MANA YANG LEBIH TEPAT DIKATAKAN:
MERAYAKAN SERATUS TAHUN PENGINJILAN
ATAU SERATUS TAHUN BERDIRINYA HKBP
JAKARTA
Oleh:
Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th (Pendeta HKBP Emeritus)

Saya dengar
dari teman dan kemudian saya baca di media sosial (facebook) bahwa HKBP
Jakarta, yang sekarang lebih dikenal dengan nama HKBP Kernolong, karena berada
di daerah Kernolong Jakarta, beberapa waktu yang lalu melakukan Perayaan Seratus Tahun Penginjilan di Jakarta (Pulau Jawa), pada 22
September 2019 dan dilengkapi dengan Seminar
sehari Seratus Tahun Penginjilan HKBP di Jakarta dan Pulau Jawa di Sopo
Marpingkir HKBP pada 4 Oktober 2019. Informasi mengenai peristiwa perayaan
ini semua hanya saya dengar dari teman dan ditambah dengan membaca informasi
dari media sosial seperti sudah saya sebutkan di atas, karena mungkin karena hanya
sebagai seorang pendeta pensiun di HKBP saya tidak diundang untuk ikut
menghadiri kedua moment tersebut. Banyak pendeta yang bertugas di Jakarta yang bertanya
kepada saya, terutama para pendeta yang masih pernah menjadi mahasiswa kami di
Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP Pematangsiantar. Selama lebih kurang dua
puluh tiga tahun yakni dari tahun
1985-2008, saya memang bertugas sebagai seorang dosen di tempat persemaian
tenaga pendeta HKBP tersebut di bidang Sejarah Gereja, yang kemudian menjelang masa pensiun saya
ditugaskan oleh Pimpinan HKBP melayani di Jemaat, yakni di HKBP Ressort Bandung
Timur (2008-2011) dan terahir dari mana saya memasuki masa pensiun di HKBP
Ressort Kebayoran Selatan Distrik DKI Jakarta (2011-2016). Selama saya menjadi
dosen di STT HKBP saya yang mengajar bidang Sejarah Gereja, termasuk mengajar
Sejarah HKBP. Pernah saya melakukan penelitian mengenai berdirinya HKBP
Jakarta, dalam rangka perayaan sertatus tahun Zending HKBP, di mana pada waktu
itu saya ditugaskan oleh panitia untuk menuliskan sebuah buku Sejarah Seratus Tahun
Zending HKBP (1899-1999). Zending HKBP pada waktu berdirinya 2 Nopember 1899,
dinamai “Pardonganon Mission Batak”, kemudian berubah menjadi “Zending Batak”,
kemudian berubah menjadi Seksi Zending HKBP, Departemen Zending HKBP, dan
sekarang menjadi Biro Zending HKBP. Buku itu pernah diterbitkan oleh L-SAPA STT
HKBP tahun 2010 yang lalu.
Dalam Sejarah
Zending HKBP tersebut, tidak ditemukan bahwa HKBP melalui badan zending yang dibentuk pernah
melakukan penginjilan ke Jakarta apalagi sampai semua Pulau Jawa. Karena secara
umum yang diartikan orang dengan “penginjilan” adalah kira-kira sama dengan
usaha zending, yakni memberitakan Injil itu kepada orang yang belum menerima
Injil itu, supaya dengan demikian mereka menerima Injil itu, dan percaya kepada
Yesus Kristus, lalu mereka dibaptis di dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh
Kudus, sehingga mereka menjadi ikut memperoleh keselamatan yang dibawa oleh
Yesus Kristus.
Mengenai
berdirinya HKBP Jakarta, yang saya tahu sejarahnya adalah sebagai berikut.
Bahwa pada mulai awal abad 20 yang lalu, telah banyak orag-orang Kristen Batak yang merantau sampai
ke Pulau Jawa, khususnya ke kota Jakarta yang dulu disebut Batavia. Sebagian
dari antara mereka ingin mencari pekerjaan yang lebih baik ke sana sebagai
pegawai pemerintah, swasta atau pengusaha dan sebagian lagi terutama para
pemuda mau melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di daerah
perantauan itu mereka tidak melupakan agama Kristen yang telah dianut dari “bonapasogit” (daerah asal) di Tapanuli.
Pada mulanya mereka yang mengerti bahasa Belanda, terutama yang tama dari HJS
dan MULO, mengikuti kebaktian Minggu di Gereja Pemerintah Belanda (Indische
Kerk atau Gereja Protestan Indonesia) di Pejambon Pasar Baru, Meester Cornelis atau
di Gereja Portugis di Pusat Kota. Mereka memuji Tuhan Allah dengan nyanyian,
doa dan khotbah dalam bahasa Belanda. Tetapi ada juga yang mengikuti kebaktian
dalam gereja yang menggunakan bahasa Melayu, misalnya di Gereja Methodist yang
juga mulai masuk di kota itu pada awal abad 20. Orang-orang Kristen Batak
tersebut ada juga yang sekaligus masuk
menjadi anggota gereja Methodis tersebut.
Setelah
informasi mengenai orang-orang Kristen Batak di Jakarta itu semakin banyak
diketahui oleh para pendeta atau missionaris yang mengasuh Gereja Mission Batak
(begitu namanya dulu sebelum bernama HKBP), maka mereka dianjurkan untuk
mengikuti kebaktian di gereja yang sealirann dengan Gereja Kristen Batak yakni
Gereformerde Kerk, yang pada waktu itu diasuh oleh seorang pendeta Belanda yang
bernama Ds. L.Tiemersma. Para orang-orang Kristen Batak itu dengan resmi
dilayani atau digembalai oleh pendeta Gereformerde Kerk tersebut. Gereja inilah
kemudian yang menjadi Gereja Kristen Indonesia di Jalan Kwitang sekarang.
Dengan demikian terjadilah kerja sama antara gereja Gereformerde ini dengan
Geereja Kristen Batak.
Tetapi
lama-kelamaan setelah orang-orang Kristen Batak makin banyak yang datang
ke Jakarta, maka merekapun berniat untuk
membuat Persekutuan Kristen Batak yang tersendiri, yang mempergunakan bahasa
Batak. Mereka merindukan kebaktian mereka dalam bahasa Batak, yakni benrnyanyi,
berdoa, dan mendengar Firman Tuhan dalam bahasa Batak, seperti sudah mereka “hangoluhon”
(hayati) sebelumnya ketika mereka masih berada di Tanah Batak. Kerinduan mereka
itu disampaikan kepada Ds L.Tiemersma , yang sudah melayani mereka sebelumnya,
dan pendeta tersebut menyetujui permintaan mereka itu. Jadilah persekutuan
khusus mereka berbahasa Batak dilakukan dan itu dimulai 20 September 1919, bertempat di Sekolah Alkitab (Bijbel School) Pasar Baru.
Inilah awal berdirinya Jemaat (Huria) Kristen Batak di Jakarta, yang pada waktu
itu beranggotakan lima puluh orang. Kemudian
setelah nama Huria Kristen Batak Protestan resmi tahun 1929, maka menjadi Huria
Kristen Batak Protestan Jakarta (Batavia).
Setelah
persekutuan jemaat berbahasa Batak itu mulai berjalan, ternyata dari mereka ada
juga yang mempunyai kemampuan untuk
melayani kebaktian “parmingguon” dan khotbah, seperti Guru S.Hasibuan,
tamatan Seminari Pansurnapitu Silindung, Gru F. Harahap tamatan Seminari
Depok, dan Guru P.W.Lumbantobing, tamatan
Seminari Sipoholon. Setelah berlangsung beberapa lama maka timbul juga
keinginan bagi mereka untuk dilayani pendeta Batak. Untuk itu permintaanpun disampaikan ke pusat
Jemaat Kristen Batak yang pada waktu itu masih dalam asuhan RMG. Karena masa Jemaat
Kristen Batak pusat masih dalam transisi kepemimpinan pada waktu itu dengan meninggalnya IL
Nommensen 23 Mei 1918, maka permintaan mereka itu belum bisa terus dipenuhi.
Barulah pada pada tahun 1922 permintaan itu bisa dipenuhi, yakni setelah
Pdt Dr. J.Warneck menjadi ephorus Huria
Kristen Batak menggantikan Pdt Valentin Kessel yang sempat menjadi pejabat sementara
ephorus sampai tahun 1920. Pendeta pertama yang ditugaskan oleh ephorus Warneck
ke Jakarta adalah Pdt Mulia Nanggolan yang sebelumnya melayani di HKBP
Pematangsiantar sejak tahun 1919. Atas kesepakatan, belanja pendeta ini
ditanggung oleh kas Zending Batak, sebagai mana juga pendeta-pendeta Batak
lainnnya yang ditugaskan melayani orang-orang Kristen Batak yang merantau di
daerah diaspora, karena jemaat-jemaat yang mereka layani belum mampu untuk membelanjai
pendetanya. Tetapi status pendeta ini di sana bukanlah sebagai penginjil,
tetapi sebagai pendeta yang melayani dan menggembalai orang-orang-orang Kristen
Batak yang membentuk Jemaat Kristen Batak yang baru itu. Ini memang menjadi
beban bagi kas Zending Batak pada waktu itu. Tetapi untunglah kemudian ada
kesepakatan dengan Gereja Greformeerde Kerk yang dipimpin oleh Ds L.Tiemersma,
bahwa mereka bersedia menanggung setengah dari belanja pendeta tersebut,
setengah lagi dari kas Zending Batak. Dana Zending Batak ini adalah usaha dari jemaat-jemat Kristen Batak (baca HKBP)
di “bona pasogit, yang berusaha untuk mengumpulkan dana zneidng berupa pesta
tahunan zending, persembahan ke depan, dan ucapan-ucapan syukur perorangan,
yang pada waktu itu anggota-anggota jemaat mempunyai semangat yang sangat besar
untuk mengumpulkan dana keperluan zending Batak. Ini perlu menjadi renungan
bagi jemaat-jemaat HKBP yang ada di kota Jakarta sekarang yang tergolong telah
menjadi jemaa-jemaatt yang kaya, bahwa pada awalnya kehidupan Jemaat Kristen Batak yang berdiri di Jakarta mulai
tahun 1919 itu adalah atas dukungan atau biaya dari Jemaat-jemaat yang ada di
bona pasogit melalui kas zending Batak. Namun banyak Jemaat-jemaat HKBP di
Jakarta sekarang ini tidak menyadari itu, mereka hanya memikirkan diri mereka
sendiri dan tidak mempunyai keinginan untuk membantu jemaat-jemaat tertinggal
di bonapasogit yang pernah dulu membantu mereka.
Ephorus J.
Warneck pun pernah melakukan kunjungan kepada Jemaat Kristen Batak yang
dijakarta, yakni ketika beliau melakukan urusan sekolah-sekolah zending ke Departemen
Pendidikan Pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta, yakni dari tanggal 4-19 Maret 1923. Pada waktu itu beliau diundang
untuk menghadiri Rapat Kerkeraad dan Penatua Gereja Gereformerde Kwitang. Dalam
kesempatan itu beliau memintakan agar
Kerkeraad dan Penatua gereja itu
berusaha untuk membantu Pdt Mulia Nainggolan dalam melayani Jemaat
Kristen Batak tersebut. Kerkeraad dan Penatua gerja tersebut menyanggupi
permintaan itu, sehingga terus ada hubungan dan kerjasama yang baik antara
gereja itu dengan Jemaat Kristen Batak yang masih muda. Sejak datangnya pendeta
itu, Jemaat Kristen Batak tersebut memang terus mengupayakan pembangunan gedung
gereja untuk tempat persekutuan dan ibadah mereka. Pada tahun 1922 itu telah
dibentuk sebuah panitia yang disebut (Panitia Pesta Mission Huria Batak
Batavia).
Namun dalam
perkembangan selanjutnya Jemaat Kristen Batak yang di Jakarta ini tidak lepas
dari persoalan yang cukup berat. Tidak lama setelah berdirinya Jemaat ini
menghadapi suatu pergoalan inernal, yang pada akhirnya mengakibatkan
perpecahan. Karena mungkin terpengaruh
dari bentuk gereja Gereformeerde Kwitang yang bersifat kongregationalis, Jemaat
Kristen Batak tersebut juga terus menginginkan agar Jemaat tersebut mempunyai
status yang berdiri sendiri (independent), lepas dari kepemimpinan zending RMG.
Tetapi dalam beberapa tahun kehadiran dari pendeta Mulia tersebut, beliau masih
bisa meredam gejolak itu dan Jemaat itu masih bisa tetap mempunyai hubungan organisatoris
deng dengan Jemaat-jemaat Kristen batak Batak di Tapanuli, yang sampai saat itu
memang masih dalam asuhan zending RMG.
Tetapi tahun
1926, perselisihan timbul ketika terjadi pergantian pengurus di dalam Jemaat
itu, karena masa kepengurusan yang lama telah berakhir. Dalam kepengurusan yang
baru itu yang terpilih menjadi ketua adalah seorang anggota jemaat yang berasal dari daerah Tapanuli Utara, sedangkan
sebelumnya jabatan itu dipegang oleh seorang anggota yang berasal dari Tapanuli
Selatan. Karena pihak yang lama tidak setuju dengan hasil itu maka mereka
mengajukan suatu protes kepada Ephorus J.Warneck, di mana juga dinyatakan
beberapa perlakuan yang tidak baik dari ketua yang baru itu. Persoalan itu
tidak dapat lagi diselesaikan oleh pendeta setempat. Karena itu Ephorus mencoba
meminta bantuan dari Zendingsconsul di Jakarta, yakni Dr. Slotemaker de Bruine. De
Bruine mencoba menyelesaikan dengan menyarankan agar persoalan itu diselesaikan
berdasarkan Tata Gereja Huria Kristen Batak yang ada. Pada waktu itu sejak
Ephorus J. Warneck, sistem “kerkeraad” (dewan gereja) Jemaat Kristen Batak
asuhan RMG, yang namanya telah ditetapkan bukan lagi Huria Mission Batak,
tetapi telah menjadi “Huria Kristen Batak”. Sampai terjadinya persoalan itu
sistem Kerkeraad itu belum diberlakukan di Jemaat Kristen Batak yang di
Jakarta. Karena itu dalam mengatasi persoalan tersebut dinasehatkan agar sistem
yang diatur dalam Tata-Gereja yang mulai diberlakukan tahun 1922 itu juga diberlakukan
di Jemaat Kristen Batak Jakarta. Tetapi setelah adanya saran itu maka persoalan
menjadi terbalik, karena pihak ketua yang baru terpilih tidak menetujui
demikian. Karena dengan sistem Kerkeraad yang sesuai dengan Tata Gereja yang
baru itu, ketua dewan (majelis) gereja tidak perlu lagi dipilih, karena otomatis
jabatan itu dipegang oleh pendeta jemaat setempat atau guru jemaat setempat,
kalau jemaat setempat itu masih dipimpin oleh seorang guru jemaat.
Karena
persoalan belum selesai, akhirnya ephorus J. Warneck mengutus seorang pendeta
dari pusat (Pearaja), yakni Pdt Tyranus Hasibuan, untuk menyelesaikannya. Dia
adalah seorang pendeta Batak yang cukup berpengaruh dan disegani padawaktu itu di tengah-tengah “Huria
Kristen Batak”. Namun usaha dari pendeta inipun tidak berhasil, karena tidak
lama setelah itu pihak yang tidak setuju diberlakukannya sistem “Kerkeraad”
tersebut, di “Huria Kristen Batak” Jakarta telah terbentuk
sebuah perhimpunan yang tersendiri, yakni pada tanggal 10 Juli 1927,yang diberi
nama “ Punguan Kristen Batak’ (PKB). Mereka melakukan persekutuan dan kebaktian
mereka di bekas Gereja Portugis yang di Jakarta Pusat. Gereja ini sampai
sekarang masih ada di Jakarta, dengan nama “Gereja Punguan Kristen Batak”
(GPKB).
Dari
keterangan di atas, maka sesuai dengan
judul yang saya buat di atas, “Mana yang lebih tepat disebut Perayaan Seratus Penginjilan
HKBP di Jakarta atau Seratus Tahun berdirinya
“Huria Kristen Batak Protestan” di Jakarta”, maka saya berkesimpulan bahwa
yang lebih tepat adalah Perayaan Seratus Tahun berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)
Jakarta. Kalau pun mungkin HKBP Jakarta sudah ada melakukan tugas pengijilan
(zending) kepada orang-orang yang belum menerima Injil itu, itu kita pahami hanya sebagai salah satu tugas panggilan yang harus di
lakukan oleh gereja itu sendiri. Sekarang ini kita pahami adanya Tri Tugas
panggilan Gereja, yakni Koinonia (parsaoran atau persekutuan), Marturia (kesaksian), Diakonia (Pelayanan Masyarakat).
Tugas penginjilan adalah salah satu tugas panggilan gereja dalam bidang
marturia, sebagaimana dulu tugas itu telah dilakukan oleh umat Kristen dari
Eropa melalui badan-badan zending yang mereka bentuk, dan salah satu hasil penginjilan
yang mereka lakukan itulah lahirnya HKBP atau orang-orang Kristen Batak.
Orang-orang Kristen Batak dari bonapasogit
itulah yang merantau ke Jakarta dan membentuk Jemaat Kristen Batak di Jakarta,
dan kemudian diberi nama HKBP Jakarta. Itulah
yang perlu disyukuri dan perjalanan hidupnya selama seratus tahun ini bisa
dipelajari termasuk gelombang pasang surut yang dilalui bisa menjadi pelajaran
dalam perjalanan “huria” itu ke depan. Kita ucapkan Selamat merayakan Jubileum Seratus Tahun HKBP Jakarta
(1919 – 20 September - 2019, semoga gereja
itu semakin maju, semakin jaya, dan tetap menjadi pelopor dalam menjalankan
tugas panggilannya di tengah-tengah dunia, bangsa dan masyarakat ke depan, bagi
huria-huria HKBP yang lain, khususnya yang berada di kota Jakarta.
Jakarta 12
Oktober 2019 (msm).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar