Rabu, 09 Oktober 2019

EKKLESIOLOGI

EKKLESIOLOGI

(Pdt MSM Panjaitan, MTh)


Pendahuluan
            Semua agama membutuhkan  suatu persekutuan  yang juga menjadi sumber  segala inspirasi keagamaan bagi umatnya. Seandainya ada agama yang tidak mempunyai persekutuan, itu sama saja dengan aliran-aliran filsafat. Sedangkan aliran-aliran yang anti agama sekalipun juga membutuhkan suatu persekutuan pada satu-satu waktu tertentu. Seperti misalnya Komunis  juga mempunyai kumpulan-kumpulan, partai-partai, yang selalu berkumpul secara rahasia. Karena adalah hakekat manusia untuk mendapat inspirasi baru di dalam kumpulan-kumpulan yang bersifat persekutuan.
       Tetapi di antara semua agama di dunia ini , terdapat pendapat yang bebeda  mengenai  arti dari persekutuan itu. Di satu pihak ada yang  menganggap persekutuan itu hanya  sebagai perkumpulan orang-orang elit ( enlightene ones atau orang-orang yang mempunyai ilham). Dan di pihak  lain ada yang berpendapat sebaliknya, yang mengatakan bahwa agama itu adalah perkumpulan dari keseluruhan umatnya secara horizontal, yang bersifat pergaulan sesama.  Hanya orang Kristenlah yang berhasil menghubungkan ke dua pendapat ini, dalam pengertiannya  mengenai gereja sebagai persekutuan orang-orang percaya.

1.      Pengertian tentang  Gereja

            Pengertian gereja dari berbagai  aliran, golongan, sekte tentang ekklesiogi adalah berbeda-beda. Ini disebabkan karena pengajaran tentang gereja tidak pernah sejelas pengertian mengenai  pokok teologi yang lain misalnya tentang keselamatan (soteriologi) dan tentang Kristus (Kristologi). Baik di gereja RK maupun di gereja-gereja Protestan pengertian mengenai ekklesiologi ini tidak pernah jelas. Dan itulah sebabnya sekarang ini sudah ada usaha untuk mencari konsensus (pengertian umum),  terlebih-lebih di gereja-gereja Proetestan dan gereja RK. Konsensus itu dapat dirumuskan sbb:

1.1.  Gereja sebagai bangsa Allah

Asal dari gereja ialah panggilan Tuhan Allah akan suatu  bangsa yang terplih. Dalam Perjanjain Lama  persekutuan umat Allah  yang terpilih itu disebut  “qahal”.  Pengertian ‘qahal” mengekspresikan kesatuan agamani dari orang-orang Yahudi sebagai satu bangsa Allah atas panggilan Tuhan Allah itu sendiri.  Qahal juga meliputi pengertian bahwa  paling tidak sebahagian dari bangsa yang terpilih itu akan dilepaskan.
Ekklesia sebagai Israel yang baru  tidak terikat kepada satu bangsa saja dan tidak terikat akan satu kode hukum. Ekklesia itu dilahirkan oleh  suatu perjanjian yang baru. Tetapi perjanjian yang baru yang menimbulkan  Israel yang baru ini tentu tidak meniadakan segala macam hubungan-hubungan yang ada di dalam PL.  Jadi Perjanjian Baru selalu menyadari dirinya sebagai kontinuitas dari  Perjanjian Lama dan berhubungan dengan bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah. Tetapi ekklesia ini selalu pula menyadari dirinya sebagai sisa dari bangsa pilihan dulu, yang karena itu sebagai bangsa yang benar dan benih yang benar. Malah dipercayai bahwa  rasul yang dua belas itu telah dihunjuk oleh Tuhan Allah menjadi hakim atas dua belas suku Israel.
Tuhan Allah selalu dianggap sebagai pendiri dari gereja, dan oleh karena itu gereja sebagaimana dahulu kala, demikian juga sekarang selalu menunjuk kepada perjanjian (covenant) dari Tuhan Allah, dalam perjanjian mana kasih Allah selalu mengatasi penyelewenang-penyelewengan dari anggota yang sering merusak isi perjanjian itu. Tetapi klimaks dari pengertian gereja yang demikian adalah bahwa gereja itu dikumpulkan dan dipersatukan oleh tindakan-tindakan penyataan dan tindakan pelepasan dari Tuhan Allah dalam Kristus, sehingga semua orang yang dikumpulkan itu menjadi satu bangsa walaupun mempunyai bahasa yang berbeda dan adat yang saling bertentangan. Menjadi anggota gereja berarti mengikuti rentetan-rentetan peristiwa-peristiwa dalam sejarah karena berdirinya gereja adalah sebagai hasil dari pekerjaan Tuhan Allah di dalam rentetan-rentetan peristiwa-peristiwa itu. Oleh karena itu pekerjaan Tuhan Allah di dalam Kristus secara historis bukanlah merupakan tindakan pertama di dalam memilih suatu bangsa di dalam sejarah. Sebelum Kristus sudah ada beberapa rentetan peristiwa tindakan Allah di dalam sejarah  yang mengumpulkan bangsanya.  Umpamanya panggilan  Abraham,  hukum-hukum Musa, nubuatan nabi khususnya nabi Yeremia tentang perjanjian baru yang akan tertulis dalam hati manusia. Ini merupakan  peristiwa tindakan pendahuluan dari  pekerjaan Yesus Kristus. Karena itu gereja tidak boleh melupakan arti dari peristiwa-peristiwa yang mendahului itu.

1.2.  Gereja  sebagai tubuh Kristus

Tetapi semua orang Kristen mempercayai bahwa tindakan yang paling menentukan dari pihak Tuhan Allah untuk membentuk suatu bangsa baru atau ekklesia atau Israel yang baru atau gereja, hanya dipenuhi di dalam kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Karena itu gereja dalam arti tertentu merupakan  “prolongation” (perpanjangan) dari tindakan Tuhan Allah. Dengan demikian terang bahwa adanya gereja bukanlah menjadi peniadaan akan peristiwa-peristiwa  Tuhan Allah sebelum Kristus,  melainkan berarti bahwa di dalam Kristus segala perjanjian itu diperbaharui, oleh sebab mana timbul satu bangsa baru atas pilihan yang baru.
      Hubungan Kristus dengan gereja dinyatakan oleh hukum perjanjian baru dengan beberapa gambaran.  Umpamanya seperti hubungan pohon anggur dengan ranting-rantingnya ( Yohannes 15), hubungan alas dengan bangunannya  ( I Korint 3); hubungan pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan  ( Wahyu 19: 7-11);  hubungan kepala dengan anggota badan atau tubuh  ( I Korint 12). Semua hubungan yang ada dalam gereja yaitu hubungan yang aktuil  (nyata) atau hubungan yang potensiel, berakar dalam keyakinan yang hidup yang mengatakan bahwa Yesus Kristus itulah kepala gereja dan anggota gereja itu adalah sebagai anggota tubuh dari kepala itu. 


1.3. Gereja sebagai persekutuan dari Roh Kudus

Gereja bukan hanya merupakan bangsa Allah dan tubuh Kristus. Tetapi juga merupakan persekutuan dari Roh Kudus.  Sebagai pemberian dari Roh Kudus, juga boleh dikatakan bahwa eksistensi dari gereja adalah kelanjutan umat Allah. Dan  ini tidak menghapuskan pengertian  bahwa memang pokok sentral  tindakan Allah ada di dalam Yesus Kristus. Menurut Perjanjian Baru, eksistensi dari gereja sangat banyak sangkut pautnya dengan pekerjaan Roh Kudus yang memanggil dan menyucikan. Itu sebabnya hari Pentakosta ( hari   Turunnya Roh Kudus) itu sering disebutkan sebagai hari lahir dari gereja.(Catatan: Bagi gereja Pentakosta, sejarah pertumbuhan gereja, di mana Allah mempergunakan peristiwa-peristiwa  dalam sejarah sebagai alatnya, tidak penting. Tetapi pengertian mereka akan tindakan Roh Kudus selalu bersifat momental. Bagi mereka apa yang terjadi di suatu gereja dalam perjalan sejarah tidak perlu. Tetapi yang perlu ialah apa yang terjadi sekali oleh tindakan Roh Kudus).
Sebenarnya bukanlah suatu kebetulan dalam “Credo” (Pengakuan iman Rasuli ), iman kepada  Roh Kudus dan kepercayaan kepada gereja yang am disatupadukan. Karena memang eksistensi gereja itu adalah  berhubungan dengan pekerjaan Roh Kudus. Dalam PB kita melihat ada petunjuk tentang empat pekerjaan yang besar dari Roh Kudus dalam gereja:
1)      Roh Kudus membuat kehadiran Kristus yang bermulia itu menjadi suatu kenyataan bagi semua manusia dalam semua generasi.
2)      Roh Kudus memanggil dan memungkinkan manusia untuk beriman, dan memimpin orang-orang beriman ke dalam kehidupan anak-anak Allah.
3)      Roh Kudus memberikan buah-buah dari perangai-perangai kesukaan Kristus.
4)      Roh Kudus mengingatkan orang-orang beriman di dalam partisipasinya di dalam koinonia.

1.4. Gereja yang didirikan oleh Allah pada waktu yang sama adalah gereja yang terdiri dari manusia-manusia

Faktor kemanusiaan adalah sangat jelas ada dalam gereja. Dan sebenarnya walaupun Tuhan Allah terus menerus mengampuni dosa dari anggota gereja dan terus menerus mentransform anugerah Allah dalam gereja, anggota gereja itu juga masih terus berdosa dan malah sering berlaku sebagai orang yang meniadakan Tuhannya. Gereja hidup sedemikian rupa sehingga faktor-faktor kemanusiaan masih sering menonjol. Itulah sebabnya rasul Paulus sendiri melihat gereja bukan hanya sebagai tubuh Kristus yang didiami oleh Roh Kudus, tetapi dia juga melihat gereja sebagai kumpulan dari orang-orang yang masih hidup dalam “sarx” (daging) yang selalu membutuhkan tegoran-tegoran dari rasul itu sendiri.
Tetapi adalah suatu mujizat besar sekali bahwa walaupun faktor-faktor kemanusiaan yang sering menonjol dalam gereja, sinar kuasa Kristus sama sekali tidak tidak dihempang atau ditutupi oleh dosa itu. Walaupun faktor-faktor negatif timbul dalam gereja, tanda-tanda yang benar yang menunjukkan bahwa gereja itu suci dan mulia masih nampak. Memang benar banyak faktor kemanusiaan yang menyebabkan Kristus itu kelihatan samar-samar sekali. Golongan Protestan melihat dan mengetahui faktor-faktor kemanusiaan ini sedemikian jelas, sehingga mereka suka menghibur dirinya di dalam pemikirannya yang merumuskan gereja yang benar sebagai gereja yang tidak nampak  (the invisible church). Jadi gereja-gereja Protestan membedakan  gereja yang kelihatan (visible Church) dan gereja yang tidak kelihatan kelihatan (invisible church).  Gereja yang kelihatan itulah yang nampak dalam organisasi atau lembaga kegerejaan, yang  pada satu pihak bisa disebut sebagai “divine institution”  (lembaga ilahi), tetapi dalam waktu yang sama juga merupakan “human institution”  (lembaga manusia). Gereja yang tidak nampak, anggotanya juga terdiri dari anggota gereja yang nampak, tetapi mereka telah benar-benar percaya dan hidup di dalam Kristus.
Ggereja Roma Katolik tidak memerlukan pengertian “invisible church”, karena walaupun mereka mengakui bahwa anggota-anggota gereja itu adalah manusia yang berdosa, gereja itu menurutnya tida berdosa atau bebas dari dosa. Begitulah mereka mengertikan  gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus adalah suci. Sebagai Tubuh Kristus, gereja adalah benar-benar kudus dalam pengertian  ‘sinless” (tanpa dosa). Kalau ada anggotanya yang berdosa, maka orang itu bukan berdosa di dalam gereja, tetapi berdosa di luar gereja.

1.5. Gereja dan Kerajaan Allah

Gereja secara positif berhubungan dengan Kerejaan Allah, tetapi gereja itu sendiri bukan positif Kerajaan Allah  tanpa kualifikasi. Beberapa aliran gereja ada yang terlalu memberikan tekanan akan realisasi yang sekarang dari Kerejaan Allah di dalam gereja, sehingga dengan demikian  mereka mengajarkan gereja itu  identik dengan Kerajaan Allah. Tetapi dalam teologia kita, gereja bukanlah Kerajaan Allah yang komplit.  Memang benar bahwa segala pemberian Roh Kudus kepada  orang-orang yang di dalam gereja adalah melulu pemberian Allah, tetapi ini hanyalah semata-mata sebagai  “arrhabon”  atau panjar atau jaminan saja. Artinya pemberian Roh Kudus di dalam gereja hanyalah merupakan realisasi sebagian dari Kerajaan Allah. Dan hanya dalam arti itu saja kita dapat mengartikan “realized eschatology” (zaman akhir yang direalisasikan sekarang). Dan dalam arti juga kita memakai istilah yang dipakai oleh seorang teolog kenamaan abad yang lalu,  Rudolf Boultman yaitu :  “eschatological community” (persekutuan eskhatologis) yang dikenakan kepada gereja, memberitakan kerejaan Allah yang masih disempurnakan. Pengertian “eschatological community” ini nampak dalam arti dan pekerjan gereja itu sendiri dan sebagian dari harapan-harapannya di dalam iman dan doa. Gereja selalu harus sadar bahwa keberadaannya sekarang tidak dapat diidentikkan dengan Kerejaan Allah  yang komplit. Semua aspek dari gereja hanya menuju kepada sesuatu yang masih akan terjadi yaitu kesempurnaan Kerajaan Allah.


2.       Tugas  Gereja

Gereja diberi tugas oleh Tuhannya, di mana dalam tugas itu semua anggota gereja berpartisipasi dan terikat kepada sesuatu bentuk pelayanan yang saling berbeda.  Sebagai tubuh  Kristus, gereja merupakan satu alat Kristus yang terutama untuk meneruskan pekerjaan penyelamatannya. Memberitakan Injil kepada segenap bangsa dan menghayati janji Kristus yang mengatakan bahwa Dia akan menyertai gereja yang menjadi sumber dari segala sukacita yang benar (Mark. 15: 15); Mat. 28: 20), mempunyai fungsi rangkap, yaitu:
a.       Di dalam persekutuan itu sendiri. Tugas gereja di dalam persekutuan yang ada di dalamnya sebenarnya adalah  memperkokoh hubungan gereja dengan anggota-anggotanya, yakni dengan cara: Pemberitaan firman (khotbah), pengajaran firman,  melayani sakramen, ibadah, pendidikan dan segala bentuk pimpinan  dan pelayanan kerohanian.
b.      Ke luar persekutuan.  Tugas gereja ke luar persekutuan adalah dengan cara: menyebar-luaskan pengenalan akan Injil kepada segala bangsa dan mengenakan prinsip-prinsip Kerajaan Allah kepada segenap aspek hidup dan dengan demikian memungkinkan  pertumbuhan Kerajaan Allah di atas dunia.

Umumnya adanya perbedaan dari gereja-gereja adalah disebabkan oleh tekanan  akan tugas gereja itu sendiri. Misalnya soal memberitakan Firman dan melayani Sakramen. Perbedaan di antara  gereja Protestan dan gereja RK sebagian besar ditinjau dari tekanan-tekanan akan ke dua tugas utama itu.  Tetapi di kalangan Protestan ada beberapa golongan yang hampir sama sekali kurang mengindahkan pelayanan Firman  dan pelayanan Sakramen secara formil. Misalnya Sekte: Religious Society of Friends (Quakers) dan Salvation Army (Bala Keselamatan) . Di dalam ke dua sekte ini tidak ada sakrament yang formil. Pelayanan sakramen  mereka bukan seperti pelayanan sakramen yang biasa kita alami di gereja Protestan. Pelayanan sakramen mereka biasanya tanpa  dogma.  Pemberitaan Injil yang formil juga tidak ada. Siapa yang merasa dirinya perlu bicara dengan Firman Allah, maka dia berdiri. Kebaktian mereka disebut “free Worship”  (ibadah bebas), di mana liturgi setiap Minggu bisa saja berobah.
      Tetapi pada umumnya gereja-gereja Protestan yang tradisionil selalu menekankan bahwa tanda gereja yang benar ialah apabila pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen dilakukan secara benar.  Pada dirinya pengertian ini tidak bisa menimbulkan perpisahan, karena semua  gereja-gereja Protestan memegang prinsip itu. Yang berbeda-beda adalah tafsiran masing-masing akan prinsip itu.

3.       Siapakah Gereja itu ?

Sampai sekarang Gereja RK dan Gereja Orthodox masing-masing selalu menuntut bahwa merekalah gereja yang benar. Di luar mereka memang diakui mungkin ada beberapa orang Kristen yang  menjadi anggota gereja hanya oleh pembaptisan yang benar dan oleh anugerah / rakhmat dari Tuhan Allah.  Tetapi secara gereja menurut pendirian gereja RK dan Orthodox Timur, tidak ada gereja yang benar di luar mereka. Tetapi demikian jugalah pendirtian dari beberapa gereja Protestan dan  juga gereja Anglikan.

Tetapi golongan yang bernama “Free Church”  menyatakan bahwqa sama sekali  gereja tidak ada  di atas bumi. Yang ada hanyalah kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok dari sejumlah orang-orang percaya. Jadi menurut Free Church, segala gereja yang menuntut  bahwa dirinyalah gereja yang benar adalah kesombongan  yang tidak  dapat dimaafkan. Roh  Allah adalah bebas, tidak terikat kepada organisasi-organisasi atau synode-synode gereja tertentu.
Sebaliknya gereja-gereja yang terlibat dalam gereja oikumenisme mengatakan bahwa memang ada gereja yang am dan ini terdapat  di mana saja anugerah Allah dalam Yesus Kristus bekerja. Gereja yang am itu terus ada dan tidak dapat digoncang oleh perpecahan yang ada. Dan juga tidak dapat dirobek-robek oleh pengajaran-pengajaran yang saling berbeda. Pendirian gerakan-gerakan oikumenis dapat dihasiatkan dalam satu slogan yakni: “Ubi Christus, ibi ekklesia”. Yang artinya dimana ada Kristus di situ ada gereja.


4.       Bentuk Gereja

Beberapa gereja mengikat dirinya kepada satu bentuk yang dianggap  sebagai satu keharusan. Biasanya bentuk sistem orga nisasi  gereja  yang terutama ialah bentuk:  Episkopal, Papal, Presbyterial dan Kongregational. Gereja yang mengikuti  salah satu bentuk ini selalu mencari dan mendapat dasarnya di dalam kitab PB. Beberapa gereja yang tidak termasuk kepada salah satu golongan tersebut di atas menuntut bahwa struktur dan hukum-hukum gereja ditentukan oleh perkembangan sejarah dan oleh karena itu harus sanggup berobah sesuai  dengan situasi masing-masing. Jadi  ke empat bentuk gereja tersebut di atas dilihat tidak bisa menyatakan dirinya menjadi ukuran gereja yang benar.
            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang dipegang oleh para uskup ( Yunani: episkopoV - episkopos), salah satu jabatan yang dikenal  jemaat pada zaman rasuli, yang dalam PB diterjemahkan dengan “penilik”. Kemudian jabatan ini  dikenal dengan jabatan uskup atau bishop. Pada mulanya jabatan ini sejajar dengan jabatan  “presbuteroV”  (presbyteros) yang diterjemahkan dengan penatua. Perbedaannya hanya di latar-belakang, di mana istilah ‘presbyteros’ dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan ‘episkopos’  dipinjam dari masyarakat Yunani.  Sampai akhir abad pertama ke dua jabatan ini mempunyai tugas dan posisi yang sama dalam jemaat setempat, yakni untuk mengajar dan memimpin  warga jemaat itu melaksanakan tuntutan kekristenan. Tetapi mulai pada awal abad ke dua, jabatan uskup  dikenakan kepada pemimpin dari suatu jemaat yang disertai oleh suatu dewan penatua, yang dipilih dari antara dewan penatua itu. Dan semua uskup itu mempunyai kedudukan yang sama sebagai ‘pengganti rasul” untuk memimpin jemaat-jemaat dalam satu wilayah tertentu. Segala persoalan  yang timbul dalam suatu jemaat diselesaikan oleh uskup tersebut. Tetapi kalau persoalan itu menyangkut seluruh jemaat Kristen, maka persoalan itu dislesaikan dalam rapat para uskup. Rapat para uskup ini kemudian dikenal dengan istilah “synode” atau konsili. Sampai sekarang sistem pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal masih dipertahankan oleh beberapa gereja, antara lain: Gereja Orthodoz Timur , Gereja Anglkkan dan sebagian  gereja Protestan.
           
            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat “Papal”, ialah sistem pemerintahan gereja yang dipimpin oleh paus. Kapa “papal” berasal dari kata  “papa” (pope) yang artinya bapa. Paus dianggap sebagai bapa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam gereja. Sistem ini mulai di gereja Roma Katolik pada abad ke lima, di mana uskup (episkopos) yang berkedudukan di Roma dianggap sebagai paus, yang mengepalai seluruh uskup dan seluruh gereja. Paus di Roma ini menganggap diri mereka dipanggil oleh Tuhan menjadi kepala gereja sebgai pengganti Rasul Petrus (bd. Mat.16: 18), dan bahkan kemudian dianggap sebagai wakil Kristus di dunia ini. Dengan kedudukan seperti itu kuasa paus dianggap sangat besar. Segala sesuatu yang akan dijalankan dalam gereja ditetapkan oleh paus, termasuk segala peraturan atau hukum dalam gereja. Apa yang ditetapkan oleh paus mutalk berlaku. Dan dari situ mucul suatua ajaran dalam gereja RK yang mengatakan bahwa paus tidak pernah salah atau keliru. Tidak seorang pun yang bisa menentang paus. Tetapi sistem pemerintahan paus yang mutlak itu  kemudian mendapat reaksi  dari berbagai tokoh gereja yang kemudian menjadi suatu gerakan yang disebut reformasi. Setelah reformasi  muncul lagi beberapa sistem pemerintahan gereja yang lain yang dianggap berdasarkan Alkitab. Sistem papal dilihat tidak berdasarkan Alkitab.

            Sistem pemerintahan gereja yang bersifat “presbyteial”  ialah  gereja yang dipimpin oleh para ‘persbyteros” dalam bentuk “majelis  gereja”.  Sistem ini pertama ditetapkan oleh Yohannes Calvin, dalam upaya untuk memperbaharui sistem gereja Roma Katolik yang kepemimpinannya  mutlak berada di tangan satu orang.  Untuk memimpin gereja itu Calvin membentuk satu ‘majelis gereja” yang terdiri dari  pejabat-pejabat  yang ditetapkan dalam gereja oleh Kristus sebagai Kepala Gereja satu-satunya yakni: gembala (pastor atau pendeta), pengajar ( guru), penatua  (orang yang lanjut usia) dan diaken atau syamas. Majelis gereja itulah yang memimpin gereja  berdasarkan Firman Tuhan dan menjalankan disiplin gereja. Segala persoalan gereja dan ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan di dalam gereja ditangani oleh majelis gereja itu.

            Gereja yang mengikuti sistem pemerintahan yang bersifat “Congregational” ialah gereja yang memberikan otonomi sepenuhnya kepada jemaat-jemaat setempat (kongregasi). Sistem “congregational” bertolak dari kongregasi-kongregasi (yang mereka sebut sebagai persekutuan orang-orang percaya setempat),  yang sama sekali bebas dan mandiri, baik terhadap kongregasi-kongregasi yang lain, maupun terhadap wibawa negara. Kepemimpin berada di tangan Kristus, yang dijalankan melalui rapat jemaat-jemaat setempat atau sidang orang-orang percaya. Dalam pandangan gereja yang menganut sistem ini  hanya ada satu ototritas di atas jemaat itu sendiri yakni otoritas Kristus. Fungsi pejabat gereja misalnya pendeta, bukanlah sebagai pemimpin dalam jemaat itu, tetapi hanya sebagai pelayan  yakni pelayan Firman Tuhan. Dan pendeta yang melayani di tiap-tiap jemaat  bukan ditempatkan dari Kantor Pusat atau Kantor Sinode dari gereja itu, tetapi dipanggil langsung oleh Kristus dengan perantaraan jemaat setempat. Dengan demikian jemaat setempatlah yang mempunyai wewenang untuk mencari pendetanya atau juga untuk memberhentikannya apabila pendeta itu melanggar tugas pangilannya atau apabila dirasa tidak dibutuhkan lagi. Fungsi  pimpinan pusat dari gereja itu hanya sebagai ketua sinode, sedangkan masing-masing jemaat tidak terikat kepada  keputusan sinode itu.

            Dalam perkembangan selanjutnya dari sistem pemerintahan gereja, belakangan ini muncul suatu sistem pemerintahan yang bersifat “Synodal”. Gereja yang mengikuti sistem synodal ialah gereja yang sepenuhnya dipimpin berdasarkan keputusan-keputusan sinode dari gereja itu. Segala aturan, kebijaksanaan dan kegiatan-kegiatan yang dijalankan ditetapkan berdasarkan keputusan sinode. Untuk menjalankan kepemimpinan sehari-hari, dipercayakan kepada seorang pelayan yang dipilih oleh sinode itu sendiri.
            Tetapi tidak semua gereja yang memiliki sinode bisa disebut synodal. Pemahaman mengenai unsur yang diutus untuk mengikuti sinode itu berbeda-beda. Misalnya dalam gereja mula-mula (setelah zaman rasuli)  yang dipimpin oleh para uskup,  sinode juga sudah dikenal, tetapi unsur yang mengikuti sinode ini hanya para uskup dalam suatu wilayah tertentu, dan dilakukan tidak secara periodik, melainkan apabila dirasa perlu untuk menyelesaikan suatu persoalan yang telah meluas.   Seperti sudah disinggung di atas, di gereja yang bersifat Congregational juga ada dikenal semacam sinode, yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan jemaat setempat, tetapi fungsi dari sinode itu hanya sebagai wadah musyawarah untuk membicarakan hubungan timbal balik dan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan secara bersama-sama. Keputusan yang diambil tidak mengikat kepada masing-masing jemaat setempat.Sedangkan gereja yang mengikuti sistem synodal, keputusan yang diambil dalam sinode harus dijalankan. 

            Dalam gereja yang bersifat Presbyterial, sinode juga dikenal, tetapi sifatnya adalah merupakan sidang yang lebih luas dari sidang majelis jemaat, yang mencakup pembicaraan mengenai kebutuhan-kebutuhan dari seluruh jemaat yang tergabung dalam gereja itu. Keputusan yang diambil di sini biasanya adalah yang menyangkut masalah umum. Sedangkan yang menyangkut masalah khusus untuk satu-satu jemaat dibicarakan dalam sidang majelis jemaat tersebut.

5.       Kontinuitas dari Gereja / pemerintahan gereja

Di dalam gereja Roma Katolik, Gereja Orthodox dan Gereja Anglikan ada pengertian dan pengajaran yang menekankan “successio apostolica”  (pewarisan jabatan rasul).  “Successio apostolica” adalah suatu  warisan dari gereja mula-mula, di mana ditetapkan bahwa jabatan uskup sebagai pengganti jabatan rasul.  Dalam gereja yang mengikuti tradisi ini,  diajarkan bahwa: anugerah yang istimewa dan otoritas untuk memimpin dan mengajari  diserahkan oleh Yesus Kristus kepada rasul-rasulnya, dan dari rasul-rasul yang pertama itu diturunkan kepada uskup-uskup yang pertama, dan demikian  seterusnya  kepada uskup-uskup  berikuitnya. Inilah yang menjamin kontinuitas dari jabatan, pelayanan Firman, Sakramen dan tugas Pekabaran Injil yang dilakukan oleh gereja. Kontinuitas itu tidak boleh terputus-putus. Kebanyakan gereja Protestan  kurang mementingkan garis  succession yang demikian. Mereka menekankan pentingnya garis yang berhubungan dengan Tuhan Allah sendiri secara langsung. Dikatakan bahwa “pemberitaan yang benar akan Injil atau Firman Allah” dan “pelayanan yang benar akan Sakramen’ itulah yang menghubungkan gereja itu langsung kepada kepala gereja yaitu Kristus. Roh Allah selalu bekerja di luar pengertian succession yang ditonjolkan oleh pengajaran “succesio apostolica” itu.
Ada tiga  pemikiran yang berbeda mengenai hubungan antara gereja dengan kepala gereja itu.  Pada satu pihak  tergolong dalam gereja-gereja yang  menekankan “successio apostolica”  seperti  Roma Katolik, Orthodox , Anglikan,  pada pihak lain yang tidak mengakui sama sekali adanya unsur yang diwariskan memalui para rasul tetapi berhubungan langsung dengan Kristus seperti dianut  oleh Free Church,  dan juga golongan yang mengakui   ke dua-duanya, baik wrisan rasuli maupun hubungan langsung dengan kristus seperti dianut oleh gereja-gerela Lutheran dan Calvinis.  Adanya perbedaan-perbedaan pikiran tersebut adalah disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda-beda mengenai gereja itu sendiri.

5.1. Pendapat dari Roma Katolik

Menurut pemahaman Roma Katolik, kepada gereja itu diberikan atau dianugerahkan oleh Kristus tiga kuasa yang besar, yaitu:
§  Kuasa kenabian untuk mengajar secara tidak salah
§  Kuasa keimaman untuk menyampaikan anugerah Allah melalui sakramen
§  Kuasa Raja, untuk  merajai atau memimpin   warga gereja dalam hal-hal yang menyangkut hidup beriman dan moral, dan akhirnya juga menguasai dunia.

Ketiga kuasa ini pada akhirnya bersatu menjadi satu hakekat, karena sumbernya adalah satu yakni Kristus sebagai  Tuhan dan Kepala Gereja. Gereja itu sebagai pelaksana kuasa-kuasa keilahian itu tidak mungkin diperbaharui, karena gereja itu  selalu baik, kudus dan tidak berdosa dalam hakekat keilahiannya. Oleh sebab itu terhadap gereja semua warganya  harus patuh secara absolut tanpa pertanyaan.  Itulah sebabnya gereja itu sering disebut “holy mother” (ibu suci)  bagi anggota-anggotanya. Gereja itu menurut RK, walaupun dalam bentuk organisasi yang kelihatan dan dalam sifatnya yang institusionil, mempunyai sifat-sifat Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang melepaskan dan tindakan Allah kepada dan diantara manusia disalurkan melalui gereja Katolik.
Imam-imam sebagai pribadi masih mungkin jatuh ke dalam dosa. Tetapi ke-imaman (priesthood) itu adalah bersih, kudus dan tidak mendapat cela apa-apapun. Ini seiringan dengan ide bahwa gereja itu pada hakekatnya yang asli bukan lagi di bawah “judgement” (penghakiman) dari Allah.  Seseorang bisa saja mengkritik pribadi-pribadi dari Imam, tetapi gereja sebagai gereja tidak boleh disentuh apalagi dikritik, karena gereja itu adalah tubuh yang kudus, ibu dari orang-orang percaya. Karena itu gereja tidak membutuhkan fikiran dari para anggotanya. Yang penting ialah bahwa gereja bertindak untuk anggota. Bagaimana anggota berfikir dan merasakan sesuatu kurang perlu. Yang perlu ialah hukum-hukum yang diberikan gereja kepada anggota untuk dilaksanakan. Inilah dasar-dasar apostolis dari hierarkhi  gereja RK.

5.2. Pendirian Protestan Klasik (reformasi)

Yang kita maksud dengan Protstan Klasik ialah gereja-gereja Lutheran dan Reformed (Calvin) yang berasal dari reformasi Jerman dan Swiss. Sejak mulanya ke dua golongan gereja ini mengalami hubungan yang erat dan bersatu dalam banyak hal. Perbedaan yang terus ada sampai sekarang adalah mengenai soal Perjamuan Kudus. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan pada abad 20 yang mencoba memperdamaikan ke dua  aliran gereja itu tentang Perjamuan Kudus. Ada indikasi bahwa saling pengertian antara satu sama  lain  makin  timbul.
§  Pengertian fundamental yang umum terdapat di dalam ke dua gereja itu mengenai Gereja  adalah demikian: Gereja itu bukan bukan di atas “judgement” (penghakiman) Allah dan bukan tidak berdosa. Oleh karena ia adalah hamba dari Tuhan Allah, maka gereja harus selalu dinilai dari hukum sesuai dengan kesetiaannya kepada Firman  Tuhan.
§  Diakui selalu bahwa Firman Allah lebih dahulu ada dari pada gereja. Oleh karena itu ke dua-duanya tidak pernah setaraf. Jadi kalau bagi gereja RK, gereja itu tidak boleh diperbaiki ( irreformable), kebalikannyalah yang terdapat dalam pendirian Protestan Klasik, yaitu bahwa gereja harus terus menerus diperbaiki (diperbaharui), sesuai dengan keharusan gereja untuk setia kepada Firman Tuhan. Suatu kebiasaan atau aturan gereja yang nyata tidak sesuai dengan Firman Tuhan harus dirombak. Dengan demikian timbul prinsip:  “ecclesia reformata semper reformanda” artinya gerja yang sudah diperbaiki harus selalu memperbaiki dirinya. Atau gereja yang memperbaiki, harus selalu diperbaiki.

Dengan demikian jelas bahwa Firman Allahlah yang menjadi ukuran dalam segenap hidup gereja. Timbul pertanyaan bagaimana Alkitab yang tertulis berhubungan dengan Firman Allah dan bagaimana Alkitab itu bisa menjadi ukuran untuk mereformasi gereja. Mengenai soal ini Luther berbeda pendapat dengan para reformator Swiss. Luther dalam penilaiannya agak lebih konservatif karena dia merobah aspek-aspek dalam hidup gereja hanya yang terang-terangan bertentangan dengan Alkitab. Sedangkan para reformator Swiss merombak apa saja yang tidak disebut oleh Alkitab.
Pada abad-abad selanjutnya beberapa golongan Protestan yang fundamentalis mengidentifikasikan Firman Allah  dengan kata-kata yang tertulis dalam Kitab Suci dengan dasar kepercayaan bahwa Firman Allah adalah hasil dari ‘verbal inspiration” (pengilhman secara lisan). Aliran fundamentalisme demikian memang sampai sekarang masih populer dikalangan Protestan, apalagi di kalangan Protestan yang berada dalam negara-negara yang sudah berkembang. Makin kurang sanggup orang berfikir secara teologis, makin mudah dia jatuh kepada cara berfikir  fundamentalisme.
Golongan lain di kalangan Protestan yang bukan fundamentalis mengatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah dalam pengertian bahwa Kitab Suci mengandung Firman Allah. Dengan demikian tidak semuanya  unsur dalam Kitab Suci itu identik dengan Firman Allah.
Konsensus yang terakhir di dalam teologi Protestan masa kini nyata sekali dipengaruhi oleh pandangan Karl Barth dalam idenya tentang: teologi dan Firman. Menurutnya arti pertama dari Firman Allah ialah Kristus sendiri selaku logos Allah.  Arti kedua dari Firman Allah itu ialah Kitab Suci yang menghunjuk kepada Kristus itu. Dan arti ketiga ialah segala khotbah dan pengajaran yang mengenakan kesaksian Alkitab itu kepada situasi dari tiap generasi dalam bimbingan Roh Kudus. Biasanya dalam kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firmanlah yang dianggap sebagai alat anugerah yang terutama, walaupun sebenarnya Luther dan Calvin mengajarkan dua norma dari gereja yang benar itu yakni: di mana Firman Allah diberitakan secara benar dan sakramen dilayankan secara benar.  Oleh karena dalam norma itu disebut pemberitan Injil atau Firman yang pertama sekali, maka dalam prakteknya gereja Protestan mengutamakan Injil atau Firman itu. Ini disaksikan pula akan pengertian Augustinus yang mengatakan bahwa Sakramen itu adalah “Firman yang dapat dilihat atau Firman yang dibuat nyata.  Jadi dalam pemberitaan Injil, Firman lah yang menjadi intinya; dan di dalam sakramen sebagai “verbum visible”,  Firmanlah juga yang menjadi intinya. Itulah sebabnya di kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firman diutamakan, dan  Alkitab sebagai pusat dan dasar dari segala aktifitas  gereja.

Satu lagi perbedaan Protestan Klasik dan RK ialah soal tempatnya iman. Sebenarnya RK memang tidak menghapuskan begitu saja aspek  subjektif dari iman, tetapi mereka lebih mementingkan aspek  objektif dari iman itu, yaitu dengan mempercayai bahwa yang terpenting ialah apa yang diberikan kepada orang-orang percaya melalui gereja. Pengutamaan ini sedemikian rupa, sehingga kurang jelas nampak gunanya response dari kepercayaan  sebagai aspek yang subjektif dari iman. Sedangkan bagi Protestan, dengan rumusan “justification by faith” (pembenaran oleh iman), baik aspek objektif mapun aspek subjektif sama-sama mendapat tekanan, walaupun sering kelihatan aspek subjektif yang lebih menonjol. Orang percaya telah dibenarkan oleh Kistus adalah aspek objektif dari iman. Tetapi orang beriman itu harus mengadakan respons kepada pembenaran itu. Respons itulah aspek subjektif dari iman. Dia harus bertobat dan harus berbuat baik, walaupun usaha berbuat baik itu bukan sebagai satu bagian dari proses penyelamatan. Maka boleh dikatakan bahwa selain dari pada pemberitaan Injil secara objektiof, dan sakramen, maka iman, doa, perbuatan baik, juga dipandang oleh golongan Protestan sebagai alat-alat anugerah. Subjketifitas dari iman berada dalam ruang lingkup objektifitas dari anugerah. Kemungkinan untuk berbuat baik adalah juga anugerah.

5.3. Ide dari Free Church

Free Church bukan saja berarti bahwa gereja yang bersangkutan membiayai diri sendiri sebagai lawan dari gereja yang terikat dan dibiayai oleh negara. Dan bukan hanya berarti bahwa gereja yang bersangkutan mempunyai teologi liberal, walaupun tentunya orang-orang dari kalangan Free Church ini menolak segala  rumusan-rumusan pengakuan iman sebagai ukuran dari kebenaran. Juga bukan hanya berarti bahwa mereka tidak mempunyai suatu kontrol dari pimpinan pusat saja. Semuanya yang disebut di atas memang adalah hasiat dari Free Church, tetapi hasiat yang utama ialah bahwa Free Church ini adalah pemprotestanan dari agama Protestan (Protestantation of Protestant religion). Dengan kata lain, hidup dari gerja Protestan klasik dibongkar dan dipebaharui, baik dalam hal yang menyangkut organisasi maupun pengajaran.
Sebenarnya adalah sukar untuk membuat suatu rumusan yang meliputi bada-badan yang tergolong Free Church yaitu: Quakers, Bretheren, Mennonites, Bapptist, Congregationalist, Disciple, dan berbagai  badan lain yang tersebar di dunia barat terutama di Inggris dan Amerika. Tetapi mungkin jugalah merumuskan pandangan-pandangan mereka yang agak bersamaan  mengenai arti gereja dan alat-alat anugerah, yang menjadi dasar dari ikatan-ikatan mereka satu sama lain. Menurut mereka bahwa di dalam PB sudah jelas bahwa gereja itu adalah suatu persekutuan, bukan suatu institut organisatoris. Dan persekutuan itu bukanlah buatan manusia, tetapi persekutuan dalam bimbingan atau pimpinan Roh Kudus. Tidak ada manusia yang menjadi anggota persekutuan itu melalui pembaptisan. Hanyalah orang-orang yang telah bertobat yang menjadi anggotanya.
Dan menurut mereka kehadiran Kristus janganlah dicari di dalam pelayanan sakramen dan bukan di dalam pemberitaan Firman tetapi hanyalah di dalam persekutuan yang berkumpul. Firman itu memang masih penting, tetapi bukan Firman seperti yang dikhotbahkan, yang diajarkan dan yang terdapat dalam  Katekismus  serta dalam pengakuan iman. Firman itu ada, kedengaran dan berkuasa hanya melalui inspirasi dari Roh Kudus sewaktu orang-orang percaya membaca, mendengar dan bermeditasi.
Di dalam Free Church, baptisan tidak pernah diartikan sebagaimana diartikan oleh Protestan Klasik. Baptisan itu menurut mereka terutama adalah kepatuhan iman seorang percaya di dalam mana ia bersaksi secara publik tentang hidup  baru orang beriman (subjektif bukan objektif), bukan sebagai pekerjan Allah, Roh Kudus dan Yesus Kristus.  Demikian juga halnya dengan Perjamuan Kudus. Ini juga terutama dianggap sebagai tindakan persekutuan di dalam mana jemaat itu secara bersama bersaksi tentang persekutuan  di dalam Roh yang telah dialami. Pengertian ini lebih jelas kelihatan dalam golongan “Society of friends” ,  yang sama sekali tidak mempunyai sakramen secara formil dan tidak mempunyai pendeta yang ditahbiskan. Yang mereka hayati ialah pengertian jemaat sebagai persekutuan di dalam Roh.
Free Church ini  sekarang ini makin berkembang. Tetapi anehnya di dalam perkembangannya struktur kegerejaanya tidak jelas. Kuasa dan hak gereja setempat sekarang ini makin tipis, diperbandingkan dengan keadaan mereka bermula. Makin lama mereka juga makin cenderung  masuk ke pada struktur-struktur institut. Dan makin lama mereka juga makin menyamai Protestan Klasik dalam struktur organisasi. Dengan kata lain mereka makin menghendaki adanya kontrol dari pusatnya.
Contoh: gereja  Baptis dan Congregational. Dulu pada mulanya Kantor Pusat mereka tidak berhak mengatakan sesuatu  kepada setiap jemaat setempat. Kantor pusat kebanyakan hanya berfunsi sebagai pelaksana saja dari keputusan-keputusan gereja setempat. Tetapi belakangan ini kantor Pusat mereka makin mempunyai banyak kuasa dan kontrol terhadap jemaat setempat. Tetapi contoh yang lebih jelas adalah dalam gereja Methodis. Pada permulaannya gereja methodis sungguh-sungguh hidup sebagai Free Church, di mana jemaat setempat sajalah yang berkuasa atas dirinya. Tetapi sekarang struktur gereja Methodis sudah sama dengan struktur gereja Protestan Klasik. Mereka malah sudah mempunyai bishop.

Sebenarnya tiga pendirian yang disebut di atas bukan tidak dapat disatukan dalam satu badan. Umpamanya di Inggris gereja Anglikan yang sebenarnya bersifat Episkopal dan gereja Methodis yang sebenarnya bersifat Free Church bergabung dalam suatu badan gereja. Demikian juga gereja-gereja di India Selatan mempersatukan  ketiga pendirian itu dalam satu badan gereja, sehingga  terbentuk satu gereja yang bernama ‘ The Church of South India” (Gereja India Selatan). Ini adalah ssebagai hasil dari gerakan oikumenis di sana.
Gerakan-gerakan oikumenis  yang berkembang sekarang ini  nampaknya menganjurkan adanya sruktur  gereja yang demikian yakni: adanya struktur pusat yang bertalian dengan struktur-struktur lain di sekitarnya dan tiap-tiap struktur juga mempunyai  hubungan komunikasi di antara sesamanya. Tetapi belum jelas  dalam arti apa struktut pusat itu berada di pusat. (msm)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar