlepas.
         Tantangan lain yang dihadapi Nommensen  ialah dalam upaya menjalankan pendidikan terhadap anak-anak. Pada umumnya para orang tua di daerah itu tidak menghendaki anak-anaknya dididik oleh Nommensen, karena perbuatan itu dianggap merugikan orang tuanya sendiri. Dengan perginya anak-anak mereka belajar di sekolah yang didirikan oleh Nommensen, maka anak-anak tersebut tidak bisa lagi disuruh  untuk membantu orang tuanya  bekerja di sawah atau menggembalakan  ternak di ladang. Tetapi setelah para orang tua itu melihat hasil pendidikan yang diperoleh anak-anak mereka dari I.L.Nommensen, maka para orang tua itu pun akhirnya banyak yang tertarik kepada Nommensen, lalu  mereka pun ikut menerima pengajaran kekristenan  dari padanya. Di situlah nampak kebenaran dari suatu ungkapan Batak yang mengatakan “dapot indungna dibahen anakna” (induknya bisa tertangkap dengan lebih dulu menangkap anaknya). Artinya Nommensen yang lebih dulu berusaha memenangkan anak-anak untuk mengenal agama Kristen itu,  pada akhirnya juga berhasil memenangkan para orang tua mereka.
         Pekerjaan Nommensen di Silindung dapat berhasil dengan cepat, apalagi setelah dia bisa bersahabat dengan seorang pimpinan masyarakat  setempat yang cukup berpengaruh, yakni Raja Pontas Lumbantobing. Dia dan keluarganya ikut dibaptiskan oleh Nommensen pada pembaptisan yang pertama yang dilakukannya di Silindung tanggal 27 Agustus 1865 atas empat orang lelaki dan empat orang wanita dewasa, beserta lima orang anak. Raja Pontas Lumbantobing ini ikut memainkan peranan yang besar dalam memajukan usaha penginjilan di daerah Silindung pada mulanya. Dia juga sering mengorbankan nama dan kehormatannya untuk memberi perlindungan kepada Nommensen dalam menghadapi serangan masyarakat yang mau membunuhnya dan yang berusaha untuk menghancurkan Huta Dame tempat tinggalnya bersama orang-orang Kristen yang pertama itu.
         Beberapa tahun lamanya pertambahan jumlah orang-orang Kristen itu memang agak lambat, karena pada mulanya Nommensen masih mempergunakan “metode pancing”. Sebagai orang yang tidak terlepas dari pengaruh pietis, pada mulanya Nommensen memang masih mengusahakan pertobatan perorangan bagi orang-orang Kristen itu, yakni setelah mereka lebih dulu memperoleh pengajaran Kristen yang sungguh-sungguh, barulah mereka dibaptis menjadi Kristen. Tetapi setelah menyadari bahwa dengan metode seperti itu usaha pengkristenan akan berjalan dengan sangat lambat, maka dia mengubah metodenya itu dengan “metode jala”, yakni dengan mengusahakan pertobatan secara massal. Untuk ini maka dia mulai mempergunakan pengaruh raja-raja adat, pengaruh kepala-kepala kamapung atau kepala-kepala marga dan juga mempergunakan pendekatan sistem kekerabatan dan komunitas masyrakat Batak itu sendiri.

JeJemaat-jemaat Kristen tersebar di seluruhTanah Batak
        Setelah cara pengkristenan yang dilakukan oleh Nommensen berganti dari pengkristenan perorangan menjadi pengkristen massal, maka dengan sangat cepat berdirilah jemaat-jemaat Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak tersebut. Dengan pendekatan  berkelompok, seringlah terjadi penerimaan kekristenan itu oleh satu-satu  kampung atau satu-satu marga, karena pada umumnya dalam sitem komunitas masyarakat Batak, satu-satu kampung  dihuni oleh suatu marga tertentu. Dengan demikian berdirilah jemaat-jemaat yang membawakan nama kampung atau nama marga tertentu  di daerah Silindung, seperti: Jemaat  Saitnihuta, Jemaat Pearaja, Jemaat Simarangkir, Jemaat Hutagalung, Jemaat Hutabarat, Jemaat Simanungkalit, Jemaat Situmeang, dll.  Pada tahun 1870 an, hampir seluruh daerah Silindung sudah dikristenkan. Dan jemaat-jemaat yang telah berserak itu telah dihimpun dalam beberapa ressort, di mana setiap ressort dipimpin oleh seorang pendeta utusan RMG, yakni:  Ressort Pearaja di mana Nommensen berkedudukan (1872), Ressort Pansurnapitu di mana Pendeta Johannsen berkedudukan (1866),  Ressort Simarangkir yang menjadi kedudukan Pendeta Simoneit (1875), Sipoholon yang menjadi tempat Pendeta Mohri (1870),  Ressort Hutabarat di mana Pendeta Puse ditempatkan mulai tahun 1888.
         Setelah daerah Silindung  sudah dikristenkan, maka I.L.Nommensen kemudian bergerak menyebarkan Injil itu ke daerah Humbang (mulai 1878), ke daerah Toba (mulai tahun 1881),  daerah Samosir (1893), daerah Uluan (1893), daerah Simalungun (1903), Pakpak Dairi (1908), dan daerah-daerah lainnya.
        Kerena pertumbuhan jemaat-jemaat dan ressort-ressort yang demikian  cepat,  maka RMG melihat telah perlu mengangkat seorang pimpinan  Gereja Batak. Untuk itu mulai tahun 1881, Nommensen diangkat sebagai pimpinan gereja Batak dengan kedudukan sebagai “Ephorus”(pengawas) yang bertugas untuk memimpin seluruh jemaat-jemaat dan ressort-ressort gereja Batak dan  sekaligus juga untuk memimpin usaha pekabaran Injil yang masih  terus berlangsung di Tanah Batak. Mula-mula dia berkedudukan di Pearaja-Tarutung. Tetapi sejak tahun 1891 sampai meninggalnya tahun 1918, dia berkedudukan di Sigumpar. Di sanalah dia meninggal tahun  1918 dan dikuburkan juga di sana.
       
 “Comprehensive approach” (pendekatan menyeluruh) yang dilakukan Nommensen
          Keberhasilan  Nommensen melakukan penginjilan di Tanah Batak tidak terlepaas dari pendekatan menyeluruh (Comprehensive approach) yang dilakukannya bersama teman-temannya. Dalam pendekatan itu manusia  dilihat  secara seutuhnya, dengan tidak  memisahkan rohaninya dari jasmaninya.  Ini bertolak juga dari pandangan yang memahami Injil itu menyangkut seluruh hidup manusia ,  mental spritual, jasamani, hubungannya dengan sesama dan dunia sekitarnya. Karena itu Injil ini tidak hanya dibatasai kepada orang perorangan, tetapi juga menyangkut pekerjaan socsal –budaya,  pendidikan,  kesehatan, social ekonomi dan seluruh bidang kehidupan manusia itu.  Inilah juga yang dalam ilmu penginjilan, “penyebaran injil total kepada manusia total”.  Inilah juga makna “syalom” atau “eirenen”(damai sejahtera) yang diberitakan dalam Kitab Suci sebagai kualitas kehidupan yang dijanjikan  bagi umat Allah, yakni kehidupan yang penuh damai-sejahtera, keselamatan, kesehatan dan keamanan..
            Pendekatan inilah yang dilakukan oleh  Nommensen, sehingga Injil itu langsung bisa dirasakan dalam kehidupan masyarakat Batak. Selain menggiatkan usaha-usaha  di bidang pembinaan spiritual, Nommensen juga berusaha menggiatkan usaha di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial ekonomi. Semuanya ini dilakukan dalam kesatuan yang utuh, yang salin g berkaitan satu sama lain untuk membina kehidupan manusia seutuhnya. Usaha yang bermakna pembinaan spiritual dilakukan dengan ibadah, khotbah, persekutuan-persekutuan kristiani, evangelisasi,  “partangiangan” (doa-doa) keluarga, perkunjungan pastoral dsb. Untuk mendukung semuanya ini  Nommensen bekerjasama dengan teman-temannya yang lain mengupayakan penerjemahan  Kitab Suci ke dalam bahasa Batak, agar masyarakat Batak dapat membaca dan memahami isi Firman Tuhan dalam bahasanya sendiri. Juga diupayakan menulis  dan menerjemahkan buku Kristen yang dibutuhkan, seperti buku Nyanyian (Buku Ede), Katekismus, “Bohal Partondion” (santapan rohani), yang bias dipergunakan oleh warga jemaat  dalam ibadah-ibadah keluarga.  Adalah suatu warisan yang  sangat berharga bagi orang-orang Kristen Batak sampai sekarang terjemahan  Kitab Perjanjian Baru yang dilakukan oleh Nommensen(1876), sedang terjemahan Perjanjian Lama dilakukan oleh rekannya P.H.Johannsen (1894).. Walaupun belakangan ini Lembaga Alkitab Indonesia sedang mengupayakan perevisian terjemahan itu, namun  hasil kerja keras  Nommensen dan Johannsen itu masih dipergunakan sampai sekarang oleh umat Kristen Batak. Pekerjaan Nommensen dan teman-temannya itu  patut menjadi pelajaran yang berharga  bagi pelayan-pelayan gereja  sekarang untuk giat melakukan pekerjaannya .
            Selain usaha pembinaan spiritual, Nommensen juga terus mengupayakan usaha-usaha pendidikan.  Di seiap pos-pos penginjilan terus didirikan ruang sekolah yang sekaligus dijadikan sebagai tempat ibadah hari Minggunya. Sekolah-sekolah itu kemudian sering disebut sekolah-sekolah Zending (setingkat SD), karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan  Zending . Usaha pendidikan yang digiatkan oleh Zending ini bukan hanya sampai setingkat itu, tetapi juga dalam tingkat yang lebih tingggi, sesuai dengan tuntutan kerinduan masyarakat Batak akan  kemajuan. Untuk itu tahun  1911 sudah didirikan sekolah Dasar berbahasa Belanda di Sigompulon Tarutung, dan di Pematangsiantar tahun 1932. Sekolah ini dinamai “Hollands Inlands School” (HIS), yang kemudian banyak menghantar masyarakat Kristen Batak untuk memperoleh pekerjaan dan posisi  yang lebih baik di instansi pemerintahan dan juga diperusahaan-perusahaan perkebunan . Lanjutan dari sekolah ini yakni “Meer Uitgebreid Lager Onderwijs” (MULO) 9setara SLTP) juga  didirikan kemudian oleh Zending di Sigompulon Tarutung.  Selain pendidikan umum, Nommensen juga terus mengusahakan mendirikan pendidikan teologi untuk melatih  orang-orang Kristen Batak untuk ikut berperan dalam pekerjaan zending dan gereja, melalui guru-guru zending yang sekaligus berfungsi sebagai guru jemaat. Pendidikan  seperti ini disebut Seminari (parsamean),  mulai tahun 1868 di Parausorat,  kemudian dipindahkan ke Pansurnapitu (1877), ke Sipoholon tahun 1901.  Mulai tahun 1883, di Seminari Pansurnapitu sudah dibuka Sekolah Pendeta  bagi guru-guru yang sudah berpengalaman dan berprestasi. Semuanya ini mempersiapkan   juga dalam rangka mempersiapkan Gereja Batak menjadi sebuah gereja yang berdiri sendiri.
            Pelayanan di bidang kesehatan juga terus diupayakan.  Nommensen dan para penginjil lainnya telah dibekali dengan pengetahuan di bidang kesehatan  yang bias mengupayakan pengobatan kepada orang-orang sakit dan memberi bimbingan kepada masyarakat Batak  agar dapat hidup sehat. Kemudian di seipak pos-pos penginjilan juga didirikan Balai-Balai pengobatan, dan bahkan juga rumah sakit penolong dan rumah sakit besar seperti  di Tarutung (1900) dan Di Balige (1917). Dengan adanya pengobatan secara medis ini, maka kebiasaan masyarakat sebelumnya  untuk memperoleh pengobatan dari seorang “datu” (dukun)  makin ditinggalkan.
            Dalam bidang kehidupan sosial Nommensen juga mempunyai perhatian yang besar.  Di setiap tempat  pelayanannnya dia selalu mengusahakan perdamaian  untuk mencegah kebiasaan berperang antara kampung, membasmi perbudakan (parhatobanon) di mana untuk ini dia sering menebus orang-orang yang sudah “diparhatoban” karena utang-utangnya,  membasmi praktek pinjam meminjam dengan bungan yang sangat besar dengan membangun system perkoperasian (kongsi) di setiap jemaat, membina masyarakat untuk mengetahui system pertanian yang intensif serta memanfaatkan tanah-tanah pekarangan yang kosong dan untuk menanami tanaman-tanaman yang produktif dan berguna untuk kehidupajn sehari-hari,  membuat gilingan padi yang diputar oleh “losung aek” (kincir air),    bahkan juga untuk mengatur hari-hari pekan dari Senen sampai Sabtu (tidak diikutkan hari Minggu  supaya ibadah ke gereja jangan sampai tergganggu),  demi membina system ekonomi yang lancar dan merata. Ini bias terlaksana khususnya di daerah Toba sampai sekarang.  Semua usaha ini memperlihatkan betapa besarnya perhatian Nommensen dan Zending  pada waktu itu kehidupan social  masyarakat itu. Tujuannya untuk memperoleh kehidupan yang lebih sejahtera, membebaskan manusia dari kemiskinan, kebodohan, dan berbagai penderitaan yang diakibatkannya.  Pelayanan dan perhatian seperti itu tidak patut dilupakan dan bahkan perlu dikembangkan oleh gereja dan umat Kristen, yang dalam hal ini tentu bekerjasama dengan pemerintah.  Karena sesuai dengan kesaksian Alkitab, Gereja dan Pemerintah adalah dua lembaga yang sama-sama datangnya dari Allah,  dan sama-sama hamba Allah dalam mengusahakan kehidupan umat manusia atau masyarakat yang lebih sejahtera.  (Roma 13: 1 dst) 

                                      * Penulis adalah Dosen STT-HKBP  di bidang Sejarah Gereja  
                                                        dan anggota Panitia Napak Tilas, Seksi Sejarah     


Tidak ada komentar:

Posting Komentar