Rabu, 09 Oktober 2019

BENARKAH " PARMALIM" ASLI AGAMA SUKU BATAK?







BENARKAH “PARMALIM” ASLI AGAMA SUKU BATAK?

Oleh: Pdt Mangontang SM Panjaitan, Master of Theology.*

 

PENDAHULUAN              

Belakangan  ini sering disebut-sebut oleh banyak kalangan orang Batak bahwa Parmalim adalah agama asli suku Batak. Apakah anggapan itu benar. Mari kita terlusuri dari sudut sejarahnya. Tetapi sebelum kita sampai ke pokok pembahasan, yakni mengenai golongan Parmalim, ada baiknya kita mengenal lebih dahulu adanya suatu golongan (aliran) yang sudah ada di tengah-tengah komunitas masyarakat Batak sebelum adanya  golongan Parmalim yakni

  Golongan Parbaringin.

Pada umumnya diakui bahwa Golongan Parbaringin telah ada sejak zaman Sisingamangaraja I. Sisingamangaraja mengorganiser golongan ini untuk menjadi perwakilannya memimpin soal-soal kemasyarakatan dan “keagamaan” Batak di wilayah-wilayah tertentu yang disebut bius. Satu bius dipimpin oleh seorang Parbaringin. Menurut Batara Sangti (Sejarah Batak: hal. 293-294), biasanya satu bius terdiri dari tujuh horja, sedangkan satu horja biasanya terdiri dari dua puluh huta atau kampung. Dalam urusan rumah-tangganya, setiap bius diberi hak otonom atau dalam bahasa Batak disebut manjujung baringinna.  Demikianlah nama pepimpinannya disebut Parbaringin adalah berdasarkan hak kedaulatan bius yang dipimpinnya dan juga karena ketika dia menjalankan fungsinya, dia mengikatkan ranting pohon beringin di kepalanya.

Pada mulanya baik yang menyangkut soal-soal adat, maupun soal-soal keagamaan, langsung menjadi urusan Parbaringin tersebut. Keduanya adalah menyatu dalam kehidupan masyarakat Batak. Istilah “agama” ataupun sebutannya di kemudian hari oleh orang Batak “ugamo”, belum dikenal oleh masyarakat Batak. Itu adalah istilah yang datang dari luar. Yang dikenal Batak adalah adat, yang merupakan tradisi yang mengatur keseluruhan aspek kehidupan, baik yang menyangkut hubungan kepada “Debata Mula Jadi Na Bolon” ( Dewata tertinggi ), roh-roh orang mati, roh-roh alam yang dipercayai, dan hubungan kepada sesama manusia. Ritus-ritus untuk itu semua sudah diatur, dan yang memimpinnya adalah Parbaringin.

Tetapi dalam perkembangan kemudian, yakni sejak terjadinya Perang Paderi di Tanah Batak, fungsi Parbaringin menjadi dibatasi hanya pada soal-soal yang bersifat “keagamaan” saja, sedangkan urusan sosial-adat diserahkan sepenuhnya kepada Raja Junjungan, yakni raja yang sebelumnya  hanya berfungsi sebagai pembantu dari Parbaringin.

Upacara “keagamaan” yang dipimpin oleh Parbaringin disebut Pesta Bius. Pesta ini biasanya dilakukan sekali setahun ( pesta tahunan) secara rutin, tetapi kadang-kadang juga dilakukan secara insidentil menurut tona ( instruksi ) dari Sisingamangaraja. Pesta bius adalah suatu upacara kurban berupa kerbau yang disembelih untuk dipersembahkan kepada sombaon, para debata, roh-roh alam dan semua roh-roh nenek moyang terdahulu, guna  meminta perlindungan dari mereka berupa pemberian hujan, panen yang baik dan penghentian sesuatu wabah penyakit seperti cacar dan kolera.

Di beberapa daerah di mana pengaruh kekristenan dapat bertumbuh dengan cepat, seperti di daerah Silindung, praktek pesta bius bisa dihentikan dengan segera. Tetapi di beberapa daerah lain di wilayah Toba,  seperti di daerah Uluan, Samosir dan Habinsaran, di mana pertumbuhan kekristenan agak lambat, dan pengaruh Sisingamangaraja di sana dirasa lebih kuat, kegiatan itu agak sulit dihentikan. Di tempat-tempat tersebut pesta bius masih sering diadakan, walaupun Sisingamangaraja XII sendiri telah mati. Namun karena menyadari bahaya yang ditimbulkan oleh praktek keagamaan yang mengkultuskan Sisingamangaraja ini, akhirnya pemerintah kolonial Belanda bertindak untuk melarangnya. Untuk itu Korn yang bertindak untuk menjalankan larangan itu, pada tahun 1938 berkata: “By this prohibition the whole parbaringin-organisation, champion of the pagan world of thought and strong bulwark against the progressing Christianization was at once paralyzed”. Dengan larangan ini, seluruh organisasi parbaringin, yang merupakan kubu pemikiran dan kekuatan dunia penyembah berhala melawan upaya pengkristenan itu segera bisa dilumpuhkan). ( Philip L.Tobing, The structure of the Toba-Batak belief in the High God, 1963, hal. 27)

Tetapi walaupun kegiatan mereka telah terlarang, sebagian dari Golongan Parbaringin ini masih tetap menunjukkan dirinya sebagai Parbaringin, karena nampaknya mereka masih enggan untuk melepaskan jabatan yang dulu dipandang sangat terhormat itu.  Kebiasaan merek sehari-hari berpakaian ulos (pakaian) Batak dan berikat kepala hitam untuk menutupi rambut mereka yang dibiarkan panjang, masih tetap dipertahankan, biarpun mereka telah dibaptis menjadi Kristen dan telah menjadi warga jemaat HKBP setempat.

Setelah Belanda dikalahkan oleh tentera Jepang pada tahun 1942, golongan Parbaringin mencoba bangkit kembali bersama-sama  dengan Golongan Parmalim, yang diberi nama Golongan Sirajabatak. Jadi sekarang ini tidak ada lagi yang disebut golongan Parbaringin di tengah-tengah masyarakat Batak.

Golongan Parmalim

Ada yang mengatakan bahwa Parmalim adalah asli agama suku Batak. Ada juga  yang mengatakan bahwa Golongan Parmalim didirikan oleh Sisingamangaraja XII  pada tahun 1870 an guna melindungi kepercayaan tradisional Batak dari gangguan agama Kristen, Islam dan kolonialisme Belanda yang dianggap merusak. Tetapi kalau ditelusuri secara historis pendapat itu tidak tepat, karena sampai pada waktu itu, Golongan Parbaringin masih tetap dipercayai oleh Sisingamangaraja XII sebagai lembaga untuk mempertahankan praktek keagamaan Batak tersebut. Nama Parmalim belum dikenal di tengah-tengah masyarakat Batak pada waktu itu. Pada umumnya orang berpendapat bahwa pendiri olongan ini adalah Guru Somalaing Pardede pada tahun 1890 an. ( L. Castles, hal. 74 dan J.Sihombing, hal. 86).

Guru Somalaing Pardede adalah seorang bekas datu ( dukun ) dan penasehat terdekat dari Sisingamangaraja XII. Sebagai seorang datu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan msyarakat Batak, khususnya dalam penyembuhan orang sakit dan pemberi nasehat dalam berbagai persoalan kehidupan sehari-hari, Somalaing mulai merasa kehilangan arti itu, setelah dia melihat kekalahan Sisingamangaraja XII tahun 1883 di Balige dari mana dia berasal dan pengaruh kekristenan yang mulai bertumbuh dengan pesat pada waktu itu di sana. Karena itu menurut penilaian sementara orang, faktor inilah yang mendorong Guru Somalaing untuk mendirikan golongan itu, agar dengan demikian dia bisa tetap mempertahankan kehormatannya di tengah-tengah masyarakat Batak.

Nama Parmalim yang dipakai artinya golongan malim. Mengenai arti  kata malim dijumpai pendapat yang berbeda. Ada yang berpendapat bahwa kata malim adalah sebuah kata dalam bahasa Batak  yang berarti  menjadi merdeka (P.B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 1975, hal. 41), sehingga dengan demikian golongan Parmalim diartikan sebagai golongan orang merdeka. Tetapi banyak orang lebih cenderung mengertikan kata itu sebagai imam, yakni sebuah nama pemimpin agama Islam yang dikenal pada waktu itu  ( L. Castles, The political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940,  hal. 74). Dalam Kamus  Batak Toba-Jerman yang ditulis oleh J.Warneck  yang diterbitkan tahun 1905 untuk keperluan usaha penginjilan di Tanah Batak dan diterjemahkan oleh P. Leo Joosten OFMCap, kata malim berati imam atau mualim.  Dalam buku kamus batak itu tidak ada dijumpai kata malim yang berarti merdeka, yang  ada hanya satu kata yang diartikan sebagai  imam atau mualim Dalam Bibel bahasa Batak Toba, kata malim juga telah dikenal , dan kata itulah yang dipakai oleh PH Johansen (1890 an)  untuk menerjemahkan kata Ibrani yakni “kohen” yang berati imam. Menurut para ahli dan juga kamus Warneck itu kata malim itu adalah sama dengan kata Arab ‘mualim”, yang dalam bahasa Arab kata mualim berati pemimpim agama atau guru agama Islam. Dengan demikian istilah malim bukanlah istilah asli Batak, tetapi datang dari pengaruh istilah islam pada waktu itu. Berdasarkan itu maka Parmalim diartikan sebagai golongan malim atau mualim atau golongan imam.

Ajaran-ajaran yang dikembangkan dalam golongan ini, nampaknya timbul dari hasil pengalaman Guru Somalaing, ketika dia diminta sebagai penunjuk jalan oleh Elio Modigliani, seorang ahli botani Italia, mengadakan penelitian di beberapa tempat di Sumatera Utara, termasuk daerah Asahan, tahun 1889-1891. Beberapa unsur Katolik yang dikenalnya dari Modigliani dan unsur Islam yang mungkin dikenal dalam perjalanan mereka di daerah Asahan, dimasukkan dalam ajaran-ajarannya itu. Pengaruh Katolik misalnya nampak dalam susunan Trinitatis yang dibuatnya ( Jehowa, Maria,Yesus), pengkultusan Raja Rum ( maksudnya mungkin Paus Roma), yang ditempatkan di samping beberapa tokoh yang dikultuskan Batak, seperti Sisingamangaraja, Raja Hatorusan,  Ompu Raja Uti, Naga Padoha, Sideak Parujar, dll. ( J.Castles, hal.74). Pengaruh Islam misalnya nampak dalam larangan makan daging babi dan pemakaian ucapan bismilahi rokhmanir rakhim dalam doa-doa mereka, yang dalam hal ini diucapkan dalam dialek Batak. (M.Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, hal. 348). Juga dapat diduga bahwa hal kaum laki-laki berikat kepala kain putih, juga pengaruh Islam, karena sebelumnya dalam acara-acara seremonial Batak, kaum laki-laki adalah memakai ikat kepala (talitali) dari ulos batak. Parbaringin juga pada aslinya adalah berikat kepala ulos batak yang bercorak hitam. Kebiasaan mereka berpantangkan daging babi dan darah, kemungkinan besar juga adalah pengaruh Islam dan juga Yahudi (dari Kitab Perjanjian Lama), karena sejatinya dalam adat dan budaya masyarakat batak, daging babi yang dimasak bersama dengan darahnya adalah makanan adat secara tradisional.

Terhadap Gereja Batak atau Zending dia sengaja membuat suatu jarak, misalnya dengan perlakuan yang membiarkan rambut mereka panjang, membakar kemenyaan, memukul godang, mengadakan kebaktian pada hari Sabtu (mengikuti kaum Yahudi) ),manguras ( ritual pembersihan dengan memakai jeruk purut), dan tidak menghormati hari minggu. Semua tindakan ini didasarkan atas beberapa  ayat dari Kitab Suci Krsiten Perjanjian Lama. ( L.Castles, hal. 75)

Guru Somaling bersama pengikutnya Ompu Bernit dari Habinsaran ( daerah sebelah Timur Toba) ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Belanda ke Kalimantan tahun 1896, karena perlawanan mereka yang keras terhadap orang kulit putih. (WB Sijabat , hal. 328 ). Namun ajaran-ajarannya itu masih diteruskan oleh pengikut-pengikutnya yang lain, terutama di daerah Samosir, Uluan dan Habinsaran ( daerah-daerah yeng terbelakang dimasuki oleh Injil ). Berbagai reaksi mereka ditunjukkan terhadap kegiatan zending di sana. Di daerah Uluan misalnya, seorang yang bernama Ompu ni Ottong, mencoba menghasut masyarakat setempat untuk melawan pekerjaan zending ( J.Castles,hal. 76). Di daerah habinsaran sekolah-sekolah zending dirusak, dan di Parsambilan daerah Toba, missionar Jung diancam untuk dibunuh oleh sejumlah pengikut Parmalim. ( J.Sihombing, hal. 86). Sedangkan di Tomok Samosir, Ampot Sijabat menyebut dirinya sebagai “praeses” ( kata yang dipakai oleh zending RMG di Tanah Batak, untuk menyebut pemimpin satu wilayah (distrik) zending  Golongan Parmalim di Samosir, sejak missionar Bregenstroth memulai tugas penginjilannya di Ambarita Samosir tahun 1914. (WB Sijabat, hal. 329).

Namun karena banyaknya tindakan golongan ini yang mengganggu usaha-usaha zending dan pemerintah kolonial Belanda, maka mereka terus diawasi oleh pemerintah dengan ketat dan bahkan banyak dari antara mereka yang terpaksa dipenjarakan. Tahun 1904 misalnya, Residen Tapanuli, Welsink, langsung memimpin usaha penangkapan terhadap sejumlah pengikut Parmalim di Sibide dan Maranti, Ressort Sitorang. Pada waktu Ephorus IL. Nommensen turut serta bersama residen, yang diharapkan oleh residen, dia dapat membimbing mereka untuk bertobat menjadi Kristen.  Oleh bimbingan ephorus tersebut,memang banyak dari antara mereka yang bertobat menjadi Kristen, namun ada juga sebagian yang tetap mempertahankan Sisingamangaraja  sebagai junjungan dan juru selamat mereka.

Dalam melengkapi pemahaman kita mengenai Golongan Parmalim, yang juga timbul di kalangan masyarakat Batak  sebagai reaksi terhadap pengaruh yang datang dari luar, mulai dari Islam, Kristen dan kolonialis Belanda, selain dari Golongan Parmalim, masih ada beberapa golongan yang timbul di tengah-tengah masyarakat Batak itu sendiri, antara lain: Golongan Parsiakbagi, Golongan Parsitengka, Golongan Parhudamdam, dan Golongan Sirajabatak.

 

Golongan Parsiakbagi

Setelah Guru Somalaing pendiri Golongan Parmalim itu terbuang,  nampaknya diantara beberapa pengikutnya itu ada kecenderungan untuk menempuh jalannya sendiri. Salah seorang dari antara mereka adalah Djaga Siborutorop yang bergelar Si Siakbagi ( yang menderita kesengsaraan) dari Nagasaribu Siborongborong. Dia membentuk satu golongan yang terpisah yang disebut Parsiakbagi.  Yang kadang-kadang disebut juga Parugamo ( orang yang beragama). Golongan ini membedakan diri dari dolongan Parmalim, walaupun pada dasarnya ajaran dan perlakuan mereka adalah sama (L.Castles, hal. 77). Hanya di kemudian golongan ini lebih banyak berkenalan dengan unsur kekristenan, apalagi setelah Raja Mulia Naipospos dan Guru Gayus Hutahaean bergabung dengan mereka. Raja Mulia Naipospos dulu adalah seorang Parbaringin, tetapi sesudah itu telah masuk menjadi Kristen dan sempat menjadi sintua ( penatua ) gereja  beberapa tahun lamanya.Sedangkan Gayus Hutahaean adalah bekas guru bantu yang diberhentikan dari sekolah zending.

Dari tulisan Castles diketahui adanya reaksi golongan ini, baik terhadap masyarakat Batak yang pada waktu itu dilihat cenderung  berlomba-loma mengejar berbagai pangkat atau jabatan, maupun terhadap zending dan pemerintah Belanda.  Segala apa yang disebut pangkat atau jabatan ditolak oleh mereka,  karena katanya Yesuslah satu-satunya Guru. Usaha zending atau kongsi gereja yang meminjamkan uang dengan bunga disalahkan (Th. Mueller Kruger, Sejarah Gereja di Indonsia, hal. 218), yang karenanya mereka mendirikan semacam koperasi simpan-pinjam tanpa bunga, yang diberi nama kongsi parasian ( kongsi pengasihan). ( Pada waktu itu IL Nommensen memprakarsai berdirinya Kongsi Gereja yang meminjamkan uang dengan bunga kecil untk mencegah kebiasaan masyarakat Batak dulu yang meminjamkan uang atau padinya dengan bunga yang sangat tinggi, dan juga untuk membantu sumber keuangan gereja). Kehadiran orang kulit putih di Tanah Batak dikatakan sebagai hukuman Allah bagi msyarakat Batak karena dosa mereka, tetapi apabila mereka masih mau bertobat, katanya Allah masih sudi mengampuni mereka dan orang-orang kulit putih akan segera diusir.

Setelah golongan ini berumur lebih kurang satu dekade, pada bulan Nopember 1910, pemimpinnya yakni Si Siakbagi ditangkap dan dipenjarakan oleh Belanda. Dia ditangkap karena sikapnya yang keras melawan Belanda dan juga karena kedapatan memperdagangkan simbora (sejenis barang ajimat), suatu kegiatan yang sangat berbahaya pada waktu itu, apabila pembelinya percaya bahwa mereka bisa memperoleh kekebalan dengan memakai simbora itu (L.Castles, hal.78). Setelah pemimpinnya itu dipenjarakan, diduga para pengikutnya itu kemungkinan bergabung dengan Golongan Parmalim, karena di kemudian hari tidak ada diketahui kesinambungan dari golongan Parsiakbagi itu.

Golongan Parsitengka

Golongan ini diberi nama demikian berdasarkan nama pendirinya yakni Si Tengka Napitupulu. Sama seperti Golongan Parsiakbagi, golongan ini asal mulanya adalah dari golongan Parmalim yang telah mengambil jalannya sendiri. Paham mereka tentang Allah telah mendekati paham Kristen. Artinya ilah-ilah Batak dengan beberapa tokoh yang dipuja seperti Nagapadoha, Raja Uti, dan lain-lain, telah ditolak. Mereka tidak mau mengambil bagian dalam pesta-pesta ritual yang dilakukan oleh Golongan Parmalim,  seperti tortor dan gondang. Pemakaian jeruk purut, ajimat dan poligami, juga mereka tolak.

Si Tengka Napitupulu mati tahun 1903. Pengikutnya tidak sempat banyak dan tidak dapat bertahan. Ini disebabkan karena si Tengka sendiri pada waktu itu sudah kurang mampu untuk aktif mengadakan propaganda, ditambah lagi oleh kematian penggantinya dan sejumlah keluarganya yang mendadak setelah kematian si Tengka. Kerena itu tidak ada kesinambungan dari golongan ini.

Golongan Parhudamdam

Satu golongan yang secara nyata menunjukkan perlawanan terhadap orang kulit putih setelh kematian Sisingamangaraja ialah Golongan Parhudamdam. Golongan ini mula-mula muncul di Sugasuga, sebuah tempat d Utara daerah Barus, tahun 1915.  Tempat ini masih dekat dengan basis perjuangan Sisingamangaraja XII yang terakhir, yakni Sionomhudon, Dairi. Walaupun pada waktu itu orang tidak berani lagi menyebut-nyebut nama Sisingamangaraja, apalagi menyatakannya masih hidup,  namun pendiri golongan ini yang bernama Djaman, menolak bahwa Sisingamangaraja itu sudah mati. Dia mengatakan bahwa berdasarkan petunjuk Debata Mulajadi Na bolon  ( Allah tertinggi yang dikenal Batak), yang dia terima, Sisingamangaraja masih hidup, dan akan muncul kembali untuk memimpin kerajaan Batak yang bebas dari pajak dan rodi ( kerja paksa). Sistem pajak dan rodi yang diberlakukan Belanda pada waktu itu dirasa sebagai beban yang sangat memberatkan sekali.

Djaman mengatakan bahwa orang-orang kulit putih akan segera dimusnahkan oleh Allah dari bumi orang batak melalui suatu perang besar dan bencana yang sangat dahsyat. Yang selamat dari murka itu hanyalah mereka yang mengikuti petunjuknya.

Banyak orang yang tertarik akan perkataan Djaman itu. Mereka ini kemudian dihimpun untuk memulai suatu gerakan anti kulit putih, dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang bersifat rahasia, yang disertai dengan upacara-upacara keagamaan. Salah satu upacara yang mereka lakukan ialah semacam latihan untuk memperoleh kekebalan. Latihan itu mulai dengan semacam doa bersama, yang didalamnya nampak pengaruh Islam. Kata-kata Laillaha illalah diserukan berkali-kali, sambil mengoyang-goyang badan dan kepala, kemuka, kekiri dan ke kanan.  Cara ini yang dimaksudkan untuk berhubungan langsung dengan Tuhan dan meminta perlindungannya, dilakukanhingga mereka dalam keadaan ekstase. Dalam keadaan demikian, maka mereka bangkit, dan mengguling-gulingkan tubuhnya di atas batu, yang disusul dengan mengucapkan kata-kata yang tidak jelas atrtinya yakni digidigi damdam secara berulang-ulang dan cepat. Mungkin karena kata-kata inilah maka orang menamai mereka Parhudamdam atau Parsihudamdam.

Gerakan yang mula-mula dilakukan secara rahasia itu kemudian berkembang menjadi gerakan yang terbuka. Demikianlah, maka pada bulan Desember 1916, sebanyak lebih kurang lima ratus orang, mereka berkumpul di sebuah tempat yang bernama Rura Parira, siap untuk melakukan perang melawan orang kulit putih hanya dengan bersenjatakan sehelai daun lalang. Seluruh pegawai pemerintah dan petugas zending diusir, sedangkan kepala negeri setempat  dipaksa untuk berpihak kepada mereka. Pejabat yang berwajib (gezagheber) dari distrik Toba, WCM  Muller, yang ditugaskan untuk mengakhiri aksi itu dibunuh dengan sangat sadis.  Peristiwa yang mereka rayakan ini sebagai kemenangan dengan memotong seekor kerbau putih, telah mendorong mereka makin berani untuk menyerang. Mereka yang yakin akan kekebalan yang diperoleh berkata, bahwa barangsiapa yang masih takut kepada peluru berarti dia masih penuh dosa. Sedangkan orang yang mati tertembak, katanya akan bangkit pada hari yang ketiga.

Namun setelah sejumlah tentera Belanda dikerahkan ke tempat mereka, gerakan ini dapat diakhiri segera, walaupun ke beberapa tempat lain di daerah Tapanuli dan luarnya, ajaran-ajaran mereka telah sempat disebarkan-luaskan, yang tentu hal ini dilakukan melalui suatu jaringan yang sangat bersifat rahasia.

Golongan Sirajabatak

Sejak masuknya Jepang di Indonesia tahun 1942 menggantikan kedudukan Belanda, beberapa aliran yang berlatar-belakang Batak yang pada masa pemerintahan kolonial Belanda mengalami tekanan yang cukup berat mencoba bangkit kembali.  Peluang itu dimungkinkan karena pemerintah Jepang dalam usahanya menghapuskan segala pengaruh yang berbau Barat dari bumi Indonesia, mencoba membangkitkan kembali beberapa unsur pribumi itu.  Di Tanah Batak misalnya pemerintah Jepang menghidupkan kembali pemujaan kepada Sisingamangaraja dan penyembahan kepada roh-roh nenek-moyang yang sudah mati.

Dalam kesempatan itulah, seperti sudah disinggung di atas golongan Parbaringin dan golongan Parmalim mencoba bangkit kembali. Golongan Parbaringin misalnya mencoba menghidupkan praktek meramalkan nasib, tenung dan memanggil roh-roh orang mati.  Di Bakara golongan ini telah mempelopori pembangun “sogit”, yakni rumah pemujaan bagi Sisingamangaraja. Kemudian di Maranti Habinsaran, sempat banyak masyarakat setempat yang diperdayakan oleh seorang guru Parmalim bernama Lean, dengan mengajarkan bahwa Sisingamangaraja akan kembali memerintah masyarakat Batak.

Selain dari pada itu satu aliran baru yang muncul pada zaman Jepang ialah “Golongan Sirajabatak”. Golongan ini diorganiser secara baru oleh Raja Patik Tampubolon, lengkap dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), yang ditetapkan di Pematangsiantar, 17 Juni 1942. Raja Patik Tampubolon yang pernah bertugas bebera tahun sebagai guru zending di daerah Simalungun dan Karo ( 1905-1910), mengatakan bahwa dia merasa terdorong untuk membina golongan ini demi untuk  melindungi tradisi nenek-moyang Batak yang lama, yang dinilai sangat baik serta mengandung nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

AD dan ART itu diberi nama “ Ransangan ni undang-undang dohot aturan ripe di Golongan Sirajabatak Indonesia” ( Susunan undang-undang dan aturan keluarga dari Golongan Sirajabatak Indonesia), masing-masing terdiri 9 dan 32 fasal. Dalam fasal 1 AD itu diktakan bahwa tujuan dari golongan ini adalah untuk memeliharan Adat Batak yang diturunkan oleh Sirajabatak, agar keturunannya sehati sepikir untuk menyembah “Ompu Muljadi Na Bolon”, yakni allah yang dipercayai penuh berkat, kudus dan pemberi otoritas Sirajabatak”. 

Raja Patik Tampubolon lahir di Balige tahun 1882. Menurut cucunya nama aslinya adalah Renatus Patia Tampubolon, sedangkan menurut Lothar Schreiner penulis buku buku Adat dan Injil, nama aslinya adalah Nahum Tampubolon, yang sudah menunjukkan nama Kristen.  Dia memperoleh pendidikan sebagai guru Zending, dan pekerjaan itu sempat dilakukan beberapa tahun lamanya, mula-mula di kampung asalnya. Sejak tahun 1905 di ditugaskan oleh Zending ke daerah Simalungun dan Karo, yang dijalankannya hingga tahun 1910. Sesudah itu berbagai pekerjaan telah dilakukan, a.l.di dinas pemerintahan, pedagang atau pengusaha, hingga dia memutuskan hubungannya dengan segala lembaga yang bersifat Barat dan ingin memajukan bangsanya sendiri.

Di bawah pimpinan Raja Patik Tampubolon  hingga tahun 1950, golongan ini sempat bertumbuh mejadi satu kekuatan yang menyatakan dirinya sebagai penganut agama yang bersifat nasional, hingga gereja HKBP melihatnya sebagai  suatu tantangan. Pengikut-pengikutnya pada umumnya  terdiri dari orang-orang Batak yang masih menganut kepercayaan Batak dan sejumlah bekas warga jemaat HKBP yang dikucilkan dari gereja karena melawan siasat greja yang ditetapkan oleh pimpinan Gereja Batak { Zending).  Mereka ini tersebar di berbagai tempat, seperti di daerah Samosir, Toba, Humbang, Pahae, Pangaribuan dan Sumatera Timur.

Tradisi budaya Batak yang sangat menonjol dihidupkan kembali oleh golongan ini  ialah “gondang Batak”, yakni musik tradisional Batak, yang hingga saat itu masih terlarang pemakaiannya oleh HKBP.  Dalam tradisi Batak, ‘gondang” biasanya dibunyikan sebagai media untuk memuja “Ompu Mulajadi Na Bolon”, Allah Tertinggi Batak, dan untuk memanggil roh-roh nenek-moyang. Karena itu tradisi ini sempat dilarang dengan keras dari pihak gereja atau zending untk dilakukan oleh warga gereja atau orang-orang Kristen, demi menjaga warga gereja itu jangan sampai kembali lagi kepada kepercayaan yang lama. Siapa yang melanggar ketentuan itu maka dikucilkan dari gereja.

Kebiasan lain yang dihidupkan ialah upacara makan “horbo pangalotlot” (kerbau penghalau setan). , “babi pangambat” (babi penolak bala}, “dengke porngis” (ikan pembuat hasil tanaman yang bernas),  “lombu sitiotio” ( lembu pembuat kejernihan hidup).  Semuanya ini dilakukan berdasarkan kepercayan Batak yang lama, sebagai upacara yang bertujuan yang menghalau setan, menolak bala,  serta memohon pertolongan  Allah yang Maha Pencipta (Mula Jadi Nabolon), dan roh-roh nenek-moyang agar mereka diberi penghasilan  yang berlipat ganda dan  penghidupan yang jernih.

Di samping karena membangkitkan kembali “hasipelebeguon” ( penembahan roh-roh orang mati),  pengikut golongan ini sering menimbulkan konflik dengan pihak gereja HKBP, juga karena mereka kadang-kadang tidak enggan menyalah-gunakan  kebiasaan tertentu dari gereja dan juga unsur tertentu dari kepercayan Kristen itu. Mengenai hal ini seorang pendeta melaporkan pada Synode Godang HKBP 1946 mengenai hal yang pernah terjadi di tempat pelayanannya  oleh pengikut golongan Sirajabatak demikian:

Apabila mereka yang telah menjadi pengikut golongan Sirajabatak dikucilkan dari gereja, maka mereka meniru cara-cara yang dilakukan oleh gereja. Hal ini misalnya nampak dalam acara penguburan orang mati dan pemberkatan perkawinan. Untuk ini mereka tidak enggan mempergunakan “agenda” atau buku liturgi kebaktian HKBP.

Perlakuan  yang lain dari pengikut golongan ini, seperti pernah dilaporan oleh Ephorus  HKBP pada Synode Godang 1948, yakni di Pahae ada seorang  bernama Sirman Sitompul menyatakan diri sebagai “Kristus”, yang lahir dari seorang anak dara.  Orang ini akhirnya ditangkap oleh yang berwajib, karena segera setelah itu dia mengatakan bahwa dirinya adalah pengganti Presiden Sukarno, dan tidak mengakui pemerintah serta bendera Indonesia, kecuali bendera yang hitam. Tidak dijelaskan apa maksudnya bendera yang hitam itu. Tidak jelas lagi diketahui sampai di mana pengaruh dan kesinambungan golongan ini sampai sekarang. Ada yang mengatakan bahwa sebagian pengikutnya bergabung dengan golongan Parmalim,  tetapi ada juga yang kembali atau masuk menjadi Kristen dan warga gereja.  Pendirinya sendiri, Raja Patik Tampubolon,  yang meninggal tahun 1965 dalam usia 83 tahun, dimakamkan secara Kristen  dengan acara gerejawi.

Penutup

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Golongan (aliran) Parmalim  berserta  beberapa aliran yang pernah muncul berdampingan, timbu sebagai reaksi akan  terjadinya berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat Batak mulai awal abad 19 yang lalu, baik di bidang agama, sosial-budaya, sosial-politik dan sosial-ekonomi, oleh pengaruh yang datang dari luar mulai dari serbuan Islam dari Minangkabau, masuknya misi atau  zending Kristen dari Eropa, maupun oleh pemerintahan kolonial Belanda yang menguasai Tanah Batak.  Pelbagai perubahan itu nampaknya telah menimbulkan goncangan yang cukup kuat bagi masyarakat yang tadinya sangat terisolir itu. Hal ini memang dapat dimengerti mengingat kehidupan masyarakat Batak mulai dari masa kepemimpinan Sisingamangaraja I pada permulaan abad 16 M yang lalu, hingga pada masa kepemimpinan Sisingamangaraja IX pada permulaan abad 19, hampir tidak pernah mendapat gangguan dari luar. Gangguan baru mulai datang sejak masa Sisingamangara X  pada permulaan abad 19 yakni mulai dengan datangnya serbuan dari serdadu Islam pada waktu itu dari daerah Minangkabau. Kemudian setelah itu, sejak masa Sisingamangara XI, agama Kristen mulai masuk melalui usaha zending dari Eropa, yang kemudian berhasil menggantikan kepercayaan Batak yang lama, di kalangan sebagian besar masyarakat Batak itu sendiri. Sejak tahun 1878 kekuasaan Belanda pun masuk di daerah Tapanuli Utara, dan sekaligus mengakhiri dinasti Sisingamangaraja yang sebelumnya sangat dihormati dan dijunjung di sana, dengan gugurnya Sisingamangaraja XII pada tahun 1907, dalam pertempuran melawan Belanda. Semua itu telah menjadi latar-belakang Golongan Parmalim dan sejumlah aliran-aliran yang tersebut di atas.

Dari antara aliran-aliran tersebut di atas, yang masih eksis sampai sekarang adalah Golongan Parmalim, sedangkan aliran-aliran lainnya tidak dijumpai lagi, termasuk Golongan Parbaringin sebagai pemelihara kepercayaan adat-istiadat Batak sejak awalnya. Hilangnya aliran-aliran tersebut tidak terlepas dari pengaruh agama Kristen yang semakin kuat dan mendalam dalam kehidupan masyarakat batak, dan juga karena tekanan dari pemerintah kolonial Belanda yang cukup keras terhadap mereka pada waktu itu. Mungkin sebahagian dari antara mereka ada yang beralih menjadi Kristen, melalui usaha zending dan gereja,  dan sebagian lagi bergabung dengan Golongan Parmalim yang masih bisa bertahan. Yang paling banyak bergabung dengan Golongan Parmalim ini adalah Golongan Parsiakbagi, yang dibawa oleh pemimpinnya sendiri Raja Mulia Naipospos. Golongan Parmalim sekarang ini masih bisa dijumpai di beberapa tempat di daerah Toba, Uluan dan Samosir, bahkan sudah ada di Medan, dan menjadikan pusat mereka di Huta Tinggi Laguboti, di mana didirikan Bale Pasogit Partonggoan, yang artinya rumah tempat berdoa, tempat mereka melakukan ritual keagamaan setiap hari Sabtu. Latar-belakang kepercayaan suku Batak dan ritual Batak, memang masih bisa terlihat dalam ritual keagaaan mereka, tetapi tentu tidak bisa lagi dikatakan bahwa Agama Parmalim ini sebagai agama asli suku Batak, karena sebagaimana telah diuraikan di atas , di dalamnya sudah banyak dijumpai pengaruh dari agama lain, seperti Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan), bahkan pelopornya sebagian sudah ada yang lebih dulu menjadi Kristen dan berpendidikan Kristen.  Pengikutnya masih tergolong kecil. Dalam data Aliansi Sumut Bersatu (ASB), penganutnya sebanyak 5026 jiwa. Di tengah-tengah bangsa dan negara Indonesia,   Golongan Parmalim diakui sebagai salah satu aliran kepercayaan, yang mendapat perlindungan hukum dari negara, bukan sebagai satu agama.

Buku-buku Bacaan:

-          Castles, L, The political life of a Sumatra residency: Tapanuli 1915-1940. A Dissertation, Yale University, 1972.

-          Hutauruk, JR, Tuhan menyertai Umat-Nya: Sejarah 125 tahun Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Pearaja-Tarutung Kantor Pusat HKBP, 1986.

-          Lumbantobing, Ph.O, The Structure of the Toba-Batak belief in the High God, South and South  Celebes East Institute  for Culture, 1963.

-          Pedersen, P.B, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-gereja Batak di Sumatera Utara, terjemahan Ny Maria Sijabat dan W.B. Sijabat, BPK Gunung Mulia, 1975.

-          Poesponegoro, M.Djuned dan Nootosusanto, Sejarah Nasiomal Indonesia IV, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

-          Poesponegoro, M.Djuned dan Nootosusanto, Sejarah Nasiomal Indonesia V, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.

-          Sangti, Batara, Sejarah Batak, Balige: Karl Sianipar Co., 1977.

-          Schreiner, L., Telah Kudengar dari ayahku: Perjumpaan Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak, Jakarta: BPK Bunung Mulia, 1978.

-          Sihombing, Sedjarah saratus taon Huria Kristen Batak Protestan: 1861-1961, Medan Philemon & Liberty, 1961.

-          Sijabat, WB, Ahu Sisingamangaraja, Jakarta: Sinar Harapan, 1983.

-          Tampubolon, Raja Patik, Pustaha Tumbaga Holing, Pematangsiantar, stensilan, ttp.

-          Warneck, J. The living Christ and dying heathenism, Michigan: Baker House, 1954.

-          -----, Kamus Batak Toba Indonesia,  terjemahan P.Leo Joosten OMFCap, Medan: Bina Media. 2001.

-          Notulen Sinode Godang HKBP di Balige 26-27 Januari  1944.

-          Notulen Sinode Godang HKBP di Sipoholon 28-29 Nopember 1946.

 

*Penulis  adalah Pensiunan Pendeta HKBP, yang dari tahun 1985-2008 bertugas sebagai dosen Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP, Pematangsiatar di bidang Sejarah Gereja. Dan setelah pensiun tahun 2016,  sekarang berdomisili di Jakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar