EKKLESIOLOGI
(Pdt
MSM Panjaitan, MTh)
Pendahuluan
Semua
agama membutuhkan suatu persekutuan yang juga menjadi sumber segala inspirasi keagamaan bagi umatnya.
Seandainya ada agama yang tidak mempunyai persekutuan, itu sama saja dengan
aliran-aliran filsafat. Sedangkan aliran-aliran yang anti agama sekalipun juga
membutuhkan suatu persekutuan pada satu-satu waktu tertentu. Seperti misalnya
Komunis juga mempunyai
kumpulan-kumpulan, partai-partai, yang selalu berkumpul secara rahasia. Karena
adalah hakekat manusia untuk mendapat inspirasi baru di dalam kumpulan-kumpulan
yang bersifat persekutuan.
Tetapi
di antara semua agama di dunia ini , terdapat pendapat yang bebeda mengenai
arti dari persekutuan itu. Di satu pihak ada yang menganggap persekutuan itu hanya sebagai perkumpulan orang-orang elit (
enlightene ones atau orang-orang yang mempunyai ilham). Dan di pihak lain ada yang berpendapat sebaliknya, yang
mengatakan bahwa agama itu adalah perkumpulan dari keseluruhan umatnya secara
horizontal, yang bersifat pergaulan sesama.
Hanya orang Kristenlah yang berhasil menghubungkan ke dua pendapat ini,
dalam pengertiannya mengenai gereja
sebagai persekutuan orang-orang percaya.
1.
Pengertian tentang Gereja
Pengertian
gereja dari berbagai aliran, golongan,
sekte tentang ekklesiogi adalah berbeda-beda. Ini disebabkan karena pengajaran
tentang gereja tidak pernah sejelas pengertian mengenai pokok teologi yang lain misalnya tentang
keselamatan (soteriologi) dan tentang Kristus (Kristologi). Baik di gereja RK
maupun di gereja-gereja Protestan pengertian mengenai ekklesiologi ini tidak
pernah jelas. Dan itulah sebabnya sekarang ini sudah ada usaha untuk mencari
konsensus (pengertian umum),
terlebih-lebih di gereja-gereja Proetestan dan gereja RK. Konsensus itu
dapat dirumuskan sbb:
1.1. Gereja sebagai bangsa Allah
Asal dari gereja ialah panggilan Tuhan Allah akan
suatu bangsa yang terplih. Dalam
Perjanjain Lama persekutuan umat
Allah yang terpilih itu disebut “qahal”.
Pengertian ‘qahal” mengekspresikan kesatuan agamani dari orang-orang
Yahudi sebagai satu bangsa Allah atas panggilan Tuhan Allah itu sendiri. Qahal juga meliputi pengertian bahwa paling tidak sebahagian dari bangsa yang
terpilih itu akan dilepaskan.
Ekklesia sebagai Israel yang baru tidak terikat kepada satu bangsa saja dan
tidak terikat akan satu kode hukum. Ekklesia itu dilahirkan oleh suatu perjanjian yang baru. Tetapi perjanjian
yang baru yang menimbulkan Israel yang
baru ini tentu tidak meniadakan segala macam hubungan-hubungan yang ada di
dalam PL. Jadi Perjanjian Baru selalu
menyadari dirinya sebagai kontinuitas dari
Perjanjian Lama dan berhubungan dengan bangsa Israel sebagai umat
pilihan Allah. Tetapi ekklesia ini selalu pula menyadari dirinya sebagai sisa
dari bangsa pilihan dulu, yang karena itu sebagai bangsa yang benar dan benih
yang benar. Malah dipercayai bahwa rasul
yang dua belas itu telah dihunjuk oleh Tuhan Allah menjadi hakim atas dua belas
suku Israel.
Tuhan Allah selalu dianggap sebagai pendiri dari
gereja, dan oleh karena itu gereja sebagaimana dahulu kala, demikian juga
sekarang selalu menunjuk kepada perjanjian (covenant) dari Tuhan Allah, dalam
perjanjian mana kasih Allah selalu mengatasi penyelewenang-penyelewengan dari
anggota yang sering merusak isi perjanjian itu. Tetapi klimaks dari pengertian
gereja yang demikian adalah bahwa gereja itu dikumpulkan dan dipersatukan oleh
tindakan-tindakan penyataan dan tindakan pelepasan dari Tuhan Allah dalam
Kristus, sehingga semua orang yang dikumpulkan itu menjadi satu bangsa walaupun
mempunyai bahasa yang berbeda dan adat yang saling bertentangan. Menjadi
anggota gereja berarti mengikuti rentetan-rentetan peristiwa-peristiwa dalam
sejarah karena berdirinya gereja adalah sebagai hasil dari pekerjaan Tuhan
Allah di dalam rentetan-rentetan peristiwa-peristiwa itu. Oleh karena itu
pekerjaan Tuhan Allah di dalam Kristus secara historis bukanlah merupakan
tindakan pertama di dalam memilih suatu bangsa di dalam sejarah. Sebelum
Kristus sudah ada beberapa rentetan peristiwa tindakan Allah di dalam
sejarah yang mengumpulkan
bangsanya. Umpamanya panggilan Abraham,
hukum-hukum Musa, nubuatan nabi khususnya nabi Yeremia tentang
perjanjian baru yang akan tertulis dalam hati manusia. Ini merupakan peristiwa tindakan pendahuluan dari pekerjaan Yesus Kristus. Karena itu gereja
tidak boleh melupakan arti dari peristiwa-peristiwa yang mendahului itu.
1.2. Gereja
sebagai tubuh Kristus
Tetapi semua orang Kristen mempercayai bahwa tindakan
yang paling menentukan dari pihak Tuhan Allah untuk membentuk suatu bangsa baru
atau ekklesia atau Israel yang baru atau gereja, hanya dipenuhi di dalam
kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Karena itu gereja dalam arti tertentu
merupakan “prolongation” (perpanjangan)
dari tindakan Tuhan Allah. Dengan demikian terang bahwa adanya gereja bukanlah
menjadi peniadaan akan peristiwa-peristiwa
Tuhan Allah sebelum Kristus,
melainkan berarti bahwa di dalam Kristus segala perjanjian itu
diperbaharui, oleh sebab mana timbul satu bangsa baru atas pilihan yang baru.
Hubungan
Kristus dengan gereja dinyatakan oleh hukum perjanjian baru dengan beberapa
gambaran. Umpamanya seperti hubungan
pohon anggur dengan ranting-rantingnya ( Yohannes 15), hubungan alas dengan
bangunannya ( I Korint 3); hubungan
pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan
( Wahyu 19: 7-11); hubungan
kepala dengan anggota badan atau tubuh (
I Korint 12). Semua hubungan yang ada dalam gereja yaitu hubungan yang
aktuil (nyata) atau hubungan yang
potensiel, berakar dalam keyakinan yang hidup yang mengatakan bahwa Yesus
Kristus itulah kepala gereja dan anggota gereja itu adalah sebagai anggota
tubuh dari kepala itu.
1.3. Gereja sebagai persekutuan dari Roh Kudus
Gereja bukan hanya merupakan bangsa Allah dan tubuh
Kristus. Tetapi juga merupakan persekutuan dari Roh Kudus. Sebagai pemberian dari Roh Kudus, juga boleh
dikatakan bahwa eksistensi dari gereja adalah kelanjutan umat Allah. Dan ini tidak menghapuskan pengertian bahwa memang pokok sentral tindakan Allah ada di dalam Yesus Kristus.
Menurut Perjanjian Baru, eksistensi dari gereja sangat banyak sangkut pautnya
dengan pekerjaan Roh Kudus yang memanggil dan menyucikan. Itu sebabnya hari Pentakosta
( hari Turunnya Roh Kudus) itu sering
disebutkan sebagai hari lahir dari gereja.(Catatan: Bagi gereja Pentakosta,
sejarah pertumbuhan gereja, di mana Allah mempergunakan peristiwa-peristiwa dalam sejarah sebagai alatnya, tidak penting.
Tetapi pengertian mereka akan tindakan Roh Kudus selalu bersifat momental. Bagi
mereka apa yang terjadi di suatu gereja dalam perjalan sejarah tidak perlu.
Tetapi yang perlu ialah apa yang terjadi sekali oleh tindakan Roh Kudus).
Sebenarnya bukanlah suatu kebetulan dalam “Credo”
(Pengakuan iman Rasuli ), iman kepada
Roh Kudus dan kepercayaan kepada gereja yang am disatupadukan. Karena
memang eksistensi gereja itu adalah
berhubungan dengan pekerjaan Roh Kudus. Dalam PB kita melihat ada
petunjuk tentang empat pekerjaan yang besar dari Roh Kudus dalam gereja:
1) Roh Kudus membuat kehadiran Kristus yang
bermulia itu menjadi suatu kenyataan bagi semua manusia dalam semua generasi.
2) Roh Kudus memanggil dan memungkinkan
manusia untuk beriman, dan memimpin orang-orang beriman ke dalam kehidupan
anak-anak Allah.
3) Roh Kudus memberikan buah-buah dari
perangai-perangai kesukaan Kristus.
4) Roh Kudus mengingatkan orang-orang beriman
di dalam partisipasinya di dalam koinonia.
1.4. Gereja yang didirikan oleh Allah pada waktu
yang sama adalah gereja yang terdiri dari manusia-manusia
Faktor kemanusiaan adalah sangat jelas ada dalam
gereja. Dan sebenarnya walaupun Tuhan Allah terus menerus mengampuni dosa dari
anggota gereja dan terus menerus mentransform anugerah Allah dalam gereja,
anggota gereja itu juga masih terus berdosa dan malah sering berlaku sebagai
orang yang meniadakan Tuhannya. Gereja hidup sedemikian rupa sehingga
faktor-faktor kemanusiaan masih sering menonjol. Itulah sebabnya rasul Paulus
sendiri melihat gereja bukan hanya sebagai tubuh Kristus yang didiami oleh Roh
Kudus, tetapi dia juga melihat gereja sebagai kumpulan dari orang-orang yang
masih hidup dalam “sarx” (daging) yang
selalu membutuhkan tegoran-tegoran dari rasul itu sendiri.
Tetapi adalah suatu mujizat besar sekali bahwa
walaupun faktor-faktor kemanusiaan yang sering menonjol dalam gereja, sinar
kuasa Kristus sama sekali tidak tidak dihempang atau ditutupi oleh dosa itu.
Walaupun faktor-faktor negatif timbul dalam gereja, tanda-tanda yang benar yang
menunjukkan bahwa gereja itu suci dan mulia masih nampak. Memang benar banyak
faktor kemanusiaan yang menyebabkan Kristus itu kelihatan samar-samar sekali.
Golongan Protestan melihat dan mengetahui faktor-faktor kemanusiaan ini
sedemikian jelas, sehingga mereka suka menghibur dirinya di dalam pemikirannya
yang merumuskan gereja yang benar sebagai gereja yang tidak nampak (the invisible church). Jadi gereja-gereja
Protestan membedakan gereja yang
kelihatan (visible Church) dan gereja yang tidak kelihatan kelihatan (invisible
church). Gereja yang kelihatan itulah
yang nampak dalam organisasi atau lembaga kegerejaan, yang pada satu pihak bisa disebut sebagai “divine
institution” (lembaga ilahi), tetapi
dalam waktu yang sama juga merupakan “human institution” (lembaga manusia). Gereja yang tidak nampak,
anggotanya juga terdiri dari anggota gereja yang nampak, tetapi mereka telah
benar-benar percaya dan hidup di dalam Kristus.
Ggereja Roma Katolik tidak memerlukan pengertian “invisible church”, karena walaupun mereka mengakui
bahwa anggota-anggota gereja itu adalah manusia yang berdosa, gereja itu
menurutnya tida berdosa atau bebas dari dosa. Begitulah mereka mengertikan gereja sebagai tubuh Kristus dan Kristus
adalah suci. Sebagai Tubuh Kristus, gereja adalah benar-benar kudus dalam
pengertian ‘sinless” (tanpa dosa). Kalau
ada anggotanya yang berdosa, maka orang itu bukan berdosa di dalam gereja,
tetapi berdosa di luar gereja.
1.5. Gereja dan Kerajaan Allah
Gereja secara positif berhubungan dengan Kerejaan
Allah, tetapi gereja itu sendiri bukan positif Kerajaan Allah tanpa kualifikasi. Beberapa aliran gereja ada
yang terlalu memberikan tekanan akan realisasi yang sekarang dari Kerejaan
Allah di dalam gereja, sehingga dengan demikian
mereka mengajarkan gereja itu
identik dengan Kerajaan Allah. Tetapi dalam teologia kita, gereja
bukanlah Kerajaan Allah yang komplit.
Memang benar bahwa segala pemberian Roh Kudus kepada orang-orang yang di dalam gereja adalah
melulu pemberian Allah, tetapi ini hanyalah semata-mata sebagai “arrhabon”
atau panjar atau jaminan saja. Artinya pemberian Roh Kudus di dalam
gereja hanyalah merupakan realisasi sebagian dari Kerajaan Allah. Dan hanya
dalam arti itu saja kita dapat mengartikan “realized eschatology” (zaman akhir
yang direalisasikan sekarang). Dan dalam arti juga kita memakai istilah yang
dipakai oleh seorang teolog kenamaan abad yang lalu, Rudolf Boultman yaitu : “eschatological community” (persekutuan
eskhatologis) yang dikenakan kepada gereja, memberitakan kerejaan Allah yang
masih disempurnakan. Pengertian “eschatological community” ini nampak dalam
arti dan pekerjan gereja itu sendiri dan sebagian dari harapan-harapannya di
dalam iman dan doa. Gereja selalu harus sadar bahwa keberadaannya sekarang
tidak dapat diidentikkan dengan Kerejaan Allah
yang komplit. Semua aspek dari gereja hanya menuju kepada sesuatu yang
masih akan terjadi yaitu kesempurnaan Kerajaan Allah.
2. Tugas Gereja
Gereja diberi tugas oleh Tuhannya, di mana dalam tugas
itu semua anggota gereja berpartisipasi dan terikat kepada sesuatu bentuk
pelayanan yang saling berbeda. Sebagai
tubuh Kristus, gereja merupakan satu alat
Kristus yang terutama untuk meneruskan pekerjaan penyelamatannya. Memberitakan
Injil kepada segenap bangsa dan menghayati janji Kristus yang mengatakan bahwa
Dia akan menyertai gereja yang menjadi sumber dari segala sukacita yang benar
(Mark. 15: 15); Mat. 28: 20), mempunyai fungsi rangkap, yaitu:
a. Di dalam persekutuan itu sendiri. Tugas
gereja di dalam persekutuan yang ada di dalamnya sebenarnya adalah memperkokoh hubungan gereja dengan
anggota-anggotanya, yakni dengan cara: Pemberitaan firman (khotbah), pengajaran
firman, melayani sakramen, ibadah,
pendidikan dan segala bentuk pimpinan
dan pelayanan kerohanian.
b. Ke luar persekutuan. Tugas gereja ke luar persekutuan adalah
dengan cara: menyebar-luaskan pengenalan akan Injil kepada segala bangsa dan
mengenakan prinsip-prinsip Kerajaan Allah kepada segenap aspek hidup dan dengan
demikian memungkinkan pertumbuhan
Kerajaan Allah di atas dunia.
Umumnya adanya perbedaan dari gereja-gereja adalah
disebabkan oleh tekanan akan tugas
gereja itu sendiri. Misalnya soal memberitakan Firman dan melayani Sakramen.
Perbedaan di antara gereja Protestan dan
gereja RK sebagian besar ditinjau dari tekanan-tekanan akan ke dua tugas utama
itu. Tetapi di kalangan Protestan ada
beberapa golongan yang hampir sama sekali kurang mengindahkan pelayanan Firman dan pelayanan Sakramen secara formil. Misalnya
Sekte: Religious Society of Friends (Quakers) dan Salvation Army (Bala
Keselamatan) . Di dalam ke dua sekte ini tidak ada sakrament yang formil.
Pelayanan sakramen mereka bukan seperti
pelayanan sakramen yang biasa kita alami di gereja Protestan. Pelayanan
sakramen mereka biasanya tanpa
dogma. Pemberitaan Injil yang
formil juga tidak ada. Siapa yang merasa dirinya perlu bicara dengan Firman
Allah, maka dia berdiri. Kebaktian mereka disebut “free Worship” (ibadah bebas), di mana liturgi setiap Minggu
bisa saja berobah.
Tetapi pada
umumnya gereja-gereja Protestan yang tradisionil selalu menekankan bahwa tanda
gereja yang benar ialah apabila pemberitaan Firman dan pelayanan Sakramen
dilakukan secara benar. Pada dirinya
pengertian ini tidak bisa menimbulkan perpisahan, karena semua gereja-gereja Protestan memegang prinsip itu.
Yang berbeda-beda adalah tafsiran masing-masing akan prinsip itu.
3.
Siapakah Gereja itu ?
Sampai sekarang Gereja RK dan Gereja Orthodox
masing-masing selalu menuntut bahwa merekalah gereja yang benar. Di luar mereka
memang diakui mungkin ada beberapa orang Kristen yang menjadi anggota gereja hanya oleh pembaptisan
yang benar dan oleh anugerah / rakhmat dari Tuhan Allah. Tetapi secara gereja menurut pendirian gereja
RK dan Orthodox Timur, tidak ada gereja yang benar di luar mereka. Tetapi
demikian jugalah pendirtian dari beberapa gereja Protestan dan juga gereja Anglikan.
Tetapi golongan yang bernama “Free Church” menyatakan bahwqa sama sekali gereja tidak ada di atas bumi. Yang ada hanyalah
kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok dari sejumlah orang-orang percaya.
Jadi menurut Free Church, segala gereja yang menuntut bahwa dirinyalah gereja yang benar adalah
kesombongan yang tidak dapat dimaafkan. Roh Allah adalah bebas, tidak terikat kepada
organisasi-organisasi atau synode-synode gereja tertentu.
Sebaliknya gereja-gereja yang terlibat dalam gereja
oikumenisme mengatakan bahwa memang ada gereja yang am dan ini terdapat di mana saja anugerah Allah dalam Yesus
Kristus bekerja. Gereja yang am itu terus ada dan tidak dapat digoncang oleh
perpecahan yang ada. Dan juga tidak dapat dirobek-robek oleh
pengajaran-pengajaran yang saling berbeda. Pendirian gerakan-gerakan oikumenis
dapat dihasiatkan dalam satu slogan yakni: “Ubi Christus, ibi ekklesia”. Yang
artinya dimana ada Kristus di situ ada gereja.
4.
Bentuk Gereja
Beberapa gereja mengikat dirinya kepada satu bentuk
yang dianggap sebagai satu keharusan.
Biasanya bentuk sistem orga nisasi
gereja yang terutama ialah
bentuk: Episkopal, Papal, Presbyterial dan Kongregational. Gereja yang
mengikuti salah satu bentuk ini selalu mencari dan mendapat dasarnya di
dalam kitab PB. Beberapa gereja yang tidak termasuk kepada salah satu golongan
tersebut di atas menuntut bahwa struktur dan hukum-hukum gereja ditentukan oleh
perkembangan sejarah dan oleh karena itu harus sanggup berobah sesuai dengan situasi masing-masing. Jadi ke empat bentuk gereja tersebut di atas
dilihat tidak bisa menyatakan dirinya menjadi ukuran gereja yang benar.
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal
adalah sistem pemerintahan atau kepemimpinan yang dipegang oleh para uskup (
Yunani: episkopoV - episkopos),
salah satu jabatan yang dikenal jemaat
pada zaman rasuli, yang dalam PB diterjemahkan dengan “penilik”. Kemudian
jabatan ini dikenal dengan jabatan uskup
atau bishop. Pada mulanya jabatan ini sejajar dengan jabatan “presbuteroV” (presbyteros) yang diterjemahkan dengan
penatua. Perbedaannya hanya di latar-belakang, di mana istilah ‘presbyteros’
dipinjam dari synagoge Yahudi, sedangkan ‘episkopos’ dipinjam dari masyarakat Yunani. Sampai akhir abad pertama ke dua jabatan ini
mempunyai tugas dan posisi yang sama dalam jemaat setempat, yakni untuk
mengajar dan memimpin warga jemaat itu
melaksanakan tuntutan kekristenan. Tetapi mulai pada awal abad ke dua, jabatan
uskup dikenakan kepada pemimpin dari
suatu jemaat yang disertai oleh suatu dewan penatua, yang dipilih dari antara
dewan penatua itu. Dan semua uskup itu mempunyai kedudukan yang sama sebagai
‘pengganti rasul” untuk memimpin jemaat-jemaat dalam satu wilayah tertentu.
Segala persoalan yang timbul dalam suatu
jemaat diselesaikan oleh uskup tersebut. Tetapi kalau persoalan itu menyangkut
seluruh jemaat Kristen, maka persoalan itu dislesaikan dalam rapat para uskup.
Rapat para uskup ini kemudian dikenal dengan istilah “synode” atau konsili.
Sampai sekarang sistem pemerintahan gereja yang bersifat Episkopal masih
dipertahankan oleh beberapa gereja, antara lain: Gereja Orthodoz Timur , Gereja
Anglkkan dan sebagian gereja Protestan.
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat “Papal”,
ialah sistem pemerintahan gereja yang dipimpin oleh paus. Kapa “papal” berasal
dari kata “papa” (pope) yang artinya
bapa. Paus dianggap sebagai bapa yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam
gereja. Sistem ini mulai di gereja Roma Katolik pada abad ke lima, di mana
uskup (episkopos) yang berkedudukan di Roma dianggap sebagai paus, yang
mengepalai seluruh uskup dan seluruh gereja. Paus di Roma ini menganggap diri
mereka dipanggil oleh Tuhan menjadi kepala gereja sebgai pengganti Rasul Petrus
(bd. Mat.16: 18), dan bahkan kemudian dianggap sebagai wakil Kristus di dunia
ini. Dengan kedudukan seperti itu kuasa paus dianggap sangat besar. Segala
sesuatu yang akan dijalankan dalam gereja ditetapkan oleh paus, termasuk segala
peraturan atau hukum dalam gereja. Apa yang ditetapkan oleh paus mutalk
berlaku. Dan dari situ mucul suatua ajaran
dalam gereja RK yang mengatakan bahwa paus tidak pernah salah atau keliru.
Tidak seorang pun yang bisa menentang paus. Tetapi sistem pemerintahan paus
yang mutlak itu kemudian mendapat
reaksi dari berbagai tokoh gereja yang
kemudian menjadi suatu gerakan yang disebut reformasi. Setelah reformasi muncul lagi beberapa sistem pemerintahan
gereja yang lain yang dianggap berdasarkan Alkitab. Sistem papal dilihat tidak
berdasarkan Alkitab.
Sistem
pemerintahan gereja yang bersifat “presbyteial” ialah
gereja yang dipimpin oleh para ‘persbyteros” dalam bentuk “majelis gereja”.
Sistem ini pertama ditetapkan oleh Yohannes Calvin, dalam upaya untuk
memperbaharui sistem gereja Roma Katolik yang kepemimpinannya mutlak berada di tangan satu orang. Untuk memimpin gereja itu Calvin membentuk
satu ‘majelis gereja” yang terdiri dari
pejabat-pejabat yang ditetapkan
dalam gereja oleh Kristus sebagai Kepala Gereja satu-satunya yakni: gembala
(pastor atau pendeta), pengajar ( guru), penatua (orang yang lanjut usia) dan diaken atau
syamas. Majelis gereja itulah yang memimpin gereja berdasarkan Firman Tuhan dan menjalankan
disiplin gereja. Segala persoalan gereja dan ketentuan-ketentuan yang akan
dijalankan di dalam gereja ditangani oleh majelis gereja itu.
Gereja
yang mengikuti sistem pemerintahan yang bersifat “Congregational” ialah gereja yang memberikan otonomi sepenuhnya
kepada jemaat-jemaat setempat (kongregasi). Sistem “congregational” bertolak
dari kongregasi-kongregasi (yang mereka sebut sebagai persekutuan orang-orang
percaya setempat), yang sama sekali
bebas dan mandiri, baik terhadap kongregasi-kongregasi yang lain, maupun
terhadap wibawa negara. Kepemimpin berada di tangan Kristus, yang dijalankan
melalui rapat jemaat-jemaat setempat atau sidang orang-orang percaya. Dalam
pandangan gereja yang menganut sistem ini
hanya ada satu ototritas di atas jemaat itu sendiri yakni otoritas
Kristus. Fungsi pejabat gereja misalnya pendeta, bukanlah sebagai pemimpin
dalam jemaat itu, tetapi hanya sebagai pelayan
yakni pelayan Firman Tuhan. Dan pendeta yang melayani di tiap-tiap
jemaat bukan ditempatkan dari Kantor
Pusat atau Kantor Sinode dari gereja itu, tetapi dipanggil langsung oleh Kristus
dengan perantaraan jemaat setempat. Dengan demikian jemaat setempatlah yang
mempunyai wewenang untuk mencari pendetanya atau juga untuk memberhentikannya
apabila pendeta itu melanggar tugas pangilannya atau apabila dirasa tidak
dibutuhkan lagi. Fungsi pimpinan pusat
dari gereja itu hanya sebagai ketua sinode, sedangkan masing-masing jemaat
tidak terikat kepada keputusan sinode
itu.
Dalam
perkembangan selanjutnya dari sistem pemerintahan gereja, belakangan ini muncul
suatu sistem pemerintahan yang bersifat “Synodal”. Gereja yang mengikuti sistem
synodal ialah gereja yang sepenuhnya dipimpin berdasarkan keputusan-keputusan
sinode dari gereja itu. Segala aturan, kebijaksanaan dan kegiatan-kegiatan yang
dijalankan ditetapkan berdasarkan keputusan sinode. Untuk menjalankan
kepemimpinan sehari-hari, dipercayakan kepada seorang pelayan yang dipilih oleh
sinode itu sendiri.
Tetapi
tidak semua gereja yang memiliki sinode bisa disebut synodal. Pemahaman
mengenai unsur yang diutus untuk mengikuti sinode itu berbeda-beda. Misalnya
dalam gereja mula-mula (setelah zaman rasuli)
yang dipimpin oleh para uskup,
sinode juga sudah dikenal, tetapi unsur yang mengikuti sinode ini hanya
para uskup dalam suatu wilayah tertentu, dan dilakukan tidak secara periodik,
melainkan apabila dirasa perlu untuk menyelesaikan suatu persoalan yang telah
meluas. Seperti sudah disinggung di
atas, di gereja yang bersifat Congregational juga ada dikenal semacam sinode,
yang pesertanya terdiri dari utusan-utusan jemaat setempat, tetapi fungsi dari
sinode itu hanya sebagai wadah musyawarah untuk membicarakan hubungan timbal
balik dan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan secara bersama-sama. Keputusan
yang diambil tidak mengikat kepada masing-masing jemaat setempat.Sedangkan
gereja yang mengikuti sistem synodal, keputusan yang diambil dalam sinode harus
dijalankan.
Dalam
gereja yang bersifat Presbyterial, sinode juga dikenal, tetapi sifatnya adalah
merupakan sidang yang lebih luas dari sidang majelis jemaat, yang mencakup
pembicaraan mengenai kebutuhan-kebutuhan dari seluruh jemaat yang tergabung
dalam gereja itu. Keputusan yang diambil di sini biasanya adalah yang
menyangkut masalah umum. Sedangkan yang menyangkut masalah khusus untuk
satu-satu jemaat dibicarakan dalam sidang majelis jemaat tersebut.
5.
Kontinuitas dari Gereja / pemerintahan
gereja
Di dalam gereja Roma Katolik, Gereja Orthodox dan
Gereja Anglikan ada pengertian dan pengajaran yang menekankan “successio
apostolica” (pewarisan jabatan
rasul). “Successio apostolica” adalah
suatu warisan dari gereja mula-mula, di
mana ditetapkan bahwa jabatan uskup sebagai pengganti jabatan rasul. Dalam gereja yang mengikuti tradisi ini, diajarkan bahwa: anugerah yang istimewa dan
otoritas untuk memimpin dan mengajari
diserahkan oleh Yesus Kristus kepada rasul-rasulnya, dan dari
rasul-rasul yang pertama itu diturunkan kepada uskup-uskup yang pertama, dan
demikian seterusnya kepada uskup-uskup berikuitnya. Inilah yang menjamin kontinuitas
dari jabatan, pelayanan Firman, Sakramen dan tugas Pekabaran Injil yang
dilakukan oleh gereja. Kontinuitas itu tidak boleh terputus-putus. Kebanyakan
gereja Protestan kurang mementingkan
garis succession yang demikian. Mereka
menekankan pentingnya garis yang berhubungan dengan Tuhan Allah sendiri secara
langsung. Dikatakan bahwa “pemberitaan yang benar akan Injil atau Firman Allah”
dan “pelayanan yang benar akan Sakramen’ itulah yang menghubungkan gereja itu
langsung kepada kepala gereja yaitu Kristus. Roh Allah selalu bekerja di luar
pengertian succession yang ditonjolkan oleh pengajaran “succesio apostolica”
itu.
Ada tiga
pemikiran yang berbeda mengenai hubungan antara gereja dengan kepala
gereja itu. Pada satu pihak tergolong dalam gereja-gereja yang menekankan “successio apostolica” seperti
Roma Katolik, Orthodox , Anglikan,
pada pihak lain yang tidak mengakui sama sekali adanya unsur yang
diwariskan memalui para rasul tetapi berhubungan langsung dengan Kristus
seperti dianut oleh Free Church, dan juga golongan yang mengakui ke dua-duanya, baik wrisan rasuli maupun
hubungan langsung dengan kristus seperti dianut oleh gereja-gerela Lutheran dan
Calvinis. Adanya perbedaan-perbedaan
pikiran tersebut adalah disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda-beda
mengenai gereja itu sendiri.
5.1. Pendapat dari Roma Katolik
Menurut pemahaman Roma Katolik, kepada gereja itu
diberikan atau dianugerahkan oleh Kristus tiga kuasa yang besar, yaitu:
§ Kuasa kenabian untuk mengajar secara tidak
salah
§ Kuasa keimaman untuk menyampaikan anugerah
Allah melalui sakramen
§ Kuasa Raja, untuk merajai atau memimpin warga gereja dalam hal-hal yang menyangkut
hidup beriman dan moral, dan akhirnya juga menguasai dunia.
Ketiga kuasa ini pada akhirnya bersatu menjadi satu
hakekat, karena sumbernya adalah satu yakni Kristus sebagai Tuhan dan Kepala Gereja. Gereja itu sebagai
pelaksana kuasa-kuasa keilahian itu tidak mungkin diperbaharui, karena gereja
itu selalu baik, kudus dan tidak berdosa
dalam hakekat keilahiannya. Oleh sebab itu terhadap gereja semua warganya harus patuh secara absolut tanpa
pertanyaan. Itulah sebabnya gereja itu
sering disebut “holy mother” (ibu suci)
bagi anggota-anggotanya. Gereja itu menurut RK, walaupun dalam bentuk
organisasi yang kelihatan dan dalam sifatnya yang institusionil, mempunyai sifat-sifat
Allah. Dengan demikian kehadiran Allah yang melepaskan dan tindakan Allah
kepada dan diantara manusia disalurkan melalui gereja Katolik.
Imam-imam sebagai pribadi masih mungkin jatuh ke dalam
dosa. Tetapi ke-imaman (priesthood) itu adalah bersih, kudus dan tidak mendapat
cela apa-apapun. Ini seiringan dengan ide bahwa gereja itu pada hakekatnya yang
asli bukan lagi di bawah “judgement” (penghakiman) dari Allah. Seseorang bisa saja mengkritik pribadi-pribadi
dari Imam, tetapi gereja sebagai gereja tidak boleh disentuh apalagi dikritik,
karena gereja itu adalah tubuh yang kudus, ibu dari orang-orang percaya. Karena
itu gereja tidak membutuhkan fikiran dari para anggotanya. Yang penting ialah
bahwa gereja bertindak untuk anggota. Bagaimana anggota berfikir dan merasakan
sesuatu kurang perlu. Yang perlu ialah hukum-hukum yang diberikan gereja kepada
anggota untuk dilaksanakan. Inilah dasar-dasar apostolis dari hierarkhi gereja RK.
5.2. Pendirian Protestan Klasik (reformasi)
Yang kita maksud dengan Protstan Klasik ialah
gereja-gereja Lutheran dan Reformed (Calvin) yang berasal dari reformasi Jerman
dan Swiss. Sejak mulanya ke dua golongan gereja ini mengalami hubungan yang
erat dan bersatu dalam banyak hal. Perbedaan yang terus ada sampai sekarang
adalah mengenai soal Perjamuan Kudus. Telah banyak usaha-usaha yang dilakukan
pada abad 20 yang mencoba memperdamaikan ke dua
aliran gereja itu tentang Perjamuan Kudus. Ada indikasi bahwa saling
pengertian antara satu sama lain makin
timbul.
§ Pengertian fundamental yang umum terdapat
di dalam ke dua gereja itu mengenai Gereja
adalah demikian: Gereja itu bukan bukan di atas “judgement”
(penghakiman) Allah dan bukan tidak berdosa. Oleh karena ia adalah hamba dari Tuhan Allah, maka gereja harus selalu
dinilai dari hukum sesuai dengan kesetiaannya kepada Firman Tuhan.
§ Diakui selalu bahwa Firman Allah lebih
dahulu ada dari pada gereja. Oleh karena itu ke dua-duanya tidak pernah
setaraf. Jadi kalau bagi gereja RK, gereja itu tidak boleh diperbaiki (
irreformable), kebalikannyalah yang terdapat dalam pendirian Protestan Klasik,
yaitu bahwa gereja harus terus menerus diperbaiki (diperbaharui), sesuai dengan
keharusan gereja untuk setia kepada Firman Tuhan. Suatu kebiasaan atau aturan
gereja yang nyata tidak sesuai dengan Firman Tuhan harus dirombak. Dengan demikian timbul prinsip: “ecclesia reformata semper reformanda”
artinya gerja yang sudah diperbaiki harus selalu memperbaiki dirinya. Atau
gereja yang memperbaiki, harus selalu diperbaiki.
Dengan demikian jelas bahwa Firman Allahlah yang
menjadi ukuran dalam segenap hidup gereja. Timbul pertanyaan bagaimana Alkitab
yang tertulis berhubungan dengan Firman Allah dan bagaimana Alkitab itu bisa
menjadi ukuran untuk mereformasi gereja. Mengenai
soal ini Luther berbeda pendapat dengan para reformator Swiss. Luther dalam
penilaiannya agak lebih konservatif karena dia merobah aspek-aspek dalam hidup
gereja hanya yang terang-terangan bertentangan dengan Alkitab. Sedangkan para
reformator Swiss merombak apa saja yang tidak disebut oleh Alkitab.
Pada abad-abad selanjutnya beberapa golongan Protestan
yang fundamentalis mengidentifikasikan Firman Allah dengan kata-kata yang tertulis dalam Kitab
Suci dengan dasar kepercayaan bahwa Firman Allah adalah hasil dari ‘verbal
inspiration” (pengilhman secara lisan). Aliran fundamentalisme demikian memang
sampai sekarang masih populer dikalangan Protestan, apalagi di kalangan
Protestan yang berada dalam negara-negara yang sudah berkembang. Makin kurang
sanggup orang berfikir secara teologis, makin mudah dia jatuh kepada cara
berfikir fundamentalisme.
Golongan lain di kalangan Protestan yang bukan
fundamentalis mengatakan bahwa Kitab Suci adalah Firman Allah dalam pengertian
bahwa Kitab Suci mengandung Firman Allah. Dengan demikian tidak semuanya unsur dalam Kitab Suci itu identik dengan
Firman Allah.
Konsensus yang terakhir di dalam teologi Protestan
masa kini nyata sekali dipengaruhi oleh pandangan Karl Barth dalam idenya
tentang: teologi dan Firman. Menurutnya arti pertama dari Firman Allah ialah
Kristus sendiri selaku logos Allah. Arti
kedua dari Firman Allah itu ialah Kitab Suci yang menghunjuk kepada Kristus
itu. Dan arti ketiga ialah segala khotbah dan pengajaran yang mengenakan
kesaksian Alkitab itu kepada situasi dari tiap generasi dalam bimbingan Roh
Kudus. Biasanya dalam kalangan Protestan Klasik pemberitaan Firmanlah yang
dianggap sebagai alat anugerah yang terutama, walaupun sebenarnya Luther dan
Calvin mengajarkan dua norma dari gereja yang benar itu yakni: di mana Firman
Allah diberitakan secara benar dan sakramen dilayankan secara benar. Oleh karena dalam norma itu disebut
pemberitan Injil atau Firman yang pertama sekali, maka dalam prakteknya gereja
Protestan mengutamakan Injil atau Firman itu. Ini disaksikan pula akan pengertian
Augustinus yang mengatakan bahwa Sakramen itu adalah “Firman yang dapat dilihat
atau Firman yang dibuat nyata. Jadi
dalam pemberitaan Injil, Firman lah yang menjadi intinya; dan di dalam sakramen
sebagai “verbum visible”, Firmanlah juga
yang menjadi intinya. Itulah sebabnya di kalangan Protestan Klasik pemberitaan
Firman diutamakan, dan Alkitab sebagai
pusat dan dasar dari segala aktifitas
gereja.
Satu lagi perbedaan Protestan Klasik dan RK ialah soal tempatnya iman. Sebenarnya RK
memang tidak menghapuskan begitu saja aspek
subjektif dari iman, tetapi mereka lebih mementingkan aspek objektif dari iman itu, yaitu dengan
mempercayai bahwa yang terpenting ialah apa yang diberikan kepada orang-orang
percaya melalui gereja. Pengutamaan ini sedemikian rupa, sehingga kurang jelas
nampak gunanya response dari kepercayaan
sebagai aspek yang subjektif dari iman. Sedangkan bagi Protestan, dengan
rumusan “justification by faith” (pembenaran oleh iman), baik aspek objektif
mapun aspek subjektif sama-sama mendapat tekanan, walaupun sering kelihatan aspek subjektif yang lebih
menonjol. Orang percaya telah dibenarkan oleh Kistus adalah aspek objektif dari
iman. Tetapi orang beriman itu harus mengadakan respons kepada pembenaran itu.
Respons itulah aspek subjektif dari iman. Dia harus bertobat dan harus berbuat
baik, walaupun usaha berbuat baik itu bukan sebagai satu bagian dari proses
penyelamatan. Maka boleh dikatakan bahwa selain dari pada pemberitaan Injil
secara objektiof, dan sakramen, maka iman, doa, perbuatan baik, juga dipandang
oleh golongan Protestan sebagai alat-alat anugerah. Subjketifitas dari iman
berada dalam ruang lingkup objektifitas dari anugerah. Kemungkinan untuk
berbuat baik adalah juga anugerah.
5.3. Ide dari Free Church
Free Church bukan saja berarti bahwa gereja yang
bersangkutan membiayai diri sendiri sebagai lawan dari gereja yang terikat dan
dibiayai oleh negara. Dan bukan hanya berarti bahwa gereja yang bersangkutan
mempunyai teologi liberal, walaupun tentunya orang-orang dari kalangan Free Church
ini menolak segala rumusan-rumusan
pengakuan iman sebagai ukuran dari kebenaran. Juga bukan hanya berarti bahwa
mereka tidak mempunyai suatu kontrol dari pimpinan pusat saja. Semuanya yang
disebut di atas memang adalah hasiat dari Free Church, tetapi hasiat yang utama
ialah bahwa Free Church ini adalah pemprotestanan dari agama Protestan
(Protestantation of Protestant religion). Dengan kata lain, hidup dari gerja
Protestan klasik dibongkar dan dipebaharui, baik dalam hal yang menyangkut
organisasi maupun pengajaran.
Sebenarnya adalah sukar untuk membuat suatu rumusan
yang meliputi bada-badan yang tergolong Free Church yaitu: Quakers, Bretheren,
Mennonites, Bapptist, Congregationalist, Disciple, dan berbagai badan lain yang tersebar di dunia barat
terutama di Inggris dan Amerika. Tetapi mungkin jugalah merumuskan
pandangan-pandangan mereka yang agak bersamaan
mengenai arti gereja dan alat-alat anugerah, yang menjadi dasar dari
ikatan-ikatan mereka satu sama lain. Menurut mereka bahwa di dalam PB sudah
jelas bahwa gereja itu adalah suatu persekutuan, bukan suatu institut
organisatoris. Dan persekutuan itu bukanlah buatan manusia, tetapi persekutuan
dalam bimbingan atau pimpinan Roh Kudus. Tidak ada manusia yang menjadi anggota
persekutuan itu melalui pembaptisan. Hanyalah orang-orang yang telah bertobat
yang menjadi anggotanya.
Dan menurut mereka kehadiran Kristus janganlah dicari
di dalam pelayanan sakramen dan bukan di dalam pemberitaan Firman tetapi
hanyalah di dalam persekutuan yang berkumpul. Firman itu memang masih penting,
tetapi bukan Firman seperti yang dikhotbahkan, yang diajarkan dan yang terdapat
dalam Katekismus serta dalam pengakuan iman. Firman itu ada,
kedengaran dan berkuasa hanya melalui inspirasi dari Roh Kudus sewaktu
orang-orang percaya membaca, mendengar dan bermeditasi.
Di dalam Free Church, baptisan tidak pernah diartikan
sebagaimana diartikan oleh Protestan Klasik. Baptisan itu menurut mereka
terutama adalah kepatuhan iman seorang percaya di dalam mana ia bersaksi secara
publik tentang hidup baru orang beriman
(subjektif bukan objektif), bukan sebagai pekerjan Allah, Roh Kudus dan Yesus
Kristus. Demikian juga halnya dengan
Perjamuan Kudus. Ini juga terutama dianggap sebagai tindakan persekutuan di
dalam mana jemaat itu secara bersama bersaksi tentang persekutuan di dalam Roh yang telah dialami. Pengertian
ini lebih jelas kelihatan dalam golongan “Society of friends” , yang sama sekali tidak mempunyai sakramen
secara formil dan tidak mempunyai pendeta yang ditahbiskan. Yang mereka hayati
ialah pengertian jemaat sebagai persekutuan di dalam Roh.
Free Church ini
sekarang ini makin berkembang. Tetapi anehnya di dalam perkembangannya
struktur kegerejaanya tidak jelas. Kuasa dan hak gereja setempat sekarang ini
makin tipis, diperbandingkan dengan keadaan mereka bermula. Makin lama mereka
juga makin cenderung masuk ke pada
struktur-struktur institut. Dan makin lama mereka juga makin menyamai Protestan
Klasik dalam struktur organisasi. Dengan kata lain mereka makin menghendaki
adanya kontrol dari pusatnya.
Contoh: gereja
Baptis dan Congregational. Dulu pada mulanya Kantor Pusat mereka tidak
berhak mengatakan sesuatu kepada setiap
jemaat setempat. Kantor pusat kebanyakan hanya berfunsi sebagai pelaksana saja
dari keputusan-keputusan gereja setempat. Tetapi belakangan ini kantor Pusat
mereka makin mempunyai banyak kuasa dan kontrol terhadap jemaat setempat.
Tetapi contoh yang lebih jelas adalah dalam gereja Methodis. Pada permulaannya
gereja methodis sungguh-sungguh hidup sebagai Free Church, di mana jemaat
setempat sajalah yang berkuasa atas dirinya. Tetapi sekarang struktur gereja
Methodis sudah sama dengan struktur gereja Protestan Klasik. Mereka malah sudah
mempunyai bishop.
Sebenarnya tiga pendirian yang disebut di atas bukan
tidak dapat disatukan dalam satu badan. Umpamanya di Inggris gereja Anglikan
yang sebenarnya bersifat Episkopal dan gereja Methodis yang sebenarnya bersifat
Free Church bergabung dalam suatu badan gereja. Demikian juga gereja-gereja di
India Selatan mempersatukan ketiga
pendirian itu dalam satu badan gereja, sehingga
terbentuk satu gereja yang bernama ‘ The Church of South India” (Gereja
India Selatan). Ini adalah ssebagai hasil dari gerakan oikumenis di sana.
Gerakan-gerakan oikumenis yang berkembang sekarang ini nampaknya menganjurkan adanya sruktur gereja yang demikian yakni: adanya struktur
pusat yang bertalian dengan struktur-struktur lain di sekitarnya dan tiap-tiap
struktur juga mempunyai hubungan
komunikasi di antara sesamanya. Tetapi belum jelas dalam arti apa struktut pusat itu berada di
pusat. (msm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar