MENYONGSONG
RAPAT PENDETA HKBP 2019
RAPAT PENDETA HKBP 2019
Pata tanggal
21-25 Oktober 2019, akan diselenggarakan Rapat Pendeta HKBP bertempat di
Seminari Sipoholon Tarutung. Rapat pendeta adalah suatu momen yang sangat
dirindukan oleh para pendeta HKBP, karena di sana para pendeta itu akan bisa
bertemu, bisa bercekrama, bisa berbincang-bincang
saling menenceritakan pengalaman melayani di Jemaat atau pengalaman dalam rumah tangga atau keluarga. Belakangan
ini sudah ada yang membuat rapat pendeta itu semacam reuni bagi mereka yang
satu kelas atau se-angkatan pada waktu mahasiswa. Tetapi fungsi rapat pendeta sebenarnya bukan
hanya sekedar kesempatan untuk bertemu bagi para pendeta itu sendiri. Sekarang
ini diperkirakan sudah ada hampir dua ribu orang pendeta HKBP yang melayani
diberbagai daerah pelayanan di jemaat-jemaat,
dan “ulaon hatopan” (yang melayani dalam bidang umum), seperti pimpinan di
pusat, distrik, tenaga pengajar di sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga
pendidikan HKBP. Yang melayani di
jemaat, ada dari antara mereka yang melayani di jemaat pedesaan, kota-kota
kecil, kota-kota sedang, kota-kota besar, sampai kota metropolitan, seperti DKI
Jakarta. Masa waktu rapat itu tentu disengaja mulai hari Senen sore, diakhiri
hari Jumat, supaya jangan menganggung pelayanan pendeta pada hari Minggu. Walaupun
mungkin yang datang dari tempat jauh, telah datang beberapa hari lebih dulu,
dan ada juga mengambil cuti di sekitar masa rapat pendeta itu untuk bisa
mengunjungi orang tua atau sanak saudara
yang di “bona pasogit” daerah asal.
Tetapi
bagaimanapun pengaturan waktu yang dilakukan oleh masing-masing pendeta, yang
jelas momen rapat pendeta “hatopan” (umum) ini, yang diadakan sekali dua tahun
sangat menggembirakan dan mengesankan bagi para pendeta HKBP tersebut. Namun keberadaan Rapat Pendeta HKBP yang diaturkan
sedemikian tentu sudah didasari pertimbangan bahwa rapat itu sangat berguna
bagi HKBP, bukan hanya sekedar kesempatan untuk bertemu dengan sesama pendeta atau kesempatan untuk
berkunjung kepada orang tua atau sanak saudara. Sudah sejak mulanya rapat pendeta
mempunyai peranan penting untuk peningkatan pelayanan pendeta terhadap warga HKBP dalam berbagai bidang pelayanan..
Sejak adanya para pendeta Batak yang dibimbing oleh para missionar mulai dari
Seminari Pansurnapitu tahun 1883 (pendeta batak pertama tamat tahun 1885).,
kemudian berpindah ke Sipoholon tahun 1901, maka keberadaan rapat pendeta yang
khusus untuk para pendeta Batak terus
diupayakan oleh para missionar tersebut. Tujuannya ialah untuk mengembangkan, dan
memperdalam pemahaman mereka tentang “tohonan hapanditaon” itu, demi untuk meningkatkan pemahaman mereka akan tugas
pelayanan seorang pendeta di
tengah-tengah gereja atau jemaat dan masyarakat, meningkatkan kemampuan mereka untuk berpikir
secara teologis, dan meningkatkan
kemampuan untuk mengatasi berbagai tantangan dan persoalan yang timbul di
tengah-tengah gereja dan di lingkungan gereja.
Kapan mulai ada rapat pendeta HKBP memang belum diperoleh data yang pasti. Hanya dalam laporan ephorus Dr. I. L. Nommensen pada konferensi para pendeta utusan (missionar) tahun 1897 disebut bahwa sebelumnya rapat pendeta batak telah dilangsungkan. Jadi rapat pendeta batak selalui didahulukan dari konferensi para pendeta utusan (missionar). Pada awalnya tentu para pendeta utusanlah yang memberi topik ceramah bagi para pendeta batak itu dalam berbagai bidang teologi, yang khusus membicarakan soal-soal teologia atau ajaran-ajaran gereja dan tuga-tugas kependetaan, seperti di bidang khotbah, liturgi, penggembalaan, dll. Fungsi seperti itu sudah jelas terlihat pada tahun 1930n. Dalam kumpulan Notulen Rapat Pendeta HKBP 1931-1942 telah dapat dilihat, bahwa setiap rapat pendeta diisi dengan khotbah, pendalaman Alkitab, ceramah-crecamah teologis, berichkt HKBP satu tahun dari ephorus (pada waktu rapat pendeta diadakan sekali setahun), dan soal-soal yang timbul di tengah-tengah pelayanan mereka. Pada waktu itu ceramah-ceramah teologis tidak lagi hanya disampaikan oleh para missionar, tetapi juga sudah ikut oleh sesama mereka pendeta pribumi yang dianggap sudah berkemampuan untuk itu. Bahkan mulai tahun 1935 semua ceramah sudah disampaikan oleh sesama mereka pendeta Batak. Itu berarti bahwa para pendeta Batak itu telah dibiasakan untuk dapat berpikir secara mandiri di bidang teologi. Dalam setiap rapat sudah sejak awal, khotbah dan ceramah sudah selalu diusahakan tepusat ke tema rapat pendeta yang biasanya disesuaikan dengan sesuatu masalah aktual yang dihadapi dalam tugas-tugas kependetaan. Dengan pokok-pokok ceramah seperti tentang gereja, tentang iman, tentang hubungan pendeta dengan guru atau parhalado lainnya, dan juga mengenai hubungan gereja dengan bangsa atau negara, betapa juga memperlihatkan bahwa rapat pendeta juga bertujuan umtuk membenahi para pendeta dalam kemampuan berteologia dan melayani di tengah-tengah gereja dan masyarakat.
Seterusnya setelah HKBP menjadi gereja yang berdiri sendiri, lepas dari kepemiminan zending atau para missionar, dan HKBP telah sepenuhnya dipimpin oleh pendeta batak itu sendiri, maka Rapat Pendeta juga terus dilangsungkan dan dianggap sebagai cabang dari synode godang yang khusus membicarakan masalah teologis, liturgi (agenda) atau tata ibadah , konfessi, statement of faith, penggembalaan (ruhut parmahananion dohot paminsangon- RPP HKBP), buku pengajaran untuk semua kategorial warga jemaat, dan juga buku pengajaran atau katekisasi baptis, katekisasi sidi, dan juga buku pengajaran untuk calon sintua atau penatua. Sampai sekarang hal-hal seperti itulah juga yang diharapkan dari rapat pendeta. Dari situ bisa terlihat betapa pentingnya rapat pendeta itu. Karena itulah dalam setiap pelaksanaan Rapat Pendeta, “huria” (jemaat) harus mendoakannya, supaya dalam rapat itu semua para pendeta yang ikut serta, melaksanakan tugas mulia itu dengan sungguh-sungguh.
Tema yang dibuat panitia bersama Ketua rapat Pendeta untuk Rapat Pendeta tahun ini adalah sebagai berikut: “Hutangianghon do ho unang mintop haporseaonmu” (Aku berdoa untuk engkau supaya imanmu jangan padam ) (Luk. 22: 32) dan sub-tema: “Pandita HKBP marsiajar huhut patupahon ulaon panjounna asa unang mintop haporseaon di era revolusi industri na paopathon” (Pendeta HKBP belajar untuk melaksanakan tugas panggilannya supaya imannya jangan padam di era industri yang keempat”. Tentu tema ini sudah dipikirkan secara matang sesuai dengan persoalan dan tantangan yang dialami para pendeta sekarang ini. Kalau dulu perkataan ini langsung disampaikan oleh Yesus kepada murid-Nya Simon, yang juga dilihat oleh Yesus rentan tergoda dengan banyak hal seperti mencari kuasa, jabatan, kehormatan dan kemuliaan untuk dirinya karena statusnya sebagai murid Yesus, sementara juga diperhadapkan dengan ancaman untuk keselamatannya dirinya karena mengikut Yesus. Tetapi Yesus meyakinkan Simon, bahwa Yesus akan selalu berdoa untuk dirinya supaya dikuatkan dalam menghadapi godaan-godaan serta ancaman duniawi untuk dirinya. Tentu tema ini dilihat oleh panitia dan ketua rapat pendeta sangat relevan untuk para pendeta HKBP sekarang ini, di era industri yang keempat, yang membawa perubahan yang sangat cepat dalam msyarakat, terutama dalam bidang ilmu dan tehnik digital, dengan segala pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan manusia.. Banyak pendeta sekarang ini yang tergoda akan kuasa dan kemuliaan duniawi sehingga lupa bahwa dia hanya terpanggil sebagai seorang pendeta yang harus mengabdikan diri sepenuhnya untuk pelayanan Tuhan, gereja atau Kerajaan Allah. Para warga jemaat nyata-nyata melihat bahwa begitu banyak persoalan kependetaan yang terjadi belakangan ini. Banyak penempatan pendeta dirasa kurang sesuai dengan diri masing-masing pendeta itu, atau Surat-surat Kettetapan (SK) perpindahan yang tidak terlaksana, atau macet. Bahkan ada sejumlah pendeta SK perpindahannya sudah lebih setahun diterbitkan, tetapi sampai sekarang belum terlaksana. Entah apa penyebabnya, tidak begitu jelas dikerahui, atau mungkin perlu dibicarakan dalam rapat pendeta yang akan datang. Banyak juga para pendeta yang merasakan ketidak adilan dalam penempatan pendeta, karena dia tidak pernah berpindah dari desa ke kota, sementara banyak pendeta penempatannya hanya di sekitar satu kota berputar-putar (liat-liat di disi – LLD- kata orang). Ada peraturan bahwa penempatan pendeta tidak diperkenankan lebih dari dua kali dalam satu distrik, tetapi sekarang ini selama dia bertugas sebagai pendeta, dia hanya mempunyai penempatan dalam satu distrik, yang kebetulan distrik tersebut adalah kota metropolitan. Kelihatannya penempatan atau mutasi pendeta tidak mengikuti suatu pedoman atau peraturan mutasi yang sudah ada lagi. Mungkin karena pergumulan yang berat dalam menjalankan tugas panggilan itu, kita mendengar berita begitu banyak pendeta yang jatuh sakit, dan bahkan sampai meninggal dalam usia yang masih muda. Rasa persaudaraan kependetan kelihatannya juga sudah makin pudar, dan tentu kita harapkan dan doakan jangan sampai padam. Dulu pembinaan kependetaan terus dilakukan secara berkelanjutan, karena menyadari pengetahuan dan kemampuan pelayanan terus perlu ditingkatkan seiring dengan perkembangan zaman. Jangan sampai pendeta ketinggalan jauh dari kemajuan zaman. Atas dasar semakin banyaknya persoalan kependetaan yang dihadapi gereja kita sekarang ini, maka dirasa perlu mendoakan para pendeta itu lebih sungguh-sungguh oleh sesama pendeta, pimpinan HKBP, dan juga oleh “huria” (jemaat-jemaat} HKBP sendiri.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dalam Rapat Pendeta ini adalah bahwa bentuk pelayanan para pendeta itu tidak menunjukkan keseragaman lagi. Corak pelayanan atau aliran teologi para pendeta terlihat sudah bermacam-macam. Mungkin contoh kecil yang bisa disebut di sini, misalnya adalah dalam pelayanan khotbah. Sebenarnya sudah ada standar yang harus dipedomani oleh seorang pendeta dalam penyampaian khotbsh melalui bidang “homiletika” (ilmu berkhotbah). Tetapi para pendeta HKBP yang berkhotbah sekarang ini banyak yang tidak begitu mengindahkan pedoman itu lagi. Mulai dari awal sampai akhir sudah bermacam-macam cara penyampaian. Pengucapan doa pembukaan saja , sudah bermacam-macam, ada yang membuat doa yang agak panjang dulu, baru kemudian di sambung dengan doa (salam) pendeta yang sudah biasa itu, yakni: “Damai sejahtera Allah ...dst. Setelah ini pengucapan doa itu, ada lagi yang menyampaikan ungkapan salam dengan kata “syalom”. Pada hal ucapan “damai sejahtera” yang merupakan bagian dari doa pembukaan itu juga sudah merupakan ucapan salam kepada warga jemaat itu sendiri. Lalu dilanjutkan dengan membaca nats Alkitab sebagai evangelium. Di sini pun juga terlihat ketidak seragaman lagi, ada yang membacanya secara responsoria, ada yang langsung pendeta itu membaca semuanya. Dalam rapat pendeta masa yang lalu sudah pernah diputuskan agar janganlah nats evangelium itu dibaca secara responsoria, tetapi harus dibacakan semuanya oleh pengkhotbah itu sendiri dengan baik dan jelas. Alasannya, karena dengan membaca nats evangelium itu secara baik dan jelas, maka enam puluh persen dari pesan nats tersebut sudah tersampaikan kepada warga jemaat yang mendengarkan. Berhubungan dengan kebermacam-macaman cara berkhotbah ini, telah banyak pendeta karena mungkin dipengaruhi adanya anggapan bahwa pendeta yang pandai berkhotbah adalah pendeta yang ketika berkhotbah bisa membuat warga jemaat yang mendengarkan ketawa-ketawa, telah banyak pendeta yang mengutamakan kemampuan melawak dalam berkhotbah itu, hingga kadang-kadang sudah sulit membedakan yang berkhotbah dari orang yang sedang berlaku sebagai “standing up komedi” (pertunjukan lawak). Yang membedakannya hanya mungkin baju jubah yang dipakai oleh pendeta itu sendiri. Dengan demikian sering terkesan bahwa yang dipegang oleh warga jemaat itu adalah lawak dari pendeta itu bukan Firman Allah yang disampaikan. Hal lain yang membuat pendeta itu kelihatan bermacam-macam, bahwa ada pendeta yang masih menyebut kata Amin dalam penutup kata-kata berkat pendeta yang terakhir itu, walaupun sudah pernah juga diputuskan dalam rapat Pendeta, bahwa kata Amin itu tidak perlu lagi disebut oleh pendeta, tetapi langsung disambut oleh warga jemaat dengan menyanyikan kata Amin itu. Demikian juga kata-kata berkat itu, ada yang meyebut “hamu” (kamu) ada yang menyebut “ho” (engkau), pada hal seharusnya secara teologis adalah kata “ho” (engkau), sebagaimana dituliskan dalam i kata-kata “berkat imamat” dalam Bilangan 6: 24-26), dan juga dirumuskan dalam buku tata-ibadah (Agenda) HKBP. Lagi pula berkat itu kita pahami adalah ditujukan kepada person atau orang-perorangan bukan kepada persekutuan. Juga pemakaian “baju tohonan” (jubah) pendeta itu, perlu diseragamkan, dalam ibadah yang mana jubah itu bisa dipakai, dan dalam ibadah mana tidak perlu dipakai. Sekarang ini sudah ada juga pendeta yang memakai jubahnya dalam “partangiangan” (ulang) tahun warga jemaat yang dilangsungkan di rumah di rumah yang bersangkutan, hanya untuk menyenangkan hati warga jemaat itu sendiri. Mengenai hal keseragaman bentuk pelayanan pendeta dalam segala bidang pelayanannya, sudah pernah ada usul supaya ada semacam “buku pintar” yang merupakan pedoman untuk semuanya pelaksanaan pelayanan pendeta, yang tentu ini ditetapkan oleh rapat pendeta.
Pelaksnaan tata ibadah ( liturgi ) terlihat sudah bermacam-macam di HKBP, termasuk tata-ibadah kebaktian minggu, seperti dalam doa pengampunan dosa, doa sesudah “tingting” (warta), pengaturan paduan-paduan suara. Di beberapa gereja ada yang membuat musik yang “angonangon” (halus) sebelum doa pengampunan dosa itu dimulai, yang mungkin tujuannya untuk memusatkan hati warga jemaat itu dalam menyampaikan doa minta pengampunan dosa tersebut. Ada yang membuat musik itu berupa interval antara doa pengampuan dan “bagabaga hasesaan ni dosa” (janji pengampunan dosa). Kemudian ada yang membuat doa syafaat sesudah warta oleh pembaca warta atau oleh orang yang sudah dihunjuk dari warga jemaat sebagai “pendoa syafaat”. Doa sesudah warta saya ingat sudah diputuskan dalam rapat pendeta, itu ditiadakan, dan doa syafaat itu disampaikan oleh pendeta setelah selesai khotbah. Kita pahamai dulu bahwa dengan membacakan warta jemaat, itu sudah sekaligus merupakan ajakan supaya semua warga jemaat masing-masing mendoakan semua yang diwartakan itu, seperti anak lahir, yang berduka, yang akan memperoleh berkar perkawinan, dan berbagi kegiatan dari gereja itu sendiri.. Demikian juga penempatan paduan suara, ada yang menempatkan diselang-selingi di tata ibadah mulai dari selesainya pembacaan hukum Tuhan, sampai setelah warta sebelum khotbah. Tetapi ada yang memusatkannya, berapa pun banyaknya paduan suara itu ditempatkan setelah pengakuan iman, yakni sebelum dan sesudah warta. Alasannya sampai pengakuan iman, tidak diperbolehkan adanya paduan suara, supaya kehikmatan dari ibadah itu jangan terganggu oleh paduan suara yang belum tentu sesuai dengan tema minggu atau tema khotbah pada minggu itu.. Jadi semuanya ini perlu dibicarakan supaya ada keseragaman, jangan lain di “huria “ A, lain lagi di “huria” B, dan lain lagi di “huria” C. Janganlah karena meniru-niru gereja lain, kita jadi kehilangan jati diri kita sendiri di bidang tata-ibadah.
Demikian juga tata-ibadah yang lain, khususnya tata-ibadah “partumpolon” (ikat janji), yang walaupun saya tahu sudah lama ada usul supaya tata-tata ibadah partumpoLon ada dicantumkan dalam buku tata-ibadah ( Agenda) HKBP, tetapi sepertinya sampai sekarang belum ada, sehingga masing-masing “huria” atau pendeta “masibaen baenna be” (masing-masing membuat sendiri-sendiri), sesuai dengan selera atau keinginan masing-masng. Dulu kita tahu dalam “partumpolon”, yang memimpin acara itulah yang membacakan “padan” dari “pangoli dan oroan“ (calon mempelai laki-laki dan perempuan), baru setelah dikonfirmasi kebenarannya kepada ke dua belah pihak dan warga jemaat, barulah diadakan penandatanganan dari masing-masing pihak yang perjanji dan para saksi. Tetapi sekarang di banyak “huria’ tidak ada lagi pembacaan dari yang mempin acara itu, tetapi kata-kata dari “padan” (janji) itu langsung diucapkan oleh ke dua calon mempelai laki-laki dan perempuan. Karena melihat ketidak samaan itu antara “huria” yang satu dengan “huria” yang lain, maka mungkin bisa menimbulkan tanda tanya, “boasa songon on di huria on, songon di huria” (mengapa seperti ini di jemaat ini, begini di jemaat yang lain. Hal-hal seperti ini juga bisa menimbulkan persoalan.
Masih banyak lagi sebenarnya yang bisa dikatakan disini,
sebagai suatu harapan yang akan dibicarakan oleh Rapat Pendeta dengan
sungguh-sungguh demi kemajuan dan peningkatan pelayanan di tengah-tengah
jemaat. Harapan lain juga ada tentu masih banyak yang bisa dilihat oleh para
pendeta, khususnya ketua rapat pendeta yang akan memimpin rapat tersebut. Suatu
usul yang sudah lama pernah ada, yakni supaya setiap keputusan, sekecil apapun
itu, biarlah dicatat dengan baik, sehingga setiap keputusan bisa langsung dilakukan
dalam pelayanan pendeta itu sendiri. Setiap keputusan yang langsung menyangkut
“tohonan” dan pelayanan pendeta itu sendiri, tentu tidak perlu memunggu
persetujuan dari synode godang untuk melakukannya. Kalau begitu halnya tidak
ada gunanya Rapat Pendeta yang sudah dipercayakan oleh HKBP sebagai cabang dari
synode godang membicarakan hal-hal yang menyangkut persoalan
tohonan pendeta, persoalan teologis atau masalah-masalah dogma.
Demikianlah sekilas harapan kami dan kami ucapkan Selamat melangsungkan
Rapat Pendeta HKBP. Tuhan selalu memberkati.
(Penulis adalah Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th, Pendeta HKBP Emeritus)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar