Rabu, 09 Oktober 2019

SAKRAMEN

SAKRAMEN
(Pdt MSM Panjaitan, MTh)

Pendahuluan
      Biasanya dalam  ajaran gereja Protestan, Firman dan Sakramen adalah merupakan “means of grace” (alat-alat anugerah). Tetapi secara praktis, gereja Protestan memberi tekanan yang sangat berat akan arti Firman, karena Sakramen selalu ditafsirkan sebagai “Firman yang kelihatan”, firman  yang konkrit, yang dapat dijamah atau dimakan.
 Istilah sakramen, yang berasal dari kata Latin “sacramentum”, dipakai untuk menerjemahkan kata Yunani  " musthrion” ( mysterion), yang  artinya msiteri,  rahasia.  Kata yang dipakai oleh gereja pada mulanya untuk menyebut perbuatan-perbuatan kudus gereja  yang dianggap sebagai sesuatu yang  bersifat rahasia. Augustinus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan bahwa Sakramen adalah Firman yang kelihatan  dalam unsur duniawi  bagi kita yang masih di dunia ini.  Pemikiran inilah juga yang mendasari konsep M.Luther, di mana dia mengatakan bahwa Sakramen adalah tindakan suci Tuhan Allah di dalam  alat-alat yang kelihatan, yang dipergunakan sebagai saluran anugerahnya yang tidak kelihatan  (invisible). Malah ada kecenderungan dalam aliran Protestan yang mengatakan bahwa  Sakramen adalah sebahagian dari  Firman Allah.
Bagi gereja-gereja Protestan, hanya ada dua sakramen yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sedangkan gereja Roma Katolik  mengajarkan adanya tujuh sakramen yaitu:  1.  Baptisan;  2. Confirmation (Konfirmasi – peneguhan iman); 3.  Pengakuan dosa (Penance);  4. Missa (Eukaristi – Perjamuan Kudus);  5. Peminyakan terakhir (Final Unction) bagi orang sakit yang mau meninggal);  6.  Penahbisan Imam;  7. Nikah (Pemberkatan Perkawinan).
Bagi  bapak-bapak reformasi,  lima dari antara yang tujuh itu kurang berlandaskan Kitab Suci, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sakramen.  Tetapi walaupun gereja-gereja pengikut reformasi sama-sama mengakui hanya ada dua sakramen, tetapi gereja-gereja tersebut mempunyai tafsiran yang berbeda-beda mengenai  makna dari sakramen itu. Misalnya bagi Zwingli, Baptisan dan Perjamuan Kudus itu hanya  simbol saja.

1.      Baptisan

1.1. Pembaptisan sebagai Sakramen kelahiran baru

Sebenarnya hampir di semua agama ada upacara yang menyerupai baptisan, kalaupun tidak semuanya dilakukan dalam bentuk air.Tujuannya ialah untuk memasukkan orang yang dibaptis itu menjadi anggota dari persekutuan agama itu, dan orang  itu telah dianggap memasuki kehidupan yang baru yaitu  hidup dari golongan orang yang membaptis itu.
Apabila Yohannes Pembaptis memberikan baptisan pengampunan dosa,  janganlah itu disamakan dengan pembaptisan Yesus Kristus. Inilah dasar kita untuk tidak menerima  ajaran dari sekte lain, seperti: Pentakosta,  yang mendasarkan pemahamannya akan  baptisan itu seperti pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes Pembaptis. Pembaptisan Yohannes tidak sama dengan pembaptisan  Yesus Kristus, karena pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes bukanlah merupakan alat anugerah. Baptisan yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan murid-muridnya dalam Mat. 28: 18-20 adalah alat anugerah, sedangkan baptisan Yohannes hanya  merupakan baptisan pertobatan.
Dalam Mat. 28: 18-20,  Kristus memberikan mandat kepada murid-muridnya,  yang disebut dengan  “the Great Commission” (Amanat Agung).  Tetapi walaupun mandat itu diberikan kepada murid-muridnya, itu bukan berarti bahwa baptisan  yang dijalankan  itu  merupakan pekerjaan murid-murid  yang disuruh tersebut. Pada hakekatnya baptisan itu adalah pekerjaan Roh Kudus, bukan pekerjaan manusia. Pekerjaan membaptiskan  adalah juga dalam rangka menjadikan  yang dibaptis itu menjadi murid Yesus, yang setelah itu mengajarkan kepada mereka  untuk melakukan apa yang telah diperintahkan (diajarkan) oleh Yesus kepada murid-muridnya itu. Jadi memang dalam amanat itu  disebut pertama baptiskan baru ajarkan.  Berdasarkan inilah kita boleh membenarkan perbuatan-perbuatan  gereja-gereja yang lebih dahulu membaptiskan anak sebelum diajarkan kepada mereka. Tetapi ini memang bukan merupakan ketentuan yang absolut bahwa lebih dahulu membaptiskan baru mengajarkan. Di daerah-daerah Zending di mana kita lebih dahulu mendekati orang-orang yang sudah dewasa, tentu saja  pengajaran kekristenanlah yang lebih dahulu diberikan kepada mereka supaya dengan demikian mereka dapat  memahaminya dan menumbuhkan iman kepercayaan bagi mereka.
Tetapi hal yang lebih penting yang dapat kita lihat dari Amanat Agung Tuhan Yesus di Mat. 28: 18-20 itu ialah  bahwa baptisan itu diadakan dalam perspektif  “kehadiran Yesus Kristus”, karena disana Yesus Kristus mengatakan: “ketahuilah, Aku menyertai kamu  sampai  kepada akhir zaman”. Kalau begitu, para rasul atau para pendeta di kemudian, hanyalah merupakan alat dari yang memberikan “kehadiran Yesus Kristus itu”.


1.2. Pembaptisan itu disebut “menyelamatkan”

                Dalam I Petrus 3: 20-21 disebutkan bahwa orang yang bersangkutan diselamatkan dengan air, yang menghunjuk kepada keselamatn Nuh dan keluarganya. Sebagaimana Nuh diselamatkan dengan air, demikian juga orang-orang Kristen diselamatkan melalui baptisan. Baptisan itu dimaksudkan bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani,  melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Jadi di sini air baptisan itu diartikan sebagai kebangkitan  Yesus Kristus.
            Selanjutnya Paulus  dalam Titus 3: 5-7, mengatakan bahwa Kristus menyelamatkan kita dengan pemandian kelahiran kembali dan  pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Tidak lain tidak bukan maksudnya ini adalah pembaptisan. Selanjutnya pada hari Pentakosta, para rasul  yang telah dipenuhi oleh Roh Kudus itu menganjurkan: “ Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi  dirimu   dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”.  ( Kis. 2: 38) Terang sekali di sini bahwa pengampunan dosa itulah hakekat dari pembaptisan. Sama seperti yang disebut dalam Titus  3: 5-7 itu, pembenaran dari dosalah yang menjadi inti dari baptisan. Roh Allah selalu berdiam di dalam hati orang-orang yang telah diampuni dosanya untuk selalu menciptakan hidup yang baru.

1.3. Siapakah yang akan dibaptis?
Tentu semua orang yang ingin dan bersedia untuk dibaptis. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan:  “Sebab bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.” Kamu di sini  meliputi tua dan muda,  Yahudi dan non- Yahudi, karena seperti dikatakan dalam  I Tim. 2: 4, Tuhan Allah menghendaki agar semua manusia selamat.  Tetapi seseorang yang diselamatkan itu harus lebih dahulu lahir dari air dan roh  ( Yoh. 3: 5). Lahir dari air dan roh berarti baptisan. Hal itu merupakan keharusan  karena kita semuanya adalah anak kutuk atau orang-orang yang harus dimurkai. ( band.  Epes. 2: 3-5)  


1.4. Siapakah yang sewajarnya menerima baptisan?

Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi lebih dahulu sebelum baptisan diterima. Karena sekiranya syarat-syarat untuk itu tidak ada, pada hal disebut bahwa baptisan itu mempunyai  effek, maka baptisan itu  akan bisa dianggap sebagai kekuatan yang bersifat magis belaka, dan seolah-olah air dan perbuatan pendeta yang membaptisan itu saja yang menimbulkan effek itu.  Air dan baptisan itu bukan sesuatu kekuatan magis.  Dalam kitab Suci dikatakan bahwa iman kepada Yesus Kristuslah  yang menjadi syarat utama  dalam proses keselamatan.  Baptisan yang tidak disertai oleh iman kepada Yesus Kristus, tidak berarti apa-apa. Demikian juga penerimaaan Injil, baptisan juga tidak membuahkan apa-apa. Baptisan yang mempunyai arti ialah baptisan yang disertai oleh Firman Tuhan dan yang diterima dengan iman. Demikian pentingnya iman, sehingga kita  melihat bahwa  iman  dari kepala penjara di Filipi dapat merangkul keluarganya, oleh sebab mana semua anggota keluarganya dapat dibaptiskan. (Kis. 16: 31- 34). Di sini  kita melihat ruang lingkup dari iman yang mencakup keluarga bahkan   manusia yang secara azasi  kita tanggung-jawabi, terutama anak-anak kita.

1.5. Tentang orang-orang percaya yang tidak dibaptisakan
Tentu timbul pertanyaan, bagaimana orang-orang percaya terhadap Kristus tetapi meninggal sebelum  dibaptiskan ? Bagaimana tentang anak-anak Kristen yang meninggal sebelum dibaptiskan? Pertanyaan ini timbul  berhubung dengan Yoh. 3: 5 yang mengatakan:  Seseorang tidak mungkin masuk ke dalam Kerajaan  Allah jika tidak dilahirkan dalam air dan roh. Terhadap persoalan ini ada tiga jawaban, yaitu:

(1)    Oleh karena tidak ada manusia yang dapat menentukan saat meninggalnya, maka haruslah kita lihat  I Tim.2: 4, yang mengatakan bahwa Allah menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Tetapi ayat ini jangan ditafsirkan sebagai pembenaran akan orang-orang yang sengaja menolak Kristus. Orang yang menganut faham universalisme keselamatan tidak boleh mengambil ayat ini sebagai landasan  teologisnya.  Tetapi ayat tadi sangatlah  baik untuk dikenakan kepada orang-orang yang percaya tetapi meninggal sebelum dibaptiskan. Karena bagaimana pun juga dalam hidupnya orang itu  telah diisi oleh iman,  ketika mana maut yang tidak bisa dikontrol oleh manusia itu  mengakhiri hidupnya.
(2)   Khusus mengenai anak-anak.  Ingatlah Mat. 18: 14 yang mengtaakan bahwa  Allah Bapa  menghendaki agar salah seorang anak yang kecil ini tidak ada yang binasa. Baik dalam konteksnya  maupun di luar konteksnya, ayat ini dapat dipegang sebagai  hiburan dalam memikirkan kunjungan maut terhadap salah seorang anak Kristen yang belum  dibaptiskan. Adalah kekejaman teologis untuk mengatakan bahwa anak yang demikian yang mati sebelum dibaptsikan tidak masuk kerajaan Allah.
(3)   Tuhan Allah dalam kemahakuasaannya tentu dapat melahirkan kembali seseorang dalam cara yang tidak dapat kita mengerti. Bahwa seseorang harus  dilahirkan kembali agar dia memasuki Kerajaan Allah memang merupakan ketentuan. Dan sepanjang yang dinyatakan kepada kita memang baptisanlah  cara melahirkan kembali itu. Tetapi Allah lebih besar dari pada pernyataannya yang diberikan kepada kita. Tentu ada proses lain dalam melahirkan kembali seseorang yang meninggal sebelum dibaptiskkan, di luar pernyataan itu sendiri. Pernyataan Allah yang diberikan  untuk kita mengerti dan untuk kita patuhi tidak pernah menjadi sumber  frustrasi dalam hal menghadapi persitiwa-persitiwa sulit.  Kita harus sanggup membuka diri kepada adanya cara-cara Allah bekerja di luar apa yang dinyatakan kepada kita.

1.6. Mengenai baptisan anak-anak (Infant baptism)

Di dalam masyarakat Israel, sunatlah yang merupakan upacara keagamaan memasukkan  seorang anak yang baru lahir ke dalam keluarga keagamaan mereka. Penyunatan itu dilakukan pada hari ke 8 sesudah lahir, yang tentu maksudnya selekas mungkin.  Sebagaimana dalam PL penyunatan adalah upacara penerimaan  seorang anak masuk menjadi anggota keluarga  agama Yahudi, demikianlah  baptisan dianggap sah sebagai penerimaan masuknya anak ke dalam kekeluargaan Perjanjian Baru. Inilah yang diandaikan oleh Kolose 2: 11-12: "Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati".
 Biasanya keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah keberatan  membaptiskan anak-anaknya. Demikian juga  orang-orang Kristen yang mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya. Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini  mempunyai persetujuan akan upcara keagamaan  (religious rite) tentang penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa yang tidak ada anak-anak.  Artinya  bangsa yang dimaksud juga meliputi anak-anak.  Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak tidak pernah  di exclude (ditiadakan). Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan menghapuskan. Seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu  muncul kritik dari suatu golongan Kristen yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan baptisan terhadap orang dewasa.    
Yang paling menentang baptisan anak-anak sesudah reformasi  ialah golongan yang mengikuti faham “Synergisme”,  yaitu suatu faham yang mengatakan manusia bekerja-sama sama dengan Allah dalam keselamatannya. Keselamatan manusia bukan hanya anugerah Allah melulu, tetapi dalam iman itu manusia bekersama dengan Allah. Jadi menurut golongan ini anak-anak tidak disetujui untuk dibaptiskan, karena anak-anak dianggap tidak mungkin beriman, tidak mungkin berbuat baik, tidak mungkin dapat bekerja sama dengan Allah. Tetapi kalau kita menerima keselamatan adalah melulu pekerjaan Allah, maka kita dapat menerima baptisan anak-anak.  Kita dapat mengatakan dalam soal iman anak-anak melebihi orang-orang dewasa. Dalam Luk.18: 17, Tuhan Yesus mengatakan : “Sesungguhnya  barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”. Istilah yang dipakai untuk anak kecil dalam Luk. 18: 15-17, bukan hanya “paidion” (paidion), tetapi juga “brejh” (brephe).  Dalam bahasa Yunani “brejh” bahkan meliputi anak yang masih dalam kandungan. Dalam teks iini  Kerajaan Allah meliputi “brejh”  juga. anak-anak tidak usah menjadi dewasa dulu baru memasuki Kerajaan Allah, karena orang-orang dewasa pun harus menerima Kerajaan Allah seperti anak-anak. Dan dalam Mat. 18: 3 , lebih positif lagi dikatakan, di mana Yesus mengatakan:  “ Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.
Memang semuanya problem ini adalah berkisar  di sekitar arti dari iman. Pihak yang tidak menerima baptisan anak-anak, alasannya selalu bahwa anak-anak belum mempunyai iman. Tetapi kita meragukan pikiran yang mengatakan bahwa seorang anak belum mempunyai iman, karena dalam Mat. 18: 6, Yesus mengatakan bahwa anak kecil juga sudah percaya kepada Yesus. Soalnya adalah apakah  hakekat dari iman. Adalah kurang hati-hati apabila ada ahli-ahli teologi mengertikan  iman sebagai pengetahuan, atau keyakinan  (batak: pos ni roha)  di dalam arti disadari.  Pemahaman yang demikian telah membatasi  pengetahuan dan keyakinan dalam batas kesadaran. Tetapi kita kurang menyetujui pendapat yang demikian, karena kalau demikian halnya, bagaimana  nasib orang-orang Kristen yang menjadi  gila atau hilang kesadarannya, apakah mereka sudah di luar Kerajaan Allah. Memang kita akui bahwa keyakinan dan pengetahuan yang disadari adalah penting, tetapi itu bukan merupakan hakekat dari iman. Secara negatif bahwa hakekat dari “ketidak percayaan kepada Allah adalah menolak Allah”. (Kis. 7: 5 :  menghalangi Roh Kudus; Ibrani 3: 8 – mengeraskan hati.)  Dalam diri orang-orang percaya, Roh Kudus merombak penolakan kemanusiaan dari orang-orang percaya itu, tanpa merusak kepribadian orang yang bersangkutan. Inilah yang dilakukan oleh Roh Kudus dalam pemberitaan Firman dan dalam baptisan. Sifat menolak Allah dari manusia itu dirombak oleh Roh Kudus, agar orang itu dimungkinkan menerima anugerah Allah. Jadi secara positif hakekat iman itu ialah : “Created receptiveness of the grace of God”  (sifat menerima yang diciptakan Roh Kudus akan anugerah Allah; bd.  Epes. 2: 8 – iman bukan hasil usaha manusia  tetapi adalah pemberian Allah).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iman itulah sifat dari hidup baru yang diterima di dalam kelahiran baru itu. Dalam Titus 3: 5, dikatakan bahwa  penyucian kelahiran baru itu dan juga pembaharuan dari hidup itu adalah melulu pekerjaan  Roh Kudus. Jadi kalau demikian halnya maka anak-anak juga mesti dibaptiskan, agar dia juga dimungkinkan  menjadi orang yang sanggup menerima Roh Allah.
Sejajar dengan kenyataan ini ialah bahwa pemberontakan  terhadap Allah adalah karakteristik dari orang-orang dewasa yang di luar Kerejaan Allah. Tetapi  sifat seperti itu tidak mungkin menjadi karakteristik dari anak-anak. Memang sewaktu  anugerah Tuhan menyentuh anak-anak, di dalam anak-anak itu  juga anugerah menjumpai resistensi  (perlawanan) yang tidak disadari, oleh karena anak-anak juga lahir dalam  “sarx” (daging) .( Di dalam Yoh. 3: 6, dikatakan:  “Apa yang dilahirkan dari daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh”).   Tetapi resistensi dari anak-anak bukanlah resistensi yang disadari dan bukan resistesnsi yang dikehendakinya. Dalam hal ini anugerah Tuhan yang dimeteraikan oleh Roh Kudus dalam iman dengan sendirinya mendobrak resistensi yang tidak disadari oleh anak itu.
Pada hakekatnya iman kepada Tuhan adalah keterbukaan yang mengakibatkan kesanggupan untuk menerima angerah Allah. Ini penting dikatakan dengan berhati-hati, sedangkan bagi orang-orang dewasa iman itu pada hakekatnya bukanlah tindakan yang disadari. Kesadaran bukan dalam semua waktu dan dalam segala keadaan. Seandainya  kesadaran itulah yang menjadi ukuran dari iman, maka boleh sewaktu dalam tidur atau pingsan, kita tidak beriman. Iman itu ada di dalam hidup baru yang bukan merupakan buah dari usaha manusia. Dalam hidup baru itu kita bisa bertindak secara sadar,  tidur, pingsan, tanpa mengurangi  pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan Allah.  Memang aspek hidup yang tergolong  di dalam iman yang dewasa, umpamanya pengetahuan teologi, pengertian Kristen, keyakinan Kristen, sukacita, kesabaran, memang sangat penting sekali artinya dalam pertumbuhan kerohanian seseorang. Tetapi itu bukanlah hakekat dari iman, melainkan buah dari iman. (Lihat. Gal. 5: 22: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.).  Dengan demikian baptisan anak  mendapat tempat yang terpenting dalam hidup gereja.


2.      Perjamuan Kudus

Kalau  Pembaptisan disebut “Sakramen kelahiran baru” (Sacrament of Regeneration), maka Perjamuan Kudus disebut   “Sakramen Penyucian” ( Sacrament of Sanctification). Sakramen kelahiran baru adalah sama dengan “Sacrament Justification (pembenaran).  Penyucian atau Sanctification adalah hidup  sesuai dengan pembenaran itu. Dalam kitab Suci , ada  empat buku yang memberitakan tentang Perjamuan Kudus, yaitu:  Markus 14: 22-24; Luk.22: 19-20;  Mat.26: 26-28, dan I Korint 11: 23-26.  Bahan-bahan atau sumber-sumber liturgi (agenda) dari gereja –gereja Kristen untuk Perjamuan Kudus  adalah kombinasi dari empat teks tersebut.
Ada tiga faktor yang harus diingat dalam Perjamuan Kudus, yaitu:
(1)   Bahawa Perjamuan Kudus adalah perbuatan Allah sendiri  (divine institution)
(2)   Dalam Perjamuan Kudus  terdapat “Unsur-unsur yang dapat dilihat”  (Visible elements)
(3)   Dan anugerah allah yang tidak kelihatan  (invisible  gifts)

2.1. Persoalan mengenai  “the real presence”

Ini adalah istilah  yang dipakai oleh  Martin Luther, yang  maksudnya, kehadiran yang nyata dari Kristus dalam Perjamuan Kudus. Pengajaran Martin Luther mengenai “:the real presence dari Kristus” membuat pengajarannya berada di di antara pengajaran Roma Katolik dan  pengajaran bapak-bapak reformator yang lain. Menurut pengajaran RK, anggur dan roti secara  huruf telah  benar-benar berobah menjadi darah dan daging  Kristus setelah imam yang melayani  mengucapkan kata-kata  liturginya, yang mengikuti kata-kata yang diucapkan oleh Tuhan Yesus dalam perjamuan terakhir bersama murid-muridnya.  Hal itu terjadi sedemikian adalah berdasarkan pengertian “ex-opere operatio”  (secara otomatis bekerja). Karena adanya keyakinan bahwa zat dari roti dan anggur itu telah benar-bnar berubah menjadi daging dan darah Kristus, maka segala sisa  dari roti dan anggur itu tidak boleh dibagi-bagikan, tetapi harus disimpan atau dimakan sendiri oleh  imam atau pendeta yang melayani. Pengajaran Roma Katolik  yang demikian disebut  “transubstansiasi”. Dalam diri orang-orang yang menerima Perjamuan Kudus,  roti dan anggur itu telah  benar-benar berubah menjadi  daging dan darah Kristus. Dan yang dimaksudkan dengan daging adalah tubuhnya yang disalib kan dulu. Bagi Martin Luther, roti dan anggur itu juga telah menjadi  daging dan darah Kristus, tetapi  bukan tubuh yang disalibkan dulu, tetapi adalah  tubuh yang telah dimuliakan.

            Pada pihak ekstrem  lainnya, beberapa aliran  gereja Reformasi yang mengikuti  pengajaran Zwingli mengajarkan bahwa  roti dan anggur itu hanya merupakan simbol dari daging dan darah Kristus, yang oleh karena itu  Perjamuan Kudus hanya dianggap sebagai peringatan (remembrance) saja.  Kata ‘ adalah  ( esti ) ‘  dalam ungkapan “Ini adalah tubuhku”  hanyalah dalam pengertian menyimbolkan saja  (symbolizes).

            Calvin mempunyai tafsiran dan pengajaran yang lebih kaya, yang boleh dikatakan agak mendekati pengajaran Martin Luther, walaupun memang pengajaran mereka harus dibedakan. Bagi  Calvin Perjamuan Kudus itu lebih dari ingatan saja. Dikatakan bahwa  roti dan anggur itu menjadi makanan kerohanian bagi oang-orang percaya dan menjadi pemberitaan  tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Tetapi tidak ada pengajaran Calvin tentang kehadiran yang nyata dari tubuh dan darah Yesus Kristus  di dalam roti dan anggur itu. Kalaupun dikatakan bahwa Yesus Kristus hadir dalam Perjamuan Kudus itu, kehadirannya adalah sama saja dengan kehadiran di dalam perkumpulan orang-orang percaya atau kehadiran-Nya dalam ibadah,  tidak ada kekhususan dari Perjamuan Kudus. Memang Calvin sengaja tidak menyebutkan kehadiran nyata dari Yesus Kristus dalam Perjamuan Kudus itu. Karena menurut pengertian falsafah Calvin, Allah tidak mungkin masuk ke dalam materi. Dualisme dari filsafat Calvin selalu  berusaha mempertahankan pertentangan keilhaian terhadap benda-benda material. Karena itu Kristus yang telah dimuliakan tidak mungkin masuk lagi  dalam benda-benda  material yang fana. Inilah dasar  falsafah dari  Calvin di dalam pengertiannya  mengenai Perjamuan Kudus.  Baginya pengajaran yang mengatakan adanya kehadiran nyata dari Kristus yang dimuliakan dalam unsur duniawi seperti roti dan anggur adalah suatu penyelewengan teologis.

            Bagi Martin Luther pengertian Calvin itu sangat miskin. Menurut dia, inilah keagungan dari Tuhan Allah, bahwa walaupun dia bersifat kekal, dia berhak dan sanggup masuk di dalam dunia benda-benda yang fana. Peristiwa  kehadiran Kristus ke dunia ini sampai kepada kematiannya, adalah justeru peristiwa masuknya Tuhan Allah ke dalam dunia benda-benda dalam bentuk manusia. Dengan kata lain, Yesus Kristus yang telah dimuliakan di sorga, hadir juga dalam persitiwa-peristiwa dunia yang fana. Demi untuk menekankan bahwa Yesus Kristus yang telah dipermuliakan, menyokong Perjamuan Kudus (karena Yesus Kristus sendirilah yang telah menetapkan Perjamuan Kudus itu), maka Martin Luther memakai istilah “ di dalam”,  “bersama”, dan “di bawah”. Jadi dengan mengatakan bahwa  daging dan darah Kristus ada  “ di dalam, bersama, dan dibawah” roti dan anggur, dia hanya menekankan bahwa Kristus yang dipermuliakan itu menyokong unsur-unsur yang duniawi ini menjadi sesuatu yang banyak arti dan luas. Dengan akta lain, kehadiran Kristus dalam roti dan anggur,  itu sajalah yang dimaksudkan dengan istilah-istilan tersebut di atas. Tetapi janganlah pula istilah-istilah itu ditafsirkan secara hurufiah. Selanjutnya Martin Luther mengatakan bahwa apabila kita memberikan air kepada seseorang yang haus, kita memberikan air yang sesungguhnya, bukan lambang atau simbol dari air itu. Demikian juga apabila kita memberikan roti bagi orang yang lapar, kita bukan memberikan lambang atau simbol dari roti itu. Demikianlah halnya, apabila Kristus mengatakan, makanlah inilah tubuhku, dan minumlah inilah darahku, dia bukan memberi simbol saja, tetapi  dia  memberi tubuh dan darahnya yang sesungguhnya. Pemahaman inilah yang mendorong Luther memakai ketiga istilah tadi  (in, with, under), dengan tidak jatuh kepada pengertian gereja Roma Katolik.

            Martin Luther dalam teologianya juga mendasarkan dirinya kepada pengajaran  Paulus yang mengertikan cawan sebagai partisipasi di dalam darah Kristus, dan roti sebagai partisipasi dalam tubuh Kristus  ( bd I Kor. 11: 26 dst.). Malah partisipasi inilah yang menjadi dasar “koinonia’ (persekutuan) dengan Allah dan sesama manusia. Jadi dapat kita mengerti bahwa M.Luther mengalaskan pengajarannnya pada pengajaran Paulus. Oleh sebab itu pengajaran Martin Luther tentang “the Real presence” dari Yesus Kristus, janganlah ditafsirkan seolah-olah kehadirannya secara fisik. Kehadiran itu adalah kehadiran Kristus yang dipermuliakan. Kehadiran itu menjamin anugerahnya yang diberikan kepada orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya.

2.2. Tentang guna dari Perjamuan Kudus

1)      Perjamuan Kudus sebagai pengampunan dosa

Ada beberapa aliran dalam gereja Protestan yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus tidak ada sangkut pautnya dengan keampunan dosa. Perjamuan Kudus itu menurut aliran ini hanyalah sekedar  memperteguh persekutuan jemaat atau orang-orang Kristen dengan Kristus saja.  Kita mengerti akan motif dari pengajaran yang demikian. Apalagi pengajaran Protestan yang mengatakan bahwa  keampunan dosa  diterima dalam baptisan. Tetapi Kristus sendiri menghubungkan keampunan dosa itu dengan Perjamuan Kudus, ketika dia mengatakan bahwa cawan yang diberikan itu sebagai keampunan dosa  (Mat. 26: 26 –28). Itu sebabnya Martin Luther  mengertikan bawa ‘the real presence” dari Kristus dalam unsur roti dan anggur untuk menyampaikan pengampunan dosa. (Lihat Katekismus Kecil Martin Luther).

2)      Memperbaharui persekutuan

            Selain memberi pengampunan dosa,  Perjamuan Kudus juga dianggap sebagai  alat ‘memperbaharui persekutuan kasih”  di dalam gereja dan dalam semua hubungan individual.  (catatan: adanya  beberapa pendapat di kalangan gereja Lutheran yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus juga sebagai makanan kerohanian yang berguna kelak di dalam kebangkitan dari maut, bukanlah asli pengajaran M.Luther  dan bukan asli ajaran Kitab Suci).  Perjamuan Kudus itu  melulu adalah tindakan Allah; maknanya tidak ada sangkut pautnya dengan iman dari yang menerimanya dan tidak ada sangkut pautnya dengan pendeta yang  melayani. Hal ini perlu kita ingat untuk menghindarkan kemungkinan adanya tafsiran yang bersifat magis dari Perjamuan Kudus itu. Perjamuan Kudus itu terjadi atas kehendak Kristus sendiri, dan berlakunya bukan secara “ex-opere operatio”.

Siapakah yang seharusnya menerima Perjamuan Kudus itu

Tidak dapat disangkal bahwa Perjamuan Kudus hanya diberika kepada orang yang telah menerima Yesus Kristus saja, tetapi agar tiap orang beriman dapat dengan sesungguhnya menghayati makna dari Perjamuan kudus itu, memang perlu persiapan pribadi seperti dianjukan oleh Paulus dalam I Kor. 11: "Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu".
Persiapan itu sejajar dengan apa yang disebut PL dalam Maz. 139: 23-24:  "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;  lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!". Juga sejalan dengan pengertian PB dalam II Kor. 13: 5: "Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji".


3)      Perjamuan kudus sebagai kesetiaan dan pekabaran Injil

            Tidak dapat disangkal bahwa  Zwingli dan Calvin benar juga dalam hal memasukkan faktor “mengingat” (remembrance)  di dalam Perjamuan Kudus. Kesalahan mereka ialah  bahwa mereka memandang hanya dari sudut itu saja.  Kita mengakui bahwa Perjamuan Kudus itu adalah juga  ingatan, sesuai pula dengan yang dikatakan oleh Kristus:  “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” . (Luk. 22: 19).  Tetapi selain dari pada itu, Perjamuan kudus adalah juga sebagai kesaksian iman dan pekabaran mengenai Yesus Kristus (Injil).  Di dalam I Korint 11: 26, dikatakan:  “Sebab itu setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia adatang.”

            Dari seluruh uraian di atas, kita dapat mengatakan beberapa hal mengenai Perjamuan Kudus: 
§  Di dalam Perjamuan Kudus, Kristus yang dimuliakan memang hadir ( di dalam roti dan anggur); di dalam nya kita mengingat Kristus yang telah mati dan bangkit untuk kita; dan dengan berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus kita juga menyaksikan iman kita.
§  The real presence dari Kristus hanyalah selama Perjamuan Kudus itu diselenggarakan. Sebelum dan sesudah Perjamuan Kudus itu, roti itu adalah roti biasa dan angur itu adalah anggur biasa. Dengan demikian kita menolak segala pandangan yang bersifat magis dari Perjamuan Kudus itu.             (Pdt MSM Panjaitan)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar