Sabtu, 17 Agustus 2019

SEJARAH ISRAEL MENURUT MARTIN NOTH

Sejarah Israel menurut Martin Noth
(The History of Israel: London: Adam & Charles Black, 1959)
Oleh: Pdt Mangontang SM Panjaitan

PENDAHULUAN

                Sejarah Israel menurut Martin Noth ditulis dalam bukunya berbahasa Jerman  dengan judul  “Geschichte  Israel”. Kemudian buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stanley Godman dengan judul  “The History of Israel”, yang diterbitkan di London oleh Adsam & Charles Black tahun 1959, dengan tebal 452 halaman.
                Sejarah Israel yang ditulis oleh Professor Noth ini, umumnya diakui di kalangan para sarjana teologi  di bidang Perjanjian Lama sebagai tulisan yang sangat penting karena memberikan informasi yang sangat jelas dan mempergunakan metode-metode modern dalam upaya untuk menggambarkan kembali Sejarah Israel kuna itu.  Pertama buku itu diterbitkan tahun 1950, tetapi pada edisi selanjutnya , Noth kemudian merevisi dan memperluasnya, dari mana kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ke dalam tulisannya itu Martin Noth juga telah memasukkan hasil penggalian arkheologis dan studi terakhir mengenai Palestina, sehingga dia dapat mengutarakan dengan jelas  pengetahuan tentang Sejarah Timur Dekat Kuna itu dan juga mengenai perpetaan Palestina.
                Dalam bukunya itu dia menggambarkan permulaan Sejarah Israel adalah dari terbentuknya konfederasi dua belas suku-suku Israel , bersama dengan terbentuknya  lembaga-lembaga dan tradisi-tradisinya. Kemudian sejarah itu berlanjut  dengan pertumbuhannya menjadi suatu kekuatan politis di bawah pemerintahan Daud dan Salomo,  ketaklukannya kepada pemerintahan asing mulai dari  kerajaan Assiria, Babilonia, Persia dan Makedonia. Kemudian dilanjutkan dengan bangkitnya gerakan Makkabeus yang sempat membentuk pemerintahanan monarkhi, serta keruntuhannya pada zaman kekuasaan Roma.
                Dalam bagian pengantar  bukunya itu, Martin Noth mencoba mengutarakan beberapa pokok penting, yaitu mengenai: apa itu Israel, keadaan negeri Israel, situasi historis di Palestina kira-kira tahun 1200 seb.M, dan sumber-sumber yang dipergunakan untuk mempelajari Sejarah Israel.
                Kami melihat sejarah Israel yang ditulis oleh Martin Noth ini sangat perlu diketahui  umat Kristen, dan khususnya para teolog untuk membantu memahami  riwayat Israel yang diceritakan dalam Kitab Suci, khususnya  dalam Kitab Perjanjian Lama.

I.                    PENGANTAR KEPADA SEJARAH ISRAEL

1.1. Apa itu Israel?

Menurut Martin Noth, Israel adalah suatu realitas historis, suatu kenyatan yang benar-benar pernah terjadi dalam sejarah. Namun diakui bahwa sejarahnya itu sangat rumit sekali, melalui liku-liku kehidupan yang sangat sulit dimengerti, tanpa menghubungkannya dengan dengan sejarah keselamatan Allah. Sebutan bangsa dalam pengertian umum tidak pada tempatnya dikenakan kepada Israel, karena Israel sebagai satu kesatuan yang berpemerintahan sendiri, hanya sempat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat. Karena itu menurut Martin Noth, menyebut Israel cukup dengan sebutan Israel saja, tanpa mencantumkan sebutan bangsa di dalamnya.
Nama Israel berasal dari bahasa Ibrani “yisra’el” yang artinya AlLah berjuang. Istilah itu mengandung pengertian yang kolektif dan pemakaiannya baru mulai setelah terbentuknya suatu persekutuan  dua-belas suku di Palestina. Sebelum persekutuan itu terbentuk, masing-masing suku-suku itu  masih hidup terpisah satu sama lain sebagai kelompok-kelompok nomaden (pengembara) di daerah-daerah gurun pasir dan steppe di sekitar dan di luar daerah Palestina. Itu berarti bahwa sebelum adanya persekutuan itu, Israel belum ada. Karena itu menurut Martin Noth, sejarah Israel baru dimulai sejak terbentuknya persekutuan itu. Kalaupun dalam Kitab Perjanjian Lama, nama Israel nampaknya telah bermula dari leluhur mereka, yakni Yakub yang berubah nama menjadi Israel (Kej. 32: 29), itu hanya merupakan “personifikasi” dari situasi historis mereka, setelah mereka berkedudukan di negeri itu, dengan maksud supaya kesatuan mereka semakin kuat.
Persekutuan suku-suku itu kemudian sempat berdiri sebagai satu monarkhi yang dipimpin oleh seorang raja.  Tetapi ternyata di kemudian hari “dasar politis” sebagai satu monarkhi tidak mampu mempersatukan bangsa itu. Israel kemudian pecah, bahkan runtuh, hingga setelah keruntuhan itu, Israel tidak lebih dari satu ras yang harus tunduk di bawah kekuasaan dari kerajaan-kerajaan besar yang ada di sekitarnya. Dari reruntuhan itu timbullah Yudaisme, yang walaupun memang berakar dalam sejarah Israel, bentuk dan sifatnya telah mengalami perubahan, dari sebuah organisasi yang bersifat politis, menjadi sebuah organisasi yang bersifat keagaaman yang berpusat di Yerusalem. Pengalaman historis mereka telah mengharuskan demikian, karena dari sudut politis mereka hanya merupakan satu bangsa yang kecil dan lemah. Memang pada abad 20  dari rahim Yudaisme itu telah lahir  lagi satu kuantitas  historis yang baru  yang bernama “Israel”, yang bergerak dari berbagai negara untuk kembali ke “tanah airnya, negeri Israel yang lama, di bawah pimpinan gerakan “zionisme”. Namun ahli-ahli sejarah Israel  seperti Martin Noth berbependapat bahwa Israel yang sekarang ini, walaupun mempunyai hubungan historis dengan Israel yang lama, adalah terpisah dari Israel yang lama, bukan saja oleh faktor waktu yang sudah hampir dua ribu tahun lamanya, tetapi juga oleh kondisi historis yang sama sekali berbeda. Oleh karena itu, dikatakan tidak tepat lagi membentangkan kontinuitas sejarah Israel yang lama dengan sejarah Israel yang sekarang.

1.2. Negeri Isreal

Sebagaimana menurut  hasil penelitian para ahli, Martin Noth mengatakan bahwa  istilah “negeri Israel”, hanya satu kali terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama ( 1 Samuel 13: 19). Keterangan yang jelas mengenai batas-batas negeri itu tidak diperoleh. Hanya digambarkan bahwa di negeri itu sebelumnya sudah berdiam beberapa suku yang sering disebut, orang-orang Kanaan.
Kata “Palestina” yang dipergunakan untuk menyebut negeri Iisrael di kemudian hari adalah berasal dari literatur –literatur Kristen mula-mula, mengikuti sebutan yang lazim pada waktu itu. Pada zaman Perjanjian Baru dan zaman Kristen mula-mula, Palestina adalah satu provinsi dalam wilayah kekaisaran Roma. Nama itu dipilih untuk menyebutkan negeri Israel yang dulu, karena nama Yudea yang dulunya hanya sebagian dari negeri Israel tidak cocok lagi.
Keadaan negeri itu beraneka ragam, mulai dari daerah pegunungan, sejumlah dataran, tanah subur, padang pasir, hal mana banyak mempengaruhi corak kehidupan mereka  yang berbeda-beda dan cenderuang merenggangg satu sama lain.Keadaan  yang bergunung-gunung dan mempunyai jurang yang dalam membuat komunikasi di antara penduduknya menjadi sulit, sehingga  banyak yang hidup di daerah pegunungan merupakan kelompok  yang terpencil.
1.3. Situasi historis di Palestina sekitar tahun  1200 seb.M

Mengenai situasi historis di Palestina sekitar tahun 1200 seb.M, selain dari  sumber Kitab Perjanjian Lama,  bisa juga diketahui dari beberapa dokumen hasil penelitian  arkheologis seperti: Teks Ucapan Kutuk (Execration Texts) yang berasal dari Mesir (kira-kira tahun 1800 seb.M) yang tertulis dalam tembikar;  Log-log Amarna yang berasal dari abad 14 seb.M, yang ditemukan pertama kali pada tahun 1887 M pada reruntuhan Mesir hulu; Teks-teks Mari ( arsip-arsip raja-raja Mari – sebuah kota tua di daerah Eufrat  Tengah); Teks-teks Ras Schamra (sezaman dengan Log-log Amarna, yang ditemukan oleh orang-orang Francis pada tahun 1929 pada penggalian reruntuhan pantai Utara Syria Utara; Laporan-laporan Mesir tentang kampanye Parao mengenai kerajaannya yang baru di Palestina dan Syria.
Dari dokumen-dokumen itu bisa diketahui tentang  situasi historis pra-Israel di Palestina.  Menurut Martin Noth, suku-suku itu memasuki Palestina sekitar tahun 1200 seb.M. Ketika itu bangsa-bangsa di Palestina telah memiliki peradaban yang lebih tinggi, sudah lama hidup dalam Zaman Perunggu atau Zaman Besi. Ini nampak dari  peralatan-peralatan  rumah dan bangunan-bangunan atau tempok yang mereka temukan. Keterangan ini sesuai pula dengan tradisi Perjanjian Lama yang mengatakan bahwa ketika memasuki negeri itu orang Israel telah menemukan orang-orang Kanaan menempati rumah-rumah yang permanen. Orang  Israel kemudian memanfaatkan kebudayaan setempat , termasuk mempergunakan bahasa  setempat yaitu bahasa –Semitic-Kanani yang berkembang menjadi bahasa Ibrani sebagai bahasa kesatuan mereka.
Sekitar tahun 1200 seb.M itu juga, pemerintahan Parao dari Mesir, yang sempat berkuasa di Palestina beberapa abad lamanya  telah berakhir. Demikian juga Kerajaan Hitti di Utara ( Asia Kecil dan Syria Utara).  Melemahnya kekuatan Mesir dan Hitti ini adalah disebabkan oleh adanya gerakan perpindahan  sekelompok orang  dari Yunani, melalui Asia Kecil, yang kemudian menelusuri pantai Barat Palestina, bergerak ke arah Selatan. Kelompok orang ini kemudian disebut orang Filistin. Di bagian pantai Selatan daerah Palestina itu mereka mendiami beberapa kota, yakni Gaza, Askelon, Asdod, Akkaron dan Gath. Menurut Kitab Amos 9: 7 dan Yeremia 47: 4. Mereka berasal dari Kaftor, yaitu pulau Kreta. Tetapi mereka bukanlah penduduk asli pulau Kreta. Tempat itu hanya merupakan persinggahan mereka terakhir setelah menempuh perjalanan yang jauh sebelum mereka tiba di Palestina. Belum diketahui secara pasti dari mana asal usul mereka yang sebenarnya. Tetapi mereka mempunyai sifat yang sangat  gigih berperang, sehingga kehadiran mereka di Palestina, yang hampir bersamaan dengan masuknya orang-orang Israel ke sana, telah memberi  konsekuensi yang besar dalam sejarah Israel.

1.4. Sumber-sumber untuk pengetahuan Sejarah Israel   

Menurut Martin Noth, dokumen-dokumen dan penemuan-penemuan arkheologis yang bisa memberi informasi tentang Sejarah Israel Kuna, telah banyak ditemukan. Namun semuanya itu tidak bisa dijadikan sebagai sumber utama. Sumber Utama adalah Kitab Perjanjian Lama, dan itulah yang memberi arah sejarah Israel. Karena itu sumber-sumber di luar Kitab Perjanjian Lama hanya sebagai pelengkap.
Buku-buku yang memberi garis sejarah Israel dalam Kitab Perjanjian Lama, terutama adalah: Kitab Ulangan, Kitab Yosua, Hakim-hakim, Samuel dan Raja-raja, yang para ahli Kitab Perjanjian Lama biasa menyebutnya dengan karya “Deuteronomistik”. Karya Deuteronomistik inilah yang memberi tafsiran yang pertama tentang sejarah Israel sampai tahun 587 seb.M. Penulisnya mempergunakan sumber-sumber tradisional yang telah melampaui periode-periode yang berbeda, tetapi dijalin menjadi satu sejarah untuk dipelajari oleh keturunan mereka.
Setelah tradisi Perjanjian Lama berakhir, maka sumber yang tersedia untuk sejarah Israel pada abad ke dua  seb.M dan seterusnya, adalah ke dua buku Makkabeus, yang muncul dalam karya “Hellenistik” Perjanjian Lama, yakni dalam Kitab Septuaginta.  Demikian juga tulisan-tulisan Yosefus, sejarawan Yahudi yang terkenal itu, yang memberi informasi yang lengkap tentang sejarah Israel hingga rahun 73 M. Buku-buku lain yang memberi informasi secara tidak langsung ialah tulisan-tulisan sejarah hellenistik dan kekaisaran Roma, karena di dalamnya sejarah Israel juga terkandung.
Tradisi sebagai sumber historis, diakui memang  sangat bersifat subyektif. Tetapi menurut Martin Noth, bagaimanapun obyektifnya sesuatu sejarah dilukiskan, sifat subyektifitas tidak bisa dihindarkan dari dalamnya.  Fakta historis baru mengandung makna, apabila diberi suatu arah. Pekerjaan memberi arah itu, sudah merupakan penafsiran  yang sifatnya adalah subyektif, tanpa menghilangkan keobyektifan dari peristiwa hidtoris itu.

II.                  ISRAEL SEBAGAI PERSEKUTUAN DUA BELAS SUKU

2.1.  Asal-usul suku-suku Israel

Menurut Martin Noth, sebelum berkediaman di Tanah Palestina, Israel merupakan  suku-suku yang hidup terpisah satu sama lain. Mereka bukanlah penduduk asli Palestina, melainkan datang dari gurun pasir dan padang rumput  pada suatu waktu tertentu. Tidak banyak diketahui tentang sejarah dari masing-masing suku itu sebelumnya. Tetapi mereka kemudian  mendiami Palestina, dan masing-masing suku menempati  wilayah tertentu. Mengenai batas-batas wilayah setiap suku, penulis Deuteronomis melaporkannya secara luas ( Yosua 13 dst). Mengenai asal-usul masing-masing suku tersebut, tidak semua berasal dari nama orang, tetapi ada juga berasal dari nama tempat yang mereka diami.
Yang mendiami daerah Palestina Selatan: suku Yehuda. Nama suku ini berasal dari nama tempat kediaman mereka. Di daerah Palestina Selatan, banyak tempat yang diperhubungkan dengan nama Yehuda, seperti: pegunungan Yehuda (selatan Yerusalem), gurun pasir Yehuda (Barat Laut Mati).  Mungkin orang-orang yang berdiam di sekitar tempat itu kemudian disebut orang-orang Yehuda atau suku Yehuda.  Agak ke bagian Selatannya, masih banyak lagi suku-suku kecil yang lain, misalnya suku Kaleb (keturunan Kenas: Bil. 32: 12; Yos.14: 6.14) yang memiliki kota Hebron; selain itu suku Othniel (juga keturunan Kenas) yang menduduki kota Debir ( Yos.15: 15-19; Hak. 1: 11-15); suku Keni (Kain), yang hidup di sebelah tenggara kota Hebron (Yos.15: 55-57; 1 Sam. 30: 29); suku Yerahmeel, yang hidup bertetangga dengan suku Keni ( 1 Sam. 30: 29; 1 Sam. 27: 10; Yerahmeel adalah bersaudara dengan Kaleb ( 1 Taw. 2: 9-42); suku Simeon, yang tidak disebutkan dalam daftar perbatasan suku-suku pada Yos. 13  dst; dalam Hak. 1: 1 dst disebut, suku Simeon berdampingan dengan Yehuda, yang mungkin jauh di bagian Selatan. Seluruh suku-suku kecil ini  yang bertempat  dalam satu wilayah kemudian disebut suku Yehuda.
Suku-suku yang paling penting secara historis adalah yang  berada di Palestina Tengah, yaitu: Suku Yosef, yakni sejumlah keluarga yang tinggal  di pegunungan Barat Yordan. Nama himpunan keluarga ini adalah berdasarkan nama orang, yang kemudian terbagi atas dua  marga yakni: Manase dan Efraim. Efraim mendapat bagian lebih luas, memanjang dari Betel di Selatan  sampai Sikhem di Utara. Nama itu berasal dari nama tempat, karena dalam Kitab Perjanjian Lama kita sering menjumpai  adanya “hutan Efraim”,  dan juga pegunungan Efraim ( 1 Raja. 4: 8; Yos. 20: 7; 21: 21; 17: 15; Hak. 7: 24; 1 Sam. 1: 1). Dalam 2 Samuel 13: 23, Efraim adalah nama sebuah desa. Ke dalam lingkungan suku Yosef ini  termasuk juga marga Makhir, yang menurut tradisi Perjanjian Lama adalah anak pertama dari Manase ( Yos. 17: 1), yang kemudian pindah ke  wilayah Timur Yordan. Sedang yang mendiami Barat Yordan tetap disebut suku Manase.
Di sebelah Selatan kediaman suku Efraim berdiam suku Benyamin, yang mendiami satu wilayah kecil di Timur Laut Yerusalem. Nama Benyamin berarti, “dia yang tinggal di Selatan.
-          Suku Gad berdiam di wilayah Timur Yordan, mulai dari Arnon di Selatan dan Yabok di Utara, ditambah dengan  sebagian lembah Timur Yordan (Yos. 13: 15 dst). Tanah Gad ini kemudian dibagi dua, yang separuhnya pada bagian Selatan diperuntukkan bagi suku Ruben.  Bagaimana halnya maka suku Ruben berdiam di sana, kurang jelas diketahui, karena dalam sumber yang lebih tua, yaitu Nyanyian Debota pada Hak. 5: 15-16, masih menyebut  bahwa daerah Ruben adalah di sebelah Barat Yordan.
Suku-suku yang berdiam di sekitar pegunungan Naftali (Palestina Utara)
-          Suku Asher, mempunyai wilayah yang agak luas arah pantai Laut  Tengah (Yos.19: 24-31). Suku ini termasuk kecil, yang namanya mungkin berasal dari  nama satu ilah di daerah itu.
-          Suku Zebulon, tinggal di pegunungan Galilea, sebelah  Timur dari bagian selatan  wilayah Asher. Suku ini  merupakan suku kecil dan  wilayahnya juga tidak begitu luas.
-          Suku Naftali,: Dalam Ulangan 33: 18-19, Zebulon dan Naftali disebut secara bersama-sama. Naftali di sbelah Utara Zebulon.
-          Suku Isasar dalam Yosua 19: 34 disebut bahwa Zebulon, Isasar dan Naftali  berbatasan  dengan gunung Tabor.
-          Suku  Dan, hidup agak terisolasi di bagian Utara, di hulu sungai Yordan. Sebelumnya daerah itu berpusat di kota Lais yang merupakan kota Kanan. Tetapi suku ini kemudian  menguasai kota itu lalu namanya diganti menjadi Dan (Hak. 18: 29). Nama suku ini berasal dari nama orang,  yakni nama leluhur mereka.
Pendudukan tanah itu oleh suku-suku Israel 
Melihat kepada tempat-tempat yang didiami oleh suku-suku Israel itu, nampak bahwa kebanyakan daerah-daerah itu masih merupakan daerah yag belum berpenghuni. Tempat-tempat mereka itu kebanyakan daerah pegunungan, sedangkan dataran-daran rendah sebelumnya sudah  didiami oleh orang-orang Kanaan, di mana mereka mendirikan kota-kota. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada mulanya suku-suku itu memasuki tempat-tempat itu bukanlah dengan cara perang, melainkan dengan jalan baik-baik dan damai. Di bagian-bagian daerah yang diduduki oleh suku-suku Israel, hanya dijumpai sedikit pemukiman orang-orang Kanan, yang walaupun di kemudian hari setelah mereka bertetangga, suku-suku Israel  merebut kota-kota Kanan itu dengan kekuatan militer. Namun secara umum kedatangan suku-suku Israel ke sana tidak menimbulkan konflik bagi orang-orang Kanan, khususnya mereka yang bermukim agak jauh dari pemukiman Israel.
Masuknya suku-suku Israel di Palestina melalui proses yang lama, bukanlah merupakan satu gerakan yang terjadi dalam satu waktu. Sebelum mereka masuk di Palestina, mereka belum mempunyai hubungan timbal balik satu sama lain, dan belum mempunyai nama suku. Nama-nama suku-suku itu baru muncul setelah mereka menetap di Tanah Kanan. Ada yang memberikan nama sukunya berdasarkan nama tempat kediaman mereka, seperti suku Yehuda, Efraim, Benyamin, Naftali, ada yang memberi nama suku mereka berdasarkan  pimpinan mereka seperti Manase, dan ada yang berdasarkan keadaan khusus di negeri itu seperti Isasar, dan lain-lain.  Di Tanah Kanan mereka menjalin suatu persekutuan yang diberi nama Israel.
Cara masuknya suku-suku ini  ke tanah pertanian Palestina, mula-mula mungkin hanya disebabkan oleh proses pertukaran padang rumput.  Telah menjadi kebiasaan di tengah-tengah orang-orang semi-nomaden, bahwa pada musim kering, di padang rumput  tempat mereka domba-domba mereka tidak memperoleh rumput lagi, sehingga mereka memasuki daerah pertanian yang sudah selesai panen. Tetapi lama kelamaan mereka semakin tertarik untuk tinggal menetap di daerah pertanian itu. Keinginan mereka itu memang masih dimungkinkan, karena  tanah di sekitar daerah pertanian itu masih banyak lagi yang kosong dan belum berpenghuni.  Di kemudian hari timbul pengakuan dari suku-suku tersebut, bahwa berhasilnya mereka bermukim di daerah pertanian yang subur itu adalah merupakan berkat yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Timbul pulalah tradisi sebagaimana ditulis dalam kitab Perjanjian Lama, bahwa tanah  Palestina itu adalah tanah “yang sudah dijanjikan Allah bagi mereka”.
Proses pendudukan terakhir dari suku-suku Israel di Palestina  menurut Martin Noth mungkin sudah selesai  seratus tahun sebelum Saul naik tahta menjadi raja, yaitu pada peralihan  Zaman Perunggu ke Zaman Besi. Suku-suku itu bergerak dari padang gurun Syria, Arabia, dan lain-lain. Perpindahan itu biasa disebut perpindahan orang-orang Aram. Dalam Kitab Perjanjian Lama, disebutkan bahwa  leluhur Israel adalah orang Aram (Ulangan 26: 5), dan mempergunakan bahasa Aram, dan kemudian mereka juga mempergunakan bahasa Kanaan (Yesaya 19: 18).  Bahasa Aram dan bahasa Kanaan memang  berhubungan erat, hanya merupakan dialek berbeda. Dari percampuran dialek inilah kemudian timbul bahasa Ibrani seperti dikenal dalam Kitab Perjanjian Lama.
2.2.  Persekutuan suku-suku Israel
2.2.1.        Sistem dua belas suku
Tradisi Perjanjian Lama mengatakan bahwa  Israel terdiri dari dua belas suku, walaupun ke dua belas suku itu muncul kepada kita dalam dua bentuk. Dalam satu bentuk suku Lewi termasuk di dalamnya dan Yosef  hanya satu suku saja. Tetapi dalam bentuk yang lain, suku Lewi tidak dimasukkan  di dalamnya, sedangkan  Yosef  dibagi  dua suku, yakni  suku Manase dan suku Efraim. Bentuk pertama dapat kita lihat  dalam Kejadian 29: 31 – 30: 24 dan 35: 16-18; sedang bentuk yang kedua dapat  kita lihat dalam Bilangan 26: 4b-51.
Persekutuan dua belas suku  ini adalah gabungan dari  “dua kelompok enam suku”, yang kenurut Kejadian 29: 31 dst, enam suku yang pertama ialah “suku-suku Lea” (Ruben, Simeon, Lewi, Yehuda, Zebulon dan Isasar), dan enam suku yang ke dua ialah “suku-suku Rahel” (Manase, Efraim, Benjamin, Dan, Aser dan Naftali).
Persekutuan sistem dua belas suku, sebenarnya bukan hanya gejala khusus bagi Israel. Dalam Perjanjian Lama kita juga dapat melihat bahwa di luar Israel masih ada lagi beberapa bangsa yang terdiri dari dua belas suku, misalnya orang Ismael (Kejadian 25: 13-16 : Nebayot, Kedar, Adbeel, Mibsam, Misyma, Duma, Masa, Hdad, Tema, Yetur, Nafish dan Kedma). Dan orang Edom (Kejadian 36: 10-14). Kerena itu rupanya persekutuan sistem ini sudah merupakan  kebiasaan suku-suku di sekitar Palestina pada waktu itu. Menurut Martin Noth, sistem  ini berkembang dari sistem “Amphictyoni Yunani”.  Amphictyoni adalah persekutuan yang terdiri dari enam atau dua belas suku yang berpusat pada satu tempat suci. Masing-masing suku bertanggung-jawab secara bergiliran untuk membiayai pemeliharaan tempat suci itu.
Dari sejarahnya  diketahui bahwa pusat amphictyoni  suku-suku Israel telah mengalami proses perubahan, mulai dari Sikhem, Bethel, Gilgal dan akhirnya ke Siloh. Di Siloh, tabut Allah, sebagai pusat peribbadahhan mereka telah ditempatkan dalam Bait Allah  ( 1 Sam.3: 3; bd Yer. 7:14; 26: 9). Terjadinya beberapa kali perpindahan dari tempat suci itu, memberi petunjuk bahw pada mulanya kebiasaan hidup  di padang pasir yang sering berpindah-pindah masih terbawa  dalam kehidupan mereka di daerah pertanian itu. Barulah kemudian  dipikirkan perlunya satu tempat suci yang menetap.
Tetapi selain adanya tempat suci yang berlaku untuk seluruh suku itu, masih ada lagi tempat-tempat suci yang bersifat lokal, yang hanya  berlaku secara khusus bagi satu suku tertentu. Di tempat-tempat suci lokal inilah anggota-anggota suku mengadakan ziarah. Tetapi yang menjadi tempat peribadahan umum bagi seluruh  suku-suku itu hanya dilakukan pada pusat tempat suci itu.
2.2.2.        Lembaga-lembaga yang ada dalam kehidupan Israel  dalam bentuk persekutuan suku itu
Ada beberapa kegiatan yang sudah melembaga dalam hidup persekutuan suku-suku Israel, yakni:
1). Peribadahan umum/ lembaga keimaman
Peribadahan umum dilakukan di pusat tempat suci. Peribadahan umum ini merupakan upacara pemberian korban secara teratur pada waktu-waktu tertentu, paling sedikit sekali setahun. Ini dihadiri oleh seluruh suku itu ataupun berupa utusan  ( 1 Sam. 1: 3 dst). Peraturan yang mengatakan bahwa seluruh  laki-laki akan hadir tuga kali setahun di hadapan Tuhan ( Keluaran 3: 17; 34: 3), hanyalah berlaku untuk tempat suci lokal, yang berkenaan dengan ketiga kali pesta pertanian yang dirayakan di tempat itu. Ketiga hari raya itu adalah: Hari Rara Roti tidak beragi, Hari Raya menuai buah bungaran hasil usaha, dan Hari Raya pengumpulan hasil pada akhir tahun.
Pada upacara tahunan yang dilakukan di tempat suci pusat itu, seluruh perwakilan suku-suku yang berkumpul juga membiacarakan hal-hal yang penting menyangkut kehidupan persekutuan itu. Perwakilan itu disebut dalam bahasa Ibrani “nasi” , yang artinya pembicara atau kepala suku. Dalam Kitab Bilangan 1: 5-16; 13: 4-15; 36: 17-8, dapat dilihat daftar nama-nama perwakilan suku-suku  itu. Sampai di mana tugas-tugas dari para “nasi” ini tidak dapat  diperoleh secara mendetail. Tetapi yang pasti tugas mereka bukanlah mengurus upacara kebaktian, karena di tempat suci pusat itu telah ada lembaga keimaman yang permanen. Di Siloh, Eli dan anak-anaknya telah bekerja sebagai imam, yang melayani  di hadapan tabut perjanjian Allah ( 1 Sam. 1-3). Tabut perjanjian itu adalah simbol kehadiran Allah, yang mengikat perjanjian dengan umatNya.
2).     Lembaga hukum / peradilan
Hukum memainkan peranan yang penting dalam kehidupan Israel sebagai persekutuan suku-suku. Hukum itulah sebagai pengikat dan pengatur kehidupan suku-suku itu. Peranan hukum kepada kepada kehidupan iman mereka juga sangat kuat, karena menurut kepercayaan mereka, apabila hukum itu dipelihara dengan baik akan membawa berkat bagi mereka, sedang apabila dilanggar akan membawa kutuk. Dasar kekuatan hukum itu adalan perjanjian antara Allah dan umat itu, yang selalu diulang-ulang pada setiap upacara kebaktian tahunan  di tempat-tempat suci pusat ( Yos. 4: 5). Dari semula kekhususan Israel  bukan terletak pada bentuk agamanya yang mempunyai pusat-pusat peribadahan, melainkan terletak pada kepatuhan umat itu kepada hukum Allah. Hal ini juga didukung oleh tradisi Perjanjian Lama yang paling tua, satusatunya jabatan yang disebutkan ialah jabatan  jabatan hakim, bukan jabatan imam. Dalam Kitab Hakim 10: 1-15; 1: 7-15, ada disebutkan beberapa “hakim kecil” yang dibedakan dari “hakim besar”. Hakim besar adalah pemimpimpin kharismatik, sedangkan hakim kecil adalah yang menjalankan keberlakuan dari hukum-huum itu.
3).     Dewan penatua
Di lain pihak, pemeliharaan keadilan juga terletak di tangan penatua-penatua suku-suku itu, yang jika mereka membicarakan sesuatu perkara mereka berkumpul di pintu-pintua gerbang. Pertimbangan mereka didasarkan pada tradisi-tradisi dan hukum oral, yang menyangkut undang-undang sipil. Dewan penatua ini ada yang meliputi seluruh suku itu yang merupakan utusan dari setiap suku ( Ulangan 31: 8); dan juga penatua yang hanya berfungsi untuk masing-masing suku Israel ( 1 Sam. 30: 6;  2 Sam. 19: 12; Yeh. 8: 1 – penatua Yehuda; Hakim 11: 5 – para tua-tua Gilead).          
Hukum-hukum Allah yang disampaikan dan ditafsirkan kepeda persekutuan suku-suku itu secara terus menerus untuk dipelihara secara seksama, telah membedakan Israel dari bangsa-bangsa lain.
4). Lembaga pertahanan
Di tengah-tengah suku-suku Israel ada satu organisasi  yang mengurus pertahanan persekutuan itu. Tetapi organisasi pertahanan ini tidak meliputi  tentera-tentera yang profesional yang lengkap dengan peralatan  perang, sebagaimana dimiliki oleh kelompok orang-orang Kanaan. Tentera-tentera Israel hanya terdiri dari “free-men” yang mengabdikan dirinya secara pribadi untuk persekutuan itu. Dari antara mereka ada yang mengabdikan dirinya melalu “nazar”, seperti Simson yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bagi orang Israel, suatu perang langsung dipimpin oleh Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Hakim-hakim. Kelompokj-kelompok yang mengabdikan dirinya itu hanya berfungsi sebagai pasukan Allah, sehingga ada yang disebut “pasukan seribu” ( 1 Sam. : 3; Hakim 6: 15), dan ada juga “pasukan lima puluh” ( 1 Sam. 8: 12).
2.2.3.        Tradisi-tradisi tentang persekutuan suci ke dua belas suku Israel
Ada beberapa tradisi yang hidup di tengah-tengah suku-suku Israel, yakni:
1).     Tradisi kebebasan dari Mesir
Salah satu fasal pengakuan iman (credo) Israel ialah Allah membawa mereka keluar dari Mesir ( bd. Bil. 3: -4;  Sam. 7: 3; 1 Sam. 4: 8; Hak. 6: 13; Kel. 0: . dll.).  Dalam credo itu mereka juga mengakui bahwa saat keluaran mereka dari Tanah Mesir itulah permulaan hubungan mereka kepada Allah (   2 Sam. 7: 6). Pengakuan iman ini harus diucapkan oleh  setiap orang Israel di tempat suci di hadapan imam, sewaktu  mereka mempersembahkan hasil pertama dari ladangnya. Dalam pengakuan iman ini yang menjadi tekanan sebenarnya bukanlah mengenai kebebasan suku-suku itu, melainkan  perbuatan Allah Israel yang besar yang nampak di sana. Israel  pernah diperhamba di Mesir, tetapi Allah telah melepaskan mereka dari perhambaan itu secara ajaib. Ini berarti bahwa munculnya tradisi ini adalah untuk menumbuhkan iman  umat itu akan bimbingan dan perbuatan Allah yang besar bagi mereka.  Tetapi bagi Martin Noth, peristiwa keluaran  sebagaimana disebut oleh tradisi  itu hanyalah merupakan peristiwa pra-sejarah Israel, karena pengalaman itu bukanlah pengalaman dari seluruh suku-suku itu. Tradisi Keluaran dari Mesir, pada mulanya hanyalah merupakan tradisi dari beberapa suku yang bermukim di Palestina Tengah, yang menceritakan bahwa nenek moyang mereka  pernah menompang di Mesir. Setelah terbentuknya  persekutuan suku-suku itu, maka tradisi  tersebut kemudian diberlakukan  bagi seluruh Israel.
2). Tradisi tentang: Bapa-bapa leluhur
Sebagaimana halnya  dengan tradisi keluaran dari Mesir, tradisi-tradisi tentang Bapa-bapa leluhur juga mempunyai arti historis dari sudut iman Israel. Tekanan yang paling mendasar dari tradisi itu sebagaimana dapat dilihat dalam Kitab Pentateukh ialah janji Allah  tentang pemberian Tanah Kanaan dan pemberian keturunan yang mendiami  tanah itu. Ini berarti bahwa tradisi ini memberi keyakinan bagi orang Israel bahwa berhasilnya mereka  bermukim di negeri itu tidak terlepas dari bimbingan Allah yang sudah lama mempersiapkan negeri itu bagi mereka.
Pada mulanya tradisi ini hidup secara terpisah-pisah di tengah-tengah suku-suku Israel, yang mempunyai corak yang agak berlainan. Misalnya tradisi tentang Yakob sebagai leluhur mereka, pada mulanya hanya hidup di kalangan suku Yosep ( di Palestina tengah; tradisi tentang Isak dan Abraham masing-masing adalah hidup di kalangan suku-suku di pegunungan Yehuda Selatan dan Negeb. Di tengah-tengah persekutuan Israel, tradisi ini kemudian dijalin, hingga merupakan suatu sejarah yang menjelaskan tentang campur tangan Allah yang membimbing mereka kepada posisinya sebagai suatu bangsa yang berdiam di negeri yang diberikan Allah kepada mereka.
3).     Tradisi tentang : Perjanjian di Sinai
Tradisi ini masuk menjadi bahan Kitab Pentateukh pada waktu belakangan, walaupun tradisi ini sebenarnya telah hidup pada zaman sebelum terbentuknya monarkhi Israel. Tradisi ini berkenaan dengan Pernyataan Allah kepada Israel di gunung Sinai melalui gejala alam yang dahsyat, saat mana ditetapkan hubungan yang permanen antara Allah dan umat itu dalam bentuk perjanjian. Dalam perjanjian itu Allah memberikan perlindungan dan jaminan keselamatan bagi umat itu, sedang umat itu berjanji akan mematuhi Firman dan  Hukum Allah (Kel. 4: 1-11; 34: 1-18).
Di kemudian hari tradisi Gunung Dinai  dan tradisi Keluaran Dari Mesir dijalin dalam Kitab Pentateukh. Tradisi ini dulunya  dipegang oleh kelompok-kelompok yang sudah mempunyai kebiasaan melakukan ziarah ke Gunung Sinai, karena meyakini bahwa gunung itu adalah suci dan sebagai tempat penyataan Allah. Bentuk peribadahan di gunung Sinai ini kemudian memberi pengaruh yang kuat terhadap imam-imam Israel.  Nama , Yahwe yang menjadi nama Allah yang disembah  oleh umat Israel, diambil dari nama Allah yang disembah di gunung Sinai. Ketika Musa melihat penyataan Allah di gunung itu, nama  Allah yang diperkenalkan kepadanya adalah Yahwe (Keluaran 3: 4 dst). Yahwe itu artinya “Akulah Aku”  (Kel. 3: 14)
III.                KEHIDUPAN ISRAEL LAMA DI BUMI PALESTINA-SYRIA

3.1.  Penampakan diri suku-suku itu di Israel
3.1.1.        Hubungan mereka dengan penduduk yang mendahului mereka
Menurut Kitab Perjanjian Lama, penduduk yang bermukim di Palestina pada zaman pra-Israel  adalah orang-orang Kanaan, tanpa membedakan keberbagaian  ethnis mereka. Orang-orang Kanaan tersebut biasanya hidup secara terpusat di kota-kota.  Pegunungan dan pedalaman hampir tidak didiami mereka. Kota-kota yang didirikan oleh mereka itu kebanyakan berada di bagian tanah yang datar dan dikelilingi oleh tembok-tembok yang sangat tinggi dan kuat. Cara kehidupan mereka dengan kebudayaan kota, pertanian industri, perdagangan; mereka mempunyai sistem pemerintahan seorang raja, sistem militer dan sistem peribadahan yang sangat asing bagi orang-orang Israel. Bagi orang-orang Israel, cara kehidupan dan kebiasaan orang-orang Kanan itu adalah gambarn orang-orang yang tidak bermoral dan  keji  (bd. Kejadian 9: 20-7).  Perlakuan yang sangat keji itu  khususnya  dilihat oleh mereka menyangkut kehidupan ibadah orang-orang Kanaan. Bagi orang-orang Kanaan, dalam rangka memuja dewi kesuburan Astarte,  di kuil-kuil ada perkawinan suci, prostitusi suci dan kurban-kurban wanita. Namun ada juga assimilasi  di antara orang-orang  Israel dan orang-orang Kanaan  itu melalui perkawinan  (Kejadian 38). Dan lama-kelamaan banyak juga kota-kota Kanaan  yang berhasil ditaklukkan oleh orang-orang Israel, seperti kota Gibeon (Yosua 10: 1-15), kota Hebron  oleh suku Kaleb dan Debir oleh suku Othniel (Hakim 1: 10-15; Yosua 15: 14-19). Kota Betel yang dulu bernama Lus dikalahkan oleh suku Yosep ( Hak. 1: -6), kota  Hesbon sebelah Timur Yordan dikalahkan oleh  suku Gad ( Bilangan 1: 7-30), dan kota Lais diduduki oleh suku Dan ( Hakim 18: 27).
Menurut  tradisi Perjanjian Lama, penaklukan itu langsung pada saat  pendudukan negeri itu oleh  Israel. Tetapi dari sudut historisnya menurut  Martin Noth, penaklukan  itu  tentu melalui proses yang lama, sejalan dengan perkembangan  suku-suku Israel di negeri itu.

3.1.2.        Di bagian Timur sungai Yordan, suku-suku Israel juga bertetangga dengan sejumlah suku-suku yang juga datang dari daerah gurun dan memasuki Palestina dalam waktu yang hampir bersamaan  dengan kehadiran suku-suku Israel itu negeri itu.  Suku-suku itu juga telah mempersatukan dirinya menjadi bangsa-bangsa yang berdaulat, serta berusaha memperluas wilayahnya ke bahagian daerah-daerah yang diduduki  oleh  suku-suku Israel.  Suku-suku itu adalah  Ammon, Moab dan Edom. Memang tantangan dari suku-suku bangsa  di bagian perbatasan Timur ini tidak begitu banyak berpengaruh dalam sejarah Israel. Malah pada masa monarkhi Daud dan Salomo, suku-suku bangsa ini bisa ditaklukkan ke bawah kekuasaan Israel.
Tantangan yang paling berat ke pada suku-suku Israel datang dari bagian Barat, yaitu dari orang-orang Filistin. Orang-orang ini juga hampir bersamaan datangnya dengan orang-orang Israel   di Palestina. Orang-orang Filistin ini mendirikan benteng-benteng pertahanan dalam beberapa kota sepanjang  pantai Selatan Palestina. Dari sanalah mereka berusaha  memperluas wilayahnya ke daerah-daerah yang diduduki  oleh orang Israel, sehingga  menimbulkan pertikaian dengan orang-orang Israel. Mengenai pertikaianb orang-orang Israel dengan  orang-orang Filistin ini dapat kita ketahui dengan jelas darita tentang Simson dalam kitab Hakim-hakim 13-16.

3.2.   Transisi ke arah pertumbuhan kekuatan politis  

3.2.1.        Episode Monarkhi Saul
Dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain yang hampir seumur dengan Israel, baik yang berada di bagian Barat Palestina, maupun yang berada di bagian Timur, Israellah yang paling belakangan membentuk dirinya menjadi satu organisasi politis.  Dalam kitab Hakim 8: 3, dikatakan bahwa  setelah kemenangan orang Israel atas orang-orang Midian, di bawah pimpinan Gideon, maka orang-orang Israel menawarkan jabatan raja atau pemerintah  kepada Gideon. Tetapi Gideon menolak  dengan berkata: “Aku tidak akan memerintah kamu dan juga anakku tidak akan memerintah kamu, tetapi Tuhan yang memerintah kamu” (Hakim 8: 23). Adanya keinginan orang-orang Israel mempunyai  seorang raja yang memerintah mereka  adalah karena pengaruh bangsa-bangsa sekitar yang telah mempunyai organisasi  politis dalam bentuk monarkhi yang turun temurun. Orang-orang Filistin misalnya, menurut penglihatan orang Isrtael, semkin kuat , dan bahkan semakin mendesak mereka, adalah karena mereka telah mempunyai  pimpinan raja yang  tetap.  Karena desakan orang-orang Israel ini, maka Samuel sebagai “Hakim” Israel pada waktu itu memberikan jabatan raja atas orang Israel. Saul, anak Kish, dari suku Benyamin terpilih menjadi raja yang pertama  yang bertempat di Gibeah. Menurut 1 Samuel 11, penampakan Saul yang pertama  di hadapan umum baru setelah “roh Allah” hinggap di atasnya, yang oleh karena kekuatan roh itu maka dia dapat bertindak secara spontan. Ini menunjukkan bahwa Saul masih tergolong kepada   pemimpin kharismatis  seperti para Hakim sebelumnya. Tugas pertama yang dilakukan Saul ialah mempersatukan suku-suku Israel menjadi satu kekuatan   yang mampu menghembang ancaman musuh, khususnya  bangsa Filistin. Pada tahap pertama Saul masih bisa berhasil, tetapi pada akhirnya dia gagal, hingga orang-orang Filistin berhasil menguasai Israel melalui suatu perang yang banyak  menewaskan orang-orang Israel, termasuk anak-anak Saul. Saul sendiri mati bunuh diri karena kekalahan itu.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan Saul itu, yakni:
Pertama:  Terjadinya pertentangan antara dia dengan Samuel selaku “orang Allah atau pelihat itu” ( bd. 1 Samuel 13: 13-18:  15: 10-35) dan kepada para imam ( 1 Samuel 22: 11 dst).
Kedua:  Terjadinya perpecahan di antara suku-suku Israel  sehubungan dengan munculnya Daud sebagai tandingan Saul.
Ketiga: Karena karakter Saul sendiri yang sangat buruk.

3.2.2.        Kerajaan Daud

Situasi yang diakibatkan oleh kegagalan Saul merupakan latar-belakang bangkitnya Daud menjadi Raja. Sebelum munculnya Daud melanjutkan monarkhi Saul, perkembangan Israel ke arah kekuatan politis, memasuki suatu fase yang baru dan menentukan.
Berbeda dengan Saul, Daud menjalankan suatu politik diplomasi dan berjalan secara konsisten sejak dari mulanya, hingga dia  berhasil mempersatukan  suku-suku Israel menjadi satu kerajaan. Daud adalah seorang suku Yehuda dari Betlehem  (kota pusat Yehuda). Di tangan Daud suku Yehuda sebagai suku yang paling penting dari antara suku-suku di Palestina Selatan, untuk pertama kali bisa bertumbuh sebagai satu faktor historis  yang sangat penting.
Daud memulai jenjang kariernya dengan terpanggilnya dia untuk pertama kali sebagai  pembawa senjata Saul ( 1 Samuel 16: 21). Dengan sangat cepat dia menjadi populer di tengah-tengah orang-orang Israel, karena  ternyata dia adalah seopang yang cakap memimpin militer. Karena kecakapannya itu maka Saul merasa  cemburu dan curiga kepadanya  ( 1Samuel 18: 6-9). Akibatnya Daud sering mau dibunuh  dan dikejar-kejar oleh Saul.  Dau melarikan diri dan sempat meminta perlindungan  kepada orang-orang Filistin. Dalam hal ini Daud memang ternyata  adalah seorang yang sangat licik; di hadapan orang-orang Filistin itu dia menunjukkan sikap  seolah-olah bermusuhan dengan orang-orang Yehuda  lawan orang-orang Filistin itu  ( 1 Samuel 27: 2-12,  pada hal sebelumnya dia telah menjalin hubungan yang baik  kepada orang-orang Yehuda teman sesukunya itu.
Kesempatan baik bagi Daud  menjadi raja adalah ketika bangsa Filistin  berhasil mengalahkan Israel dalam perang di pegunungan Gilboa ( kira-kira  tahun 1000 seb.M), di mana Yonatan  mati dan Saul bunuh diri  ( 1 Samuel 31). Ketika itu kerajaan Israel seolah-olah  telah berakhir, karena sempat tidak mempunyai raja.  Karena hubungan yang sudah terjalin antara Daud dan Filistin, maka tanpa ragu-ragu, raja Filistin mempercayakan  kepemimpinan Israel kepada Daud, sebagai bawahan raja Filistin.  Kesempatan itu kemudian dipergunakan oleh Daud untuk memperluas pengharuhnya hingga ke Israel bagian Utara. Tindakannya untuk menghabiskan “sisa-sia kekuatan”  Saul  yang menentangnya  disetujui pleh penguasa Filistin. Demikian juga usahanya untuk menyerang tempat-tempat yang belum berhasil direbut oleh  orang Filistin sebelumnya  didukung oleh penguasa Filistin. Dia menyerang Abner (panglima perang Saul), Isyboset (anak Saul)  yang sempat dinobatkan  menjadi raja boneka di daerah Mahanaim  sebelah Timur Yordan  ( 2 Samuel 2: 8 – 4: 2). Setelah keberhasilan itu, maka Daud menerima   tawaran  menjadi raja Israel dari para tua-tua suku-suku Israel, karena diyakini, Daudlah yang berhasil mempersatukan mereka.
Hal itu sangat mengejutkan bagi penguasa Filistin, sehingga menyusun tentera untuk melawan Daud.  Tetapi tindakan itu sudah terlambat, karena Daud sudah berhasil menyusun kekuatan Israel yang sudah bersatu di dalam tangannya, sehingga bangsa Filistin dapat dikalahkan dengan mudah. Bangsa Filistin dibuatnya tidak mempunyai kekuatan lagi  ( 2 Samuel 8: 1).
Kemudian Daud juga berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa  tetangga seperti: Moab, Edom, Amon, Zoba dan Damaskus ( 2 Samuel 8: 10-19; 12: 26-31). Daud juga berhasil merebut kota  Yerusalem dari tangan orang-orang Yebus.
Dengan keberhasilan   Daud ini, maka muncullah satu situasi yang sama sekali baru bagi Israel. Israel telah berobah dari organisasi  suku-suku, menjadi satu  keadaan kesatuan bangsa, yang mempunyai wilayah  mulai dari perbatasan Mesir di Selatan dan Sungai Eufrat  di Utara, dan menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Kerjaan Israel Raya. Pilihan terhadap  Yerusalem sebagai ibukota memang sangat bijaksana, karena masing-masing suku-suku Israel tidak mempynytai hubungan apa-apa dengan  Yerusalem. Yerusalem adalah tempat yang netral bagi seluruh suku-suku Israel.
Tetapi  di samping sebagai pusat pemerintahan, Daud juga menjadikan Yerusalem sebagai pusat keagamaan. Dia memindahkan tabut perjanjian itu ke Yerusalem, yang selama pemerintahan Saul, mungkin dibiarkan berada di tangan orang-orang Filistin  (bd. 1 Samuel 6) Pemindahan tabut perjanjian itu ke Yerusalem, juga merupakan perbuatan bijaksana dari Daud, karena dengan perbuatan itu, dia telah memperkuat  kesetiaan  Israel atas dirinya. Ini memberi kesan bahwa di mata suku-suku Israel, Daud adalah seorang   tokoh yang menghormati tradisi lama, yakni menegakkan ibadah kepada Allah.  Keberhasilannya juga terletak atas kecakapannya  menjalin hubungan  dengan penduduk Kanaan. Selama pemerintahannya, Daud tidak menghapuskan begitu saja  bentuk peribadahan  Kanaan, melainkan membiarkannya hidup, sehingga orang-orang Kanaan tidak merasa bahwa identitas mereka diabaikan  begitu saja.
Tetapi menjelang akhir pemerintahan Daud, timbul suatu situasi  yang agak kacau  mengenai siapa penggantinya yang pasti. Kebetulan Daud mempunyai banyak anak  laki-laki dari istrinya yang banyak itu.  Dari sudut kesulungan, Amnon  sepantasnya menjadi pengganti Daud  ( 2 Samuel 3: 2-5). Tetapi karena perbuatan cemar yang dilakukan oleh Amnon  terhadap adik perempuan Absalom saudaranya itu (Amon dan Asalom mempunyai ibu yang berbeda, namun satu ayah yakni Daud, lihat  2 Samuel 13),  maka dia mati dibunuh oleh Absalom sendiri. Akhirnya Absalom merasa  bahwa dialah yang berhak  menjadi pengganti ayahnya. Dengan bantuan Yoab, panglima perang Daud sendiri, dia mencoba merampas tahta itu  dengan kekuatan militer dan menyatakan diri sebagai raja, yang berpusat di kota Hebron  ( 2 Samuel 15: 10).
Sementara itu simpati   masyarakat Israel kepada Daud semakin berkurang.  Tetapi tentera Daud yang masih setia kepadanya, masih berhasil mematahkan kekuatan Absalom, hingga dalam perang di hutan Efraim, Absalom mati terbunuh oleh Yoab sendiri  ( 2 Samuel 18: 1-18). Setelah Absalom meninggal, pilihan yang akan menjadi raja pengganti Daud, tinggal dua yakni  Adonia dan Salomo. Namun Daud tidak menentukan pilihannya dari antara mereka,  hingga keduanya sempat bertentangan, bahkan memecah tokoh-tokoh Israel  menjadi  dua partai. Adonia sempat menyatakan dirinya menjadi raja, sementara Daud telah menjanjikan kepada Bath-Sheba bahwa anaknya Salomolah akan mengantikannya menjadi raja  (  1 Raja-raja 1: 11 dst). Akhirnya Daud juga memilih Salomo  menjadi raja,  di mana pemerintahannya dimulai dengan  penumpahan darah, yakni membunuh Adona dan panglima perang Yoab, serta mengusir imam Abyatar  ke Anatot, karena orang-orang ini  berpihak kepada Adonia.

3.2.3.        Pemerintahan Salomo

Dari sudut  pandangan luar, pemerintahan Salomo  memang sangat hebat sekali. Perekonomian dan pendapatan negara itu sangat maju pesat. Walaupun  hasil pertanian rakyat tidak banyak, namun Salomo dapat memperoleh pendapatan untuk negara dari pajak lalu lintas dan perdagangan ( 1 Raja 10: 28-29), setelah dia berhasil menguasai jalan darat yang menghubungkan  Mesir-Mesopotamia dan Asia Kecil. Dia berhasil membangun benteng kota-kota  penting sepanjang jalan itu ( 1 Raja 4: 26; 9: 15.19; 10: 26). Kota-kota pelabuhan juga dibangun, hingga perdagangan laut melalui laut ke Tirus, Seba di Arab Selatan dan Mesir berjalan lancar  ( 1 Raja 10: 2-3.29).  Salomo juga menambang tembaga  di Edom untuk dieksport.
Tetapi Salomo juga tergoda untuk membangun proyek-proyek raksasa yang bersifat monumental sebagaimana sering terjadi di Mesir dan Mesopotamia. Pada hal untuk usaha seperti itu Israel belum memiliki tenaga yang trampil dan bahan yang cukup, yang untuk itu Salomo  terpaksa mendatangkan dari luar negeri seperti dari Tirus ( 1 Raja 9: 10-11). Hal ini menimbulkan kesulitan keuangan, yang untuk mengatasinya Salomo membebani rakyat  dengan pajak yang tinggi ( 1 Raja 12: 7-14), dan juga kerja paksa untuk mengerjakan    bangunan-bangunan raksasa itu ( 1  Raja 5: 13-18). Akibatnya usaha pertanian rakyat  juga terganggu.
Kerajaan Israel  mulai goncang, walaupun Yehuda sendiri masih tetap setia kepadanya. Ammon dan Damaskus  memberontak dan kemudian menyatakan diri untuk merdeka, sehingga keduanya menjadi musuh yang  sangat  berbahaya.  Suku-suku Israel memilih pemimpin sendiri yakni Yerobeam. Pada mulanya Yerobeam memang  gagal, hingga dia lari ke Mesir. Tetapi di Mesir, ternyata dia juga menyusun kekuatan  ( 1 Raja 11: 26-40).
Karya Salomo yang cukup lama bertahan ialah  bangunan Bait Allah di Yerusalem, yang merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan Israel di kemudian hari. Pada satu pihak, pembangunan Bait Allah itu merupakan kelengkapan dari usaha Daud, yang telah menempatkan tabut perjanjian di Yerusalem. Tetapi pada satu pihak, bangunan  itu adalah salah contoh  yang menunjukkan sikap Salomo yang suka bangunan yang bersifat monumental. Secara agamaniah, unsur Kanaan tentu banyak terdapat dalam  bentuk bangunan  itu, karena arsitekturnya sendiri didatangkan dari Funisia, sedangkan orang Israel hanya sebagai pekerja kasar.

3.2.4.        Kehidupan intelektual dan kultural pada zaman Daud dan Salmo  

Pada masa Daud dan Salomo kehidupan orang Israel mengalami kemajuan di bidang intelektual dan kultural.  Hal ini tentu dimungkinkan oleh semakin terbukanya hubungan yang sangat luas dengan dunia sekitar mereka di Timur-kuna, seperti: Mesir, Mesopotamia, yang tingkat intelektual dan kultural mereka sudah lebih tinggi jauh sebelumnya.  Oleh pengaruh peradaban dunia sekitar itu, orang Israel telah terbimbing untuk mengenal dunia pendidikan yang bersifat universal. Tradisi tentang “hikmat Salomo” ( 1 Raja 4: 29-34) harus dimengerti dari sudut  ini. Di Timur-kuna, jauh sebelumnya telah banyak dikenal “literatur-literatur hikmat” yang terbentuk menjadi hal yang membudaya berdasarkan pengetahuan dan pengalaman orang-orang terpelajar. Hikmat Salomo itu secara menyeluruh berhubungan dengan tradisi hikmat dari Timur-kuna itu ( 1 Raja 4: 30-31). Apabila dia bicara kepada tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang, burung-burung, serangga, ikan-ikan dan lain-lain, memberi petunjuk bahwa hikmatnnya berhubungan dengan fenomena alamiah yang dikenal di Mesir dan Mesopotamia. Perbedaannya ialah bahwa hikmat Salomo itu merupakan pengetahuan  yang dirumuskan  dalam bentuk amsal-amsal, puisi-puisi  atau nyanyian.
Perkembangan tulisan-tulisan  di Israel, yang terwujud dalam bentuk literatur terjadi pada zaman Daud dan Salomo, yang juga berkembang dari bentuk tulisan-tulisan yang ada di dunia sekitarnya.  Dengan terbentuknya tulisan itu, maka tradisi historis yang dulunya dilaporkan secara lisan, maka kemudian dilaporkan secara tertulis.  Ditulislah juga kitab-kitab yang berisi kisah raja-raja, seperti Kitab Riwayat Salomo  ( 1 Raja 11: 41). Karena itu data-data yang dipergunakan untuk menulis kitab yang bersifat sejarah dalam Alkitab sudah banyak  berasal dari sumber tertulis. Hanya penulis-penulis sejarah itu mencoba mengarahkan secara teologis, agar dalam setiap peristiwa-peristiwa sejarah itu selalu nampak campur tangan Allah.
Karya sastera  yang lain dalam kitab Perjanjian Lama  yang telah muncul pada zaman Daud dan Salomo ialah karya-karya  Yahwist yang ada dalam Kitab Pentateukh, yang merumuskan tradisi lisan menjadi tertulis.  Kemampuan untuk menyusun seluruh bahan-bahan tradisional yang berbentuk lisan itu  menjadi satu cerita yang bermakna teologis  hingga mampu membanguan kehidupan beriman  orang Israel, telah merupakan petunjuk tentang adanya perkembangan intelektual yang besar pada zaman Daud dan Salomo.

3.3.   Koeksistensi dua kerajaan kecil: Israel dan Yehuda

3.3.1.        Yehuda dan Israel setelah kematian Salomo
Salomo meninggal tahun 926/925, setelah dia memerintah selama empat puluh tahun. Setelah kematian Salomo, perasaan dendam dari suku-suku Israel atas kemegahan Salomo itu muncul. Karena itu penggantinya diperhadapkan  kepada situasi  yang sangat sulit. Rehabeam, yang  kemungkinan karena anak tertua dari  Salomo, dihunjuk  untuk menggantikan Salomo.  Di Yerusalem dan di bagian  wilayah Yehuda  dia tidak menghadapi kesulitan dalam hal menggantikan ayahnya itu. Akan tetapi di bagian Utara, situasinya sangat berbeda sekali. Setelah Rehabeam naik tahta, dia menolak begitu saja permintaan suku-suku di Israel Utara untuk mengadakan pembaharuan sistem pajak. Karena itu perasaan dendam yang mereka simpan sejak  masa Daud dan Salomo tiba-tiba meledak. Mereka tidakmau lagi diperintah oleh orang dari suku Yehuda dan menyatakan kemerdekaan mereka sendiri.  Lalu  mereka memilih Yerobeam , tokoh yang baru kembali dari pengasingannya di Mesir, menjadi raja mereka yang pertama  ( 1 Raja 17: 1-32). Mereka menamakan negerinya itu “Kerajaan Israel”. Sedangkan suku-suku Israel yang setia kepada dinasti Daud, kemudian dikenal dengan “Kerajaan Yehuda”. Dengan demikian Kerajaan Israel Raya dulu telah pecah menjadi dua kerajaan kecil.
Wilayah Kerajaan Israel  ternyata masih lebih luas dari Kerajaan Yehuda. Ke dalam Kerajaan Israel Utara itu  masih terkandung beberapa  kota Kanaan, jalan raya yang menghubungkan Mesir-Mesopotamia dan Asia Kecil, serta daerah subur di sekitar sungai Yordan.  Sedangkan Yehuda terletak di daerah pegunungan padang pasir, yang jauh dari jalan raya, dan sumber kekayaan ekonomi. Itulah sebabnya Kerajaan Yehuda tersebut masih bisa bertahan lebih lama dibandingkan dengan Kerajaan Israel Utara, karena Kerajaan Yehuda  yang miskin itu kurang menarik perhatian penguasa lain.
Sistem pemerintahan yang dipakai oleh Kerajaan Israel juga telah berbeda  dengan sistem yang dipakai di Kerajaan Yehuda. Di Kerajaan Yehuda, dinasti Daud masih tetap dipertahankan sampai masa kehancurannya, sedangkan di Kerajaan Israel  sistem pemilihan untuk menentukan raja ingin diulangi kembali sebagaimana  dilakukan dulu bagi raja Saul. Namun sistem ini juga tidak dilakukan secara konsekwen, karena diperkirakan delapan di antara raja-raja Kerajaan Israel berhasil menduduki tahta kerajaan  dengan cara paksa atau kekerasan, yakni setelah membunuh lebih dahulu raja yang akan digantikannya.
Dalam bidang keagamaan,  Yerobeam juga mengadakan perobahan, demi memperkuat kedudukannya ( 1 Raja 12: 26-35). Karena alasan politis, dia tidak menghendaki  warganya lagi mengadakan peribadahan ke Bait Allah di Yerusalem. Untuk itu, maka dia menghidupkan kembali dua pusat peribadahan suku-suku Israel yang lama yakni Bethel dan Dan. Ke dua pusat peribadahan ini  telah dijadikan Yerobeam sebagai saingan dari Baith Allah di Yerusalem.  Di ke dua tempat itu, Yerobeam  menempatkan patung lembu emas sebagai ganti dari tabut perjanjian. Semula patung itu hanya dimaksudkan untuk membantu penyembahan kepada Allah,  tetapi kemudian tindakan itu telah mempersubur tumbuhnya  penyembahan kepada berhala-berhala dan dewa-dewa Kanaan di kalangan Israel  ( Hosea 8: 5-6; 10: 5; 13: 2).

3.3.2.        Penyerangan  oleh kerajaan-kerajaan sekitar

Pada mulanya ke dua  kerajaan kecil itu yakni Israel dan Yehuda dapat berjalan dengan aman, karena dari dunia sekitar belum ada ancaman. Mesir pada waktu itu masih lemah, walaupun raja Firaun Sisak I telah berhasil merampas sebagian kecil dari wilayah Israel dan Yehuda ( 1 Raja 14: 25-28). Mesopotamia pun belum muncul, Babel masih lemah, demikian juga dengan Kerajaan Assiria dan Aram. Bangsa Filistin juga belum berhasil mengembalikan daerahnya yang sudah sempat masuk wilayah Israel.
Akan tetapi pada abad 9 seb. M,  situasi mulai berubah.  Sejak itu Kerajaan Israel dan Yehuda  mulai terdesak oleh ancaman  dari dunia sekitarnya.  Campur  tangan  Damaskus dalam kancah politik  Israel dan Yehuda  makin terasa.  Pada waktu itu raja Baesa dari Israel  ( 906-883 seb. M), sangat menekan raja Asa dari Yerusalem (Yehuda).  Karena tekanan itu maka raja Asa meminta  bantuan raja Benhadad dari Damasakus untuk menyerang Israel. Peristiwa itulah  merupakan awal dari rangkaian perang antara tiga kerajaan yang bertetanga dekat itu. Rangkaian peperangan segitiga itu baru berakhir, setelah Damaskus berhasil ditaklukkan oleh  Kerajaan Assiria tahun 732 seb.M  ( 1 Raja 20; 22; 2 Raja 5-7;  8: 28-29; 10: 32-33; 12: 17-18; 13: 3-7.22-25; dll). Sepuluh tahun sesudah itu, Kerajaan Israel Utara juga berhasil diduduki oleh Kerajaan Assiria,  yang membuat kerajaan itu  menjadi hancur dan hilang. Sedangkan Kerajaan Yehuda masih bisa bertahan sampai  tahun  596/586 seb. M.

IV.                ISRAEL DI BAWAH KEKUASAAN PENGUASA-PENGUASA LAIN  DARI TIMUR KUNA

4.1.  Zaman Kerajaan Asssiria dan Babilonia Baru

4.1.1.        Situasi yang baru dan artinya bagi Israel

Tiglath-plesser III, yang naik tahta  menjadi raja Assiria tahun 745, memanfaatkan kekacauan yang terjadi di tengah-tengah Yehuda, Israel dan Damaskus  untuk memperluas  wailayahnya sampai ke daerah Syria dan Palestina. Kerajaan Israel jatuh ke tangan Assiria tahun 722, sekaligus megakhiri  hidup kerajaan itu sebagai  satu kerajaan yang berdaulat.
Situasi yang menimpa Kerajaan Israel itu telah merupakan pukulan berat bagi kehidupan beriman  orang Israel. Sebelumnya mereka yakin bahwa Allah  yang mereka sembah adalah Allah yang selalu mendukung dan melindungi mereka, dan tidak mungkin membiarkan mereka jatuh ke tangan bangsa lain. Tetapi pengalaman pahit yang menimpa diri mereka  telah menimbulkan suatu anggapan bahwa bukan mereka yang kalah, tetapi Allah merekalah yang kalah atas dewa-dewa  Assiria.
Namun dalam situasi yang demikian muncullah suara yang datangnya dari “nabi-nabi  klasik” yang memberi penafsiran yang baru atas arti peristiwa itu. Nabi-nabi klasik itu memberi penafsiran, bahwa peristiwa kekalahan Kerajaan Israel bukan merupakan pertanda kekalahan  Allah Israel, melainkan justeru sebagai petunjuk bahwa Allah Israel adalah juga Allah yang berkuasa atas bangsa-bangsa yang lain. Allah telah menjadikan peristiwa itu sebagai hukuman atas orang-orang Israel yang tidak menunjukkan kesetiaannya  kepada Allah, dengan mempergunakan raja Assiria sebagai alat di tanganNya (Yesaya 10: 5 dst).  Lalu Nebukadnesar, raja Babilonia,  yang kemudian menaklukkan Yehuda disebut sebagai “hamba Allah” ( Yeremia 27: 6), dan raja Kores yang membebaskan orang-orang Yehuda dari pembuangan itu disebut sebagai “Mesias Allah” ( Yesaya 45: 1). Dengan demikian  para nabi itu dengan berani menyatakan bahwa orang Israel bukanlah semata-mata sebagai bangsa yang dimanjakan Allah, tetapi juga sebagai  sasaran penghakiman Allah.

4.1.2.        Ketaklukan kepada Assiria

Tiglat-pileser III memerintah di  Kerajaan Assiria sampai ajalnya  tahun 727 seb. M. Pada zamannya, tujuan utamanya untuk menaklukkan Syria dan Palestina belum dapat dicapai secara sempurna, tetapi sebagian besar kota-kota penting  di Syria telah jatuh ke tangannya. Kerajaan Israel masih berpemerintahan sendiri, tetapi sudah bisa dipaksa untuk membayar upeti yang besar kepada raja Assiria  ( 2 Raja 15: 19 dst). Raja Hosea ( 732-721 seb.M), raja yang terakhir di Kerajaan Israel Utara, mencoba menghentikan pembayaran upeti kepada  raja Assur, dan mau menjalin hubungan dengan Mesir. Namun Salmanaser V (727 – 722), pengganti dari raja Tiglat-pilesser III berhasil menangkap dan memenjarakannya ( 2 Raja 17: 4) pada tahun 724. Dua tahun kemudain kota Samaria,  pusat Kerajaan Israel Utara, telah bisa diduduki, yakni pada permulaan  pemerintahan Assiria yang baru, raja Sargon II ( 722-705 seb. M). Itulah akhir dari Kerajaan Israel Utara. Orang-orang Israel dari golongan atas diangkut  sebagai buangan ke daerah Assiria di Mesopotamia dan Media seperti diberitakan dalam  2 Raja 17: 6.  Sebaliknya golongan masyarakat atas dari orang asing itu dimasukkan ke daerah Samaria  ( 2 Raja 17: 24), sehingga terjadilah perbauran antara orang Israel  dan orang-orang  asing itu. Adat dan agama (kepercayaan) mereka  juga menjadi bercampur  ( 2 Raja 17: 29-31).
Dengan hancurnya Kerajaan Israel, maka Kerajaan Yehuda tinggallah sendirian. Sama seperti kerajaan lainnya  di sekitar Palestina, Kerajaan Yehuda ini juga dicekam oleh rasa takut akan ancaman kekuasaan Assiria. Selama masa kekuasaan Assiria itu, kebijaksanaan yang  ditempuh oleh raja-raja Yehuda juga mengalami pasang surut, seperti dapat dilihat  dalam kitab 2 Raja-raja. Ada dari antara raja-raja Yehuda itu yang meminta perlindungan Assiria dan menunjukkan kesetiaan terhadap raja-raja Assiria itu. Tetapi konsekuensi dari perbuatan itu, maka raja Yehuda dipaksa untuk memasukkan praktek-praktek keagamaan Assiria di Yerusalem, sebagai mana terjadi pada masa raja Ahas  ( 2 Raja 16: 10-18). Tetapi dari antara raja-raja itu ada juga yang berusaha melepaskan diri dari pengaruh  Assiria itu, serta berusaha  membersihkan Bait Allah dari unsur-unsur  kepercayaan asing, seperti yang dilakukan oleh raja Hiskia  ( 2 Raja 18: 4.  Tetapi sayang, perlawanan dari raja Hiskia ini bisa dipadamkan oleh  raja Sanherib ( 705-681 seb.M) dari Assiria ( 2 Raja 18: 13-16). Kemudian pada raja-raja pengganti Hiskia, unsur agama Assiria itu kembali lagi masuk ke Yehuda, sebelum munculnya raja Yosia (632-609 seb. M).  Raja Yosia kemudian berusaha mengadakan reformasi kepada  agama Yehuda.

4.1.3.        Akhir kekuasaan Assiria dan reformasi Yosia

Setelah kematian raja Assurbanipal  pada tahun 632 seb.M,  kerajaan Assiria yang sudah berjalan cukup lama mulai surut. Penggantinya tidak mampu lagi untuk mempertahankan kekuasaan itu. Sementara itu, sejak tahun 625, Kerajaan Babel makin menunjukkan kekuatan, dan menyatakan diri sebagai kerajaan merdeka. Kota-kota kuat di Kerajaan Assiria, seperti Assur dan Ninive, kemudian jatuh ke tangan Kerajaan Babel.
Saat-saat terjadinya kelemahan  dan kejatuhan Assiria itu, dimanfaatkan oleh Yosia  raja Yehuda untuk memulihkan kemerdekaan Yehuda di bidang politik dan agama, dan juga untuk mengembalikan beberapa wilayahnya yang sempat hilang. Dia adalah seorang raja yang sangat takut akan Allah, sehingga dia mengarahkan kebijaksanaan pemerintahannya untuk memberlakukan hukum-hukum Allah. Yosia mengadakan reformasi agama secara nasional, bukan hanya meliputi pembersihan Bait Allah, sebagaimana dilakukan oleh  raja Hiskia sebelumnya. Dia ingin mengembalikan penyembahan kepada Allah dilakukan oleh seluruh Israel secara murni.
Dalam usaha mengadakan pembersihan Bait Allah di Yersualem, seorang imam besar bernama Hilkia menemukan sebuah kitab Taurat dan menyerahkannya kepada raja Yosia. Dengan adanya kitab Taurat itu, maka semakin jelaslah diketahui , bepata pengaruh agama Assur telah masuk ke tengah-tengah Israel. Kitab Taurat ini kemudian dipergunakan oleh kelompok Deuteronomis untuk menyusun suatu hukum keagamaan Israel yang baru, sebagai pegangan untuk  melawan agama-agama kafir itu.
Tetapi pada tahun 609 seb.M, terjadilah konflik di antara Yosia dan Pharao-Nekho. Ketika Nekho berusaha menolong  Assiria untuk melawan musuhnya ke Babilon.  Sementara itu Yosia berusaha untuk  menggagalkan usaha Nekho itu, tetapi dia mati terbunuh di Megido oleh Pharao-Nekho.  Mayat Yosia dibawa ke Yerusalem,  dan anaknya Yoahas berusaha untuk menggantikan ayahnya, tetapi hanya bisa bertahan selama tiga bulan  ( 2 Raja 23: 31). Pengganti Yoahas adalah saudaranya sendiri Alyakim, yang langsung diangkat oleh Nekho sendiri. Sebagai pertanda bahwa raja yang baru  telah takluk  kepada Nekho, maka namanya diganti  menjadi Yoyakim, dan dia juga harus membayar upeti kepada  Nekho berupa emas dan perak, yang ditagih dari rakyat negeri itu  berupa pajak ( 2 Raja 23: 35).

4.1.4.        Nebukadnesar dan akhir Kerajaan Yehuda

Pemerintahan Mesir juga tidak lama bisa bertahan, karena Mesir dan Assiria juga harus takluk kepada raja Babilonia, Nebukadnesar, yang memerintah dari tahun 605- 562 seb. M.  Ini berarti bahwa Yehuda juga telah jatuh ke tangan penguasa Babel itu.  Raja Yoyakim masih sempat mengadakan perlawanan, namun dia mati terbunuh sewaktu Nebukadnesar menyerang Yerusalem tahun 597. Anaknya, Yoyakin yang sempat menggantikannya  dibuang ke Babel bersama  orang-orang Yehuda dari golongan  atas dan cendekiawan. Pamannya yang bernama Matanya diangkat oleh Nebukadnesar menjadi raja bangsa itu dengan diberi nama yang baru Zedekia  ( 2 Raja 24: 17).
Tetapi Zedekia adalah seorang yang lemah. Dia tidak mampu lagi mengontrol pejabat-pejabat di istananya, yang memang tidak lagi mempunyai kemampuan dan kecakapan. Dia masih mendengar soara-soara hampa  dari nabi-nabi palsu yang mengatakan bahwa mereka sebagai bangsa Allah tidak mungkin jatuh ke tangan Babel, walaupun Yeremia sendiri telah berulang-ulang  mengingatkan mereka. Yeremia mengingatkn  supaya mereka menerima kenyataan itu sebagai kehendak Allah  ( Yeremia 27 dst),  dan mengajak mereka untuk bertobat. Tetapi umat itu tidak menerima nasehat itu, bahkan dia dituduh sebagai penghianat  (Yeremia 37: 11-16).
 Akhirnya ketahuan juga bagi Nebukadnesar adanya persekongkolan  antara Yehuda dan Mesir. Maka pada tahun  589, tentera Babel menyerbu Yehuda, dan tahun 587, kota Yerusalem dihancurkan.  Raja Zedekia masih mencoba melarikan diri ke daerah sebelah Timur Yordan, tetapi dia tertangkap oleh serdadu Babel  di dekat kota Yeriko, sehingga dia turut diangkut ke Babel bersama sejumlah orang Yehuda dari golongan atas lainnya lagi. Sejak itu Nebukadnesar benar-benar mengakhiri otonomi Yehuda. Yehuda hanya dijadikan sebagai satu propinsi  yang dipimpin oleh seorang gubernur bernama Gedalia, dan pusatnya bukan lagi di Yerusalem, melainkan di Mizpah. Namun jabatan Gedalia  tidak lama, karena dia mati   dibunuh  oleh sejumlah pejabat-pejabat kerajaan  Yehuda yang sempat melarikan  diri ke Ammon  ( Yeremia 40: 14).  Sesudah kematian Gedalia, Yehuda tidak dibiarkan lagi menjadi satu propinsi, tetapi digabung menjadi satu propinsi dengan Samaria.

4.1.5.        Situasi setelah kejatuhan Yerusalem

Apa yang terjadi pada tahun 587 itu, hanyalah merupakan kesimpulan dari suatu proses sejarah yang sudah lama, yang telah mulai sejak pertengahan abad ke 8 seb.M, atau merrupakan penggenapan dari apa yang sudah dinubuatkan oleh nabi-nabi pada abad itu. Hal itu jelas digambarkan oleh penulis sejarah deuteronmistis.
Sebenarnya berakhirnya Kerajaan Yehuda  mempunyai arti yang sangat penting bagi Israel dari beberapa titik pandangan. Dari satu segi, peristiwa itu memberi arti bahwa kemerdekaan politis bagi sisa-sisa umat Allah di Yehuda sudah berakhir, yang   selanjutnya selama empat abad orang Israel tanpa raja dan tanpa kehidupan politis.
Tetapi dari segi lain, ketidak munculan Israel dalam kehidupan politis, bukan berarti akhir dari sejarah Israel. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sejarah Israel itu telah mengarahkan kehidupan Israel menuju hidup keagamaan yang makin matang. Dulu ibadah Israel berpusat kepada tabut- perjanjian. Tetapi kemudian tabut itu sempat hilang, yang tertebentuknya pusat peribadahan seluruh Israel di Yerusalem.  Kemudian Bait Allah dibangun oleh Salomo di sana. Namun Bait  Suci itu juga telah hancur di makan api. Tetapi tanpa Bat-Suci, Yerusalem sudah  dianggap oleh orang Israel sebagai tempat suci. Walaupun Bait Allah telah menjadi puing-puing, masih banyak lagi orang-orang Israel dari Sikhem dan Samaria berziarah ke Yerusalem  ( Yeremia 41: 5), di mana tentunya upacara keagamaan  masih tetap dilangsungkan.
Di luar  Palestina, orang-orang  Israel juga tetap mengikuti tradisi keagamaan mereka. Di Mesir misalnya banyak juga dijumpai kelompok-kelompok orang Israel, dan mereka tetap mengikuti tradisi mereka yang lama. Hal ini diketahui dari  kitab Yeremia 44 dan papyrus  Elefantin. Papyrus Elefantin (yang  berasal dari abad ke 5 seb.M), adalah kumpulan surat-surat dan dikumen-dokumen yang berhasil ditemukan di tempat yang bernama Yeb, di daerah Mesir Selatan. Dokumen itu berasal dari satu pemukiman militer Yehuda di sana.  Kehadiran orang-orang Yehuda di sana mungkin sebagai kelompok pelarian yang diakibatkan oleh peristiwa tahun 598/597. Nabi Yeremia sendiri termasuk di dalam kelompok pelarian  itu secara  paksa pada tahun 586. Tetapi di samping itu, orang Israel telah ada di  Mesir  sejak tahun 722,  yang juga merupakan pelarian ketika negeri itu jatuh ke tangan Assiria.
Orang-orang Yehuda yang berada di Elefantin Mesir itu mempunyai rumah ibadah, tempat mereka mempersembahkan korban.  Tetapi anehnya, mereka juga menyembah  seorang dewi di samping menyembah Tuhan. Mereka menganggap dewi itu sebagai pasangan Tuhan. Ini memberi petunjuk, bahwa sebagian dari orang-orang  Yehuda di sana belum mengetahui reformasi yang diadakan  Yosia pada tahun 622.
Sebagaimana halnya di Mesir Selatan itu, orang-orang Yehuda yang berada di Babel juga memelihara tradisi-tradisi mereka yang lama. Tentang keadaan orang-orang Yehuda ini di Babel, banyak diketahui dari kita Yehezkiel. Yehezkiel adalah seorang nabi yang turut terbuang ke babel pada tahun 587.  Dalam buku itu dinyatakan bahwa orang-orang Yehuda di sana tidak diperlakukan sebagai “tawanan”, melainkan mereka mempunyai kebebasan untuk berkumpul dan bergerak di negeri itu  ( Yehezkiel 8: 1; 14: 1; 20: 1). Mereka mempunyai perkampungan sendiri, di mana mereka bisa membangun rumah dan mengusakan kebun  ( Yehezkiel 3: 15; Yeremia  29: 5). Namun mereka merasa asing di sana, karena  di negeri itu mereka  menganggap  tidak mungkin melakukan peribadahan, sehingga  mereka tetap merindukan Yerusalem ( Maz. 137: 4 dst).

4.2.  Pemerintahan Persia  

4.2.1.        Baith Allah di Yerusalem dibangun kembali

Kerajaan Babel juga tidak bertahan lama. Kerajaan itu kemudian jatuh ke tangan Persia. Rajanya Koresh (Cyrus) berhasil meluaskan kerajaannya ke bagianBarat dan Timur. Tahun 546 daerah Asia Kecil telah jatuh ke tangannya. Ketika itulah  Nabi Yesya (II)  menububuatkan  bahwa Allah akan mempergunakan raja Koresh  menjadi alat Allah untuk membebaskan  orang Yehuda  dari  kekuasaan Babel ( Yesaya 44: 28; 45: 1).  Nabi Yesya (II)  juga termasuk  orang  Yehuda yang ikut terbuang ke  Babel. Nubuatannya itu ternyata benar , karena setelah raja Koresh mengalahkan  Babel pada tahun 539, terjadilah suatu babak baru dalam sejarah Israel. Koresh mempunyai politik pemerintahan yang berbeda dari pemerintah Babel atas bangsa-bangsa yang  dikuasainya. Koresh tidak memaksakan satu agama berlaku  di seluruh kerajaannya, melainkan dia berusaha menghidupkan  setiap keagamaan dan tempat-tempat suci tradisional yang dikenal oleh seluruh  bangsa jajahannya. Dari konteks inilah bisa dimengerti  mengapa Koresh segera memerintahkan supaya orang-orang Yehuda membangun kembali Baith Allah  mereka di Yerusalem. Namun Koresh tidak memerintahkan supaya semua orang Yehuda  yang ada di negeri Babel itu kembali ke negeri mereka di Yersusalem. Ternyata memang tidak semua  mereka  kembali ke negri asal mereka itu. Hal ini bisa dimengerti mengingat kondisi  negeri mereka itu yang sudah hancur. Menurut Esra 5: 14 dst  untuk memimpin orang-orang Yehuda yang akan kembali itu, Koresh menugaskan seorang yang bernama Sesbazar, yang sekaligus diangkat menjadi bupati bagi mereka.
Peletakan Bait Allah yang diperintahkjan oleh Koresh  akan dibangun  itu segera dilakukan. Tetapi kemudian pekerjaan itu sempat terhenti. Alasannya ialah karena keadaan  negeri itu yang masih sangat buruk, sedangkan dana yang disediakan oleh pemerintah  untuk itu tidak cukup.  Karena itu semangat mereka untuk membangun Bait Allah itu belum ada  ( Hagai 1: 1-11) Sebagian mereka berpikiran, belum waktunya mereka membangun  Bait Allah ( Hagai 1: 2), sehinga mereka lebih mengutamakan untuk membangun  rumah mereka masing-masing. Menurut Nabi Hagai, musim kemarau yang datang berkepanjangan   di negeri tersebut pada waktu itu  yang membuat mereka tidak mempunyai hasil panen adalah merupakan teguran Tuhan kepada mereka, supaya mereka  berobah sikap  (bertobat), yakni harus memprioritaskan pembangunan Bait Allah dari pada pembangunan rumah sendiri.
Setelah Koresh meninggal ( 522 seb.M) terjadi suatu kekacauan internasional. Kekacauan itu terjadi  disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan  di kerajaannya, karena Koresh sendiri tidak mempunyai anak sebagai penggantinya.  Dengan cara kekerasan, Darius berhasil menjadi pengganti ( 522-486 seb.M). Ternyata dia adalah seorang raja yang kuat, yang bisa memulihkan  situasi dengan cepat.  Tetapi ketika terjadi kekacauan itu, di kalangan Israel timbul pengharapan untuk merdeka. Pengharapan itu dikuatkan pula oleh munculnya nubuatan nabi Hagai dan Zakaria tentang kedatangan pemerintahan Allah yang bertahta  dalam Bait Allah  yang sedang dibangun itu. Pada waktu itu kebetulan yang menjadi bupati di  Yerusalem  ialah Zerubabel, cucu dari  Yoyakin dari keturunan  Daud. Di hadapan seluruh dunia, pada waktu itu Zerubabel  disapa oleh nabi Hagai sebagai “cincin meterai” yang dipilih oleh Allah  (Hagai 2: 21-24), yang berarti perwakilan Allah untuk mewujudkan pemerintahanNya di dunia.
Namun  dalam suasana tumbuhnya  pengharapan Israel  untuk  merdeka itu, raja Darius I telah memiliki kekuasaan yang kuat di kerajaan Persia. Mungkin setelah dia mengetahui bahwa di Yerusalem muncul suatu gerakan yang mendambakan kemerdekaan, Zerubabel ditarik dari sana karena dicurigai sebagai pejabat yang berbahaya, lalu dia digantikan dengan orang lain.  Namun titah dari Koresh untuk membangun Bait Allah di Yerusalem masih diteruskan oleh Darius I. Menurut Esra 6: 15,  Bait Allah itu ditahbiskan pada  tanggal 3 bulan Adar  tahun keenam pemerintahan Darius, yang diperkirakan pada musim semi tahun 515 seb.M. Sejak itu Israel kembali lagi memiliki pusat  keagamaan. Peristiwa itu sangat penting bagi perkembangan kehidupan keagamaan Israel selanjutnya. Sejak adanya Bait  Suci itu, maka kehidupan Israel telah mengarah kepada organisasi keagamaan, yang dipimpin oleh imam besar yang berkedudukan di Yerusalem.
Pada zaman amphictyoni, lembaga keimaman memang telah ada di tengah-tengah hidup keagamaan  Israel yang melayani di tempat-tempat suci. Pada zaman Daud, sejumlah imam juga dipekerjakan di tempat suci di Yerusalem, yang disebut golongan Zadok. Mereka ini bekerja secara turun-temurun, dan dianggap juga sebagai pejabat pemerintahan. Pada zaman pemerintahan Nebukadnesar, kelompok imam ini juga ikut terbuang ke Babel.  Namun di sana mereka juga tetap merupakan satu kelompok  dan membentuk organisasi keimaman.  Setelah adanya perintah raja Koresh untuk membangun kembali Bait Allah di Yerusalem,  sebagian mereka juga turut kembali  ke Yerusalem dan membentuk pekerjaan keimaman dalam Bait Suci yang baru itu  dengan peranan yang jauh lebih penting.  Peranan imam itu menjadi sangat penting, karena sejak hilangnya kerajaan Israel sebagai satu negara yang merdeka, maka kehidupan Israel menjadi dipusatkan kepada kehidupan kultus yang berpusat  di Yerusalem.

4.2.2.        Reorganisasi kehidupan Israel  di bawah  kekuasaan Persia   

Lebih setengah abad lamanya setelah penahbisan Bait Allah yang baru, secara praktis tidak  diketahui  sejarah Israel.  Baru kira-kira  pada pertengahan abad ke lima sebelum Masehi, diketahui adanya suatu  situasi  yang baru dalam sejarah Israel. Pada waktu itu Ezra  dan Nehemia melakukan suatu reorganisasi kehidupan Israel di bawah pengaruh penguasa Persia. Ezra adalah seorang imam dan ahli taurat, yang diutus oleh raja Persia dari Babel, pada tahun ke tujuh pemerintahan raja Artahsasta I, Longimanus  ( Ezra 7: 7).  Artahsasta I memerintah sebagai raja Persia dari tahun 465 – 424 seb.M. Berdasarkan itu kedatangan Ezra ke Yerusalem adalah kira-kira tahun 458. Dia datang ke Yerusalem untuk memberlakukan tata-kehidupan yang berdasarkan hukum-Taurat Musa kepada seluruh  orang Israel, tata kehidupan mana sebelumnya  mungkin telah dimulai oleh kelompok imam  itu di negeri Babel  ( Nehemia 8: 2). Berdasarkan Hukum Taurat itu, dia ingin membangun kehidupan Yahudi yang sejati, yang bebas dari pengaruh asing. Untuk itulah dia berusaha  membangun tembok Yerusalem. Namun dalam upaya ini dia gagal, karena mendapat perlawanan yang berat.
Kegagalan Ezra terdengar kepada Nehemia, seorang Yahudi yang bekerja  sebagai pegawai  salah satu istana raja Persia di Susan (Babel).  Dengan perkenan raja, dia diutuis ke Yerusalem untuk membangun tembok itu, bahkan di kemudian dia diangkat menjadi  bupati di tanah Yehuda, selama dua belas tahun lamanya  ( 445-433 seb.M)  (bd. Nehemia 5: 14). Pengangkatan Nehemia menjadi bupati di Yehuda, telah menimbulkan reaksi permusuhan dari pihak Samaria. Dengan bersekutu dengan Tobia, orang Amon ( mungkin bupati di Timur Yordan),  bupati Samaria, Sanbalat, berusaha untuk menggagalkan pembangunan tembok Yerusalem itu dengan kekerasan  ( Nehemia 2: 10; 4: 1dst). Tetapi usaha   penggagalan itu tidak berhasil, karena Nehemia mempunyai kekuatan dengan datangnya orang-orang Yahudi dari Babel ke Yerusalem dalam jumlah yang cukup banyak. Dengan penuh semangat, walaupun  selalu mendapat ancaman, orang-orang Yahudi akhirnya bisa menyelesaikan  pembangunan tembok  kota Yerusalem itu di bawah pimpinan Nehemia.  Dengan berdirinya tembok itu, maka jadilah Yerusalem menjadi pusat pemerintahan yang aman bagi Nehemia. Nehemia menetapkan bahwa yang menetap di Yerusalem ialah para pemimpin umat itu, dan penatua-penatua bangsa itu satu dari setiap sepuluh orang, yang diperoleh melalui undi ( Nehemia 11: 1 dst). Sedang selebihnya tinggal di kota-kota lain  di luar Yerusalem.
Di samping membangun tembok kota itu, Nehemia juga membangun keagamaan Yahudi. Hukum Taurat diberlakukan secara ketat.  Kota Yerusalem ditutup setiap hari Sabat  untuk para pedagang. Yerusalem dijadikan sebagai pusat persekutuan agama, bukan saja bagi penduduk  wilayah Yudea, tetapi seluruh Israel, termasuk bagi mereka yang telah berserak di daerah diaspora. Untuk itu peranan Esra sebagai pemegang  “Hukum Allah di sorga” sangat penting.
Diberlakukannya Hukum Allah bagi seluruh Israel  dengan mendapat dukungan dari penguasa Persia, mempunyai efek yang luas. Sejak itu kepatuhan kepada  Hukum Taurat menjadi tanda yang menentukan bagi keanggotaan Israel dan persekutuan agama di Yerusalem. Diperketatnya pemberlakuan Hukum Taurat itu, juga telah menunjang  bantuan keuangan bagi Yerusalem, karena hukum itu juga menyangkut kewajiban memberi  persembahan  berupa emas dan perak di tempat suci Yerusalem ( Ezra 7: 15 dst). Dengan demikian pekerjaan Ezra dan Nehemia saling menunjang satu sama lain. Nehemia berhasil  mengadakan konsilidasi   propinsi Yehuda dan memperkokoh kota Yerusalem. Ezra berhasil membangun kembali hidup persekutuan  agama bagi  seluruh umat Israel berpusat di Yerusalem, yang keduanya saling berhubungan satu sama lain.

4.2.3.        Kemenangan Makedonia di Timur dan terjadinya skhisma Samaria  

Kerajaan  Persia yang besar itu  berakhir pada tahun 333 seb.M, saat mana rajanya Darius III dikalahkan oleh Alexander Agung dari Makedonia.  Sejak itu wilayah kerajaan Persia beralih  kepada kekaisaran Yunani. Itulah juga yang menjadi akhir dari sejarah Timur Kuna dan permulaan  pengaruh Hellenistik di Timur Tengah. Namun tidak ada petunjuk yang definitif dari  peristiwa itu dalam Kitab Perjanjian Lama. Tulisan-tulisan yang bersifat sejarah dalam Perjanjian Lama tidak memberitakan situasi itu. Kalaupun dalam Kitab Habakuk (1: 2) dan Zakaria ( 9: 1-9) ada disinggung sedikit, hanya bersifat nubuatan.  Tetapi agaknya kedatangan Alexander Agung  ini tidak memberikan dampak yang besar  terhadap nasib perrsekutuan  agama di Yerusalem.
Pada tahun 323 seb. M, Alexander Agung meninggal dunia, yang sesudah itu kekaisarannya itu pecah menjadi dua.  Yang satu disebut Kerajaan Seleukia, dipimpin oleh Seleocos I, Nicanor, yang mendapat wilayah sebelah Timur kekaisaran itu  berpusat di Antiokhia Syria. Ke dua, Kerajaan Ptolomeus yang mempunyai wilayah Barat dan Selatan, berpusat di Mesir. Palestina adalah masuk wilayah Ptolomeus. Persengketaan antara Kerajaan Seleukia dan Ptolomeus terus terjadi, dan baru berakhir tahun 198 seb.M, ketika Antiokhus III, berhasil menguasai  Palestina  dan mengikat perjanjian  dengan keturunan  Epiphanias di Mesir.
Pada zaman Ptolomeus, persekutuan agama di Yerusalem tetap hidup dan bahkan abad ke 3, di Alexandria (pusat pemerintahan Ptolomeus) telah ada sekelompok persekutuan agama itu. Di Alexandria kelompok ini mempergunakan bahasa Yunani, yakni bahasa yang berlaku di kota itu. Setelah itu Alexandria menjadi sebuah kota yang sangat penting bagi diaspora Yahudi. Di tempat inilah untuk pertama kali Kita Perjanjian lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani yang disebut Septuaginta, yakni untuk kebutuhan anggota persekutuan agama Yahudi di sana.

Pada tahun  198 seb. M, Palestina jatuh ke tangan Kerajaan Seleukia  dibawah pimpinan raja Antikhus III (223-187 seb.M). Pada zaman Antokhus III ini kehidupan  masyarakat Yahudi di  Yerusalem sangat baik.  Kota Yerusalem yang sudah rusak diperbaiki, keperluan upcara ibadah di Bait Allah  diberikan, pemerintahan otonomi diberikan dan pengurangan pajak dilakukan.
Tetapi setelah  Antiokhus III meninggal tahun 187, keadaan berubah kembali. Kerajaan itu sempat dirampas oleh tentera Roma.  Baru tahun 175 kekuasaan itu bisa direbut kembali oleh anaknya, Antiokhus IV, Epiphanes.  Pada zaman Antiokhus IV, masyarakat Yahudi sangat tertekan, karena raja tersebut memaksakan agama Yunani  kepada rakyatnya. Dia mengangkat Filipus menjadi gubernur di Yerusalem yang jauh lebih kejam dari  Antiokhus IV sendiri.  Masyarakat Yahudi dipaksa meninggalkan kebiasaan Yahudi lama dan mengikuti kebudayaan Yunani (Hellenisme).

Skhisma Samaria
Hal yang sangat perlu dicatat pada zaman Hellenistik ini menyangkut persekutuan agama  Yerusalem ialah berpisahnya jemaat Samaria dari Yerusalem dan  menetapkan peribadahan mereka  di bukit Gerizim dan Sikhem. Sebenarnya terjadinya skhisma ini telah melalui proses yang sudah lama, mulai dari ditetapkannya Yerusalem menjadi pusat tempat suci bagi seluruh umat Israel oleh  Daud. Sejak itu perbedaan pendapat  antara Samaria dan Yehuda  sudah berlangsung terus. Pada zaman Persia usaha mereka untuk menggagalkan  pembentukan Yerusalem  sebagai pusat ibadah Israel tidak berhasil, karena pekerjaan itu didukung oleh raja Persia. Karena itu  mungkin pernyataan untuk memisahkan  diri itu dijalankan mereka pada permulaan zaman Hellenistik, yakni ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Persia ke Yunani. Saat peralihan itu dimanfaatkan mereka untuk menetapkan  tempat peribadahan mereka  sendiri berada di  wilayah propinsi Samaria.
Sejak terjadi pemisahan itu, jurang pemisah antara Yahudi dan Samaria semakin lebar. Orang Yahudi di Yerusalem  selalu menganggap tempat peribadahan Samaria itu tidak sah dan orang Samaria sendiri dianggap sebagai  orang-orang murtad dan najis.
Yosefus, ahli sejarah Yahudi itu telah mengkritik tindakan  orang Samaria sebagai perbuatan yang sangat picik sekali, karena mereka mencoba melawan kondisi historis yang sedang  berkembang dan mendasarkan kehidupan agama mereka kepada kondisi historis yang sudah lama hilang.  Secara berangsur-angsur persekutuan gama Samaria memang makin merosot dan tidak  kreatif. Pada waktu itu hanya ada sedikit  sisa orang Samaria di kota Hablus (Sikhem). Mereka merayakan Paskah mereka di bukit Gerizim.

V.                  PEMULIHAN, KEMUNDURAN DAN KEJATUHAN

5.1.  Bangkitnya Makkabeus dan hidupnya monarkhi kembali

Pada masa raja Antiokhus  IV,  kehidupan beragama orang Yahudi memang sangat tertekan. Dia melarang segala kegiatan persekutuan agama di Yerusalem, seperti: pengadaan ibadah,  korban, pemeliharaan Sabat dan sunat. Segala buku-buku Yahudi juga dihancurkan. Barangsiapa mencoba melawan larangan itu, kepadanya dikenakan hukuman mati.
Sebagi ganti agama Yahudi, dia memperkenalkan agama yang baru. Peribadahan kepada Deus Olympus ( dewa Yunani)  ditetapkan di Yerualem  ( 2 Makkabeu 6: 2). Setiap orang dipaksa untuk  beribadah kepada dewa itu, yang diberlakukan mulai pada bulan Deember 167 eb.M.
Tetapi perbuatan itu segera mendapat perlawanan dari ekelompok  keluarga imam yang tinggal di kota kecil Modein. Bersama mereka bergabung juga satu golongan orang saleh bernama  golongan Hasmoni.  Salah seorang anggota mereka yang paling senior ialah Mattathias, yang mempunyai beberapa orang  anak. Ketika agama Yunani mau diterapkan di kota Modein,  maka Mattathias bukan saja menolak perintah itu, tetapi dia juga membunuh petugas kerajaan yang membawa perintah itu  ( 1 Makkabeus 2: 15-28). Kejadian ini berlangsung pada tahun 166 seb. M. Karena tindakannya itu, Mattathias bersama keluarganya terpaksa melarikan diri dari sana  ke bagian daerah gurun  Yehuda.  Dari sanalah mereka menyusun kekuatan untuk menghancurkan  agama yang dianggap kapir itu. Tetapi pada tahun itu juga, di sana Mattathias  meninggal dunia dalam usia lanjut. Kedudukannya kemudian diganti oleh anaknya sendiri yang bernama Yudas Makkabeus.  Yudas berjuang sangat gigih, hingga mereka  berhasil menghancurkan beberapa divisi militer Seleukia.  Karena keberhasilannya, maka pendukungnya  semakin banyak, sehingga dia menjadi penguasa  di propinsi Yehuda. Pada masa inilah kitab Daniel dituliskan, yang bertujuan untuk membangkitkan semangat orang Yahudi untuk melawan musuh melawan musuh mereka, bahwa dalam perlawanan itu Tuhan akan beserta mereka.
Pada tahun 164 seb.M, Yudas dan pengikutnya memasuki  Yerusalem dan mengadakan pembersihan terhadap Bait Suci itu. Di sana dia mengangkat beberapa imam yang setia kepada tradisi-tradisi keagamaan mereka. Tahun berikutnya Antiokhus IV tewas dalam perang melawan orang Partia. Kesempatan itu dipergunakan oleh Yudas bersama sanak-saudaranya untuk mengadakan kampanye ke luar propinsi Yehuda, untuk menghimpun seluruh orang Israel yang setia  masuk kepada persekutuan  agama di Yerusalem. Tempat suci agama Yunani di Yerusalem yang bernama Akra juga dikepung. Antiokhus V, Eupator, pengganti ayahnya Antiokhus IV, mencoba memberi perlawanan, tetapi tidak berhasil lagi. Karenanya dia menawarkan perdamaian  kepada Yudas.  Yudas menerima saja tawaran itu   asalkan penguasa Seleukia itu memberikan persekutuan agama Yahudi di Yerusalem. Persyaratan itu dituruti oleh Antiokhus V.
Nanun di kemudian hari, Yudas dan pengikutnya semakin bersikap keras terhadap raja Antiokhus V, karena dilihatnya raja itu telah mencoba mencampuri urusan agama mereka, dengan mengangkat imam besar Yahudi yang taat kepada raja. Gerakan Yudas semakin mengarah kepada perjuangan kemerdekaan politis, yang bebas dari pengaruh kekuasaan asing. Tetapi sikap ini telah membawa bencana bagi dirinya, karena golongan Hasmoni yang selama ini bersama mereka memisahkan diri, sebagian membentuk kelompok “orang saleh” yang tidak mau campur dengan masalah politis dan sebagian membentuk kelompok “Saduse” yang telah berbau Hellenis. Imam besar Ancilmus yang diangkat oleh penguasa Seleukia adalah dari kelompok Saduse ini. Untuk mencapai cita-citanya itu, pada tahun 160 seb.M, Yudas mengadakan pemberontakan. Tetapi karena pengikutnya yang setia hanya tinggal sedikit jumlahnya, maka diapun  kalah ( 1 Makkabeus 9: 1-12). Pengikutnya lari ke padang gurun. Di sanalah kelompok ini mencoba menyusun kekuatan lagi di bawah pimpinan adik Yudas, bersama Yonatan Makkabeus. Seorang Jenderal Syria bernama Bakhides dipercayakan oleh penguasa Seleukia untuk menangkap Yonatan.  Tetapi Bakhides gagal dan malah berusaha mengikat perjanjian damai dengan Yonatan. Setelah perjanjian itu, maka Bakhides menarik tenteranya dari seluruh tanah Yehuda, sehingga Yonatan menetapkan kedudukannya di Mikhmas ( 12 km sebelah Timur Yerusalem). Dari sanalah dia memimpin bangsa itu sebagai seorang Hakim ( 1 Makkabeus 9: 70-73).  Ini terjadi pada tahun 157. Sejak itu sampai tahun 63 seb. M tanah Yehuda (Yudea) bebas dari kekuasaan asing.
Peluang itu juga dimungkinkan, karena Kerajaan Seleukia telah makin lemah. Di dalamnya sering terjadi perebutan kekuasaan. Tahun 153 Yonatan telah berhasil menduduki  Yerusalem. Sejak tahun 142, keadaan orang Yahudi semakin baik di bawah pimpinan Simon, saudara Yonatan, yang mengganti posisi Yonatan. Simon menjabat sebagai imam besar, panglima perang dan pemimpin orang Yahudi  ( 1 Makkabeus 13: 42). Namun pada tahun 134 dia mati terbunuh bersama dua orang anaknya oleh anak iparnya sendiri Ptolomeus, dekat kota Yeriko. Tetapi dia segera digantikan oleh anaknya, Yohannes, yang juga segera bisa merebut kota Yerusalem.  Kepemimpinan Yohannes mendapat dukungan yang besar dari orang-orang Yahudi.  Sempat Antiokhus VII mengkubu Yerusalem, sehingga Yohannes tertahan di dalamnya. Namun tindakan Antiokhus ini tidak bisa bertahan lama, karena Antiokhus harus mempergunakan tenteranya itu untuk melawan orang Partia. Dalam pertempuran itu, Antiokhus VII mati terbunuh pada tahun 128 seb.M. Sejak itu konpflik yang dialami oleh persekutuan agama Yerusalem dengan penguasa Seleukia berakhir. Keadaan aman dan merdeka itu berlangsung sampai tahun 63 seb.M.

5.2.  Intervensi penguasa Roma dan akhir sejarah Israel

Pada tahun 65 seb.M, kekaisaran Roma telah memasuki Syria-Palestina dan tahun 63 seb.M  Yerusalem telah berhasil diduduki.  Bait Allah dirampas.  Aristobulus yang menjadi pimpinan  orang Yahudi  pada waktu itu ditangkap dan dipenjarakan di kota Roma.  Hirkanus II, yang sebelumnya bersengketa dengan saudaranya Aristobulus II, diangkat menjadi imam besar di Yerusalem.  Dua orang anak Aristobulus II, yaitu  Alexander  dan Antigonus melarikan diri.
Setelah seluruh daerah Syria-Palestina dikuasai, segera diadakan reorganisasi pemerintahan. Wilayan Yudea yang sebelumnya  dipimpin oleh Aristobulus II, dimasukkan ke dalam propinsi Syria. Tetapi secara khusus untuk urusan pemerintahan kepada wilayah kerajaan Yudea dulu, ditambah dengan Perea dan Galilea, diserahkan kepada Antipater, raja Idumea. Antipater, yang adalah ayah dari Herodes Agung, adalah orang Edom yang sudah beragama Yahudi.
Pada tahun 49 seb.M terjadi suatu peristiwa di kekaisaran Roma, yang sempat menyulitkan posisi Antipater, yaitu terjadinya perebutan kuasa antara Pompey dan Yulius Caesar. Dalam  situasi ini Antipater  berpihak kepada Pompey  selaku kaisar yang sedang berkuasa. Tetapi ternyata Pompey mati terbunuh pada tahun 48 seb.M di Mesir. Situasi ini tentu akan menjadi ancaman  bagi posisi Antipater. Untunglah dia sangat lihai,  di mana dia segera berpihak kepada Julis Caesar, sehingga dia diangkat menjadi wakil pemerintahan Roma  di Yudea. Hirkanus juga tetap memperoleh jabatan imam dan kepala pemerintahan Yudea, namun berada sebagai bawahan dari Antipater.
Untuk membantu  pekerjaannya, Antipater mengangkat anak sulungnya Fasael menjadi gubernur untuk daerah Yudea dan Perea, dan anaknya yang kedua, Herodes  menjadi gubernur Galilea. Sebagai perwakilan pemerintah Roma, mereka ini tidak disenangi oleh anggota persekutuan agama Yerusalem.
Pada tahun 44 seb. M, keluarga Antipater kembali menghadapi kesulitan, karena ketika itu Julius Caesar mati terbunuh. Tetapi karena memang kelicikan keluarga ini mengambil peranan di bidang politik,  jalan apapun mereka  tempuh demi mendapat kekuasaan dari pemerintah Roma. Siapapun yang menjadi  penguasa Roma, hatinya selalu bisa dipikat oleh keluarga ini.
Yang paling berhasil dari anak Antipater ini ialah Herodes. Di samping bisa menjalin hubungan yang baik dengan penguasa Roma, dia juga berusaha menjalin hubungan yang baik dengan orang-orang Yahudi. Hal ini ternyata dari usahanya untuk memperbaharui Bait Allah di Yerusalem, memperbaiki  kehidupan orang-orang Yahudi di perantauan dan membebaskan orang-orang Yahudi dari wajib militer Romawi.  Hal yang terakhir ini sangat perlu, khususnya  dalam hubungannya dengan pemberlakukan Hukum Taurat. Namun pada akhir hidupnya Herodes menghadapi pertentangan dari anak-anaknya, yang lahir dari beberapa istrinya, karena masing-masing ingin sebagai pewaris ayahnya. Pada tahun 7 seb. M dua  orang anaknya  Aleksander dan Aristobulus  diadili dan dijatuhi hukuman  mati. Lalu tahun 4 seb.M, dalam keadaan sakit  dan beberapa hari sebelum kematiannya, dia menghukum mati anaknya Antipater, yang sudah sempat dinyatakan melalui surat wasiat sebagai penggantinya. Dalam surat wsiatnya yang terakhir, dia membagi-bagi wilayah kekuasaannya itu kepada tiga orang anaknya laki-laki yang masih tertinggal, yakni Arkhelaus, anak termuda  yang masih berumur sebelas tahun mendapat wilayah Yudea, Idumea dan Samaria. Antipas mendapat wilayah Galilea dan daerah sebellah Timur Yordan. Filipus mendapat wilayah Gaulonitis, Terakhonitis dan Paneas. Arkhelaus diminta pergi ke kaisar Agustus di Roma, dengan membawa cincin kerajaan Herodes untuk memohon pengesahan surat wasiat itu.
Ketiga putra  Herodes ini sangat dibenci oleh orang-orang Yahudi. Arkhelaus memerintah Yudea hanya sepuluh tahun. Dia adalah seorang yang lemah, sehingga huru-hara yang sering terjadi di negerinya tidak bisa diatasi. Masyarakat Yahudi sering mengadukan Arkhelaus kepada kaisar di Roma, sebagai seorang yang jahat, karena tidak memperdulikan kesejahteraan negerinya dan hanya melanggar peraturan-peraturan Yahudi. Maka pada tahun 6 seb.M, kaisar Agustus membuang dia ke Francis dan Yudea dijadikan menjadi satu provinsi yang dikendalikan oleh procurator  Roma. Sementara Yudea telah dijadikan sebuah provinsi, Antipas dan Filipus masih terus  melanjutkan pemerintahannya  di wilayah mereka, yang sudah disahkan oleh kaisar Agustus berdasarkan surat  wasiat  dari Herodeas Agung itu. Filipus memerintah sampai meninggalnya tahun  34 M dan Antipas memerIntah sampai meninggalnya tahun 39 M.
Yesus  hidup dan bekerja pada zaman ini. Namun pada waktu itu sejarah dunia tidak banyak mencatat tentang dia. Yosefus, ahli sejarah Yahudi  itu, juga tidak  memberi perhatian kepada pekerjaan Yesus, walaupun dia banyak melaporkan gerakan-gerakan yang terjadi pada pada zaman itu. Barulah sesudah pengikut-pengikutnya muncul, fakta historis itu mendapat perhatian.
Dalam sejarah Israel, hal yang sangat penting pada waktu itu ialah usaha Agama Yerusalem untuk melawan penguasa-penguasa sekuler, mencegah  adanya tekanan-tekanan atas peribadahan , menuntut hak untuk hidup  sesuai dengan hukum-hukum tradisional secara ketat.  Karena perjuangan Yesus tidak langsung kepada  ketiga pokok usaha tersebut, maka Yesus tidak dipandang sebagai tokoh yang penting dalam sejarah Israel pada waktu itu.
Yesus dapat menghimpun perhatian  masyarakat banyak, melalui khotbah, pengajaran dan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan. Namun perbuatan-perbuatannya tidak ada sama sekali menjurus  kepada gerakan politis dan pemberontakan kepada pihak Roma, walaupun pengikut-pengikutnya itu sebenarnya mendambakan bahwa dialah tokoh yang mampu sebagai pembebas mereka dari penjajkahan Roma tersebut. Tetapi Yesus tidak melakukan apapun yang mengarah kepada pemberontakan. Situasi pada zamannya adalah tenang, tidak ada insiden yang besar.
Namun menjelang akhir hidupnya, Yesus menunjukkan dirinya sebagai “Mesias” yang membawa damai,  yang terjadi ketika dia memasuki Yerusalem pada waktu pesta Paskah Yahudi. Dengan mengendarai seekor keledai  dan  memasuki halaman Bait Allah di Yerusalem, dia disambut oleh orang banyak dengan gembira dan  penuh “harapan”. Tetapi pemimpin Agama Yahudi tidak mau tau tentang arti pernyataannya itu. Mereka malah mempergunakan pengaruhnya untuk mengalihkan hati orang banyak untuk melawan Yesus.  Mereka tidak melihat Mesias yang dijanjikan itu dalam diri Yesus dari Nasaret itu. Pada zaman kekuasaan asing itu, pengharapan Mesianis yang dinubuatkan oleh nabi-nabi yang lama, telah berkembang  pada pengharapan akan datangnya seorang pembebas politis. Dari titik pandangan ini, maka Yesus dari Nasaret ibukanlah tokoh yang diharapkan. Karena itu Yesus ditolak dan dijatuhi  hukuman mati sebagai seorang penghujat Allah, karena dia mengaku dirinya sebagai Mesias dan Anak Allah. Hukuman yang dijatuhkan oleh Majelis Agama Yahudi “dipaksa” untuk diteguhkan oleh porocurator  Roma, yang pada waktu itu dijabat oleh Pontius Pilatus (26-30 M). Kehadirann Pilatus pada waktu itu  ke Yerusalem dari pusat pemerintahannya di Kaisarea  hanyalah  untuk mencegah adanya keributan di tengah-tengah Pesta Paskah Yahudi yang besar itu.  Tetapi di sana dia diperhadapkan kepada pengadilan Agama Yahudi terhadap Yesus, yang dilakukan oleh  kepala-kepala Agama Yahudi.

Mula-mula Pilatus tidak mencampuri persoalan itu,  dia menganggap itu hanya menyangkut perkara keagamaan Yahudi  saja.  Perkara demikian sebenarnya telah dipercayakan kepada Sanhedrin Yahudi untuk menyelesaikannya. Tetapi karena tekanan yang tidak terelakkan dari orang-orang Yahudi, maka dia menyerah begitu saja dan menjatuhkan hukuman penyaliban kepada Yesus sesuai dengan keinginan-keinginan pemuka-pemuka Agama Yahudi. Di luar kota Yerusalem, Yesus disalibkan oleh serdadu-serdadu Roma bersama dengan penjahat lainnya.  Pengikutnya hanya menunggu di Yerusalem, yang kemudian bergerak ke seluruh dunia menyebarkan berita Injil tentang Yesus.  Berita  Injil itu tidak berakhir sampai kematiannya, tetapi telah tersebar  ke seluruh diaspora Yahudi  dan bahkan ke seluruh dunia, bahwa   Dialah Mesias dan Juru Selamat Dunia.  Yesus dengan pengajaran dan karyaNya, tidaklah melanjutkan sejarah Israel. Dalam Yesus, sejarah Israel yang lama  telah berakhir.  Apa yang terjadi lagi kepada sejarah Israel sesudah kematian Yesus, hanyalah lanjutan  proses penolakan  dan penghukuman itu. Persekutuan Agama Yerusalem telah menolak Dia sebagai Mesias. Hanya sedikit  orang Yahudi yang percaya kepadanya, dan dari mereka itulah sesuatu yang baru tumbuh. Setelah tersebarnya berita Yesus,  bertumbuhkan jemaat-jemaat Kristen sampai ke Roma oleh para rasul yang diutus oleh Yesus Kristus. Lalu pada tahun  70 M, kota Yerusalem bersama Bait Allah  yang menjadi inti  persekutuan Agama  Yahudi dihancurkan oleh tentera Roma dibawah pimpinan Jenderal Titus. Itulah akhir dari Sejarah Israel yang lama menurut Martin Noth.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar