KEPERCAYAAN KRISTEN MENGUBAH PANDANGAN ORANG BATAK AKAN KEMATIAN
(Pdt Mangontang SM
Panjaitan, MTH, pendeta HKBP emeritus)
Kalau kita mau membicarakan kehidupan, kita juga
harus membicarakan kematian, karena
semua manusia harus mati. Tidak seorang pun yang bisa menghindarkan diri dari
kematian itu. Tetapi banyak orang yang enggan bahkan takut membicarakan hal
mengenai kematian, karena kematian itu dirasa sangat dahsyat sekali. Lagi pula
pandangan bangsa-bangsa dan agama-agama
di dunia ini tentang kematian itu berbeda-beda. Demikian juga halnya dengan pandangan
orang-orang Kristen itu sendiri. Itu terjadi karena soal kematian sangat
bersifat rahasia. Tidak seorangpun manusia di dunia ini yang bisa menerangkan
dengan jelas bagaimana halnya kematian itu, karena kematian adalah sesuatu yang
berada di luar kekuasaan manusia.
Soal
kematian adalah rahasia Allah, yang oleh karenanya harus dijelaskan dari sudut
iman. Setiap orang yang tidak beriman kepada Allah, akan selalu merasa cemas
dan takut apabila berhadapan dengan kematian. Iman bertumbuh dalam hubungan
kepada Allah, sedangkan Allah hanya dapat dikenal melalui penyataan-Nya. Karena
soal kematian adalah rahasia Allah, maka soal kematian hanya dapat dimahami melalui penyataan-Nya juga. Orang
Kristen dapat memahami persoalan kematian itu hanya melalui kesaksian Alkitab.,
yang dibantu oleh teolog atau gereja yang sudah banyak menggumuli soal-soal
yang dihadapi manusia berdasarkan kesaksian Alkitab itu sendiri. Sehubungan dengan itu perlu juga diketahui bagaimana hal mengenai kematian
itu dipahami dan dipercayai oleh salah satu suku di Indonesia sebelum
kekristenan, yakni suku Batak, yang mayoritas suku itu telah menganut agama
Kristen, guna mengetahui sudah sejauh mana pandangan suku itu telah bisa diubah
dengan pandangan yang diperoleh menurut kepercayaan orang Kristen.
Pandangan Alkitab mengenai
kematian
Dasar pemahaman
orang Kristen mengenai kematian adalah Alkitab, mulai dari Kitab Perjanjian
Lama (PL) dan juga dalam Kitab Perjanjian Baru (PB).
Dalam kitab PL, kematian sering digambarkan sebagai suatu kengerian
( Maz.55: 4-5), suatu kecelakaan ( Ul. 30: 15, 19) dan kepahitan ( 1 Sam. 15:
32). Kematian juga sering disebut sebagai “jalan segala yang fana” (Batak:
dalan hatopan ni sandok tano on). Jika seseorang telah merasakan ajalnya telah
dekat, maka dia akan mengatakan: “Aku sekarang akan menempuh jalan segala yang
fana” ( Yos. 23: 14; 1 Raja 2: 2 ).
Dalam
PL juga dikatakan bahwa semua manusia akan mati, tanpa kecuali, karena dia
dijadikan dari debu tanah yang dapat rusak ( Kej.3: 19). Dulu ada yang beranggapan , bahwa pada mulanya manusia
dijadikan oleh Allah sebagai makhluk yang kekal, namun kemudian kehilangan kekekalannya karena dosa.
Tetapi anggapan itu tidak bisa dipertahankan. 1) Sejak semulapun manusia
telah diciptakan sebagai makhluk yang fana. Hal iu dapat diketahui dari cerita
penciptaan itu sendiri. Karena diciptakan dari debu tanah, maka manusia akan
kembali menjadi tanah juga, yang artinya dia akan mati ( Kej. 3: 19). Yang
membuat manusia hidup adalah nafas hidup
( Ibrani: nefes haya) yang
dihembuskan Allah melalui lubang
hidungnya; dengan nafas hidup itu maka manusia menjadi makhluk yang hidup (
Kej.2: 7). Ini berarti bahwa sumber hidup itu adalah Allah, dan nafas hidup itu
merupakan kuasa Allah yang menghidupkan, yang tidak pernah menjadi milik
manusia iu sendiri. Tetapi banyak yang salah memahami arti nafas hidup itu,
yang disamakan dengan roh manusia itu sendiri. Nafas hidup itu tidak bisa
diterjemahkan dengan jiwa atau roh manusia.2 Manusia bukan terdiri
dari tubuh dan jiwa, tetapi dia adalah tubuh yang berjiwa dimana tubuh dan jiwa
adalah satu kesatuan yang utuh.3) Kalau nafas hidup, yang sering
juga diartikan sebagai roh kembali kepada Allah ( Pengkh. 12: 7), maka manusia
itu, akan mati. Nafas hidup juga merupakan tali penghubung antara manusia
dengan Allah. Sehingga dengan demikian, dengan kematian hubungan manusia dari
dirinya dengan Allah menjadi putus.
(Catatan: Selain itu
dalam Kitab Pengkhotbah juga dikatakan bahwa orang yang mati tak tahu apa-apa, tak ada upah
lagi bagi mereka, bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap. Baik kasih
mereka, maupun kebencian dan kecemburuan mereka sudah lama hilang, dan untuk
selama-lamanya tak ada lagi bahagian mereka dalam segala sesuatu yang terjadi
di bawah matahari (Pengkh.9: 5-6).
Itu berarti tidak ada lagi hubungan orang yang mati dengan orang yang
hidup di dunia ini. Dan orang yang hidup tidak bisa lagi berkomunikasi dengan
orang yang mati, apalagi memberikan
sesuatu kesukaan orang mati itu selama
masa hidupnya.
Tetapi walaupun pada mulanya manusia
diciptakan sebagai makhluk yang fana, namun kematian manusia tidak bisa
dipisahkan dari dosa manusia itu sendiri. Memang dalam Kej. 2: 17 dikatakan,
manusia akan mati kalau dia melanggar titah Tuhan. Tetapi setelah manusia
berdosa, hukuman yang diberikan secara
langsung bukanlah kematian , melainkan adalah “susah payah dalam kehidupan ini”,
yakni susah payah mencari makanan bagi
laki-laki dan susah payah untuk melahirkan bagi perempuan ( Kej.3:
16-17). Namun kesusahan tersebut yang timbul, setelah dosa dilakukan, maka kefanaan manusia
itu telah dirasakan sebagai kutuk dan kuasa kematian itu dirasakan sebagai hal
yang sangat menakutkan sekali dalam perjalanan hidupnya.4) Jadi
sejak itu, kematian dipandang sebagai peristiwa yang sangat menakutkan, dan
tempat orang-orang matipun sering digambarkan dalam kitab PL sebagai tempat
yang menakutkan juga. Tempat orang mati itu disebut Sheol, yang sering digambarkan sebagai tempat yang sunyi ( Maz.94: 7), negeri
gelap dan kelam pekat ( Ayub 10: 21 dst), tempat kebinasaan ( Maz. 88: 12; Ayub 26: 6) dan tempat dimana tidak terdengar lagi ucapan
syukur dan puji-pujian kepada Allah ( Maz.115: 17; Yes. 38: 18 dst).
Dalam
dunia sekitar Israel, kuasa kerajaan kematian sering diagung-agungkan atau
orang mati sering didewa-dewakan. Atas pengaruh dunia sekitar tersebut, di
tengah-tengah umat Israel pun pernah timbul kecenderungan ke arah pemujaan
orang mati. 5) Tetapi kepercayaan kepada Allah Yahweh tidak memperbolehkannya,
sebagaimana bisa dilihat dari adanya perlawanan yang sangat keras terhadap
pemujaan orang mati. Dlam Yes. 8: 19 dikatakan: “Apabila orang berkata kepada kamu:
"Mintalah petunjuk kepada arwah dan roh-roh peramal yang berbisik-bisik
dan komat-kamit," maka jawablah: "Bukankah suatu bangsa patut meminta
petunjuk kepada allahnya? Atau haruskah mereka meminta petunjuk kepada
orang-orang mati bagi orang-orang hidup?" ( lihat juga 1 Sam. 28: 16 dst;
Luk. 16: 27 dst). Selain mengadakan pemujaan dan pemanggilan arwah orang mati
dilarang keras dalam kepercayaan kepada Yahweh,
orang yang kena kepada mayat sendiri pun juga dianggap sebagai najis (
Bil. 19: 16). 6)
Namun demikian,
menurut pandangan PL, Sheol (tempat orang mati) tidak terlepas dari
kekuasaan Allah. Allah juga hadir di sana ( Maz. 139: 8) sebagaimana Dia juga
hadir di tengah-tengah bangsa kafir ( Amos 9: 2). Setelah adanya keyakinan
bahwa Allah juga hadir di tempat orang-orang mati, maka gambaran tentang
pahitnya kematian itu menjadi berubah. Orang mati pun dilukiskan sebagai dalam
keadaan tidur atau berbaring ( Dan. 12: 2; bd Yoh. 14: 10) meskipun dalam
keadaan tidur untuk selamanya ( Yer. 51: 39.57. Dengan adanya pengertian bahwa
orang mati ada dalam keadaan tidur maka di kemudian hari di kalangan umat
Israel timbul pulalah pengharapan dan kepercayaan akan adanya kebangkitan
orang-orang mati. Kebangkitan itu diartikan hanya bagi orang-orang yang
berkenan kepada Allah ( Yes. 26: 14. 19; bd. 2 Makkabi 7: 14; Himat Salomo 3: 1
dst; 2 Barukh 30). Tetapi kadang-kadang juga dikatakan bahwa kebangkitan itu
juga menyangkut semua orang ,yang baik maupun yang jahat. Yang berkenan kepada
Allah akan mendapat kehidupan kekal, sedangkan yang jahat akan mendapat nista
dan kengerian yang kekal ( Dan, 12: 2; bd Enokh 22). 7)
Dalam Kitab Perjanjian Baru (PB), pada zaman Yesus ada dua pandangan yang
timbul di tengah-tengah umat Yahudi tentang kematian. Pandangan yang pertama
adalah dari kelompok Saduki yang begitu keras menyangkal adanya kebangkitan
orang-orang mati. Sedangkan yang kedua adalah orang-orang Farisi yang
mengharapkan adanya kebangkitan pada akhir zaman, kecuali orang-orang murtad (
Kis. 23: 6 dst; Mat. 22: 23 ). Sikap Yesus tentang orang-orang mati lebih dekat
kepada pandangan Farisi. Dia mengajarkan kepada orang-orang Saduki, bahwa
orang-orang mati akan dibangkitkan oleh kuasa Allah dan hidup kepada Allah (
Mark. 12: 18-27). Yesus juga mempergunakan istilah tidur bagi orang-orang yang sudah mati ( Mark. 5: 39; Yoh. 11: 11).
Tetapi mengenai dihidupkannya kembali ketiga orang mati yang disebutkan dalam
PB oleh Yesus, tidak sama dengan kebangkitan Yesus. Mereka yang pernah
dihidupkan oleh Yesus itu juga akan mengalami kematian lagi. Sedangkan Yesus
yang bangkit dari kematian tidak mengalami kematian lagi. Karena itu arti yang
sebenarnya dari kematian dan kebangkitan menurut PB hanya dapat dilihat dalam
kematian dan kebangkitan Yesus.8)
Menurut
pandangan PB, kematian bukanlah peristiwa alamiah semata-mata, melainkan
sebagai hukuman atas dosa yang diperbuat manusia itu sendiri ( Roma 1: 23; 6:
16.21; 8: 6.13 ); disebutkan bahwa upah dosa adalah maut ( Roma 6: 23 ). Dosalah yang mendatangkan kematian bagi
seluruh manusia sejak dari Adam ( Roma 7: 13; 5: 12). Oleh karena dosa,
eksistensi manusia telah menjadi tubuh maut yang sudah ditakdirkan untuk mati (
Roma 7: 24 ). Orang-orang yang berbuat dosa sebenarnya telah “mati” walaupun
masih hidup ( Kol. 2: 13; Ef. 3: 1-5; Wahyu 3: 1). Tetapi kematian yang
diakibatkan oleh dosa itu tidak berakhir dengan kematian yang sudah ditetapkan
(kematian alamiah), karena masa penghakiman setelah kebangkitan orang-orang
mati masih ada, dimana seluruh orang akan diperhadapkan dengan kehidupan kekal
( Roma 6: 23) atau kematian kedua ( Wahyu 2: 11; 20: 6; 21: 8), yakni kematian
untuk selama-lamanya (bd. Barabbas 20: 1). 9)
Kematian
Yesus Kristus, yang tidak bisa dipisahkan dari kebangkitan-Nya adalah
sebagai pusat pemberitaan Injil. Oleh karena kasih karunia Allah, Dia mengalami
kematian untuk semua manusia ( Ibr. 2: 9). Dengan kematian-Nya Dia telah
memusnahkan Iblis yang berkuasa atas maut ( Ibr. 2: 14-15). Karena itu
orang-orang yang percaya kepada Yesus mengertikan kematian Yesus adalah karena
dosa-dosa kita ( 1 Kor. 15: 3), dan Dia rela mati untuk menyelamatkan kita dari
dunia kejahatan ( Gal.1: 4) dan kuasa kegelapan ( Kol. 1: 13). 10)
Bagi Yesus Kristus, kematian dan
kebangkitan yang dialami-Nya sendiri adalah karena kehadiran-Nya sebagai nabi
yang melakukan kehendak Allah ( Luk. 13: 32.33; Mat. 8: 31; 9: 31; 10: 32 ).
Dia adalah Anak Manusia yang cukup menderita
untuk menebus manusia dari perbudakan dosa. Tetapi kemudian
dipermuliakan Allah. 11)
Rasul
Paulus salah seorang penulis PB yang banyak menafsirkan arti kematian Kristus
menyebutkan bahwa kematian Kristus adalah pembebasan manusia dari dosa dan maut
( Roma 8: 2), sebagai exodus yang baru ( 1 Kor. 10: 1-2); dia juga sering
mengartikannya sebagai pembebasan dari perbudakan, korban penebusan, perjanjian
baru, pembenaran dan pendamaian manusia dengan Allah. Di pihak lain, Paulus juga melihat arti kematian Kristus itu sebagai jalan
untuk membinasakan maut ( 1Kor. 15: 26).
Kunci maut dan kerajaan maut telah berada di tangan Kristus ( Wahyu 1: 18).
Ketika Dia turun ke dalam kerajaan maut, Dia telah menghancurkan maut itu
sendiri ( 1 Petr. 3: 19; 4: 6; Ef. 4: 9). Sebagai pemenang atas maut dan anak
sulung dari antara orang mati ( 1 Kor. 15: 20), Yesus telah memberi jaminan tentang adanya panen
yang akan datang dalam kebangkitan. Dialah juga Adam yang terakhir, yang telah
membatalkan pelanggaran yang menimbulkan kematian itu. 12)
Di dalam Kristus, orang-orang percaya telah melangkah dari
kematian kepada kehidupan ( Yoh. 5: 24; 1 Yoh. 3: 14 ). Tetapi di samping itu
Alkitab juga menyatakan bahwa orang-orang percaya harus mati. Kematian yang harus dilalui oleh orang-orang
percaya itu sering dikatakan oleh Paulus dengan sebutan “tidur dalam Kristus “, maka setiap orang yang percaya kepada-Nya
akan dibangkitkan dari antara orang-orang mati pada akhir zaman( ! Kor. 15: 22
dst; 1 Tes. 4:13 dst ).
Jalan
untuk mempersatukan diri dengan kematian Kristus ialah baptisan. Setiap orang
yang memperoleh baptisan, telah dibaptiskan ke dalam kematian-Nya dan bersama
dengan Kristus dibangkitkan untuk berjalan dalam hidup baru, serta berharap
bahwa pada akhir zaman dia akan dipersatukan dengan Kristus sehingga memperoleh
kebangkitan yang sama dengan kebangkitan-Nya ( Roma 6: 3-4; Kol. 2: 12 ). Yesus sendiripun mengartikan
kematian-Nya itu sebagai baptisan (
Luk12: 50; Mark. 10: 38 ); sehingga dengan demikian apa yang disebutkan dengan
“satu baptisan” dalam Ef. 4: 5 menurut ahli tafir PB adalah menunjuk kepada kematian Kristus bagi
seluruh manusia. Sebagaimana halnya dengan baptisan, Perjamuan Tuhan adalah juga memberitakan tentang kematian Kristus (
1 Kor. 11: 26 ). Kehidupan orang-orang Kristen juga diartikan sebagai “memikul kematian Yesus dalam tubuh-Nya”,
dan dalam waktu yang sama mengharapkan bahwa kebangkitan Kristus juga akan
diwujudkan dalam tubuhnya ( 2 Kor.4: 10; 6: 9; Fil. 3: 11). 13)
Bagaimana
dengan orang-orang yang tidak percaya kepada Yesus? Bagi mereka kematian adalah benar-benar
sebagai jalan menuju hukuman yang kekal. Dalam Alkitab dikatakan bahwa hukuman
bagi iblis dan pengikutnya adalah api yang kekal pada hari parusia (Mat.18: 8;
bd Yudas 7). Orang-orang yang tidak
percaya juga turut dibangkitkan, tetapi mereka dibangkitkan untuk mendapat
hukuman yang kekal.
Pandangan tokoh gereja
Dalam tulisan ini dikemukakan pandangan seorang tokoh gereja
yang banyak memberi pemahaman kepada orang Kristen mengenai kematian, yakni Martin Luther. Dalam uraiannya tentang
kematian, Martin Luther melihat arti kematian itu dari dua aspek, yakni pertama dari aspek terang
Hukum Taurat dan kedua dari aspek terang
Injil. Bagi dia kematian mempunyai arti
yang jauh melebihi sifat biologis belaka. Kematian adalah suatu realitas
kemanusiaan, yang berbeda sekali dari berakhirnya hidup tumbuh-tumbuhan atau
binatang-binatang. Berakhirnya hidup
tumbuh-tumbuhan dan binatang hanyalah karena hukum alam yang sudah ditetapkan
oleh Allah. Sedangkan kematian manusia dipandang dalam terang Hukum Allah
adalah disebabkan oleh murka Allah karena pelanggaran manusia itu sendiri
terhadap hukum Allah. Dengan demikian kematian manusia adalah kesengsaraan yang
kekal. Manusia diciptakan oleh Allah menurut gambar-Nya adalah dengan tujuan
untuk kehidupan yang kekal, bukan untuk mati. Tetapi karena pelanggarannya maka
manusia memperoleh hukuman kematian. Dengan alasan itulah maka Martin Luther mengatakan, bahwa kematian
bukan karena proses alamiah. Karena disebabkan oleh murka Allah, maka dalam menghadapi kematian, setiap orang selalu merasa takut
dan mengerikan, serta berusaha
menghindarkan diri daripadanya. Tidak seorang pun yang tidak merasa takut dan
gemetar apabila berhadapan dengan kematian. Hal itu terjadi karena dalam
kematian dirasakan bahwa Allah telah menghukum manusia. Dengan perasaan
terhukum itu manusia melihat di dalam kematian itu mulut neraka telah ternganga
untuknya. 14) Perasaan takut itu tumbuh oleh kesadaran bahwa Hukum
Taurat Allah tidak bisa dipenuhi. Maka oleh karena itulah bagi Martin Luther
sendiri Hukum Taurat selalu memberikan rasa takut dan cemas, istimewa dalam
berhadapan dengan kematian. 15)
Tetapi di pihak lain orang Kristen tidak
hanya berdiri di bawah Hukum Taurat, karena dalam waktu yang sama dia juga
mendengarkan suara Injil. Oleh Injil maka seluruh pengalaman tentang murka
Allah dan kematian telah dirobah sama sekali. Injil telah membimbing kehidupan
Kristen kepada anugerah Allah, bukan lagi kepada murka Allah. Oleh anugerah-Nya dalam Yesus Kristus yang
telah mengalahkan kematian itu, Allah telah merobah sifat kematian itu dan
telah menjadikannya menjadi alat anugerah-Nya pula. Hal ini dapat diihat dimana
Allah telah memenuhi janji-Nya kepada orang Kristen dalam baptisan dengan menyebutkan bahwa dosa-dosa telah
dikuburkan ke dalam kematian-Nya. Usaha perlawanan dan pembunuhan terhadap
dosa-dosa itu telah dimulai dalam tugas-tugas dan penderitaan yang telah diletakkan
Allah terhadap seseorang dan disempurnakan dalam kematian badani tersebut.
Dengan pengertian baru ini setiap orang Kristen harus menerima kematian itu
dengan rasa senang. Karena dengan demikian dia telah turut berjuang untuk
mengalahkan kuasa dosa. Pekerjaan ini memang sulit dilaksnakan dan tidak
seorang pun dapat mengerjakannya dari dirinya sendiri. Dia baru dapat mengerjakan itu hanya dengan
kuasa Kristus yang telah mati dengan penuh kepatuhan. Maka sejak Allah
mempergunakan kematian itu sebagai jalan untuk membebaskan manusia dari dirinya sendiri dan kematiannya, maka
orag-orang Kristen tidak perlu lagi
takut menghadapi kematian. Martin
Luther pernah berdoa: “Tolonglah kami untuk tidak menakuti kematian tetapi
supaya menginginkannya”. 16) Karena
itu bagi Martin Luther kerelaan untuk mati dalam Yesus Kristus adalah suatu
kebahagiaan. Kesempurnaan orang Kristen
terletak dalam kerinduannya kepada kematian itu sendiri. Hal itu didasarkan
atas perkataan Paulus dalam Filipi 1: 21-23, dimana Paulus menginginkan untuk
segera berangkat dari dunia ini, sehingga seluruh dosanya akan berakhir dan
kehendak Allah disempurnakan sepenuhnya
dalam dia. Dengan demikian maka
menurut Martin Luther, hukum kematian
juga bisa menjadi satu bentuk Injil bagi orang-orang Kristen. Kalau kematian sebelumnya adalah suatu
hukuman atas dosa, maka dalam terang Injil, kematian telah berobah menjadi
jalan kesembuhan atas dosa. Dalam terang Injil kematian juga telah menjadi
berkat. 17)
Setelah bebas dari murka Allah, maka kematian
telah dapat diandaikan sebagai dalam keadaan “tidur” atau beristirahat. Atau dengan gambaran lain yang pernah
dipergunakan oleh Martin Luther ialah bahwa kematian itu sudah merupakan pintu gerbang atau jembatan yang sempit
menuju kehidupan yang kekal. Kematian
juga dapat diibaratkan dengan jalan sempit yang dilalui oleh seorang bayi yang lahir ke dunia ini dari rahim ibunya.
Jalan sempit itulah jalan satu-satunya bagi sang bayi untuk bisa keluar dari
kandungan ibunya yang sempit menuju dunia yang luas ini. Maka ibarat melalui
jalan sempit dan mencemaskan itu seorang Kristen dalam menghadapi kematian itu
harus dengan penuh keyakinan dan keberanian, serta berharap bahwa apabila lolos
dari sana dia akan masuk ke dalam suatu
tempat yang sangat luas yang penuhK dengan kesukaan yang besar.
PANDANGAN ORANG BATAK AKAN KEMATIAN
Dalam
pandangan orang Batak, kematian adalah perpisahan antara tubuh (badan) dan jiwa
(roh). Walaupun setelah datangnya kekristenan, orang-orang Batak masih banyak yang memegang pandangan seperti itu. Dengan pandangan itu, dalam kematian, hanya
badanlah yang dianggap busuk di dalam tanah, sedangkan jiwa atau rohnya hidup
terus. Sampai sekarang pandangan itu masih dipegang oleh banyak orang Batak.
Walaupun sudah beragama Kristen, orang Batak masih banyak yang beranggapan bahwa jika seseorang
meninggal, maka badannya menjadi tanah, nafasnya menjadi angin dan rohnya
menjadi hantu ( dagingna gabe tano,hosana gabe alogo, tondina gabe begu). Kalau
seseorang yang meningga; itu sudah tua dan mempunyai banyak keturunan, maka
rohnya akan berubah ke tingkat yang lebih tinggi dari “begu” yakni menjadi “sumangot” dan kemudian sampai lagi ke tingkat
yang paling tinggi yakni “sombaon”, yang statusnya sudah bisa disejajarkan
dengan “debata” yang disembah. Begu, sumangot dan sombaon, yang merupakan peralihan dari roh orang yang
sudah meninggal dipercayai masih berhubungan dengan orang yang masih hidup.
Apabila begu, sumangot dan sombaon itu selalu disembah atau dihormati oleh
keturunannya dengan memberikan
sajian-sajian yang disukai semasa hidupnya maka dia akan memberkati
keturunannya itu. Tetapi kalau tidak dihormati maka dia akan menyakiti atau
mendatangkan malapetaka kepada mereka. Karena itu tugas menghormati orang tua
sangat penting bagi orang Batak istimewa menghormati orang tua yang sudah
meninggal dunia. Adanya hukum kelima dalam kekristenan yang mengharuskan untuk
menghormati orang tuanya, secara salah banyak dipergunakan oleh orang Batak sebagai dasar
yang menguatkan sikap mereka dalam kebiasaan menghormati orang tuanya yang
sudah meninggal. Pelaksanaan hukum kelima itu bagi orang Batak lebih menonjol
dalam upacara adat yang layak dan terhormat pada saat penguburan orang tua.
Misalnya dengan memberangkatkannya dengan “adat na gok”, di mana , dongan tubu
dan raja-raja adat diberi penghormatan
yang tinggi, serta menempatkan mayat
dari orang tuanya itu di tempat yang bagus
sampai kepada pembuatan makam atau tugu yang bagus. Semuanya ini masih
diyakini oleh banyak orang Batak sebagai cara untuk menghormati orang tua atau
roh nenek-moyangnya yang sudah meninggal dunia. Kalau itu dilaksanakan dengan
baik, maka mereka berharap akan menerima berkat berupa keturunan yang banyak (hagabeon), rezeki yang
baik dan kekayaan (hamoraon), umur yang panjang serta kehormatan dalam status
sosial (hasangapon), dan lain-lain.
Karena itu
sampai sekarang banyak orang Batak yang masih
sulit menerima pandangan yang mengatakan bahwa dengan kematian hubungan orang
yang sudah mati dan yang masih hidup
sudah terputus. Usaha gereja-gereja di Indonesia untuk melarang anggota-anggota
jemaatnya untuk mengadakan hubungan dengan orang-orang yang sudah mati ( seperti pemujaan kepada roh-roh orang
mati) masih belum begitu berhasil. Itu juga disebabkan karena pandangan
gereja-gereja di Indonesia tentang kematian itu juga tidak sama. Ada juga
gereja dari aliran yang berbeda, tidak jelas
melarang perbuatan menyembah roh-roh nenek moyang oleh anggota gerejanya, dan itu hanya dianggap
sebagai perbuatan budaya saja.
Oleh
karena itu gereja-gereja perlu dalam
satu kesatuan memikirkan bagaimana caranya untuk menghilangkan adanya keyakinan
yang bertentangan dengan pengajaran Alkitab itu. Barangkali orang-orang Kristen
di Indonesia khususnya orang-orang Kristen Batak yang masih sangat miskin
dengan ajaran atau pemahaman kekristenan yang berdasarkan Firman Allah, membuat
kepercayaan yang lama yang diwarisi dari kepercayaan nenek-moyangnya dengan
mudah bisa muncul kembali. Kalau hal itu dibiarkan begitu saja, maka pada suatu
waktu iman kepada Allah Tritunggal, akan bergeser kepada kepercayaan atas kuasa
roh-roh orang mati. Pengertian akan kematian yang meliputi totalitas eksistensi
manusia perlu diajarkan secara mendasar di tengah-tengah orang Kristen,
khususnya masyarakat Kristen Batak. Orang yang mati dengan totalitas
eksistensinya itulah kemudian yang akan dibangkitkan pada akhir zaman, dan
menerima kehidupan yang kekal di surga apabila dirinya dirinya semasa hidupnya
di dunia ini menerima Yesus dalam seluruh ekistensinya.
KEMATIAN MENURUT KONFESSI
HKBP 1996
Konfesi ialah suatu pengakuan atau pernyataan iman yang
dirumuskan oleh gereja berdasarkan hasil pemahaman, pergumulan dan penghayatan
gereja itu akan Firman Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab, untuk dijadikan
sebagai pegangan bagi setiap warga gereja itu dalam menyaksikan imannya di
tengah-tengah dunia dan dalam melawan berbagai ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
Alkitab. Dalam Konfessi HKBP 1996, pasal 16 mengenai kematian dinyatakan
sebagai berikut:
“Kematian adalah akhir hidup manusia di dunia ini, dia
berhenti dari segala pekerjaannya. Ada keselamatan bagi orang yang percaya.
Yesus Kristus yang telah bangkit itulah yang membangkitkan orang dari kematian. Dialah Tuhan dari orang yang hidup
dan yang mati ( Roma 14: 7-9)”. Gereja
menyelenggarakan peringatan bagi orang
yang meninggal untuk menyadarkan iman umat Kristen untuk mengingat akhir
hidupnya serta meneguhkan pengharapan akan kemenangan Kristus mengalahkan
kematian, demikian juga pengharapan akan kerajaan sorga sebagai tujuan hidupnya
dan persekutuan orang percaya dengan Tuhan Allah hingga kedatangan Kristus yang
ke dua kali.
Dengan ajaran ini ditekankan pengharapan akan keselamatan
manusia dari antara orang yang mati di dalam Yesus Kristus. Ajaran ini menentang pandangan yang mengatakan bahwa
orang yang hidup dapat menerima berkat dari orang mati. Ajaran ini juga
menentang pandangan yang mengatakan bahwa orang yang mati dapat berhubungan
dengan orang yang hidup melalui doa, yakni mendoakan arwah-arwah. Juga ditentang pandangan yang
yang mengatakan bahwa harus dengan cara mendirikan tugu untuk menghormati orang
yang mati sebagai cara menerima berkat bagi keturunannya. Ajaran ini juga
menolak semua bentuk kepercayaan animisme
terutama ajaran yang mengatakan bahwa roh orang yang meninggal itu masih hidup
dan orang yang meninggal itu
menjadi hantu (begu) dan
roh nenek moyang atau “sumangot”18).
Catatan kaki:
1). Lihat “Dead-Mati”, “Death-
Kematian”, dan “Sin- Dosa” dalam LLD, Buku Konkordia, 1986 (LKS), hal. 120,
199-200.
2). Band. W.Lempp, Tafsiran Kejadian ( 1: 1- 4: 24), Jakarta 1974
(BPK) hal. 61; juga “Creation –
Ciptaan”, “Man – Manusia” dan “Nature – Sifat”, dalam LLT, Buku
Konkordia. 1986 (LKS), hal.118, 158, 165-166.
3). Bnd Chr. Barth, Theologia Perjanjian Lama I, Jakarta, 1970 (BPK),
hal.43; lihat juga “Flesh- Daging, Human- Manusia dan “Soul – Jiwa” dalam LLT,
Buku Konkordia, 1986 (LKS), hal. 131-132, 200.
4). Lihat “Adam”, “Affliction –Derita”, “Damnation – Kutukan” dan
:”Penalty – Hukuman “ dalam LLT, Buku Konkordia , 1986 (LKS), hal. 90-91, 119,
173-174.
5). Bnd H.W.Wolf, Kematian dalam Perjanjian Lama, artikel dalam JR
Hutauruk (ed), Ketika Aku dalam Penjara, hal. 33.
6). Lihat “Doa kepada orang-orang Suci”, dalam LLT, hal. 37-38 dan
juga fasal XXI, “Pemanggilan kepada orang Suci”, dalam TL, Apologi Konfessi
Augsburg Tahun 1531, Pematangsiantar, 1983, LKS, hal.173-182.
7). Lihat “Hope – Harapan”, “Presence – Kehadiran” dan “Resurrection
ot the dead – kebangkitan dari orang-orang mati “ dalam LLT, Buku Konkordia,
hal. 142, 182, 190.
8). Lihat “Christ – Kristus” dalam LLT, Buku Konkordia, hal. 100-106.
9). Lihat “Adam”, “Judgment of God”, “Penalty”, “Second coming of the
Christ”, dan “Sin”, dalam LLT, hal. 90. 147, 173-174, 198-199 dan juga dalam
fasal III dalam Katekismus Besar M.Luther, hal.101-109.
10). Lihat “Christ”, “Gospel”,
“Grace” dan “Sin” dalam LLT, hal. 102-106, 135-137, 199-200 juga “ fasal III
Kristus”, dalam TL. Apologi Konfwssi Augsburg th. 1531, Pematangsiantar 1983, LKs, hal. 21.
11). Lihat “Reconsiler, Reconsiliation, Juru Damai, Perdamaian”, dan
“Will of God”, dalam LLT, hal. 187-208.
12). Lihat “Absolution – Keampunan Dosa”, “Promise – Janji” dan
“Redeemer, Redemption- Penebus, Penebusan”, dalam LLT, hal. 89-90, 184-185,
187.
13). Lihat “Baptism- Pembaptisan”, “Lord Supper-Perjamuan Tuhan”,
“Union – Kesatuan”, dalam LLT, hal. 95-96, 154-157, 205.
14). Bnd Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, Philadelphia,
1966, hal. 406.
15). Lihat “Law- Hukum”, “Nature – Sifat “ dan “Wrath of God – Murka
Allah”, dalam LLT, hal. 150-153, 165-166, 214-215.
16). Bnd Paul Althaus, opcit hal. 408.
17). Lihat “Gospel-Injil”, “ Grace”, Life, Pronise, dalam LLT, hal.
135-138, 153-154.
18). Pengakuan Iman ( Konfessi) HKBP 1996, Kantor Pusat HKBP Pearaja
Tarutung, fasal 15..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar