BENARKAH
“PARMALIM” ASLI AGAMA SUKU BATAK?
Oleh: Pdt
Mangontang SM Panjaitan, Master of Theology.*
PENDAHULUAN
Belakangan ini sering disebut-sebut oleh banyak kalangan orang Batak bahwa Parmalim adalah agama asli suku Batak. Apakah anggapan itu benar. Mari kita terlusuri dari sudut sejarahnya. Tetapi sebelum kita sampai ke pokok pembahasan, yakni mengenai golongan Parmalim, ada baiknya kita mengenal lebih dahulu adanya suatu golongan (aliran) yang sudah ada di tengah-tengah komunitas masyarakat Batak sebelum adanya golongan Parmalim yakni
Golongan
Parbaringin.
Pada umumnya diakui bahwa Golongan
Parbaringin telah ada sejak zaman Sisingamangaraja I. Sisingamangaraja
mengorganiser golongan ini untuk menjadi perwakilannya memimpin soal-soal
kemasyarakatan dan “keagamaan” Batak di wilayah-wilayah tertentu yang disebut bius. Satu bius dipimpin oleh seorang Parbaringin.
Menurut Batara Sangti (Sejarah Batak: hal. 293-294), biasanya satu bius
terdiri dari tujuh horja, sedangkan
satu horja biasanya terdiri dari dua puluh huta
atau kampung. Dalam urusan rumah-tangganya, setiap bius diberi hak otonom
atau dalam bahasa Batak disebut manjujung
baringinna. Demikianlah nama
pepimpinannya disebut Parbaringin
adalah berdasarkan hak kedaulatan bius yang dipimpinnya dan juga karena ketika
dia menjalankan fungsinya, dia mengikatkan ranting pohon beringin di kepalanya.
Pada mulanya baik yang menyangkut
soal-soal adat, maupun soal-soal keagamaan, langsung menjadi urusan Parbaringin
tersebut. Keduanya adalah menyatu dalam kehidupan masyarakat Batak. Istilah
“agama” ataupun sebutannya di kemudian hari oleh orang Batak “ugamo”, belum
dikenal oleh masyarakat Batak. Itu adalah istilah yang datang dari luar. Yang
dikenal Batak adalah adat, yang merupakan tradisi yang mengatur keseluruhan
aspek kehidupan, baik yang menyangkut hubungan kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon”
( Dewata tertinggi ), roh-roh orang mati, roh-roh alam yang dipercayai, dan
hubungan kepada sesama manusia. Ritus-ritus untuk itu semua sudah diatur, dan yang
memimpinnya adalah Parbaringin.
Tetapi dalam perkembangan kemudian,
yakni sejak terjadinya Perang Paderi di Tanah Batak, fungsi Parbaringin menjadi
dibatasi hanya pada soal-soal yang bersifat “keagamaan” saja, sedangkan urusan
sosial-adat diserahkan sepenuhnya kepada Raja
Junjungan, yakni raja yang sebelumnya
hanya berfungsi sebagai pembantu dari Parbaringin.
Upacara “keagamaan” yang dipimpin oleh
Parbaringin disebut Pesta Bius. Pesta
ini biasanya dilakukan sekali setahun ( pesta tahunan) secara rutin, tetapi
kadang-kadang juga dilakukan secara insidentil menurut tona ( instruksi ) dari Sisingamangaraja. Pesta bius adalah suatu
upacara kurban berupa kerbau yang disembelih untuk dipersembahkan kepada sombaon, para debata, roh-roh alam dan semua
roh-roh nenek moyang terdahulu, guna
meminta perlindungan dari mereka berupa pemberian hujan, panen yang baik
dan penghentian sesuatu wabah penyakit seperti cacar dan kolera.
Di beberapa daerah di mana pengaruh
kekristenan dapat bertumbuh dengan cepat, seperti di daerah Silindung, praktek
pesta bius bisa dihentikan dengan segera. Tetapi di beberapa daerah lain di
wilayah Toba, seperti di daerah Uluan,
Samosir dan Habinsaran, di mana pertumbuhan kekristenan agak lambat, dan
pengaruh Sisingamangaraja di sana dirasa lebih kuat, kegiatan itu agak sulit
dihentikan. Di tempat-tempat tersebut pesta
bius masih sering diadakan, walaupun Sisingamangaraja XII sendiri telah
mati. Namun karena menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh praktek keagamaan
yang mengkultuskan Sisingamangaraja ini, akhirnya pemerintah kolonial Belanda
bertindak untuk melarangnya. Untuk itu Korn yang bertindak untuk menjalankan
larangan itu, pada tahun 1938 berkata: “By this prohibition the whole
parbaringin-organisation, champion of the pagan world of thought and strong
bulwark against the progressing Christianization was at once paralyzed”. Dengan
larangan ini, seluruh organisasi parbaringin, yang merupakan kubu pemikiran dan
kekuatan dunia penyembah berhala melawan upaya pengkristenan itu segera bisa
dilumpuhkan). ( Philip L.Tobing, The structure of the Toba-Batak belief in the
High God, 1963, hal. 27)
Tetapi walaupun kegiatan mereka telah
terlarang, sebagian dari Golongan Parbaringin ini masih tetap menunjukkan
dirinya sebagai Parbaringin, karena
nampaknya mereka masih enggan untuk melepaskan jabatan yang dulu dipandang sangat terhormat itu. Kebiasaan merek sehari-hari berpakaian ulos
(pakaian) Batak dan berikat kepala hitam untuk menutupi rambut mereka yang
dibiarkan panjang, masih tetap dipertahankan, biarpun mereka telah dibaptis
menjadi Kristen dan telah menjadi warga jemaat HKBP setempat.
Setelah Belanda dikalahkan oleh tentera
Jepang pada tahun 1942, golongan Parbaringin mencoba bangkit kembali
bersama-sama dengan Golongan Parmalim,
yang diberi nama Golongan Sirajabatak. Jadi sekarang ini tidak ada lagi yang
disebut golongan Parbaringin di tengah-tengah masyarakat Batak.
Golongan Parmalim
Ada yang mengatakan bahwa Parmalim
adalah asli agama suku Batak. Ada juga
yang mengatakan bahwa Golongan Parmalim didirikan oleh Sisingamangaraja
XII pada tahun 1870 an guna melindungi
kepercayaan tradisional Batak dari gangguan agama Kristen, Islam dan
kolonialisme Belanda yang dianggap merusak. Tetapi kalau ditelusuri secara
historis pendapat itu tidak tepat, karena sampai pada waktu itu, Golongan
Parbaringin masih tetap dipercayai oleh Sisingamangaraja XII sebagai lembaga
untuk mempertahankan praktek keagamaan Batak tersebut. Nama Parmalim belum
dikenal di tengah-tengah masyarakat Batak pada waktu itu. Pada umumnya orang
berpendapat bahwa pendiri olongan ini adalah Guru Somalaing Pardede pada tahun
1890 an. ( L. Castles, hal. 74 dan J.Sihombing, hal. 86).
Guru Somalaing Pardede adalah seorang
bekas datu ( dukun ) dan penasehat
terdekat dari Sisingamangaraja XII. Sebagai seorang datu yang mempunyai arti
penting dalam kehidupan msyarakat Batak, khususnya dalam penyembuhan orang
sakit dan pemberi nasehat dalam berbagai persoalan kehidupan sehari-hari,
Somalaing mulai merasa kehilangan arti itu, setelah dia melihat kekalahan
Sisingamangaraja XII tahun 1883 di Balige dari mana dia berasal dan pengaruh
kekristenan yang mulai bertumbuh dengan pesat pada waktu itu di sana. Karena
itu menurut penilaian sementara orang, faktor inilah yang mendorong Guru
Somalaing untuk mendirikan golongan itu, agar dengan demikian dia bisa tetap
mempertahankan kehormatannya di tengah-tengah masyarakat Batak.
Nama Parmalim
yang dipakai artinya golongan malim.
Mengenai arti kata malim dijumpai pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa
kata malim adalah sebuah kata dalam
bahasa Batak yang berarti menjadi
merdeka (P.B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 1975, hal. 41), sehingga
dengan demikian golongan Parmalim diartikan sebagai golongan orang merdeka. Tetapi banyak orang lebih cenderung
mengertikan kata itu sebagai imam,
yakni sebuah nama pemimpin agama Islam yang dikenal pada waktu itu ( L. Castles, The political life of a Sumatra
residency: Tapanuli 1915-1940, hal. 74).
Dalam Kamus Batak Toba-Jerman yang
ditulis oleh J.Warneck yang diterbitkan
tahun 1905 untuk keperluan usaha penginjilan di Tanah Batak dan diterjemahkan
oleh P. Leo Joosten OFMCap, kata malim berati imam atau mualim. Dalam buku
kamus batak itu tidak ada dijumpai kata malim yang berarti merdeka, yang ada hanya satu kata yang diartikan
sebagai imam atau mualim Dalam Bibel
bahasa Batak Toba, kata malim juga
telah dikenal , dan kata itulah yang dipakai oleh PH Johansen (1890 an) untuk menerjemahkan kata Ibrani yakni “kohen”
yang berati imam. Menurut para ahli dan juga kamus Warneck itu kata malim itu
adalah sama dengan kata Arab ‘mualim”, yang dalam bahasa Arab kata mualim
berati pemimpim agama atau guru agama Islam. Dengan demikian istilah malim bukanlah istilah asli Batak,
tetapi datang dari pengaruh istilah islam pada waktu itu. Berdasarkan itu maka Parmalim diartikan sebagai golongan malim atau mualim atau golongan imam.
Ajaran-ajaran yang dikembangkan dalam
golongan ini, nampaknya timbul dari hasil pengalaman Guru Somalaing, ketika dia
diminta sebagai penunjuk jalan oleh Elio Modigliani, seorang ahli botani
Italia, mengadakan penelitian di beberapa tempat di Sumatera Utara, termasuk
daerah Asahan, tahun 1889-1891. Beberapa unsur Katolik yang dikenalnya dari
Modigliani dan unsur Islam yang mungkin dikenal dalam perjalanan mereka di
daerah Asahan, dimasukkan dalam ajaran-ajarannya itu. Pengaruh Katolik misalnya
nampak dalam susunan Trinitatis yang dibuatnya ( Jehowa, Maria,Yesus),
pengkultusan Raja Rum ( maksudnya mungkin Paus Roma), yang ditempatkan di
samping beberapa tokoh yang dikultuskan Batak, seperti Sisingamangaraja, Raja Hatorusan, Ompu Raja Uti, Naga Padoha, Sideak Parujar,
dll. ( J.Castles, hal.74). Pengaruh Islam misalnya nampak dalam larangan makan
daging babi dan pemakaian ucapan bismilahi
rokhmanir rakhim dalam doa-doa mereka, yang dalam hal ini diucapkan dalam
dialek Batak. (M.Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, hal. 348). Juga
dapat diduga bahwa hal kaum laki-laki berikat kepala kain putih, juga pengaruh
Islam, karena sebelumnya dalam acara-acara seremonial Batak, kaum laki-laki
adalah memakai ikat kepala (talitali) dari ulos
batak. Parbaringin juga pada aslinya adalah berikat kepala ulos batak yang bercorak hitam.
Kebiasaan mereka berpantangkan daging babi dan darah, kemungkinan besar juga
adalah pengaruh Islam dan juga Yahudi (dari Kitab Perjanjian Lama), karena
sejatinya dalam adat dan budaya masyarakat batak, daging babi yang dimasak
bersama dengan darahnya adalah makanan adat secara tradisional.
Terhadap Gereja Batak atau Zending dia
sengaja membuat suatu jarak, misalnya dengan perlakuan yang membiarkan rambut
mereka panjang, membakar kemenyaan, memukul godang,
mengadakan kebaktian pada hari Sabtu (mengikuti kaum Yahudi) ),manguras ( ritual pembersihan dengan
memakai jeruk purut), dan tidak menghormati hari minggu. Semua tindakan ini
didasarkan atas beberapa ayat dari Kitab
Suci Krsiten Perjanjian Lama. ( L.Castles, hal. 75)
Guru Somaling bersama pengikutnya Ompu
Bernit dari Habinsaran ( daerah sebelah Timur Toba) ditangkap dan dibuang oleh
pemerintah kolonial Belanda ke Kalimantan tahun 1896, karena perlawanan mereka
yang keras terhadap orang kulit putih. (WB Sijabat , hal. 328 ). Namun
ajaran-ajarannya itu masih diteruskan oleh pengikut-pengikutnya yang lain,
terutama di daerah Samosir, Uluan dan Habinsaran ( daerah-daerah yeng
terbelakang dimasuki oleh Injil ). Berbagai reaksi mereka ditunjukkan terhadap
kegiatan zending di sana. Di daerah Uluan misalnya, seorang yang bernama Ompu
ni Ottong, mencoba menghasut masyarakat setempat untuk melawan pekerjaan
zending ( J.Castles,hal. 76). Di daerah habinsaran sekolah-sekolah zending
dirusak, dan di Parsambilan daerah Toba, missionar Jung diancam untuk dibunuh
oleh sejumlah pengikut Parmalim. ( J.Sihombing, hal. 86). Sedangkan di Tomok
Samosir, Ampot Sijabat menyebut dirinya sebagai “praeses” ( kata yang dipakai
oleh zending RMG di Tanah Batak, untuk menyebut pemimpin satu wilayah (distrik)
zending Golongan Parmalim di Samosir,
sejak missionar Bregenstroth memulai tugas penginjilannya di Ambarita Samosir
tahun 1914. (WB Sijabat, hal. 329).
Namun karena banyaknya tindakan golongan
ini yang mengganggu usaha-usaha zending dan pemerintah kolonial Belanda, maka
mereka terus diawasi oleh pemerintah dengan ketat dan bahkan banyak dari antara
mereka yang terpaksa dipenjarakan. Tahun 1904 misalnya, Residen Tapanuli,
Welsink, langsung memimpin usaha penangkapan terhadap sejumlah pengikut
Parmalim di Sibide dan Maranti, Ressort Sitorang. Pada waktu Ephorus IL.
Nommensen turut serta bersama residen, yang diharapkan oleh residen, dia dapat
membimbing mereka untuk bertobat menjadi Kristen. Oleh bimbingan ephorus tersebut,memang banyak
dari antara mereka yang bertobat menjadi Kristen, namun ada juga sebagian yang
tetap mempertahankan Sisingamangaraja
sebagai junjungan dan juru selamat mereka.
Dalam melengkapi pemahaman kita mengenai
Golongan Parmalim, yang juga timbul di kalangan masyarakat Batak sebagai reaksi terhadap pengaruh yang datang
dari luar, mulai dari Islam, Kristen dan kolonialis Belanda, selain dari
Golongan Parmalim, masih ada beberapa golongan yang timbul di tengah-tengah
masyarakat Batak itu sendiri, antara lain: Golongan Parsiakbagi, Golongan
Parsitengka, Golongan Parhudamdam, dan Golongan Sirajabatak.
Golongan Parsiakbagi
Setelah Guru Somalaing pendiri Golongan
Parmalim itu terbuang, nampaknya
diantara beberapa pengikutnya itu ada kecenderungan untuk menempuh jalannya
sendiri. Salah seorang dari antara mereka adalah Djaga Siborutorop yang bergelar Si
Siakbagi ( yang menderita kesengsaraan) dari Nagasaribu Siborongborong. Dia
membentuk satu golongan yang terpisah yang disebut Parsiakbagi. Yang
kadang-kadang disebut juga Parugamo ( orang yang beragama). Golongan ini
membedakan diri dari dolongan Parmalim, walaupun pada dasarnya ajaran dan
perlakuan mereka adalah sama (L.Castles, hal. 77). Hanya di kemudian golongan
ini lebih banyak berkenalan dengan unsur kekristenan, apalagi setelah Raja
Mulia Naipospos dan Guru Gayus Hutahaean bergabung dengan mereka. Raja Mulia
Naipospos dulu adalah seorang Parbaringin, tetapi sesudah itu telah masuk
menjadi Kristen dan sempat menjadi sintua
( penatua ) gereja beberapa tahun
lamanya.Sedangkan Gayus Hutahaean adalah bekas guru bantu yang diberhentikan
dari sekolah zending.
Dari tulisan Castles diketahui adanya
reaksi golongan ini, baik terhadap masyarakat Batak yang pada waktu itu dilihat
cenderung berlomba-loma mengejar
berbagai pangkat atau jabatan, maupun terhadap zending dan pemerintah Belanda. Segala apa yang disebut pangkat atau jabatan
ditolak oleh mereka, karena katanya
Yesuslah satu-satunya Guru. Usaha zending atau kongsi gereja yang meminjamkan
uang dengan bunga disalahkan (Th. Mueller Kruger, Sejarah Gereja di Indonsia,
hal. 218), yang karenanya mereka mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam
tanpa bunga, yang diberi nama kongsi
parasian ( kongsi pengasihan). ( Pada
waktu itu IL Nommensen memprakarsai berdirinya Kongsi Gereja yang meminjamkan
uang dengan bunga kecil untk mencegah kebiasaan masyarakat Batak dulu yang
meminjamkan uang atau padinya dengan bunga yang sangat tinggi, dan juga untuk
membantu sumber keuangan gereja). Kehadiran orang kulit putih di Tanah
Batak dikatakan sebagai hukuman Allah bagi msyarakat Batak karena dosa mereka,
tetapi apabila mereka masih mau bertobat, katanya Allah masih sudi mengampuni
mereka dan orang-orang kulit putih akan segera diusir.
Setelah golongan ini berumur lebih
kurang satu dekade, pada bulan Nopember 1910, pemimpinnya yakni Si Siakbagi ditangkap dan dipenjarakan
oleh Belanda. Dia ditangkap karena sikapnya yang keras melawan Belanda dan juga
karena kedapatan memperdagangkan simbora (sejenis
barang ajimat), suatu kegiatan yang sangat berbahaya pada waktu itu, apabila
pembelinya percaya bahwa mereka bisa memperoleh kekebalan dengan memakai simbora itu (L.Castles, hal.78). Setelah
pemimpinnya itu dipenjarakan, diduga para pengikutnya itu kemungkinan bergabung
dengan Golongan Parmalim, karena di kemudian hari tidak ada diketahui
kesinambungan dari golongan Parsiakbagi itu.
Golongan Parsitengka
Golongan ini diberi nama demikian
berdasarkan nama pendirinya yakni Si Tengka Napitupulu. Sama seperti Golongan
Parsiakbagi, golongan ini asal mulanya adalah dari golongan Parmalim yang telah
mengambil jalannya sendiri. Paham mereka tentang Allah telah mendekati paham
Kristen. Artinya ilah-ilah Batak dengan beberapa tokoh yang dipuja seperti
Nagapadoha, Raja Uti, dan lain-lain, telah ditolak. Mereka tidak mau mengambil
bagian dalam pesta-pesta ritual yang dilakukan oleh Golongan Parmalim, seperti tortor
dan gondang. Pemakaian jeruk purut, ajimat dan poligami, juga mereka tolak.
Si Tengka Napitupulu mati tahun 1903.
Pengikutnya tidak sempat banyak dan tidak dapat bertahan. Ini disebabkan karena
si Tengka sendiri pada waktu itu sudah kurang mampu untuk aktif mengadakan
propaganda, ditambah lagi oleh kematian penggantinya dan sejumlah keluarganya
yang mendadak setelah kematian si Tengka. Kerena itu tidak ada kesinambungan
dari golongan ini.
Golongan Parhudamdam
Satu golongan yang secara nyata
menunjukkan perlawanan terhadap orang kulit putih setelh kematian
Sisingamangaraja ialah Golongan Parhudamdam. Golongan ini mula-mula muncul di
Sugasuga, sebuah tempat d Utara daerah Barus, tahun 1915. Tempat ini masih dekat dengan basis
perjuangan Sisingamangaraja XII yang terakhir, yakni Sionomhudon, Dairi.
Walaupun pada waktu itu orang tidak berani lagi menyebut-nyebut nama
Sisingamangaraja, apalagi menyatakannya masih hidup, namun pendiri golongan ini yang bernama Djaman,
menolak bahwa Sisingamangaraja itu sudah mati. Dia mengatakan bahwa berdasarkan
petunjuk Debata Mulajadi Na bolon (
Allah tertinggi yang dikenal Batak), yang dia terima, Sisingamangaraja masih
hidup, dan akan muncul kembali untuk memimpin kerajaan Batak yang bebas dari pajak
dan rodi ( kerja paksa). Sistem pajak dan rodi yang diberlakukan Belanda pada
waktu itu dirasa sebagai beban yang sangat memberatkan sekali.
Djaman mengatakan bahwa orang-orang
kulit putih akan segera dimusnahkan oleh Allah dari bumi orang batak melalui
suatu perang besar dan bencana yang sangat dahsyat. Yang selamat dari murka itu
hanyalah mereka yang mengikuti petunjuknya.
Banyak orang yang tertarik akan
perkataan Djaman itu. Mereka ini kemudian dihimpun untuk memulai suatu gerakan
anti kulit putih, dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang bersifat rahasia,
yang disertai dengan upacara-upacara keagamaan. Salah satu upacara yang mereka lakukan
ialah semacam latihan untuk memperoleh kekebalan. Latihan itu mulai dengan
semacam doa bersama, yang didalamnya nampak pengaruh Islam. Kata-kata Laillaha illalah diserukan berkali-kali,
sambil mengoyang-goyang badan dan kepala, kemuka, kekiri dan ke kanan. Cara ini yang dimaksudkan untuk berhubungan
langsung dengan Tuhan dan meminta perlindungannya, dilakukanhingga mereka dalam
keadaan ekstase. Dalam keadaan demikian, maka mereka bangkit, dan
mengguling-gulingkan tubuhnya di atas batu, yang disusul dengan mengucapkan
kata-kata yang tidak jelas atrtinya yakni digidigi
damdam secara berulang-ulang dan cepat. Mungkin karena kata-kata inilah
maka orang menamai mereka Parhudamdam
atau Parsihudamdam.
Gerakan yang mula-mula dilakukan secara
rahasia itu kemudian berkembang menjadi gerakan yang terbuka. Demikianlah, maka
pada bulan Desember 1916, sebanyak lebih kurang lima ratus orang, mereka
berkumpul di sebuah tempat yang bernama Rura
Parira, siap untuk melakukan perang melawan orang kulit putih hanya dengan
bersenjatakan sehelai daun lalang.
Seluruh pegawai pemerintah dan petugas zending diusir, sedangkan kepala negeri setempat dipaksa untuk berpihak kepada mereka. Pejabat
yang berwajib (gezagheber) dari distrik Toba, WCM Muller, yang ditugaskan untuk mengakhiri aksi
itu dibunuh dengan sangat sadis.
Peristiwa yang mereka rayakan ini sebagai kemenangan dengan memotong
seekor kerbau putih, telah mendorong mereka makin berani untuk menyerang.
Mereka yang yakin akan kekebalan yang diperoleh berkata, bahwa barangsiapa yang
masih takut kepada peluru berarti dia masih penuh dosa. Sedangkan orang yang mati
tertembak, katanya akan bangkit pada hari yang ketiga.
Namun setelah sejumlah tentera Belanda
dikerahkan ke tempat mereka, gerakan ini dapat diakhiri segera, walaupun ke
beberapa tempat lain di daerah Tapanuli dan luarnya, ajaran-ajaran mereka telah
sempat disebarkan-luaskan, yang tentu hal ini dilakukan melalui suatu jaringan
yang sangat bersifat rahasia.
Golongan Sirajabatak
Sejak masuknya Jepang di Indonesia tahun
1942 menggantikan kedudukan Belanda, beberapa aliran yang berlatar-belakang
Batak yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda mengalami tekanan yang cukup
berat mencoba bangkit kembali. Peluang
itu dimungkinkan karena pemerintah Jepang dalam usahanya menghapuskan segala
pengaruh yang berbau Barat dari bumi Indonesia, mencoba membangkitkan kembali
beberapa unsur pribumi itu. Di Tanah
Batak misalnya pemerintah Jepang menghidupkan kembali pemujaan kepada
Sisingamangaraja dan penyembahan kepada roh-roh nenek-moyang yang sudah mati.
Dalam kesempatan itulah, seperti sudah
disinggung di atas golongan Parbaringin dan golongan Parmalim mencoba bangkit
kembali. Golongan Parbaringin misalnya mencoba menghidupkan praktek meramalkan
nasib, tenung dan memanggil roh-roh orang mati.
Di Bakara golongan ini telah mempelopori pembangun “sogit”, yakni rumah pemujaan
bagi Sisingamangaraja. Kemudian di Maranti Habinsaran, sempat banyak masyarakat
setempat yang diperdayakan oleh seorang guru Parmalim bernama Lean, dengan
mengajarkan bahwa Sisingamangaraja akan kembali memerintah masyarakat Batak.
Selain dari pada itu satu aliran baru
yang muncul pada zaman Jepang ialah “Golongan Sirajabatak”. Golongan ini
diorganiser secara baru oleh Raja Patik Tampubolon, lengkap dengan Anggaran
Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), yang ditetapkan di Pematangsiantar,
17 Juni 1942. Raja Patik Tampubolon yang pernah bertugas bebera tahun sebagai
guru zending di daerah Simalungun dan Karo ( 1905-1910), mengatakan bahwa dia
merasa terdorong untuk membina golongan ini demi untuk melindungi tradisi nenek-moyang Batak yang
lama, yang dinilai sangat baik serta mengandung nilai-nilai kebenaran dan
keadilan.
AD dan ART itu diberi nama “ Ransangan ni undang-undang dohot aturan ripe
di Golongan Sirajabatak Indonesia” ( Susunan undang-undang dan aturan
keluarga dari Golongan Sirajabatak Indonesia), masing-masing terdiri 9 dan 32
fasal. Dalam fasal 1 AD itu diktakan bahwa tujuan dari golongan ini adalah
untuk memeliharan Adat Batak yang diturunkan oleh Sirajabatak, agar
keturunannya sehati sepikir untuk menyembah “Ompu Muljadi Na Bolon”, yakni
allah yang dipercayai penuh berkat, kudus dan pemberi otoritas
Sirajabatak”.
Raja Patik Tampubolon lahir di Balige
tahun 1882. Menurut cucunya nama aslinya adalah Renatus Patia Tampubolon,
sedangkan menurut Lothar Schreiner penulis buku buku Adat dan Injil, nama
aslinya adalah Nahum Tampubolon, yang sudah menunjukkan nama Kristen. Dia memperoleh pendidikan sebagai guru
Zending, dan pekerjaan itu sempat dilakukan beberapa tahun lamanya, mula-mula
di kampung asalnya. Sejak tahun 1905 di ditugaskan oleh Zending ke daerah
Simalungun dan Karo, yang dijalankannya hingga tahun 1910. Sesudah itu berbagai
pekerjaan telah dilakukan, a.l.di dinas pemerintahan, pedagang atau pengusaha,
hingga dia memutuskan hubungannya dengan segala lembaga yang bersifat Barat dan
ingin memajukan bangsanya sendiri.
Di bawah pimpinan Raja Patik
Tampubolon hingga tahun 1950, golongan
ini sempat bertumbuh mejadi satu kekuatan yang menyatakan dirinya sebagai
penganut agama yang bersifat nasional, hingga gereja HKBP melihatnya
sebagai suatu tantangan.
Pengikut-pengikutnya pada umumnya
terdiri dari orang-orang Batak yang masih menganut kepercayaan Batak dan
sejumlah bekas warga jemaat HKBP yang dikucilkan dari gereja karena melawan
siasat greja yang ditetapkan oleh pimpinan Gereja Batak { Zending). Mereka ini tersebar di berbagai tempat,
seperti di daerah Samosir, Toba, Humbang, Pahae, Pangaribuan dan Sumatera Timur.
Tradisi budaya Batak yang sangat
menonjol dihidupkan kembali oleh golongan ini
ialah “gondang Batak”, yakni musik tradisional Batak, yang hingga saat
itu masih terlarang pemakaiannya oleh HKBP.
Dalam tradisi Batak, ‘gondang” biasanya dibunyikan sebagai media untuk
memuja “Ompu Mulajadi Na Bolon”, Allah Tertinggi Batak, dan untuk memanggil
roh-roh nenek-moyang. Karena itu tradisi ini sempat dilarang dengan keras dari
pihak gereja atau zending untk dilakukan oleh warga gereja atau orang-orang
Kristen, demi menjaga warga gereja itu jangan sampai kembali lagi kepada
kepercayaan yang lama. Siapa yang melanggar ketentuan itu maka dikucilkan dari
gereja.
Kebiasan lain yang dihidupkan ialah
upacara makan “horbo pangalotlot” (kerbau penghalau setan). , “babi pangambat”
(babi penolak bala}, “dengke porngis” (ikan pembuat hasil tanaman yang
bernas), “lombu sitiotio” ( lembu
pembuat kejernihan hidup). Semuanya ini
dilakukan berdasarkan kepercayan Batak yang lama, sebagai upacara yang
bertujuan yang menghalau setan, menolak bala,
serta memohon pertolongan Allah
yang Maha Pencipta (Mula Jadi Nabolon), dan roh-roh nenek-moyang agar mereka
diberi penghasilan yang berlipat ganda
dan penghidupan yang jernih.
Di samping karena membangkitkan kembali
“hasipelebeguon” ( penembahan roh-roh orang mati), pengikut golongan ini sering menimbulkan
konflik dengan pihak gereja HKBP, juga karena mereka kadang-kadang tidak enggan
menyalah-gunakan kebiasaan tertentu dari
gereja dan juga unsur tertentu dari kepercayan Kristen itu. Mengenai hal ini
seorang pendeta melaporkan pada Synode Godang HKBP 1946 mengenai hal yang
pernah terjadi di tempat pelayanannya
oleh pengikut golongan Sirajabatak demikian:
Apabila
mereka yang telah menjadi pengikut golongan Sirajabatak dikucilkan dari gereja,
maka mereka meniru cara-cara yang dilakukan oleh gereja. Hal ini misalnya
nampak dalam acara penguburan orang mati dan pemberkatan perkawinan. Untuk ini
mereka tidak enggan mempergunakan “agenda” atau buku liturgi kebaktian HKBP.
Perlakuan yang lain dari pengikut golongan ini, seperti
pernah dilaporan oleh Ephorus HKBP pada
Synode Godang 1948, yakni di Pahae ada seorang
bernama Sirman Sitompul menyatakan diri sebagai “Kristus”, yang lahir
dari seorang anak dara. Orang ini
akhirnya ditangkap oleh yang berwajib, karena segera setelah itu dia mengatakan
bahwa dirinya adalah pengganti Presiden Sukarno, dan tidak mengakui pemerintah
serta bendera Indonesia, kecuali bendera yang hitam. Tidak dijelaskan apa
maksudnya bendera yang hitam itu. Tidak jelas lagi diketahui sampai di mana
pengaruh dan kesinambungan golongan ini sampai sekarang. Ada yang mengatakan
bahwa sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan Parmalim, tetapi ada juga yang kembali atau masuk menjadi
Kristen dan warga gereja. Pendirinya
sendiri, Raja Patik Tampubolon, yang
meninggal tahun 1965 dalam usia 83 tahun, dimakamkan secara Kristen dengan acara gerejawi.
Penutup
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa Golongan (aliran) Parmalim
berserta beberapa aliran yang pernah muncul berdampingan, timbu sebagai
reaksi akan terjadinya berbagai
perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak mulai awal abad 19 yang
lalu, baik di bidang agama, sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-ekonomi,
oleh pengaruh yang datang dari luar mulai dari serbuan Islam dari Minangkabau,
masuknya misi atau zending Kristen dari
Eropa, maupun oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menguasai Tanah
Batak. Pelbagai perubahan itu nampaknya
telah menimbulkan goncangan yang cukup kuat bagi masyarakat yang tadinya sangat
terisolir itu. Hal ini memang dapat dimengerti mengingat kehidupan masyarakat
Batak mulai dari masa kepemimpinan Sisingamangaraja I pada permulaan abad 16 M
yang lalu, hingga pada masa kepemimpinan Sisingamangaraja IX pada permulaan
abad 19, hampir tidak pernah mendapat gangguan dari luar. Gangguan baru mulai
datang sejak masa Sisingamangara X pada
permulaan abad 19 yakni mulai dengan datangnya serbuan dari serdadu Islam pada
waktu itu dari daerah Minangkabau. Kemudian setelah itu, sejak masa
Sisingamangara XI, agama Kristen mulai masuk melalui usaha zending dari Eropa,
yang kemudian berhasil menggantikan kepercayaan Batak yang lama, di kalangan
sebagian besar masyarakat Batak itu sendiri. Sejak tahun 1878 kekuasaan Belanda
pun masuk di daerah Tapanuli Utara, dan sekaligus mengakhiri dinasti
Sisingamangaraja yang sebelumnya sangat dihormati dan dijunjung di sana, dengan
gugurnya Sisingamangaraja XII pada tahun 1907, dalam pertempuran melawan
Belanda. Semua itu telah menjadi latar-belakang Golongan Parmalim dan sejumlah
aliran-aliran yang tersebut di atas.
Dari antara aliran-aliran tersebut di
atas, yang masih eksis sampai sekarang adalah Golongan Parmalim, sedangkan aliran-aliran lainnya tidak dijumpai
lagi, termasuk Golongan Parbaringin sebagai pemelihara kepercayaan
adat-istiadat Batak sejak awalnya. Hilangnya aliran-aliran tersebut tidak
terlepas dari pengaruh agama Kristen yang semakin kuat dan mendalam dalam
kehidupan masyarakat batak, dan juga karena tekanan dari pemerintah kolonial
Belanda yang cukup keras terhadap mereka pada waktu itu. Mungkin sebahagian
dari antara mereka ada yang beralih menjadi Kristen, melalui usaha zending dan
gereja, dan sebagian lagi bergabung
dengan Golongan Parmalim yang masih bisa bertahan. Yang paling banyak bergabung
dengan Golongan Parmalim ini adalah Golongan Parsiakbagi, yang dibawa oleh
pemimpinnya sendiri Raja Mulia Naipospos. Golongan Parmalim sekarang ini masih
bisa dijumpai di beberapa tempat di daerah Toba, Uluan dan Samosir, bahkan
sudah ada di Medan, dan menjadikan pusat mereka di Huta Tinggi Laguboti, di
mana didirikan Bale Pasogit Partonggoan,
yang artinya rumah tempat berdoa, tempat mereka melakukan ritual keagamaan
setiap hari Sabtu. Latar-belakang kepercayaan suku Batak dan ritual Batak,
memang masih bisa terlihat dalam ritual keagaaan mereka, tetapi tentu tidak
bisa lagi dikatakan bahwa Agama Parmalim ini sebagai agama asli suku Batak,
karena sebagaimana telah diuraikan di atas , di dalamnya sudah banyak dijumpai
pengaruh dari agama lain, seperti Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan),
bahkan pelopornya sebagian sudah ada yang lebih dulu menjadi Kristen dan
berpendidikan Kristen. Pengikutnya masih
tergolong kecil. Dalam data Aliansi Sumut Bersatu (ASB), penganutnya sebanyak
5026 jiwa. Di tengah-tengah bangsa dan negara Indonesia, Golongan Parmalim diakui sebagai salah satu aliran kepercayaan, yang mendapat
perlindungan hukum dari negara, bukan sebagai satu agama.
Buku-buku Bacaan:
-
Castles, L, The
political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940. A Dissertation,
Yale University, 1972.
-
Hutauruk, JR, Tuhan menyertai Umat-Nya: Sejarah
125 tahun Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pearaja-Tarutung Kantor
Pusat HKBP, 1986.
-
Lumbantobing, Ph.O, The Structure of the Toba-Batak belief in the High God, South and
South Celebes East Institute for Culture, 1963.
-
Pedersen, P.B, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-gereja Batak di
Sumatera Utara, terjemahan Ny Maria Sijabat dan W.B. Sijabat, BPK Gunung
Mulia, 1975.
-
Poesponegoro, M.Djuned dan Nootosusanto, Sejarah Nasiomal Indonesia IV, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1984.
-
Poesponegoro, M.Djuned dan Nootosusanto, Sejarah Nasiomal Indonesia V, Jakarta:
PN Balai Pustaka, 1984.
-
Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Co., 1977.
-
Schreiner, L., Telah Kudengar dari ayahku: Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah
Batak, Jakarta: BPK Bunung Mulia, 1978.
-
Sihombing, Sedjarah
saratus taon Huria Kristen Batak Protestan: 1861-1961, Medan Philemon &
Liberty, 1961.
-
Sijabat, WB, Ahu
Sisingamangaraja, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.
-
Tampubolon, Raja
Patik, Pustaha Tumbaga Holing, Pematangsiantar, stensilan, ttp.
-
Warneck, J. The
living Christ and dying heathenism, Michigan: Baker House, 1954.
-
-----, Kamus
Batak Toba Indonesia, terjemahan
P.Leo Joosten OMFCap, Medan: Bina Media. 2001.
-
Notulen
Sinode Godang HKBP di Balige 26-27 Januari
1944.
-
Notulen
Sinode Godang HKBP di Sipoholon 28-29 Nopember 1946.
*Penulis adalah
Pensiunan Pendeta HKBP, yang dari tahun 1985-2008 bertugas sebagai dosen
Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP, Pematangsiatar di bidang Sejarah Gereja.
Dan setelah pensiun tahun 2016, sekarang
berdomisili di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar