KRISTOLOGI
Pdt MSM Panjaitan, MTh
Pendahuluan
Kristologi
berasal dari kata Yunani “CristoV”
(Christos) yang artinya Kristus, dan “logoV” (logos) yang
artinya ilmu atau studi yang rasioanl mengenai …. Dalam ilmu teologi,
Kristologi berarti studi mengenai
aajaran tentang Kristus, yang terpusat mengenai kehidupan, pribadi, karya dan
leilahianNya. Kristologi mempelajari
tentang Yesus yang dinyatakan nubuatan
kemesiasan, inkarnasi, pelayanannya
sebagai nabi, Imam dan Raja. Kristus berusaha menunjukkan bahwa Allah hadir dan
bekerja dalam Yesus, perantara manusia dan Allah.
Pengertian
“pengantara” terdapat hampir dalam semua agama. Semua agama membutuhkan
pengertian tentang manifestasi dari kehadiran dan kuasa yang konkrit dari Tuhan
Allah, dan proses dari pengantaraan (mediation) di antara Tuhan Allah dan
makhluk manusia. Semua agama mengerti bahwa tanpa sesuatu bentuk pengantaraan
di antara Allah dan manusia, hubungan manusia dengan Tuhan Allah menjadi tidak
mungkin, dan oleh karena itu agama tidak berarti.
Paul
Tillich mengatakan bahwa di dalam dan di antara agama-agama ada dua ‘contrary
pulls” atau daya tarik yang saling berlawanan yaitu:
1. Faktor atau unsur yang membutuhkan Tuhan
Allah dalam ke Mahakuasaannya, dalam TranscendenceNya, dalam Kemuliaannya yang
jauh malah tidak ada perbantingannya dengan alam semesta.
2. Faktor yang membutuhkan Allah yang selalu
hadir secara konkrit dalam alam semesta, dalam hidup manusia, yang menjadi
dasar dan penyokong segala sesuatu yang konkrit ada , dan yang dapat dibicarai
dan dapat didengar.
Faktor
yang pertama itu memang perlu untuk menyanggupkan kita untuk menghormati, memuja dan mematuhi
Tuhan Allah. Dan faktor yang kedua itu diperlukan untuk mempunyai Allah yang
dapat menyentuh (mangantoi) kehidupan manusia.
Tetapi ada bahaya, yaitu apabila faktor
yang pertama terlalu ditekankan oleh satu agama sehingga faktor kedua itu tidak
nampak, maka keilahian dari Allah menjadi sesuatu fikiran filsafah saja dan
tidak dapat dicapai oleh permohonan-permonohan kebutuhan manusia. Dan apabila
suatu agama menekankan faktor kedua sehingga faktor nomor satu tidak jelas maka
segala macam dari “idolatrous deification”
(penyembahan berhala) bisa terjadi. Penyembahan berhala adalah
penyembahana akan hal-hal yang konkrit
misalnya: patung, tugu, manusia yang didewakan. Dan kita melihat segala agama
di luar agama Kristen jatuh ke dalam bahaya yang memberikan tekanan yang terlalu
berat kepada salah satu dari faktor yang dua itu.
Bahaya ini dapat diatasi hanya dalam adanya
pengantara dari Allah dan manusia. Di dalam pengantara yang demikian ke dua
faktor itu mendapat pemenuhan yang sama, karena di satu pihak Dia adalah Allah
Yang mahakuasa (memenuhi faktor pertama),
dan karena Dia manusia (memenuhi faktor ke dua). Dari pengatara yang
“truly God and truly man”itulah yang dapat menjadi pengantara yang
sesungguhnya. Dari sinilah kelihatan keunikan dari agama Kristen, yaitu dengan
adanya pengajarannya tentang “Kristus Pengantara”. Dalam diri Kristus Allah
tetap “transcendens”, Tinggi dan Mulia; tetapi pada waktu yang sama dalam diri
Kristus, Allah itu menjadi konkrit, immanent, ada di tengah-tengah kita,
menyokong hidup kita dan memenuhi kebutuhan kita.
Memang pengajaran tentang Mesias yang
tersalib adalah kebodohan bagi orang-orang Yunani (orang-orang kafir), dan juga
kepada penganut agama yang bersifat mistik, karena bagi mereka Tuhan Allah
tidak mungkin masuk dalam sejarah dan karena itu tidak mungkin didapati dalam
sejarah. Tetapi bagi orang-orang Yahudi juga soal Mesias yang tersalib adalah
menjadi batu sandungan (skandalon), karena walaupun bagi orang-orang Yahudi
Tuhan Allah hadir dalam sejarah manusia, bagi
mereka seseorang pilihan Allah tidak mungkin dapat hidup sengsara dalam bentuk
yang sangat hina. Bagi mereka kepercayaan akan Mesias yang tersalib hanya
mengotori Kemuliaan Allah itu sendiri.
Ide tentang pengantaraan Tuhan Allah yang Maha Agung secara konkrit di
dalam dunia manusia terang sekali didapati juga di dalam agama Budha.
Pengertian mereka tentang Allah mencakup 3 pengertian, yakni:
1)
Buddha-buddha sorgawi (heavenly Buddhas)
2)
Buddha-buddha
yang ada dalam sejarah, pemberi ilham kepada manusia atau sumber ilham bagi
manusia.
3)
Boddhisattwas yaitu buddha-buddha yang datang dalam bentuk
manusia untuk meneguhkan kebenaran-kebenaran dan memeliharanya.
Ketiga pengertian ini sebenarnya adalah
satu kesatuan, tidak terpisah satu sama lain.
Agama
Hindu juga mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu dengan adanya pembedaan mereka akan tiga oknum dari Allah
(catatan: Budha dan Hindu sebenarnya tidak ingin memmpergunakan istilah Allah),
yaitu:
§ Brahma sebagai pencipta
§ Wisnu sebagai pemelihara
§ Shiwa sebagai pembinasa
Mereka
mengharapkan dengan pembedaan tugas dari satu-satu oknum dewa tertentu,
kebutuhan mereka akan prinsip yang kekal
yang dapat menjadi konkrit dapat dipenuhi.
Filsafat Neo-Platonisme juga membutuhkan
pemikiran yang sama; itulah sebabnya mereka membedakan “World- mind” (dunia
fikiran) dan "World- soul" (dunia jiwa) dan menempatkan adanya persimpangan
antara world-soul dengan individual souls. "World soul" itulah yang menjamin kekonkritan
dari world mind yang sebenarnya tidak konkrit.
Judaisme sebebanarnya dalam menekankan transendensi
Tuhan Allah juga membutuhkan pengertian tentang campur tanganTuhan Allah yang
demikian di dalam hidup sehari-hari. Itulah sebabnya dalam pengajaran mereka
sangat penting pengertian tentang
malaekat-malaekat, hikmat, firman, dan roh Tuhan. Dan sebagai puncak dari
pengantaraanTuhan Allah yang transcendence
itu ialah datangnya kelak “Anak
Manusia” yang akan datang dari sorga langsung dengan pemuh kemuliaan seperti
diungkapkan dalam Daniel 7. Dan sebelum
Anak Manusia itu datang, Torahlah yang berfungsi sebagai pengantara sementara
dari tuhan Allah dengan manusia.
Agama Kristen menuntut dan memberitakan
bahwa kebutuhan seluruh manusia akan kekonkritan dari Tuhan Allah yang Maha
Tinggi dapat dipenuhi, hanya dalam pribadi dan pekerjaan Yesus Kristus. Inilah
dasar kita membicarakan Kristologi.
1.
Pekerjaan Yesus Kristus
Kita
lebih dulu membicarakan pekerjaan Yesus Kristus dari pribadi Kristus oleh
karena pribadi seseorang dapat dikenal dari pekerjaannya. Memang gereja
mula-mula sangat benar sekali di dalam membicarakan pekerjaan Yesus Kristus
lebih dulu dari pada pribadinya; tetapi di dalam perkembangan dogmatik Kristen banyak sekali
pengaruh-pengaruh metaphysika Yunani. Dan oleh sebab pengaruh-p[engaruh
metaphysika ini dogmatika Kristen lambat laun membicarakan pribadi Yesus
Kristus lebih dulu dari pada pekerjaannya. Oleh karena kita ingin mengenal
pribadi Yesus yang sesungguhnya, baiklah kita lebih dulu membicarakan soal
pekerjaannya. Terlebih-lebih oleh karena Tuhan Allah sendirilah yang bekerja
dalam pribadi Yesus.
Gelar-gelar yang dikenakan kepada Yesus
Kristus menunjukkan pekerjaan Allah di dalam dirinya:
Gelar
CristoV (Kristus)
menunjukkan pekerjaan merajai dari pihak Tuhan Allah diatas bumi. Gelar “Anak Allah” menunjukkan suatu jawatan
pekerjaan. Dan janganlah kita menafsirkan istilah Anak Allah secara metafisis
atau secara biologis. Memang filsfat Yunani dari dulu kala berusaha menafsirkan
istilah Allah secara metafisis yang
biologis. Dalam pengertian Kristen gelar ini selalu menunjukkan bahwa Allah
mempercayakan segala kekuasaan pemerintahannya hanya kepada Yesus Kristus.
Mazmur 110 yang juga memakai sebutan Anak Allah ini tidak pernah ditafsirkan
oleh orang Kristen secara metafisis. Gelar
KurioV (Tuhan), juga menunjukan jabatan pekerjaan,
karena Kurios itulah Tuhan dari gereja
(suatu jawatan kekuasaan yang ada hanya dalam tangan Tuhan Allah saja.
Gelar “Immanuel”, yang sebenarnya
berarti “Allah ada bersama kita”, juga menunjukkan suatu pekerjaan. Di dalam Yesus, Tuhan Allah
bekerja memperdamaikan dunia ini dengan dirinya
( 2 Kor.5:12). Gelar: Pengantara,
Juruselamat, Penolong, Penyembuh, mempunyai arti yang sama saja dan menunjukan
satu pekerjaan yaitu pekerjaan menyelamatkan, melepaskan, menolong dan
menyembuhkan.
Jadi bukanlah secara kebetulan bahwa para
reformator terlebih-lebih J.Calvin mengajarkan adanya jawatan-jawatan dari
Yesus Kristus. Segala jabatan Yesus yang ditunjukkan oleh gelar-gelarnya itu
diperas oleh para reformator di dalam tiga pengertian yaitu tiga jabatan yang
sesuai dengan jabatan-jabatan yang ada dalam P.Lama, yakni:
§ Jabatan Nabi (Munus Propheticum)
§ Jabatan Imam (Munus Sacerdotium)
§ Jabatan Raja (Munus Regium).
Di dalam
P.Lama pekerjaan nabi-nabi ialah menyatakan dan mengungkapkan atau mengajarkan
Firman Tuhan yang datang kepada nabi yang bersangkutan. Pekerjaan Imam ialah
mengadakan korban atas nama bangsa Israel dan memberikan berkat kepada bangsa itu atas nama Tuhan Allah. Imam itu selalu berada di antara Tuhan
Allah dan bangsa Israel melaksanakan pekerjaan perdamaian di antara ke dua
belah pihak. Pekerjaan jabatan Raja
ialah untuk merajai atau memimpin bangsa Israel atas nama Tuhan Allah dan demi
untuk kemuliaan Tuhan Allah.
Di dalam P.Lama ke tiga jabatan ini sering berada dalam konflik. Itulah sebabnya
orang-orang yangmemangku jabatan itu selalau berada dalam ketegangan (tension)
karena sering kali terjadi jabatan yang satu berdada dalam pertikaian dengan
jabatan yang lain. Tetapi dalam pribadi
Jesus Kristus ke tiga jabatan itu bersatu secara harmonis oleh karena
sebenarnya ketiga jabatan itu mempunyai satu hakekat di dalam diri Jesus
Kristus. Tidak ada sedikitpun ketegangan di antara tiga jabatan itu dalam
pribadi Jesus. Ketiga-tiganya saling melengkapi satu sama lain.
1.1. Jawatan Nabi
Dalam Markus 1,21 f
kita melihat reaksi masyarakat Yahudi yang terus menerus menuduh Yesus
sebagai Rabbi. Reaksi itu dapat dibenarkan, karena Yesus dalam penampakannya
memang berfungsi sebagai Rabbi. Tetapi kerabbian itu adalah refleksi dari
jawatan Nabi dari Kristus. Malah sesudah kita mempelajari kitab Suci P.B. kita
harus mengatakan bahwa Yesus itu lebih dari seorang Nabi ( Mat. 13: 9. 17).
Memang Yohannes Pembaptis dinamai juga nabi
yang terbesar, karena dia adalah yang
terakhir dalam rentetan nabi- nabi dan dia adalah ‘forerunner” (bah. Belanda:
voorreijder, yang mendahuli) dari Kristus sebagai “the final Revelation”. Dalam
hidupnya dia menyaksikan sendiri final Revelation yang dilihatnya dengan mata
sendiri. Tetapi Yohannes Pembaptis masih tergolong ke dalam “the Old Age”
(zaman/ periode lama). Karena itu dia tidak mungkin sebagai nabi yang lebih
besar dari Nabi Yesus.
Dengan Yesus sebagai Nabi datanglah suatu
zaman yang baru (New Age). Yesus bukan hanya mengajarkan tentang zaman yang
baru yang akan datang seperti nabi-nabi dalam PL, tetapi Dia sendiri membawakan
Zaman Baru itu di dalam dirinya. Itulah sebabnya dia berhak atau berkuasa untuk
mengatakan :“legw¢umni” (lego humin: Aku berkata kepadamu0; bukanlah seperti
nabi-nabi dalam PL yang mengatakan:
demikianlah Firman Tuhan.
Nabi-nabi PL selalu menanti-nantikan Firman
Tuhan; sebelum seorang nabi menerima Firman
itu langsung dari Tuhan Allah, dia tidak berhak bicara kepada bangsa
Israel. Tetapi Yesus tidak menanti-nantikan Firman Tuhan, karena Firman itu ada
dalam dirinya sendiri. Jadi setiap waktu dia dapat mengatakan: “lego
humin”. Dengan kata lain pribadinya itu
sama dengan Firman Tuhan. Jelaslah bagi kita kenapa Injil Yohannes mengatakan
Yesus itu adalah :Firman yang menjadi daging”. Tuhan Allah bekerja dan bicara
di dalam dan melalui pekerjaan dan pembicaraan Yesus.
Bahwa pengajaran Yesus tidak boleh
dipisahkan dari hidupnya sering disangsikan oleh banyak ahli. Golongan rasionalis dan liberalis suka sekali
memandang pengajaran-pengajaran Kristus setaraf dengan pengajaran-pengajaran
dari pendiri-pendiri agama lain. Memang dapat kita mengerti kenapa pandangan
yang demikian timbul, karena dalam sejarah
pendiri-pendiri agama yang lain itu (mis. Muhammad, Buddha, dll),
pengajaran selalu terpisah dan berbeda dari hidup orang-orang yang mengajarkannya. Di antara
ahli-ahli teologi yang kenamaan seperi
Harnack(Lutheran), Thurneysen, yang bukan leberal dan bukan rationalis
juga menunjukkan kecenderungan untuk memisahkan pengajaran Yesus dari
pribadinya.
Bagi kita yang ingin setia kepada pesan Kitab Suci, pembedaan atau pemisahan
pengajaran Yesus Kristus dari pribadinya tidak dapat kita terima karena zaman
baru datang di dalam dan dengan pribadinya yang penuh dengan kuasa ke Allahan
di dalam segala Firmannya.
Dalam pengajaran-pengajarannya, Yesus tidak
merombak hukum-hukum P.Lama seperti sering dituduh oleh beberapa golongan
Kristen (gol. Adventis, Saksi Jahowa,
golongan liberal, dll). Tetapi Dia menggenapinya dengan memberi arti yang
sesunguhnya dari hukum Taurat itu, yaitu kasih yang sempurna. Oleh karena Yesus
Kristus, kita mengerti bahwa Hukum Taurat itu bukanlah hanya soal penggenapan lahiriah saja. Hukum Taurat
selalu menuntut sikap bathin yang luhur terhadap Allah dan terhadap sesama
manusia, demikian juga terhadap diri sendiri. Inti dari hukum Taurat yang lama
terpendam mau dibongkar oleh Tuhan Yesus. Itulah sebabnya orang-orang Parise menuduh Yesus
sebagai perombak hukum Taurat. Oleh
karena Taurat bukanlah soal “legal commandment”, maka jelas sekali bahwa kasih bukanlah soal lahiriah. Kalaupun
diperintahkan oleh Yesus bahwa para muridnya harus mengasihi, ini bukanlah
hukum Taurat yang lain di samping hukum Taurat yang sudah ada. Itu sebabnya
dikatakan, kasih merupakan inti yang sebenarnya dari Hukum Taurat. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Yesus.
Benar juga bahwa pengajaran Yesus bersifat
historis. Tetapi pengajarannya bukan dibatasi oleh sifat historis ini.
Sebagaimana Yesus adalah “was, is and
will come”, yang berarti telah hadir
pada waktu yang lalu, ada pada waktu sekarang dan akan ada pada waktu yang akan
datang, demikianlah pengajaran-pengajarannya
mencakup segala waktu. Ini berhubungan dengan pengertian bahwa Allah,
Kerajaan Allah, bukanlah soal yang diberitakan oleh Nabi Yesus saja, tetapi
yang dibawakan dalam Dirinya. Kerejaan Tuhan Allah dan pengajaran Yesus Kristus
dan pribadinya sendiri adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
(Catatan: Inilah yangsangat sukar diterima oleh aliran-aliran liberal). Sikap
manusia terhadap Yesus Kristus sama dengan sikapnya terhadap kerajaan Allah
sendiri. Dan sikap manusia terhadap pengajaran Yesus sama dengan sikapnya
terhadap pribadi Yesus sendiri.
Demikian juga pengajaran-pengajaran dari
para rasul tidak dapat dipisahkan dari pengajaran dan pribadi Yesus sendiri. Karena pengajaran-pengajaran para
rasul intinya adalah Kerajaan Tuhan Allah yang mempunyai kedalamannya (depth)
dan ketinggiannya (height) di dalam pribadi Yesus yang tersalib, mati dan
bangkit dari maut.
Pengertian pekerjaan Yesus tidak berakhir
di dalam pengajarannya, melainkan kepada suatu pernyataan yang tertinggi dari
Tuhan Allah, yaitu pribadinya sendiri di dalam mana Allah selalu hadir. (Yoh.
14: 9; 12:45). Yesus Kristus sendiri baik sebagai Nabi atau Imam aatau sebagai
Raja selalau menyatakan Tuhan Allah. (Yoh. 17:6). Malah boleh dikatakan bahwa
itulah kesimpulan dari hidup Yesus. Pernyataan Yesus tentang Tuhan Allah
mencapai puncaknya di dalam kematiannya dan kebangkitannya. Dalam kesengsaraan
dan kematiannya Yesus mencapai kedalaman dari hakekat manusia; di sanalah Tuhan
Allah menjumpai manusia.
Pada titik di
mana Yesus mengakhiri, melengkapkan, menutup hidupnya sebagai manusia, secara
nabi dia menyatakan tiga hal, yaitu:
1) Bahwa Tuhan Allah adalah suci dan pengasih,
penayang.
2) Bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa
di hadapan Tuhan Allah.
3) Bahwa di dalam diri Yesus sendiri, manusia
dimungkinkan hidup di dalam Tuhan Allah.
1.2. Jawatan
Imam
1. Keimaman Yesus mencapai puncaknya pada kematiannya di kayu salib. Tetapi keimaman itu bukan mulai di
kayu salib. Segenap hidupnya, termasuk pengajaran-pengajarannya adalah hidup
Imam, karena segenap hidupnya adalah tangan Allah yang diulurkan kepada manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa. Boleh dikatakan bahwa segenap hidup historis
dari Yesusadalah jalan salib (via
dolorosa).
Sangatlah salah bila kita mencoba
memisah-misahkan hidup historis Yesus dengan memandang hanya sebagian saja dari
hidupnya yang menunjukkan keimamannya. Umpamanya di kalangan Protestant
Orthodox, pernah dibedakan ke “Oboedientia activa Christi” dari “Oboedientia
passiva Christi”. Oboedientia activa
dianggap tidak mengandung nilai perdamaian. Dengan kata lain, oboedientia
activa itu tidak diangap ada hubungannya dengan jabatan Imam Kristus.
Dikatakan, hanya oboedientia passiva
yang mempunyai nilai memperdamaikan Allah dan manusia.
Bagi kita
pembedaan dan pemisahan demikian tidak dapat dibenarkan. Karena dalam
hubungan Yesus dengan BapaNya,
pengertian activa dan passiva tidak berlaku. Di dalam sikapnya yang mengiakan
rencana Tuhan Allah BapaNya (yang
kedengaran passif), dia secara
aktif memenuhi tuntutan Tuhan Allah.
Lagi pula salib itu dapat dimengerti hanya dalam sinar hidup total dari hidup
Yesus Kristuis dan sebaliknya keseluruhan hidupnya dapat dimengerti dari sinar
salib. Klimaks pekerjaan Imam Yesus Kristus yang mengorbankan dirinya itu
kedapatan justeru pada titik yang terendah yaitu cara mati dari seorang
penjahat atau yang melakukan tindak kriminal.
2. Sejak mula pertama, gereja Kristen
mula-mula mencoba mengerti apa arti salib. Kalau salib adalah event (peristiwa)
yang direncanakan Tuhan Allah, bagaimana salib itu menghasilkan
keselamatan? Tetapi adalah unik sekali
bahwa gereja mula-mula itu di dalam pemikirannya selalu mengingat kebangkitan
Yesus Kristus dari mati. Dan hanya dengan
melihat kepada kebangkitan, mereka yakin bahwa salib itu harus mempunyai
arti.Tentang kematian Yesus, kita sudah melihat murid-murid Yesus sendiri yang
menuju Emmaus, berdiskusi tentang artinya, di mana murid-murid itu mengatakan
bahwa Yesus Kristus mati sesuai dengan apa yang dikatakan Kitab Suci; dengan
perkataan lain, bahwa kematian Yesus itu menggenapi nubuatan Kitab Suci (PL), sangat mungkin sekali bagian kitab Suci yang diingat mereka adalah
Yesaya 53. Boleh dikatakan pendapat gereja mula-mula tentang matinya Yesus Kristus sejajar dengan pendapat para murid
yang menuju Emmaus.
Hanya
dengan perkembangan secara lambat laun
timbul pendapat yang sistematis dalam teologia tentang arti kematian dan salib
Yesus Kristus. Pendapat itu sampai sekarang dipertahankan gereja-gereja Kristen
yang ingin setia kepada kitab Suci. Dalam pendapat ini ada lima gambar yang
merupakan metode penafsiran akan arti kematian Yesus Kristus, yakni:
- Gambar
pengorbanan
Gambar ini melihat arti dari pengorbanan di
dalam PL. Memang di dalam semua agama, di semua bangsa selalu ada kedapatan
pengorbagan-pengorbanan yang dipikul manusia yang diuntukkan kepada Allah. Tetapi unsur yang spesifik
terdapat dalam PL ialah hubungan korban dengan pengenalan akan allah yang suci.
Korban berarti pencaharian akan pendamaian dengan Tuhan Allah yang
mahasuci, karena kenazisan manusia sudah
mendatangkan murka Allah. Dosa adalah suatu realitas, karena itu sesuatu mesti terjadi untuk
memperdamaiakan Tuhan Allah dengan manusia yang berdosa. Darah mesti mengalir,
sebagai ganti darah manusia sendiri, yang seharusnya terumpah oleh karena murka
Allah. Jadi di dalam Surat Ibrani dikatakan
bahwa Kristus itulah korban yang sebenarnya dapat dan telah mendirikan untuk
selama-lamanya perdamaian di antara Tuhan Allah yang suci dengan manusia yang
naziz.
- Gambar
yang memakai ide hukuman
Kesengsaraan Yesus di sini menggambarkan
kesengsaraan hukuman. Manusia oleh karena dosanya sebenarnya harus dihukum, dan
manusia sepatutnya berada dalam kesengsaraan yang dibawakan oleh hukuman itu.
Dengan istilah yang dipakai oleh rasul Paulus, manusia ada dalam kutuk Allah.
(Gal. 3:13; Roma 8: 1) Tetapi Yesus dengan suka rela mengambil over kepada
dirinya kutuk Allah yang seharusnya jatuh kepada manusia. Inilah yang dihunjuk
oleh Yesya 53, tentang fungsi Ebed Jahweh (hamba Tuhan) yang menderita.
Jadi gambar ke dua ini sering juga dipakai
oleh ahli teologi sejak dulu sampai
sekarang untuk menujukkan kesengsaraan, salib dari Yesus Kristus. Memang hal inilah yang paling sulit dimengerti oleh
orang-orang diluar Kristen, bagaimana
Kristus itu mau mengambil over kesusahan itu kepada dirimnya dalam hakekat “katakrima” (katakrima),
istilah Yunani, yang artinya kutuk.
Yesus mengambil alih segala kesengsaraan
itu dan menanggung akibat dosa manusia. Manusia dipindahkan ke bawah salib,
sehingga manusia lepas dari
“katakrima” itu. Karena itu banyak
yang tidak menerima hal ini, karena tidak mungkin masuk akal manusia.
Menurut
aliran Kristen yang liberal, manusia
yang percaya dapat secara langsung kepada Allah tanpa melalui Kristus.
Tetapi manusia adalah simul justus et peccator. Manusia dibenarkan (benar) dan
pada waktu yang sama adalah berdosa.
- Gambar
ikatan hutang
Dalam gambar ini manusia diartikan sebagai makhluk yang mempunyai
hubungan hutang kepada Allah, yaitu hutang yang tidak bisa dibayar. Manusia
oleh karena hutannya mempunyai masa depan yang tidak menyenangkan. Tetapi Yesus
dengan suka rela membayarkan hutang kita kepada Allah dengan hidupnya sendiri.
Dengan demikian dia membebaskan kita. (Mat. 26:28), dan menyelamatkan manusia
yang diancam oleh akibat hutang. ( 1 Petrus 1:18)
- Gambar peperangan: Tuhan berperang melawan
kuasa-kuasa Iblis
Dalam gambar ini ditunjukkan bahwa manusia
sering menjadi objek dari pertikaian antara Tuhan Allah dan iblis itu. Dengan
kata lain bahwa dalam peperangan itu
manusia sering berpindah tangan, di mana pada suatu saat dia berada di tangan
Allah dan pada saat yang lain berada di tangan iblis. Tetapi kebanayakan
manusia itu berada dalam tangan iblis yang disebut kerajaan kegelapan.
Salib atau kematian Yesus digambarkan
sebagai suatu cara Allah untuk merebut manusia dari kuasa kegelapan, dan
memindahkan manusia ke dalam tangan Tuhan Allah, yaitu Kerajaan Anaknya Yesus Kristus. (Kol. 1: 13)
- Gambar
tentang kortban Paskah
Dalam PL pengertian Paskah sangat besar
sekali. Darah domba menyebabkan orang Israel terlepas dari satu hukuman yang
direncanakan oleh Allah. Artinya dalam Paskah itu ada perjanjian di antara
Allah dan manusia yang dikhasiatkan oleh darah domba. Oleh darah domba itu
orang Israel dimungkinkan keluar dari
perbudakan Mesir.
Yesus Kristus dalam gambar ini diartikan
sebagai domba yang asli yang dicurahkan darahnya, sebagai pertanda akan
perjanjian yang baru di antara Tuhan Allah dengan umatnya. Oleh darah Kristus
itu umat Allah dimungkinkan keluar dari perhambaan iblis dan perhambaan dosa.
Sebenarnya darah Kristus itu bukan hanya berfungsi sebagai pertanda saja. Harus
dikatakan bahwa oleh darah itu perjanjian baru didirikan.
Konsep
yang lima ini memang berbeda satu sama
lain. Tetapi karena konsep ini jalin menajlin, gambar yang lima itu menjadi
suatu kesatuan yang lengkap.Semua ide itu mencoba menyatakan satu kebenaran:
kebenaran dari arti salib yang historis itu. Ide-ide itu hendak menyatakan
bahwa oleh karena dosa hubungan manusia kepada Allah menjadi hubungan yang
berbahaya, karena bersifat maut. Oleh
karena itu hanya Tuhan Allah, dengan melalui kesengsaran dan kematian Yesus
Kristus, yang dapat mengobah situasi hubungan itu. Dengan kata lain, kalau
transformasi atau perobahan total harus terjadi, itu haruslah atas tindakan Tuhan Allah sendiri;
dan tindakan ini terjadi dalam kematian di atas salib. Di luar salib,
trasformasi itu tidak mungkin terjadi. Hendaklah diingat bahwa lima gambar yang
disebut di atas bukanlah teori, tetapi gambar-gambar yang dibutuhkan untuk
menerangkan iman Kristen.
Gambar
yang lima itu juga menujuk kepada suatu misteri atau rahasia di belakang salib
itu, yaitu rahasia yang tidak bisa kita mengerti. Kenapa Allah mesti memilih
jalan salib. Dalam sejarah Dogmatika ada beberapa usaha membangun teori-teori
untuk mengertikan misteri itu. Ada dua usaha yang besar yang di dalam proses
sejarah gereja menentukan sikap ahli-ahli teologi mengenai soal ini, yakni:
Pertama, teori dari Abelardus yang dikemudian hari
mendapat julukan bapak teologi modern/ liberal.
Kedua, teori
Anselmus yang sangat banyak mempengaruhi cara berfikir dalam gereja Rk dan
reformasi.
Abelardus,
dalam teorinya yang bersifat subjektif mengajarkan sbb: Salib Kristus itu
hanyalah bukti dari kasih Allah. Oleh
karena manusia di dalam dosanya tidak dapat lagi percaya bahwa Allah itu adalah
kasih, maka Yesus harus membuktikannya di dalam kesanggupannya mati dengan
tidak bersalah atau berdosa. Dengan kata lain, melalui salib Yesus, Tuhan Allah
menolong manusia mengatasi ketidak sangupannya mempercayai bahwa Allah adalah
kasih. Segala kesukaran-kesukaran kita untuk mempercayai Allah diambil oleh
Yesus sendiri agar mata kita dan hati kita dimungkinkan terbuka. Dengan
demikian orang yang percaya (orang yang telah terbuka mata dan hatinya) dapat
memberikan respons kepada Tuhan Allah. Nyata dalam pengajaran itu tidak
dibicarakan bahwa ada perdamaian, juga tidak dibicarakan akibat dari salib itu
kepada orang berdosa. Yang ditekankan ialah iman manusia saja, yang dapat
timbul oleh karena salib, yaitu iman sebagai perbuatan manusia. Itulah sebabnya
pengajaran ini dikatakan bersifat subjektik. Iman itu adalah subjektif.
Di
kemudian hari timbullah teologi-teologi yang ingin memaparkan pengajaran
Abeardus itu dan teologi inilah yang disebut teologi liberal. Umpamanya,
Schleirmacher , seorang teolog abad 19, mengajarkan bahwa perdamaian
(reconsiliation) atau atonement ialah terhapusnya sedikit demi sedikit
kesukaran-kesukaran dan frustrasi-frustrasi setiap hari di bawah pengaruh
Kristus. Dan inilah inti dari teologi liberal, yang hanya mementingkan tindakan
manusia saja. Dengan kata lain menurut Schleirmacher, agama Kristen adalah soal
“perasaan bergantung kepada Tuhan Allah”. Makin tebal perasaan tergantung ini
makin besar kemungkinan mengatasi frustrasi-frustrasi seiap hari.
Catatan: menurut kita soal beragama bukanlah soal
perasaan. Karena sering perasaan kita bergantung kepada situasi. Kasih
sehari-haripun, kalau hanya bergantung kepada perasaan bukanlah kasih yang
sejati, karena perasaan tidak pernah menunjukkan hakekat yang sebenarnya dari
manusia. Tetapi terlepas dari kita merasakan atau pun tidak, kita tetap di
bawah naungan kasih Allah. Itu sebabnya bagi kita, pagi-pagi kita berdoa
menyerahkan segala sesuatu yang akan terjadi bagi kita pada hari itu. Salib
Kristus itu berlaku sekali untuk segala zaman.
Dan seong filsuf yang bernama Fichte
mengatakan lebih jauh. Kesengsaraan manusia bukanlah oleh karena dosa dan
kesalahannya dan bukan pula oleh karena dia terpisah dari Allah. Akan tetapi
kesengsaraan itu ialah rasa bersalah, rasa berdosa, rasa terpisah dari Allkah.
Secara objektif menurut dia menusia tidak berdosa, bersalah terhadap Allah. Yang penting ialah
mengatasi dan menghapuskan perasaan ini. Dengan kata lain menurut Fichte,
kesengsaraan manusia disebabkan oleh misunderstanding. Tuhan Allah adalah tetap
Allah yang Mahakasih. Tetapi karena manusia salah mengerti maka dianggaplah
Tuhan Allah itu Allah yang murka. Perdamaian adalah penghapuskan dan
pengatasian akan perasaan –perasaan yang ditimbulkan oleh misunderstanding itu.
Anselmus
dalam bukunya “Cur Deus Homo” (mengapa
Allahmenjadi manusia) mengajukan suatu pengertian tentang arti salib yang
sangat berlainan sekali dengan fikiran Abelardus di atas. Buku ini sampai
sekarang dipakai baik oleh gereja RK maupun oleh gereja Protestan. Menurut
Anselmus untuk menyelamatkan manusia yang sudah seharusnya dimusnahkan maut dan
untuk mengadakan perdamaian di antara Tuhan Allah yang Mahsuci dan manusia yang
murtad, Tuhan Allah “tidak boleh tidak harus memilih jalan salib. Jadi lain
dari yang dikatakan oleh Abelardus, pelepasan menurut Anselmus terdiri dari
tindakan Allah sendiri biarpun manusia dalam dosanya tidak mengerti akan jalan
yang diplih oleh Allah. Dalam seluruh sistem dunia, Anselmus memberi tekanan
kepada perbuatan Allah sedemikian rupa sehingga iman manusia hampir tidak
mendapat tempat dalam pemikirannya. Jadi kalau pengajaran Abelardus disebutkan
teori yang subjektif, maka pengajaran Anselumus ini disebutkan teori yang
objektif. Anselmus malah mengatakan
bahwa Tuhan Allah tidak dapat memilih jalan lain dari pada jalan salib; dan
implikasi dari pengajarannya itu, iman manusia tidak diperlukan untuk
keselamatan.
Sebenarnya
soal kenapanya terjadi salib belum dapat dijawab secara pengertian manusia.
Semua pendapat ahli-ahli teologi hanyalah merupakan usaha saja. Rasul Paulus sendiri melihat salib Kristus dari
sudut “kutuk dari Hukum Taurat” (bura ni patik i) . Kutuk Tauratlah yang
mengharuskan manusia sengsara dan mati. Dan Yesus Kristus sengsara dan mati
adalah sebagai ganti manusia. Perceraian manusia dari Tuhan Allah adalah
persitiwa yang objetif, yaitu perceraian yang disebabkan oleh dosa yang
sesungguhnya ada secara objektif. Kalau begitu perceraian itu bukanlah
misunderstanding (salah pengertian) dari manusia sebagaimana diajarkan oleh
Abelardus dan kawan-kawannya. Kekuatan dari perceraian itu sebenarnya datang
dari Tuhan Allah sendiri melalui Hukum Taurat Oleh karena itu manusia tidak
dapat memperbaiki perceraian yang telah ada, karena dia tidak dapat menghapus dosanya sendiri.
Dosanya harus ditiadakan oleh Allah sendiri. Dengan kata lain, hubungan antara
Tuhan Allah dengan manusia harus diperbaiki oleh Tuhan Allah sendiri.
Tetapi
menurut rasul Paulus, perbuatan Tuhan Allah yang menghapuskan dosa melalui
kematian Yesus Kristus, perbuatan yang
adalah memperbaiki kembali hubungan yang
telah rusak, harus diterima manusia dengan iman. Jadi bagi rasul Paulus arti
dari salib Kistus mempunyai aspek yang
objektif dan subjektif: Pengampunan dosa
di dalam salib sebagai tindakan Tuhan Allah adalah nyata (objektif), tetapi
iman manusia (subjektif) harus juga nyata menerimanya.
Kita
melihat kebenaran ini hanya apabila kita dihadapmukakan dengan salib Yesus
Kristus itu sendiri. Dengan kata lain, kebenaran ini bukanlah kebenaran
rasionil. Untuk mengertikan ini kita membutuhkan pernyataan. Di dalam sinar
pernyataan dan di dalam sinar iman, kita melihat bagaimana besarnya tindakan
Allah dalam memperbaiki hubungan yang telah putus di antara Dia sendiri dan
manusia. Di dalam sinar itu kita sungguh-sungguh menginsyafi keadaan kita kita
yang sebenarnya dan pada waktu yang sama kita diperkenankan melihat dan
mengecap arti salib Yesus sebagai bentuk kasih Allah.
Beberapa
ahli teologi kurang melihat hubungan salib Kristus dengan pantulan dosa. Alasan
yang selalu dikemukakan ialah
perumpamaan tentang anak yang hilang. Dikatakan bahwa dalam perumpamaan
tersebut anak yang hilang itu dapat dengan sendirinya datang kepada bapanya dan
dosanya diampuni begitu saja. Di sana tidak ada arti pengorbanan dari sudut
bapanya. Tetapi terhadap golongan ini dapat dikatakan bahwa:
1) Mereka melupakan konteks dari perumpamaan
itu. Memang yang ditekankan oleh Yesus dalam perumpamaan itu ialah kedudukan
orang-orang Yahudi sebagai anak sulung, yang hanya membanggakan statusnya
sebagai anak sulung. Dan dalam perumpamaan ini Yesus juga menekankan bahwa
orang-orang kafir yang datang kepada Tuhan Allah menyebabkan kegembiraan yang
lebih besar dari orang-orang Yahudi yang selalu bersungut-sungut. Di sini Yesus
ingin mengingatkan rencana total dari Tuhan Allah.
2) Golongan ini juga melupakan bahwa yang
mengatakan perumpamaan ini bukanlah seorang nabi PL, tetapi perumpamaan ini justeru dikatakan oleh
Yesus sendiri yang pada dirinya adalah merupakan jalan kepada Tuhan Allah. Dengan
kata lain, jalan itu sendirilah yang berkata di sini. Perumpamaan ini belum
mengandaikan bahwa pengorbanan dari
pihak Tuhan Allah tidak diperlukan. Malah sebaliknya dia yang mengatakan
perumpamaan ini, dia sajalah yang memungkinkan manusia menyesal dan datang kepada
Tuhan Allah melalui dia sumber dari perumpamaan itu.
Rasul
Paulus sendiri memang hanya kadang-kadang melihat pengampunan dosa dalam
hubungannya dengan pengorbanan Yesus.
Tetapi secara keseluruhan dalam tulisan-tulisannya, rasul Paulus lebih
banyak menghubungkan kematian Yesus dengan kutuk Taurat yang seharusnya
ditujukan kepada manusia.
Memang soal pengampunan dosa adalah sesuatu
yang tidak adil dari sudut fikiran manusia. Suatu negara yang mengampuni begitu
saja suatu perbuatan jahat dari seorang kriminil memang tidak adil. Dan dari
kenyataan hidup, kita mengerti bahwa pengampunan dosa yang diberikan begitu
saja malah dapat merusak orang yang diampuni, karena orang yang diampuni itu
nantinya bisa mendapat pengertian yang kabur tentang apa yang baik dan apa yang
jahat. Memang hukuman mempunyai fungsi yang positif dalam hidup ini, yang
kelihatan dari segala macam hukuman yang dikenal manusia. Lihatlah misalnya
anak yang dalam kenakalannya tidak pernah dihukum oleh orang tuanya akan
menjadi anak yang kelak tidak mengerti
akan nilai-nilai moral. Lihat juga seorang murid yang tidak mau atau yang malas
belajar, kalau dia selalu diampuni saja dalam kemalasannya oleh gurunya dengan
terus menerus memberi dia naik kelas, kelak dia akan menjadi seorang sarjana yang
tidak dapat mengisi arti dari gelarnya itu. Demikian juga halnya manusia yang
berdosa harus mendapat hukuman di dalam keberdosaannya yaitu dalam bentuk
kesengsaraan dan maut. Dan hukuman ilahi itu harus berjalan demi kasih dan demi
kesucian Tuhan Allah. Tetapi prosedur pelaksanan hukuman itu mengambil bentuk
yang lain. Tuhan Allah menghukum manusia di dalam kesengsaraan dan kematian
Kristus, karena manusia Yesus itulah manusia yang sebenarnya (asli). Jadi orang
yang berpartisipasi dalam hidup Yesus dia sudah mendapat hukuman, tetapi
itul;ah juga yang menjadi pengampunan dosa. Kebenaran inilah yang ditunjuk oleh
pengertian teologi yang mengatakan bahwa
pengampunan dosa itu adalah bukti dari kebenaran Allah.
Tetapi haruslah kita ingat bahwa di dalam
sejarah kerajaan Allah di atas bumi ada perbedaan bentuk-bentuk pengampunan dosa sesuai dengan perbedaan-perbedaan pernyataan Tuhan Allah di dalam sejarah
yaitu: Bentuk pengampunan dosa dalam PL adalah sesuatu pengampunan dosa yang
diberikan Tuhan Allah dengan menerima
korban-korban makanan dan dengan pelarian ke dalam Baith Allah untuk
memegang tanduk mezbah. (cacatan: dari
latar belang ini keselamatan itu sering
juga disebut: ‘tanduk haluan” atau tanduk keselamatan; dalam hal yang disebut
belakang ini sebenarnya pengampunan dosa
hanya bersifat sementara karena hanya berupa kelepasan sementara dari
orang-orang murka.
Selanjutnya pengampunan dosa dalam zaman
hidup Yesus mengambil bentuk yang lain pula. Di sana Yesus langsung mengtakan
kepada orang-orang yang bersangkutan: “dosamu telah diampuni”. Pengampunan dosa
sejak peristiwa salib sampai sekarang adalah hasil dari pekerjaan Roh Kudus
yang mengenakan buah-buah dari kesengsaraan dan salib Kristus kepada
orang-orang yang bertobat.
Dalam zaman sesudah peristiwa salib
pengampunan dosa dapat berarti dan dapat dihayati apabila manusia oleh
pekerjaan Roh Kudus dapat mengindetifikasikan dirinya dengan Yesus yang
tersalib. Kita membutuhkan pernyataan dari Roh Kudus untuk mengerti akan
pengampunan dosa yang dibawakan oleh salib Kristus. Hanya oleh Roh Kudus kita
mengerti bahwa murka Allah sebenarnya tidak sama dengan kasih Allah. Kasih
adalah sifat hakiki dari Tuhan Allah, tetapi murka itu hanyalah hubungan
orang-orang berdosa kepada Tuhan Allah.
Jadi di dalam pekerjaan perdamaian
Yesus nampaklah kebenaran asli yaitu bahwa dalam kebenarannya, Tuhan
Allah selalu mengasihi manusia. Inilah sebabnya pengorbanan perdamaian dari
Yesus sebagai Imam menjadi pusat dari berita Injil Perjanjian Baru.
1.3. Jabatan Raja dari Yesus
Biasanya dalam uraian-uraian teologis dari
gereja-gereja Kristen, jabatan Raja dari Yesus kurang mendapat perhatian yang
secukupnya. Ini dapat dimengerti karena orang-orang beriman takut menimbulkan
salah pengertian yaitu pengertian yang seolah-olah menyamakan pekerjaan Injil
dari gereja dengan perbaikan masyarakat. Telah pernah terjadi bahwa segolongan
orang-orang Kristen menganjurkan agar pekerjaan Injil dari gereja harus
mengutamakan perbaikan masyarakat dari manusia yang diinjili. Itulah misalnya yang dianjurkan oleh aliran “Social Gospel” yang didirikan oleh
Rauschenbusch pada abad 19 yang lalu.
Idenya yang kemudian dituangkan dalam sebuah buku yang berjudul “Social Gospel” mudah sekali menjalar karena memang ada
unsur-unsur kebenaran di dalamnya, yaitu agar gereja janganlah hendaknya tutup mata terhadap keadaan masyarakat dan
keagamaan sekitar.
Tetapi pendapat itu sebenarnya tidak benar karena
menyamakan kekuasaan Yesus sebagai raja
dengan kesanggupan gereja mentransformir
(mengobah) masyarakat sekitar dari keadaan miskin ke dalam keadaan makmur.
Pemberitaan Kristus tidak pernah senyawa dengan aktivitas-aktivitas social.
Orang-orang Kristen bisa saja secara aktif dan berhasil memperbaiki masyarakat
tanpa iman akan Kristus.
Tetapi
ketakutan akan terjadinya salah pengertian sebenarnya tidak merupakan
alasan yang dibenarkan untuk kurang memperhatikan jabatan Raja dari Yesus Tuhan
kita. Di dalam PL kita melihat kerajaan
Israel sebagai kerajaan Teokrasi yaitu suatu prinsip yang mengakui Tuhan Allah
langsung sebagai Raja bangsa itu, tetapi yang merajai dengan perantaraan atau melalui raja-raja.
Oleh karena itu sistem kerajaan Israel dalam PL sangat unik dan tidak dapat
diperbandingkan dengan bentuk-bentuk kerajaan yang lain dalam sejarah manusia.
Dikatakan juga bahwa pada permulaan dari teokrasi yakni sewaktu bangsa Israel melakukan pemilihan raja yang pertama, Tuhan Allahlah
yang langsung mengadakan kampanye tentang raja Saul. Hanya dalam proses
perkembangan selanjutnya dalam sejarah Israel, pemilu tidak diadakan lagi,
sehingga arti dari demokrasi itu akan kabur.
Tetapi di dalam berjalannya teokrasi itu
para nabi terus menubuatkan tentang datangnya Kerajaan Allah yang jauh lebih
sempurna dari pada teokrasi yang dikenal Israel pada waktu itu. Ini berarti
bahwa teokrasi PL hanyalah merupakan
pendahuluan kepada teokrasi yang datang.
Dalam pengertian teokrasi memang manusialah
yang memerintah, tetapi Allahlah yang mengangkat raja itu melalui rakyat atau
umatnya. Itu makanya raja itu selalu dikoreksi oleh nabi-nabi. Kemuliaan Allah
akan menjadi rusak apabila raja itu menyeleweng.Johannes Pembaptis yang dalam
pekerjaannya merupakan nabi terakhir dalam rentetan nabi-nabi PL dengan tegas
menyerukan kepada orang-orang Israel agar bangsa itu bertobat, karena Kerajaan
Allah sudah dekat. Pengertian sudah dekat dalam khotbah Yohannes Pembaptis
menunjukkan bahwa Kerajaan Allah yang dikhotbahkan itu akan dapat dialami,
dilihat dan didengar sebelum generasi itu mati. Secara sadar atau tidak,
khotbah pertobatan dari Yohannes Pembaptis menunjuk langsung kepada Yesus. Dan
apabila Yesus memproklamirkan datangnya Kerajaan Allah, Dia sebenarnya
memproklamirkan datangnya kerajaan itu di dalam dirinya. Seandainya Yesus hanya
meproklamirkan saja tanpa membawakan kerajaan itu di dalam dirinya dia akan
merupakan nabi saja. Tetapi dengan
datangnya Yesus, zaman baru juga datang kepada mansia. Dirinyalah yang membawa
kerajaan Allah. Mengkonfronter Yesus sama dengan mengkonfronter Kerajaan Allah.
Sewaktu dia berkata “legw ¢umin “, itu dikatakan dalam wibawa kerajaan.
Kerajaan yang dibawakan oleh Yesus Kristus sangat berbeda dengan kerajaan yang dijalankan sistem manusia, karena di
dalam kerajaan yang dibawakan oleh Yesus terdapat kejujuran, keadilan,
anuggerah, kebenaran dan damai sejahtera. Sebenarnya kerajaan itu belum
lengkap atau belum sempurna datangnya
kepada manusia. Manusia dalam sejarah masih harus mengatakan bahwa kerajaan itu
akan datang kelak. Tujuan sejarah ialah agar pada akhirnya kehendak Allah
sajalah yang terjadi, dan semua manusia menjadi patuh kepada kehendak Allah.
Bahwa kerajaan itu masih sesuatu yang diharapkan akan datang, kelihatan juga
dari doa yang diajarkan oleh pembawa kerajaan itu sendiri (Yesus), yang
mengatakan: “Datanglah kerajaanmu; jadilah kehendakmu di bumi seperti di
sorga”.
Kerajaan Allah bukanlah sesuatu kerajaan
yang hanya menuntut apapun dan memberikan syaarat-syarat saja. Kerajaan
terutama adalah pemberian (gift), karena kerajaan itu sama dengan kuasa Tuhan
Allah untuk melepaskan, menyelamatkan, mengampuni dan sama dengan kehadirannya
yang selalu memberikan persekutuan.Oleh karena itu, Raja dalam kerajaan itu
bukan merajai dengan kuasa yang sewenang-wenang melainkan dengan kasih. Di
dalam kasih dia dalam kerajaan itu melawan kuasa-kuasa kegelapan. Pekerjaan
kuasa dari raja itu sangatlah berlainan dari tindakan-tindakan keuasaan yang
kita kenal di dunia ini. Salib yang
diartikan manusia sebagai kebodohan, kelemahan, kehinaan dan kekalahan, tetapi
justeru itulah bentuk dari tindakan kekuasaab Allah untuk mengalahkan
kuasa-kuasa yang jahat. Oleh karena itu di dalam kerajaan Allah, barangsiapa
yang menghayati arti dari salib, dan yang sanggup memikul salib, itulah
orang-orang atau warga yang sanggup mengalahkan kuasa Iblis. Melalui arti salib,
Tuhan Allah merajai di dalam hati orang-orang percaya. Dan barangsiapa yang
menghayati kerajaan Allah di dalam hatinya dialah yang dapat mengatasi
konflik-konflik di antara kehenadak Allah dan kehendak pribadi.
Apakah artinya bahwa Yesus Raja atas segalanya
. (Mat. 28:18; Epes. 1: 20 ff). Haruslah dibedakan pengertian “Yesus adalah
raja atas segala-galanya” dan pengertian
“Yesus adalah raja dari orang-orag percaya”.
Bahwa Yesus adalah “Raja atas segala-galanya” (Raja di luar
gereja), itu adalah dalam arti
“potential dominion” atau dalam arti “propective”. Haruslah kita bedakan yang
potential dari yang actual. Bahwa segala lutut akan bersembah di hadapan
kebesaran sang Raja Yesus, belumlah merupakan peristiwa yang actual. Peristiwa
itu masih merupakan soal eschatolis. Memang benar bahwa di atas salib, Iblis
secara prinsipiel telah dikalahkan, tetapi iblis itu masih mempunyai kekuatan untuk berontak. Dan
selama iblis masih mempunyai kekuatan ini, maka belum semua lutut dapat
bersembah kepada Raja Yesus.
Sehubungan dengan belum nyatanya secara
sempurna kerejaan Yesus di luar gereja,maka pemerintahan sekular masih sangat
berguna di tengah-tengah umat mansia. Dengan kata lain, adanya pemerintahan
sekuler adalah bukti bahwa kesempurnaan kerajaan Yesus belum nampak di dalam
sejarah. Apabila kerajaan Yesus mengandung
“agape” 0kasih) sebagai satu-satunya bentuk dan cara memerintah, maka
pemerintakan sekuler masih memerlukan hukum-hukum paksaan, polisi, dan angkatan bersenjata. Hal-hal ini
perlu, karena di dalam sistem pemerintahan sekuler tidak ada “agape”. Sekali pemerintah sekuler memaki
agape, pada saat itu sistem pemerintahan
itu sendiri akan bobrok. Oleh karena itu, apabila kita katakan Yesus adalah raja atas segala
pemerintahan, pengertian itu harus kita pakai secara hati-hati.
Aktualitas atau kenyataan dari “Yesus
adalah Raja”, hanyalah terdapat di
antara manusia yang sungguh-sungguh telah nyata bersembah kepada Yesus
yaitu gereja. Gereja yang merupakan persekutuan dari orang-orang yang imannya
dan pelayanannya bersatu di dalam kasih Yesus Kristus. Hanya dalam gereja
kerajaan itu dapat direaliser. Tetapi menurut gereja Protestan, gereja itu
sendiri belum sempurna, karena orang-orang percaya yang menjadi warganya masih
merupakan manusia di dalam daging. Kita masih menanti-nantikan kenyataan yang
sempurna dari “Yesus sebagai Raja”. Musuh terakhir, yaitu maut harus lebih dahulu dimusnahkan . (I Kor.15:26) Hanya sesudah itu terjadi, baru bisa
dinyatakan bahwa semua musuh-musuhnya
berada di bawah kaki Yesus. Sebelum itu terjadi perlawanan di antara kerajaan
Yesus Kristus dan kerajaan-kerajaan
kegelapan masih terus berlangsung. Di dalam iman, kita mengharapkan dan melihat
kemenangan terakhir di dalam tangan Yesus. Jaminan dari kemeangan itu ada dalam
kebangkitan Yesus dari maut.
1.4. Jabatan yang tiga itu sebagai satu kesatuan
Pernyataan ( yang dilakukan oleh Yesus
sebagai Nabi), Perdamaian (yang dilakukan Yesus sebagai Imam), dan kuasa yang
bekerja (yang dilakukan Yesus sebagai
Raja), adalah tiga aspek dari satu hal yang sama, yaitu realitas dari pekerjaan
Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus untuk kita. Di dalam PB ketiga aspek itu
dibeda-bedakan dan kadang-kadang pembedaan itu sangat tajam, tetapi
pembeda-bedaan itu mempunyai latar-belakang yang sama. Di dalam surat Kolosse
2:15, ketiga aspek itu nyata mempunyai satu kesatuan. Sejajar dengan keadaan manusia kita melihat
fungsi dari ketiga aspek itu:
1) Di dalam keadaan buta dari manusia yang
berjalan di dalam kegelapan, Yesus membawakan pernyataan terang.
2) Di dalam keadaan berdosa dan bersalah dari
manusia Yesus membawa pengampunan.
3) Di dalam keadaan merajai diri sendiri,
Yesus mencipta hati yang baru yang dapat diperintah oleh Dia sendiri.
Manusia sebagai ciptaan baru dari Yesus
akan menjadi nyata dan sempuna apabila iman sudah berlalu (tidak perlu lagi).
2.
Pribadi Yesus Kristus
2.1. Kemanusiaan
Yesus
Kitab Suci memperkenalkan Yesus kepada kita
pertama-tama sebagai manusia, lalu sebagai Tuhan dari seluruh alam semesta, dan
kemudian sebagai Allah sendiri. Bahwa
Dia adalah manusia bisa nyata dari pemberitaan Kitab Suci itu sendiri yang
mengatakan bahwa Yesus lahir di bawah
Hukum Taurat dan lahir dari seorang perempuan (Gal. 4:4). Ini berarti bahwa Dia lahir sebagai anak seorang Yahudi. Dia
hidup dan dididik sesuai dengan tradisi
Yahudi. Selanjutnya dikatakan bahwa Dia mengalami pertumbuhan sesuai
dengan hukum-hukum alam. (Luk. 2:52) dan ini sekaligus menunjukkan bahwa Dia
mengalami keterbatasan seperti kita: dia makan, tidur, mengalami sakit dan
mati.
2.1.1.
Arti
dari Yesus manusia seperti kita
Sejak abad ke 5 M di dalam gereja Kristen
ada pengertian tentang Yesus sebagai ‘vere homo” (truly human, benar-benar manusia). Istilah itu menunjukkan bahwa kemanusiaan Yesus bukanlah sesuatu yang semu.
Kita melihat dalam sejarah hidup Yeus, dia
bekerja juga sebagai manusia harus bekerja. Di dalam Mark. 6: 3 disebutkan
bahwa pekerjaannya adalah tukang kayu, seperti bapaknya Yosep yang juga adalah
seorang tukang kayu. Di dalam menjalankan ke-Messiasannya, pekerjaannya adalah
seperti Rabbi yang bepergian di tempat yang berlainnan untuk mengajar. Tidak
ada sedikitpun indikasi dalam Kitab Suci yang menunjukkan seolah-olah dia
manusia yang memandang hina akan pekerjaan. Dia malah mengatakan bahwa
sebagaimana Bapaknya di sorga adalah bekerja, demikian juga dia bekerja.
Apakah
Yesus sebagai manusia juga berdosa seperti kita? Di dalam Roma 8:3, dikatakan bahwa daging
Yesus serupa dengan daging yang dikuasai
dosa. Tetapi keserupaan itu hanyalah dalam taraf gejala saja. Sesuatu yang suci
bisa saja mengambil bentuk yang dalam taraf gejala serupa dengan bentuk-bentuk
yang najis. Di dalam Ibrani 4: 5,
disebutkan bahwa Yesus, sama seperti kita telah dicobai tetapi dia sendiri
tidak berdosa. Dan Yesus sendiri dalam Yoh. 8: 46, mengatakan tentang dirinya
bahwa Dia tidak berbuat dosa.
Menurut fikiran manusia, ketidak berdosaan
Yesus adalah sesuatu yang mustahil, apalagi di dalam dunia filsafat dikatakan
bahwa apapun yang mengalami perkembangan dengan sendirinya berrarti berada
dalam keterbatasan, dan apa yang terbatas berarti tidak sempurna, dan apapun
yang tidak sempurna berarti di dalam kekuarangan baik di dalam arti badani
maupun di dalam arti rohani. Dan barang siapa yang berkekurangan di dalam hidup
kerohanian tentu hidup di dalam dosa. Demikianlah cara berfikir filsafat.
Apabila gereja Kristen mengatakan bahwa
Yesus mengalami perkembangan sebagai manusia, tetapi dia tidak berdosa,
gereja Kristen dengan statement itu telah merusak pengertian rationill dari
manusia. Memang soal Yesus sebagai manusia yang tidak berdosa adalah terutama
soal iman yang dibuahkan oleh Roh Kudus. Stament itu bukanlah sebagai konklusi
dari proses berfikir rationil.
Tentang pengetahuanpun manusia Yesus
terbatas seperti kita. (Mark. 13: 32). Dan Luk. 2: 52 mengatakan bahwa ; “Yesus makin bertambah besar dan bertambah
hikmatnya”. Seorang yang bertambah hikmatnya adalah orang yang tidak sempurna
dalam pengetahuan, karena sekiranya dia sempurna tentu dia tidak bertambah. Di
Getsemane juga dia berdoa seperti kita yang tidak mengetahui masa depan. Gereja
Kristen tidak malu bahwa Yesus Tuhannya di dalam bentuk kemanusiaannya tidak
tahu sama sekali akan ilmu pengetahuan-pengetahuan modern.
2.1.2.
Manusia
Yesus tidak seperti kita
a. Di dalam kemanusiaannya Yesus bersatu
dengan kehendak Tuhan Allah, di dalam kesatuan dimana dia sungguh-sungguh taat
dan patuh kepada Tuhan Allah, yang menyebabkan dia sanggup melayani di dalam
kasih, bahkan mengorbankan dirinya demi keselamatan manusia. Malah harus
dikatakan bahwa dialah , dalam bentuk kemanusiaannya, personifikasi
(perwujudan) dari kasih Allah. Dalam hal ini tidak ada seorangpun manusia yang
serupa dengan Yesus.
b. Tidak ada seorang makhluk pun yang dapat
menyerupai Yesus dalam kesanggupannya mengadakan mujizat setiap saat. Walaupun
banyak manusia yang dapat melakukan sesuatu pekerjaan yang besar umpamanya
dengan memakai tenaga dalam, namun tidak
ada manusia yang pada setiap saat yang disukai dapat menyembuhkan orang sakit
dan membangkitkan orang mati.
c. Ketidak serupaan Yesus dengan manusia juga
dapat diterangkan dari sudut otoritas (kuasa) ke messiasannya. Inilah juga
yang membedakan Yesus dari segala nabi-nabi. Kalau nabi-nabi hanya memberitakan
kerajaan Allah, Yesus membawakan kerajaan Allah itu di dalam dirinya. Kerajaan yang
dibawakan itulah yang menjamin keaslian dan kehebatan dari otoritasnya. Memang
semua ini adalah soal mempercayai atau tidak mempercayai. Di dalam realitas
sejarah, Yesus telah membuktikan bahwa
Dialah Kristus itu, tetapi hanya imanlah yang dapat melihat dan menerima
kenyataan sejarah itu. Jadi mempercayai Yesus adalah Kristus, sama dengan
mempercayai Yesus sebagai Anak Allah. Dan itu sama dengan mempercayai bahwa
Yesus manusia itu adalah Allah yang
sesungguhnya.
d. Semua manusia mengakui bahwa Yesus sebagai
pribadi historis (hidup dalam sejarah manusia). Tetapi bukan semua manusia
mengakui sifat keberadaannya itu yang supra historis, di mana Yesus itu datang dari luar sejarah,
melebihi dari pada yang pernah ada dalam sejarah. Ini disebabkan oleh karena manusia
yang tidak mengakui itu lebih dahulu menolak kenyataan dari kebangkitan Yesus.
Para rasul sendiri tidak pernah membicarakan sifat supra-historis dari Yesus
sebelum kebangkitannya. Baru sesudah kebangkitannya segala-galanya menjadi
terang bagi mereka. Di dalam kebangkitan
Yesus nampak “the beyond breaks into history” (yang di luar memasuki sejarah).
Dan segala sesuatu yang terjadi dalam sejarah sesudah itu merupakan “historical
continuum” (akibat-akibat/efek/ gelombang sejarah). Rasul Paulus sendiri
melihat sukarnya soal ini dimengerti manusia. Itulah sebabnya dia mengatakan
dalam Kissah 10: 40.41, bahwa pengertian
sifat supra historis dari Yesus tidak mungkin diperoleh orang-orang yang tidak
percaya. Di dalam kebangkitan Yesus kita sebenarnya menghadapi suatu sejarah
yang lain coraknya dari pada sejarah hidup Yesus sebelum kematiannya. Hidup
Yesus sebelum kematiannya dapat dimengerti dan dibahas manusia dari segala
sudut, tetapi kebangkitannya merupakan sesuatu yang jelas sekali ada di luar
pengertian manusia. Kebangkitan ini pada hakekatnya adalah soal dipercayai atau
tidak dipercayai. Tetapi bagi rasul Paulus, kebangkitan itulah justeru yang
menjadi “stand point” (titk bediri)
untuk memberitakan dan mengajarkan tentang Yesus, sehingga kita dapat mengatakan
bahwa segala pengajaran yang mendalam tentang Yesus Kristus adalah buah dari
perjumpaan dan “encounter” (penghadap
mukaan) dengan Yesus yang bangkit.
e. Banyak sekali teologi Kristen suka
mengertikan kemanusiaan Yesus yang bukan serupa dengan kemanusiaan kita dari
sudut pengajaran “virgin birth” (kelahiran Yesus tanpa ayah, atau lahir dari
anak dara). Tetapi bagi kita kebenaran dari “virgin birth” atau kepalsuannya
bukan menjadi soal iman. Kita melihat bahwa di dalam PB, hanya Matius dan Lukas
yang menyebutkan kelahiran Yesus tanpa ayah manusia. Rasul Paulus dan Yohannes
menulis tanpa mengetahui soal “virgin birth”; demikian juga para rasul lainnya
tidak pernah menuliskan tentang “virgin birth”. Karena itu kita tidak salah apabila meragukan
kebenaran dari “virgin birth itu. Ke Allahan dari manusia Yesus tidak penah
dijamin dan ditentukan oleh “kelahiran tanpa ayah”. Itulah sebabnya bagi kita,
soal virgin birth tidak pernah menjadi
inti dari kerugma. Inti dari kerugma Kitab Suci
adalah bahwa Yesus mati untuk keselamatan kita dan bahwa dia bangkit
menaklukkan maut untuk kita.
2.2. Ke-Allahan
Yesus
2.2.1.
Yesus
Kristus Anak Allah
Kitab Suci penuh dengan kesaksian bahwa
Yesus itu adalah Anak Allah, bukan saja
Mesias dalam pengertian Yudaisme. Statusnya sebagai Anak Allah meliputi
pengertian bahwa dia adalah juga “the
Revealer”(yang menyatakan), yang sangat lain sekali sifatnya dari sifat-sifat
nabi-nabi. Status Anak Allah itu jugalah yang menyebabkan dia sebagaimana disebut dalam Kitab Suci, Imam
dan Penebus. Walaupun banyak tafsiran yang berlain-lainan tentang Yohannes 14:
9, di dalam mana Yesus mengatakan: “Barangsiapa melihat Aku dia juga melihat
Bapa”, bagi kita hal itu sudah jelas yaitu di mana Yesus berada di situlah
Allah berada. Dengan kata lain, apa yang dikatakan Yesus adalah perkataan Allah
sendiri. Keberadaannya tidak terlepas dari keberadaan Allah sendiri. Paling
tidak dalam kenyataan ini, kita dapat mengertikan ke Anak-an Yesus dalam hubungannya dengan Allah. Karla
Barth lebih terang mengatakan” “Apa yang diiperbuat Yesus adalah perbuatan
Allah sendiri”. Namun pandangn ini adalah pandangan yang bersifat “Christo
centris”.
2.2.2.
Ke
Allahan yang kekal dari Yesus
Kesaksian-kesaksian yang pertama dari
gereja Kristen mula-mula, sebenarnya tidak menyebut-nyebut “pre-existensi” dari
Yesus. Demikian juga surat-surat pertama
dari rasul Pulus tidak menyebutkan pre-existen;
tema yang terutama dari surat-surat itu ialah pekerjaan Yesus. Tetapi di
dalam surat-suratnya yang terakhir memang ada juga pengertian pre-existence,
tetapi pengertian ini hanyalah menjadi dasar dari pengertiannya tentang
pekerjaan Yesus. Ini perlu agar pengertian tentang pekerjaan Yesus jangan
dipisah-pisahkan dari kehendak Allah yang kekal.
Hanya Yohannes di dalam Injilnya menyebut
dengan jelas mengenai pre-existensi dari Yesus. (ps. 1). Tetapi harus kita
ingat bahwa urutan tulisan-tulisan dalam
Kitab Suci adalah atas pimpinan Roh Kudus. Jadi bukanlah kebetulan bahwa dalam
urutan tulisan di dalam Kitab Suci, Injil Yohannes ditempatkan sesudah Injil
Synopsis. Injil Synopsis menekankan pekerjaan Yesus yang historis; sedangkan
Yohannes menekankan pekerjaan Yesus yang bersifat supra-historis dengan
menyebut-nyebut pre-existensi dari Yesus. Dengan kata lain dalam urutan tulisan-tulisan Kitab Suci, kita
dibimbing untuk mengenal Yesus dari sifatnya yang historis dan dengan demikian
makin mengenal sifatnya yang supra-historis. Ini sesuai juga dengan pengalaman manusia secara
pribadi. Manusia mula-mula mengenal Yesus sebagai manusia lalu dalam pengalaman
kerohaniannya lambat laun diperkenankan dengan pengenalan akan Yesus sebagai
Allah.
Tetapi kemudian gereja Kristen segera
membalikkan urutan itu. Gereja kemudian mengajarkan lebih
dulu pre-existensi dari Yesus, baru mengajarkan pekerjaan-pekerjaan-Nya dalam
kemanusiaan-Nya. Sebenarnya pembalikan persoalan ini
kurang baik, karena dengan demikian gereja seolah-olah takut kepada
prinsip-prinsip yang ada di dalam prosedur berfikir secara filsafat. Filsafat
selalu mengutamakan dan mendahulukan urutan yang logis. Memang sangat logis
untuk membicarakan dan mempercayai pre-existensi Yesus lebih dahulu dari pada
hidupnya dan pekerjaannya sebagai manusia. Tetapi gereja tidak seharusnya
mengutamakan urutan-urutan logika yang demikian, karena Kitab Suci sendiri
dalam urutan-urutan yang ada di dalamnya ingin lebih dahulu membicarakan Yesus
manusia, sedangkan pengertian tentang pre-existensi dipakai sebagai dasar untuk
mengerti kemanusiaan itu. Kenapa kita
harus mempercayai Yesus sebagai Anak Allah yang kekal, ialah:
1) Oleh karena Kitab Suci sendiri dalam
otoritasnya mengatakan bahwa Yesus sebagai
Anak Allah sendiri. Dengan kata lain Kitab Suci menunjukkan dan
memberikan kepada kita Yesus Kristus sebagai Anak Allah.
2) Tiap orang yang beriman selalu menjumpai
Yesus sebagai Anak Allah, sebagaimana juga para rasul menjumpai Yesus sebagai
Kristus. Sejarah Gereja belum pernah menunjukkan kepada kita adanya seseorang yang sungguh beriman yaang di dalam
pengalaman kerohaniannya menjumpai Yesus hanya sebagaimana atau hanya sebagai setengah Allah.
Di dalam sejarah gereja ada tiga teori
tentang ke Allahan Yesus yang sama sekali tidak kita terima, yakni:
a. Adoptionisme, yang timbul dalam abad ke
dua.
Aliran ini mendasarkan pandangannya tentang
ke Anakan Yesus hanya atas Maz. 110 dan Roma 1: 3 ff. Menurut mereka pada
mulanya Yesus adalah “jiloV anqropoV” (manusia
biasa. Tetapi dalam peristiwa pembaptisannya dia dipenuhi Roh Tuhan yang menyebabkan dia mempunyai otoritas
yang besar di tengah-tengah manusia zamannya. Ruh Tuhan itulah juga yang
memungkinkan dia mengadakan mujizat-mujizat dan pekerjaan-pekerjaan besar
lainnya. Baru pada peristiwa kebangkitannya dari maut, dia diadopsi oleh Allah menjadi Anaknya. Kita tentu menolak pandangan ini karena
dengan demikian sebelum kebangkitannya, Yesus tidak lain tarafnya dari pada
taraf nabi-nabi PL. Pada hal Kitab Suci jelas sekali
mengatakan bahwa Yesus bukan hanya nabi
saja. Adapun teks yang dua itu yang selalu dihadapmukakan oleh golongan Adopsianisme, menuru kita harus
ditafsirkan dalam sinar tertentu, yaitu dalam sinar kesatuan Kitab Suci. Sekali
kita berhasil memisahkan tiap-tiap ayat
dari kesatuan Kitab Suci, kita akan terjerumus ke dalam teologi yang tidak
punya arti.
b. Sabellianisme.
Aliran ini tidak mengindahkan sama sekali
perbedaan di antara Allah Bapa dan Allah Anak, sedemikian rupa sehingga mereka
mengatakan bahwa yang tersalib di Golgata ialah Allah Bapa itu sendiri. Itulah
sebabnya golongan Sabellianisme ini
juga disebut “Patripassianisme”.
Terhadap pandangan ini kita juga harus
hati-hati, karena kita mengenal Yesus baik di dalam kemanusiaannya maupun di
dalam pre-exixtensinya sebagai Anak Allah yang bukanlah Allah Bapa. Inilah
sebabnya pula bagi kita pengertian
Trinititas yang membeda-bedakan ( sekali pun tidak memisahkan) fungsi dari tiga
oknum di dalam kesatuan Trintas.
c. Arianisme. Aliran ini adalah pengikut
ajaran Arius, yang pendapatnya mengenai hubungan Yesus dengan Allah Bapa dikutuk dalam konsili Nicea tahun
325. Menurut aliran ini, Yesus memang mempunyai sifat ilahi, tetapi dia
bukanlah Allah. Yesus diciptakan oleh Allah, walaupun tarafnya lebih tinggi
dari taraf malaekat. Jadi status Yesus sub-ordinate (di bawah taraf) Allah.
Terhadap
Adoptianisme, Sabbellianisme, Arianisme, para bapak gereja melemparkan
kritik-kritik yang didasarkan atas pengertian Kitab Suci. Pendirian para bapak
gereja berbunyi sebagai berikut: Hanya
Allah yang dapat menyatakan Allah. Dan Yesus itu dilahirkan dari kekal, bukan
diciptakan.; dan dia bukan juga makhluk atau malaekat, tetapi Allah dari kekal sampai kekal. Begitulah kesimpulan
dari pengertian teologis dari para bapak
gereja tentang Tuhan Yesus. Sampai sekarng gereja-gereja Kristen (yang bukan
merupakan sekte atau bidat) mempunyai pendirian yang sama. Berdasarkan pendirian Kitab Suci tersebut,
orang-orang Kristen (gereja) mau mengatakan bahwa Yesus Kristus itu adalah
Allah sendiri yang ada dari kekal sampai kekal. Dan inilah sebabnya Yesus
Kristus adalah pernyataan yang mutlak
dari Tuhan Allah dan menjadi Tuhan di atas segala-galanya.
2.2.3.
Inkarnasi
Anak Allah
Yesus mengatakan tentang dirinya sendiri dalam
Mat.9:13, bahwa dia datang (maksud inkarnasinya) untuk memanggil orang-orang
berdosa ke dalam pertobatan. Dalam konteks lain dikatakan bahwa Dia datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani.
(Mat. 20: 28; bd. Mat. 5:17; 10: 34; 18:11).
Inkarnasi Yesus menjadi manusia, berarti satu saja
yaitu: bahwa Allah datang kepada
manusia. Inilah kenyataan yang paling fundamentil yang disajikan oleh
pernyataan kitab Suci. Kedatangan Allah kepada manusia selaras dengan
pengertian kedatangan kerajaan Allah dalam bentuk baru. Segala nubuatan
dipenuhi oleh kedatangan Messias yang di dalamnya Allah hadir. Kedatangan
Messias inilah yang memungkinkan kita mengerti arti dari “Immanuel”, dan arti
dari ungkapan yang mengatakan; “Aku adalah Allahmu dan kamu adalah bangsaKu”, “Aku bersamamu” ( I am with you). Kita harus mengakui bahwa di dalam Kitab
Suci tidak ada satu ayat pun yang memberitakan bagaimana cara terjadinya
inkarnasi . Kitab Suci hanya menceritakan kenyataan dari inkarnasi itu. ( Roma
8: 3; II Kor.8: 9; Fil. 2: 6 dan Yohannes 1:14). Bagaimana Yesus meninggalkan
ke allahannya dan menjadi manusia tidak disebutkan cara-carnya.
Memang biasanya orang-orang kristen suka menerangkan
cara inkarnasi itu dari sudut “virgin birth”
(kelahiran dari anak dara), yang diceritakan oleh Mateus. Tetapi seperti sudah
diterangkankan sebelumnya, mujizat yang besar tentang inkarnasi Yesus bukanlah
di dalam pengertian “virgin birth”, melainkan hanya di dalam hal: “bahwa Yesus yang adalah Anak Allah dari kekal datang dari diri Allah
menjadi manusia”. Itulah mujizat yang sebesar-besarnya.
2.2.4.
Pengertian
tentang dua tabiat Yesus
Adalah sangat logis untuk menanyakan, bagaimanakah
tabiat dari Yesus, satukah atau dua kah. Gereja Kristen sejak dahulu kala
sampai sekarang mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang soal ini. Umpamanya Nestorius berpendapat bahwa Yesus
mempunyai dua tabiat yang sama besar, yaitu
tabiat ke allahan dan tabiat kemanusiaan. Tabiat ke allahan dan tabiat
kemanusiaan itu terpisah satu sama lain, bagaikan minyak dan air dalam suatu
wadah. Pengajaran yang disebut “diophysitisme” ini tidak bisa kita
tolak begitu saja, karena kita sendiri selalu memberitakan bahwa Yesus adalah
Allah dan manusia.
Tetapi Cyrillus mengajarkan yang sebaliknya, yaitu
bahwa Yesus mempunyai satu tabiat saja,
di mana tabiat kemanusiaan dan tabiat ke
allahan itu telah bercampur, di mana dalam
percampuran itu tabiat ke allahanlah yang menguasai tabiat kemanusiaan.
Percampuran itu sering digambarkan bagaikan percampuran susu dengan air.
Pengajaran Cyrillus yang disebut “monophysistisme”
ini juga tidak bisa ditolak begitu saja, karena Yesus memang adalah satu
pribadi; dan satu pribadi tidak mungkin mempunyai dua tabiat. Ada yang mengatakan bahwa pengajaran M.Luther
lebih condong ke monophysitisme (pro Cyrillus), sedangkan pengajaran Calvin
lebih condong diophysitisme (pro Nestorius).
Sebenarnya secara biologis boleh dikatakan bahwa
monophysistisme benar, tetapi diophysistisme juga tidak salah. Apabila kita
memikirkan soal tabiat Yesus, pada waktu yang sama kita juga mengikuti
monophysitisme dan diophysitisme. Pengertia “vere
deus, vere homo” (benar-benar Allah,
benar-benar manusia, disajikan Kitab
Suci kepada kita sebagai suatu rahasia ilahi. Kitab Suci tidak memberikan
uraian yang logis dan uraian filosofis tentang itu. Segala konklusi yang
rasionil tentang soal tabiat Yesus adalah duga-dugaan saja. Penyelidikan
Alkitab tidak membantah aliran monophysitisme dan juga tidak menolak aliran
diophysitisme.
Monphysitisme benar dengan alasan bahwa: kalau
dikatakan Yesus adalah pernyataan Allah, pengertian itu mengandaikan dan
meliputi pengertian bahwa Yesus secara
keseluruhan dan secara kesatuan merupakan pernyataan Allah. Badannya dan bahkan
kelemahan-kelemahannya sebagai manusia termasuk unsur-unsur ilahi yang sangat
azasi di dalam kenyataan sebagai pernyataan Allah. Dengan kata lain: bukanlah
hanya pengajarnnya dan khotbah-khotbahnya yang merupakan pernyataan Allah,
tetapi segenap existensinya sebagai satu kesatuan; badannya juga ikut sebagai pernyataan Allah. Justeru
tentang Yesus yang tersalib itulah Yohannes mengatakan: “kamu telah memandang kemuliaan-Nya”. (Yoh. 3: 14).
Diophysitisme juga dibenarkan dengan alasan sbb: logos
tidak pernah berobah (trasformed , Batak” “mangilulu”) menjadi daging. Biarpun bukan begitu maksud
dari monphysitisme, orang sering dengan
mudah salah mengerti akan pengertian yang diajarkan oleh monophysitisme tentang
kesatuan tabiat Yesus. Jadi dalam hal
menolak kemungkinan salah pengertian itu,
diophysitisme memang benar dalam hal menekankan bahwa tubuh Kristus adalah benar-benar tubuh manusia dan ke
allahannya benar-benar ilahi.
Sebenarnya soal monophysitisme dan diophysitisme
adalah spekulasi yang terlalu abstrak, yang sebenarnya kurang berguna untuk
mengertikan kepribadian Yesus. Pemikiran itu timbul hanya sebagai jawab
terhadap soal yang salah, yaitu soal “virgin birth” dan soal “QeotokoV” (Theotokos).
2.2.5.
Tuhan
yang bangkit dan yang dimuliakan
Titik terakhir yang berupa klimaks dari “kenosis” (pengosongan diri bd. Fil. 2:6 dst.) Anak manusia itu ialah kematiannya di kayu
salib. Bentuk
hamba yang dikenakan kepada dirinya yang merupakan kepatuhan yang sempurna
berakhir di atas salib. Dengan kata lain, kematian di atas salib merupakan
penyempurnaan dari inkarnasinya. Dia lahir seperti kita, mati seperti kita,
tetapi dalam matinya di masuk ke dalam suatu kedalaman yang tidak pernah
dialami manusia, menggantikan manusia itu sendiri. Tidak ada manusia yang
menyadari secara penuh saat-saat kedatangan kematiannya, dan tidak ada manusia yang dengan penuh kesadaran menuju
neraka. Secara teologis harus dikatakan bahwa di dalam kesengsaraan Yesus yang
secara penuh disadari itu sampai masuknya ke neraka, Tuhan Allah secara mutlak menghayati hidup kita untuk
keselamatan kita sendiri. Tetapi
sebenarnya justeru dalam hal inilah
kemenangan (victory) dari Tuhan Allah dinyatakan. Karena iblis tidak dapat bertahan di hadapan kasih Allah yang
disalurkan dalam bentuk kesengsaraan dan kehinaan. Kesanggupan Anak Allah itu
sendiri memasuki maut dan neraka, itulah
yang mengatasi dan memenangkan segala daya upaya dan cara-cara iblis.
Apakah pengertian dari
“Descensus ad inferos” (turun ke
dalam neraka). Sejak lama pengertian ini menimbulkan faham yang berbeda-beda di
dalam gereja Kristen. Sumber perbedaan disebabkan oleh istilah-istilah yang
berlainan yang dipakai oleh I Petrus 3 dan 4..
Bahwa asli dari Pengakuan Iman Rasuli memakai istilah neraka (hell); sedangkan
bahasa yang dipakai dalam I Petrus 3: 19 dan I Petrus 4: 6) ial;ah ‘adhV (hades; dunia orang mati) Martin Luther
berdasarkan ayat-ayat dalam I Petrus ini menganggap bahwa kematian Yesus di
atas kayu salib dan turunnya ke “hades” sebagai dua peristiwa yang berlainan.
Menurut M.Luther, puncak dari kehinaan dan kesengsaraan Yesus terjadi di atas salib saja. Oleh karena
itu turunnya Yesus ke “hades” sudah merupakan titik permulaan dari
kemuliaannya. Di dalam status kemuliaannya inilah Yesus berkhotbah kepada
roh-roh orang mati yang selama hidupnya belum mendengarkan berita Injil
keselamatan.

















M.Luther J.Calvin
Status kehinaan= salib dan kematiannya
Status kemuliaan
mulai dari kebangkitan
Status
Kehinaan kemuliaan Status kemuliaan
Status kehinaan/
Neraka
neraka
Bagi
M. Luther, status kehinaan Yesus mulai dari di kandungnya Yesus oleh Maria
sampai kematianya. Status kemuliaannya
mulai dari dikuburnya dia selama
tiga hari, karena pada saat itu Luther yakin bahwa Yesus berkhotbah kepada
roh-roh orang mati.
Sejak
dahulu kala sampai sekarang ada banyak fikiran yang bertentangan tentang 1 Petrus 3: 19 dan 1 Petrus 4: 6, yaitu
tentang kunjungan Yesus kepada roh-roh orang mati untuk menyampakan Injil
kesukaan kepada mereka. Menurut
pendirian kita soal maut adalah rahasia Tuhan, tetapi tidak salah untuk mengatakan
bahwa Tuhan itu adalah juga Tuhan dari
orang yang hidup dan orang yang mati. Ini berarti bahwa walaupun manusia mati
secara total, Tuhan Allah berkuasa penuh atas orang-orang mati itu. Tetapi pengertian ini tidak harus berarti bahwa Yesus di
dalam kematiannya yang tiga hari itu, di mana dikatakan dia mengunjungi
roh-roh orang mati, menjadi titik permulaan penguasaan Allah atas orang mati. Pengertian yang salah akan 1
Petrus 3: 19 dan 1 Petrus 4: 6, telah menimbulkan paling sedikit teologi tentang rahasia maut, yang membedakan
tempat orang-orang mati atas tiga macam, yakni:
Gehenna, Sheol dan Paradise.
Dikatakan
bahwa Gehenna ialah tempat bagi
orang-orang mati yang selama hidupnya telah menolak Kristus walaupun dia telah
mendengar pemberitaan Injil. Bagi
roh-roh ini tidak ada
lagi kemungkinan bertobat. Jadi Gehenna
merupakan tempat sementara bagi mereka,
sebelum roh-roh itu dimasukkan ke dalam
neraka.
Sheol (hades), katanya adalah tempat bagi roh-roh
dari orang-orang mati yang selama hidupnya tidak pernah mendengarkan Injil tentang Kristus (seperti nenek moyang kita
dahulu kala). Dikatakan bawa Kristus selama kematiannya yang tiga hari itu
pergi keberkhotbah ke Sheol atau hades ini, untuk memperkenalkan dirinya
sebagai Juruselamat bagi roh-roh yang masih belum percaya sebelumnya.
Paradise,
katanya adalah tempat bagi roh-roh orang mati yang selama hidupnya telah
mendengar Injil Kristus dan telah menerima Jesus Kristus sebagai Juru selamatnya. Ditambahkan bahwa roh-roh ini
juga disuruh mengunjungi hades untuk berkhorbah, memungkinkan pertobatan di antara roh-roh yang
ada di dalamnya. Sudah terang bahwa
Paradise adalah tempat pendahuluan dari sorga yang sesungguhnya.
Teori
ini sampai sekarang populer sekali karena
mudah dimengerti dan sangat menarik. Malah gereja RK menambahkan lagi
satu pengertian, yang mengatakan bahwa segala roh dari orang-orang mati yang
dinilai belum cukup suci untuk dimasukkan langsung ke sorga dan belum cukup jahat untuk dimasukkan langsung
ke neraka, harus lebih dahulu dimasukan ke dalam tempat “api penyucian” ( bahasa Batak: api parpitapitaan;
purgatory). Dari tempat inilah roh-roh dipilih, mana yang akan dimasukkan ke dalam Paradise, dan mana yang akan
dimasukkan ke Hades dan ke Gehenna. Ada tiga hal yang menentukan tempat mana
yang akan dituju oleh sesuatu roh, yakni:
1) Perbuatan orang itu selama hidupnya
2) Doa dari gereja untuk dia secara khusus
3) Amal dan perbuatan-perbuatan dari sanak
saudaranya yang masih hidup.
Apabila
seorang atau beberapa sanak- saudara dari seseorang yang telah mati memberikan
amal atau pemberian-pemberian kepada gereja untuk keselamatan roh orang mati tersebut, maka tentu gereja
(para Imam) akan mendoakan roh orang mati itu secara lebih sungguh-sungguh. Dan
apabila faktor-faktor ini disertai pula
oleh kenyataan bahwa orang yang mati itu
pernah sesekali melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya maka proses
perpindahan dari tempat api penyucian itu ke Paradise makin dipercepat
Teori-teori
yang tersebut di atas tidak dapat kita terima. Lepas dari persoalan yang
disebut 1 Petrus 3 dan 4 itu, Kitab Suci
selalu membicarakan tentang Kristus sebagai Tuhan
yang telah bangkit, dan segala-galanya ditinjau dari sudut kenyataan ini . Lihat 1 Kor. 15: 17, tanpa kebangkitan Kristus, Injil tidak akan ada, dan
gereja Kristenpun tidak mungkin ada di atas dunia.
Memang
secara khronologis pemberitaan dari ke empat Injil dan pemberitaan dari rasul
Paulus tentang kebangkitan Kristus tidak sama, dan tidak dapat dipaksakan dalam
satu teori yang harmonis. Umpamnya menurut Paulus dalam I Korintus 15, Kristus
bangkit pada hari yang ketiga dan segera menampakkan diri kepada Kefas, lalu
kepada murid-murid yang dua belas orang dan kepada saudara-saudaranya lima
ratus orang sekaligus. Urutan ini dan juga tempat yang disebut berbeda dari
pemberitaan empat penginjil lainnya. Tetapi dalam perbedaan-perbedaan itu ada
juga kesamaan yaitu bahwa kebangkitan itu terjadi pada hari ke tiga dan kuburan
itu benar-benar kosong. Hal ini cukup menjadi bukti tentang kebangkitan Yesus,
ditambah pula dengan kenyataan bahwa
para murid itu memang bertemu lagi dengan Tuhan yang telah bangkit itu. Jadi
walaupun urutan khronologis dari peristiwa kebangkitan itu berbeda-beda, yang
penting ialah bahwa kebangkitan itu bukan khayal dari murid-muridnya. Mereka
benar-benar mengalami perjumpaan dengan Yesus.
Kenaikan
ke sorga
Menurut
Injil Lukas kenaikan ke sorga terjadi empat puluih hari sesudah kebangkitan
dari maut. Kitab Suci kurang memberi tekanan tentang arti
berita Lukas ini. Entah di tempat mana Yesus berpisah dari murid-muridnya dan
entah kapan itu terjadi kurang ditekankan oleh Kitab Suci sebagai keseluruhan.
Ini dapat kita mengerti karena pengertian kenaikan ke sorga hanya merupakan
“overgang” di antara kebangkitan dan duduknya Yesus di sebelah kanan Allah Bapa yang di sorga. Namun demikian peristiwa ini
merupakan suatu titik dalam status
kemulian Yesus. Sebagaimana Yesus naik ke sorga, tempat asalnya, demikianlah
juga orang-orang beriman akan dipindahkan ke sorga. Inilah pengertian teologis
yang terletak sebagai latar-belakang di dalam peristiwa yang diceritakan oleh
Lukas.
Lebih
penting dari itu ialah bahwa dia didudukkan di sebelah kanan Allah Bapa di
sorga. Inilah titik puncak di dalam status kemuliaan Yesus. Sebenarnya
pengertian “sebelah kanan” adalah suatu simbol saja, karena Tuhan Allah tidak
dibatasi oleh ruangan yang mempunyai dimensi kiri dan kanan. Tuhan Allah
mengatasi pengertian ruangan. Jadi pengertian duduk di sebelah kanan,
menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Yesus. Di dalam kemuliaan inilah dia menjadi
“hakim atas orang yang hidup dan yang mati”. Pengertian yang terakhir ini
berarti bahwa Dia selalu campur tangan atas affair-affair
orang yang masih hidup. Hal inilah yang menjadi kegembiraan bagi orang-orang
beriman. Dia lah juga yang menjadi pemegang kuasa maut, makanya orang mati juga
berada di dalam kuasanya.
Tentu
semuanya ini adalah soal iman saja, karena kita belum mepersaksikannya dalam
bentuk yang dimengerti oleh dunia. Tetapi akan tiba waktunya “ kita akan
melihat Dia sebagaimana Dia ada”, yaitu apabila kita kelak “menjadi serupa
dengan Dia”. ( I Yoh. 3:2) (msm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar