Rabu, 12 Mei 2021

MENGENAL BEBERAPA BENTUK SISTEM PEMERINTAHAN GEREJA

 

MENGENAL BEBERAPA BENTUK SISTEM PEMERINTAHAN GEREJA

 

Dalam perjalanan sejarahnya telah dikenal adanya beberapa bentuk organisasi gereja yang sekaligus juga mempengaruhi  sistem pemerintahan gereja tersebut, yakni: Episkopal, Papal, Presbyterial dan Kongregational. Gereja yang mengikuti  salah satu bentuk ini selalu mencari dan mendapat dasarnya di dalam kitab Perjanjian Baru. Beberapa gereja yang tidak termasuk kepada salah satu golongan tersebut di atas menuntut bahwa struktur dan hukum-hukum gereja ditentukan oleh perkembangan sejarah dan oleh karena itu menurut mereka gereja harus sanggup berobah sesuai  dengan situasi masing-masing. Jadi  bentuk-bentuk  gereja tersebut di atas tidak bisa menyatakan dirinya menjadi ukuran gereja yang benar.

            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang dipegang oleh para uskup ( Yunani: episkopoV - episkopos), salah satu jabatan yang telah dikenal pada  jemaat zaman rasuli, yang dalam PB diterjemahkan dengan “penilik” (Misalnya Kis. Rasul 20: 28; Fil. 1: 1; 1 Tim. 3: 1.2, dll). Kemudian jabatan ini  dikenal dengan jabatan uskup atau bishop. Pada mulanya jabatan ini sejajar dengan jabatan  presbuteroV  (presbyteros) yang diterjemahkan dengan penatua. Perbedaannya hanya pada latar-belakangnya, di mana istilah ‘presbyteros’ dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan ‘episkopos’  dipinjam dari organisasi masyarakat Yunani.  Sampai akhir abad pertama ke dua jabatan ini mempunyai tugas dan posisi yang sama dalam jemaat setempat, yakni untuk mengajar dan memimpin  warga jemaat itu melaksanakan tuntutan kekristenan. Tetapi mulai pada awal abad ke dua, jabatan uskup  dikenakan kepada pemimpin dari suatu jemaat setempat bersama dengan  suatu dewan penatua, yang dipilih dari antara dewan penatua itu. Dan semua uskup itu mempunyai kedudukan yang sama sebagai pengganti rasul” untuk memimpin jemaat-jemaat dalam satu wilayah tertentu. Segala persoalan  yang timbul dalam suatu jemaat diselesaikan oleh uskup tersebut. Tetapi kalau persoalan itu menyangkut seluruh jemaat Kristen yang sudah berdiri di berbagai tempat, maka persoalan itu diselesaikan dalam rapat para uskup. Rapat para uskup ini kemudian dikenal dengan istilah “synode” atau konsili. Sampai sekarang sistem pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal masih dipertahankan oleh beberapa gereja, antara lain: Gereja Orthodoks Timur, Gereja Anglkan dan sebagian  gereja Protestan,          

            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat “Papal”, ialah sistem pemerintahan gereja yang dipimpin oleh paus. Kata “papal” berasal dari kata  “papa” (pope) yang artinya bapa. Paus dianggap sebagai bapa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam gereja. Sistem ini mulai di gereja Roma Katolik pada abad ke lima, di mana uskup (episkopos) yang berkedudukan di Roma dianggap sebagai paus, yang mengepalai seluruh uskup dan seluruh gereja. Paus di Roma ini menganggap diri mereka dipanggil oleh Tuhan menjadi kepala gereja sebagai pengganti Rasul Petrus (bd. Mat.16: 18), dan bahkan kemudian dianggap sebagai wakil Kristus di dunia ini. Dengan kedudukan seperti itu kuasa paus dianggap sangat besar. Segala sesuatu yang akan dijalankan dalam gereja ditetapkan oleh paus, termasuk segala peraturan atau hukum dalam gereja. Apa yang ditetapkan oleh paus mutlak berlaku. Dan dari situ mucul suatua ajaran dalam gereja RK yang mengatakan bahwa paus tidak pernah salah atau keliru” (infallible). Tidak seorang pun yang bisa menentang paus. Tetapi sistem pemerintahan paus yang mutlak itu  kemudian mendapat reaksi  dari berbagai tokoh gereja yang kemudian menjadi suatu gerakan yang disebut reformasi. Gereja-gereja reformasi menentang sistem kepausan itu. Tetapi setelah reformasi  muncul lagi beberapa sistem pemerintahan gereja yang lain yang dianggap berdasarkan Alkitab, antara lain sistem presbyterial, kongregational dan synodal.   Sistem papal dilihat tidak berdasarkan Alkitab.

 

            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat “presbyteial”  ialah  gereja yang dipimpin oleh para ‘persbyteros” dalam bentuk “majelis  gereja”.  Sistem ini pertama ditetapkan oleh Yohannes Calvin, dalam upaya untuk memperbaharui sistem gereja Roma Katolik yang kepemimpinannya  mutlak berada di tangan satu orang.  Untuk memimpin gereja, Calvin membentuk satu ‘majelis gereja” yang terdiri dari  pejabat-pejabat  yang ditetapkan dalam gereja oleh Kristus sebagai Kepala Gereja satu-satunya yakni: gembala (pastor atau pendeta), pengajar ( guru), penatua  (orang yang lanjut usia) dan diaken atau syamas. Majelis gereja itulah yang memimpin gereja  berdasarkan Firman Tuhan dan menjalankan disiplin gereja. Segala persoalan gereja dan ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan di dalam gereja ditangani oleh majelis gereja itu. Pada umumnya gereja-gereja yang beraliran Reformed atau Calvinis di Indonesia, seperti Gereja Batak Karo Prostestan,  GPIB, dll, adalah menganut istem ini.

 

            Gereja yang mengikuti sistem pemerintahan yang bersifat “Congregational” ialah gereja yang memberikan otonomi sepenuhnya kepada jemaat-jemaat setempat (kongregasi). Sistem “congregational” bertolak dari kongregasi-kongregasi (yang mereka sebut sebagai persekutuan orang-orang percaya setempat),  yang sama sekali bebas dan mandiri, baik terhadap kongregasi-kongregasi yang lain, maupun terhadap wibawa negara. Kepemimpin berada di tangan Kristus, yang dijalankan melalui rapat jemaat-jemaat setempat atau sidang orang-orang percaya. Dalam pandangan gereja yang menganut sistem ini  hanya ada satu otoritas di atas jemaat itu sendiri yakni otoritas Kristus. Fungsi pejabat gereja misalnya pendeta, bukanlah sebagai pemimpin dalam jemaat itu, tetapi hanya sebagai pelayan  yakni pelayan Firman Tuhan. Dan pendeta yang melayani di tiap-tiap jemaat  bukan ditempatkan dari Kantor Pusat atau Kantor Sinode dari gereja itu, tetapi dipanggil langsung oleh Kristus dengan perantaraan jemaat setempat. Dengan demikian jemaat setempatlah yang mempunyai wewenang untuk mencari pendetanya atau juga untuk memberhentikannya apabila pendeta itu melanggar tugas pangilannya atau apabila dirasa tidak dibutuhkan lagi oleh jemaat itu. Fungsi  pimpinan pusat dari gereja itu hanya sebagai ketua sinode, sedangkan masing-masing jemaat tidak terikat kepada  keputusan sinode itu. Gereja-gereja yang menganut sistem ini di Indonesia, seperti Gereja Kristen Indonesia ( GKI), gereja-gereja yang beraliran Pentakosta, dll.

 

            Dalam perkembangan selanjutnya dari sistem pemerintahan gereja, belakangan ini muncul suatu sistem pemerintahan yang bersifat “Synodal”. Gereja yang mengikuti sistem synodal ialah gereja yang sepenuhnya dipimpin berdasarkan keputusan-keputusan sinode dari gereja itu. Segala aturan, kebijaksanaan dan kegiatan-kegiatan yang dijalankan ditetapkan berdasarkan keputusan sinode. Untuk menjalankan kepemimpinan sehari-hari, dipercayakan kepada seorang pelayan yang dipilih oleh sinode itu sendiri. HKBP sering menyebut dirinya sebagai gereja yang bersifat synodal, di mana keputusan tertinggi yang harus dipatuhi semua jemaat  mulai dari jemaat setempat, ressort, distrik sampai pusat dan seluruh pelayan gereja adalah ditangan synode. Tetapi dalam prakteknya  pengaruh presbyreal bahkan kongregtional, juga semakin terlihat mempengaruhi HKBP.

            Tetapi tidak semua gereja yang memiliki sinode bisa disebut synodal. Pemahaman mengenai unsur yang diutus untuk mengikuti sinode itu berbeda-beda. Misalnya dalam gereja mula-mula (setelah zaman rasuli)  yang dipimpin oleh para uskup,  sinode juga sudah dikenal, tetapi unsur yang mengikuti sinode ini hanya para uskup dalam suatu wilayah tertentu, dan dilakukan tidak secara periodik, melainkan hanya apabila dirasa perlu untuk menyelesaikan suatu persoalan yang telah meluas.   Seperti sudah disinggung di atas, di gereja yang bersifat Congregational juga ada dikenal semacam sinode, yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan jemaat setempat, tetapi fungsi dari sinode itu hanya sebagai wadah musyawarah untuk membicarakan hubungan timbal balik dan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan secara bersama-sama. Keputusan yang diambil tidak mengikat kepada masing-masing jemaat setempat. Sedangkan gereja yang mengikuti sistem synodal, keputusan yang diambil dalam sinode harus dijalankan. 

 

            Dalam gereja yang bersifat Presbyterial, sinode juga dikenal, tetapi sifatnya adalah merupakan sidang yang lebih luas dari sidang majelis jemaat, yang mencakup pembicaraan mengenai kebutuhan-kebutuhan dari seluruh jemaat yang tergabung dalam gereja itu. Keputusan yang diambil di sini biasanya adalah yang menyangkut masalah umum. Sedangkan yang menyangkut masalah khusus untuk satu-satu jemaat dibicarakan dalam sidang majelis jemaat tersebut.

            Dalam gereja-gereja Lutheran, kita tidak melihat kecenderungan kepada salah satu bentuk pemerintahan gereja di atas. Ini disebabkan karena Martin Luther sendiri  tidak sampai kepada usaha mereformasi bentuk pemerintahan gereja. Dia lebih terfokus hanya kepada usaha mereformasi ajaran atau doktrin gereja.  Sekarang ini, kebanyakan gereja-gereja Lutheran dijumpai di daerah Amerika Seikat, dan gereja-gereja Lutheran yang ada di sana, lebih cenderung kepada bentuk gereja yang bersifat presbyterial. Gereja HKBP tidak bisa disebut sebagai gereja yang beraliran Lutheran, walaupun gereja itu termasuk salah satu anggota “Lutheran World Federation” (LWF). RMG yang melakukan penginjilan di Tanah Batak sejak awal  telah menghindarkan supaya masalah "konfessionalisme atau denominasionalisme" di Eropa jangan terbawa-bawa dalam usaha penginjilannya di Tanah Batak. Karena itu para penginjil yang diutus bukan hanya yang berlatar-belakang Lutheran tetapi banyak juga yang berlatar-belakang  Reformed atau Calvinis. Karena itu pengaruh Calvin ataupun   aliran Reformed  juga banyak dijumpai dalam gereja HKBP. Misalnya  sistem "majelis jemaat" ( parhalado ni huria) yang cukup dominan di HKBP adalah pengaruh  sistem presbyterianisme dari Reformed. Karena tidak murni Lutheran dan tidak murni juga Reformed atau Calvinis, maka masuk kepada aliran manakah HKBP?.  Kalau pertanyaan seperti ini muncul kepada para pemimpin (ephorus) HKBP, mulai dari Pdt Dr Justin Sihombing, maka jawaban yang selalu dikatakan adalah "HKBP do HKBP".

            Mengenai gereja Mennonit, yang beraliran Baptis, tidak begitu banyak dijumpai di Indonesia. Pernah ada di daerah Tapanuli Selatan, yang dihasilkan para missionar Mennonit dari Rusia, tetapi kemudian karena tidak memenuhi syarat menjadi satu gereja yang berdiri sendiri sesuai dengan peraturan pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu, maka gereja ini berbaur dengan HKBP. Di Jawa Tengah  ada gereja yang berasal dari Mennonit yang beraliran Baptis, yakni Gereja Injili di Tanah Jawa  ( GITJ) dan Persatuan Gereja sekitar Gunung Muria. Bentuk pemerintahannya gereja ini adalah lebih bersifat kongregationalis, di mana masing-masing jemaat setempat bersifat otonom mengatur diri sendiri.

            Demikianlah kami kemukakan beberapa bentuk sistem pemerintahan gereja yang kita kenal, untuk menambah pemahaman dan pengenalan kita akan gereja itu. Semoga bermanfaat. (Pdt MSM Panjaitan).

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar