MENGENAL BEBERAPA BENTUK SISTEM PEMERINTAHAN GEREJA
Dalam perjalanan sejarahnya telah dikenal adanya
beberapa bentuk organisasi gereja yang sekaligus juga mempengaruhi sistem pemerintahan gereja tersebut, yakni: Episkopal,
Papal, Presbyterial dan Kongregational. Gereja yang mengikuti salah satu bentuk
ini selalu mencari dan mendapat dasarnya di dalam kitab Perjanjian Baru.
Beberapa gereja yang tidak termasuk kepada salah satu golongan tersebut di atas
menuntut bahwa struktur dan hukum-hukum gereja ditentukan oleh perkembangan
sejarah dan oleh karena itu menurut mereka gereja
harus sanggup berobah sesuai dengan
situasi masing-masing. Jadi bentuk-bentuk gereja tersebut
di atas tidak bisa menyatakan dirinya menjadi ukuran gereja yang benar.
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal
adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang dipegang oleh para uskup (
Yunani: episkopoV - episkopos),
salah satu jabatan yang telah dikenal pada jemaat zaman
rasuli, yang dalam PB diterjemahkan dengan “penilik” (Misalnya Kis. Rasul 20: 28; Fil. 1: 1; 1 Tim. 3:
1.2, dll). Kemudian jabatan
ini dikenal dengan jabatan uskup atau
bishop. Pada mulanya jabatan ini sejajar dengan jabatan “presbuteroV” (presbyteros) yang diterjemahkan dengan
penatua. Perbedaannya hanya pada latar-belakangnya, di mana istilah ‘presbyteros’ dipinjam dari synagoge
Yahudi, sedangkan ‘episkopos’ dipinjam
dari organisasi masyarakat Yunani. Sampai akhir abad pertama ke dua jabatan ini
mempunyai tugas dan posisi yang sama dalam jemaat setempat, yakni untuk
mengajar dan memimpin warga jemaat itu
melaksanakan tuntutan kekristenan. Tetapi mulai pada awal abad ke dua, jabatan
uskup dikenakan kepada pemimpin dari
suatu jemaat setempat
bersama dengan suatu dewan penatua, yang dipilih dari antara
dewan penatua itu. Dan semua uskup itu mempunyai kedudukan yang sama sebagai “pengganti rasul” untuk memimpin jemaat-jemaat dalam
satu wilayah tertentu. Segala persoalan
yang timbul dalam suatu jemaat diselesaikan oleh uskup tersebut. Tetapi
kalau persoalan itu menyangkut seluruh jemaat Kristen yang sudah berdiri di berbagai
tempat, maka persoalan itu diselesaikan dalam rapat para uskup. Rapat para uskup ini
kemudian dikenal dengan istilah “synode” atau konsili. Sampai sekarang sistem
pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal masih dipertahankan oleh beberapa
gereja, antara lain: Gereja Orthodoks Timur,
Gereja Anglkan dan sebagian gereja
Protestan,
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat “Papal”,
ialah sistem pemerintahan gereja yang dipimpin oleh paus. Kata “papal” berasal dari kata “papa” (pope) yang artinya bapa. Paus
dianggap sebagai bapa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam gereja. Sistem
ini mulai di gereja Roma Katolik pada abad ke lima, di mana uskup (episkopos)
yang berkedudukan di Roma dianggap sebagai paus, yang mengepalai seluruh uskup
dan seluruh gereja. Paus di Roma ini menganggap diri mereka dipanggil oleh
Tuhan menjadi kepala gereja sebagai pengganti Rasul
Petrus (bd. Mat.16: 18), dan bahkan kemudian dianggap sebagai wakil Kristus di
dunia ini. Dengan kedudukan seperti itu kuasa paus dianggap sangat besar.
Segala sesuatu yang akan dijalankan dalam gereja ditetapkan oleh paus, termasuk
segala peraturan atau hukum dalam gereja. Apa yang ditetapkan oleh paus mutlak berlaku. Dan dari situ mucul suatua ajaran dalam gereja RK yang mengatakan bahwa “paus tidak pernah salah atau keliru” (infallible). Tidak seorang pun yang bisa menentang
paus. Tetapi sistem pemerintahan paus yang mutlak itu kemudian mendapat reaksi dari berbagai tokoh gereja yang kemudian
menjadi suatu gerakan yang disebut reformasi. Gereja-gereja reformasi menentang sistem kepausan
itu. Tetapi setelah
reformasi muncul lagi beberapa sistem
pemerintahan gereja yang lain yang dianggap berdasarkan Alkitab, antara lain sistem presbyterial,
kongregational dan synodal. Sistem papal dilihat tidak berdasarkan
Alkitab.
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat “presbyteial” ialah
gereja yang dipimpin oleh para ‘persbyteros” dalam bentuk “majelis gereja”.
Sistem ini pertama ditetapkan oleh Yohannes Calvin, dalam upaya untuk
memperbaharui sistem gereja Roma Katolik yang kepemimpinannya mutlak berada di tangan satu orang. Untuk memimpin gereja, Calvin membentuk satu
‘majelis gereja” yang terdiri dari
pejabat-pejabat yang ditetapkan
dalam gereja oleh Kristus sebagai Kepala Gereja satu-satunya yakni: gembala
(pastor atau pendeta), pengajar ( guru), penatua (orang yang lanjut usia) dan diaken atau
syamas. Majelis gereja itulah yang memimpin gereja berdasarkan Firman Tuhan dan menjalankan
disiplin gereja. Segala persoalan gereja dan ketentuan-ketentuan yang akan
dijalankan di dalam gereja ditangani oleh majelis gereja itu. Pada umumnya gereja-gereja yang
beraliran Reformed atau Calvinis di Indonesia, seperti Gereja Batak Karo Prostestan, GPIB, dll, adalah menganut istem ini.
Gereja
yang mengikuti sistem pemerintahan yang bersifat “Congregational” ialah gereja yang memberikan otonomi sepenuhnya
kepada jemaat-jemaat setempat (kongregasi). Sistem “congregational” bertolak
dari kongregasi-kongregasi (yang mereka sebut sebagai persekutuan orang-orang
percaya setempat), yang sama sekali
bebas dan mandiri, baik terhadap kongregasi-kongregasi yang lain, maupun
terhadap wibawa negara. Kepemimpin berada di tangan Kristus, yang dijalankan
melalui rapat jemaat-jemaat setempat atau sidang orang-orang percaya. Dalam
pandangan gereja yang menganut sistem ini
hanya ada satu otoritas di atas jemaat itu sendiri yakni otoritas
Kristus. Fungsi pejabat gereja misalnya pendeta, bukanlah sebagai pemimpin
dalam jemaat itu, tetapi hanya sebagai pelayan
yakni pelayan Firman Tuhan. Dan pendeta yang melayani di tiap-tiap
jemaat bukan ditempatkan dari Kantor
Pusat atau Kantor Sinode dari gereja itu, tetapi dipanggil langsung oleh
Kristus dengan perantaraan jemaat setempat. Dengan demikian jemaat setempatlah
yang mempunyai wewenang untuk mencari pendetanya atau juga untuk
memberhentikannya apabila pendeta itu melanggar tugas pangilannya atau apabila
dirasa tidak dibutuhkan lagi oleh jemaat itu.
Fungsi pimpinan pusat dari gereja itu
hanya sebagai ketua sinode, sedangkan masing-masing jemaat tidak terikat
kepada keputusan sinode itu. Gereja-gereja yang menganut
sistem ini di Indonesia, seperti Gereja Kristen Indonesia ( GKI), gereja-gereja
yang beraliran Pentakosta, dll.
Dalam
perkembangan selanjutnya dari sistem pemerintahan gereja, belakangan ini muncul
suatu sistem pemerintahan yang bersifat “Synodal”. Gereja yang mengikuti sistem
synodal ialah gereja yang sepenuhnya dipimpin berdasarkan keputusan-keputusan
sinode dari gereja itu. Segala aturan, kebijaksanaan dan kegiatan-kegiatan yang
dijalankan ditetapkan berdasarkan keputusan sinode. Untuk menjalankan
kepemimpinan sehari-hari, dipercayakan kepada seorang pelayan yang dipilih oleh
sinode itu sendiri.
HKBP sering menyebut dirinya sebagai gereja yang bersifat synodal, di mana
keputusan tertinggi yang harus dipatuhi semua jemaat mulai dari jemaat setempat, ressort, distrik
sampai pusat dan seluruh pelayan gereja adalah ditangan synode. Tetapi dalam
prakteknya pengaruh presbyreal bahkan
kongregtional, juga semakin terlihat mempengaruhi HKBP.
Tetapi
tidak semua gereja yang memiliki sinode bisa disebut synodal. Pemahaman
mengenai unsur yang diutus untuk mengikuti sinode itu berbeda-beda. Misalnya
dalam gereja mula-mula (setelah zaman rasuli)
yang dipimpin oleh para uskup,
sinode juga sudah dikenal, tetapi unsur yang mengikuti sinode ini hanya
para uskup dalam suatu wilayah tertentu, dan dilakukan tidak secara periodik,
melainkan hanya apabila dirasa perlu untuk menyelesaikan
suatu persoalan yang telah meluas.
Seperti sudah disinggung di atas, di gereja yang bersifat Congregational
juga ada dikenal semacam sinode, yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan
jemaat setempat, tetapi fungsi dari sinode itu hanya sebagai wadah musyawarah
untuk membicarakan hubungan timbal balik dan kegiatan-kegiatan yang bisa
dilakukan secara bersama-sama. Keputusan yang diambil tidak mengikat kepada
masing-masing jemaat setempat. Sedangkan
gereja yang mengikuti sistem synodal, keputusan yang diambil dalam sinode harus
dijalankan.
Dalam
gereja yang bersifat Presbyterial, sinode juga dikenal, tetapi sifatnya adalah
merupakan sidang yang lebih luas dari sidang majelis jemaat, yang mencakup
pembicaraan mengenai kebutuhan-kebutuhan dari seluruh jemaat yang tergabung
dalam gereja itu. Keputusan yang diambil di sini biasanya adalah yang
menyangkut masalah umum. Sedangkan yang menyangkut masalah khusus untuk
satu-satu jemaat dibicarakan dalam sidang majelis jemaat tersebut.
Dalam gereja-gereja Lutheran,
kita tidak melihat kecenderungan kepada salah satu bentuk pemerintahan gereja
di atas. Ini disebabkan karena Martin Luther sendiri tidak sampai kepada usaha mereformasi bentuk
pemerintahan gereja. Dia lebih terfokus hanya kepada usaha mereformasi ajaran atau
doktrin gereja. Sekarang ini, kebanyakan
gereja-gereja Lutheran dijumpai di daerah Amerika Seikat, dan gereja-gereja
Lutheran yang ada di sana, lebih cenderung kepada bentuk gereja yang bersifat
presbyterial. Gereja HKBP tidak bisa disebut sebagai gereja yang beraliran
Lutheran, walaupun gereja itu termasuk salah satu anggota “Lutheran World
Federation” (LWF). RMG yang melakukan penginjilan di Tanah Batak sejak awal telah menghindarkan supaya masalah "konfessionalisme atau denominasionalisme" di Eropa jangan terbawa-bawa dalam usaha penginjilannya di Tanah Batak. Karena itu para penginjil yang diutus bukan hanya yang berlatar-belakang Lutheran tetapi banyak juga yang berlatar-belakang Reformed atau Calvinis. Karena itu pengaruh
Calvin ataupun aliran Reformed juga banyak dijumpai dalam gereja HKBP. Misalnya sistem "majelis jemaat" ( parhalado ni huria) yang cukup dominan di HKBP adalah pengaruh sistem presbyterianisme dari Reformed. Karena tidak murni Lutheran dan tidak murni juga Reformed atau Calvinis, maka masuk kepada aliran manakah HKBP?. Kalau pertanyaan seperti ini muncul kepada para pemimpin (ephorus) HKBP, mulai dari Pdt Dr Justin Sihombing, maka jawaban yang selalu dikatakan adalah "HKBP do HKBP".
Mengenai gereja Mennonit, yang
beraliran Baptis, tidak begitu banyak dijumpai di Indonesia. Pernah ada di
daerah Tapanuli Selatan, yang dihasilkan para missionar Mennonit dari Rusia,
tetapi kemudian karena tidak memenuhi syarat menjadi satu gereja yang berdiri
sendiri sesuai dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu,
maka gereja ini berbaur dengan HKBP. Di Jawa Tengah ada gereja yang berasal dari Mennonit yang
beraliran Baptis, yakni Gereja Injili di Tanah Jawa ( GITJ) dan Persatuan Gereja sekitar Gunung Muria.
Bentuk pemerintahannya gereja ini adalah lebih bersifat kongregationalis, di
mana masing-masing jemaat setempat bersifat otonom mengatur diri sendiri.
Demikianlah
kami kemukakan beberapa bentuk sistem pemerintahan gereja yang kita kenal,
untuk menambah pemahaman dan pengenalan kita akan gereja itu. Semoga
bermanfaat. (Pdt MSM Panjaitan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar