Sabtu, 12 Oktober 2019

MANA YANG LEBIH TEPAT DIKATAKAN: MERAYAKAN SERATUS TAHUN PENGINJILAN ATAU SERATUS TAHUN BERDIRINYA HKBP JAKARTA

MANA YANG LEBIH TEPAT DIKATAKAN:
MERAYAKAN SERATUS TAHUN PENGINJILAN

ATAU SERATUS TAHUN BERDIRINYA HKBP JAKARTA
Oleh:
Pdt. M.S.M. Panjaitan, M.Th (Pendeta HKBP Emeritus)





Saya dengar dari teman dan kemudian saya baca di media sosial (facebook) bahwa HKBP Jakarta, yang sekarang lebih dikenal dengan nama HKBP Kernolong, karena berada di daerah Kernolong Jakarta, beberapa waktu yang lalu melakukan Perayaan Seratus Tahun Penginjilan di Jakarta (Pulau Jawa), pada 22 September 2019 dan dilengkapi dengan Seminar sehari Seratus Tahun Penginjilan HKBP di Jakarta dan Pulau Jawa di Sopo Marpingkir HKBP pada 4 Oktober 2019. Informasi mengenai peristiwa perayaan ini semua hanya saya dengar dari teman dan ditambah dengan membaca informasi dari media sosial seperti sudah saya sebutkan di atas, karena mungkin karena hanya sebagai seorang pendeta pensiun di HKBP saya tidak diundang untuk ikut menghadiri  kedua moment  tersebut. Banyak  pendeta yang bertugas di Jakarta yang bertanya kepada saya, terutama para pendeta yang masih pernah menjadi mahasiswa kami di Sekolah Tinggi Theologia (STT) HKBP Pematangsiantar. Selama lebih kurang dua puluh tiga tahun  yakni dari tahun 1985-2008, saya memang bertugas sebagai seorang dosen di tempat persemaian tenaga pendeta HKBP tersebut di bidang Sejarah Gereja, yang kemudian menjelang masa pensiun saya ditugaskan oleh Pimpinan HKBP melayani di Jemaat, yakni di HKBP Ressort Bandung Timur (2008-2011) dan terahir dari mana saya memasuki masa pensiun di HKBP Ressort Kebayoran Selatan Distrik DKI Jakarta (2011-2016). Selama saya menjadi dosen di STT HKBP saya yang mengajar  bidang Sejarah Gereja, termasuk mengajar Sejarah HKBP. Pernah saya melakukan penelitian mengenai berdirinya HKBP Jakarta, dalam rangka perayaan sertatus tahun Zending HKBP, di mana pada waktu itu saya ditugaskan oleh panitia untuk  menuliskan sebuah buku Sejarah Seratus Tahun Zending HKBP (1899-1999). Zending HKBP pada waktu berdirinya 2 Nopember 1899, dinamai “Pardonganon Mission Batak”, kemudian berubah menjadi “Zending Batak”, kemudian berubah menjadi Seksi Zending HKBP, Departemen Zending HKBP, dan sekarang menjadi Biro Zending HKBP. Buku itu pernah diterbitkan oleh L-SAPA STT HKBP tahun 2010 yang lalu.
Dalam Sejarah Zending HKBP tersebut, tidak ditemukan bahwa HKBP  melalui badan zending yang dibentuk pernah melakukan penginjilan ke Jakarta apalagi sampai semua Pulau Jawa. Karena secara umum yang diartikan orang dengan “penginjilan” adalah kira-kira sama dengan usaha zending, yakni memberitakan Injil itu kepada orang yang belum menerima Injil itu, supaya dengan demikian mereka menerima Injil itu, dan percaya kepada Yesus Kristus, lalu mereka dibaptis di dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus, sehingga mereka menjadi ikut memperoleh keselamatan yang dibawa oleh Yesus Kristus.

Mengenai berdirinya HKBP Jakarta, yang saya tahu sejarahnya adalah sebagai berikut. Bahwa pada mulai awal abad 20 yang lalu, telah banyak  orag-orang Kristen Batak yang merantau sampai ke Pulau Jawa, khususnya ke kota Jakarta yang dulu disebut Batavia. Sebagian dari antara mereka ingin mencari pekerjaan yang lebih baik ke sana sebagai pegawai pemerintah, swasta atau pengusaha dan sebagian lagi terutama para pemuda mau melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di daerah perantauan itu mereka tidak melupakan agama Kristen yang telah dianut dari “bonapasogit” (daerah asal) di Tapanuli. Pada mulanya mereka yang mengerti bahasa Belanda, terutama yang tama dari HJS dan MULO, mengikuti kebaktian Minggu di Gereja Pemerintah Belanda (Indische Kerk atau Gereja Protestan Indonesia) di Pejambon Pasar Baru, Meester Cornelis atau di Gereja Portugis di Pusat Kota. Mereka memuji Tuhan Allah dengan nyanyian, doa dan khotbah dalam bahasa Belanda. Tetapi ada juga yang mengikuti kebaktian dalam gereja yang menggunakan bahasa Melayu, misalnya di Gereja Methodist yang juga mulai masuk di kota itu pada awal abad 20. Orang-orang Kristen Batak tersebut ada juga yang sekaligus  masuk menjadi anggota gereja Methodis tersebut.
 
Setelah informasi mengenai orang-orang Kristen Batak di Jakarta itu semakin banyak diketahui oleh para pendeta atau missionaris yang mengasuh Gereja Mission Batak (begitu namanya dulu sebelum bernama HKBP), maka mereka dianjurkan untuk mengikuti kebaktian di gereja yang sealirann dengan Gereja Kristen Batak yakni Gereformerde Kerk, yang pada waktu itu diasuh oleh seorang pendeta Belanda yang bernama Ds. L.Tiemersma. Para orang-orang Kristen Batak itu dengan resmi dilayani atau digembalai oleh pendeta Gereformerde Kerk tersebut. Gereja inilah kemudian yang menjadi Gereja Kristen Indonesia di Jalan Kwitang sekarang. Dengan demikian terjadilah kerja sama antara gereja Gereformerde ini dengan Geereja Kristen Batak.

                Tetapi lama-kelamaan setelah orang-orang Kristen Batak makin banyak yang datang ke  Jakarta, maka merekapun berniat untuk membuat Persekutuan Kristen Batak yang tersendiri, yang mempergunakan bahasa Batak. Mereka merindukan kebaktian mereka dalam bahasa Batak, yakni benrnyanyi, berdoa, dan mendengar Firman Tuhan dalam bahasa Batak, seperti sudah mereka “hangoluhon” (hayati) sebelumnya ketika mereka masih berada di Tanah Batak. Kerinduan mereka itu disampaikan kepada Ds L.Tiemersma , yang sudah melayani mereka sebelumnya, dan pendeta tersebut menyetujui permintaan mereka itu. Jadilah persekutuan khusus mereka berbahasa Batak dilakukan dan itu dimulai  20 September 1919, bertempat di  Sekolah Alkitab (Bijbel School) Pasar Baru. Inilah awal berdirinya Jemaat (Huria) Kristen Batak di Jakarta, yang pada waktu itu beranggotakan lima puluh orang.  Kemudian setelah nama Huria Kristen Batak Protestan resmi tahun 1929, maka menjadi Huria Kristen Batak Protestan Jakarta (Batavia).
Setelah persekutuan jemaat berbahasa Batak itu mulai berjalan, ternyata dari mereka ada juga yang mempunyai kemampuan untuk  melayani kebaktian “parmingguon” dan khotbah, seperti Guru S.Hasibuan, tamatan Seminari Pansurnapitu Silindung, Gru F. Harahap tamatan Seminari Depok,  dan Guru P.W.Lumbantobing, tamatan Seminari Sipoholon. Setelah berlangsung beberapa lama maka timbul juga keinginan bagi mereka untuk dilayani  pendeta Batak.  Untuk itu permintaanpun disampaikan ke pusat Jemaat Kristen Batak yang pada waktu itu masih dalam asuhan RMG. Karena masa Jemaat Kristen Batak pusat masih dalam transisi kepemimpinan  pada waktu itu dengan meninggalnya IL Nommensen 23 Mei 1918, maka permintaan mereka itu belum bisa terus  dipenuhi.  Barulah pada pada tahun 1922 permintaan itu bisa dipenuhi, yakni setelah Pdt Dr. J.Warneck menjadi ephorus Huria Kristen Batak menggantikan Pdt Valentin Kessel yang sempat menjadi pejabat sementara ephorus sampai tahun 1920. Pendeta pertama yang ditugaskan oleh ephorus Warneck ke Jakarta adalah Pdt Mulia Nanggolan yang sebelumnya melayani di HKBP Pematangsiantar sejak tahun 1919. Atas kesepakatan, belanja pendeta ini ditanggung oleh kas Zending Batak, sebagai mana juga pendeta-pendeta Batak lainnnya yang ditugaskan melayani orang-orang Kristen Batak yang merantau di daerah diaspora, karena jemaat-jemaat yang mereka layani belum mampu untuk membelanjai pendetanya. Tetapi status pendeta ini di sana bukanlah sebagai penginjil, tetapi sebagai pendeta yang melayani dan menggembalai orang-orang-orang Kristen Batak yang membentuk Jemaat Kristen Batak yang baru itu. Ini memang menjadi beban bagi kas Zending Batak pada waktu itu. Tetapi untunglah kemudian ada kesepakatan dengan Gereja Greformeerde Kerk yang dipimpin oleh Ds L.Tiemersma, bahwa mereka bersedia menanggung setengah dari belanja pendeta tersebut, setengah lagi dari kas Zending Batak. Dana Zending Batak ini adalah usaha dari jemaat-jemat Kristen Batak (baca HKBP) di “bona pasogit, yang berusaha untuk mengumpulkan dana zneidng berupa pesta tahunan zending, persembahan ke depan, dan ucapan-ucapan syukur perorangan, yang pada waktu itu anggota-anggota jemaat mempunyai semangat yang sangat besar untuk mengumpulkan dana keperluan zending Batak. Ini perlu menjadi renungan bagi jemaat-jemaat HKBP yang ada di kota Jakarta sekarang yang tergolong telah menjadi jemaa-jemaatt yang kaya, bahwa pada awalnya kehidupan  Jemaat Kristen Batak yang berdiri di Jakarta mulai tahun 1919 itu adalah atas dukungan atau biaya dari Jemaat-jemaat yang ada di bona pasogit melalui kas zending Batak. Namun banyak Jemaat-jemaat HKBP di Jakarta sekarang ini tidak menyadari itu, mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri dan tidak mempunyai keinginan untuk membantu jemaat-jemaat tertinggal di bonapasogit yang pernah dulu membantu mereka.
Ephorus J. Warneck pun pernah melakukan kunjungan kepada Jemaat Kristen Batak yang dijakarta, yakni ketika beliau melakukan urusan sekolah-sekolah zending ke Departemen Pendidikan Pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta, yakni dari tanggal  4-19 Maret 1923. Pada waktu itu beliau diundang untuk menghadiri Rapat Kerkeraad dan Penatua Gereja Gereformerde Kwitang. Dalam kesempatan  itu beliau memintakan agar Kerkeraad dan Penatua gereja itu  berusaha untuk membantu Pdt Mulia Nainggolan dalam melayani Jemaat Kristen Batak tersebut. Kerkeraad dan Penatua gerja tersebut menyanggupi permintaan itu, sehingga terus ada hubungan dan kerjasama yang baik antara gereja itu dengan Jemaat Kristen Batak yang masih muda. Sejak datangnya pendeta itu, Jemaat Kristen Batak tersebut memang terus mengupayakan pembangunan gedung gereja untuk tempat persekutuan dan ibadah mereka. Pada tahun 1922 itu telah dibentuk sebuah panitia yang disebut (Panitia Pesta Mission Huria Batak Batavia).
Namun dalam perkembangan selanjutnya Jemaat Kristen Batak yang di Jakarta ini tidak lepas dari persoalan yang cukup berat. Tidak lama setelah berdirinya Jemaat ini menghadapi suatu pergoalan inernal, yang pada akhirnya mengakibatkan perpecahan.  Karena mungkin terpengaruh dari bentuk gereja Gereformeerde Kwitang yang bersifat kongregationalis, Jemaat Kristen Batak tersebut juga terus menginginkan agar Jemaat tersebut mempunyai status yang berdiri sendiri (independent), lepas dari kepemimpinan zending RMG. Tetapi dalam beberapa tahun kehadiran dari pendeta Mulia tersebut, beliau masih bisa meredam gejolak itu dan Jemaat itu masih bisa tetap mempunyai hubungan organisatoris deng dengan Jemaat-jemaat Kristen batak Batak di Tapanuli, yang sampai saat itu memang masih dalam asuhan zending RMG.
Tetapi tahun 1926, perselisihan timbul ketika terjadi pergantian pengurus di dalam Jemaat itu, karena masa kepengurusan yang lama telah berakhir. Dalam kepengurusan yang baru itu yang terpilih menjadi ketua adalah seorang anggota jemaat yang  berasal dari daerah Tapanuli Utara, sedangkan sebelumnya jabatan itu dipegang oleh seorang anggota yang berasal dari Tapanuli Selatan. Karena pihak yang lama tidak setuju dengan hasil itu maka mereka mengajukan suatu protes kepada Ephorus J.Warneck, di mana juga dinyatakan beberapa perlakuan yang tidak baik dari ketua yang baru itu. Persoalan itu tidak dapat lagi diselesaikan oleh pendeta setempat. Karena itu Ephorus mencoba meminta bantuan dari Zendingsconsul di Jakarta, yakni Dr. Slotemaker de Bruine. De Bruine mencoba menyelesaikan dengan menyarankan agar persoalan itu diselesaikan berdasarkan Tata Gereja Huria Kristen Batak yang ada. Pada waktu itu sejak Ephorus J. Warneck, sistem “kerkeraad” (dewan gereja) Jemaat Kristen Batak asuhan RMG, yang namanya telah ditetapkan bukan lagi Huria Mission Batak, tetapi telah menjadi “Huria Kristen Batak”. Sampai terjadinya persoalan itu sistem Kerkeraad itu belum diberlakukan di Jemaat Kristen Batak yang di Jakarta. Karena itu dalam mengatasi persoalan tersebut dinasehatkan agar sistem yang diatur dalam Tata-Gereja yang mulai diberlakukan tahun 1922 itu juga diberlakukan di Jemaat Kristen Batak Jakarta. Tetapi setelah adanya saran itu maka persoalan menjadi terbalik, karena pihak ketua yang baru terpilih tidak menetujui demikian. Karena dengan sistem Kerkeraad yang sesuai dengan Tata Gereja yang baru itu, ketua dewan (majelis) gereja tidak perlu lagi dipilih, karena otomatis jabatan itu dipegang oleh pendeta jemaat setempat atau guru jemaat setempat, kalau jemaat setempat itu masih dipimpin oleh seorang guru jemaat.

Karena persoalan belum selesai, akhirnya ephorus J. Warneck mengutus seorang pendeta dari pusat (Pearaja), yakni Pdt Tyranus Hasibuan, untuk menyelesaikannya. Dia adalah seorang pendeta Batak yang cukup berpengaruh dan  disegani padawaktu itu di tengah-tengah “Huria Kristen Batak”. Namun usaha dari pendeta inipun tidak berhasil, karena tidak lama setelah itu pihak yang tidak setuju diberlakukannya sistem “Kerkeraad” tersebut,  di  “Huria Kristen Batak” Jakarta telah terbentuk sebuah perhimpunan yang tersendiri, yakni pada tanggal 10 Juli 1927,yang diberi nama “ Punguan Kristen Batak’ (PKB). Mereka melakukan persekutuan dan kebaktian mereka di bekas Gereja Portugis yang di Jakarta Pusat. Gereja ini sampai sekarang masih ada di Jakarta, dengan nama “Gereja Punguan Kristen Batak” (GPKB).

Dari keterangan  di atas, maka sesuai dengan judul yang saya buat di atas, “Mana yang lebih tepat disebut Perayaan Seratus Penginjilan HKBP di Jakarta atau Seratus Tahun berdirinya  “Huria Kristen Batak Protestan” di Jakarta”, maka saya berkesimpulan bahwa yang lebih tepat adalah Perayaan Seratus Tahun berdirinya  Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Jakarta. Kalau pun mungkin HKBP Jakarta sudah ada melakukan tugas pengijilan (zending) kepada orang-orang yang belum menerima Injil itu,  itu kita pahami hanya sebagai  salah satu tugas panggilan yang harus di lakukan oleh gereja itu sendiri. Sekarang ini kita pahami adanya Tri Tugas panggilan Gereja, yakni Koinonia (parsaoran atau persekutuan), Marturia (kesaksian), Diakonia (Pelayanan Masyarakat).  Tugas penginjilan adalah salah satu tugas panggilan gereja dalam bidang marturia, sebagaimana dulu tugas itu telah dilakukan oleh umat Kristen dari Eropa melalui badan-badan zending yang mereka bentuk, dan salah satu hasil penginjilan yang mereka lakukan itulah lahirnya HKBP atau orang-orang Kristen Batak. Orang-orang Kristen Batak dari bonapasogit itulah yang merantau ke Jakarta dan membentuk Jemaat Kristen Batak di Jakarta, dan kemudian diberi nama HKBP  Jakarta. Itulah yang perlu disyukuri dan perjalanan hidupnya selama seratus tahun ini bisa dipelajari termasuk gelombang pasang surut yang dilalui bisa menjadi pelajaran dalam perjalanan “huria” itu ke depan. Kita ucapkan Selamat  merayakan Jubileum Seratus Tahun HKBP Jakarta (1919 – 20 September - 2019,  semoga gereja itu semakin maju, semakin jaya, dan tetap menjadi pelopor dalam menjalankan tugas panggilannya di tengah-tengah dunia, bangsa dan masyarakat ke depan, bagi huria-huria HKBP yang lain, khususnya yang berada di kota Jakarta.
 Jakarta 12 Oktober 2019 (msm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar