SAKRAMEN
(Pdt MSM Panjaitan, MTh)
Pendahuluan
Biasanya
dalam ajaran gereja Protestan, Firman
dan Sakramen adalah merupakan “means of grace” (alat-alat anugerah). Tetapi
secara praktis, gereja Protestan memberi tekanan yang sangat berat akan arti
Firman, karena Sakramen selalu ditafsirkan sebagai “Firman yang kelihatan”, firman yang konkrit, yang dapat dijamah atau dimakan.
Istilah
sakramen, yang berasal dari kata Latin “sacramentum”, dipakai untuk
menerjemahkan kata Yunani " musthrion” ( mysterion), yang artinya msiteri, rahasia.
Kata yang dipakai oleh gereja pada mulanya untuk
menyebut perbuatan-perbuatan kudus gereja
yang dianggap sebagai sesuatu yang
bersifat rahasia. Augustinus, seorang bapak gereja mula-mula, mengatakan
bahwa Sakramen adalah Firman yang kelihatan
dalam unsur duniawi bagi kita
yang masih di dunia ini. Pemikiran
inilah juga yang mendasari konsep M.Luther, di mana dia mengatakan bahwa
Sakramen adalah tindakan suci Tuhan Allah di dalam alat-alat yang
kelihatan, yang dipergunakan sebagai saluran anugerahnya yang tidak kelihatan (invisible). Malah ada kecenderungan dalam
aliran Protestan yang mengatakan bahwa
Sakramen adalah sebahagian dari Firman Allah.
Bagi gereja-gereja Protestan, hanya ada dua sakramen
yaitu: Baptisan dan Perjamuan Kudus. Sedangkan gereja Roma Katolik mengajarkan adanya tujuh sakramen yaitu: 1.
Baptisan; 2. Confirmation
(Konfirmasi – peneguhan iman); 3. Pengakuan
dosa (Penance); 4. Missa (Eukaristi –
Perjamuan Kudus); 5. Peminyakan terakhir
(Final Unction) bagi orang sakit yang mau meninggal); 6.
Penahbisan Imam; 7. Nikah (Pemberkatan Perkawinan).
Bagi
bapak-bapak reformasi, lima dari
antara yang tujuh itu kurang berlandaskan Kitab Suci, sehingga tidak bisa
dikategorikan sebagai sakramen. Tetapi
walaupun gereja-gereja pengikut reformasi sama-sama mengakui hanya ada dua
sakramen, tetapi gereja-gereja tersebut mempunyai tafsiran yang berbeda-beda
mengenai makna dari sakramen itu.
Misalnya bagi Zwingli, Baptisan dan Perjamuan Kudus itu hanya simbol saja.
1.
Baptisan
1.1. Pembaptisan sebagai Sakramen kelahiran baru
Sebenarnya hampir di semua agama ada
upacara yang menyerupai baptisan, kalaupun tidak semuanya dilakukan dalam
bentuk air.Tujuannya ialah untuk memasukkan orang yang dibaptis itu menjadi
anggota dari persekutuan agama itu, dan orang
itu telah dianggap memasuki kehidupan yang baru yaitu hidup dari
golongan orang yang membaptis itu.
Apabila Yohannes Pembaptis memberikan
baptisan pengampunan dosa, janganlah itu
disamakan dengan pembaptisan Yesus Kristus. Inilah dasar kita untuk tidak
menerima ajaran dari sekte lain,
seperti: Pentakosta, yang mendasarkan
pemahamannya akan baptisan itu seperti
pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes Pembaptis. Pembaptisan Yohannes tidak
sama dengan pembaptisan Yesus Kristus,
karena pembaptisan yang dilakukan oleh Yohannes bukanlah merupakan alat
anugerah. Baptisan yang diperintahkan oleh Yesus untuk dilakukan murid-muridnya
dalam Mat. 28: 18-20 adalah alat anugerah, sedangkan baptisan Yohannes
hanya merupakan baptisan pertobatan.
Dalam Mat. 28: 18-20, Kristus memberikan mandat kepada
murid-muridnya, yang disebut dengan “the Great Commission” (Amanat Agung). Tetapi walaupun mandat itu diberikan kepada
murid-muridnya, itu bukan berarti bahwa baptisan yang dijalankan itu
merupakan pekerjaan murid-murid
yang disuruh tersebut. Pada hakekatnya baptisan itu adalah pekerjaan Roh
Kudus, bukan pekerjaan manusia. Pekerjaan membaptiskan adalah juga dalam
rangka menjadikan yang dibaptis itu
menjadi murid Yesus, yang setelah itu mengajarkan kepada mereka untuk melakukan apa yang telah diperintahkan
(diajarkan) oleh Yesus kepada murid-muridnya itu. Jadi memang dalam amanat
itu disebut pertama baptiskan baru
ajarkan. Berdasarkan inilah kita boleh
membenarkan perbuatan-perbuatan
gereja-gereja yang lebih dahulu membaptiskan anak sebelum diajarkan
kepada mereka. Tetapi ini memang bukan merupakan ketentuan yang absolut bahwa
lebih dahulu membaptiskan baru mengajarkan. Di daerah-daerah Zending di mana
kita lebih dahulu mendekati orang-orang yang sudah dewasa, tentu saja pengajaran kekristenanlah yang lebih dahulu
diberikan kepada mereka supaya dengan demikian mereka dapat memahaminya dan menumbuhkan iman kepercayaan
bagi mereka.
Tetapi hal yang lebih penting yang dapat
kita lihat dari Amanat Agung Tuhan Yesus di Mat. 28: 18-20 itu ialah bahwa baptisan itu diadakan dalam
perspektif “kehadiran Yesus Kristus”,
karena disana Yesus Kristus mengatakan: “ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai
kepada akhir zaman”. Kalau begitu, para rasul atau para pendeta di
kemudian, hanyalah merupakan alat dari yang memberikan “kehadiran Yesus Kristus
itu”.
1.2. Pembaptisan itu disebut “menyelamatkan”
Dalam I Petrus 3: 20-21 disebutkan bahwa
orang yang bersangkutan diselamatkan dengan air, yang menghunjuk kepada
keselamatn Nuh dan keluarganya. Sebagaimana Nuh diselamatkan dengan air,
demikian juga orang-orang Kristen diselamatkan melalui baptisan. Baptisan itu
dimaksudkan bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang
baik kepada Allah oleh kebangkitan Yesus Kristus. Jadi di sini air baptisan itu
diartikan sebagai kebangkitan Yesus
Kristus.
Selanjutnya
Paulus dalam Titus 3: 5-7, mengatakan
bahwa Kristus menyelamatkan kita dengan pemandian kelahiran kembali dan pembaharuan yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Tidak lain tidak bukan maksudnya ini adalah pembaptisan. Selanjutnya pada hari
Pentakosta, para rasul yang telah
dipenuhi oleh Roh Kudus itu menganjurkan: “ Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus”. ( Kis. 2: 38) Terang sekali di sini bahwa
pengampunan dosa itulah hakekat dari pembaptisan. Sama seperti yang disebut
dalam Titus 3: 5-7 itu, pembenaran dari
dosalah yang menjadi inti dari baptisan. Roh Allah selalu berdiam di dalam hati
orang-orang yang telah diampuni dosanya untuk selalu menciptakan hidup yang
baru.
1.3. Siapakah yang akan dibaptis?
Tentu semua orang yang ingin dan bersedia
untuk dibaptis. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan:
“Sebab bagi kamulah janji itu
dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih jauh, yaitu sebanyak orang yang
akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita.” Kamu di sini meliputi tua dan muda, Yahudi dan non- Yahudi, karena seperti
dikatakan dalam I Tim. 2: 4, Tuhan Allah
menghendaki agar semua manusia selamat.
Tetapi seseorang yang diselamatkan itu harus lebih dahulu lahir dari air
dan roh ( Yoh. 3: 5). Lahir dari air dan
roh berarti baptisan. Hal itu merupakan keharusan karena kita semuanya adalah anak kutuk atau
orang-orang yang harus dimurkai. ( band.
Epes. 2: 3-5)
1.4. Siapakah yang sewajarnya menerima baptisan?
Tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi
lebih dahulu sebelum baptisan diterima. Karena sekiranya syarat-syarat untuk
itu tidak ada, pada hal disebut bahwa baptisan itu mempunyai effek, maka baptisan itu akan bisa dianggap sebagai kekuatan yang bersifat
magis belaka, dan seolah-olah air dan perbuatan pendeta yang membaptisan itu
saja yang menimbulkan effek itu. Air dan
baptisan itu bukan sesuatu kekuatan magis.
Dalam kitab Suci dikatakan bahwa iman kepada Yesus Kristuslah yang menjadi syarat utama dalam proses keselamatan. Baptisan yang tidak disertai oleh iman kepada
Yesus Kristus, tidak berarti apa-apa. Demikian juga penerimaaan Injil, baptisan
juga tidak membuahkan apa-apa. Baptisan yang mempunyai arti ialah baptisan yang
disertai oleh Firman Tuhan dan yang diterima dengan iman. Demikian pentingnya
iman, sehingga kita melihat bahwa iman
dari kepala penjara di Filipi dapat merangkul keluarganya, oleh sebab
mana semua anggota keluarganya dapat dibaptiskan. (Kis. 16: 31- 34). Di
sini kita melihat ruang lingkup dari
iman yang mencakup keluarga bahkan manusia yang
secara azasi kita tanggung-jawabi, terutama anak-anak kita.
1.5. Tentang orang-orang percaya yang tidak
dibaptisakan
Tentu timbul pertanyaan, bagaimana
orang-orang percaya terhadap Kristus tetapi meninggal sebelum dibaptiskan ? Bagaimana tentang anak-anak
Kristen yang meninggal sebelum dibaptiskan? Pertanyaan ini timbul berhubung dengan Yoh. 3: 5 yang
mengatakan: Seseorang tidak mungkin
masuk ke dalam Kerajaan Allah jika tidak
dilahirkan dalam air dan roh. Terhadap persoalan ini ada tiga jawaban, yaitu:
(1) Oleh karena tidak ada manusia yang dapat
menentukan saat meninggalnya, maka haruslah kita lihat I Tim.2: 4, yang mengatakan bahwa Allah
menghendaki agar semua manusia diselamatkan. Tetapi ayat ini jangan ditafsirkan
sebagai pembenaran akan orang-orang yang sengaja menolak Kristus. Orang yang
menganut faham universalisme keselamatan tidak boleh mengambil ayat ini sebagai
landasan teologisnya. Tetapi ayat tadi
sangatlah baik untuk dikenakan kepada
orang-orang yang percaya tetapi meninggal sebelum dibaptiskan. Karena bagaimana
pun juga dalam hidupnya orang itu telah
diisi oleh iman, ketika mana maut yang
tidak bisa dikontrol oleh manusia itu
mengakhiri hidupnya.
(2) Khusus mengenai anak-anak. Ingatlah Mat. 18: 14 yang mengtaakan
bahwa Allah Bapa menghendaki agar salah seorang anak yang
kecil ini tidak ada yang binasa. Baik dalam konteksnya maupun di luar konteksnya, ayat ini dapat
dipegang sebagai hiburan dalam
memikirkan kunjungan maut terhadap salah seorang anak Kristen yang belum dibaptiskan. Adalah kekejaman teologis untuk
mengatakan bahwa anak yang demikian yang mati sebelum dibaptsikan tidak masuk
kerajaan Allah.
(3) Tuhan Allah dalam kemahakuasaannya tentu
dapat melahirkan kembali seseorang dalam cara yang tidak dapat kita mengerti.
Bahwa seseorang harus dilahirkan kembali
agar dia memasuki Kerajaan Allah memang merupakan ketentuan. Dan sepanjang yang
dinyatakan kepada kita memang baptisanlah
cara melahirkan kembali itu. Tetapi Allah lebih besar dari pada
pernyataannya yang diberikan kepada kita. Tentu ada proses lain dalam
melahirkan kembali seseorang yang meninggal sebelum dibaptiskkan, di luar
pernyataan itu sendiri. Pernyataan Allah yang diberikan untuk kita mengerti dan untuk kita patuhi
tidak pernah menjadi sumber frustrasi
dalam hal menghadapi persitiwa-persitiwa sulit. Kita harus sanggup membuka diri kepada adanya
cara-cara Allah bekerja di luar apa yang dinyatakan kepada kita.
1.6. Mengenai baptisan anak-anak (Infant
baptism)
Di dalam masyarakat Israel, sunatlah yang
merupakan upacara keagamaan memasukkan
seorang anak yang baru lahir ke dalam keluarga keagamaan mereka.
Penyunatan itu dilakukan pada hari ke 8 sesudah lahir, yang tentu maksudnya
selekas mungkin. Sebagaimana dalam PL
penyunatan adalah upacara penerimaan
seorang anak masuk menjadi anggota keluarga agama Yahudi, demikianlah baptisan dianggap sah sebagai penerimaan
masuknya anak ke dalam kekeluargaan Perjanjian Baru. Inilah yang diandaikan
oleh Kolose 2: 11-12: "Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati".
Biasanya keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah keberatan membaptiskan anak-anaknya. Demikian juga orang-orang Kristen yang mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya. Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini mempunyai persetujuan akan upcara keagamaan (religious rite) tentang penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa yang tidak ada anak-anak. Artinya bangsa yang dimaksud juga meliputi anak-anak. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak tidak pernah di exclude (ditiadakan). Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan menghapuskan. Seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu muncul kritik dari suatu golongan Kristen yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan baptisan terhadap orang dewasa.
Biasanya keluarga Kristen yang mempunyai latar-belakang Kristen tidak pernah keberatan membaptiskan anak-anaknya. Demikian juga orang-orang Kristen yang mempunyai latar-belakang agama lain tidak keberatan membaptiskan anak-anaknya. Artinya seluruh agama yang ada di dunia ini mempunyai persetujuan akan upcara keagamaan (religious rite) tentang penerimaan anak dalam persekutuan agama itu. Tetapi agama Kristen tidak mempunyai konsiderasi-konsiderasi umum. Memang ada dasar khusus agama Kristen untuk ini misalnya: Yesus sendiri mengambil anak-anak dan memberkatinya. Lalu kita lihat dalam Mat. 28: 18, di mana disebutkan “bangsa”. Tidak ada bangsa yang tidak ada anak-anak. Artinya bangsa yang dimaksud juga meliputi anak-anak. Dalam Kis. 2: 39, dikatakan: Kepadamu dan kepada anak-anakmu janji itu akan diberikan. Artinya dalam keluarga Allah, anak-anak tidak pernah di exclude (ditiadakan). Dalam dua abad permulaan Kristen, tidak ada yang keberatan tentang baptisan ana-anak. Baru bapak gereja Tertulianus (160 –220) yang pertama sekali mengajukan pertanyaan tentang baptisan anak-anak, walaupun maksudnya bukan menghapuskan. Seterusnya sampai reformasi Luther dan Calvin tidak ada yang keberatan mengenai baptisan anak-anak. Tetapi pada masa reformasi itu muncul kritik dari suatu golongan Kristen yang disebut Anabaptis yang mengkritik baptisan anak-anak, lalu menerapkan baptisan terhadap orang dewasa.
Yang paling menentang baptisan anak-anak
sesudah reformasi ialah golongan yang
mengikuti faham “Synergisme”, yaitu
suatu faham yang mengatakan manusia bekerja-sama sama dengan Allah dalam
keselamatannya. Keselamatan manusia bukan hanya anugerah Allah melulu, tetapi
dalam iman itu manusia bekersama dengan Allah. Jadi menurut golongan ini
anak-anak tidak disetujui untuk dibaptiskan, karena anak-anak dianggap tidak mungkin
beriman, tidak mungkin berbuat baik, tidak mungkin dapat bekerja sama dengan
Allah. Tetapi kalau kita menerima keselamatan adalah melulu pekerjaan Allah,
maka kita dapat menerima baptisan anak-anak.
Kita dapat mengatakan dalam soal iman anak-anak melebihi orang-orang
dewasa. Dalam Luk.18: 17, Tuhan Yesus mengatakan : “Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah
seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya”. Istilah yang
dipakai untuk anak kecil dalam Luk. 18: 15-17, bukan hanya “paidion” (paidion),
tetapi juga “brejh” (brephe).
Dalam bahasa Yunani “brejh” bahkan
meliputi anak yang masih dalam kandungan. Dalam teks iini Kerajaan Allah meliputi “brejh” juga.
anak-anak tidak usah menjadi dewasa dulu baru memasuki Kerajaan Allah, karena
orang-orang dewasa pun harus menerima Kerajaan Allah seperti anak-anak. Dan
dalam Mat. 18: 3 , lebih positif lagi dikatakan, di mana Yesus mengatakan: “ Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan
menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga”.
Memang semuanya problem ini adalah
berkisar di sekitar arti dari iman. Pihak yang tidak menerima baptisan anak-anak, alasannya
selalu bahwa anak-anak belum mempunyai iman. Tetapi kita meragukan pikiran yang
mengatakan bahwa seorang anak belum mempunyai iman, karena dalam Mat. 18: 6,
Yesus mengatakan bahwa anak kecil juga sudah percaya kepada Yesus. Soalnya
adalah apakah hakekat dari iman. Adalah
kurang hati-hati apabila ada ahli-ahli teologi mengertikan iman sebagai pengetahuan, atau keyakinan (batak: pos ni roha) di dalam arti disadari. Pemahaman yang demikian telah membatasi pengetahuan dan keyakinan dalam batas
kesadaran. Tetapi kita kurang menyetujui pendapat yang demikian, karena kalau
demikian halnya, bagaimana nasib
orang-orang Kristen yang menjadi gila
atau hilang kesadarannya, apakah mereka sudah di luar Kerajaan Allah. Memang
kita akui bahwa keyakinan dan pengetahuan yang disadari adalah penting, tetapi
itu bukan merupakan hakekat dari iman. Secara negatif bahwa hakekat dari
“ketidak percayaan kepada Allah adalah menolak Allah”. (Kis. 7: 5 : menghalangi Roh Kudus; Ibrani 3: 8 –
mengeraskan hati.) Dalam diri orang-orang
percaya, Roh Kudus merombak penolakan kemanusiaan dari orang-orang percaya itu,
tanpa merusak kepribadian orang yang bersangkutan. Inilah yang dilakukan
oleh Roh Kudus dalam pemberitaan Firman dan dalam baptisan. Sifat menolak Allah
dari manusia itu dirombak oleh Roh Kudus, agar orang itu dimungkinkan menerima
anugerah Allah. Jadi secara positif hakekat iman itu ialah : “Created
receptiveness of the grace of God”
(sifat menerima yang diciptakan Roh Kudus akan anugerah Allah; bd. Epes. 2: 8 – iman bukan hasil usaha manusia tetapi adalah pemberian Allah). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa iman
itulah sifat dari hidup baru yang diterima di dalam kelahiran baru itu. Dalam
Titus 3: 5, dikatakan bahwa penyucian
kelahiran baru itu dan juga pembaharuan dari hidup itu adalah melulu
pekerjaan Roh Kudus. Jadi kalau demikian
halnya maka anak-anak juga mesti dibaptiskan, agar dia juga dimungkinkan menjadi orang yang sanggup menerima Roh
Allah.
Sejajar dengan kenyataan ini ialah bahwa
pemberontakan terhadap Allah adalah
karakteristik dari orang-orang dewasa yang di luar Kerejaan Allah. Tetapi sifat seperti itu tidak mungkin menjadi karakteristik dari anak-anak. Memang sewaktu anugerah Tuhan menyentuh anak-anak, di dalam
anak-anak itu juga anugerah menjumpai
resistensi (perlawanan) yang tidak
disadari, oleh karena anak-anak juga lahir dalam “sarx” (daging) .( Di dalam Yoh. 3: 6,
dikatakan: “Apa yang dilahirkan dari
daging adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh adalah roh”). Tetapi resistensi dari anak-anak bukanlah
resistensi yang disadari dan bukan resistesnsi yang dikehendakinya. Dalam hal
ini anugerah Tuhan yang dimeteraikan oleh Roh Kudus dalam iman dengan
sendirinya mendobrak resistensi yang tidak disadari oleh anak itu.
Pada hakekatnya iman kepada Tuhan adalah
keterbukaan yang mengakibatkan kesanggupan untuk menerima angerah Allah. Ini
penting dikatakan dengan berhati-hati, sedangkan bagi orang-orang dewasa iman
itu pada hakekatnya bukanlah tindakan yang disadari. Kesadaran bukan dalam semua waktu dan dalam segala keadaan.
Seandainya kesadaran itulah yang menjadi
ukuran dari iman, maka boleh sewaktu dalam tidur atau pingsan, kita tidak beriman. Iman itu ada di dalam hidup
baru yang bukan merupakan buah dari usaha manusia. Dalam hidup baru itu
kita bisa bertindak secara sadar, tidur,
pingsan, tanpa mengurangi pengetahuan
yang diberikan oleh Tuhan Allah. Memang
aspek hidup yang tergolong di dalam iman
yang dewasa, umpamanya pengetahuan teologi, pengertian Kristen, keyakinan
Kristen, sukacita, kesabaran, memang sangat penting sekali artinya dalam
pertumbuhan kerohanian seseorang. Tetapi itu bukanlah hakekat dari iman,
melainkan buah dari iman. (Lihat. Gal. 5: 22: "Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.).
Dengan demikian baptisan anak
mendapat tempat yang terpenting dalam hidup gereja.
2.
Perjamuan Kudus
Kalau
Pembaptisan disebut “Sakramen kelahiran baru” (Sacrament of
Regeneration), maka Perjamuan Kudus disebut
“Sakramen Penyucian” ( Sacrament of Sanctification). Sakramen kelahiran
baru adalah sama dengan “Sacrament Justification (pembenaran). Penyucian atau Sanctification adalah
hidup sesuai dengan pembenaran itu.
Dalam kitab Suci , ada empat buku yang
memberitakan tentang Perjamuan Kudus, yaitu:
Markus 14: 22-24; Luk.22: 19-20;
Mat.26: 26-28, dan I Korint 11: 23-26.
Bahan-bahan atau sumber-sumber liturgi (agenda) dari gereja –gereja
Kristen untuk Perjamuan Kudus adalah
kombinasi dari empat teks tersebut.
Ada tiga faktor yang harus diingat dalam
Perjamuan Kudus, yaitu:
(1) Bahawa Perjamuan Kudus adalah perbuatan
Allah sendiri (divine institution)
(2) Dalam Perjamuan Kudus terdapat “Unsur-unsur yang dapat
dilihat” (Visible elements)
(3) Dan anugerah allah yang tidak
kelihatan (invisible gifts)
2.1. Persoalan mengenai “the real presence”
Ini adalah istilah yang dipakai oleh Martin Luther, yang maksudnya, kehadiran yang nyata dari Kristus
dalam Perjamuan Kudus. Pengajaran Martin Luther mengenai “:the real presence
dari Kristus” membuat pengajarannya berada di di antara pengajaran Roma Katolik
dan pengajaran bapak-bapak reformator
yang lain. Menurut pengajaran RK, anggur dan roti secara huruf telah
benar-benar berobah menjadi darah dan daging Kristus setelah imam yang melayani mengucapkan kata-kata liturginya, yang
mengikuti kata-kata yang diucapkan oleh Tuhan Yesus dalam perjamuan terakhir
bersama murid-muridnya. Hal itu terjadi sedemikian adalah berdasarkan
pengertian “ex-opere operatio” (secara otomatis bekerja). Karena adanya
keyakinan bahwa zat dari roti dan anggur itu telah benar-bnar berubah menjadi daging dan darah Kristus, maka segala sisa dari roti dan anggur itu tidak boleh
dibagi-bagikan, tetapi harus disimpan atau dimakan sendiri oleh imam atau pendeta yang melayani. Pengajaran
Roma Katolik yang demikian disebut “transubstansiasi”. Dalam diri orang-orang
yang menerima Perjamuan Kudus, roti dan
anggur itu telah benar-benar berubah
menjadi daging dan darah Kristus. Dan
yang dimaksudkan dengan daging adalah tubuhnya yang disalib kan dulu. Bagi
Martin Luther, roti dan anggur itu juga telah menjadi daging dan darah Kristus, tetapi bukan tubuh yang disalibkan dulu, tetapi
adalah tubuh yang telah dimuliakan.
Pada
pihak ekstrem lainnya, beberapa
aliran gereja Reformasi yang
mengikuti pengajaran Zwingli mengajarkan
bahwa roti dan anggur itu hanya
merupakan simbol dari daging dan darah Kristus, yang oleh karena itu Perjamuan Kudus hanya dianggap sebagai
peringatan (remembrance) saja. Kata ‘ adalah
( esti
) ‘ dalam ungkapan “Ini adalah tubuhku” hanyalah dalam pengertian menyimbolkan
saja (symbolizes).
Calvin
mempunyai tafsiran dan pengajaran yang lebih kaya, yang boleh dikatakan agak
mendekati pengajaran Martin Luther, walaupun memang pengajaran mereka harus
dibedakan. Bagi Calvin Perjamuan Kudus
itu lebih dari ingatan saja. Dikatakan bahwa
roti dan anggur itu menjadi makanan
kerohanian bagi oang-orang percaya dan menjadi pemberitaan tentang kematian
dan kebangkitan Yesus Kristus. Tetapi tidak ada pengajaran Calvin tentang
kehadiran yang nyata dari tubuh dan darah Yesus Kristus di dalam roti dan anggur itu. Kalaupun
dikatakan bahwa Yesus Kristus hadir dalam Perjamuan Kudus itu, kehadirannya
adalah sama saja dengan kehadiran di dalam perkumpulan orang-orang percaya atau kehadiran-Nya dalam ibadah, tidak ada kekhususan dari Perjamuan Kudus. Memang Calvin sengaja tidak
menyebutkan kehadiran nyata dari Yesus Kristus dalam Perjamuan Kudus itu.
Karena menurut pengertian falsafah Calvin, Allah tidak mungkin masuk ke dalam
materi. Dualisme dari filsafat Calvin selalu
berusaha mempertahankan pertentangan keilhaian terhadap benda-benda
material. Karena itu Kristus yang telah dimuliakan tidak mungkin masuk
lagi dalam benda-benda material yang fana. Inilah dasar falsafah dari
Calvin di dalam pengertiannya
mengenai Perjamuan Kudus. Baginya
pengajaran yang mengatakan adanya kehadiran nyata dari Kristus yang dimuliakan dalam unsur
duniawi seperti roti dan anggur adalah suatu penyelewengan teologis.
Bagi
Martin Luther pengertian Calvin itu sangat miskin. Menurut dia, inilah
keagungan dari Tuhan Allah, bahwa walaupun dia bersifat kekal, dia berhak dan
sanggup masuk di dalam dunia benda-benda yang fana. Peristiwa kehadiran Kristus ke dunia ini sampai kepada
kematiannya, adalah justeru peristiwa masuknya Tuhan Allah ke dalam dunia
benda-benda dalam bentuk manusia. Dengan kata lain, Yesus Kristus yang telah
dimuliakan di sorga, hadir juga dalam persitiwa-peristiwa dunia yang fana. Demi
untuk menekankan bahwa Yesus Kristus yang telah dipermuliakan, menyokong
Perjamuan Kudus (karena Yesus Kristus sendirilah yang telah menetapkan
Perjamuan Kudus itu), maka Martin Luther memakai istilah “ di dalam”, “bersama”, dan “di bawah”. Jadi dengan
mengatakan bahwa daging dan darah
Kristus ada “ di dalam, bersama, dan dibawah” roti dan anggur, dia hanya menekankan bahwa
Kristus yang dipermuliakan itu menyokong unsur-unsur yang duniawi ini menjadi
sesuatu yang banyak arti dan luas. Dengan akta lain, kehadiran Kristus dalam
roti dan anggur, itu sajalah yang
dimaksudkan dengan istilah-istilan tersebut di atas. Tetapi janganlah pula
istilah-istilah itu ditafsirkan secara hurufiah. Selanjutnya Martin Luther mengatakan bahwa apabila
kita memberikan air kepada seseorang yang haus, kita memberikan air yang
sesungguhnya, bukan lambang atau simbol dari air itu. Demikian juga apabila
kita memberikan roti bagi orang yang lapar, kita
bukan memberikan lambang atau simbol dari roti itu. Demikianlah halnya, apabila
Kristus mengatakan, makanlah inilah tubuhku, dan minumlah inilah darahku, dia
bukan memberi simbol saja, tetapi dia memberi tubuh dan darahnya yang sesungguhnya.
Pemahaman inilah yang mendorong Luther memakai ketiga istilah tadi (in, with, under), dengan tidak jatuh kepada
pengertian gereja Roma Katolik.
Martin
Luther dalam teologianya juga mendasarkan dirinya kepada pengajaran Paulus yang mengertikan cawan sebagai partisipasi
di dalam darah Kristus, dan roti sebagai partisipasi dalam tubuh Kristus ( bd I Kor. 11: 26 dst.). Malah partisipasi
inilah yang menjadi dasar “koinonia’ (persekutuan) dengan Allah dan sesama
manusia. Jadi dapat kita mengerti bahwa M.Luther mengalaskan pengajarannnya
pada pengajaran Paulus. Oleh sebab itu pengajaran Martin Luther tentang “the
Real presence” dari Yesus Kristus, janganlah ditafsirkan seolah-olah
kehadirannya secara fisik. Kehadiran itu adalah kehadiran Kristus yang
dipermuliakan. Kehadiran itu menjamin anugerahnya yang diberikan kepada
orang-orang yang berpartisipasi di dalamnya.
2.2. Tentang guna dari Perjamuan Kudus
1) Perjamuan Kudus sebagai pengampunan dosa
Ada beberapa aliran dalam gereja Protestan
yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus tidak ada sangkut pautnya dengan
keampunan dosa. Perjamuan Kudus itu menurut aliran ini hanyalah sekedar memperteguh persekutuan jemaat atau
orang-orang Kristen dengan Kristus saja.
Kita mengerti akan motif dari pengajaran yang demikian. Apalagi pengajaran
Protestan yang mengatakan bahwa
keampunan dosa diterima dalam
baptisan. Tetapi Kristus sendiri menghubungkan keampunan dosa itu dengan
Perjamuan Kudus, ketika dia mengatakan bahwa cawan yang diberikan itu sebagai
keampunan dosa (Mat. 26: 26 –28). Itu
sebabnya Martin Luther mengertikan bawa
‘the real presence” dari Kristus dalam unsur roti dan anggur untuk menyampaikan
pengampunan dosa. (Lihat Katekismus Kecil Martin Luther).
2) Memperbaharui persekutuan
Selain
memberi pengampunan dosa, Perjamuan
Kudus juga dianggap sebagai alat
‘memperbaharui persekutuan kasih” di
dalam gereja dan dalam semua hubungan individual. (catatan: adanya beberapa pendapat di kalangan gereja Lutheran
yang mengatakan bahwa Perjamuan Kudus juga sebagai makanan kerohanian yang
berguna kelak di dalam kebangkitan dari maut, bukanlah asli pengajaran
M.Luther dan bukan asli ajaran Kitab
Suci). Perjamuan Kudus itu melulu adalah tindakan Allah; maknanya tidak
ada sangkut pautnya dengan iman dari yang menerimanya dan tidak ada sangkut
pautnya dengan pendeta yang melayani.
Hal ini perlu kita ingat untuk menghindarkan kemungkinan adanya tafsiran yang
bersifat magis dari Perjamuan Kudus itu. Perjamuan Kudus itu terjadi atas
kehendak Kristus sendiri, dan berlakunya bukan secara “ex-opere operatio”.
Siapakah yang
seharusnya menerima Perjamuan Kudus itu
Tidak dapat disangkal bahwa Perjamuan Kudus
hanya diberika kepada orang yang telah menerima Yesus Kristus saja, tetapi agar
tiap orang beriman dapat dengan sesungguhnya menghayati makna dari Perjamuan
kudus itu, memang perlu persiapan pribadi seperti dianjukan oleh Paulus dalam I
Kor. 11: "Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu".
Persiapan itu sejajar dengan apa yang disebut PL dalam Maz. 139: 23-24: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!". Juga sejalan dengan pengertian PB dalam II Kor. 13: 5: "Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji".
Persiapan itu sejajar dengan apa yang disebut PL dalam Maz. 139: 23-24: "Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!". Juga sejalan dengan pengertian PB dalam II Kor. 13: 5: "Ujilah dirimu sendiri, apakah kamu tetap tegak di dalam iman. Selidikilah dirimu! Apakah kamu tidak yakin akan dirimu, bahwa Kristus Yesus ada di dalam diri kamu? Sebab jika tidak demikian, kamu tidak tahan uji".
3) Perjamuan kudus sebagai kesetiaan dan
pekabaran Injil
Tidak
dapat disangkal bahwa Zwingli dan Calvin
benar juga dalam hal memasukkan faktor “mengingat” (remembrance) di dalam Perjamuan Kudus. Kesalahan mereka
ialah bahwa mereka memandang hanya dari
sudut itu saja. Kita mengakui bahwa
Perjamuan Kudus itu adalah juga ingatan,
sesuai pula dengan yang dikatakan oleh Kristus:
“perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” . (Luk. 22: 19). Tetapi selain dari pada itu, Perjamuan kudus
adalah juga sebagai kesaksian iman dan pekabaran mengenai Yesus Kristus
(Injil). Di dalam I Korint 11: 26,
dikatakan: “Sebab itu setiap kali kamu
makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia adatang.”
Dari
seluruh uraian di atas, kita dapat mengatakan beberapa hal mengenai Perjamuan
Kudus:
§ Di dalam
Perjamuan Kudus, Kristus yang dimuliakan memang hadir ( di dalam roti dan
anggur); di dalam nya kita mengingat Kristus yang telah mati dan bangkit untuk
kita; dan dengan berpartisipasi dalam Perjamuan Kudus kita juga menyaksikan
iman kita.
§ The real presence dari Kristus hanyalah
selama Perjamuan Kudus itu diselenggarakan. Sebelum dan sesudah Perjamuan Kudus
itu, roti itu adalah roti biasa dan angur itu adalah anggur biasa. Dengan
demikian kita menolak segala pandangan yang bersifat magis dari Perjamuan Kudus
itu. (Pdt MSM Panjaitan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar